Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Tahun 2018 beserta suka dan duka kehidupan yang mengiringinya sudah berhasil kulalui. Aku bersyukur sekaligus lega dapat menginjakkan kaki di tahun 2019 yang telah memasuki bulan ketiga ini. Dari berbagai peristiwa yang telah kualami, ada satu pesan penting yang dapat kupetik, bahwa kita senantiasa membutuhkan Tuhan.

Kita adalah ranting dan Tuhanlah pokok anggurnya (Yohanes 15). Agar kita dapat bertumbuh, kita perlu melekat terus kepada-Nya dan cara agar kita dapat terus melekat adalah dengan tekun dan setia membangun hubungan yang dekat dengan Tuhan.

Namun, kuakui, sulit untuk tetap konsisten menjalaninya.

Sejak aku menerima Kristus sebagai Juruselamat, aku belajar untuk selalu membina relasi yang erat bersama Tuhan dengan rutin bersaat teduh. Tetapi, kadangkala aku merasa malas, menunda-nunda, bahkan sibuk dengan hal-hal lain. Membaca Alkitab dan berdoa hanya kulakukan di ibadah hari Minggu. Pernah aku merasa malu pada diriku sendiri, ketika aku terlibat dalam pelayanan di gereja tetapi tidak bergerak dalam hubungan yang akrab dengan Tuhan setiap hari. Hingga aku berpikir, apalah artinya sibuk bekerja, aktif melayani Tuhan di gereja, suka menolong orang lain, tapi aku sendiri tidak memiliki hubungan yang erat dengan-Nya.

Berangkat dari kegelisahan itu, aku pun belajar untuk memperbaiki hubungan pribadiku dengan Tuhan. Dan, puji Tuhan, sekarang aku bisa kembali menikmati keindahan-Nya. Aku yang dulu merasa seperti domba yang hilang telah dituntun Sang Gembala yang baik dan menjadi lebih dekat pada-Nya.

Jika kamu pernah mengalami hal yang sama sepertiku, ada tiga hal yang bisa kamu lakukan ketika melakukan disiplin rohani saat teduh terasa susah buatmu.

1. Kita dapat berkaca pada teladan tokoh Alkitab

Aku teringat pada tokoh Alkitab seperti Daniel yang selalu memprioritaskan relasinya dengan Tuhan. Dalam Daniel 6:11, tertulis bahwa Daniel tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Tuhan. Hal ini menarik mengingat Daniel pada kala itu telah diangkat sebagai salah satu dari tiga pejabat tinggi yang membawahi pemerintahan Raja Darius (Daniel 6:1-4). Dengan jabatan seperti itu, kita dapat mengetahui bahwa Daniel mungkin punya banyak aktivitas. Namun, ia tidak mengabaikan relasi dengan Tuhan.

Tuhan Yesus juga memberi kita teladan yang baik mengenai relasi pribadi-Nya dengan Bapa. Injil Markus 1:35 mencatat demikian, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.” Yesus memilih waktu pagi hari sebab ketika hari telah terang, Dia harus melayani banyak orang. Teladan doa Yesus juga ditunjukkan-Nya ketika Dia berada di Taman Getsemani. Yesus berdoa mengungkapkan ketakutan hati-Nya namun menyerahkan segala-Nya kepada Bapa agar kehendak Bapalah yang terjadi (Lukas 22:41-44).

Dari dua teladan ini aku tersadar bahwa tekun menjalin relasi dengan Tuhan membuat kita semakin mengenal-Nya, peka mendengar suara-Nya, dan kita pun dapat mengetahui apa yang jadi kehendak-Nya buat kita.

2. Kita dapat mengatur waktu yang tepat buat kita

Menjalankan disiplin rohani di masa kini kupikir adalah hal yang sulit. Kesibukan kita mungkin menggoda kita untuk mengabaikan relasi dengan Tuhan. Untuk mengatasinya, aku belajar untuk menyediakan waktu khusus untuk datang kepada Tuhan. Buatku sendiri, waktu yang paling tepat adalah pagi hari.

Aku bangun lebih awal dan bersaat teduh di tempat yang tenang. Namun, jika semisal aku terlambat bangun, itu tidak berarti aku tidak akan bersaat teduh sepanjang hari. Aku mencari waktu lain yang sekiranya tepat untukku dapat benar-benar menikmati dan mengalami momen perjumpaanku dengan Tuhan.

Yang terpenting sesungguhnya bukanlah soal kapan waktunya, melainkan bagaimana sikap hati kita. Jika kita sungguh ingin mengenal Tuhan, tentu kita akan menyisihkan waktu terbaik kita, bukan memberikan waktu sisa kita untuk-Nya.

3. Kita dapat menggunakan penuntun saat teduh

Untuk menolongku memahami firman Tuhan dengan lebih jelas, aku menggunakan buku renungan yang menuntunku bersaat teduh. Tapi, perlu diingat, bahwa buku renungan ini hanyalah penuntun, bukan materi utama yang harus dibaca. Yang terutama tetap adalah Alkitab, yang adalah firman Tuhan.

Ketika kita memiliki motivasi yang kuat untuk merenungkan firman-Nya dan kasih setia-Nya bagi kita, hasrat kita untuk terus berjumpa dengan Allah secara pribadi akan terus bertumbuh. Tugas kita adalah memberi diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus dalam proses perjuangan kita berdisiplin rohani.

“Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu” (Yakobus 4:8a). Kiranya kita senantiasa diingatkan untuk selalu konsisten memprioritaskan relasi kita dengan Tuhan dan bersungguh-sungguh menerapkan disiplin rohani di sepanjang hidup kita.

Di dunia ini, tidak ada yang melebihi sukacita hidup, selain memiliki dan menikmati hubungan yang akrab dengan Sang Pencipta dan meyakini bahwa surga—rumah abadi—adalah tujuan akhir dari perjalanan hidup kita di dunia yang fana ini. Roh kudus menolong kita, terpujilah nama-Nya.

Baca Juga:

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada templatenya. Tanpa perlu pikir panjang, aku bisa berdoa dengan singkat. Hingga suatu ketika, aku jatuh ke dalam situasi yang membuatku tak bisa berdoa. Tapi, justru di dalam keadaan inilah aku diajar untuk bagaimana seharusnya berdoa.

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.

Ketika aku akan makan, aku berdoa, “Tuhan, aku mau makan berkati makanan ini, amin.”

Ketika aku akan bepergian dan jika orang tuaku mengingatkan, maka aku akan berdoa dengan cepat, “Tuhan, aku mau pergi. Lindungi aku. Terima kasih. Amin.”

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada template-nya. Aku tidak perlu pusing merangkai kata dan secara otomatis kalimat singkat itu keluar dari mulutku. Aku hanya berpikir, “yang penting aku sudah laporan ke Tuhan dan orang tuaku tidak marah karena aku lupa berdoa”. Tapi, tanpa kusadari, cara doaku yang seperti itu lama-lama membuatku menganggap remeh doa itu sendiri. Bagiku, tanpa berdoa pun sebenarnya Tuhan sudah tahu dan Dia tidak akan marah padaku, sehingga inilah yang membuatku akhirnya acuh tak acuh dengan kehidupan doaku.

Hingga akhirnya, saat aku berumur 23 tahun aku dikecewakan oleh seseorang yang sangat berarti bagiku. Kejadian itu membuatku marah dan berujung menjadi dendam. Sulit rasanya untuk mengampuni saat itu. Selama satu tahun, aku tidak hidup dalam damai sejahtera. Aku tidak bisa tidur, menangis setiap hari, dan mencari pelarian lain sampai akhirnya aku merasa tidak berdaya.

Di tengah ketidakberdayaanku, rasanya aku ingin berdoa dan datang kepada Tuhan. Tapi, entah kenapa meski dulu aku bisa dengan mudah mengucap doa karena seperti ada template-nya, sekarang aku tidak bisa berdoa. Aku tidak tahu caranya berdoa. Bahkan untuk mengucapkan kata-katanya pun aku tidak mengerti. Rasanya asing untuk datang pada Tuhan Yesus.

Namun, kisahku tidak berhenti di situ. Tanpa aku sadari, Tuhan adalah Bapa yang baik, Bapa yang selalu menanti anak-Nya untuk kembali. Ketika aku merasa tidak mampu menghampiri-Nya, Tuhanlah yang terlebih dulu menghampiriku.

Tuhan memakai seorang sahabatku untuk mengingatkanku. Sahabatku berkata, “Yang kamu perlukan untuk berdoa hanyalah hatimu dan lututmu. Bahkan Tuhan menerima air matamu di hadapan-Nya.” Saat itu aku pun mencoba datang pada Tuhan.

Aku menangis sendirian di dalam kamar, menangis sampai rasanya aku tidak sanggup menahannya sendiri. Aku berlutut sambil melipat tanganku. Tidak ada yang aku tutupi di hadapan Tuhan. Selama beberapa saat aku tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Sampai akhirnya, ketika aku mulai berbicara, kalimat awal yang kuucapkan adalah, “Tuhan, aku mau mengampuni. Berikan aku hati untuk mengampuni, karena itu sulit dan menyakitkan.”

Saat itu, mengampuni dia yang telah menyakitiku adalah hal yang sulit untuk kulakukan. Namun, aku percaya jika aku mengizinkan Tuhan hadir dalam hidupku, maka aku dapat melakukannya. Kalimat doa itu aku ucapkan berkali-kali. Namun aku tidak merasa itu seperti sebuah template, aku merasa seperti sedang bercerita kepada Bapa, sampai aku lelah menangis dan akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Keadaan memang tidak berubah, tetapi ada damai sejahtera di dalam hatiku. Kesedihan yang semula memang masih ada, namun saat itu aku merasakan bahwa doa membuat hatiku tenang.

Doa yang sama kuucapkan, namun aku mengucapkannya dari hatiku. Aku rindu agar aku bisa mengampuni. Sampai akhirnya, saat aku berada di gereja, Tuhan berbicara padaku melalui firman-Nya dalam Yesaya 44:22 yang berkata, “Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!”

Aku percaya, kekuatan doa mampu mengubahkan segalanya. Bahkan ketika mengampuni kuanggap sebagai hal yang mustahil, nyatanya Tuhan memampukanku untuk melakukannya. Tak hanya itu, Tuhan pun menaruh kasih-Nya padaku agar aku pun dapat mengasihi orang lain.

Sahabatku, yang terpenting saat kita berdoa bukanlah kata-kata yang bagus, tetapi sikap hati yang benar dan murni untuk menghadap kepada-Nya. Jadilah diri sendiri di hadapan-Nya, tak usah ada satu pun hal yang ditutupi. Tuhan adalah Bapa dan sahabat bagi kita. Berbicaralah kepada-Nya selayaknya seorang anak kepada ayahnya, seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu ada dekat dengan kita.

Baca Juga:

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Mengasihi musuh adalah perintah Yesus buat kita. Namun, kuakui melakukannya tak semudah mempraktikkannya. Meski begitu, melalui Injil Lukas, aku diingatkan bahwa itu bukan hal yang mustahil. Aku bisa mengikuti teladan Yesus tersebut.

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Aku adalah orang yang sejak kecil hingga dewasa menyukai film kartun, salah satunya adalah Doraemon. Jika teman-teman juga pernah atau sering menonton, tentu kalian akrab dengan tokoh Doraemon, Nobita, Shizuka, Suneo, dan Giant di mana mereka memiliki karakter masing-masing yang kuat. Nobita diperkenalkan dengan karakternya yang cengeng, yang kerap menjadi sasaran kejahilan dari Suneo maupun Giant; tak jarang mereka juga mem-bully dan melakukan kekerasan fisik kepada Nobita. Karena kerap tertindas, Nobita pun mengadu kepada robot ajaib yang juga menjadi temannya, Doraemon. Sambil menangis, Nobita menceritakan kekesalannya dan merayu Doraemon mengeluarkan alat ajaibnya untuk kepentingan balas dendam.

Beruntung nasibku tidak seburuk Nobita yang saat SD mendapat bully dan kekerasan fisik dari teman-temannya. Aku tergolong laki-laki yang berada di garis tengah dari “rantai makanan”, tidak menindas dan mungkin selalu berhasil kabur dari beragam penindasan mulai dari SD hingga SMA. Memasuki dunia perkuliahan, tepatnya ketika terlibat dalam sebuah kepanitiaan, aku melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan kepada rekan-rekan kepanitiaanku. Spontan mereka pun marah, dan aku pun meminta maaf kepada mereka. Sebagian rekan-rekan memaafkanku dan berkawan baik hingga sekarang, namun ada juga rekan-rekan yang tergabung dalam satu geng yang tidak memaafkanku. Dalam beberapa kesempatan, mereka masih mencibir aku di belakang, melihat segala yang aku lakukan sebagai kesalahan dan menjadikannya sebagai bahan olok-olokkan.

Kisahku di atas merupakan penggalan kisah di mana aku tak disukai karena berbeda pandangan akan sebuah pesan dalam kepanitiaan. Mungkin kisahku tidak seberapa dibandingkan dengan beberapa temanku yang dulu kerap menjadi korban bully dan kekerasan fisik di sekolahnya, entah karena dia berbeda suku dan agama dari rekan-rekannya atau perihal tampilan fisik yang berbeda. Pernahkah teman-teman juga merasakan tidak disukai oleh orang lain? Jika kita punya teman robot ajaib seperti Doraemon, mungkinkah kita akan meminta alat ajaib untuk membalas perbuatan tersebut seperti Nobita?

Realitanya, Doraemon hingga saat ini hanyalah karya fiksi. Tetapi, kita punya sahabat yang jauh lebih ajaib, yaitu Tuhan kita yang selalu mendengar setiap keluh kesah kita. Tentu tidak salah berkeluh kesah kepada Tuhan tentang orang-orang yang tidak menyukai kita. Namun, sedihnya, kita kerap menganggap Tuhan layaknya Doraemon yang akan membantu kita membalas kejahatan orang lain; kita kadang berdoa kepada Tuhan untuk menghukum musuh-musuh kita. Aku pun ketika berada dalam kondisi jengkel, terkadang tercetus, “Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) kok, Dia pasti akan balas perbuatan jahat kalian.” Mungkin jika teman-teman merasakan kesamaan denganku, maka inilah saatnya kita sama-sama belajar kasih yang diajarkan Yesus.

Dalam Injil Lukas 6:27, Yesus memberikan ajaran yang menegurku:

“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah mushmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.”

Wah, kok susah banget ya nampaknya ajaran untuk mengasihi musuh. Kalau orang berbuat jahat, tentu secara refleks kita ingin membalas mereka, “mata ganti mata gigi ganti gigi”, jika kita memakai istilah dalam Injil Matius. Aku juga menilai, mengasihi musuh nampaknya susah karena aku mungkin lebih terbiasa untuk mengasihi orang yang berlaku baik kepadaku, atau istilah ini dikenal dengan balas budi.

Tapi, walaupun nampak sulit, bukan berarti mustahil kok. Di poin-poin di bawah ini yang terambil dari Lukas 6:27-35, aku ingin menunjukkan padamu bahwa kita pun bisa mengasihi musuh kita.

1. Sadarlah bahwa Tuhan lebih dulu mengasihi orang-orang yang berdosa

Memang orang yang mem-bully atau melakukan kekerasan fisik kepada kita adalah orang yang telah berlaku salah. Tetapi, apakah dengan begitu kita menjadi orang yang benar-benar suci? Aku bercermin melihat diriku, bahwa sebenarnya aku juga tak lepas dari dosa dan kejahatan. Tetapi, kita punya Allah yang baik kepada semua manusia. Seperti tertulis dalam Lukas 6:35b, “…sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” Seharusnya aku sadar bahwa aku dan manusia yang sudah jatuh dalam dosa, sebenarnya adalah musuh Tuhan. Tetapi Tuhan mengasihi kita, dan seharusnya kita belajar dari kasih Tuhan kepada manusia.

2. Hidupilah anugerah dari Tuhan

Jika saat ini kita sudah mengaku percaya akan kasih Kristus yang dianugerahkan lewat penebusan di kayu salib, maka anugerah tersebut seharusnya tidak kita sia-siakan. Dalam ayat 32, Yesus berkata: “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.”

Kata “apakah jasamu” diulang tiga kali oleh Yesus dalam ayat 32, 33, dan 34, yang berarti Yesus punya tujuan yang kuat. Jika kita menengok dalam bahasa asli (Yunani) dari kata “jasa”, ternyata kata itu berasal dari kata “χάρις” (baca: Kharis) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti “GRACE” atau “anugerah”.

Tentu hanya Tuhan saja yang memberikan anugerah dan anugerah penebusan tersebut diberikan kepada semua manusia, tak terkecuali. Saat ini tentu kita yang telah percaya pada-Nya seharusnya hidup juga dalam anugerah-Nya, anugerah untuk mengasihi, bukan hanya mereka yang baik kepada kita, tetapi juga mengasihi orang yang berbuat jahat pada kita.

3. Praktikkan kasih agar mereka belajar kasih

Setelah kita sadar bahwa Tuhan lebih dulu mengasihi kita dan kita memiliki kerinduan menghidupi anugerah Tuhan dengan mengasihi siapapun, maka kita perlu mempraktikkan kasih tersebut. Tentu kita ingin agar orang-orang yang berlaku jahat bisa berbalik mengenal kasih Tuhan, maka kita perlu meniru teladan Yesus yang penuh kasih. Seperti tertulis pada ayat 31: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”, maka kitalah yang harus mulai mengasihi mereka.

Aku pun belajar untuk ikut teladan Yesus yang mengasihi musuh. Aku berusaha untuk menyapa terlebih dahulu orang-orang yang tidak suka kepadaku, bertanya kabar, membuka sedikit obrolan dan bahkan meminjamkan catatan kuliah karena mereka membutuhkannya. Dengan tindakan kecil tersebut, tentu aku berharap agar mereka mengenal kasih Yesus dalamku.

4. Bagaimana jika ditolak atau direspons negatif? Tetaplah teguh berusaha!

Apakah tindakan baikku akan segera direspons positif? Tidak. Mereka tetap mengabaikanku, nyinyir kepadaku. Sedih tentunya dan aku sampaikan hal tersebut kepada Tuhan. Tapi, aku meyakini bahwa bukan aku yang dapat membuat mereka berubah, melainkan Tuhan. Aku hanyalah alat yang dipakai untuk mengenalkan kasih Tuhan kepada setiap orang, tidak lebih.

Yang perlu kita lakukan ketika mendapatkan respons negatif adalah kita tetap teguh. Mempelajari sebuah mata pelajaran atau mata kuliah tentu tidak sehari atau dua hari, terlebih belajar tentang kasih Tuhan. Butuh proses di mana kita menyatakannya lewat teladan kita. Kita pun perlu tetap berserah kepada Tuhan yang akan mengubah mereka, yaitu dengan membawa nama mereka ke dalam doa, seperti tertulis pada ayat 28: “Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”

Tuhan kita bukanlah Doraemon yang akan mengabulkan permintaan kita untuk membalaskan dendam. Tuhan kita justru mengajarkan kita untuk mengasihi musuh kita. Dengan mengasihi musuh kita, kita pun menyatakan kasih Tuhan yang nyata bagi seluruh manusia.

Baca Juga:

Paradoks Doa

Tuhan Yesus mengajar kita untuk terus meminta, mencari, mengetok pintu, sampai diberikan, ditemukan, dan dibukakan pintu. Tapi, di sisi lainnya kita pun diajar untuk mengatakan “Jadilah kehendak-Mu”. Jadi, bagaimana seharusnya kita berdoa?

Mazmur di Tengah Masa-masa Jenuhku

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Suatu malam, aku merasa tak mampu lagi membaca referensi untuk menyelesaikan tesisku. Aku merasa jenuh. Tuntutan dari profesorku membuatku stres dan tidak tahu harus berbuat apa. Teman sekamarku sedang pergi ke lab, dan aku tinggal sendirian di kamar padahal aku merasa kalau saat itu aku sangat butuh kehadiran seorang teman. Namun, di tengah perasaan jenuh dan stres itu, aku teringat akan kitab Mazmur.

Aku lalu teringat suatu nama, Kak Fenov. Beliau adalah pemimpin kelompok kecilku. Aku mencoba meneleponnya, tapi tak diangkat. Beberapa waktu berselang, dia meneleponku kembali. Aku sharing dan bercanda dengannya hingga sukacitaku pun mulai muncul kembali. Dan, di akhir obrolan itu, beliau memberikanku ucapan firman Tuhan dari Mazmur 121.

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;
dari manakah akan datang pertolonganku?

Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

Ia takkan membiarkan kakimu goyah,
Penjagamu tidak akan terlelap.

Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

TUHANlah Penjagamu, TUHANlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

Matahari tidak akan menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Jika kita membuka Alkitab kita dan membaca kitab Mazmur, kita akan mengetahui bahwa kitab itu berisi puji-pujian dari para pemazmur kepada Tuhan. Tak cuma sebagai pujian, tiap untaian katanya juga adalah doa yang mengungkapkan perasaan mendalam hati manusia kepada Sang Pencipta. Pun bait demi baitnya merupakan ekspresi dari pemeliharaan Tuhan yang dialami oleh sang pemazmur.

“Nikmati setiap kata demi katanya,” ucap Kak Fenov. Aku pun mencoba menikmati mazmur tersebut dari berbagai versi Alkitab. Hingga akhirnya, beliau mengatakan, “Tugasmu saat ini buat mazmurmu dan sharingkan sama aku malam ini.”

“Ya ampun, tugas baru di tengah pikiran yang sedang mumet ini,” aku refleks merespon.

Namun, entah mengapa aku tergerak untuk mengikuti tantangan itu di tengah banyaknya bacaan yang harus kubaca. Menit demi menit pun berlalu. Aku merenung, mengingat kembali bagaimana perjalanan yang telah kulalui bersama Tuhan selama ini. Dan, aku benar-benar tersanjung akan pemeliharaan-Nya.

Aku mencoba memosisikan diriku seperti seorang pemazmur. Aku berdoa kepada-Nya, meminta Dia memampukanku untuk dapat bermazmur sama seperti pemazmur lakukan kepada-Nya. Dan, puji Tuhan, Ia menolongku untuk perlahan keluar dari jerat kejenuhan itu sampai akhirnya aku pun dimampukan-Nya untuk bermazmur, menaikkan puji-pujian dari dalam hatiku sendiri kepada-Nya.

Dan inilah mazmur yang ingin kubagikan kepadamu:

Masa jenuh menghampiriku. Aku tiba di semester di mana tesis adalah tanggung jawab di pagi, siang, dan malamku. Mau baca yang itu tidak bisa tanpa baca yang ini terlebih dahulu. Namun ketika ingin membaca yang ini, rasanya berat sekali untuk memulai.

Aku memandang teman labku. Ia begitu keren dan beruntung. Ia bisa ikut bersama profesorku ke negara yang sangat kuimpi-impikan tanpa ada hambatan sedikit pun.

Rasa iri hati dan jenuh pun mulai berikatan dalam diriku.

Siapakah yang bisa menghilangkan rasa itu? Siapakah dia yang sanggup “menamparku” untuk tidak membandingkan diriku dengan pencapaian orang lain? Siapakah dia yang mampu memberikan hikmat di tengah hari-hariku yang terasa datar? Siapakah pribadi yang bisa memberiku ketenangan di tengah deadline tesisku yang tinggal satu minggu?

Yesus! Ya, Yesus. Dialah segalanya bagiku. Dia sempurna, sangat sempurna membimbingku. Dialah yang bisa mengubah rasa berat itu menjadi sukacita. Dialah yang sanggup “menamparku” dari rasa iriku sebelum satu hari berlalu melalui firman-Nya di saat teduhku. Dia jugalah yang mampu memberikan hikmat dan ketenangan di saat aku bangun dari tidurku.

Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk segalanya. Satu setengah tahun Engkau menyertaiku dengan sempurna. Masakan jiwaku lunglai hanya untuk melalui satu semester yang tersisa?

Berserah, memiliki relasi intim dengan-Mu, dan setia bersama orang-orang yang kesukaannya Taurat Engkau membuatku terus beriman kepada-Mu.

Mampukan aku Tuhan, tanpa-Mu aku tidak bisa apa-apa.

Itulah isi mazmurku. Sebuah mazmur sederhana yang meluap dari hatiku, yang menjadi pujian dan ucapan syukurku kepada Tuhan atas penyertan-Nya. Saat ini, mungkin ada di antara kamu yang memiliki beban yang serupa denganku, kamu mengalami masa jenuh dan penuh tekanan. Namun, kiranya firman Tuhan terus menjadi pengingat untukmu yang sedang menuntaskan studimu, ataupun segala pergumulan lain yang kamu alami.

Pergumulan, kesulitan, bahkan bahaya memang kadang tidak dapat kita hindari. Namun yang pasti Tuhan selalu memberikan jaminan bahwa Dia selalu menjadi pembimbing kita yang sempurna.

Aku ingin menantangmu sama seperti yang pemimpin kelompok kecilku lakukan. Buatlah mazmurmu, jiwai dan hidupilah. Mazmurkanlah itu kepada Tuhan setiap waktu dan bagikanlah juga kepada orang-orang lain, agar semakin banyak orang yang bermazmur kepada Tuhan dan dikuatkan-Nya.

*Tulisan ini dibuat saat aku sedang menempuh studiku di Taiwan pada 30 Oktober 2018.

Baca Juga:

Rabu Abu, Momen untuk Kita Berbalik dari Dosa

Sahabat, hari ini kita mengawali masa prapaskah dengan Rabu Abu. Terlepas dari gerejamu merayakannya atau tidak, ada satu pesan penting yang bisa kita terima dan lakukan dalam perjalanan kita menyambut anugerah keselamatan yang Tuhan telah berikan.

Diam dan Tenang: Senjata Ampuh yang Mengalahkan Kekhawatiran

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Ketika sharing kepada orang lain tentang pergumulan yang sedang kamu hadapi, pernahkah kamu mendengar respons: “Sudah, jangan khawatir, berserah saja”, “tenang, bawa saja dalam doa”, atau kalimat-kalimat penenang lainnya? Atau, seberapa sering kamu membaca firman Tuhan dan mendengarkan khotbah tentang hal kekhawatiran?

Dalam hidup kita, kekhawatiran bisa terjadi karena banyak hal. Kita khawatir akan hal-hal yang pokok dalam hidup kita, seperti makanan, minuman, atau pakaian (Matius 6:31). Kekhawatiran pun tidak mengenal usia. Semua orang pasti pernah mengalami kekhawatiran, demikian juga dengan aku.

Beberapa waktu lalu, adikku yang masih kuliah di perguruan tinggi swasta mengirimkanku pesan yang intinya hari itu juga dia harus membayar cicilan uang kuliah sebesar tiga juta rupiah. Kalau uang itu tidak dibayar, dia akan dianggap cuti selama satu semester. Pesan itu membuatku terkejut dan sedikit emosi karena hal ini tidak adikku bicarakan jauh hari sebelumnya.

Jika melihat kondisi keuangan keluargaku, rasanya tidak mungkin untuk mendapatkan uang sebanyak itu dengan segera. Sebagai anak pertama, aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin adikku berhenti kuliah. Tapi, di sisi lain aku pun bingung bagaimana untuk mendapatkan uang.

Dalam keadaan hati yang khawatir itu, aku berkata, “Sudah dek. Jangan khawatir. Berserah sama Tuhan sambil kita berusaha maksimal.” Itu adalah jawaban aman yang kuberikan di tengah kondisi hati yang masih berkecamuk dan pikiran yang masih bingung.

Aku pun berulang kali mengatakan pada diriku sendiri, “Ayo, jangan khawatir!” dengan air mata yang tak dapat kutahan lagi. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Sampai tiba-tiba, muncul pertanyaan di hatiku, “Benarkah aku sungguh-sungguh tidak khawatir lagi? Atau, itu cuma sebatas caraku untuk berusaha mengabaikan rasa khawatir yang sebenarnya masih ada dalam diriku?”

Aku menyadari terkadang respon yang kuberikan hanya bersifat verbal, atau hanya sebatas pada ucapan. Meski mulut berucap tidak khawatir, namun hatiku tidak dapat memungkiri kalau aku masih khawatir.

Di tengah perenunganku itu, aku teringat akan sebuah WhatsApp Story yang dulu pernah kudapat. Dalam story tersebut tertulis penggalan firman Tuhan dari kitab 1 Samuel 30:6-8:

“Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN Allahnya… Kemudian bertanyalah Daud kepada TUHAN, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul? Dan Ia berfirman kepadanya: ‘Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan tawanan.’”

Ketika merenungkan ayat ini aku coba membayangkan bagaimana perasaan Daud saat itu. Pastilah dia merasa sangat takut dan khawatir. Tapi, aku melihat suatu tindakan yang dilakukan Daud begitu luar biasa. Daud tidak berusaha menguatkan dan meyakinkan diri sendiri kalau dia mampu keluar dari kondisi terjepit itu, namun yang Daud lakukan adalah menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan disertai dengan tindakan bertanya kepada Tuhan mengenai apa yang harus dia lakukan. Wow, pikirku. Respons yang diberikan Daud ketika dia merasa khawatir dan takut itu lebih dari respons secara verbal. Respons Daud datang dari sikap hati yang berusaha mencari kehendak Tuhan di tengah kekhawatirannya.

Aku teringat satu kutipan yang pernah dibagikan oleh seorang pendeta yang bernama Samuel Anton Sidharta. Beliau menuliskan, “Menjadi teladan bukan berarti hidup kita harus selalu on the top dan penuh keberhasilan. Tapi, justru ketika kita berani mengambil respons yang benar di situasi yang tidak mudah dan bahkan lowest moment dalam hidup kita. Itulah TELADAN.”

Apakah itu mudah?

Kupikir tidak. Duduk diam sejenak ketika menghadapi masalah yang harus diselesaikan memang bukanlah hal yang mudah. Tapi, di saat itulah kita bisa mengakui ketidakmampuan kita dan bertanya kepada Tuhan “apa yang harus aku lakukan?”

Peristiwa adikku membuatku belajar banyak tentang seberapa pentingnya kita mengambil respons yang benar ketika menghadapi rasa khawatir. Kita bisa membawa rasa khawatir itu ke hadapan Tuhan dan menguatkan kepercayaan kita kepada-Nya. Dan puji Tuhan, ada jalan keluar yang Dia berikan untuk permasalahan yang kualami. Ada seseorang yang berkenan meminjamkan uang untuk saat itu dan mengizinkan kami membayarnya secara berkala.

Melihat adikku yang masih dapat berkuliah sekarang tanpa cuti adalah cara-cara yang Tuhan tunjukkan kepadaku dengan begitu ajaib. Aku sekarang mengerti bahwa duduk diam sejenak ketika masalah datang bukan berarti kita menyerah pada keadaan, tapi kita sedang menyiapkan langkah yang tepat untuk mengatasi kondisi yang ada.

Jalan keluar yang Tuhan sediakan tidak dapat kita lihat jika kita hanya berfokus pada kekuatan diri kita sendiri. Tapi, ketika kita berusaha tetap mencari kehendak-Nya, maka Tuhan akan menunjukkan jalan keluarnya bagi masalah kita.

Baca Juga:

Jangan Hidup Hanya Supaya Bisa Menikah. Hiduplah untuk Hidup Itu Sendiri.

Ketika berbicara tentang pernikahan, yang paling membuatku takut bukanlah hasrat kita untuk menikah, tetapi apa yang menjadi ekskpektasi kita tentang pernikahan.

Jangan Hidup Hanya Supaya Bisa Menikah. Hiduplah untuk Hidup Itu Sendiri.

Oleh Debra Fileta, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Don’t Live to Get Married. Live to Live

“Satu-satunya yang kuinginkan di hidupku adalah menikah,” ucapnya sambil matanya berkaca-kaca. Aku baru saja menyelesaikan sebuah sesi diskusi ketika seorang wanita berusia 23 tahun datang kepadaku dan membagikan kisah perjalanan hidupnya.

Wanita itu lahir dan dibesarkan di dalam lingkungan Kristen, dan sejauh yang dia bisa ingat, dalam benaknya telah tertanam suatu pemahaman bahwa tujuan mendasar dari hidupnya adalah menemukan seorang pria dan menikah. Namun, ketika kehidupan tak berjalan sesuai rencananya, dia pun mulai panik.

Cerita yang diungkapkan wanita itu adalah salah satu dari sekian banyak cerita seputar pernikahan yang sering kudiskusikan akhir-akhir ini. Aku mendiskusikan ini bukan hanya karena aku telah menikah, bukan pula karena pekerjaanku sebagai konselor yang berkutat di permasalahan seputar relasi. Tapi, karena di tahun ini aku sedang mengumpulkan bermacam-macam perspektif yang berbeda tentang pernikahan untuk proyek buku baruku yang berjudul Choosing Marriage. Buku ini kutulis baik untuk mereka yang single maupun yang telah berpasangan. Jadi, mendapatkan pandangan dari kedua belah pihak adalah hal yang perlu kulakukan supaya aku bisa menuliskan topik ini dengan baik.

Tapi, suatu hal yang membuatku harus lebih berhati-hati dalam menulis buku ini adalah sebuah kesadaran bahwa kita hidup dalam sebuah kultur yang memberhalakan pernikahan.

Aku bukannya tidak menyadari hal ini sebelumnya. Aku bertumbuh dalam budaya Kristen dan aku pun berkuliah di kampus Kristen. Membayang-bayangkan pernikahan adalah hal umum. Beberapa orang bahkan bercanda bahwa mereka mereka kuliah hanya untuk nanti mendapatkan gelar “Ny.” (Nyonya), seolah itu adalah “tujuan utama” bagi orang-orang Kristen yang lajang, itulah alasan kamu hidup, suatu hari, kamu akan menikah, barulah akhirnya hidup akan dimulai.

Tidak ada yang salah dari mendambakan pernikahan. Bahkan, itu merupakan suatu hasrat yang ditaruh dalam diri kita oleh Allah sendiri (Markus 10:6-8). Aku dikenal sebagai orang yang mendorong pria dan wanita untuk jujur tentang hasrat mereka untuk menikah. Selanjutnya aku mendorong mereka untuk meresponsnya dengan interaksi bersama lawan jenis dan menjalani relasi pacaran yang sehat.

Tapi, yang paling membuatku takut bukanlah hasrat kita untuk menikah, tetapi apa yang menjadi ekskpektasi kita tentang pernikahan.

Ekspektasi versus Realita

Aku yakin kita berekspektasi terlalu tinggi tentang pernikahan. Kita mengharapkan pernikahan akan melakukan hal-hal tertentu bagi kita, yang pada kenyataannya tidak dapat dilakukan oleh pernikahan itu sendiri. Dalam mengumpulkan data untuk bukuku, aku mewawancarai 1.000 orang single dan 1.000 pasangan menikah. Aku bertanya apa pandangan mereka tentang pernikahan. Hasilnya sangat menarik. Apa yang dipikirkan orang-orang single tentang pernikahan, dibandingkan dengan apa yang dikatakan oleh pasangan yang sudah menikah ternyata sangat berbeda. Pada topik tentang seks, komunikasi, konflik, dan hubungan yang intim—apa yang dibayangkan oleh mereka yang single sangatlah berbeda dibandingkan dengan apa yang dinyatakan oleh pasangan yang sudah menikah tentang kenyataan dalam pernikahan.

Dan, ketika ekspektasi kita tentang pernikahan bertemu dengan realita dari pernikahan, hal itu berujung dengan kekecewaan, perasaan hancur, kepahitan, dan bahkan perceraian.

Ada orang-orang yang memasuki jenjang pernikahan dengan ekspektasi tinggi namun pengertiannya akan pernikahan itu sendiri masih rendah. Pada kenyataannya, lebih dari 96 persen pasangan menikah yang telah kusurvey mengungkapkan bahwa mereka yakin orang-orang yang belum menikah tidak tahu apa yang sebenarnya mereka hadapi tentang pernikahan. Dan, siapakah yang dapat menyalahkan mereka? Pengertian tentang pernikahan tidak diajarkan kepada mereka.

Begitu banyak waktu kita habiskan untuk mengidolakan pernikahan, namun begitu sedikit waktu kita gunakan untuk mempersiapkannya. Begitu sedikit waktu kita gunakan untuk mengenali diri kita sendiri; untuk memulihkan diri dari masa lalu; untuk memahami apa yang kita butuhkan dalam sebuah relasi; untuk membedakan hubungan yang sehat dengan yang tidak; untuk menentukan jenis orang yang cocok dan yang tidak cocok; untuk membuat target; untuk menjalani hidup secara penuh.

Dan ketika kita akhirnya melihat realita, hal yang awalnya begitu kita tinggikan pun jatuh seketika.

Mengatur ulang ekspektasi kita

Aku percaya langkah pertama dalam mempersiapkan pernikahan adalah memiliki ekspektasi yang benar tentang pernikahan. Yesus tidak berkata “kepenuhan hidup” dimulai ketika kita sudah menikah, Yesus berkata hal itu dimulai ketika kita mulai berelasi dengan-Nya (Yohanes 10:10). Bagi orang yang percaya kepada-Nya, kepenuhan hidup dimulai dari sini, saat ini, tepat pada momen ini—terlepas dari apapun status hubunganmu. Kepenuhan hidup terjadi dalam interaksi dengan orang-orang yang sudah Tuhan tempatkan dalam hidup kita. Kepenuhan hidup adalah belajar membagikan kasih Kristus kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Kepenuhan hidup adalah memahami panggilan kita dan mengambil langkah untuk memenuhi panggilan itu apapun status kita. Kepenuhan hidup kita terwujud seiring kita mengejar keserupaan dengan Kristus dalam apapun yang kita perbuat.

Kita penting untuk mengerti ini: pernikahan bisa saja menjadi bagian yang indah dalam perjalanan hidupmu, tetapi itu bukanlah tujuan akhirmu. Bagi kamu yang sedang mencari tujuan hidup melalui sebuah hubungan, di sini aku berkata kepadamu bahwa kamu tidak akan menemukannya.

Ketika kita melihat relasi sebagai tujuan akhir dari tujuan hidup kita, kita akan mendapati diri kita menghadapi tembok kekecewaan. Seperti yang dituliskan oleh seorang wanita muda dalam sebuah email untukku, “Kupikir pernikahan dapat memberiku segala hal yang kurang dari hidupku, tapi ketika aku tiba di sana, aku menyadari bahwa aku masih merasa kurang.” Pernikahan bisa menjadi salah satu jalan kita dalam memenuhi tujuan hidup, namun pernikahan tidak akan pernah menjadi tujuan akhir kehidupan.

Kita perlu mencari tujuan Tuhan dalam hidup kita jauh lebih daripada kita mencari pasangan. Izinkan kehendak dan rencana-Nya menjadi jalur yang menuntun hidup kita dan mempengaruhi arah hidup kita. Daripada bertanya apa yang dapat Tuhan lakukan untuk kita, kita perlu melihat pada-Nya dan mencari tahu apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya. Inilah tujuan kita yang sejati.

Dan siapa yang tahu? Kita mungkin akan bertemu dengan pasangan kita seiring kita menjalaninya—untuk hal ini aku berani menjaminnya. Namun meski begitu, tujuan kita tidak dipengaruhi oleh kemungkinan ini.

Pernikahan bisa memberimu perspektif—tapi bukan tujuan.

Pernikahan bisa memberimu seorang penolong—tapi bukan pemulihan.

Pernikahan bisa menawarkanmu pasangan—tapi itu tidak bisa melengkapi hidupmu.

Hanya Kristus yang mampu melakukannya. Dan jika kamu tidak dapat menemukan hal-hal itu sendirian, kamu pun tidak akan menemukannya juga dalam pernikahan. Untuk setiap kita yang bisa memahami hal ini sebelum menikah, kamu akan memasuki pernikahan dengan perasaan yang utuh lebih daripada yang dapat kamu bayangkan.

Ketika dua orang yang sudah merasa penuh atau utuh masuk ke dalam jenjang pernikahan, itu adalah jenis pernikahan yang terbaik.

Jadi, janganlah hidup supaya bisa menikah. Hiduplah untuk hidup itu sendiri. Hiduplah untuk menyembuhkan. Hiduplah untuk bertumbuh. Hiduplah untuk belajar. Hiduplah untuk melayani Yesus di sini, di saat ini, di mana Tuhan telah menempatkanmu. Karena kepenuhan hidup tidak dimulai ketika kamu menikah. Kepenuhan hidup berlangsung sekarang. Maka belajarlah untuk menjalani kehidupan dengan baik. Kamu tidak akan tahu siapa yang akan kamu temui pada perjalanan itu.

Tentang penulis:

Debra Fileta adalah seorang pembicara, konselor di bidang relasi, dan juga penulis buku True Love Dates: Your Indispensable Guide to Finding the Love of Your Life, dan Choosing Marriage: Why It Has To Start With We > Me. Di dalam kedua buku itu, dia menulis tentang cinta, seks, pacaran, hubungan, dan juga pernikahan. Selain itu, Debra juga adalah penggagas situs True Love Dates yang menjangkau jutaan orang dengan pesan bahwa orang yang berbahagia dapat membuat relasi yang sehat.

Baca Juga:

3 Hal yang Perlu Ada dalam Sebuah Relasi

“Apa saja sih yang dibutuhkan untuk memiliki hubungan yang baik?

Percayalah, kunci sebuah hubungan yang baik tidak akan pernah ditemukan di film-film Hollywood, melainkan hanya dapat kita temukan melalui firman Tuhan.”

3 Hal yang Perlu Ada dalam Sebuah Relasi

Oleh Revy Halim, Jakarta

Apa saja sih yang dibutuhkan untuk memiliki hubungan yang baik?

Mungkin ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh kita di bulan Februari yang juga tanggal empat belasnya kita rayakan sebagai hari Valentine.

Sebelum aku mulai membahas jawaban dari pertanyaan tersebut, aku ingin mengingatkan bahwa jawaban yang akan kuberikan ini sangat berbeda dengan apa yang mungkin sering kita dengar. Percayalah, kunci sebuah hubungan yang baik tidak akan pernah ditemukan di film-film Hollywood, melainkan hanya dapat kita temukan melalui firman Tuhan.

1. Kasih. Mengasihi pasangan kita hanya bisa dimulai ketika kita mengenal Kasih yang sejati

“Tuhan adalah kasih”—ini adalah kalimat inti dari 1 Yohanes 4. Tuhan bukanlah sekadar penyalur kasih, pengajar kasih, atau pun sumber kasih—Tuhan adalah kasih itu sendiri. Maka, tidaklah mungkin bagi seseorang untuk sungguh-sungguh mengasihi orang lain dengan tidak bersyarat dan bertahan hingga akhir jika tanpa campur tangan Tuhan.

Jika kita melihat fenomena pernikahan masa kini, kita sering mendengar berita pasangan yang sudah menikah bercerai. Apakah itu terjadi karena banyak orang yang kasihnya hilang tiba-tiba di tengah jalan? Menurutku, bukan itu penyebabnya. Banyak orang tidak dapat sungguh-sungguh mengasihi pasangannya karena sejak awal mereka tidak sungguh-sungguh mengenal Tuhan. Ingatlah bahwa kita tidak dapat memberikan sesuatu yang awalnya tidak kita miliki. Jika dari awal kita tidak mengenal dan memliki kasih yang sesungguhnya (yaitu Tuhan itu sendiri), tentu kita tidak dapat mengalirkannya kepada orang lain.

Bangunlah hubungan yang baik terlebih dahulu dengan Tuhan melalui doa dan pembacaan firman-Nya. Semakin kita memiliki hubungan yang akrab dengan Tuhan, semakin kita mengenal kasih yang sesungguhnya dan kita pun mampu mengalirkannya kepada orang lain.

2. Komitmen. Bukan yang sempurna yang kita butuhkan, melainkan yang berkomitmen

Tidak ada satu pun orang yang sempurna. Siapa pun pasanganmu, pastilah ia memiliki kesalahan, kekurangan, dan perbedaan denganmu. Atau, bisa pula ia tidak benar-benar memenuhi ekspektasimu. Oleh karena itu, hubungan yang bertahan hingga akhir sebenarnya bukanlah hubungan antara dua orang sempurna, melainkan hubungan antar dua orang yang tidak sempurrna tetapi memilih untuk mengasihi.

Kasih yang sesungguhnya tidaklah ditentukan oleh performa orang yang dikasihi, melainkan ditentukan oleh komitmen orang yang mengasihi. Ketika dua orang menikah, janji yang sebenarnya bukanlah janji yang diucapkan semata karena suasana haru saat itu, melainkan sebuah janji untuk selalu bersama, setia, dan bertahan hingga akhir.

1 Yohanes 4:10 mengatakan, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anak-Nya sebagai pendamaian dosa-dosa kita.”

Kita bisa belajar dari Tuhan kita—Dia mengasihi bukan karena performa kita, melainkan karena Dia adalah kasih dan Dia mau mengasihi kita sebagaimana adanya. Meskipun kita tidak layak dikasihi, namun Tuhan tetap mau mengasihi kita, memberkati kita, dan menyelamatkan kita.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

3. Murah hati

Kasih itu tidak mementingkan diri sendiri dan kasih itu murah hati (1 Korintus 13:4). Kita semua tentu ingat Yohanes 3:16 yang mengatakan bahwa kasih Allah akan dunia ini begitu besar hingga Ia mengaruniakan Yesus supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa.

Tuhan menunjukkan kasih-Nya kepada kita dengan cara memberi. Lebih dari itu, Tuhan tidak memberikan pemberian yang ala kadarnya kepada kita, melainkan pemberian yang penuh pengorbanan. Ketika Tuhan berbicara kasih, Dia tidak hanya meneriakkannya dari Sorga, melainkan Tuhan sendiri turun dalam diri Yesus Kristus ke dunia dan menunjukkan kasih-Nya secara nyata kepada kita melalui pengorbanan di kayu salib.

Inilah kasih yang sesungguhnya, kasih yang murah hati, tidak mementingkan diri sendiri, dan mau berkorban.

Itulah ketiga hal penting yang harus kita pegang dalam hidup jika kita ingin memiliki relasi yang baik. Dunia mungkin mengatakan bahwa relasi yang baik harus ada kecantikan fisik, uang, atau hal lainnya. Namun, hendaknya kita hanya mengikuti apa yang firman Tuhan katakan pada kita.

Firman Tuhan adalah kunci untuk menemukan kehidupan yang sejati. Mari teman-teman, yuk kita menjadi orang-orang yang mau mengenal Tuhan, memiliki komitmen, dan bersikap murah hati.

Tuhan memberkati!

Baca Juga:

Mengevaluasi Kembali Masa Singleku

Aku belum pernah berpacaran seumur hidupku. Dan, aku pernah tergoda untuk mencoba berpacaran dengan seseorang supaya aku punya pengalaman. Namun, kupikir bukan itulah yang seharusnya kulakukan dalam masa singleku.

Mengevaluasi Kembali Masa Single

Oleh Shintya Tanggara, Surabaya

Usiaku 22 tahun. Aku masih single dan aku belum pernah berpacaran.

Menjadi wanita single ketika kamu berumur 17 tahun itu mudah. Kamu punya banyak teman single sepertimu dan yang kamu pedulikan mungkin hanya jurusan kuliah mana yang mau kamu pilih. Di usia awal-awal 20 tahun pun masih cukup mudah, namun rasanya sedikit lebih tidak nyaman dibandingkan saat usiamu 17 tahun, apalagi jika kamu belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang wanita single di usia 30 tahunan!

Orang-orang jadi lebih sering bertanya tentang status hubunganmu dan selalu kepo mencari tahu alasan mengapa kamu masih single. Keluarga dan saudaramu mulai memberimu nasihat secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana kamu bisa lebih bergaul dengan orang lain, atau bahkan supaya kamu menurunkan sedikit berat badanmu. Teman-temanmu mengatakan kalau standarmu terlalu tinggi dan kamu sebaiknya mempertimbangkan berpacaran dengan seseorang—siapapun—hanya untuk mendapatkan pengalaman. Adikmu cemas kalau-kalau kamu tidak akan pernah menikah dan hidup sendiri di sebuah apartemen kecil bersama seekor kucing dan anjing shitzu, dan pada akhirnya pindah ke panti jompo saat usiamu 72 tahun.

Satu nasihat yang seringkali muncul di setiap perbincangan tentang masa single adalah kamu tidak akan bahagia jika kamu tidak menikah. Aku tidak yakin bagaimana orang-orang bisa mendapatkan kesimpulan ini. Mungkin dari drama Korea atau dongeng-dongeng di mana “bahagia selamanya” hanya dapat terjadi ketika dua orang menikah, atau mungkin juga itu berasal dari nasihat bijak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak dipungkiri bahwa kita menyamakan pernikahan sebagai suatu hal yang selalu membawa kebahagiaan, bahwa kebahagiaan ditentukan dari kehadiran manusia lain yang bangun di sampingmu setiap pagi. Tidakkah kamu merasa hal ini tidak adil? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa menikah? Apakah itu berarti mereka tidak akan pernah bisa bahagia?

Ravi Zacharias berkata momen di mana kamu merasa paling kesepian adalah ketika kamu baru saja mengalami suatu hal yang awalnya kamu pikir dapat memberikanmu yang terbaik, namun nyatanya itu malah mengecewakanmu.

Kurasa salah satu alasan mengapa pernikahan bisa menjadi dingin dan perceraian seolah-olah jadi jalan keluar adalah karena kita mengharapkan sesuatu dari pernikahan yang bahkan tidak pernah ditawarkan oleh pernikahan itu sendiri. Kita membuat ekspektasi yang ilahi pada manusia biasa dan mengingkari perjanjian yang kita buat di depan altar sebagai respons atas kekecewaaan. Kurasa kita harusnya hanya mengharap sesuatu yang ilahi dari yang ilahi, dan mengharapkan hal-hal biasa dari manusia biasa.

Seseorang pernah memberitahuku bahwa semakin banyak kamu mencari uang, uang itu akan semakin menjauh darimu. Namun, jika kamu menekuni apa yang jadi kegemaranmu, uanglah yang akan mengikutimu. Kupikir hal ini mirip dengan kebahagiaan. Semakin kamu berusaha mencari kebahagiaan atau kesenangan, hal-hal itu akan menjauh darimu. Tapi, ketika kamu memfokuskan dirimu pada hal yang benar, kebahagiaan itu akan datang padamu. Kebahagiaanmu tidak boleh menjadi fokus hidupmu. Kebahagiaan seharusnya menjadi sesuatu yang mengikutimu ketika kamu memfokuskan diri pada hal yang benar. Itu sebabnya hidup yang paling menginspirasi adalah hidup yang didorong oleh tujuan, bukan kesenangan.
Satu hal yang telah kusadari—dan yang awalnya kusangkal—adalah pemikiran bahwa untuk mencapai tujuan itu kamu harus menyadari satu hal yang kini seringkali terabaikan dalam kehidupan bergereja: hidupmu bukanlah tentangmu. Ketika kita berdoa pada Tuhan untuk memberkati pekerjaan dan pernikahan kita, atau untuk menyembuhkan penyakit kita, atau ketika kita memberi persembahan dengan harapan mendapatkan berkat++ sebagai imbalan, kita sedang bekerja dengan pola pikir “Tuhan ada di hidupku untuk membuat hidupku lebih baik bagi diriku sendiri.”

Seringkali kita memperlakukan Tuhan sebagai pemain dalam tim kita untuk membantu kita memenangkan pertandingan kehidupan dibandingkan kita yang memposisikan diri sebagai pelayan-Nya. Hidupku seharusnya bukan tentang diriku atau kebahagiaanku. Injil bukanlah tentangku. Isi Injil adalah tentang Tuhan.

Pendetaku pernah mengatakan ini pada kebaktian Minggu kami, “Yesus tidak datang untuk membuat hidupmu lebih baik. Yesus datang untuk menunjukkan padamu bahwa Ia lebih baik dari hidup itu sendiri.”

Bagaimana aku bisa menggunakan hidup yang telah ditebus-Nya ini agar menjadi hidup yang tidak lagi berfokus tentangku? Bagaimana caranya aku bisa menggunakan hidupku untuk mengarahkan orang-orang lain pada-Nya? Tindakan apa yang akan paling memuliakan-Nya?

Tentang masa single-ku, jujur aku pernah tergoda pada tawaran untuk “mencoba berpacaran dengan seseorang hanya untuk setidaknya mendapatkan pengalaman”. Hal apa yang bisa merugikanku jika aku mencobanya? Jika aku membuat komitmen murahan yang aku tahu akan kuingkari hanya demi mendapatkan pengalaman tanpa mempertimbangkan perasaan dan komitmen pihak lainnya, hanya supaya aku tidak merasa tertinggal, supaya orang-orang tidak meremehkanku atau berpikir aku terlalu arogan untuk berpacaran, jika aku mengejar hubungan yang didasari oleh keuntunganku dibandingkan dengan memiliki hubungan Alkitabiah yang didasari oleh tujuan yang jelas. Jika aku melakukan semua ini, maka semuanya hanya akan menjadi usaha berpura-pura yang gagal. Berpura-pura merasa hidupku adalah tentang memuliakan Tuhan ketika pada kenyataannya aku sedang menggunakan Tuhan untuk menyenangkan diriku. Lalu kehidupanku hanya akan menjadi tentang diriku sendiri. Injil hanya akan menjadi tentang diriku.

Aku tidak ditebus supaya aku bisa berpacaran tanpa tujuan. Aku tidak ditebus supaya aku mendapatkan sekadar penerimaan dari orang-orang di sekitarku. Kristus mati untukku supaya di dalamku Ia bisa dimuliakan. Kristus mati untukku supaya aku bisa melihat bahwa Ia lebih baik daripada hidup itu sendiri. Itu adalah satu-satunya cara yang ingin kugunakan dalam kehidupanku, meskipun aku memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak menikah pun bisa bahagia. Mereka bisa hidup sendiri di sebuah apartemen dengan seekor kucing dan anjing shitzmu dan merasa bahagia. Mereka bisa ke panti jompo pada usia 72 tahun dan merasa bahagia. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada diri kita sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan datang melalui pengetahuan bahwa kita telah menggunakan seluruh kehidupan kita, dengan segala keterbatasannya, untuk menunjukkan orang-orang pada kemuliaan Allah yang menyelamatkan kita.

Dan kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menerima penerimaan terbesar yang tidak dapat kita temukan di dunia. Kita akan menerimanya ketika waktu kita telah habis, dan kita kembali bertemu Pencipta kita muka dengan muka. Tuhan akan melihat kita dengan senyuman dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).

On Christ the solid rock I stand,
All other ground is sinking sand.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

“Kapan punya pacar? Masih jomblo aja nih?” Pertanyaan itu mungkin terdengar biasa, tapi bisa membuat kita risih jika terus menerus ditanyakan. Inilah 5 tips yang bisa kamu lakukan saat kamu mendapatkan pertanyaan seperti itu.

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

“Sudah tahun baru 2019 tapi masih jomblo aja nih?”

“Kapan punya pacar?”

“Eh, teman SMP kamu anaknya sudah dua loh. Kamu kapan nyusul?”

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang sering aku terima ketika liburan panjang beberapa minggu lalu. Tahun yang baru masih dengan status yang sama, single. Bagi seorang wanita yang sudah lama hidup single, aku bisa ikut tertawa ketika teman-temanku bercanda tentang masa single-ku. Namun, tetap saja, terkadang aku merasa risih mendengarnya.

Beberapa waktu lalu, ada pesan masuk di akun Instagramku. Seorang gadis yang duduk di semester akhir di suatu universitas bercerita bahwa dia selalu sedih ketika orang-orang yang dia anggap sahabat menyindir kondisinya yang masih belum memiliki pacar. Katanya, ada rasa tidak nyaman ketika sahabat-sahabatnya mulai membicarakan tentang pacaran mereka. Ditambah dengan sindiran-sindiran, si gadis ini pun merasa bahwa mereka telah menyakiti hatinya.

Aku sepenuhnya setuju bahwa sukacita yang sejati tidak datang dari memiliki pasangan hidup, tetapi dari hubungan yang intim dengan Tuhan. Bahwa satu-satunya pribadi yang bisa membuat kita utuh adalah Tuhan saja. Tidak masalah bagiku menunggu waktunya Tuhan untuk mempertemukanku dengan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku kelak. Aku percaya Tuhan akan memenuhi segala kebutuhanku. Namun, pada kenyataannya, masa single tidak selalu mudah, bukan? Seperti kisah seorang gadis yang mengirimiku pesan di Instagram tadi, komentar dan pertanyaan orang-orang di sekitar dapat membuat kita yang masih single merasa tersisihkan.

Melalui pengalamanku, aku tergerak untuk membagikan tips bagaimana aku bisa menghadapi setiap komentar dan pertanyaan yang seringkali menyindir status hubunganku.

1. Jujurlah kepada Tuhan tentang apa yang kamu rasakan

Apa yang kita rasakan ketika ditanya: kenapa masih single? Mungkin ada beberapa dari kita yang tidak mengambil pusing pertanyaan tersebut dan dengan percaya diri menyampaikan kepada mereka alasannya. Tapi, mungkin ada pula sebagian dari kita yang merasa sedih, tertekan, atau bahkan marah. Namun, tidak masalah jika kita merasakan itu semua.

Aku ingat kisah tentang seorang yang sakit di dekat kolam Betesda (Yohanes 5:1-8). Ada seorang yang sakit selama 38 tahun dan mengharapkan kesembuhan. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh hingga suatu ketika ia dijumpai oleh Yesus. “Maukah engkau sembuh?” (ayat 6) tanya Yesus kepadanya. Orang sakit itu merespons dengan bercerita segala usahanya yang gagal untuk masuk ke dalam kolam itu. Alkitab mencatat akhir dari kisah ini adalah orang itu mengangkat tilamnya dan sembuh.

Sometimes it’s okay not to be okay. Ketika kita terluka karena perkataan atau sikap orang lain, aku percaya bahwa Tuhan pun bertanya pertanyaan yang sama kepada kita, “Maukah engkau sembuh?” Namun, menjadi persoalan di sini adalah apakah kita bersedia jujur pada Tuhan atau tidak? Seperti orang sakit di tepi kolam Betesda tadi yang berkata jujur hingga ia pun disembuhkan, kita pun dapat mengakui dengan jujur isi hati kita kepada Tuhan. Jujur terhadap apa yang kita rasakan menolong kita untuk menghadapi kesedihan.

Mengakui perasaanku kepada diriku sendiri dan Tuhan dalam doa menolongku untuk pulih dari rasa sedih dan kecewa ketika aku disakiti oleh perkataan orang lain.

2. Berkatilah mereka yang menyinggung perasaanmu

“Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Roma 12:14).

Bukannya sedang melebih-lebihkan, meskipun sindiran atau pertanyaan tentang masa single tidak melukai kita secara fisik, tetapi itu bisa membuat kita merasa tertekan dan melukai hati. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengingat teladan yang telah Yesus lakukan saat Ia dianiaya. “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Melepaskan pengampunan dan memberkati mereka yang menyakiti kita adalah cara yang baik untuk pulih dari rasa sakit hati. Kita pun dapat mendoakan apa yang menjadi pergumulan mereka. Ini memang tidak mudah, tetapi inilah teladan Yesus.

3. Bangunlah hubungan yang intim dengan Tuhan melalui firman-Nya

Kita bukanlah apa yang orang katakan tentang kita. Jika orang-orang menilai kita berdasarkan status hubungan kita, tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan memandang kita berharga sebagaimana adanya kita. Allah mengasihi kita sebagai seorang pribadi.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”

Itulah yang firman Tuhan katakan dalam Yesaya 43:4. Dari pembacaan firman Tuhan, kita mengetahui betapa besar kasih Allah bagi kita. Melalui pembacaan firman Tuhan jugalah kita diteguhkan oleh janji-Nya. Bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3:11).

Ketika aku memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, aku dapat menghadapi segala tantangan hidup dengan bersukacita, karena aku tahu bahwa Tuhan beserta. Cinta Tuhan melalui firman-Nya membuatku mengerti bagaimana cinta sejati sebenarnya. Kita perlu mengubah standar cinta yang disuguhkan dunia menjadi standar yang Tuhan berikan melalui persekutuan dengan-Nya.

4. Isilah waktumu untuk mengembangkan diri

Daripada terlalu sibuk memikirkan komentar orang lain yang tak kunjung selesai tentang status hubungan kita, lebih baik kita mengisi waktu untuk mengembangkan diri. Bukan mengembangkan bada ke kanan dan ke kiri alias menggendut ya! Hehehe. Tapi kita mau mengembangkan apa yang menjadi bakat atau talenta kita. Meraih mimpi yang kita cita-citakan, kita bisa mulai menyusun rencana dan melakukannya setahap demi setahap. Dan, terlibat di dalam komunitas yang membangun juga menolong kita mengarahkan hidup ke arah yang lebih baik.

Aku menikmati masa single-ku dengan berfokus kepada impianku untuk melayani anak-anak muda dan melakukan multiplikasi di dalam pelayanan pemuridan. Aku juga bergabung di dalam komunitas menulis yang mengajarkanku banyak hal. Ketika kita memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, masa single dapat kita lalui dengan menyenangkan.

5. Bersyukurlah!

Bersyukur ketika segala sesuatunya baik-baik saja itu perkara yang mudah. Tapi bagaimana jika beryukur ketika segala sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan? Sangat tidak mudah. Namun, Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam segala hal.

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Aku bersyukur atas masa lajang yang Tuhan izinkan untuk kujalani selama delapan tahun terakhir. AKu bersyukur ketika teman-temanku mulai menemukan pasangan hidup mereka dan akhirnya menikah. Aku bersyukur untuk setiap pertanyaan dan komentar yang orang lain ajukan kepadaku terkait status hubunganku. Aku bersyukur karena aku yakin bahwa Tuhan tahu benar apa yang sedang Dia lakukan untukku.

Maka, alih-alih bertanya tentang siapa yang kelak jadi pasangan hidupku, aku lebih memilih bertanya demikian pada-Nya: “Tuhan, apa yang Engkau inginkan untuk aku pelajari selama masa single ini, Tuhan? Apa yang Engkau ingin aku lakukan?”

Tuhan menjawab pertanyaan itu dengan membukakan ladang pelayanan untuk kulakukan. Dan, ketika aku fokus melayani-Nya, pertanyaan dan sikap orang lain tidak begitu penting lagi buatku. Yang terpenting adalah aku tidak pernah sendirian di setiap musim hidupku, ada Allah yang menyertaiku.

Baca Juga:

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Namun, itu bukanlah akhir dari segalanya.