4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Oleh Hilary Charlet, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways To Navigate A Painful Break-up

Patah hati. Air mata. Hubungan yang tak pernah kamu pikirkan untuk berakhir pun kandas.

Apakah kamu masih ingat momen itu? Saat-saat di mana hatimu seolah pecah berkeping-keping? Tempat di mana hubunganmu itu berakhir? Jamnya? Cuacanya?

Rasanya lucu apabila kita masih bisa mengingat dengan amat jelas peristiwa itu.

Sebelum hubunganku kandas, aku sedang duduk di dalam mobil menanti ibuku yang sedang membeli kopi. Cuaca di luar sedang berawan, momen yang sempurna untuk menikmati kopi di tempat favoritku. Saat aku tengah menunggu, pacarku bertanya apakah dia bisa meneleponku. Aku baru saja berdiam di rumah selama lima jam setelah meluangkan akhir pekanku bersamanya. Aku tidak berpikir ada masalah apapun. Sampai akhirnya suara di ujung telepon berkata, “Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini,” katanya.

Tunggu. Apa?

Sepuluh menit lalu aku dalam keadaan yang baik-baik saja saat aku berbicara dengan ibuku. Namun ketika ibuku akhirnya datang, pikiranku kacau balau. Sikapku yang mendadak berubah membuatnya heran. Waw, seperti kejutan! Aku baru saja putus dari suatu hubungan yang kupikir tidak akan berakhir.

Putus dan patah hati bisa jadi hal sulit. Itu bisa mengacaukan. Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Aku tahu. Aku pernah mengalami itu. Hatimu pun terasa kosong.

Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, aku mendapatkan penghiburan dari Yeremia 31:4. Tuhan memberi tahu bangsa Israel, “Aku akan membangun engkau kembali, sehingga engkau dibangun, hai anak dara Israel!” Tuhan berjanji untuk membangun kembali Israel, memberinya petunjuk, harapan, damai, dan kasih. Aku percaya Tuhan pun akan memulihkanku. Meskipun aku merasa hancur dan kosong, Tuhan mampu mengisi kehampaan dalam ruang hatiku. Meskipun kepingan-kepingan hatiku berserakan di atas lantai, Tuhan dapat menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang luar biasa. Aku tahu hal itu karena aku sudah pernah mengalaminya.

Namun, untuk menjadi pulih diperlukan waktu. Pemulihan tidak terjadi dalam semalam. Bagaimana caramu mengumpulkan kekuatan untuk menerima kenyataan dan melangkah maju setelahnya? Inilah empat hal yang menolongku:

1. Ketahuilah dirimu berharga

Kita diciptakan secara dahsyat dan ajaib. Tuhan menciptakan kita seturut gambaran-Nya, untuk suatu tujuan yang baik (Efesus 2:10). Meskipun orang-orang di sekitar kita mungkin tidak menghargai kita, kita tahu bahwa kita telah dibeli oleh darah Kristus. Adakah penghiburan lain yang lebih besar daripada mengetahui bahwa kita amat dicintai oleh Tuhan?

2. Nikmatilah sejenak kesendirianmu

Kamu tidak selalu harus meminta seseorang pergi menemanimu agar kamu bahagia. Luangkanlah waktu bersama dirimu sendiri, untuk lebih mengenal dirimu. Pergi jalan-jalan, minum kopi, membaca, menulis jurnal. Temukan apa yang menyemangatimu dan lakukanlah lebih dari tu.

Ada hal baik yang bisa kamu petik di masa-masa ketika kamu tidak terikat kepada seorang pun. Kamu memiliki waktu istimewa untuk bertumbuh sebagai seorang individu, dan yang paling penting adalah kamu juga bertumbuh dalam relasimu bersama Kristus. Mungkin akan ada waktu ketika kamu merasa kesepian dan rindu akan hubunganmu yang semula. Tapi ingatlah, Tuhan selalu ada, dan Dia dapat mengisi ruang hampa di hatimu dengan kasih yang jauh lebih besar dari kasih mana pun di dunia ini.

3. Lingkupilah dirimu dengan orang-orang yang benar

Ada pepatah yang berkata bahwa dengan siapa kita bergaul itulah yang menentukan diri kita. Apakah kamu bergaul dengan orang yang akan menanyakanmu pertanyaan yang benar, menyemangatimu dalam perjalananmu, dan mendukungmu saat kamu berjalan di jalan ini? Teman yang baik perlu tahu bagaimana bersenang-bersenang bersama (jalan-jalan, main game, dsb). Tapi, mereka pun perlu tahu bagaimana untuk saling mendukung satu sama lain agar bertumbuh. Pastikan kamu memperhatikan pergaulanmu dan bagaimana itu mempengaruhi hidupmu.

4. Ampuni dan carilah pengampunan

Apabila seseorang menyakitimu, membohongimu, ataupun mencurangimu, janganlah terlalu ambil pusing. Kamu diciptakan dahsyat dan ajaib. Tuhan punya sesuatu yang indah buatmu, tapi kamu tidak bisa melihat itu kalau kamu berfokus pada hal-hal buruk melulu. Jika kamu telah disakiti, mintalah kekuatan kepada Tuhan agar kamu bisa mengampuni dan move on.

Di sisi sebaliknya, bagaimana jika aku yang salah? Bagaimana jika aku berbohong, aku menyakiti orang lain yang sangat peduli kepadaku? Berdoalah dan memohon pengampunan dari Tuhan. Jika memungkinkan, meminta maaflah kepada orang yang telah kamu sakiti.

Patah hati itu sakit. Dan pemulihan membutuhkan waktu. Aku bahkan tidak akan mengatakan kepadamu berapa lama aku berproses sampai akhirnya aku dapat move-on karena kupikir prosesku itu terlalu lama. Namun, di balik proses pemulihan yang panjang itu, kita tahu bahwa Tuhan senantiasa membaharui kita hari demi hari (2 Korintus 4:16). Tuhan ada di sini. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan mengisi ruang di hati kita yang hanya mampu diisi oleh kasih-Nya yang tak bersyarat dan tak pernah berakhir.

Kasih Tuhan bagi kita itu jauh lebih baik daripada yang bisa kita bayangkan. Dia berjalan bersama kita seiring kita berproses untuk pulih. Kasih-Nya memenuhi kita, entah kita hidup sendiri atau menikah. Bersandar pada kasih, damai, dan jaminan-Nya itu jauh lebih indah daripada segala imajinasi yang digambarkan dalam film-film.

Pasca patah hati, aku juga bergumul dengan rasa sakit, kekhawatiran, dan ketidakpercayan. Namun, Tuhan juga mengajariku untuk bersandar dan bergantung kepada-Nya secara penuh. Tuhan berjanji bahwa Dia itu baik dan Dia bekerja di balik segala sesuatu untuk kebaikanku, terlepas dari bagaimana kacaunya keadaan yang kualami dulu (Roma 8:28).

Jika kamu pernah mengalami atau mungkin sedang patah hati, aku berdoa kiranya penghiburan dan pemulihan Tuhan hadir dalam hidupmu. Aku tahu hari-harimu menjadi sulit, tapi Tuhan ada bersamamu. Aku berdoa, sama seperti, kiranya peristiwa ini dapat mengajarimu untuk mengalami betapa kita dicinta oleh Tuhan, yang mati lalu bangkit agar kita dapat hidup. Dan, itulah kasih yang tak dapat tergantikan.

Baca Juga:

Ketika Orang Tuaku Tidak Menyetujui Hubungan Kami

Satu tahun lalu, aku dan pacarku memutuskan untuk menjalin relasi pacaran. Namun, perjalanan hubungan kami di masa-masa awal tidaklah mudah. Kedua orang tuaku menolak pacarku karena dia berasal dari suku yang berbeda dengan keluargaku.

Ketika Orang Tuaku Tidak Menyetujui Hubungan Kami

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Satu tahun lalu, aku dan pacarku memutuskan untuk menjalin relasi pacaran. Namun, perjalanan hubungan kami di masa-masa awal tidaklah mudah. Kedua orang tuaku menolak pacarku karena dia berasal dari suku yang berbeda dengan keluargaku.

Bagi orang tuaku, juga mungkin bagi banyak orang tua lainnya, melihat anaknya mendapatkan pasangan yang satu suku adalah hal yang diinginkan, atau bahkan didamba-dambakan. Bagi mereka, jika anaknya berpasangan dengan yang tidak satu suku, pasti terasa ada yang kurang. Bahkan, ada pula yang tidak mengizinkannya sama sekali.

Sebagai anak, aku belajar mengerti keinginan orang tuaku. Memiliki pasangan yang satu suku memang baik. Jika sedang kumpul keluarga tidaklah sulit untuk akrab karena sudah tahu bagaimana cara beradat dan berbahasa. Namun, apakah pasangan hidupku harus selalu satu suku? Apakah ini yang memang Tuhan Yesus ajarkan atau hanyalah stereotip belaka? Dua pertanyaan yang mungkin sulit untuk dijawab.

Namun, saat aku mencari tahu dari Alkitab, Tuhan Allah berfirman dalam Kejadian 2:18, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Apakah kata sepadan di sini berarti dia yang berasal dari satu suku? Berdasarkan terjemahan Alkitab versi New English Translation, kata “sepadan” di sini merujuk kepada kesesuaian atau cocok. Lebih rinci lagi, sepadan adalah pasangan yang saling mengisi dan bertumbuh untuk memenuhi tujuan Allah dalam pernikahan. Di sini terlihat jelas bahwa sepadan tidaklah mutlak harus satu suku.

Sebagai seseorang yang pernah bergumul dengan hal ini, aku ingin membagikan pesan untuk teman-teman, terkhusus apabila kamu juga mengalami pergumulan sepertiku.

1. Serahkanlah hubungan kalian kepada Tuhan melalui doa. Lebih dalam lagi, terus doakan hati keluarga yang menolak pasanganmu.

2. Cobalah jelaskan dan buka pola pikir keluargamu bahwasannya pasangan satu suku itu tidak menjamin segalanya. Jaminan utama adalah kedekatan pasangan kita kepada Sang Pencipta serta karakter yang dimilikinya. Karena pada dasarnya “Allah melihat apa yang ada di kedalaman hati sebagai ukuran sejati diri kita” (dikutip dari buku The End of Me, Kyle Idleman). Selain itu, menikah bukan saja tentang bagaimana bisa membahagiakan keluarga secara kasat mata, tapi lebih dari itu adalah tentang bagaimana kamu dan pasanganmu bisa melakukan visi Allah dalam keluargamu nantinya. Dan, hal yang sifatnya esensial ini tidak dibatasi oleh perbedaan suku semata. Lebih lagi, ceritakan juga apa saja kelebihan yang dimiliki pasanganmu, di mana kelebihan itu tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Serta, bukakan juga keuntungan jikalau kita memiliki pasangan yang berbeda suku, seperti halnya keluarga akan jadi lebih indah karena ada keberagaman suku di dalamnya.

3. Ajaklah pasanganmu itu ke rumah. Izinkanlah keluarga menilai sendiri kepribadian pasanganmu tersebut. Memang ini kelihatannya tidak manjur, apalagi jika keluargamu memilki “trauma” tersendiri terhadap kasus perbedaan suku sebelumnya. Namun, lagi-lagi tidak ada yang sia-sia selagi kita mau berusaha.

4. Jika langkah 1-3 belum juga membuat keluargamu “luluh”, buatlah strategi di mana keluargamu bisa secara nyata “hidup” bersama dengan pasanganmu. Pengalamanku sebelumnya, aku mengajak bapak dan ibuku untuk menjemputku secara langsung ke negara di mana aku menempuh pendidikanku. Walau aku bisa saja menginapkan bapak ibuku di penginapan, namun aku tidak mau. Aku membiarkan bapakku untuk mengalami hidup bersama pasanganku di asramanya, dan ibuku di asramaku. Pasanganku pun menyetujui pemikiranku itu. Walau ada beberapa temanku yang tidak setuju, namun aku terus menyakini bahwa Tuhan pasti menyertai setiap niat baik.

* * *

Dua hari pertama, bapakku masih belum “luluh”. Namun, puji Tuhan di hari ketiga sampai hari terakhir bapakku berada di sana, akhirnya beliau pun mulai “luluh”. Lebih dari itu, bapakku yang awalnya adalah orang yang paling menentang hubunganku pun akhirnya bersedia dipotong rambutnya oleh pasanganku. Itu terjadi di luar ekspektasiku. Bapakku yang memiliki kebiasaan memotong rambut sendiri, tiba-tiba ingat akan ceritaku sebelumnya bahwa pasanganku punya keterampilan memotong rambut. Bahkan, uang tambahannya di negeri perantauan pun dihasilkannya dari keterampilan tersebut. Sampai akhirnya, bapakku pun menyatakan pujiannya kepada pasanganku dan mengakui bahwa dia adalah seorang yang hebat. Itu semua dapat terjadi karena ada beberapa hal lain yang bapakku telah saksikan dan rasakan secara nyata selama mereka tinggal bersama.

Aku sangat bersyukur akan hal tersebut. Aku percaya ini boleh terjadi bukan karena pandainya aku membuat strategi, namun ini terjadi karena hebatnya Tuhan yang memberiku hikmat. Walau aku tak tahu bagaimana hubungan kami ke depannya, tapi kami berkomitmen untuk menyerahkan selalu hubungan ini kepada Tuhan. Satu firman Tuhan yang membuatku terkesan adalah, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Roma 8:31). Inilah yang membuat aku dan pasanganku dapat melangkah dengan tegap. Kalau memang Tuhan berkehendak pasti Dia akan menyertai hubungan kami sampai waktu yang telah Dia tentukan untuk kami bisa hidup bersama selamanya.

Satu bagian dasar terpenting ialah pergumulan kita dengan pasangan kita untuk selalu mencari kehendak Tuhan. Bila semakin yakin akan kehendak Tuhan, maka kita berjuang untuk penerimaan orang tua akan perbedaan suku tersebut. Kiranya ini bisa menjadi semangat dan langkah praktis untukmu yang memiliki pergumulan sama denganku.

Tuhan memberkati kita.

Baca Juga:

4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Meski aku tahu bahwa Tuhan mengasihiku, setiap hari aku bergumul untuk menempatkan-Nya di posisi pertama di hidupku. Dan, dari pengalaman inilah aku ingin membagikan empat hal kepadamu.

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hurtful Words I Needed to Hear

Setiap Rabu, aku bertemu dengan pemimpin kelompokku dan rekan kerjaku, sebut saja namanya Abigail untuk persekutuan sambil makan siang bersama. Walaupun kami cuma bertiga, kami percaya apa yang Yesus katakan dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Dua minggu sebelumnya, pemimpin kelompok kami sakit dan dia tidak dapat hadir di pertemuan rutin kami bertiga. Dalam hatiku, aku tidak ingin bertemu Abigail kalau cuma berdua saja. Menurutku dia adalah seorang yang tidak mau mengalah dan egois. Namun, Abigail ingin agar kami tetap bertemu di hari Rabu, maka aku pun menurut.

Hari itu Abigail membawa makanan dari rumahnya, lalu menghangatkannnya di dapur kantor sebelum persekutuan. Ketika dia sedang ada di dapur, seorang rekan kerjaku yang lain, Jacqueline menghampiriku dan bertanya apakah aku mau ikut makan siang bersama teman-teman yang lain? Kujawab kalau aku akan persekutuan sambil makan siang dengan Abigail. Lalu Jacqueline membalasku, “Lebih baik kamu ikut makan siang sama kami saja. Tidak perlu persekutuan, kan pemimpin kelompokmu sedang sakit. Lagipula, kamu dengan Abigail kan tidak begitu akur dan kamu sering mengeluh tentang dia. Lebih baik makan siang dengan kami, belajar tentang tuhan-tuhan yang lain.”

Seperti pisau, kata-kata itu menyayatku. Namun, di sisi lain, aku tahu persis mengapa Jacqueline mengatakan hal itu. Beberapa minggu sebelumnya, aku terus mengeluh tentang Abigail di belakangnya, menceritakan kepada orang-orang tentang sikapnya yang egois dan kurangnya rasa solidaritas dalam dirinya. Perkataan Jacqueline itu membuatku merasa jadi seorang yang gagal. Aku mengakui diri sebagai pengikut Kristus, tapi aku mengalah pada kedaginganku dan mengabaikan Roh Kudus.

Beberapa hari kemudian, aku membaca Yohanes 13:34-35: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Ayat itu sangat mengena, dan aku mengingat kembali peristiwa dahulu. Aku tahu Tuhan sedang menggunakan ayat itu untuk berbicara kepadaku.

Aku perlu mengasihi dan menerima Abigail, tidak hanya dari luarnya saja, tapi seluruhnya. Aku harus berhenti berpura-pura baik kepadanya dan membicarakannya di belakang. Jika aku terus melakukannya, maka antara iman dan tindakanku tidaklah sejalan, dan bagaimana mungkin orang lain dapat melihatku sebagai murid Kristus?

Aku harus berubah. Alih-alih membicarakan kejelekan Abigail di belakangnya, aku perlu mengucapkan kata-kata berkat yang mencerminkan Kristus. Aku perlu melawan kedaginganku dan mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja dalamku supaya aku bisa menghasilkan buah-buah kasih, kemurahan hati, dan pengendalian diri.

Hari itu aku memohon ampun kepada Tuhan dan berhenti mengeluh. Aku mengingat akan betapa baik dan sabarnya Tuhan padaku sejak dahulu, bagaimana Tuhan tidak menyerah terhadapku meskipun aku begitu egois dan jahat (Roma 8:1). Saat bertemu dengan pemimpin kelompokku, aku menceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu mengatur waktu untuk aku dan Abigail bertemu bersama dan menyelesaikan masalah ini.

Ketika Abigail tahu, awalnya dia marah padaku. Dia merasa aku salah mengerti tentang dirinya dan dia bilang kalau dia tidak dapat mempercayaiku lagi. Selama beberapa hari setelah itu kami tidak saling mengobrol. Melihat respons kami yang seperti itu, pemimpin kelompok kami pun khawatir. Dia mengajak kami bicara satu-satu secara terpisah dan puji Tuhan, pada akhirnya kami berdua mencapai pemahaman yang sama.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa aku pernah jadi seorang yang terlalu cepat menghakimi dan menyalahkan. Sekarang, aku mulai menyadari bahwa Abigail adalah teman yang baik. Dia tidak memelihara segala keluh kesahnya dan tidak menyimpan rasa marah untuk waktu yang lama. Sikapnya terhadap kami semua berubah, dia jadi orang yang suka menolong.

Menyalahkan dan mengeluh tentang orang lain telah menghalangiku dari anugerah Tuhan dan melihat sisi yang baik dari Abigail. Puji Tuhan aku telah diubahkan-Nya. Sekarang aku bersyukur bahwa aku dan Abigail telah lebih mengenal satu sama lain melalui pengalaman ini, dan sekarang kami bisa saling mengasihi adalah karena anugerah Kristus. Kami adalah saudara dalam Kristus, kami memiliki Bapa yang sama, dan kami pun memiliki rumah kekal yang sama.

Baca Juga:

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempatku Berproses

Aku baru bekerja selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang bekerja di sini. Namun, ketika pekerjaan itu rupanya tidak seperti yang kubayangkan, aku pun begitu kecewa dan terpuruk.

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Setiap kita tentu memiliki impian. Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Saat merenungkan pertanyaan itu, aku teringat akan suatu peristiwa. Pertengahan tahun 2017 lalu, aku diundang untuk membawakan training menulis di kota Solo untuk pelayanan renungan di gerejaku. Di hari keberangkatan, aku telah siap lama sebelum jam keberangkatan pesawat. Aku memesan taksi online dan seperti biasanya aku menginfokan alamat rumahku dan patokannya via chat.

Namun, sepuluh menit, lima belas menit berlalu tanpa respons. Saat aku menelepon pengemudinya, ia menjawabku dengan nada malas. Katanya ia masih makan dan ia memintaku cancel saja jika aku tidak mau menunggu. Aku mengiyakan. Lalu, kupesan kembali taksi online. Tapi, tidak ada satu pun pengemudi yang mau mengambil orderku. Kucoba gunakkan aplikasi lain, hasilnya pun sama. Barulah setengah jam kemudian akhirnya ada pengemudi yang bersedia menjemputku.

Tapi, baru saja aku merasa lega, di jalan raya kami dihadang oleh kemacetan. Padahal sebelumnya di Google Maps tidak terdeteksi ada kemacetan di situ. Dalam kepalaku langsung terbayang skenario terburuk: ketinggalan pesawat.

Sementara mobil terus melaju bagaikan siput, sisa waktuku semakin habis. Saat kami sampai di dekat jalan tol menuju bandara, mobil kami terhadang macet parah. Tiba-tiba pengemudi mengusulkan untuk mengambil jalan tikus, alias jalan lain saja.

Di jalur yang baru, mobil kami bisa melaju lebih lancar. Tapi, bukannya mendekati bandara, aku merasa mobil ini malah semakin menjauhinya. Aku cemas, tapi tidak berani berkomentar karena takut menyinggung pengemudi yang sudah berusaha mencari jalan lain.

Saat tiba di bandara, waktuku hanya tinggal 15 menit lagi. Di loket check-in, petugas yang melayaniku memintaku menunggu. Ia lalu memanggil pria yang berada di sampingnya. Tampaknya pria itu atasannya. Sambil menyebutkan tujuan dan nomor penerbanganku, petugas itu bertanya, “Bagaimana, Pak?”

Pertanyaan itu singkat, tetapi aku mengerti maksudnya. Apakah aku masih diizinkan masuk?

Puji Tuhan. Mereka mengizinkanku masuk ke pesawat. Petugas itu lalu memberiku boarding pass dan tersenyum sambil berkata, “Mbak harus lari ya. Pesawatnya sudah last-call.”

Aku berlari sekuat tenaga. Tapi, tas di pundakku tiba-tiba merosot. Aku berusaha memperbaiki posisinya, tapi aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Sakit? Iya. Malu? Sudah pasti. Namun, secepatnya aku kembali berdiri dan berlari.

Ketika tiba di gerbang tujuanku, aku melihat antrean penumpang sudah terbentuk. Aku segera bergabung dan berjalan masuk ke dalam pesawat. Saat itu aku baru sadar kalau di boarding pass tertera nomor 1A, itu adalah tempat duduk paling depan. Begitu masuk pesawat, aku langsung duduk dan memberi kabar kepada orang tuaku serta pengerja gereja yang nanti akan menjemputku di Solo. Aku masih sempat bertukar kabar, bahkan bercanda dengan beberapa temanku di chat. Hingga kemudian aku tersadar, meski aku sudah duduk lumayan lama, ternyata masih banyak orang yang mengantre untuk masuk ke dalam pesawat. Orang-orang yang duduk di belakang harus menunggu sampai orang-orang di depannya selesai memasukkan barang ke bagasi kabin di atas tempat duduk.

Aku pun menyadari bahwa di balik tempat dudukku yang kurasa spesial ini, ada penyertaan Tuhan yang menyertai perjalananku.

Aku hampir saja tertinggal pesawat hingga aku begitu cemas dan hampir putus asa. Tapi, Tuhan menyediakan tempat duduk yang istimewa buatku. Keistimewaan itu semakin terasa ketika ternyata tidak ada penumpang lain yang duduk di deretan kursi nomor 1.

Saat itu aku merasa Tuhan seperti berbicara ke dalam hatiku. Tuhan tahu semua usaha keras dan keputusasaanku. Dia tahu perjuangan yang sudah kulakukan. Dan, ketika ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam perjalananku, Tuhan bukannya sedang tidak peduli kepadaku. Aku percaya, di balik semua hambatan tersebut, Tuhan sedang merenda kebaikan untukku.

Peristiwa nyaris ketinggalan pesawat tersebut membuatku memahami bahwa kehidupan ini tidak selalu berjalan seturut dengan rencanaku. Namun, itu bukanlah alasan untukku berputus asa. Aku harus terus berjuang hingga akhir. Meski aku harus berlari dan terjatuh, meski orang-orang mungkin mempertanyakan apa yang kulakukan, namun selama aku fokus pada tujuanku, selama aku tidak menyerah dan tetap percaya, Tuhan akan membukakan pintu-pintu yang seolah tertutup. Tuhan akan menyediakan tempat yang istimewa buatku.

Sahabatku, aku tidak tahu bagaimana dengan perjalanan hidup yang kamu sedang lalui. Namun, kiranya sekelumit pengalamanku ini boleh menolongmu untuk percaya dan menyerahkan hidupmu kepada Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengarahkan langkah-langkah hidupmu. Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5).

Baca Juga:

Belajar untuk Tidak Khawatir

Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depanku. Namun, melalui pertemuanku dengan Glen, aku diajar oleh Tuhan untuk tidak khawatir akan apa yang kelak kan terjadi di depanku.

Belajar untuk Tidak Khawatir

Oleh Priscila Stevanni, Jakarta

Seandainya jalan hidup manusia berlapis karpet merah, tentu kita tidak akan pernah ragu, khawatir, atau bahkan takut menghadapi masa depan.

Pernahkah kamu membayangkan jadi seseorang yang mendapatkan kesempatan istimewa untuk berjalan di atas karpet merah? Karpet merah membuat langkah kita terasa aman dan nyaman karena ia melapisi semua kerikil yang mengganggu jalan kita. Tapi, sayangnya, kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berjalan di atas karpet merah tersebut. Kehidupan kita lebih sering dipenuhi oleh jalanan yang berbatu, berlubang, tidak lurus, bahkan tertutup kabut hingga kita tak dapat melihat apa yang ada di depan.

Momen awal tahun mungkin membuat kekhawatiran kita semakin terpampang jelas. Apa yang akan terjadi di tahun ini? Apakah kita akan gagal lagi? Mampukah kita menghadapi tahun ini beserta gelombang-gelombangnya yang bersambut?

Setiap Kamis pagi, di rumah sakit tempatku menjalani internship, selalu diadakan kebaktian yang boleh diikuti oleh semua karyawan dan pasien yang berobat di sana. Pagi itu, di tengah perjalanan menuju ruang kebaktian, aku bertemu dengan seorang anak yang duduk di atas kursi roda. Aku mengenalnya sebagai salah satu pasien di sini. Sebut saja namanya Glen. Glen berusia delapan tahun dan ia menderita leukemia. Ia merupakan pasien ‘langganan’ yang sering masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Selama dua bulan aku sudah beberapa kali melihatnya dirawat.

Kemoterapi yang dijalani Glen tidak selalu berjalan lancar. Ia berkali-kali mengalami reaksi alergi; berulang kali harus ditransfusi; dan berulang kali harus menunda kemoterapi hingga kondisi tubuhnya cukup stabil untuk menerima obat. Kondisi Glen dapat berubah dengan cepat. Ia bisa tiba-tiba sesak dan demam di tengah kemoterapinya, nyeri perut hebat, hingga menggigil semalaman.

Aku pernah bertemu dengan Glen di bangsal. Saat aku memeriksa dan menanyakan keadaannya, aku melihat bahwa Glen adalah anak yang berani. Ia tidak mengeluhkan sakit yang dirasakannya. Pernah suatu ketika, ia harus menjalani transfusi darah berkantong-kantong, namun ia masih bisa menghibur ibunya yang menemaninya.

Perjumpaanku dengan Glen dan melihatnya hadir di kebaktian pagi itu membuatku merasa ditegur. Di tengah ketidakpastian hidupnya, Glen tetap datang kepada Tuhan. Glen mungkin tidak tahu apa yang ia akan hadapi di masa depan. Kondisinya bisa saja membaik, namun bisa juga memburuk tiba-tiba. Tapi, yang kutahu adalah Glen, si pejuang kecil ini tidak pernah menyerah. Di tengah ketidakpastian akan hari esok, ia berserah kepada Bapa.

Aku berkaca pada diriku sendiri, betapa aku perlu belajar dari Glen. Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depan yang terkadang tidak jelas. Aku lupa bahwa firman Tuhan dengan jelas mengatakan:

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”—Matius 6:31-33.

Rasa takut akan masa depan memang merupakan suatu keniscayaan dalam kemanusiawian kita. Tidak ada karpet merah bagi kita, pun jalan hidup kita tidak selalu terbentang jelas tanpa kabut. Namun, ketakutan dan keraguan kita tidak boleh jadi penghalang untuk iman kita tetap tumbuh. Sebaliknya, di tengah kekhawatiran dan keraguan yang mengusik, kita dapat datang kepada Tuhan yang selalu menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan dalam perjalanan hidup kita.

Jehovah Jireh!

Baca Juga:

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Tapi, ketika itu tidak terjadi, tak jarang kita pun meragukan Tuhan.

Namun, inilah 3 hal yang menolongku untuk menghadapinya.

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Oleh Cassandra Yeo
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Truths To Cling To When You’re Hit With Challenges
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Aku sering berharap demikian dan mendoakannya pada Tuhan. Aku berharap Tuhan campur tangan dan memberikanku jalan keluar di tengah momen-momen hidupku yang terasa berat.

Tetapi, ketika jawaban atas doa-doaku tidak kunjung datang, atau rasanya seperti tidak dijawab, aku pun bergumul dengan ketidakpastian. Dalam situasi tersebut, teman-teman yang biasanya mendukungku pun tak tahu apa yang harus mereka katakan untuk menghiburku. Keraguanku dan ketiadaan dukungan dari orang lain membuat aku mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Meski begitu, di saat aku mulai meragukan-Nya, Tuhan tetap memeliharaku dengan cara-Nya yang tidak kuduga. Tuhan menggunakan kesulitan-kesulitan dalam hidupku untuk mengajariku tentang sifat-Nya yang tidak pernah berubah di tengah kondisi kehidupan kita yang senantiasa berubah.

Ketika aku menghadapi tantangan hidup, inilah tiga kebenaran yang kuingat:

1. Ingat bahwa Tuhan tetap memegang kendali

Ketika aku bergumul dengan kehilangan atau amarah, aku teringat akan tokoh-tokoh dalam Alkitab yang juga pernah melewati masa-masa krisis dalam hidupnya. Rut, Yusuf, dan Paulus, mereka adalah orang-orang yang pernah menghadapi kehilangan. Meski begitu, respons mereka sangatlah berbeda. Mereka tidak merespons seperti apa yang orang kebanyakan lakukan.

Ketika suaminya meninggal, Rut menjadi seorang janda yang tidak dikaruniai anak. Rut lalu memilih untuk mengikut ibu mertuanya, hidup di negeri yang asing, dan dia pun mengikut Tuhan (Rut 1:16). Yusuf memilih untuk menunjukkan kemurahan hatinya kepada saudara-saudaranya, meskipun dulu dia pernah diperlakukan dengan jahat. Yusuf tahu bahwa Tuhan sedang merenda kebaikan di balik ketidakadilan yang pernah dia alami (Kejadian 50:19-20). Paulus melanjutkan pelayanannya meskipun dia menghadapi penganiayaan karena dia tahu bahwa apa yang dikerjakannya akan menolong banyak orang datang kepada Kristus. Dalam setiap situasi sulit tersebut, Tuhan bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dari garis keturunan Rut, lahir raja Israel. Dari kegigihan Paulus, Injil tersebar ke banyak tempat. Dan, dari kebaikan Yusuf, saudara-saudaranya dapat bertahan hidup.

Ketika kesulitan melanda, tokoh-tokoh dalam Alkitab tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan tetap memegang kendali, dan Tuhan tetap berlaku baik. Aku perlu mengucap syukur atas pekerjaan tangan-Nya dalam hidupku, meskipun aku tidak selalu bisa melihat hasilnya. Dalam masa-masa sulit, seringkali aku pergi menemui teman-teman dan kelompok yang kupercaya, menceritakan pergumulanku, untuk kemudian tetap bersyukur dan mengingat kebaikan Tuhan.

2. Ingatlah bahwa di tengah keraguan kita, Tuhan dapat dipercaya

Sejak aku belum lulus kuliah, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, bahkan di saat teman-temanku yang lain belum melakukannya. Tapi, pencarian kerja yang kupikir hanya akan berlangsung sebulan, berubah menjadi delapan bulan. Dalam setiap wawancara yang kulakukan, aku berdoa memohon pada Tuhan agar aku diterima. Tapi, kenyataannya aku kembali gagal.

Meskipun masa-masa itu terasa sulit, namun aku dapat melihat Tuhan bekerja. Aku diterima bekerja part-time sehingga aku mampu mendapatkan uang dan melatih diriku supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan sepenuh waktu. Proses pencarian, doa, dan penantian kerja inilah yang mengajariku untuk gigih, rendah hati, dan bersukacita di tengah-tengah kondisi yang seolah tidak akan memberiku hasil. Dan, relasiku dengan Tuhan pun bertumbuh. Lambat laun aku mulai mempercayai Sang Pemberi itu sendiri, alih-alih hanya menantikan pemberian-Nya saja.

Setelah pencarian yang panjang, akhirnya Tuhan menunjukkan pintu yang terbuka. Aku mungkin tidak mendapatkan pekerjaan sama persis seperti apa yang kucari dan kuharapkan, tapi itu masih selaras dengan apa yang kucari. Di akhir Desember, aku pun memulai perjalanan karierku di sana. Pengalaman ini telah melatihku untuk percaya pada Tuhan di tengah keraguanku. Pencarian kerjaku tak lagi menjadi pencarian yang didasari atas kriteria-kriteria pribadiku, melainkan berdasar atas apa yang Tuhan rencanakan bagiku.

3. Ingatlah bahwa nilai diri kita yang sejati hanya ditemukan dalam Kristus

Selama kuliah, aku aktif melayani Tuhan di persekutuan dan gereja. Namun, sepanjang perjalanan itu aku menghadapi tantangan. Nenek dan seorang teman dekatku meninggal dunia pada waktu yang tidak tepat. Aku merasa kehilangan dan menganggap diriku tak berarti lagi tanpa kehadiran mereka. Nilai-nilaiku pun ikut turun meskipun aku sudah berusaha keras belajar. Aku merasa perjuanganku selanjutnya seperti pergumulan yang tiada berujung. Apalagi ketika aku melihat teman-temanku seolah lancar-lancar saja menjalani kuliahnya dan dengan mudahnya mendapatkan prestasi akademis yang kudambakan.

Ketika pilar-pilar yang menentukan nilai diriku—nilai akademis dan pertemanan—diambil dariku, aku perlu menguji apakah aku menentukan nilai diriku atas apa yang kumiliki, atau itu semua ditentukan dari bagaimana cara Tuhan melihatku.

Meskipun aku merasa keadaanku sangat sulit, Tuhan memberikan jalan keluar untukku di akhir semester. Pada hari ketika aku diwisuda, aku melihat kembali perjalanan hidupku di belakang dan aku tahu bahwa pencapaian terbesarku bukanlah keberhasilan akademis, melainkan sebuah pelajaran di mana seharusnya nilai diriku berada. Aku dapat membagikan kisah pergumulanku kepada orang lain yang juga pernah mengalami tantangan serupa, dan inilah yang Tuhan pakai untuk menguatkan mereka.

Semua pengalaman yang kutulis adalah tantangan yang kuhadapi dalam hidupku, yang terasa pahit ketika aku menjalaninya. Tetapi, aku belajar untuk melihat bahwa pengalaman-pengalaman pahit dapat dijadikan kesempatan untuk berjalan lebih dekat lagi dengan Tuhan, dan untuk mengerti tujuan dan kebaikan-Nya di tengah kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Aku menantangmu hari ini untuk melihat tantangan-tantangan hidup yang kalian miliki dan untuk belajar bahwa di balik tantangan tersebut, Tuhan dapat mengubah semuanya menjadi indah pada waktu-Nya (Pengkhotbah 3:11).

Baca Juga:

Jangan Membuat Resolusi

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya. Mengapa?

#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Minggu lalu, dalam kelas diskusi di gereja, pemimpinku mengajukan pertanyaan kepada seluruh murid yang hadir. “Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama Tuhan, apa sih yang paling berubah dalam hidup kalian?”

Pertanyaan itu membuat seisi kelas jadi hening. Kami saling melirik dan tersenyum. Setelah ditunjuk, barulah satu per satu kami menjawab. Jawabannya beragam. Kebanyakan temanku berkata bahwa secara umum mereka jadi lebih sabar, lebih semangat, dan lebih bersyukur. Lalu, tibalah giliranku untuk menjawab. Karena aku tinggal merantau di luar kota, pemimpin diskusi memintaku untuk sekalian bercerita tentang pengalamanku.

Kalau aku melihat ke belakang, perjalananku selama sepuluh tahun terakhir ini rasanya begitu luar biasa. Banyak hal yang semula begitu kutakuti, ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Tuhan menuntun langkah demi langkah yang kulalui, mulai dari pindah kota untuk kuliah, pindah kota lagi untuk bekerja, hingga masalah keluarga yang sempat membuatku hampir merasa putus asa. Perjalananku kini tentu belum mencapai garis finish, tapi segala pergumulan di belakang itu mengingatkanku akan betapa baiknya Tuhan yang telah menyertaiku.

Menjawab pertanyaan “apa sih yang paling berubah dalam hidupku”, kupikir jawabanku adalah caraku memaknai perjalanan hidupku hari demi hari. Setiap masalah yang datang dalam hidupku bisa saja menghujamku ke bawah, jika aku mengizinkan diriku untuk berlarut-larut di dalamnya. Namun, jika aku menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan, Ia mungkin tidak akan menghilangkan masalah itu dengan mengubah situasi hidupku menjadi baik dalam sekejap. Tapi, Ia bisa menggunakannya untuk membentuk diriku menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya.

Tiga tahun lalu, aku mengalami masa transisi yang sempat membuatku terguncang. Setelah lulus kuliah dan bekerja ke kota lain, aku merasa masa depanku kelam. Pekerjaan yang kutekuni pernah terasa amat menjemukan dan kupikir aku telah salah mengambil langkah. Pun, aku dilanda kesepian di kota yang baru ini, hidup jauh dari keluarga dan sahabat. Aku merasa gelombang hidup di depanku terlalu besar, dan aku tidak mampu mengatasinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mendapati bahwa sesungguhnya aku tidak sendirian. Ada Tuhan yang menyertaiku. Dan, melalui inilah aku mengubah cara pandangku. Aku menganggap perjalanan hidupku ini ibarat sebuah perjalanan ke puncak bukit dari suatu tempat yang terletak di pesisir pantai. Ketika aku berada di tepian pantai, lautan yang kulihat adalah air yang penuh gelombang. Tatkala badai datang, deburan ombaknya kian besar dan membuatku takut. Namun, aku melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah ke atas sebuah bukit. Tanah yang kupijak tak selalu berumput hijau, kadang dipenuhi kerikil tajam. Pun konturnya tak selalu rata. Kadang menanjak, menurun, datar, juga berkelok-kelok.

Hingga suatu ketika, saat aku tiba di puncak bukit yang tinggi, aku melihat ke bawah. Lautan tak lagi menampakkan deburan ombaknya yang ganas. Yang kulihat hanyalah sebuah kolam biru yang luas membentang, yang menyajikan suatu ketenangan yang tiada berbatas.

Kupikir, seperti itulah perjalanan hidup kita. Tiap kita sedang dalam perjalanannya menuju puncak bukit kita masing-masing. Kita bisa memilih untuk berdiam di tepi deburan ombak dan suatu saat terseret oleh kuatnya gelombang. Tapi, kita juga bisa memilih untuk berjalan ke atas, ke tempat yang lebih tinggi. Bukan untuk menghindari segala permasalahan hidup, melainkan untuk menyikapinya dengan cara pandang yang lebih luas. Kita bisa menghadapi tahun ini dengan segala tantangannya bukan dengan rasa panik dan khawatir, melainkan dengan kedamaian dan ketenangan hati sebab Tuhan senantiasa menyertai kita. Ulangan 32:11-12 memberikan kita gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana cara Tuhan menyertai kita.

“Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.”

Kehadiran Allah dilambangkan sebagai burung rajawali yang dengan sengaja memporakporandakan sarang yang didiami anaknya. Namun, sang rajawali tetap mendampingi dan melindungi hingga anak-anaknya memiliki sayap yang kuat dan mampu terbang tinggi melintasi angkasa.

Sahabatku, sepuluh tahun, atau lebih, Tuhan kita adalah Tuhan yang setia, Tuhan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Jika kita membuka Instagram dan mengikuti #10YearChallenge, jadikanlah itu bukan sekadar momen yang mengingatkan kita akan banyaknya perubahan fisik yang terjadi dalam hidup kita, tetapi betapa Tuhan telah dan terus menyertai kita sepanjang perjalanan hidup kita.

Sahabatku, bagaimana denganmu? Hal apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Inilah sepucuk suratku untukmu.

5 Penyemangat untuk Dirimu Sendiri dan Orang Lain

Ilustrasi oleh: Barbara Jenjaroentham (@barbsiegraphy)

Sebagai anggota tubuh Kristus, kita saling membutuhkan. Pertemanan Kristen bukanlah sebuah relasi yang hanya sekadar diisi dengan berdoa dan bersenang-senang, melainkan saling mendukung dan membangun satu sama lain.

Adakah seseorang yang kamu ketahui sedang menghadapi pergumulan dalam hidupnya? Bagikanlah kepada mereka kata-kata penyemangat yang berasal dari firman Tuhan hari ini.

“Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1 Tesalonika 5:11).

Menjadi dewasa itu sulit. Banyak hal berubah, tetapi Tuhan tidak pernah berubah.

Apakah kamu sedang melalui fase kehidupan yang membuatmu mengalami banyak perubahan? Apakah kamu merasa khawatir karena hal-hal yang terasa tak pasti di hidupmu? Kehidupan ini diwarnai dengan perubahan, dan terkadang perubahan ini terjadi tanpa kita duga sebelumnya. Ada orang-orang, tempat-tempat, dan banyak hal lainnya yang berubah. Namun, kita dapat menghadapinya dengan tenang apabila kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak pernah sendiri—Tuhan selalu hadir dan mengasihi kita senantiasa di dalam setiap perubahan yang terjadi dalam hidup kita.

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Dunia menuntut kita menjadi sempurna, tetapi Tuhan menerima kita apa adanya.

Dunia senantiasa mendikte kita bagaimana kita seharusnya bersikap, apa yang harus kita pikirkan, dan apa yang harus kita lakukan. Kita seringkali membawa tuntutan dunia ini di atas bahu kita hingga kita pun merasa penat. Namun, ini adalah pemahaman yang salah mengenai kesempurnaan, dan kita tidak perlu mengejarnya.

Tuhan memberi jalan keluar untuk kita. Dia tidak meminta kita untuk menjadi sempurna seturut dengan apa yang kita bayangkan. Hanya di dalam Kristus—satu-satunya yang Sempurna—kita dapat tampil sempurna di hadapan Tuhan. Marilah kita mengingat untuk hidup sebagai ciptaan baru di dalam kasih-Nya.

“Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Filipi 1:6).

Pencobaan itu sulit, tetapi Tuhan bisa bekerja melaluinya.

Ada hari yang penuh sukacita, namun ada pula hari yang diliputi kesedihan. Ada momen-momen yang manis, ada pula momen yang pahit. Ada masa kehidupan yang tenang, ada pula masa kehidupan yang penuh gejolak. Namun, tak peduli besar atau kecil skalanya, setiap kita pasti menghadapi pencobaan yang seringkali menguras tenaga kita secara fisik dan psikis.

Di momen-momen penuh gejolak, kita mungkin mendapati bahwa kita lebih bergantung kepada kekuatan kita sendiri daripada kepada Tuhan. Namun, tidak pernah ada kata terlambat untuk meluruskan kembali fokus kita. Marilah mengarahkan pandangan kita kepada-Nya dan bertekun dalam kekuatan-Nya. Tuhan memiliki tujuan yang terbaik untuk kebaikan kita.

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12).

Tidak semua hal dapat berjalan sesuai rencana kita, namun Tuhan tetap memegang kendali.

Kita dapat membuat rencana, berangan-angan, dan mendoakan itu semua. Tapi, kita pun tahu bahwa kenyataan tidak selalu berjalan seperti apa yang kita bayangkan. Tuhan bisa menjawab ya, tunggu, atau tidak atas setiap doa-doa kita. Tidaklah mudah menyerahkan kendali hidup kita sendiri kepada Tuhan. Tapi, kita dapat meletakkan rasa jenuh dan takut kita, sebab Tuhan memiliki segalanya dan segalanya ada di bawah kendali-Nya—bahkan tiap detail yang paling kecil sekalipun.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Tuhan mungkin terlihat diam, tetapi sesungguhnya Dia sedang bekerja dalam penantian kita.

Dunia kita yang berubah cepat memengaruhi dan membentuk kita untuk menjadi seseorang yang kurang bersabar. Kita jadi tidak suka menunggu. Kita ingin jawaban dan proses yang kita lalui selesai dengan cepat. Tapi, Tuhan adalah penyabar dan cara kerja-Nya berbeda dari kita. Seringkali, Dia meminta kita untuk menunggu—entah lama atau sebentar. Selama masa menanti itulah kita seringkali merasa tidak ada perubahan, atau malah perubahan itu terasa lebih buruk karena hal-hal yang terjadi di luar ekspektasi kita. Tapi, kiranya kita berpegang teguh pada kasih-Nya dan percaya bahwa selalu ada tujuan di balik apapun yang Tuhan izinkan terjadi.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).