Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Setiap kita tentu memiliki impian. Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Saat merenungkan pertanyaan itu, aku teringat akan suatu peristiwa. Pertengahan tahun 2017 lalu, aku diundang untuk membawakan training menulis di kota Solo untuk pelayanan renungan di gerejaku. Di hari keberangkatan, aku telah siap lama sebelum jam keberangkatan pesawat. Aku memesan taksi online dan seperti biasanya aku menginfokan alamat rumahku dan patokannya via chat.

Namun, sepuluh menit, lima belas menit berlalu tanpa respons. Saat aku menelepon pengemudinya, ia menjawabku dengan nada malas. Katanya ia masih makan dan ia memintaku cancel saja jika aku tidak mau menunggu. Aku mengiyakan. Lalu, kupesan kembali taksi online. Tapi, tidak ada satu pun pengemudi yang mau mengambil orderku. Kucoba gunakkan aplikasi lain, hasilnya pun sama. Barulah setengah jam kemudian akhirnya ada pengemudi yang bersedia menjemputku.

Tapi, baru saja aku merasa lega, di jalan raya kami dihadang oleh kemacetan. Padahal sebelumnya di Google Maps tidak terdeteksi ada kemacetan di situ. Dalam kepalaku langsung terbayang skenario terburuk: ketinggalan pesawat.

Sementara mobil terus melaju bagaikan siput, sisa waktuku semakin habis. Saat kami sampai di dekat jalan tol menuju bandara, mobil kami terhadang macet parah. Tiba-tiba pengemudi mengusulkan untuk mengambil jalan tikus, alias jalan lain saja.

Di jalur yang baru, mobil kami bisa melaju lebih lancar. Tapi, bukannya mendekati bandara, aku merasa mobil ini malah semakin menjauhinya. Aku cemas, tapi tidak berani berkomentar karena takut menyinggung pengemudi yang sudah berusaha mencari jalan lain.

Saat tiba di bandara, waktuku hanya tinggal 15 menit lagi. Di loket check-in, petugas yang melayaniku memintaku menunggu. Ia lalu memanggil pria yang berada di sampingnya. Tampaknya pria itu atasannya. Sambil menyebutkan tujuan dan nomor penerbanganku, petugas itu bertanya, “Bagaimana, Pak?”

Pertanyaan itu singkat, tetapi aku mengerti maksudnya. Apakah aku masih diizinkan masuk?

Puji Tuhan. Mereka mengizinkanku masuk ke pesawat. Petugas itu lalu memberiku boarding pass dan tersenyum sambil berkata, “Mbak harus lari ya. Pesawatnya sudah last-call.”

Aku berlari sekuat tenaga. Tapi, tas di pundakku tiba-tiba merosot. Aku berusaha memperbaiki posisinya, tapi aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Sakit? Iya. Malu? Sudah pasti. Namun, secepatnya aku kembali berdiri dan berlari.

Ketika tiba di gerbang tujuanku, aku melihat antrean penumpang sudah terbentuk. Aku segera bergabung dan berjalan masuk ke dalam pesawat. Saat itu aku baru sadar kalau di boarding pass tertera nomor 1A, itu adalah tempat duduk paling depan. Begitu masuk pesawat, aku langsung duduk dan memberi kabar kepada orang tuaku serta pengerja gereja yang nanti akan menjemputku di Solo. Aku masih sempat bertukar kabar, bahkan bercanda dengan beberapa temanku di chat. Hingga kemudian aku tersadar, meski aku sudah duduk lumayan lama, ternyata masih banyak orang yang mengantre untuk masuk ke dalam pesawat. Orang-orang yang duduk di belakang harus menunggu sampai orang-orang di depannya selesai memasukkan barang ke bagasi kabin di atas tempat duduk.

Aku pun menyadari bahwa di balik tempat dudukku yang kurasa spesial ini, ada penyertaan Tuhan yang menyertai perjalananku.

Aku hampir saja tertinggal pesawat hingga aku begitu cemas dan hampir putus asa. Tapi, Tuhan menyediakan tempat duduk yang istimewa buatku. Keistimewaan itu semakin terasa ketika ternyata tidak ada penumpang lain yang duduk di deretan kursi nomor 1.

Saat itu aku merasa Tuhan seperti berbicara ke dalam hatiku. Tuhan tahu semua usaha keras dan keputusasaanku. Dia tahu perjuangan yang sudah kulakukan. Dan, ketika ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam perjalananku, Tuhan bukannya sedang tidak peduli kepadaku. Aku percaya, di balik semua hambatan tersebut, Tuhan sedang merenda kebaikan untukku.

Peristiwa nyaris ketinggalan pesawat tersebut membuatku memahami bahwa kehidupan ini tidak selalu berjalan seturut dengan rencanaku. Namun, itu bukanlah alasan untukku berputus asa. Aku harus terus berjuang hingga akhir. Meski aku harus berlari dan terjatuh, meski orang-orang mungkin mempertanyakan apa yang kulakukan, namun selama aku fokus pada tujuanku, selama aku tidak menyerah dan tetap percaya, Tuhan akan membukakan pintu-pintu yang seolah tertutup. Tuhan akan menyediakan tempat yang istimewa buatku.

Sahabatku, aku tidak tahu bagaimana dengan perjalanan hidup yang kamu sedang lalui. Namun, kiranya sekelumit pengalamanku ini boleh menolongmu untuk percaya dan menyerahkan hidupmu kepada Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengarahkan langkah-langkah hidupmu. Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5).

Baca Juga:

Belajar untuk Tidak Khawatir

Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depanku. Namun, melalui pertemuanku dengan Glen, aku diajar oleh Tuhan untuk tidak khawatir akan apa yang kelak kan terjadi di depanku.

Belajar untuk Tidak Khawatir

Oleh Priscila Stevanni, Jakarta

Seandainya jalan hidup manusia berlapis karpet merah, tentu kita tidak akan pernah ragu, khawatir, atau bahkan takut menghadapi masa depan.

Pernahkah kamu membayangkan jadi seseorang yang mendapatkan kesempatan istimewa untuk berjalan di atas karpet merah? Karpet merah membuat langkah kita terasa aman dan nyaman karena ia melapisi semua kerikil yang mengganggu jalan kita. Tapi, sayangnya, kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berjalan di atas karpet merah tersebut. Kehidupan kita lebih sering dipenuhi oleh jalanan yang berbatu, berlubang, tidak lurus, bahkan tertutup kabut hingga kita tak dapat melihat apa yang ada di depan.

Momen awal tahun mungkin membuat kekhawatiran kita semakin terpampang jelas. Apa yang akan terjadi di tahun ini? Apakah kita akan gagal lagi? Mampukah kita menghadapi tahun ini beserta gelombang-gelombangnya yang bersambut?

Setiap Kamis pagi, di rumah sakit tempatku menjalani internship, selalu diadakan kebaktian yang boleh diikuti oleh semua karyawan dan pasien yang berobat di sana. Pagi itu, di tengah perjalanan menuju ruang kebaktian, aku bertemu dengan seorang anak yang duduk di atas kursi roda. Aku mengenalnya sebagai salah satu pasien di sini. Sebut saja namanya Glen. Glen berusia delapan tahun dan ia menderita leukemia. Ia merupakan pasien ‘langganan’ yang sering masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Selama dua bulan aku sudah beberapa kali melihatnya dirawat.

Kemoterapi yang dijalani Glen tidak selalu berjalan lancar. Ia berkali-kali mengalami reaksi alergi; berulang kali harus ditransfusi; dan berulang kali harus menunda kemoterapi hingga kondisi tubuhnya cukup stabil untuk menerima obat. Kondisi Glen dapat berubah dengan cepat. Ia bisa tiba-tiba sesak dan demam di tengah kemoterapinya, nyeri perut hebat, hingga menggigil semalaman.

Aku pernah bertemu dengan Glen di bangsal. Saat aku memeriksa dan menanyakan keadaannya, aku melihat bahwa Glen adalah anak yang berani. Ia tidak mengeluhkan sakit yang dirasakannya. Pernah suatu ketika, ia harus menjalani transfusi darah berkantong-kantong, namun ia masih bisa menghibur ibunya yang menemaninya.

Perjumpaanku dengan Glen dan melihatnya hadir di kebaktian pagi itu membuatku merasa ditegur. Di tengah ketidakpastian hidupnya, Glen tetap datang kepada Tuhan. Glen mungkin tidak tahu apa yang ia akan hadapi di masa depan. Kondisinya bisa saja membaik, namun bisa juga memburuk tiba-tiba. Tapi, yang kutahu adalah Glen, si pejuang kecil ini tidak pernah menyerah. Di tengah ketidakpastian akan hari esok, ia berserah kepada Bapa.

Aku berkaca pada diriku sendiri, betapa aku perlu belajar dari Glen. Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depan yang terkadang tidak jelas. Aku lupa bahwa firman Tuhan dengan jelas mengatakan:

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”—Matius 6:31-33.

Rasa takut akan masa depan memang merupakan suatu keniscayaan dalam kemanusiawian kita. Tidak ada karpet merah bagi kita, pun jalan hidup kita tidak selalu terbentang jelas tanpa kabut. Namun, ketakutan dan keraguan kita tidak boleh jadi penghalang untuk iman kita tetap tumbuh. Sebaliknya, di tengah kekhawatiran dan keraguan yang mengusik, kita dapat datang kepada Tuhan yang selalu menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan dalam perjalanan hidup kita.

Jehovah Jireh!

Baca Juga:

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Tapi, ketika itu tidak terjadi, tak jarang kita pun meragukan Tuhan.

Namun, inilah 3 hal yang menolongku untuk menghadapinya.

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Oleh Cassandra Yeo
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Truths To Cling To When You’re Hit With Challenges
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Aku sering berharap demikian dan mendoakannya pada Tuhan. Aku berharap Tuhan campur tangan dan memberikanku jalan keluar di tengah momen-momen hidupku yang terasa berat.

Tetapi, ketika jawaban atas doa-doaku tidak kunjung datang, atau rasanya seperti tidak dijawab, aku pun bergumul dengan ketidakpastian. Dalam situasi tersebut, teman-teman yang biasanya mendukungku pun tak tahu apa yang harus mereka katakan untuk menghiburku. Keraguanku dan ketiadaan dukungan dari orang lain membuat aku mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Meski begitu, di saat aku mulai meragukan-Nya, Tuhan tetap memeliharaku dengan cara-Nya yang tidak kuduga. Tuhan menggunakan kesulitan-kesulitan dalam hidupku untuk mengajariku tentang sifat-Nya yang tidak pernah berubah di tengah kondisi kehidupan kita yang senantiasa berubah.

Ketika aku menghadapi tantangan hidup, inilah tiga kebenaran yang kuingat:

1. Ingat bahwa Tuhan tetap memegang kendali

Ketika aku bergumul dengan kehilangan atau amarah, aku teringat akan tokoh-tokoh dalam Alkitab yang juga pernah melewati masa-masa krisis dalam hidupnya. Rut, Yusuf, dan Paulus, mereka adalah orang-orang yang pernah menghadapi kehilangan. Meski begitu, respons mereka sangatlah berbeda. Mereka tidak merespons seperti apa yang orang kebanyakan lakukan.

Ketika suaminya meninggal, Rut menjadi seorang janda yang tidak dikaruniai anak. Rut lalu memilih untuk mengikut ibu mertuanya, hidup di negeri yang asing, dan dia pun mengikut Tuhan (Rut 1:16). Yusuf memilih untuk menunjukkan kemurahan hatinya kepada saudara-saudaranya, meskipun dulu dia pernah diperlakukan dengan jahat. Yusuf tahu bahwa Tuhan sedang merenda kebaikan di balik ketidakadilan yang pernah dia alami (Kejadian 50:19-20). Paulus melanjutkan pelayanannya meskipun dia menghadapi penganiayaan karena dia tahu bahwa apa yang dikerjakannya akan menolong banyak orang datang kepada Kristus. Dalam setiap situasi sulit tersebut, Tuhan bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dari garis keturunan Rut, lahir raja Israel. Dari kegigihan Paulus, Injil tersebar ke banyak tempat. Dan, dari kebaikan Yusuf, saudara-saudaranya dapat bertahan hidup.

Ketika kesulitan melanda, tokoh-tokoh dalam Alkitab tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan tetap memegang kendali, dan Tuhan tetap berlaku baik. Aku perlu mengucap syukur atas pekerjaan tangan-Nya dalam hidupku, meskipun aku tidak selalu bisa melihat hasilnya. Dalam masa-masa sulit, seringkali aku pergi menemui teman-teman dan kelompok yang kupercaya, menceritakan pergumulanku, untuk kemudian tetap bersyukur dan mengingat kebaikan Tuhan.

2. Ingatlah bahwa di tengah keraguan kita, Tuhan dapat dipercaya

Sejak aku belum lulus kuliah, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, bahkan di saat teman-temanku yang lain belum melakukannya. Tapi, pencarian kerja yang kupikir hanya akan berlangsung sebulan, berubah menjadi delapan bulan. Dalam setiap wawancara yang kulakukan, aku berdoa memohon pada Tuhan agar aku diterima. Tapi, kenyataannya aku kembali gagal.

Meskipun masa-masa itu terasa sulit, namun aku dapat melihat Tuhan bekerja. Aku diterima bekerja part-time sehingga aku mampu mendapatkan uang dan melatih diriku supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan sepenuh waktu. Proses pencarian, doa, dan penantian kerja inilah yang mengajariku untuk gigih, rendah hati, dan bersukacita di tengah-tengah kondisi yang seolah tidak akan memberiku hasil. Dan, relasiku dengan Tuhan pun bertumbuh. Lambat laun aku mulai mempercayai Sang Pemberi itu sendiri, alih-alih hanya menantikan pemberian-Nya saja.

Setelah pencarian yang panjang, akhirnya Tuhan menunjukkan pintu yang terbuka. Aku mungkin tidak mendapatkan pekerjaan sama persis seperti apa yang kucari dan kuharapkan, tapi itu masih selaras dengan apa yang kucari. Di akhir Desember, aku pun memulai perjalanan karierku di sana. Pengalaman ini telah melatihku untuk percaya pada Tuhan di tengah keraguanku. Pencarian kerjaku tak lagi menjadi pencarian yang didasari atas kriteria-kriteria pribadiku, melainkan berdasar atas apa yang Tuhan rencanakan bagiku.

3. Ingatlah bahwa nilai diri kita yang sejati hanya ditemukan dalam Kristus

Selama kuliah, aku aktif melayani Tuhan di persekutuan dan gereja. Namun, sepanjang perjalanan itu aku menghadapi tantangan. Nenek dan seorang teman dekatku meninggal dunia pada waktu yang tidak tepat. Aku merasa kehilangan dan menganggap diriku tak berarti lagi tanpa kehadiran mereka. Nilai-nilaiku pun ikut turun meskipun aku sudah berusaha keras belajar. Aku merasa perjuanganku selanjutnya seperti pergumulan yang tiada berujung. Apalagi ketika aku melihat teman-temanku seolah lancar-lancar saja menjalani kuliahnya dan dengan mudahnya mendapatkan prestasi akademis yang kudambakan.

Ketika pilar-pilar yang menentukan nilai diriku—nilai akademis dan pertemanan—diambil dariku, aku perlu menguji apakah aku menentukan nilai diriku atas apa yang kumiliki, atau itu semua ditentukan dari bagaimana cara Tuhan melihatku.

Meskipun aku merasa keadaanku sangat sulit, Tuhan memberikan jalan keluar untukku di akhir semester. Pada hari ketika aku diwisuda, aku melihat kembali perjalanan hidupku di belakang dan aku tahu bahwa pencapaian terbesarku bukanlah keberhasilan akademis, melainkan sebuah pelajaran di mana seharusnya nilai diriku berada. Aku dapat membagikan kisah pergumulanku kepada orang lain yang juga pernah mengalami tantangan serupa, dan inilah yang Tuhan pakai untuk menguatkan mereka.

Semua pengalaman yang kutulis adalah tantangan yang kuhadapi dalam hidupku, yang terasa pahit ketika aku menjalaninya. Tetapi, aku belajar untuk melihat bahwa pengalaman-pengalaman pahit dapat dijadikan kesempatan untuk berjalan lebih dekat lagi dengan Tuhan, dan untuk mengerti tujuan dan kebaikan-Nya di tengah kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Aku menantangmu hari ini untuk melihat tantangan-tantangan hidup yang kalian miliki dan untuk belajar bahwa di balik tantangan tersebut, Tuhan dapat mengubah semuanya menjadi indah pada waktu-Nya (Pengkhotbah 3:11).

Baca Juga:

Jangan Membuat Resolusi

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya. Mengapa?

#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Minggu lalu, dalam kelas diskusi di gereja, pemimpinku mengajukan pertanyaan kepada seluruh murid yang hadir. “Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama Tuhan, apa sih yang paling berubah dalam hidup kalian?”

Pertanyaan itu membuat seisi kelas jadi hening. Kami saling melirik dan tersenyum. Setelah ditunjuk, barulah satu per satu kami menjawab. Jawabannya beragam. Kebanyakan temanku berkata bahwa secara umum mereka jadi lebih sabar, lebih semangat, dan lebih bersyukur. Lalu, tibalah giliranku untuk menjawab. Karena aku tinggal merantau di luar kota, pemimpin diskusi memintaku untuk sekalian bercerita tentang pengalamanku.

Kalau aku melihat ke belakang, perjalananku selama sepuluh tahun terakhir ini rasanya begitu luar biasa. Banyak hal yang semula begitu kutakuti, ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Tuhan menuntun langkah demi langkah yang kulalui, mulai dari pindah kota untuk kuliah, pindah kota lagi untuk bekerja, hingga masalah keluarga yang sempat membuatku hampir merasa putus asa. Perjalananku kini tentu belum mencapai garis finish, tapi segala pergumulan di belakang itu mengingatkanku akan betapa baiknya Tuhan yang telah menyertaiku.

Menjawab pertanyaan “apa sih yang paling berubah dalam hidupku”, kupikir jawabanku adalah caraku memaknai perjalanan hidupku hari demi hari. Setiap masalah yang datang dalam hidupku bisa saja menghujamku ke bawah, jika aku mengizinkan diriku untuk berlarut-larut di dalamnya. Namun, jika aku menyerahkannya ke dalam tangan Tuhan, Ia mungkin tidak akan menghilangkan masalah itu dengan mengubah situasi hidupku menjadi baik dalam sekejap. Tapi, Ia bisa menggunakannya untuk membentuk diriku menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya.

Tiga tahun lalu, aku mengalami masa transisi yang sempat membuatku terguncang. Setelah lulus kuliah dan bekerja ke kota lain, aku merasa masa depanku kelam. Pekerjaan yang kutekuni pernah terasa amat menjemukan dan kupikir aku telah salah mengambil langkah. Pun, aku dilanda kesepian di kota yang baru ini, hidup jauh dari keluarga dan sahabat. Aku merasa gelombang hidup di depanku terlalu besar, dan aku tidak mampu mengatasinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mendapati bahwa sesungguhnya aku tidak sendirian. Ada Tuhan yang menyertaiku. Dan, melalui inilah aku mengubah cara pandangku. Aku menganggap perjalanan hidupku ini ibarat sebuah perjalanan ke puncak bukit dari suatu tempat yang terletak di pesisir pantai. Ketika aku berada di tepian pantai, lautan yang kulihat adalah air yang penuh gelombang. Tatkala badai datang, deburan ombaknya kian besar dan membuatku takut. Namun, aku melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah ke atas sebuah bukit. Tanah yang kupijak tak selalu berumput hijau, kadang dipenuhi kerikil tajam. Pun konturnya tak selalu rata. Kadang menanjak, menurun, datar, juga berkelok-kelok.

Hingga suatu ketika, saat aku tiba di puncak bukit yang tinggi, aku melihat ke bawah. Lautan tak lagi menampakkan deburan ombaknya yang ganas. Yang kulihat hanyalah sebuah kolam biru yang luas membentang, yang menyajikan suatu ketenangan yang tiada berbatas.

Kupikir, seperti itulah perjalanan hidup kita. Tiap kita sedang dalam perjalanannya menuju puncak bukit kita masing-masing. Kita bisa memilih untuk berdiam di tepi deburan ombak dan suatu saat terseret oleh kuatnya gelombang. Tapi, kita juga bisa memilih untuk berjalan ke atas, ke tempat yang lebih tinggi. Bukan untuk menghindari segala permasalahan hidup, melainkan untuk menyikapinya dengan cara pandang yang lebih luas. Kita bisa menghadapi tahun ini dengan segala tantangannya bukan dengan rasa panik dan khawatir, melainkan dengan kedamaian dan ketenangan hati sebab Tuhan senantiasa menyertai kita. Ulangan 32:11-12 memberikan kita gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana cara Tuhan menyertai kita.

“Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia.”

Kehadiran Allah dilambangkan sebagai burung rajawali yang dengan sengaja memporakporandakan sarang yang didiami anaknya. Namun, sang rajawali tetap mendampingi dan melindungi hingga anak-anaknya memiliki sayap yang kuat dan mampu terbang tinggi melintasi angkasa.

Sahabatku, sepuluh tahun, atau lebih, Tuhan kita adalah Tuhan yang setia, Tuhan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Jika kita membuka Instagram dan mengikuti #10YearChallenge, jadikanlah itu bukan sekadar momen yang mengingatkan kita akan banyaknya perubahan fisik yang terjadi dalam hidup kita, tetapi betapa Tuhan telah dan terus menyertai kita sepanjang perjalanan hidup kita.

Sahabatku, bagaimana denganmu? Hal apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Inilah sepucuk suratku untukmu.

5 Penyemangat untuk Dirimu Sendiri dan Orang Lain

Ilustrasi oleh: Barbara Jenjaroentham (@barbsiegraphy)

Sebagai anggota tubuh Kristus, kita saling membutuhkan. Pertemanan Kristen bukanlah sebuah relasi yang hanya sekadar diisi dengan berdoa dan bersenang-senang, melainkan saling mendukung dan membangun satu sama lain.

Adakah seseorang yang kamu ketahui sedang menghadapi pergumulan dalam hidupnya? Bagikanlah kepada mereka kata-kata penyemangat yang berasal dari firman Tuhan hari ini.

“Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1 Tesalonika 5:11).

Menjadi dewasa itu sulit. Banyak hal berubah, tetapi Tuhan tidak pernah berubah.

Apakah kamu sedang melalui fase kehidupan yang membuatmu mengalami banyak perubahan? Apakah kamu merasa khawatir karena hal-hal yang terasa tak pasti di hidupmu? Kehidupan ini diwarnai dengan perubahan, dan terkadang perubahan ini terjadi tanpa kita duga sebelumnya. Ada orang-orang, tempat-tempat, dan banyak hal lainnya yang berubah. Namun, kita dapat menghadapinya dengan tenang apabila kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak pernah sendiri—Tuhan selalu hadir dan mengasihi kita senantiasa di dalam setiap perubahan yang terjadi dalam hidup kita.

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Dunia menuntut kita menjadi sempurna, tetapi Tuhan menerima kita apa adanya.

Dunia senantiasa mendikte kita bagaimana kita seharusnya bersikap, apa yang harus kita pikirkan, dan apa yang harus kita lakukan. Kita seringkali membawa tuntutan dunia ini di atas bahu kita hingga kita pun merasa penat. Namun, ini adalah pemahaman yang salah mengenai kesempurnaan, dan kita tidak perlu mengejarnya.

Tuhan memberi jalan keluar untuk kita. Dia tidak meminta kita untuk menjadi sempurna seturut dengan apa yang kita bayangkan. Hanya di dalam Kristus—satu-satunya yang Sempurna—kita dapat tampil sempurna di hadapan Tuhan. Marilah kita mengingat untuk hidup sebagai ciptaan baru di dalam kasih-Nya.

“Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Filipi 1:6).

Pencobaan itu sulit, tetapi Tuhan bisa bekerja melaluinya.

Ada hari yang penuh sukacita, namun ada pula hari yang diliputi kesedihan. Ada momen-momen yang manis, ada pula momen yang pahit. Ada masa kehidupan yang tenang, ada pula masa kehidupan yang penuh gejolak. Namun, tak peduli besar atau kecil skalanya, setiap kita pasti menghadapi pencobaan yang seringkali menguras tenaga kita secara fisik dan psikis.

Di momen-momen penuh gejolak, kita mungkin mendapati bahwa kita lebih bergantung kepada kekuatan kita sendiri daripada kepada Tuhan. Namun, tidak pernah ada kata terlambat untuk meluruskan kembali fokus kita. Marilah mengarahkan pandangan kita kepada-Nya dan bertekun dalam kekuatan-Nya. Tuhan memiliki tujuan yang terbaik untuk kebaikan kita.

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12).

Tidak semua hal dapat berjalan sesuai rencana kita, namun Tuhan tetap memegang kendali.

Kita dapat membuat rencana, berangan-angan, dan mendoakan itu semua. Tapi, kita pun tahu bahwa kenyataan tidak selalu berjalan seperti apa yang kita bayangkan. Tuhan bisa menjawab ya, tunggu, atau tidak atas setiap doa-doa kita. Tidaklah mudah menyerahkan kendali hidup kita sendiri kepada Tuhan. Tapi, kita dapat meletakkan rasa jenuh dan takut kita, sebab Tuhan memiliki segalanya dan segalanya ada di bawah kendali-Nya—bahkan tiap detail yang paling kecil sekalipun.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Tuhan mungkin terlihat diam, tetapi sesungguhnya Dia sedang bekerja dalam penantian kita.

Dunia kita yang berubah cepat memengaruhi dan membentuk kita untuk menjadi seseorang yang kurang bersabar. Kita jadi tidak suka menunggu. Kita ingin jawaban dan proses yang kita lalui selesai dengan cepat. Tapi, Tuhan adalah penyabar dan cara kerja-Nya berbeda dari kita. Seringkali, Dia meminta kita untuk menunggu—entah lama atau sebentar. Selama masa menanti itulah kita seringkali merasa tidak ada perubahan, atau malah perubahan itu terasa lebih buruk karena hal-hal yang terjadi di luar ekspektasi kita. Tapi, kiranya kita berpegang teguh pada kasih-Nya dan percaya bahwa selalu ada tujuan di balik apapun yang Tuhan izinkan terjadi.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

“Huaaa… huaaa,” suara tangisan terdengar dari arah tangga. Aku mengenal suara tangisan itu. Marvelle, salah satu muridku yang duduk di kelas 4 berjalan terseok-seok menghampiriku. Air mata membasahi wajahnya.

Sebagai seorang guru, aku tidak tega melihat teman kecilku ini menangis demikian kerasnya. Aku menghampirinya dan bertanya, “Ada apa Marvelle?”

Aku menduga, tangisan Marvelle pasti karena seekor kucing yang ia beri nama Miichan. Beberapa hari belakangan, ada seekor kucing yang berkeliaran di area sekolah. Marvelle senang bermain dengan kucing itu. Dan, ternyata dugaanku benar. Ketika aku menyebutkan nama Miichan, tangisnya semakin keras.

“Kenapa Miichan, Marvelle? Miichannya pergi lagi ya?”

Sambil tetap menangis, Marvelle menjawab dengan terbata-bata, “Aku..aku mau kucing… Tapi nda boleh sama mamaku. Jadi aku nda bisa main sama Miichan lagi.” Aku pun berusaha menghibur Marvelle agar ia dapat lebih tenang.

Tangisan Marvelle siang itu membuat perasaanku campur aduk. Ada rasa terharu, gemas, terenyuh, dan entahlah. Tapi, dari balik tangisannya, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Dalam kehidupan kita, ada banyak hal yang “menggiurkan”, yang menarik kita menjauh dari Tuhan. Godaan-godaan dosa mungkin menawarkan hal yang indah dan menyenangkan buat kita. Namun, itu tidaklah menyenangkan hati Tuhan, dan sebenarnya pun tidak baik buat kita.

Tapi, apakah lantas kita memiliki hati seperti Marvelle kecil yang mau taat?

Aku yakin, pasti tidak mudah buat Marvelle mengikuti perintah mamanya. Marvelle begitu menyukai Miichan. Kucing ini tampak menarik dan membuatnya senang setiap kali bermain dengannya. Namun, ketika sang mama akhirnya mengatakan “tidak” untuk bermain dengan kucing ini lagi, pasti Marvelle merasa tidak senang. Marvelle bisa saja melanggar instruksi “tidak” dari mamanya. Toh, kucing itu ada di sekolah, di tempat di mana sang mama tidak ada secara fisik dan mengawasi Marvelle secara langsung.

Tapi, Marvelle—walaupun dengan rasa sedih—dapat mengatakan: “Nda boleh sama mama. Jadi aku tidak bisa main dengan Miichan.”

Di balik rasa sedihnya, Marvelle memilih taat. Ia melakukan apa yang mamanya perintahkan. Aku yakin, bahwa di dalam hatinya, Marvelle tahu bahwa mamanya mengasihi ia. Sehingga, ia pun bersedia taat meskipun mungkin ia sendiri tidak paham mengapa mamanya memerintahkan demikian.

Bagaimana dengan kita? Apakah momen Natal yang baru kita peringati di bulan lalu membuat kita semakin menyadari dan mengingat betapa Allah telah mengasihi kita?

Aku teringat akan perkataan Yesus di malam sebelum Ia ditangkap. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Ketika Yesus lahir ke dunia, Ia tahu bahwa Ia datang untuk sebuah misi: menyelamatkan umat manusia. Dan, Ia pun tahu bahwa Ia akan mati disalibkan. Itu bukanlah hal yang mudah bagi-Nya. Namun, Yesus menunjukkan ketaatan-Nya yang luar biasa.

Di tahun yang baru ini, aku ingin belajar untuk taat sebagaimana Kristus taat kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Dan, aku pun mengucap syukur kepada Bapa untuk kesempatan belajar dari Marvelle, yang menegurku agar aku terus bersedia dibentuk untuk semakin serupa dengan Kristus.

Baca Juga:

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Apakah resolusi tahun baru yang kita buat menyentuh masalah-masalah mendasar dalam hidup kita?

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Setiap awal tahun, banyak dari kita yang membuat resolusi untuk dijalankan di tahun berikutnya. Ada resolusi yang berupa rencana, komitmen, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Aku adalah salah satu orang yang membuat resolusi itu. Setiap tahun, aku mendoakan dan menyerahkan tiap resolusi yang kubuat agar dapat terjadi sesuai dengan kehendak-Nya.

Beberapa tahun lalu, aku punya resolusi yang rencananya akan kulakukan di sepanjang tahun. Namun, aku malah merasa ragu dan bertanya kepada diriku sendiri: apakah resolusiku itu benar-benar akan memberi dampak untuk hidupku di masa depan? Apakah aku dapat serius menjalani resolusi itu?

Aku ingat pengalamanku setahun sebelumnya. Waktu itu salah satu resolusiku adalah rajin berolahraga. Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk lari pagi, jalan-jalan berkeliling kompleks perumahan, dan bersepeda. Tapi, seiring waktu berlalu, bahkan hingga akhir tahun, aku mulai absen berolahraga sampai akhirnya berhenti melakukannya sama sekali. Aku telah gagal menjalankan resolusiku.

Namun, di tahun setelahnya, aku tetap mencanangkan olahraga sebagai resolusiku. Bersyukur ada temanku yang mengajakku berolahraga di gym. Di sana, seorang trainer menjelaskan padaku tentang pentingnya berolahraga. Katanya, jika jumlah lemak jahat terlalu banyak dalam tubuhku, itu bisa menyebabkan berbagai macam penyakit seperti jantung koroner, stroke, kolesterol, dan sebagainya. Olahraga merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko terkena penyakit seperti itu. Aku tersentak dan merasa ditegur. Awalnya, kupikir kalau olahraga itu hanyalah aktivitas sampingan agar tubuhku terlihat lebih sehat dan segar. Itu saja. Aku tak terpikirkan akan banyak penyakit yang bisa saja menyerangku jika aku tidak rutin berolahraga dan bergaya hidup sehat. Sejak saat itu, aku pun jadi lebih rutin berolahraga.

Resolusiku berolahraga itu pada akhirnya baru benar-benar terwujud ketika pikiranku berubah, ketika aku menyadari bahwa olahraga adalah salah satu cara yang bisa kulakukan untuk hidup sehat, bukan sekadar aktivitas sampingan. Dan, hal inilah yang kemudian mendorongku untuk memikirkan kembali semua resolusi yang kubuat setiap tahunnya. Tanpa pembaharuan pikiran, resolusi yang kulakukan akan terasa berat untuk kulakukan. Dalam setiap resolusi yang kubuat, aku perlu memikirkan: apakah resolusi tahun baruku menyentuh masalah-masalah yang mendasar dalam hidupku? Atau, apakah resolusiku hanya sekadar untaian kata yang pada akhirnya akan sulit kupraktikkan?

Saat ini, aku sedang berusaha mewujudkan resolusiku. Dan inilah yang mengajariku untuk menghargai komitmenku, dan menolongku untuk hidup lebih terarah sepanjang tahun. Aku tidak pernah tahu kapan waktuku akan berakhir. Namun yang bisa aku lakukan adalah menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin.

Resolusi dan perubahan apakah yang ingin kamu lakukan di tahun ini?

Baca Juga:

Interupsi dari Allah

Di tengah kesibukan yang menjadi rutinitas sehari-hari, ada kalanya jadwal yang sudah kita buat tidak berjalan semestinya. Pernahkah kita menyadari bahwa mungkin itu adalah interupsi yang dilakukan Allah?

Interupsi dari Allah

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Di samping kuliah, aku terlibat dalam pelayanan untuk siswa SMA. Aktivitas ini membuat jadwal keseharianku menjadi penuh. Aku perlu meluangkan waktu untuk rapat, membicarakan pola pelayanan, juga berdoa bersama rekan-rekan sepelayananku. Itu belum ditambah dengan kegiatan perkuliahan dan pekerjaan lainnya yang semakin menambah padat jadwalku. Lama-lama, semua kesibukan itu terasa menjadi rutinitas buatku. Aku tahu pasti hal-hal apa saja yang harus kukerjakan pada setiap waktu. Tapi, tanpa kusadari, inilah yang menyebabkanku seringkali mengabaikan interupsi dari Allah pada setiap aktivitasku.

Interupsi dari Allah yang kumaksud di sini adalah gangguan yang terjadi pada jadwalku. Allah dapat melakukan banyak hal untuk membuat jadwal yang sudah kubuat ternyata tidak berjalan semestinya. Semisal, kereta yang kutumpangi terlambat ketika aku sudah datang ke stasiun tepat waktu. Kupikir tidak ada orang yang suka keterlambatan. Atau, ketika badanku sudah terasa lelah dan aku ingin langsung pulang ke rumah menggunakan transportasi paling cepat, eh, ada temanku yang mengajak pulang bareng dengan transportasi yang memakan waktu lebih lama. Buatku, itu semua terasa melelahkan.

Namun, setelah beberapa kali mengalami hal seperti itu, aku mendapati bahwa sebenarnya Allah punya rencana lewat semua hal yang terjadi dalam hidupku. Penantian kereta yang datang terlambat membuatku bisa terdiam sejenak dan merenung. Pulang bersama temanku yang melewati jalanan yang lebih jauh membuatku jadi bisa berbincang dengannya lebih lama. Dari perbincangan ini, aku jadi tahu bagaimana kondisinya, dan dia pun akhirnya bisa mendengar sharing ceritaku tentang pengalamanku bersama Allah.

Christine Caine dalam bukunya yang berjudul “Undaunted”, menceritakan kembali kisah Alkitab tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:30-37). Ada seseorang yang jatuh ke tangan penyamun hingga ia hampir mati. Dalam kondisinya yang kritis, ada tiga orang yang lewat di dekatnya, yaitu seorang imam, Lewi, dan orang Samaria. Imam dan orang Lewi melewati korban itu begitu saja. Tapi, orang Samaria, karena tergerak oleh belas kasih, menunda sebentar perjalanannya untuk menolong korban penyamun itu. Dalam kisah ini, imam dan orang Lewi tidak dikatakan sebagai orang jahat; tapi mereka adalah orang-orang beragama yang sibuk. Mereka begitu fokus menjalani rutinitas dan kegiatan ibadah mereka sampai-sampai mereka melewatkan seseorang yang seharusnya mereka tolong.

Aku tidak pernah memikirkan kisah orang Samaria dari perspektif ini sebelumnya. Aku tertegun dan merasa ditegur. Kesibukanku melayani di pelayanan siswa pernah membuatku menutup diri dari teman-teman kampusku yang ingin menemuiku untuk bercerita. Bahkan, kesibukan pelayananku ini seringkali membuatku lupa kepada rekan sepelayananku. Aku berfokus pada pelayananku sendiri: pada sekolah yang aku bimbing dan pada siswa-siswi yang aku layani. Aku lupa kalau aku juga punya rekan sepelayanan yang bukan robot. Mereka tentu punya pergumulan. Mereka butuh diperhatikan dan didengar, sesuatu yang juga dibutuhkan oleh semua manusia.

Satu-satunya perbedaan antara orang Samaria dengan imam dan orang Lewi adalah orang Samaria rela berhenti. Orang Samaria rela rencananya terganggu supaya dia dapat membantu orang asing yang menjadi korban penyamun. Orang Samaria mau merendahkan dirinya untuk mengangkat mereka yang susah.

Christine Caine, dalam buku “Undaunted” di halaman 168, menuliskan bahwa rendah hati dan merendahkan diri itu berbeda. Belas kasih hanyalah emosi dalam diri kita. Ketika belas kasih itu membuat kita bertindak, barulah belas kasih itu dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi nyata.

Kesibukan kita seringkali dapat membuat kita tidak melihat orang-orang di depan mata kita yang sekiranya perlu kita tolong. Waktu kita hanya fokus melihat ke depan tanpa memedulikan gangguan yang datang dari kanan dan kiri, Allah bisa saja menggunakan gangguan itu agar kita menjadi jawaban doa bagi seseorang.

Secara pribadi, aku merenungkan dan mendapati bahwa Allah tidak ingin aku hanya mengerjakan pelayanan utamaku saja tanpa tujuan. Tuhan, yang menempatkanku berada di kampus dan lingkungan pekerjaanku sekarang, rindu agar banyak orang dapat menikmati kasih-Nya lewat hidup setiap kita. Kiranya setiap kita dianugerahkan kepekaan terhadap rencana-rencana-Nya yang dapat menginterupsi jadwal dan rutinitas kita.

Baca Juga:

Tuhan, Anugerahkan Kepadaku Ketenangan

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.