Penjaga Jiwa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Khina melihatnya lebih dulu. Tepat ketika kakinya dan Erik menjejak di lantai empat, Rino tampak berdiri beberapa langkah di depan mereka. Kepalanya ditutup dengan kupluk abu-abu. Seutas tali rafiah yang ujungnya membentuk simpul digenggam dengan kedua tangannya, melingkar di lehernya. Satu ujung yang lain terikat pada tiang balkon. Sekali lompat… selesai. Rino yang tak menyangka kemunculan Khina dan Erik, menghentikan usahanya sejenak namun tangannya terkepal kuat-kuat menggenggam ujung tali di lehernya itu. Khina melirik Erik.

“Rik, buruan cari guru!” Suara Khina mendadak parau, napasnya memburu. Erik balik badan, bergegas turun. Khina mencoba berpikir cepat, kata-kata apa yang hendak dikeluarkannya untuk menenangkan Rino agar tak gegabah bertindak. Di hatinya, Khina terus merapalkan doa. Ia minta Roh Kudus yang tuntun setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Dadanya berdebar lebih cepat dan mendadak terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

“Rino, hidup kamu terlalu berharga untuk kamu selesaikan dengan cara begini.”

“Gak ada yang peduli sama aku, Khina…” suara Rino tercekat di tenggorokan. Ia buru-buru melempar pandangannya ketika bersirobok dengan mata Khina. Ada sesuatu di mata itu yang membuatnya kembali tunduk menyembunyikan wajahnya yang pias.

“Tuhan Yesus sayang kamu, Rino. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Erik mencari kamu karena sayang sama kamu.”

“Hitam. Pendek dan… kata-kata itu… yang selalu dilontarkan teman-teman untuk mengolok-olok kondisi fisikku. Itu menyakitkan, Khina. Selama ini aku berusaha meredam emosiku. Segala sesuatu ada batasnya kan, Khin? Aku… Aku… gak kuat… arrghhh…” Suara Rino tenggelam oleh tangisnya yang pecah.

“Rino, percayalah…” Khina bergeming beberapa detik. Di ingatannya muncul Roma 8:18, firman yang dibacanya beberapa hari kemarin. Pelan, kakinya mendekat dua langkah, “… Semua penderitaan yang kita alami sekarang, tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Khina tak berkedip memerhatikan tangan Rino yang perlahan melonggarkan ikatan tali rafiah di lehernya. Rino sesenggukan. Bahunya naik turun setiap kali air matanya jatuh. Di waktu yang bersamaan, Erik yang muncul dengan beberapa orang guru, mendekati dan merangkul Rino menjauh dari tali yang nyaris membuatnya kehilangan seorang kawan. “Hidupmu berharga, bro.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian di lantai empat itu, Khina merasa gagal mengerjakan tugasnya menjangkau jiwa-jiwa baru untuk diajak bergabung ke kelompok selnya. Padahal, tiap doa Khina telah sungguh-sungguh meminta Tuhan kirimkan jiwa. Ia juga telah melakukan promosi di tiap ibadah. Bukannya bertambah, malahan beberapa kawan komselnya tak bisa hadir di kegiatan mingguan mereka. Itu membuatnya sedih.

Rasa tak nyaman yang mengusik hati Khina dan Erik ketika menyadari Rino tak ada di kelas saat mereka hendak ulangan, adalah pekerjaan Roh Kudus. Bisa saja mereka mengabaikan rasa itu dan terus tinggal di dalam kelas hingga pelajaran selesai. Namun, ketidaknyamanan itu membuat mereka berinisiatif mencari Rino ke balkon lantai empat.

Lalu Tuhan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada tulang-tulang yang kering itu, “Aku Tuhan Yang Mahatinggi meniupkan napas ke dalam dirimu supaya kamu hidup kembali. Kutaruh urat dan daging padamu serta Kubalut kamu dengan kulit. Kamu akan Kuberi napas sehingga hidup. Maka tahulah kamu bahwa Akulah Tuhan.” (Yehezkiel 37:4-6 BIMK).

Kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mau pakai kita. Kejadian di sekolah siang itu menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi Khina. Karena lewat kejadian itu, Tuhan mengajarkannya tak sekadar meminta jiwa. Tapi, bagaimana menanggapi kegelisahan yang Tuhan taruh di hatinya untuk menjadi penjaga jiwa dan menyelamatkan jiwa rapuh yang Tuhan sudah berikan dan tempatkan di dekatnya.

Pernahkah kamu gelisah, jenuh, bahkan menjadi tak sabaran mengerjakan sesuatu yang hasilnya tak jua tampak dan rasanya jauh dari harapan?

Setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk mengerjakan tugas mulia yaitu, Amanat Agung (Matius 28:19-20). Sebuah tugas yang bukan sekadar menjangkau jiwa baru. Tetapi, bagaimana melatih diri sendiri menjadi murid yang mau buka hati, mau taat, mau dibentuk karakternya lewat masalah yang Tuhan izinkan terjadi di hidup kita; sebelum kita menyaksikan pekerjaan Tuhan di hidup kita kepada orang lain. Masalah akan terus datang! Berterima kasihlah pada masalahmu, sabar dan setialah berproses. Tuhan sudah menyiapkan master plan untuk hidup kita sampai kekekalan.

Yuk! Latih kuping rohani agar peka dengan suara Tuhan dengan tekun membaca firman. Karena cara pandang dan pikiran Tuhan, berbeda dengan manusia. Mari sama-sama belajar dari pengalaman spiritual Khina.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Cara Memuliakan Tuhan dengan Emosimu

Oleh Charmain Sim.

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways to Glorify God with Your Emotions.

Masa-masa menjadi ibu menunjukkanku bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang kalem seperti yang kukira dulu. Semenit pertama aku kesal karena anakku tidak membereskan mainannya. Menit kedua, aku tertawa melihat tingkahnya menepuk-nepuk krayon supaya krayon-krayon itu tidur. Sukacita, frustrasi, senang, lelah, empati, tergesa-gesa, antusias, dan kesedihan—semuanya adalah emosi yang hadir setiap hari seperti roller-coaster.

Hasilnya, saat ini aku mengerti lebih baik tentang volatilitas emosi. Artinya, emosi itu bisa berubah dengan sangat cepat, mendorong dan menarikku ke berbagai arah jika aku bertindak berdasarkan apa yang kurasakan pada suatu saat. Mengalami berbagai macam emosi setiap hari membuatku merenung: apakah ada cara yang lebih baik untuk menanggapi setiap perasaanku?

Tidaklah salah untuk merasakan sesuatu. Perasaan diciptakan oleh Allah. Perasaan bisa dan harus memuliakan Allah (1 Korintus 10:31). Alkitab selalu bicara tentang seseorang secara utuh, seperti yang Yesus sampaikan di Matius 22:37, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana? Apa artinya memuliakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud seperti perasaan?

Salah satu ayat favoritku mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Gambaran yang muncul ketika kita berpikir tentang “menjaga hati” adalah memasang pagar pengaman untuk menjaga hati kita dari segala sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi, supaya memastikan hati kita memancarkan kehidupan, kita harus melihat ke dalam pagar pengaman itu, untuk menyelidiki apa yang ada di dalamnya, yakni emosi kita. Apakah emosi kita berada di bawah naungan terang kebenaran ilahi supaya kita bisa menanggapi segala sesuatu dengan cara yang sesuai Alkitab?

Ini sama sekali bukan daftar lengkap tentang cara-cara menangani emosi kita, tetapi ada tiga kebenaran yang saat ini sedang kupelajari untuk kuterapkan pada emosiku, dalam upayaku untuk menjaga hatiku lebih baik.

1. Akui dan serahkan emosimu pada Allah

Akan lebih mudah untuk memuliakan Allah ketika kita sedang mengalami emosi yang positif. Dulu aku percaya bahwa merasa negatif itu tidak baik. Ketika aku sedih atau marah, aku memilih mengubur perasaan ini daripada mengutarakannya. Kecenderungan ini muncul karena watak alamiku, tetapi pengalamanku di masa lalu juga turut mempengaruhi bagaimana aku merespons. Namun, Alkitab menunjukkan sebaliknya, terkhusus di kitab Mazmur. Tidaklah salah untuk mengakui perasaan-perasaan kita. Faktanya, raja Daud datang kepada Allah membawa serta seluruh emosi negatifnya: ketakutan, kesedihan, kesepian, kemarahan, rasa sakit.

Tahun lalu aku bergumul dengan amarah. Dipicu hal kecil, awalnya aku berpikir untuk mengabaikan saja masalahnya. Tapi, semakin kuabaikan, semakin rasa marah itu tumbuh. Ketika aku jujur pada Tuhan, Dia membuka pandanganku untuk melihat bahwa kemarahanku lahir dari persepsiku bahwa aku gagal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Hanya ketika aku mengakui dan jujur, di situlah Tuhan menyentuh dan membebaskanku dari belenggu kemarahan.

Aku belajar apa yang selama ini Daud ketahui: mengakui perasaan kita kepada Tuhan bukanlah suatu kelemahan. Sebaliknya, ketika kita melakukannya, kita mengaku bahwa kita membutuhkan Dia dan kita siap mendengar apa yang Allah ingin katakan buat kita. Dengan mengakui, kita turut menyatakan bahwa Allah jauh lebih besar daripada emosi yang dapat mengendalikan kita. Saat kita menjadikan Allah sebagai kekuatan dalam kelemahan kita, kita memuliakan Dia. Inilah mengapa, apa pun yang terjadi Daud tetap dapat memuji Allah (Mazmur 43:5).

2. Bicarakan firman Allah kepada emosi yang kamu rasakan

Ada saat-saat ketika aku dicengkeram rasa takut. Aku takut orang yang kukasihi meninggal. Takut akan keamanan. Takut melukai bayiku. Takut kehilangan kewarasanku. Ketakutan itu datang dalam berbagai bentuk dan ukuran dan selalu mencengkeramku. 

Tapi, tiap kali merasa takut, kubuka Alkitabku. Ayat-ayat seperti Roma 8:15 atau 2 Timotius 1:7 yang menyatakan bahwa Allah memberikan kita bukan roh ketakutan, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan penguasaan diri, telah menolongku berjuang melawan rasa takut. Aku dikuatkan dan dibebaskan ketika menjadikan ayat tersebut doa buatku sendiri. Ketika firman itu kukatakan pada perasaanku, ketakutanku tidak langsung hilang. Namun, ketika aku terus melakukannya, pelan tapi pasti, rasa takut itu kehilangan daya cengkeramnya pada diriku.

Bukan berarti aku tidak lagi merasa takut, tapi sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik bagaimana perasaanku sendiri mengarahkanku. Ketika perasaanku mengalihkanku menjauh dari Tuhan, aku bisa melawannya dengan senjata yang Tuhan telah berikan. Ketika aku melakukan ini, aku sedang memuliakan Dia.

3. Ubah emosimu menjadi tindakan

Meskipun perasaan kita bisa jadi indikator akan kondisi batin kita, perasaan juga bisa jadi cara Tuhan menyatakan kerinduan-Nya bagi kita agar kita bisa berjalan menuju tujuan-Nya bagi kita.

Membaca berita tentang anak-anak yang diperjualbelikan membuat kita marah. Mendengar tentang kehilangan seorang teman membuat kita sedih. Menyaksikan masalah sosial di kota kita membuat kita putus asa. Daripada berkubang dalam perasaan-perasaan itu, membanya ke hadapan Tuhan akan menolong kita memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Yesus ingin pergi menyendiri, tetapi Dia tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang lapar sehingga Dia pun memilih melayani mereka (Markus 6:30-44). Setelah mendengar tentang reruntuhan Yerusalem, Nehemia mengubah kesedihannya menjadi tindakan nyata dengan memulai kembali pembangunan tembok kota (Nehemia 1).

Berjuang demi keadilan sosial, menghibur seorang teman, atau berlutut dalam doa syafaat—ada kalanya Roh Kudus mendorong kita untuk melakukan tindakan yang diarahkan Allah melalui emosi kita. Untuk memastikannya, kita perlu berhenti sejenak. Jika itu memang dari Roh Kudus, maka respons kita adalah taat. Itulah momen ketika letupan emosi kita bisa berubah menjadi tindakan yang memuliakan Allah.

***

Sejak aku berdamai dengan emosi-emosi dalam diriku, aku telah menemukan bahwa emosi adalah alat yang berguna untuk mengukur bagaimana kondisi batinku–dan aku ingin mengajakmu untuk melakukan yang sama. Saat kita memahami hati kita lebih baik, kita bisa mengambil langkah yang tepat untuk memuliakan Tuhan. Dari berserah kita jadi berdaya untuk taat. Perasaan kita bisa jadi sarana yang mendorong kita untuk memelihara “mata air” kehidupan dalam diri kita yang mengalirkan kasih, kebaikan, dan anugerah Tuhan.

Kiranya apa yang dituangkan keluar dari hati kita memuliakan Allah dalam segala hal.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

4 Makna di Balik Persembahan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Apa yang membuat seseorang tergerak hatinya untuk memberi persembahan?

Jika pertanyaan ini dilontarkan padaku, mungkin jawabanku adalah jika orang tersebut memiliki uang, entah banyak atau sedikit. Tapi, sekadar memiliki uang saja sebenarnya tidaklah cukup. Alkitab memberikan kita contoh yang jelas. Ketika Yesus mengamat-amati orang-orang yang memberikan persembahan di bait Allah, perhatiannya malah tertuju pada seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Yesus bahkan menyanjung si janda tersebut karena nominal yang diberikan adalah yang terkecil dari semua persembahan yang dimasukkan ke kotak, tetapi diberikan dengan sikap hati yang besar.

Kondisi finansial mungkin akan mempengaruhi nominal persembahan yang kita berikan, namun nominal bukanlah yang pertama dan terutama. Ada empat hal yang kupelajari mengapa persembahan kita, yang kita berikan dengan berbesar hati—seberapa pun nominalnya, berkenan buat Tuhan.

1. Memberi persembahan adalah ekspresi iman kita

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dalam segala hal, sebab Tuhan itu baik. Cara bersyukur pun beragam, tidak hanya  dengan ucapan tetapi juga dengan tindakan, seperti memberi persembahan. Dalam Yesus Kristus, kita mengimani bahwa berkat Tuhanlah yang menjadikan kita memiliki segalanya, bahkan hidup kekal dari anugerah-Nya.

Tuhanlah yang empunya segalanya. Persembahan yang kita berikan bukanlah untuk memperkaya-Nya, tetapi ekspresi iman kita, bahwa kita mengasihi Tuhan lebih daripada berkat-berkat-Nya, dan kita selalu dipelihara-Nya (Mazmur 96:8; Matius 6:26). Tuhan pasti selalu mencukupkan segala yang dibutuhkan terlepas penghasilan kita banyak atau sedikit.

2. Memberi persembahan berarti memberikan yang terbaik bagi Tuhan

Dalam perikop Markus 12:41-44, kisah janda miskin memberikan persembahannya mendapat sanjungan dari Yesus yang kala itu berada dalam Bait Allah sambil memperhatikan orang-orang yang datang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Dengan dua peser senilai uang satu duit, janda miskin tersebut telah memberi yang terbaik bagi Tuhan dibanding pemberian orang-orang kaya dari kelebihannya.

Apa yang terbaik yang bisa diberikan seseorang yang secara kasat mata tak punya apa-apa? Tokoh janda miskin menggambarkan situasi kehidupan yang serba kekurangan. Secara strata sosial, janda miskin berada di lapisan terendah. Hidupnya hanya bergantung pada penghasilan sendiri atau bahkan pemberian orang lain. Tentu ini adalah kondisi yang kontras dengan kebanyakan pemberi persembahan saat itu.

Dengan segala kekurangannya, janda miskin itu sungguh-sungguh menyerahkan seluruhnya untuk Tuhan. Persembahan dua peser dari janda miskin adalah pemberian yang kuantitasnya sangat kecil, tetapi nilai kualitasnya sangat besar di hadapan Yesus. Bagi-Nya, persembahan yang terbaik adalah bukan soal nominalnya, kuantitasnya, melainkan sikap hati, yaitu ketulusan dan kesungguhan memberi dengan tujuan yang murni untuk Tuhan.

Memberi persembahan bukanlah sebuah paksaan, tetapi pemberian yang didasari kasih dan sukacita kita kepada Tuhan, sehingga kita seharusnya memberikan yang terbaik. Jangan menunggu kaya, untuk mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Apakah finansial kita lebih, cukup atau kurang, yang terbaik di hadapan Tuhan adalah ketulusan dan motivasi kita dalam memberi.

3. Memberi persembahan adalah sebuah pengorbanan

Dua peser yang diberikan janda miskin bisa kita sebut sebagai persembahan kehidupan, sebab dia memberikan segala yang dia miliki. 

Teladan persembahan janda miskin ini memang sulit untuk kita lakukan. Aku pernah jadi orang yang pikir-pikir dulu sebelum memberi persembahan. “Aku butuh ini dan itu Tuhan. Bagaimana mungkin uangku ini kupersembahkan bagi-Mu?” Aku mencari pembelaan atas keenggananku memberi.

Aku juga pernah berharap dalam hati untuk mendapatkan imbalan ketika aku mengorbankan waktu dan tenagaku untuk melayani. Namun, puji Tuhan, teladan janda miskin menyadarkanku bahwa memberi persembahan adalah pengorbanan yang seharusnya aku tidak mengharapkan balasan.

Berbicara tentang persembahan yang kumaknai sebagai sebuah  pengorbanan, aku teringat pada pengorbanan Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa demi keselamatan hidup kita. Dia adalah Tuhan kita yang telah mempersembahkan diri-Nya untuk kebaikan kita, tidakkah kita juga harus  merespons kasih-Nya itu dengan memberi persembahan tanpa mengharapkan imbalan? (Matius 6:3-4; Kolose 3:23).

4. Mempersembahkan hidup adalah persembahan sejati

Ketika kita berbicara tentang persembahan kepada Tuhan, sejatinya bukan hanya soal uang atau harta lainnya. Lebih dari semuanya itu, sesungguhnya hidup dan seluruh kehidupan kita adalah persembahan sejati bagi Tuhan. Saat kita memberikan persembahan, apakah kita sudah mengasihi sesama?

Mengasihi Allah dengan memberikan persembahan bagi-Nya tidak bisa dipisahkan dari ekspresi ibadah kita yang horizontal, yakni mengasihi sesama kita. Persembahan kita akan berkenan dan berarti apabila itu selaras pula dengan perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita yang taat pada firman Allah.

Dalam Perjanjian Lama, para imam menguduskan diri terlebih dahulu sebelum mempersembahkan korban bakaran dari umat Israel. Di zaman Perjanjian Baru, Imam Agung kita, yaitu Yesus Kristus juga telah mempersembahkan diri-Nya  sebagai korban penebus dosa.

***

Kisah janda miskin dan orang kaya dalam memberi persembahan menjadi pengingat bagi kita bahwa memberi persembahan bukanlah ajang untuk mempertontonkan kekayaan dan kekuasaan, melainkan dengan rendah hati kita memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Mari merenungkan bahwa dua peser saja cukup dan dikenan Tuhan. Artinya dengan apa yang dimiliki untuk dipersembahkan dengan penuh iman dan ketulusan, Tuhan sanggup memakainya untuk menjadi berkat, terlebih menjadi hormat dan kemuliaan di hadapan Tuhan.

Kiranya Tuhan selalu berkenan untuk setiap persembahan yang kita beri, dan hidup kita  menjadi persembahan sejati bagi-Nya.

“Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan  diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5:2).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan yang Tidak Pernah Absen

Oleh Grace Angelique Natanael, Jakarta

Bagaimana rasanya kalau kita harus kehilangan sesuatu yang telah jadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kita? Sejak 2018, setiap hari Senin dan Kamis aku selalu mengisi kegiatanku dengan berlatih taekwondo. Meskipun waktu mulai dan lokasinya seringkali berubah, atau kadang pula muncul rasa malas dan lelah hingga aku memilih absen, rutinitas ini tetap berusaha kuikuti dengan setia.

Taekwondo adalah cabang latihan bela diri yang berasal dari Korea. Setiap kali sesi latihan durasinya bisa berjam-jam. Bahkan, kadang waktu istirahatnya hanya cukup buat minum saja. Pasca latihan, aku menderita kram otot kaki yang lazim terjadi di tengah tidur malamku. Akan tetapi, latihan yang kuanggap menyakitkan ini justru malah menjadi hal yang sangat aku rindukan.

Pada bulan Maret 2023, aku mengambil keputusan untuk keluar klub setelah menerima sabuk biru strip merahku, saat tinggal empat sabuk lagi menuju sabuk hitam. Alasannya? Bukan karena keluhan-keluhan tadi, melainkan penyakit yang entah dari mana muncul di hidupku semenjak pertengahan 2021, yaitu dermatitis, radang kulit yang disertai rasa gatal. Sakit yang luar biasa menjalar di hampir seluruh tubuhku dan luka-lukanya membuatku bahkan jijik melihat diriku sendiri. Dalam kurun waktu tertentu, dalam sehari aku bisa menangis setidaknya dua kali.

Kacau! Diriku di tahun-tahun itu sangat kacau. Aku coba berlari sejauh mungkin. Apa itu pakaian yang nyaman? Seluruh diriku harus tertutup. Masker untuk menangkal virus? Bukan! Masker itu untuk menutupi wajahku. Self-esteem-ku jatuh bebas di kala itu. Bahkan pernah, ketika aku membersihkan diri, aku terisak begitu kencang karena perihnya luka-luka di tubuhku itu. Namun di saat itu, Tuhan tidak diam. Tuhan hadir lewat Mama yang ternyata selama ini sangat perhatian dan menunjukkan kekhawatirannya. Mama membantu aku mengoleskan obat pada luka-lukaku. Sentuhannya menenangkanku, sehingga rasa sakitnya buyar begitu saja. Tuhan juga memenuhi halaman sosial mediaku dengan konten-konten positif. Ia mengingatkan aku berkali-kali bahwa begitu berharganya aku. Bukan hanya itu, Tuhan menempatkan aku di lingkungan yang sangat suportif. Di saat aku tak bisa melihat apa yang indah dari diriku, teman-temanku tak bosan-bosannya memujiku. Perlahan kuterima afirmasi positif itu, seiring itu aku pun sembuh.

Ada satu dokumentasi yang aku simpan pada 2022, video ketika aku sedang down. Awalnya tujuanku merekam hal ini semata-mata adalah untuk mengingat “perjuanganku” bertahan, tapi ujungnya justru malah mengalir begitu indah! Dokumentasi ini mengingatkanku terhadap karya Tuhan dalam hidupku selama ini. Keluhanku berubah menjadi rasa syukur seiring video berjalan. Malahan video itu diakhiri dengan doa yang sama sekali tak aku rencanakan.

Di dalam penderitaanku, Tuhan memang tidak memberikan yang aku mau. Aku ingin langsung sembuh, tetapi Tuhan menghadirkan orang-orang berharga dalam hidupku. Mereka menyadarkanku bahwa Tuhan menerima aku apa adanya. Tuhan bukan hanya berkenan menghampiri aku yang menderita, Dia juga membawa aku mendekat pada-Nya supaya penderitaan itu terhapus.

Keluarnya aku dari olahraga yang telah aku tekuni selama lima tahun, ternyata tidak seberat yang kubayangkan. Kini, Tuhan mengganti rutinitasku dengan hadirnya teman-teman les yang positif. Dalam setiap rasa sakit, Tuhan tak pernah meninggalkan aku. Selalu ada bahasa cinta Tuhan yang Ia sampaikan padaku. Dan lagi, Tuhan selalu menyediakan yang lebih baik dari yang aku sangka. Ia adalah Pendamping dan Penyedia yang kubutuhkan. Tuhan yang luar biasa menyertai aku. Sebagaimana yang ditulis dalam Ulangan 31:8, Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.”

Grace Angelique adalah siswa kelas X, salah satu peserta workshop menulis WarungSaTeKaMu pada 1 September 2023.

Ini adalah tulisan pertamanya di WarungSaTeKaMu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kasih Karunia Tuhan dalam Pencarian Pekerjaanku

Oleh Yosheph Yang

Kurang lebih enam bulan lalu, aku menulis tentang bagaimana pentingnya janji Tuhan, iman, dan kesabaran dalam penantian penggenapan janji-Nya. Ceritaku tentang ini bisa dibaca di sini. Dengan berpegang pada janji Tuhan dan melalui kasih karunia-Nya, aku diterima sebagai dosen tetap dengan jaminan pensiun di salah satu universitas negeri di Korea Selatan. Di artikel ini, aku akan menceritakan bagaimana Tuhan memimpin langkahku dalam menjadi dosen.

Di awal masa studi doktoralku, aku tidak terlalu berpikir untuk menjadi dosen setelah lulus. Aku lebih kepikiran untuk bekerja di institusi penilitian dan semacamnya dibandingkan dengan bekerja di bidang akademik. Menjelang akhir masa studi doktoralku, keinginan untuk menjadi dosen mulai muncul. Dikarenakan bidang penelitianku yang sangat terkait dengan rahasia negara, kemungkinan aku untuk diterima di lembaga penelitian di luar negeri sangat kecil. Mentor rohaniku di saat studi doktoralku juga menceritakan jika aku diterima sebagai dosen, aku akan memiliki banyak interaksi dengan mahasiswa sehingga dapat memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang membutuhkan. Pergumulanku menjelang kelulusan doktoralku juga dapat dibaca di sini.

Setelah lulus dari studi doktoralku, aku diterima sebagai dosen tanpa tenur (jaminan menjadi dosen tetap) di salah satu universitas swasta di Korea Selatan. Selama masa kerjaku di universitas tersebut, aku telah mengirimkan 9 aplikasi di dua tahun pertama. Tidak ada universitas yang mau menerima dikarenakan aku orang Indonesia. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pendanaan riset dari pemerintah Korea.

Mentor rohaniku mengatakan kepadaku bahwa Tuhan akan membukakan pintu buatku. Beliau menceritakan kisahnya sebagai satu-satunya pelamar untuk pekerjaan yang beliau daftar di masa lalu. Aku sedikit skeptik mendengar cerita tersebut. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya pelamar untuk pekerjaan sebagai dosen yang sangat banyak peminatnya? Bagaimana aku bisa bersaing dengan orang Korea lainnya?

Aku mengakui ketidakpercayaanku dan menuangkan segala permasalahanku kepada Tuhan. Kurang lebih isi doaku adalah seperti ini.

Tuhan, Engkau sangat mengerti situasi pekerjaanku sekarang. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai dosen dengan jaminan tenur. Di Indonesia sendiri, tidak banyak lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang penelitianku. Walaupun ada, aku harus mengorbankan gaji dan penelitianku jika pulang ke Indonesia. Apabila rencana Tuhan buatku adalah bekerja di Indonesia, tolong ubah hatiku dan bukakan jalanku. Bantu aku mempercayai-Mu sebagaimana Engkau telah membawa aku sejauh ini. Apabila rencana-Mu bagiku adalah bekerja di Korea, tolong pimpin jalanku. Jika rencana-Mu bagiku ada bekerja di Korea, tolong berikan aku pekerjaan sebagai dosen di universitas negeri yang tidak banyak memaksakan publikasi dan pendanaan riset sehingga aku bisa memiliki waktu yang lebih untuk pemuridan mahasiswa lainnya.

Di masa pencarian pekerjaan, aku memegang janji Tuhan di Yesaya 30:18, “Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”

Tuhan menantikan saat yang tepat untuk memberikan yang terbaik. Karena kita berharga bagi Kristus, Ia akan memberikan yang terbaik buat kita. Sering sekali Tuhan memakai masa penantian ini untuk membentuk karakter kita bertumbuh menyerupai Kristus.

Di awal bulan Mei 2023, tiba-tiba ada lowongan sebagai dosen dengan jaminan tenur di salah satu universitas negeri di Korea. Lebih spesifik lagi, lowongan ini hanya terbuka bagi warga negara asing atau orang Korea dengan multi-kewarganegaraan. Banyak dosen-dosen lain di sekitarku yang menyarankanku untuk mendaftar di posisi tersebut.

Setelah mengirimkan pendaftaranku, aku mendapatkan informasi bahwa aku lolos untuk wawancara departemen. Di masa wawancara tersebut, aku juga bertemu dengan orang asing lainnya. Beliau memiliki banyak pengalaman dibanding aku dan telah memiliki banyak publikasi. Salah satu hal yang aku cukup baik dibanding beliau adalah kemampuan bahasa Koreaku. Aku berdoa kepada Tuhan supaya aku tidak melihat situasi sekitarku dan bisa lebih fokus kepada pimpinan Tuhan.

Dikarenakan universitas yang aku daftar ini adalah universitas negeri, minimal satu orang akan dipanggil untuk wawancara terakhir dengan para petinggi universitas. Dan, rektor universitas yang aku daftar ini berasal dari jurusan yang aku daftar. Beliau telah mendengar tentang aku dari para dosen di jurusan ini. Wawancara terakhirku berlangsung hanya 5 menit. Melalui kasih karunia Tuhan, aku diterima di posisi ini.

Setelah diterima, aku menanyakan kepada kepala jurusan mengapa mereka membukakan lowongan untuk orang asing. Beliau mengatakan pada awalnya mereka pada awalnya menginginkan untuk menerima dosen Korea. Tetapi dikarenakan jumlah dosen Korea sudah banyak, pihak petinggi universitas hanya memperbolehkan menerima orang asing. Aku melihat ini semua sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan di dalam kehidupanku. Di saat aku memerlukan pekerjaan sebagai dosen tetap, Tuhan menggerakan hati para petinggi universitas yang hanya memperbolehkan untuk menerima orang asing.

Aku sangat berterima kasih buat pimpinan Tuhan di kehidupanku. Saat pertama kali aku datang ke Korea di tahun 2015, tidak pernah terpikir bagiku untuk menjadi dosen. Kadang-kadang aku merasakan aku kehilangan satu tahun di masa pembelajaran insentif bahasa Korea di tahun pertama masa studiku. Tetapi, Tuhan menggunakan waktu pembelajaran tersebut dan persekutuanku bersama gereja Navigators Korea untuk meningkatkan kemampuan bahasa Koreaku. Yesaya 55:8-9 berkata, Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”

Melihat Tuhan membukakan posisi di universitas negeri yang hanya menerima orang asing, aku mengalami bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Yeremia 32:27 juga berkata, Sesungguhnya, Akulah Tuhan, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk-Ku?” Hal penting yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita adalah mempercayai-Nya dan menantikan Dia bertindak dalam ketekunan dan ketaatan dalam iman.

Ibrani 10:35-36, Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya. Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Arti Sesungguhnya di Balik Menjadi Diri Sendiri

Oleh Rio Hosana, Surabaya

Aku mengenal seorang perokok berat yang hidupnya tidak lengkap kalau tidak merokok setiap harinya. Suatu hari aku menghampiri dan menegurnya dengan lembut. Harapanku supaya dia bisa sadar lalu meninggalkan kebiasaan ini. Alih-alih mendapat respons positif, dia justru menjawab, “Inilah diriku! Aku tidak perlu menjadi orang lain bahkan di hadapanmu. Silakan pergi jika kamu tidak bisa menerimaku apa adanya. Aku hanya sedang menjadi diriku sendiri.”

Jawaban itu membawaku pada perenungan. Seringkali frasa “menjadi diri sendiri” disalahgunakan ke dalam bentuk yang tidak tepat. Perokok itu memang sudah terbiasa merokok. Lingkungannya pun mengenal dia sebagai perokok berat, sehingga menjadi janggal ketika dirinya tidak lagi menghisap rokok. Identitas “perokok” telah tertulis di atas dahinya dan dia pun merasa nyaman dengan label itu. Bahkan, label itu dirangkulkan menjadi identitas mutlak yang seakan-akan berbunyi, “bukan aku kalau tidak merokok.”

Rasul Paulus mengajarkan kita dalam Efesus 4:17-32 untuk tidak hidup seperti orang yang tidak mengenal Allah (ayat 17). Identitas kita yang telah diperhamba oleh dosa membawa kebiasaan buruk dalam kehidupan sehari-hari. Kita enggan melepaskan diri dari hawa nafsu dan menyerahkan diri ke dalamnya. Kenyamanan kita di dalam lumpur dosa—entah itu rokok, pornografi, alkohol, kata-kata kasar dan kebiasaan buruk lainnya dilapisi dengan prinsip “menjadi diri sendiri”. Namun atas penebusan Kristus (ayat 20), kini kita telah melihat terang yang begitu bersinar di dalam kehidupan kita yang gulita. Dosa dan segala hal yang memperhamba kita telah ditebus di dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu, kita diminta untuk menanggalkan manusia lama (ayat 22), yakni kehidupan kita di dalam dosa, sebab hal itu hanya akan mendatangkan kebinasaan bagi kita. Sebaliknya, “… mengenakan manusia baru,” kata Paulus (ayat 24). Artinya kita diminta untuk senantiasa hidup menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Melalui perikop ini, aku menyadari bahwa versi terbaik dari diri sendiri adalah hidup seturut kehendak Allah. Itulah identitas manusia baruku sebagai hamba Allah yang telah ditebus dalam Kristus Yesus— tidak lagi menjadi hamba dosa. Ketika berjalan bersama-Nya, hari demi hari hidupku akan disempurnakan hingga kelak bertatap muka dengan-Nya.

Melepaskan diri dari identitas dosa yang melekat memang bukanlah perjalanan instan. Kembali pada ceritaku di awal tulisan ini, mungkin sekarang sang perokok itu bisa saja berusaha berhenti untuk merokok satu bungkus dalam sehari. Jika dia konsisten meskipun jatuh bangun, mungkin berikutnya dia bisa hanya merokok dua batang dalam sehari, hingga akhirnya bisa terbebas dari belenggu rokok. Tak hanya tabiat merokoknya. Jikalaupun dia memiliki sifat buruk dalam perkataannya, Allah juga dapat memproses hidupnya dengan sempurna menurut kemurahan-Nya. Inilah perubahan yang sejati dengan menanggalkan manusia lama kita menuju ke dalam hidup yang seturut kehendak Allah.

Aku menyadari bahwa proses ini tidaklah berlangsung dengan cepat, seperti 1 bulan, 1 tahun atau bahkan 10 tahun. Jauh daripada itu, proses perubahan akan menempuh perjalanan yang sangat panjang, yakni seumur hidup.

Aku juga menyadari proses pertumbuhan setiap orang selalu berbeda-beda. Jika hari ini seseorang yang kudoakan dan kudambakan hidupnya disentuh Tuhan sudah berubah, aku pun perlu lebih bersabar untuk menunggu waktu Tuhan di dalam hidupku. Sebab ketika aku menerima Yesus sebagai Juruselamat di dalam hidupku, sesungguhnya proses perubahan telah dimulai bahkan jauh sebelum aku menyadarinya.

Perubahan hidupku didasarkan oleh iman kepada Kristus, dan kesempurnaan hidupku akan tergenapi ketika bertatap muka dengan-Nya. Dengan demikian, ketika hari ini aku berkata: “Aku ingin menjadi diri sendiri”, sesungguhnya aku dengan segenap hatiku sedang berkata: “Aku ingin menyerahkan diriku pada kehendak Allah.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Jawaban Atas Pencarian Tentang Makna Hidupku

Oleh Jenni, Bandung

Sebenarnya, untuk apa aku di dunia? Bekerja? Berkarya? Membangun hubungan? Bukannya saat aku mati nanti itu semua akan sia-sia?

Pertanyaan itu membayangiku selama beberapa tahun. Aku mencari jawaban dengan usahaku, tapi sepertinya tak ada jawaban lain selain kesia-siaan. Sampai pada suatu waktu, aku membawa pertanyaan ini pada Tuhan. Kukira Dia diam, akan tetapi Tuhan memberikan firman-Nya untuk menerangi pertanyaanku mengenai makna kehidupan.

Seiring aku menjalani waktu-waktuku, jawaban-jawaban itu pun kutemukan.

1. Aku menemukan makna bekerja

Saat SMP, aku pernah mendapat tugas menjahit dengan mempraktikkan beberapa teknik dasar. Itu adalah tugas paling ampun deh seumur sekolahku. Aku harus bolak-balik bertanya pada teman, dan tak lupa diomeli guru karena tugasku tidak kunjung selesai. Akan tetapi, begitu selesai, aku sangat bangga dengan hasilnya. Meskipun belum sempurna, tapi aku menikmati dan bangga akan proses juga jerih payah dalam mengerjakan tugas itu.

Pada Pengkotbah 2:24-25 tertulis, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?

Rutinitas bekerja membuatku bertanya, apakah aku sekedar hidup untuk bekerja? Ternyata, selain menerima dan menjadi berkat, proses berjerih payah demi hasil yang terbaik adalah kesempatan dari Tuhan. Kesempatan untuk mengelola dan menikmati hasilnya dengan wajar juga sebuah anugerah. Hal tersebut tidak bisa direbut ataupun diambil dari kita, dan itulah yang membuatnya bermakna.

2. Aku menemukan makna dalam berelasi

Perpisahan adalah hal yang membuatku bertanya, untuk apa kita berelasi? Sahabat, kekasih, dan keluarga suatu hari nanti pasti akan berpisah. Lalu, munculah pertanyaan, untuk apa berelasi? Toh, pada akhirnya akan berpisah, dan apa artinya hal yang sudah kita lalui bersama?

Baru-baru ini aku dikejutkan oleh kabar duka. Seorang dari keluarga iparku berpulang ke rumah Bapa. Kejadiannya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba saja beliau telah tiada. Saat aku teringat beliau, yang kuingat adalah kasihnya yang besar. Beliau menganggap dan memperlakukan orang-orang lain seperti anak-anaknya sendiri. Kasihnya tulus dan tidak menuntut balas.

Dalam 1 Korintus 13:13 tertulis: “Demikanlah tinggal ketiga hal ini; yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Seperti karya kasih Tuhan yang menyelamatkan jiwa, kasih juga menyentuh hati dan mengubahkan sebuah pribadi menjadi lebih baik. Meski telah berpulang, orang tua iparku telah meninggalkan warisan untuk orang-orang sekelilingnya, yaitu kasih. Sebagai penerima warisan itu, aku ingin meneruskannya bagi orang sekelilingku.

3. Aku menemukan makna hidup sekarang untuk masa kekal

Kata orang, hidup harus bahagia, sukses dan kalau bisa kaya raya. Aku percaya, kita harus bekerja dan menjadi berkat untuk orang sekitar. Tapi kalau sudah mati, lalu apa?

Dalam Yohanes 14:1-3 tertulis Tuhan Yesus menguatkan murid-murid-Nya dengan berkata bahwa Dia menyiapkan tempat bagi mereka di sorga. Aku percaya janji ini juga dibagikan untuk setiap kita. Dari pertama kali manusia jatuh dalam dosa, Tuhan segera menjalankan rencana penyelamatan-Nya. Tuhan Yesus menebus jiwa kita supaya tidak binasa dan bisa tinggal bersama dengan-Nya.

Aku percaya bahwa hidup kita tidak dibatasi oleh masa-masa fana di dunia. Setelah meninggal nanti, ada kehidupan baru yang menanti. Kolose 3:2 berbunyi, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Ayat ini memberikanku harapan sekaligus keinginan untuk hidup sebagai terang di dunia dan pulang ke rumah yang Tuhan sediakan.

4. Aku menemukan makna dalam mengenal Tuhan

“Ayo, jangan lupa digantung di motor, nanti ketinggalan, loh,” ucap mamaku yang sudah hafal kebiasaanku meninggalkan tas bekal saat mau bekerja. Aku mengenal mama paling banyak baru separuh hidupnya, tetapi mama mengenalku sejak kecil. Dia tahu kepribadian dan kebiasaanku yang tidak kusadari. Dekat dengan mama membuatku mengenal sebagian diriku yang tidak kuketahui sebelumnya. Aku merasakan hal yang sama dalam proses mengenal Tuhan.

Dalam Keluaran 2-4:17 tertulis bahwa Tuhan mengutus Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari Mesir. Inilah momen Tuhan melanjutkan rencana-Nya untuk menjadikan orang Israel umat yang menjadi asal kelahiran Sang Juruselamat, Yesus Kristus. Musa tidak percaya diri akan kemampuannya, tetapi Tuhan menyatakan bahwa Dialah sang pencipta yang mengenal kemampuan Musa. Tuhan percaya Musa sanggup dan berjanji akan menyertainya. Akhirnya dengan iman dan ketaatan, Musa menjadi bagian dalam perjalanan lahirnya Tuhan Yesus.

Tuhan mengenal kita jauh sebelum kita lahir. Dia sudah merencanakan karya penebusan bagi setiap kita. Aku percaya Dia memiliki rencana dan maksud yang unik untuk setiap musim kehidupan kita. Dalam Dia ada identitas, makna, kekuatan dan tujuan hidup kita.

Pencarian makna hidup tidaklah mudah. Kita bisa tersesat dan merasa hampa. Akan tetapi, ada firman Tuhan yang setia memberikan arah dan jawaban. Dalam Mazmur 119:105 tertulis,Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Saat mulai goyah, arahkan pikiran pada-Nya, sang Pencipta, pemegang hidup dan pemilik masa depan setiap kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥