Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Memaksimalkan Sukacita dengan Bersyukur

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Karena sering menonton sebuah akun di Instagram mengenai mainan Transformer, aku pun mulai tertarik buat mengoleksi mainan. Padahal ini bukanlah hobiku sejak dulu. Namun, ketika memulai hobi baru ini, aku menemukan kesenangan di dalamnya. Awalnya dari satu mainan yang kubeli, sampai akhirnya aku mulai mempelajari lebih dalam tentang hobi ini. Aku jadi tahu brand yang mahal dan murah, ikut dalam event dan komunitasnya, hingga benar-benar mengatur tabungan untuk menambah koleksi mainan. Sekarang aku sudah membeli lebih dari 10 mainan yang didominasi oleh mainan bekas. Maklum, lebih ramah dompet. Selalu saja ada keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Satu lagi tidak akan kenapa-kenapa.

Aku sadar akan jatuh dalam perencanaan keuangan yang buruk jika aku selalu menuruti keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Namun, di sisi lain aku ingin menambah mainan baru. Bukan soal jumlahnya yang kurang, tapi aku sungguh suka dan mengapresiasi desain mainannya. Bukan juga karena aku tidak puas dengan mainan-mainan sebelumnya, hanya saja aku mau menambah dan memaksimalkan perasaan bahagia yang aku rasa. Selalu muncul mainan yang menggugah rasa kagum dan senangku.

Menyadari hal ini membuatku merenung. Aku yakin bukan aku saja yang mengalami hal seperti ini, orang lain juga pasti pernah mengalaminya. Keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang manusia alami tidak sesempit hanya sekedar menambah jumlah kepemilikan. Manusia juga berusaha mempertahankan rasa bahagia yang dia miliki. Sayangnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Cepat layu dan ringan seperti debu tertiup.

Coba bayangkan jika kita pertama kali membeli barang yang begitu mahal dengan pendapatan sendiri. Setiap kali kita melihat benda itu ada perasaan bangga dan senang muncul dalam hati kita. Hanya saja, berapa lama perasaan itu akan bertahan? Apakah selalu ketika kita melihat barang itu hati kita akan bergembira? Lama kelamaan kita menjadi terbiasa dengan barang itu dan hati kita mulai merasa sepi. Kita mulai merindukan perasaan senang yang sama untuk terulang kembali dan prosesnya akan berputar di situ saja. Lantas, bagaimana kita bisa meresponi kesementaraan dunia ini dengan tepat?

Bagi sebagian orang, mereka tidak akan menyerah membiarkan rasa bahagia mengisi hatinya. Mereka akan bertualang mencari rangsangan agar hatinya terus bahagia. Melompat dari kesenangan yang satu ke kesenangan yang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup hanya membawa perasaan yang lebih kosong pada kita. Seolah-olah kita tiada kalau tidak merasa selalu senang. Tak jarang pula pengejaran akan kesenangan membawa hal-hal buruk terjadi pada kita. Dalam kasusku, tidak jarang seseorang jadi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena membeli mainan sebagai hobi. Ada harga yang harus dibayar agar kita merasa bahagia. Kalau begitu, mungkin yang perlu kita renungkan adalah kebahagiaan mana yang menjadi prioritas kita?

Ada juga yang terlalu keras menggenggam perasaan bahagia tersebut. Mereka berharap dunia ini stabil. Situasi dapat mudah dikuasai sehingga perubahan selalu dapat diantisipasi. Namun, dunia dengan banyak faktor yang terlibat di dalamnya, selalu punya cara untuk memberikan kejutan pada manusia. Tidak selalu kejutan-kejutan tersebut bersifat manis, terkadang pahit dan ingin kita buang jauh-jauh. Aku mulai belajar cara menyimpan mainan-mainan yang kubeli. Aku juga mulai terpikir memodali hobiku dengan peniup debu elektrik untuk membersihkan mainan-mainan koleksiku. Semua kulakukan agar mereka dapat bertahan lama dan tidak rusak karena kelalaianku. Sekali lagi, aku rasa itu adalah hal yang wajar dan bertanggung jawab. Hanya saja, cukup naif jika aku mengharapkan mainan tersebut akan bertahan sepanjang masa. Lagipula itu hanya sebuah mainan, tidak perlu kutukar dengan seluruh nyawa.

Apa pun cara manusia untuk keluar dan mempertahankan kesenangan sementara di dunia ini akan gagal. Ironi sekali ada begitu banyak hal yang dapat membuat manusia senang, tapi sayang semuanya tidak bertahan lama. Kesementaraan ini bukan berarti manusia tidak boleh merasa senang dalam hidup. Namun, kita perlu senang dengan bijak.

“Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12–13).

Tuhan, lewat seorang pengkhotbah bijaksana, mengajarkan kepada kita untuk menikmati setiap pemberian dari-Nya. Kita tidak perlu menyiksa diri dengan menjauhi kesenangan. Nikmati setiap hal yang Tuhan izinkan untuk kita nikmati sekarang. Tidak perlu bersungut-sungut atau sampai kepahitan karena belum bisa menikmati hal-hal lain yang kita inginkan. Mungkin ke depan Tuhan akan izinkan kita untuk menikmatinya, tapi mungkin juga tidak. Bagian kita adalah menikmati setiap hal yang saat ini Tuhan beri. Kebahagiaan sementara yang kita rasakan dalam dunia ini hanya sebuah petunjuk jalan agar kita datang kepada Sang Pemberi Kebahagiaan. Petunjuk jalan bukanlah akhir destinasi, jadi kita tidak perlu berusaha mengumpulkan petunjuk jalan tapi lupa sampai pada tujuan.

Ada benarnya orang suka berkata kalau kita harus pintar-pintar bersyukur agar hidup terasa cukup. Dengan bersyukur atas setiap kesementaraan yang kita miliki, kita sedang melakukan hal yang tepat. Kita memakai kesementaraan dunia untuk sesuatu hal yang bersifat kekal. Menurutku itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan rasa senang kita akan sesuatu, mengembalikan kembali rasa senang kita kepada Sang Pemberi. Tuhan bilang, kita perlu pintar-pintar berinvestasi. Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Jika kita bersyukur dan memuji Tuhan atas setiap hal yang kita miliki, kita sedang menginvestasikan diri kita kepada sesuatu yang bersifat kekal. Relasi kita dengan Tuhan kekal adanya.

Sekarang setiap kali aku mengatur pose mainanku untuk dipajang, tidak bisa tidak bagiku untuk bersyukur. Aku mengagumi bentuk, warna, artikulasi gerak, dan gagasan desainer mainan tersebut. Aku benar-benar menikmatinya. Semua hal tersebut berasal dari Tuhan, Sang Pencipta. Namun, rasa bersyukur menolongku untuk berkata cukup, sehingga aku bisa menjadi cukup bijak untuk menguasai rasa kagumku agar tidak berlebihan dan membuat kantongku bolong.

Biarkan petunjuk jalan tetap jadi petunjuk jalan, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya. Kekaguman kita akan kesenangan di dunia ini harus menolong kita untuk semakin kagum pada Tuhan.

Dusta dan Dosa di Antara Kita: Memahami Cara Kerja Iblis dari Buku The Screwtape Letters

Oleh Jovita Hutanto

“Yang Terkasih Wormwood,

Pasienmu itu tentu saja sudah mengetahui bahwa dia harus sabar menaati kehendak Sang Musuh. Maksud Sang Musuh dalam hal ini supaya pasien sabar menerima semua penderitaan yang terjadi padanya. Untuk hal inilah pasien seharusnya mengatakan ‘jadilah kehendak-Mu.’ Tugas kamu, Wormwood, adalah mengalihkan perhatiannya dari Sang Musuh ke pikirannya sendiri. Berikan ejekan atau sesosok tubuh wanita untuk menarik perhatiannya pada hal-hal duniawi, supaya dia tidak berjumpa dengan Sang Musuh.”

Teman-teman, penggalan surat di atas adalah tulisan dari Screwtape, sesosok Iblis senior kepada Wormwood, keponakannya. Kisah dua tokoh ini dituliskan oleh C.S Lewis dalam buku klasik karangannya yang berjudul “The Screwtape Letters”. Walaupun usia buku ini telah lebih dari 80 dekade sejak ditulis, tapi pesannya tetap relevan bagi kita yang hidup di zaman sekarang.

Dikisahkan lebih lanjut, Screwtape adalah iblis senior, berpangkat tinggi dalam birokrasi neraka. Dia sedang mengajarkan Wormwood strategi untuk mendapatkan jiwa “pasien” atau si pemuda Kristen. Sang Musuh yang dimaksudkan oleh Screwtape adalah Bapa Surgawi. Buatku, buku ini sangat menarik karena surat-surat dari Screwtape secara lengkap menggambarkan pergumulan yang mungkin pernah atau akan kita alami dalam hidup. Di sinilah aku mulai mengerti bahwa seringkali pikiran kita merupakan pikiran yang diinginkan dan diarahkan oleh iblis.

Lewat tulisan ini, aku mau mengajakmu untuk melihat beberapa penggalan-penggalan lain dari surat si iblis senior.

“Yang Terkasih Wormwood,

Di dalam surat terakhirmu, kau nyatakan cara-cara hina, contohnya kerakusan, sebagai sarana untuk menangkap jiwa-jiwa. Ini semua upaya kita yang telah memusatkan kerakusan pasien kita pada makanan lezat. Seluruh hidupnya telah diperbudak oleh kenikmatan dari jenis hawa nafsu ini, yang cukup terselubung dan pada taraf yang masih ringan. Di sini kita bisa menggunakan perut dan cita rasa lidah pasien untuk menghasilkan omelan, ketidaksabaran, pelit hati, dan pementingan diri sendiri.”

Penggalan ini menarik! Mungkin banyak dari kita berpikir bahwa pertarungan spiritual terjadi di saat kita menghadapi pencobaan besar seperti kejatuhan finansial, penyakit kritis, konflik keluarga, dan sebagainya. Namun, pertarungan spiritual sejatinya tidak hanya terjadi pada area eksternal, tapi juga di dalam pergumulan yang sifatnya internal seperti penyangkalan diri melawan keegoisan, menahan amarah, dan hawa nafsu. Kita mungkin terdorong untuk menganggap remeh dosa-dosa yang tampaknya sepele, atau bahkan tidak lagi dianggap seperti dosa karena sifatnya yang ditolerir masyarakat. Dalam kasus ini, C.S Lewis memberikan contoh dosa ketamakan saat makan.

Dalam keseharian kita, banyak contoh dosa ‘sepele’ lainnya yang kita terus lakukan seperti bergosip, malas-malasan, berbohong, dan lainnya. Dosa-dosa ini memang dapat dimaklumi oleh masyarakat, namun tidak mengubah fakta bahwa semuanya itu tetaplah tindakan dosa. Malah, yang justru paling membahayakan adalah dosa-dosa yang tidak kelihatan seperti kedengkian, iri hati, kesombongan. Sekecil apa pun tantangan dosa kita, iblis akan terus berusaha menggoda dan mencuci otak kita.

“Yang Terkasih Wormwood,

Jadi engkau sangat mengharapkan fase keagamaan pasienmu menjadi sekarat? Ingat bahwa manusia adalah makhluk amfibi (setengah roh dan setengah binatang). Sebagai roh mereka adalah milik dunia kekekalan, dan sebagai binatang mereka mendiami waktu. Artinya, ketika roh mereka bisa diarahkan pada suatu objek yang abadi- tubuh, nafsu, dan imajinasi- mereka tetap terus menerus mengalami perubahan.

Kau perhatikan juga, Sang Musuh memang sungguh-sungguh ingin mengisi alam semesta ini dengan banyak makhluk kecil tiruan diri-Nya yang menjijikan itu. Dia ingin mereka memiliki kualitas yang sama seperti kehidupan-Nya, bukan karena Dia menyerap manusia tetapi karena kehendak bebas mereka untuk menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya.”

C.S Lewis mengingatkan kita juga bahwa pertarungan spiritual tidak akan selesai selama kita masih bernafas. Selama kita masih mengenakan tubuh yang naturnya sudah berdosa, godaan akan terus datang. Tapi, kita jangan salah kaprah. Bukan berarti Tuhan tidak berkuasa mengalahkan kuasa iblis, namun Dia memberikan kita kehendak bebas untuk memilih dan berekspresi pada pihak mana kita ingin menyerahkan jiwa kita.

Kemenangan atau kekalahan kita dalam menghadapi peperangan spiritual ada di tangan kita dan belas kasih Tuhan. Ada dua personil dalam perjuangan ini: kita dan Tuhan. Peperangan ini adalah peperangan kita menanggalkan keberdosaan kita, tetapi karena Tuhan memberikan kita anugerah, Dia dengan sukarela menolong kita dalam pertarungan ini. Maut telah dikalahkan, tetapi seperti yang kutuliskan di atas, selama kita masih hidup di dunia, kita akan terus melakukan peperangan ini.

Rasul Paulus mengatakan, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan … dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah … Berdoalah setiap waktu di dalam Roh…” (Efesus 6:14-18). Kalimat ini sungguh solid. Sebagai seorang yang memperlengkapi dirinya untuk berperang, begitulah selayaknya kita mempersiapkan diri kita dalam pertarungan spiritual kita.

Paulus menyebutkan 3 kata kunci penting: “iman,” “firman Allah,” dan “doa.” Se-tak-berwujud itu 3 kunci kemenangan peperangan sengit ini, karena memang ini bukan pertarungan kelas manusia yang bisa dilihat dengan kasat mata, sehingga yang bisa mengalahkan kuasa iblis hanyalah kuasa Tuhan dalam diri kita. Pertarungan rohani ini pertama-tama memerlukan iman, yaitu keyakinan kita pada kemenangan dalam Kristus. Iman yang menjadi tameng kita di kala sedang bergumul sembari tetap percaya. Yang kedua, Firman Allah dibutuhkan sebagai pedoman hidup orang percaya agar kita tahu bagaimana seharusnya kita bertindak; dan yang ketiga adalah doa. Doa merupakan sarana komunikasi kita dengan Allah, sekaligus menjadi waktu QT (quality time) kita dengan Tuhan. Aku yakin kita semua sudah bosan mendengar tiga kewajiban ini, tapi tak peduli seberapa bosan pun, inilah tiga senjata yang kita perlukan. Dengan ketiganya, mata hati kita akan dibukakan pada peperangan yang tidak kelihatan ini.

Kita memiliki pertarungan rohani masing-masing, sehingga tidak ada ilmu eksak dalam memenangkan pertarungan ini. Setiap orang memiliki story-nya sendiri-sendiri, sehingga fase iman setiap manusia bisa berbeda-beda.

Aku lebih suka menyimpulkan 3 kunci kemenangan ini (iman, firman, doa) dalam satu kata, yaitu “relasi.” Relasi kedekatan kita pada Tuhanlah yang akan memberikan kita kepekaan dan kekuatan dalam bertarung melawan musuh kita masing-masing. Jangan bandingkan jalan hidup kita dengan orang lain; jalankanlah sesuai dengan standar yang diberikan Tuhan pada diri kita masing-masing.

Jadi, standar Tuhan untukku itu seperti apa? Ya itulah pr yang harus selalu kukerjakan seumur hidupku.

“Wormwood yang sangat terkasih,

Engkau sudah membiarkan sebuah nyawa terlepas dari genggamanmu. Para penggoda yang tak becus seperti dirimu adalah kegagalan departemen inteligensi kita. Ini membuatku marah.

Pamanmu yang semakin kelaparan,
Screwtape”

Kita semua punya gelar sarjana yang sama, “manusia berdosa”. Tapi, setelah kita memenangkan peperangan rohani, kita akan memperoleh gelar magister, “menang dalam Tuhan”!

Semangat buat terus berjuang untuk meraih gelar kedua kita ya teman-teman!

Kehilangannya, tapi Menemukan-Mu

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Rintik hujan sore itu mengingatkanku akan kejadian tepat satu minggu lalu. Rasanya seakan baru kemarin kejadian itu berlangsung. Sangat cepat, dan tanpa basa-basi. Aku duduk di bingkai jendela kamar kosku. Titik-titik hujan di kaca jendela terasa menenangkan. Di luar hujan deras dan orang-orang tampak berlarian di jalanan meskipun mereka memegang payung di tangan.

Aku menghembuskan napas. Menyisakan kabut tipis di kaca jendela.

Seminggu lalu, aku berhenti bekerja. Maksudku, aku diberhentikan dari pekerjaanku. Yahh, aku sekarang pengangguran.

Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup besar di kota ini. Aku belum terlalu lama bekerja di tempat ini namun aku bersyukur mendapat posisi yang cukup baik di tim audit perusahaan ini. Aku mendapat rekan kerja yang ramah dan dapat diandalkan, serta gaji yang cukup besar. Namun setelah beberapa waktu, aku kemudian mulai mengerti banyak hal yang seharusnya tidak begitu.

Kali pertama—setelah beberapa waktu, aku bertugas menyusun laporan keuangan. Aku menyadari terdapat perbedaan nominal pada laporan keuangan yang aku susun dengan laporan keuangan yang kami bahas dalam rapat akhir bulan, tapi aku mengira aku yang mungkin salah dalam membuatnya dan Kepala Tim berbaik hati memperbaikinya.

Kali berikutnya kami diminta menambahkan sesuatu ke dalam daftar uang keluar, yang sebenarnya kami semua tahu kami tidak pernah mengeluarkan dana untuk sesuatu itu.

Hal itu terjadi berulang kali hingga suatu waktu aku merasa perlu untuk mengonfirmasinya pada ketua tim.

Dan, tebak apa yang dikatakan padaku?

“Andini, kinerja kamu selama ini saya perhatikan cukup bagus, kamu tidak begitu banyak bicara tapi laporan yang kamu buat teliti dan akurat. Jadi tugas kamu adalah tetap melakukan apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Setiap laporan yang telah saya terima adalah tanggung jawab saya untuk mengelolanya. Saya senang memiliki kamu di tim ini, mungkin tahun depan kamu sudah bisa mendapat promosi.” Katanya dengan lembut dan senyuman yang manis. Hatiku mencelos, lalu dengan kikuk keluar dari ruangannya.

Itu bukan kali pertama aku melakukannya. Beberapa waktu kemudian aku melakukannya lagi dan mulutku langsung ditutup dengan beberapa kalimat yang menyuruhku untuk segera keluar.

Suatu waktu ketika makan siang bersama dengan rekan kerja yang lain, aku menyampaikan hal itu kepada mereka. Dan apa yang kudengar dari mereka tidak begitu berbeda.

“Itu hal yang lumrahlah di lingkungan kerja seperti kita ini, Din! Kita tahu sama tahu saja. Yang penting kan tidak merugikan kita, gaji kita lancar, kerjaan kelar, bonus besar. Simple kan?”

Aku terdiam mendengarnya. Sementara yang lain mengangguk-angguk setuju.

Aku menghembuskan napas berat. Tampaknya aku sendirian.

Beberapa waktu aku membiarkan hal itu terus terjadi dan aku mulai mengikuti arus yang ada. Aku lelah berkoar-koar tentang hal itu sementara yang lain tampak tidak terusik sama sekali. Aku berusaha menjalani hari-hari kerja dengan menutup mata dan telingaku akan hal-hal seperti itu. Aku hampir nyaman menjalaninya dan memang menyenangkan ketika hidup ini berjalan dengan mulus.

Malam hari di hari Rabu minggu lalu, aku pulang dengan perasaan tidak nyaman. Aku benar-benar gelisah. Aku tahu sesuatu sedang tidak beres dalam caraku menjalani pekerjaanku dalam beberapa waktu terakhir ini tapi aku berpura-pura dan mengabaikannya. Aku tahu Tuhan memerintahkan aku menyatakan kebenaran tapi aku terlalu takut. Besok akan ada rapat akhir bulan seperti biasa dan harusnya ini kesempatan yang baik untukku mencoba menyampaikannya. Aku mulai menyusun skenario-skenario di kepalaku, beserta kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Aku menghembuskan napas, lalu mengambil suatu keputusan.

Keesokan paginya, aku pun mengangkat tangan dan mengutarakan semuanya. Dan, cepat saja. Tidak perlu waktu lama dan basa-basi semuanya terjadi.

Aku pulang siang itu dan aku terduduk di ujung tempat tidur, tertegun, dan aku mulai menangis.

Mengapa aku harus berada di lingkungan kerja yang seperti ini? Megapa aku harus menyatakan kebenaran sementara orang lain tampak menikmatinya? Selama ini aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan pekerjaan ini dan aku memang takut kehilangannya. Aku takut tidak akan mendapatkan pekerjaan seperti ini lagi. Aku ragu untuk menjalani hidup tanpa kepastian akan pekerjaan dan penghasilan yang baik. Aku menginginkan hidup aman dan mulus. Sekarang bagaimana aku akan menjalani hidup? Aku.. tampaknya aku ragu akan pemeliharaan-Mu.

Tapi malam itu aku mulai tersadar.

Kalau hidup selalu berjalan mulus, kapan aku belajar bergantung pada-Mu?

Kalau aku selalu berada di lingkungan yang baik-baik saja, kapan aku punya kesempatan untuk menyaksikan-Mu?

Kapan aku punya kesempatan untuk mengakui eksistensi-Mu dalam setiap musim hidupku?

Kapan lagi aku belajar untuk tetap berpengharapan sekalipun rasanya tidak ada lagi harapan?

Aku akhirnya tersenyum dan merasa lega. Kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan sukacita karena menemukan wajah-Nya yang penuh kasih.

Dan, di sinilah aku. Yahh satu minggu ini di cukup menyenangkan juga, satu minggu untuk melakukan hal-hal yang disukai, mencoba hal-hal baru, beristirahat. Sebelum esok harus mulai berburu lowongan pekerjaan lagi.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatila dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Hidup Kekristenan Itu Seperti Lari Estafet, Bukan Lari Cepat

Oleh Philip Roa

Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Christian Life is a Marathon not a Sprint

Gerejaku selalu mengawali setiap tahun dengan berdoa dan berpuasa. Inilah momen yang dinantikan oleh sebagian besar jemaat. Kami saling bertanya tentang apa pokok doa yang ingin didoakan. Salah satu topik yang paling sering kudengar adalah keinginan untuk punya relasi yang lebih intim dengan Tuhan. 

Tapi, bagaimana caranya kita lebih mendekat pada Tuhan dengan cara yang lebih konsisten? Bukan sekadar konsep “new year, new me” yang biasanya menguap setelah sebulan atau bahkan seminggu.

Jawabannya adalah bagaimana kita membangun suatu kebiasaan. Ketika kita menetapkan tujuan, kita sering membayangkan hasil akhirnya tanpa berpikir bagaimana membangun langkah-langkah kecil dan pondasi supaya bisa mencapai ke sana. Kadang tanpa kita sadari, kita mencari jalan pintas yang lebih cepat. Namun, jika tujuan kita adalah ingin mendekat pada Tuhan, maka ini bukanlah tentang hasil akhir semata. Ini adalah tentang relasi, perjalanan sepanjang hidup yang harus kita jalani dengan tekun setiap harinya. 

Ada satu kutipan yang cukup terkenal, “Kehidupan rohani itu seperti lari estafet, bukan lari cepat.” 

Inilah beberapa pondasi dasar yang telah kudapat selama bertahun-tahun yang selalu kuingat setiap kali aku berpikir tentang bagaimana mendekat pada Tuhan:

Usahakan untuk selalu meluangkan waktu

Di zaman ketika orang-orang ingin kepuasan instan, cara kita mengharapkan pelayanan yang cepat dari restoran fast-food atau kedai kopi bisa saja mempengaruhi cara kita berelasi dengan Tuhan. Kita mungkin mendekati-Nya seperti kita meminta seorang barista menyajikan kopi kita dengan sempurna. 

Di awal perjalanan imanku, aku diajari bahwa Tuhan adalah kawan dan sumber berkat, yang membuatku berfokus pada apa yang bisa kudapat dari-Nya. Pola pikir ini mempengaruhi juga bagaimana aku bersaat teduh. Aku akan membaca ayat dan renungan secara cepat, lalu berdoa dengan kalimat pembuka “Tuhan terima kasih buat hari ini” dilanjutkan dengan daftar permintaan. 

Singkatnya, Tuhan bukanlah sosok yang aku rindukan untuk meluangkan waktu bersama. Dia hanya kuhampiri untuk memenuhi kebutuhanku. 

Dengan pertolongan pembimbing rohani beberapa tahun setelahnya, aku pun punya pemahaman yang lebih baik tentang relasi bersama Tuhan dan betapa pentingnya meluangkan waktu bersama-Nya. Seperti relasi dengan manusia yang kita upayakan, relasi dengan Tuhan pun perlu dipelihara secara sadar dengan berusaha dan meluangkan waktu. 

Dalam Yohanes 1:1-3, Yesus yang adalah Allah pun meluangkan waktu bersama Bapa Surgawi. Injil mencatat banyak peristiwa ketika Yesus secara sengaja menarik diri dari kerumunan untuk menyendiri bersama Allah (Matius 14:23, Markus 1:35, Lukas 6:12). 

Lebih dari sekadar meluangkan waktu, Yesus menunjukkan pada kita bagaimana Dia meluangkan waktu lewat doa (Matius 6:9-13; 26:36-44). Apa yang menjadikan doa Yesus berbeda adalah Dia memprioritaskan kehendak Bapa di atas segalanya. 

Seperti Yesus, kita pun harus meluangkan waktu bersama Bapa supaya kita dapat mengenal hati-Nya, supaya kita memprioritaskan agenda-Nya (Yohanes 4:34). 

Aku selalu ingat apa yang pembimbing rohaniku bagikan beberapa tahun lalu: “Jika sesuatu penting buatmu, kamu tidak mencari waktu, tapi kamu menciptakan waktu buatnya.” Pemahaman ini mengubah pandanganku tentang saat teduh bersama Tuhan dan menolongku untuk memutuskannya menjadi aktivitas pertamaku di pagi hari. Tuhan layak kita utamakan, dan aku tak dapat memberi-Nya perhatian, penyembahan, dan pengabdian, jika yang kupersembahkan hanyalah sisa-sisa waktuku saja. 

Seiring aku mempelajari Alkitab, aku belajar untuk berusaha lebih mengerti konteks dari suatu ayat dan mengerti bagaimana orang-orang dalam Alkitab memahami Allah. Dari sinilah aku melihat bahwa Tuhan itu adil dan kudus, juga murah hati dan berbelas kasih. Semakin aku mengerti siapa Tuhan, semakin aku termotivasi untuk memprioritaskan Dia di hidupku. 

Merenungkan ayat atau bacaan

Yosua 1:8 memberitahu kita untuk merenungkan firman Tuhan supaya kita bertindak hati-hati dan mengalami berkat dari ketaatan. Untuk merenungkan, membutuhkan waktu yang disiapkan secara khusus dan kesiapan mental supaya kita bisa berpikir lebih dalam tentang apa yang kita baca.

Merenungkan firman Tuhan mungkin tak masuk prioritas ketika segala sesuatu telah menyita perhatian kita. Hal yang bisa menolong adalah menciptakan waktu-waktu luang dari waktu-waktu jeda atau kosong di dalam keseharian. Semisal, saat aku sedang naik angkutan umum ke tempat kerja atau saat jam istirahat aku merenungkan apa yang kubaca di pagi harinya. Aku juga mencoba menemukan tempat heningku sendiri. Aku mematikan notifikasi HP, atau kadang aku membawa Alkitab untuk membaca ulang perikop dan menelaah kembali kata-kata kunci yang kutemukan menarik. 

Tapi, bagaimana jika kamu adalah orang yang tidak bisa diam dan pikiranmu suka melayang ke mana-mana? Aku tahu beberapa orang yang seketika saja melamun saat badannya menempel di kasur. 

Sejauh ini aku merasakan bahwa berseru pada Allah (tentu di tempat yang tersembunyi) menolongku untuk berfokus. Ketika kusadari pikiranku mulai melantur, aku akan berseru pada Tuhan. Aku akan menceritakan bagaimana hari-hariku, atau apa yang membebaniku, yang sedang aku gumulkan, atau apa pun yang melayang di pikiranku. Hal yang sama juga kulakukan saat membaca Alkitab. Membaca dengan bersuara menolongku lebih konsentrasi. 

Satu bacaan yang kurenungkan terambil dari Matius 28:18-20 yang juga jadi perikop kunci buat gerejaku. Aku melihat bagaimana Yesus memberikan otoritas pada ayat 18 sebelum Dia memberikan perintah di ayat 19 dan 20. Penting buat para murid-Nya untuk mengerti bahwa otoritas untuk mengajar datang dari Kristus supaya mereka sadar bahwa inilah perintah, bukan sekadar saran. 

Seiring aku merenungkan implikasi dari perintah ini, aku memahami bahwa sebagai orang Kristen tugasku bukan sekadar datang ibadah di gereja. Tapi sebagai murid Kristus yang aktif, tugasku adalah membawa orang-orang datang pada-Nya. Dan, jika aku harus mengajar orang lain untuk taat, maka aku perlu memahami sendiri apa artinya menjadi taat. 

Pada akhirnya, Yesuslah yang memberikan misi kepada para murid sebagai sebuah kelompok di mana mereka melakukan misi ini bersama-sama. Aku pun dipanggil untuk melakukaan ini bersama dengan saudara saudariku dalam Kristus. 

Apa yang Alkitab katakan

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”

Mudah untuk menggambarkan keintiman bersama Tuhan sebagai sekadar meluangkan waktu bersama-Nya dan merenungkan firman-Nya, padahal ada yang kita lupakan: ketaatan. Alkitab mengatakan bahwa menjadi kawan sekerja Allah (tentunya ini relasi yang akrab) berarti kita menaati dan mengikut Dia (Yohanes 15:13-15).

Kaitan antara ketaatan dengan keintiman selalu mengingatkanku akan kisah Abraham, Musa, dan Maria. Ketika Abraham menaati panggilan Allah untuk pergi dari kampung halamannya, dia melihat bagaimana Allah melindungi dan mencukupi dia. Allah memberkati Abraham dengan memberinya Ishak di usia senjanya. Setelah Musa menaati panggilan Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, dia menyaksikan pekerjaan Allah melalui tulah, laut Teberau terbelah, dan berkat-berkat lainnya selama masa pengembaraan. Maria pun menaati Allah ketika dia dipanggil untuk menjadi ibu dari Yesus. Melalui Maria, nubuatan Perjanjian Lama pun tergenapi. 

Dari ketaatan ketiga tokoh itu, mereka diberkati dan merasakan kebaikan Tuhan buat diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. 

Dalam kehidupan pribadiku, aku mengalami sendiri bagaimana keintiman dengan Tuhan melibatkan juga upayaku untuk melatih iman. Aku menaati Tuhan dengan mengambil langkah yang Dia tetapkan buatku dan mempercayai-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu pada waktu-Nya. 

Dari perenunganku di Matius 18:18-20, aku bisa melihat bagaimana sulitnya memuridkan orang lain. Itu butuh pengorbanan besar. Aku perlu mengorbankan waktu-waktuku dalam setiap minggunya untuk menjangkau orang lain daripada cuma berdiam di kamar bermain gim atau membaca buku. 

Tapi, aku juga tahu bahwa membaca dan merenungkan firman Tuhan akan jadi sia-sia jika aku tidak taat. 

Jadi, aku pun menerima panggilan menjadi ketua komsel. Meskipun perjalananku tidak selalu lancar, 12 tahun ke belakang sungguh memuaskan, bagaimana aku, seorang lelaki muda mengenal dan mengasihi Allah. Menjadi seorang pemimpin juga menolongku untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus. Itu memotivasiku untuk bertanggung jawab atas kepemimpinanku dan anggota kelompokku. Aku telah melihat akan pentingnya tergabung dalam komunitas karena itulah yang akan menghibur, menegur, dan menguatkan satu sama lain. 

Menjadi intim dengan Tuhan bukanlah sekadar resolusi atau pokok doa ketika orang-orang bertanya apa yang jadi target rohaniku. Keintiman itu bisa diraih jika kita mengejarnya secara aktif. Meskipun terasa berat untuk keluar dari zona nyaman, mengenal Tuhan dengan dalam sungguhlah berkat dan hadiah yang indah.

Tentang Keinginan Kita dan Jawaban Tunggu

Oleh Hilary Charletsip
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Won’t God Give Me What I Want?

Lima menit.

Hanya dalam lima menit, aku bisa memesan segelas kopi, mendapatkannya, lalu mencium aromanya yang harum, dan menyeruput macchiato caramel yang enak itu.

Dalam lima menit juga, aku dapat mencari sebuah barang secara online, menambahkannya ke keranjang, membayarnya, dan menerimanya esok hari.

Kalau aku ingin menonton acara favoritku? Tinggal buka Netflix.

Kita tentunya punya banyak keinginan, tak cuma tentang barang fisik yang dapat dibeli. Keinginan kita juga berkaitan pada hal-hal yang tak berwujud yang kita capai dalam hidup— harapan, impian, dan permohonan doa kita kepada Bapa yang baik

Aku ingin menikah.
Aku ingin liburan.
Aku ingin…. Ini itu banyak sekali.

Kalau aku sendiri, sejujurnya aku hanya ingin satu hal karena ini yang terus menerus dikatakan orang buatku. Apakah aku siap duduk di belakang meja selama 40 jam seminggu sampai 30 tahun ke depan? Sama sekali tidak. Tapi, itulah yang akan dilakukan oleh seorang mahasiswa yang baru lulus.

Di tahun terakhir kuliahku, aku magang di sebuah perusahaan yang menawariku pekerjaan full-time, lengkap dengan fasilitas tunjangan. Aku bahkan tidak perlu wawancara. Tapi, lewat obrolan dengan orang-orang dewasa, doa, dan sedikit rasa ragu, aku tahu aku tidak akan cocok bekerja di situ seterusnya. Kutolak tawaran itu tanpa punya rencana cadangan, tapi aku percaya Tuhan akan menolongku.

Namun, berbulan-bulan setelah aku menolak tawaran kerja itu, hatiku merasa aku salah ambil keputusan. Semakin aku berdoa supaya dapat pekerjaan tetap, semakin aku tahu kalau usahaku belum akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Satu lamaran mengarahkanku ke lamaran lainnya tanpa proses wawancara, sementara perusahaan yang aku dambakan malah tidak pernah meresponsku.

Pergumulanku mencari pekerjaan tetap pun berlangsung selama empat setengah tahun. Ada banyak wawancara dan penolakan, air mata, dan saat-saat di mana aku menjadi sangat frustasi dengan setiap prosesnya. Terkadang aku mencoba bertindak sendiri, lelah mempercayai Tuhan. Setiap hari aku gelisah, kurang tidur, terburu-buru, dan cemas.

Melalui empat setengah tahun yang berat itu aku sadar bahwa terkadang Tuhan memakai tiap masa untuk menguatkan kita… untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.

Kita ingin pekerjaan itu, tapi kita tidak punya keterampilan yang sesuai untuk mencapai apa yang Tuhan ingin kita lakukan di posisi itu. Jika memang posisi itu yang Tuhan kehendaki, Tuhan pasti akan mengizinkan kita diproses lebih dulu supaya kita memiliki kualitas dan keterampilan yang sesuai. Inilah yang terjadi selama empat setengah tahun bekerja secara kontrak. Tuhan membentukku, memperlengkapiku, dan mengenalkanku kepada orang-orang yang membawa pengaruh baik di hidupku, yang akhirnya membawaku pada posisiku sekarang ini. Tuhan tidak sedang meninggalkanku, tapi Dia sedang membawaku keluar dari zona nyaman untuk menjadikanku kompeten sesuai dengan rencana-Nya.

Masa-masa bekerja selama berjam-jam sembari dituntut juga untuk multi-tasking mengajariku tentang prioritas dan ketekunan—tetap melakukan apa yang jadi tugasku sampai selesai. Tugas untuk melakukan presentasi di grup networking—yang meskipun mengintimidasi—membantuku mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum yang sekarang kulakukan setiap minggu dalam pekerjaanku.

Jika Tuhan seketika saja memberikan apa yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah menikmati proses yang menjadikan kita lebih unggul. Atau, mungkin juga kita tidak siap melaksanakan apa yang jadi kehendak-Nya.

Selama menjalani pekerjaan kontrak, Kolose 3:23 menjadi ayat yang kupegang teguh:

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Tidak masalah di mana aku berada atau apa yang kulakukan—entah aku menikmatinya atau tidak—aku tidak menganggap pekerjaanku hanya sebagai bekerja untuk orang-orang di sekitarku. Aku menganggapnya bekerja untuk Tuhan dan bersinar untuk-Nya. Pola pikir ini membantuku menumbuhkan kesabaran.

Ketika aku frustasi, aku ingat bahwa Tuhan selalu punya alasan tentang mengapa Dia mengizinkanku berada pada suatu waktu dan tempat. Entah apa yang kulakukan adalah untuk waktu singkat, atau waktu lama, aku akan berusaha bekerja dengan baik dan membayangkan Tuhan berada tepat di tempat kerja bersamaku. Kita mungkin tidak mengerti alasannya sekarang, tapi Mazmur 37:7-9 berkata: “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia;… jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”

Jika kamu sedang berdoa dan menanti, janganlah patah semangat. Tuhan akan mengubah masa gersang menjadi musim yang berbuah. Itu mungkin bukan masa depan yang kita impikan atau bayangkan, tetapi marilah kita beriman dan percaya pada waktu Tuhan dan rencana-Nya.

Jika kita belum mendapat kerja, belum menemukan pasangan, atau tidak bisa pergi liburan—apa pun itu, itu karena Tuhan sangat mengasihi kita. Dia terlalu mengasihi kita untuk memberikan sesuatu yang belum siap kita terima. Dia terlalu mencintai kita untuk memberikan sesuatu yang belum bisa kita tangani. Dia terlalu mengasihi kita untuk mengizinkan kita menetap, atau menyimpang dari jalan yang telah Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Mungkin rasanya berbeda, mungkin tidak nyaman, tetapi bagaimana pun, apa yang Tuhan sediakan bagi kita itu adalah baik.

Menunggu akan yang terbaik dari Tuhan mungkin tidak sesingkat dan senyaman menunggu pesanan kopi kita disajikan dalam lima menit. Tapi, bukankah menunggu akan tetap jadi menyenangkan jika kita bisa sembari menghirup aromanya, dan mengamat-amati barista memproses kopinya sampai tersaji sempurna?

Dari Kisah “Letter in the Wallet”, Aku Belajar Suatu Hal tentang Cinta

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pada bulan September 1985, Readers Digest memuat sebuah cerita berjudul “Letter in the Wallet” yang dikisahkan oleh Arnold Fine. Fine menceritakan tentang suatu momen ketika ia menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalam dompet itu, terdapat uang tiga dolar bersama sepucuk surat usang yang tertulis tanggal enam puluh tahun lalu.

“Michael yang terhormat.” Begitulah suratnya dimulai. Lalu dilanjutkan dengan kata demi kata yang menyesakkan dada karena hubungan yang harus diakhiri atas desakan orang tua si pemudi. Dan beginilah suratnya ditutup, “Aku akan selalu mencintaimu, Michael.” Lalu disertai tanda tangan, “Milikmu, Hannah.”

Setelah membacanya, Arnold Fine terdorong untuk menemukan pemilik dompet itu. Hal yang sama yang akan kulakukan juga jika aku penemunya. Fine beruntung, alamat pengirim suratnya, Hannah, masih terbaca jelas dalam surat itu. Dengan upayanya, Fine mendapatkan sebuah nomor telepon dan segera menghubunginya. Namun, ia menjadi kecewa mendengar informasi bahwa Hannah beserta keluarganya sudah cukup lama pindah dari rumah itu. Akan tetapi keberuntungan masih memihak Fine, karena ia mendapatkan informasi sebuah tempat di panti jompo, di mana kemungkinan Hannah tinggal sekarang. Fine bergegas dan setibanya di sana, ia diberitahu bahwa Hannah sedang menonton TV di lantai tiga. Segeralah ia naik, bertemu dengan Hannah yang sudah tidak muda lagi, dan memperkenalkan dirinya. Akhirnya, ia pun menanyai siapa penulis surat itu.

Tidak mengejutkan, Hannah mengaku dialah yang menulis surat itu dan melanjutkan, “Aku mengirimkan surat ini kepada Michael karena aku baru berusia enam belas tahun dan ibuku tidak mengizinkan kami bertemu lagi. Dia sangat tampan, Anda tahu, seperti Sean Connery.” Fine bisa melihat pancaran kebahagiaan dari mata Hannah ketika ia membahas si pemilik dompet itu. “Ya, Michael Goldstein adalah namanya. Jika anda menemukannya, beri tahu dia bahwa aku sering memikirkannya dan tidak pernah menikah dengan siapa pun. Tidak ada yang pernah cocok denganku”. Fine berterima kasih, lalu pergi.

Ketika Fine akan meninggalkan tempat itu, seorang perawat di sana bertanya tujuan kedatangan Fine. Ia lalu menceritakan apa yang sudah terjadi dan berkata, “Setidaknya aku bisa mendapatkan nama belakang darinya. Namanya, Michael Goldstein.”

“Goldstein?” tanya perawat itu. “Ada Michael Goldstein yang tinggal di sini di lantai delapan.”

Cepat-cepat Fine kembali ke dalam dan menuju lantai delapan sambil ditemani sang perawat. Pada saat berhadapan dengan Michael Goldstein, perawat itu membuka percakapan, “Pria ini menemukan sebuah dompet dan mungkin Andalah pemilknya. Fine lalu menyerahkan dompet itu dan saat Michael memandangnya, dia tersenyum lega.

“Oh, ya, aku kehilangannya saat aku keluar jalan-jalan beberapa hari yang lalu,” jawab Michael.

Michael sangat bahagia dan berterima kasih, sampai akhirnya Fine mengaku telah membaca surat di dalam dompetnya bahkan tahu tempat tinggal pengirim surat itu, Hannah.

“Bisakah kau memberitahuku di mana dia? Aku ingin sekali meneleponnya. Kamu tahu, ketika surat itu datang kepadaku, hidupku rasanya berakhir. Aku belum pernah menikah. Aku tidak pernah berhenti mencintainya.”

Fine memegang tangan Michael dan membawanya turun ke lantai tiga, sebuah tempat yang dapat melelehkan hati sekeras baja.

“Hannah, apakah kamu kenal pria ini?” tanya perawat yang menemani Fine dan Michael.

Hannah menyesuaikan kacamata yang dipakainya, menatap Michael, dan menggali kembali ingatannya, sampai akhirnya Michael membuka mulutnya, “Hannah, ini Michael.”

Hannah langsung terkesiap dan berseru, “Michael! Michaelku! Sungguhkah itu kamu?”

Mereka berpelukan, berpegangan, duduk, bercerita dan menangis.

Beberapa minggu setelahnya, Arnold Fine menerima sebuah undangan pernikahan. Hannah yang berusia tujuh puluh enam tahun, dengan Michael, tujuh puluh delapan.

Kisah ini ditutup Fine dengan kalimat, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan.”

Mungkin kamu sejenak menahan nafas dan menyeka air mata di pipimu setelah membaca kisah itu. Namun, percayalah padaku, dengan segala rasa hormatku pada Fine, Michael, dan Hannah, kisah itu tidak akan mampu menandingi sebuah kisah tentang seorang “Pangeran Langit” yang mencintai segerombolan penjahat. Ia datang jauh-jauh meninggalkan sorga yang mulia dan melayani dunia bercela. Ia memulainya dari Betlehem, pada sebuah palungan di kandang domba. Sebenarnya Ia tidak punya kesulitan apapun untuk datang dengan kemegahan diiringi terompet para Malaikat. Namun, Ia memilih rahim seorang wanita sederhana yang telah bertunangan dengan seorang pria yang juga sederhana, bahkan mungkin oleh sebagian orang dianggap hina.

Sebagai taruk Ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semarak-Nya pun tidak. Ia benar-benar tidak cukup mempesona bagi para penguasa Romawi dan dianggap tidak lolos kualifikasi bagi para Saduki dan Farisi.

Sebenarnya Ia telah membangkitkan orang mati yang dikasihi-Nya, dan itu berarti Ia mampu mematikan para pembenci-Nya hanya dengan sekejap mata.

Tetapi, Ia memilih salib, yang bagi sebagian orang adalah batu sandungan, dan bagi sebagian lainnya adalah kebodohan. Ia dihina dan dihindari orang. Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan.

Seharusnya Ia duduk di atas takhta megah dan layak mengenakan mahkota emas bersama jubah paling mahal, tetapi Ia malah membiarkan diri-Nya “ditelanjangi” dan mengenakan mahkota duri, lalu digantung di atas salib sebagai tontonan memalukan.

Melihat itu, ada yang menangis, ada yang ketakutan, dan ada yang puas. Namun banyak yang tidak tahu, bahwa penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya. “Pangeran Langit” ini tertikam oleh pemberontakan kita dan diremukkan oleh kejahatan kita. Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya. Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.

Pasang telinga baik-baik dan dengarkan kenyataan ini:

“Kamu dan akulah gerombolan penjahat itu dan Yesus Kristus “Pangeran Langitnya”!

Beberapa dari kita mungkin saja duduk termenung, dan bertanya, “Mengapa Ia melakukannya?”

Jawabannya adalah: Kasih.

Kasih yang jauh lebih besar dari kasih Hannah pada Michael juga kasih Michael pada Hannah.

Dalam kasih-Nya, ada pengorbanan yang jauh lebih agung daripada pengorbanan Arnold Fine.

Tidak salah jika kita mengagumi kisah Michael dan Hannah, sama halnya kita kagum dengan Romeo dan Juliet. Namun, sekarang kita harus ingat, kita bukan lagi sekadar penonton.

Tepat di tempat kamu membaca tulisan ini, “Pangeran Langit” yang pernah mati bagimu itu sedang memandang dengan penuh cinta dan berjanji akan menemanimu selama-lamanya. Yohanes 3:16 adalah yang dikirimkan-Nya untukmu.

Sekali lagi, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan!”

Sedalam Apa Kamu (Mau) Membangun Cinta Bersamanya?

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Apa hal pertama yang terlintas di benak teman-teman ketika membicarakan tentang cinta? Biasanya, yang muncul pertama kali di benak kita adalah perasaan. Ya, topik seputar cinta (terutama ketika berada di seminar atau kelas yang membosankan) kerap kali menjadi “dopamin” ketika rasa ngantuk melanda. Disadari atau tidak, kita cenderung akan lebih antusias ketika topik pembicaraan beralih ke percintaan lawan jenis (hayo, benar enggak, wahai muda-mudi?)

Tidak heran jika cinta juga menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas dalam berbagai karya, baik secara lisan maupun tertulis. Iya, semudah itu kita excited ketika berbicara soal cinta, sampai-sampai ada sebuah pepatah populer yang familiar bagi kita:

Cinta itu kuat seperti maut.

Ungkapan yang tertulis dalam Kidung Agung 8:6 ini menggambarkan bahwa saking kuatnya, cinta seolah-olah memiliki daya tarik bagi manusia untuk berkorban bagi mewujudkan perasaan cintanya kepada pasangannya. Ketika sebuah relasi dimulai, perasaan cinta yang “kuat seperti maut” juga seakan-akan menggiring pada imajinasi bahwa kita dapat memberikan “diri sendiri” kepada orang yang dikasihi. Perasaan menggebu-gebu ini seolah-olah divalidasi oleh ajaran-ajaran tentang pengorbanan Yesus Kristus, sang Anak Allah yang mati di atas kayu salib (Yohanes 3:16, Filipi 2:5-8). Kita merasa bisa menjadi “Kristus kecil” setidaknya bagi orang yang kita cintai itu. Namun, tulisan ini tidak berhenti pada “cinta yang kuat seperti maut”, melainkan melampauinya dengan “cinta yang membangun kehidupan”.

“Loh, bukannya cinta hingga rela mati itu lebih besar, ya, dibandingkan cinta selama masih hidup? Kan, Tuhan Yesus rela membuktikan cinta-Nya bagi kita sampai mati di atas kayu salib.”

Betul, tetapi menurut Paulus, kasih melampaui yang namanya kematian. Paulus menjelaskannya dalam 1 Korintus 13:3:

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.

“Seheroik” apa pun anggapan kita terhadap tindakan yang kita (atau pasangan) lakukan dalam relasi, maknanya akan sia-sia tanpa kasih di dalamnya. Nah, kasih yang sejati digambarkan oleh Paulus dalam dan Yohanes demikian:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 𑁋1 Korintus 13:4-7

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 𑁋1 Yohanes 4:7-8, 10

So what? Bagiku dan pasanganku, tantangan terbesar bagi kami bukanlah mewujudkan “cinta hingga mati” melainkan membangun cinta di dalam Allah. Jika Kristus hanya mati untuk kami, maka sia-sia pengorbanan-Nya. Namun, Ia bangkit, naik ke surga, dan akan datang kedua kalinya untuk menggenapi janji keselamatan kekal manusia. Karena itulah, relasi kami sesungguhnya adalah wujud nyata bagaimana Kristus menyucikan dan menguduskan hidup kami.

“Ah, kok holy banget, sih. Skip, ah.”

Tunggu, tunggu. Kami juga manusia biasa yang juga punya drama dalam relasi, teman-teman 🤣 Anyway, poin di atas adalah prinsip yang perlu kita terus perjuangkan dalam membangun relasi; bukan hanya dalam percintaan, tetapi juga bentuk kasih kita kepada setiap orang yang kita jumpai. Jadi, prinsip Alkitabiah ini bersifat umum, ya. Nah, sekarang, izinkan kami membagikan sisi psikologis dari pengalaman kami dalam membangun relasi.

1. Berani terbuka pada kerapuhan diri tidak menjamin bisa mendekatkan satu sama lain

Dalam sebuah relasi, makin terbuka pada diri sebenarnya membuka kesempatan untuk melihat sisi lain kehidupan pasangan maupun diri sendiri. Idealnya demikian, kan? Melalui keterbukaan pada kerapuhan diri, kita lebih peka pada kebutuhan emosi dan menyampaikannya secara tepat pada pasangan. Aku belajar cukup banyak dalam berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari belas kasihan Tuhan), kami sudah mulai bisa memperkenalkan kerapuhan diri masing-masing sejak dia mendekatiku.

By the way, berikut beberapa poin kerapuhan diri yang kami buka dalam proses pendekatan (PDKT), termasuk setelah kami mulai berpacaran:

a. Pola asuh dalam keluarga, karena hadir atau absennya orang tua punya andil besar dalam membentuk kami jadi pribadi yang sekarang
b. Pelajaran dari relasi di masa lalu
c. Sisi kepribadian kami yang bisa jadi bibit konflik dalam relasi
d. Trauma maupun pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan di masa lalu

“Kapan kita bisa mulai membuka kerapuhan diri ke (calon) pasangan?”

Tergantung kesiapan keduanya, dan kesiapan ini pun dipengaruhi oleh banyak hal. Dari pengalaman kami, proses perkuliahan dan konseling pribadi dari kampus yang sama menolong kami untuk memiliki kesiapan dalam membuka kerapuhan diri, serta peka pada kerapuhan orang lain. Namun, kita juga perlu waspada agar tidak segera mengizinkan (calon) pasangan mengenali kerapuhan kita jika belum ada kepercayaan (trust) di antara kedua pihak.

Mengapa? Karena kerapuhan kita bisa menjadi “keuntungan” baginya. Tentunya kita tidak ingin kerapuhan kita menjadi sesuatu yang “dieksploitasi” orang lain, kan? Itulah sebabnya kita perlu belajar membuka diri setahap demi setahap. Kalau kita maupun (calon) pasangan memiliki “tembok” yang terlalu tinggi dalam relasi, kita perlu mempertanyakan ulang keputusan untuk berelasi dengannya. Yesh, ada risiko-risiko yang perlu diambil ketika berelasi dengan orang lain, karena itulah Pdt. Wahyu Pramudya pernah mengungkapkan, “Mencintai hanya untuk pemberani.” Dibutuhkan keberanian untuk merapuh, terluka, dan kembali merajut cinta.

2. Relasi membutuhkan komunikasi yang terus-menerus dilatih

Poin pertama tadi berkaitan dengan poin ini. Yesh, tanpa ada komunikasi yang dilatih, kita tidak akan terbiasa untuk mengembangkan relasi yang terbuka satu sama lain. Nah, relasi yang terbuka membutuhkan kepercayaan dan empati, dan untuk menumbuhkannya membutuhkan waktu dan kesiapan hati kedua pihak.

Mungkin teman-teman sering membaca atau mendengarkan pernyataan serupa dari berbagai sumber yang membahas tentang relasi. Kenyataannya, belajar berkomunikasi dengan pasangan tidaklah semudah yang kita harapkan: kita dan pasangan saling tahu apa yang kita maksudkan tanpa banyak ba-bi-bu, dan bisa saling peka dengan tiap kodenya secara langsung.

Aku𑁋yang telah belajar psikologi dan konseling𑁋pun tidak luput dari kesulitan ini. Ada kalanya aku melukai pasangan dengan pernyataan yang kurang tepat, meskipun aku tidak bermaksud melakukannya. Begitu pula dengannya yang juga perlu terus belajar memberikan validasi emosiku. Namun, di situlah kami akhirnya menyadari bahwa komunikasi adalah seni yang dipengaruhi oleh banyak warna dari kehidupan kami. Warna itu berasal dari perlakuan orang tua kami (kalau bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, itu akan menolong pengenalan kita terhadap pasangan menjadi lebih utuh), tempat asal yang berbeda, pengalaman dari relasi sebelumnya, maupun pergaulan yang dimiliki memengaruhi kepribadian, cara pandang, dan bentuk komunikasi kami.

Perbedaan-perbedaan ini ada kalanya memicu konflik, sehingga kami (melalui konseling pasangan) belajar untuk mengembangkan pola I-statement dalam berkomunikasi. I-statement ini menolong kita untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran berdasarkan sudut pandang kita; berbeda dari you-statement yang menitikberatkan konflik pada orang lain. Contohnya seperti ini:

I-statement: “Ken, kamu kelihatan enjoy, ya, sama game-nya, tapi aku merasa enggak diperhatiin waktu kamu dengerin ceritaku sambil bermain game.”

You-statement: “Kamu bener-bener, ya, nggak perhatian sama sekali!

Dalam komunikasi, kata “tidak … sama sekali”, “tidak pernah”, dan “selalu” perlu kita waspadai𑁋khususnya saat menghadapi konflik. Rasanya tidak menyenangkan, ya, ketika kita sudah mencoba berusaha memperbaiki diri, tetapi mendapatkan respons yang bernada kamu-enggak-pernah-berusaha-berubah. Tidak heran kalau sebuah konflik bisa menjadi “bom waktu”, belum lagi pengaruh dari pembelajaran kita terhadap pola komunikasi antara ayah dan ibu kita (baik-buruknya mereka pun kita pelajari sejak kecil secara sadar maupun tidak).

Ada kalanya membangun komunikasi yang sehat bersama (calon) pasangan itu tidak mudah. Namun, ketika kita berinisiatif belajar untuk mengembangkan komunikasi bersamanya, jalan itu terbuka lebar, kok. Teman-teman bisa mencari permainan yang mendorong pertanyaan bermunculan seperti yang ada di sini.

3. Yuk, konseling!

Dua poin di atas kami pelajari bersama melalui interaksi sehari-hari kami, termasuk dalam proses konseling pasangan yang sedang kami jalani. By the way, konseling pasangan ini berbeda dari bina pranikah di gereja, ya 😂 Kalau bina pranikah biasanya membahas tentang persiapan sebelum memasuki pernikahan (termasuk mempelajari pernikahan dari sudut pandang teologi, hukum, dan kesehatan keluarga), konseling pasangan adalah salah satu cara kami untuk saling mengenal diri (dibantu konselor tentunya, karena kadang-kadang kami mengalami stuck kalau sedang berkonflik). Selain itu, di dalam konseling, ada alat tes yang menolong kami untuk mengenali bibit-bibit konflik yang bisa muncul ketika ada pemicunya.

“Yah, tapi kalau konseling kayak gitu bayar, kan?”

Nah, kalau soal ini, silakan tanyakan pada lembaga konseling terdekat, ya. Teman-teman bisa juga hubungi beberapa layanan konseling di akhir artikel ini untuk informasi lebih lanjut.

Relasi kami memiliki lika-likunya masing-masing, begitu pula dengan teman-teman yang sedang menjalin relasi dengan kekasih hati. Yesh, tiap relasi itu unik adanya dan demikianlah Tuhan pun menciptakan manusia. Tiga poin di atas juga hanya sepersekian dari pembelajaran yang kami dapatkan selama berelasi. Namun, poin yang paling penting adalah kita memerlukan hikmat dan anugerah Tuhan dalam berproses menjadi pribadi yang dipulihkan untuk membangun relasi yang sehat. Keduanya hanya dapat dialami ketika kita dan (calon) pasangan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga perlahan-lahan kita𑁋dengan tuntunan Roh Kudus𑁋dimampukan untuk mengasah kepekaan rohani dalam merajut kisah kasih bersama-Nya. Jadi, mohon doanya juga, ya, teman-teman, agar kami terus bertumbuh makin serupa Kristus melalui relasi ini.

Kiranya setiap pertumbuhan dan pengenalan diri yang disingkapkan membawa kita makin mengagumi dan memuliakan Tuhan yang berkarya melalui relasi kita. Selamat membangun cinta di dalam anugerah Sang Kasih!

Beberapa list lembaga konseling (silakan ditambahkan oleh teman-teman, ya)
1. Lifespring Counseling and Care Center
2. Gading Counseling & Empowerment Center
3. HOPE Counseling Center
4. Konseling Kristen (by hotline)
5. PERHATI Counseling & Care Center

Bacaan lebih lanjut:

Rogers, Shane L., Jill Howieson, dan Casey Neame, “I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict,” PeerJ (2018), 1-13.

Tsai, George, “Vulnerability in intimate relationships,” The Southern Journal of Philosophy 54 (2016), 166-182.

***

Terima kasih pada Kenny Tjhin yang menolongku menuliskan sudut pandang teologi tentang “cinta yang kuat seperti maut”. I thank God for you.