Belajar dari Nehemia dan Ester: Mencintai Bangsa melalui Doa dan Tindakan

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Seberapa greget kamu mencintai Indonesia?

Ketika mendengar pertanyaan itu, mungkin kamu akan menjawab dengan berbagai kalimat ala generasi millenial yang akhir-akhir ini sedang hits. Tapi, benarkah kamu segreget itu dalam mencintai Indonesia? Atau, jangan-jangan nama Indonesia tidak masuk dalam daftar sesuatu yang kamu cintai?

Jika bicara soal mencintai bangsa, ada dua tokoh Alkitab yang dikenal karena kecintaannya pada bangsanya, mereka ialah Nehemia dan Ester. Nehemia berpuasa, berdoa sambil menangis, dan berkabung ketika mendengar berita kalau tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar (Nehemia 1:1-11). Ester berpuasa ketika akan menghadap Raja Ahasyweros setelah mendapat kabar dari Mordekhai bahwa Haman akan membinasakan orang Yahudi (Ester 4:15-17). Tidak berhenti hanya berdoa dan berpuasa, dalam Kitab Nehemia dan Kitab Ester juga diceritakan bagaimana mereka melakukan tindakan nyat sebagai upaya untuk menyelamatkan dan memulihkan bangsa mereka. Ya, mereka membuktikan seberapa besar rasa cinta mereka kepada bangsanya.

Bagaimana dengan kita?

Berdoa untuk Indonesia adalah hal yang baik, yang memang seharusnya kita lakukan. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita lakukan setelah itu? Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mennjukkan rasa cinta kita kepada indonesia, misalnya melalui profesi kita dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun pendidikan; atau melalui prestasi kita yang mengharumkan nama Indonesia; atau bisa dengan cara yang sederhana yaitu dengan menggunakan hak dan melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia secara seimbang. Salah satu hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia adalah hak memilih dalam Pemilu. Setelah mendengar kalimat itu, mungkin sebagian kita ada yang berpendapat, “kalau itu hak, berarti itu terserah kita dong mau menggunakan hak itu atau tidak.”

Namun, benarkah demikian?

Coba bayangkan apa yang terjadi ketika semua warga negara Indonesia berpendapat seperti itu dan akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak itu. Bisa jadi negara kita malah mengalami kekacauan. Ketika mencoba merenungkan hal ini, aku memiliki pendapat secara pribadi bahwa memilih dalam Pemilu adalah hak kita sebagai warga negara, dan menggunakan hak pilih itu adalah suatu kewajiban.

Tahun 2019 akan menjadi salah satu tahun yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Berbagai pihak sibuk menyambut pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019, baik sebagai calon yang akan dipilih, tim sukses, maupun para pendukung calon. Bagaimana dengan kamu?

Belajar dari kisah Nehemia dan Ester, bagaimana sih seharusnya sikap kita dalam menyambut Pemilu 2019 sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Indonesia?

1. Menyadari menggunakan hak pilih adalah kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia

Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar, Nehemia bisa saja memilih untuk tidak mempedulikannya karena posisinya sebagai juru minuman raja tidak membuatnya memiliki kewajiban untuk membangun kembali tembok itu.

Mungkin Nehemia sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa posisinya sebagai juru minuman raja akan membuka jalannya untuk memulihkan bangsanya (Nehemia 2). Namun, Nehemia memilih berbuat sesuatu untuk bangsanya. Demikian juga Ester, ketika berada di posisi sebagai ratu, bisa saja Ester memilih untuk tidak peduli denagn berita yang dia dengar bahwa Haman sedang merencanakan pembinasaan orang-orang Yahudi. Namun, Ester memilih untuk melalukan sesuatu bagi bangsanya bahkan ketika hal itu dapat membahayakan nyawanya (Ester 4:16). Ya, Tuhan menempatkan Nehemia dan Ester pada posisi masing-masing untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Kita memang tidak bisa memilih di negara mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita, atau berdiam.

Hak untuk memilih adalah hak istimewa kita sebagai warga negara Indonesia, karena hanya benar-benar warga negara Indonesia saja yang mendapatkan hak itu. Kita mungkin sering mendengar banyak warga negara asing berkata, “I Love Indonesia”, namun tak peduli seberapa besar cinta mereka kepada Indonesia, mereka tetap tidak mendapatkan hak pilih ini.

Jadi, gunakanlah hak pilihmu sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia.

2. Menyiapkan strategi

Cinta Nehemia dan Ester terhadap bangsanya bukanlah cinta buta yang bertindak tanpa pertimbangan. Mereka tidak gegabah namun mereka menyusun strategi ketika akan berbuat sesuatu bagi bangsanya. Sebelum melakukan pembangunan tembok Yerusalem, terlebih dahulu Nehemia menyelidiki kondisi-kondisi tembok-tembok Yerusalem yang sudah terbongkar (Nehemia 2:11-20), dan Ester sebelum menghadap Raja Ahasyweros, dia juga menyusun strategi. Hal ini terlihat dari bagaimana cara Ester mengadakan perjamuan bagi raja dan Haman (Ester 5:1-8). Demikian juga ketika kita ingin menggunakan hak pilih kita untuk menunjukkan rasa cinta kita terhadap Indonesia.

Terlepas siapa kandidat pilihan kita, kita tetap membutuhkan strategi. Menggunakan hak pilih lebih dari sekadar hanya datang ke TPS dan mencoblos kertas yang berisi nama-nama calon presiden dan legislatif. Menggunakan hak pilih juga harus disertai banyak pertimbangan. Tidak cukup hanya berdasarkan “apa kata orang” dalam menentukan pilihan kita. Kita perlu mengamati dan menyelidiki dari berbagai sumber yang terpercaya. Banyak cara yang dapat kita lakukan, mulai dari mencari portofolio atau rekam jejak calon tersebut, mengikuti siaran debat terbuka di televisi, juga menimbang-nimbang visi dan misi serta program kerja mereka kelak.

Tentukan pilihan kita berdasarkan apa yang kita pahami dan yakini, bukan hanya berdasarkan apa kata orang.

3. Menginvestasikan waktu

Nehemia memberikan waktunya, dia bangun di malam hari untuk menyelidiki keadaan tembok Yerusalem (Nehemia 2:3). Ester berpuasa selama tiga hari tidak makan dan minum, dan tentulah dalam masa puasa itu Ester menggunakan waktunya untuk memikirkan bagaimana cara membongkar rencana jahat Haman.

Tidak ada istilah membuang-buang waktu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita. Dalam proses sebelum menentukan pilihan, kita bisa menginvestasikan waktu kita untuk mulai membaca informasi-informasi terpercaya atau mendengarkan debat yang diselenggarakan langsung oleh KPU. Dan, di hari Pemilu dilaksanakan kita bisa memberikan waktu kita untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilih kita.

Banyak aktivitas lain yang mungkin lebih menarik untuk dilakukan di tanggal 17 April 2019, terlebih hari-hari itu kan menjadi long-weekend yang membuat banyak orang memilih untuk berlibur dibandingkan dengan datang ke TPS dan menggunakan hak pilih. Namun, percayalah bahwa waktu yang kita berikan untuk memilih dalam Pemilu tidak akan terbuang sia-sia.

4. Tetap waspada

Hoax menjadi kata yang semakin populer dalam masa-masa menjelang Pemilu dan inilah yang menjadi salah satu ancaman kita dan patut kita waspadai. Pemulihan suatu bangsa tidak selalu disukai oleh semua pihak. Sanbalat dan Tobia menentang pembangunan tembok Yerusalem, bahkan mengolok-ngoloknya (Nehemia 4). Bahkan, setelah tembok Yerusalem berhasil dibangun kembali, Sanbalat dan Tobia berusaha untuk membunuh Nehemia (Nehemia 6). Ya, akan banyak pihak yang lebih berfokus pada kepentingan pribadinya sehingga apa yang mereka lakukan buka sebagai upaya untuk berbuat sesuat bagi bangsa Indonesia, tetapi bagaimana kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dapat terpenuhi. Itulah yang harus kita waspadai, jangan mudah dipengaruhi.

5. Tetaplah berdoa

Lebih dari tekad dan ancaman yang ada, Nehemia tetap menjadikan doa sebagai hal yang utama (Nehemia 1, Nehemia 4:9). Nehemia mengadukan semua yang dia alami kepada Tuhan. Ada banyak hal yang mungkin bisa terjadi selama masa-masa menjelang bahkan sesudah Pemilu berlangsung. Tetap berdoa menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menyambut Pesta Demokrasi 2019. Berdoalah, biar hanya kehendak Tuhan yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Itulah hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menyambut Pemilu 2019. Jadilah bagian dalam sejarah Indonesia dan gunakan hak pilihmu sebagai kesempatan bagi generasi millenial untuk menujukkan seberapa greget kita mencinti Indonesia. Tuhan memilihmu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini, kalau bukan kamu, siapa lagi?

* * *

Sobat muda, pesta demokrasi akan segera kita laksanakan, marilah kita mengambil waktu sejenak untuk berdoa buat bangsa kita, Indonesia. Share artikel juga video di bawah ini dan ajaklah teman-temanmu untuk bersama-sama berdoa.

Baca Juga:

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu. Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Pelajaran dari Sebuah “Doa yang Menghentikan Hujan”

Oleh Deastri Pritasari, Surabaya

Suatu kali, temanku memposting pengalaman luar biasanya bersama dengan anak-anak rohaninya yang berdoa supaya hujan reda. Awal cerita, temanku merasa kasihan melihat anak-anak rohaninya yang tidak bisa pulang ke rumah karena hujan deras. Temanku lalu berdoa secara pribadi, tapi hujan tidak kunjung reda. Kemudian ia melihat hujan malah semakin deras, menggerakkannya untuk keluar ruangan dan berdoa kembali mengharap hujan reda. Saat ia selesai berdoa, hujan tidak reda dalam sekejap. Beberapa menit kemudian, hujan pun reda dan tidak turun lagi sepanjang hari itu.

Temanku lalu menulis tentang bagaimana dia bersyukur paling tidak anak-anaknya tidak takut karena hujan begitu deras dan mereka akhirnya bisa pulang dengan aman. Dan, temanku menyebut kisahnya sebagai “doa yang menghentikan hujan:” Bagiku, sebagai orang percaya, hal yang dialami temanku itu adalah sebuah pengalaman iman.

Jika kulihat kehidupan di masa sekarang ini, tampaknya pengalaman iman jika dipertemukan dengan para pemikir logika sepertinya tidak begitu mudah untuk dipercaya. Bisa jadi mereka menganggap hujan berhenti karena memang sudah waktunya berhenti saja. Tapi, bagi sebagian orang beriman yang mempercayai adanya mukjizat, pengalaman tersebut adalah iman dari sebuah doa.

Pengalaman temanku itu rasanya menakjubkan buatku. Jika aku berkaca pada diriku, ketika hujan deras turun, ketika aku sedang bekerja atau melayani anak-anak, tidak pernah terpikirkan olehku untuk berdoa supaya hujan berhenti. Aku hanya mencoba mencari payung, kemudian mengantar anak-anak pulang ke tempat yang dituju. Jika sampai kehujanan dan basah kuyup, kupikir itu adalah hal yang biasa. Yang penting adalah anak-anak berhasil tiba di tempat yang dituju. Pada saat hujan deras turun, yang ada dalam pikiranku hanya bagaimana aku ataupun anak-anak bisa tiba di tempat tujuan masing-masing.

Merespons dengan doa

Aku dan temanku menunjukkan dua cara yang berbeda ketika menghadapi hujan. Yang satu dengan cara berdoa supaya hujan reda, yang satu menghadapi hujan dengan payung.

Kupikir setiap kita punya cara masing-masing, bukan berarti yang menghadapi hujan tanpa berdoa tidak beriman atau tidak rohani.

Tapi, ada satu hal yang menjadi pelajaran dari pengalaman temanku menghadapi hujan ini: berdoa supaya hujan reda.

Temanku memang dikenal sebagai seorang yang memiliki iman yang luar biasa. Apapun tantangan yang ia hadapi, ia memilih untuk selalu percaya pada Tuhan. Dari pengalamannya, aku belajar untuk melihat sisi baik dari sebuah “berdoa untuk hujan reda”. Ketika hujan tiba, rasanya bukankah kita lebih sering khawatir dan bingung karena ada acara, ada tugas, ada meeting yang mungkin terhambat karena hujan? Mungkin kita pun tak jarang mengomel, mengeluh, panik karena jemuran belum diangkat, atau marah karena meeting gagal karena hujan deras. Yah, hujan deras seolah jadi penghambat acara kita.

Namun, pernahkah ketika hujan deras turun, kita berdoa pada Tuhan? Sepertinya lucu, tetapi bukankah kita sebagai orang yang beriman seharusnya berdoa alih-alih khawatir?

Merespons dengan menghadapi hujan

Pengalamanku yang yang secara otomatis mengambil payung saat hujan turun tidak serta merta menunjukkan bahwa aku adalah orang yang tidak beriman. Hanya, aku memilih melakukan apa yang bisa kulakukan saat hujan deras ketimbang menunggu, mengeluh, dan khawatir. Jika hujan, aku bergegas mencari payung dan melanjutkan perjalanan dengan payung atau jas hujan.

Ini bukan bicara tentang keberanian atau sekadar tindakan, tapi lebih kepada menghadapi persoalan berupa “hujan deras”. Mencari payung lalu melewati perjalanan di tengah guyuran hujan deras bukanlah sesuatu yang salah. Orang berhenti lalu mencari tempat teduh juga tidaklah salah. Orang memilih untuk memakai jas hujan lalu melanjukan perjalanannya juga tidak salah. Ada seribu cara untuk menghadapi hujan deras.

Ada yang lebih memilih berdiam di rumah. Ada yang memilih berteduh. Ada yang melanjutkan perjalanan. Bahkan, ada pula yang berdoa supaya hujan segera reda. Ini hanyalah cara manusia menghadapi musim yang diciptakan oleh sang Mahakuasa.

Sang pembuat hujan adalah Tuhan yang Mahakuasa. Jika menghadapi hujan dengan berdoa, bukankah itu hal yang baik? Lalu manusia mencari cara supaya tidak basah kuyup, entah dengan memakai jas hujan, payung, ataupun berteduh. Itu semua hanya cara manusia. Daripada memperbanyak mengeluh, khawatir, dan menggerutu, mengapa tidak menghadapinya dengan berdoa dan berusaha?

Ya, berdoa dan berusaha adalah kunci dalam menghadapi situasi apapun.

Baca Juga:

Kerinduanku Ketika Mengingat Besar Pengurbanan-Nya di Kalvari!

Ketika aku pergi ke Taiwan untuk kuliah, aku punya satu visi untuk membawa satu jiwa di sana buat Tuhan. Ada tantangan yang sempat membuatku kecewa, tetapi Tuhan kemudian memberiku satu momen untuk aku mengenalkan-Nya pada temanku.

Kerinduanku Ketika Mengingat Besar Pengurbanan-Nya di Kalvari!

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Dua tahun yang lalu, aku memiliki kerinduan untuk membawa satu jiwa bisa mengenal Tuhan. Kerinduan itu pun dijawab Tuhan dengan berita bahwa aku berhasil diterima di salah satu universitas di Taiwan. Aku begitu bersemangat, sebab di negeri yang akan kutuju itu ada banyak orang yang belum mengenal Tuhan. Dalam hati aku berbisik, “Tuhan, aku benar-benar akan berjuang melakukannya.”

Melihat semangatku itu, salah seorang penatua di gerejaku pun bertanya, “Apa yang membuatmu semangat sekali kuliah di sana?”

Dengan suara lantang, aku menjawab, “Aku ingin menuntut ilmu dan membawa satu jiwa mengenal Dia. Doakan aku Ibu.”

“Pastinya,” refleks beliau seketika.

Dipertemukan dengan orang-orang baru

Ketika aku sudah tiba di Taiwan, aku masuk ke kamar asramaku. Tapi, aku tak melihat ada seorang pun di dalam. Kulihat meja-meja temanku, kucoba menebak dari mana asal mereka. Dari penelusuran sederhanaku itu, aku menyimpulkan kalau mereka adalah orang-orang lokal di negeri ini. Ketika seorang seniorku yang adalah orang Indonesia dan yang sudah tinggal di Taiwan selama enam bulan mengunjungiku, dia mengiyakan kesimpulanku. Katanya, teman-teman seasramaku adalah orang-orang Taiwan. Mereka belum datang ke asrama karena perkuliahan belum dimulai.

Seminggu berselang, ketka perkuliahan siap dimulai, satu per satu mereka pun berdatangan. Mereka kaget melihat kehadiranku, mungkin karena warna kulit kami berbeda. Tapi aku coba membuat suasana pertemanan yang hangat supaya mereka bisa terbuka dan berteman baik nantinya.

Aku memberikan gantungan kunci khas Indonesia buat mereka, berkenalan, dan menceritakan apa alasanku memilih negara dan kampus ini, juga memberitahukan pada mereka kalau aku seorang Kristen. Ketika tahu bahwa aku orang Kristen, mereka mengajukan beberapa pertanyaan. Bagi mereka yang kebanyakan acuh tak acuh pada keberadaan Tuhan, percaya kepada Tuhan adalah sesuatu yang aneh. Aku berusaha menjawab pertanyaan mereka dengan apa yang aku tahu dari Alkitab. Aku menceritakan kasih Tuhan yang nyata, yang aku rasakan sepanjang hidupku. Mereka meresponsku dengan mengiyakan saja, tanpa tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Bagi mereka, apa yang kusampaikan itu adalah hal yang tidak masuk akal.

Meski begitu, aku tidak berkecil hati. Misi keduaku adalah aku mencoba terlibat dalam setiap aktivitas mereka: makan malam bersama, cuci baju di laundry bersama, mengunjungi lab mereka satu per satu, mendengarkan cerita hidup mereka, mengikuti seminar tesis, sampai ikut merayakan hari besar mereka secara langsung di salah satu rumah mereka. Hal-hal itu kuperjuangkan hari demi hari meskipun selama melakukannya aku mengalami cultural shock, perbedaan sistem pendidikan, tekanan dari profesor, juga kandasnya agenda jalan-jalan bersama teman-teman Indonesiaku. Tapi, aku bersyukur dan bersukacita menjalaninya. Bagiku, teman-teman baruku ini adalah anugerah yang harus kuperjuangkan, agar mereka juga bisa mendengar dan kelak mengenal Allah yang aku kenal.

Satu temanku akhirnya lulus, dan dua lagi memutuskan untuk pindah ke asrama yang hanya dihuni dua orang dalam satu kamar. Mereka ingin pindah karena mereka tidak mau beradaptasi lagi jika nanti ada mahasiswa baru yang masuk ke kamar kami tersebut. Perasaanku tercabik, kupikir kesempatan untuk mengenalkan Tuhan kepada mereka akan pergi tak lama lagi. Kerinduanku belum selesai kulakukan, tapi berujung dengan perpisahan. Aku menangis kepada Tuhan, aku merasa bersalah karena aku belum mencapai visi itu, dan aku juga tak ingin kehilangan mereka.

Di dalam masa kesedihanku, aku tetap setia berdoa bagi mereka dan juga berdoa kiranya teman baruku adalah orang Filipina. Doaku untuk untuk memiliki teman sekamar orang Filipina adalah keinginan besarku. Mereka biasanya mampu berbahasa Inggris dengan baik, sehingga nantinya aku bisa sekalian belajar meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. Peluang ini rasanya sangat besar terjadi, karena jumlah mahasiswa Filipina lumayan banyak ada di kampusku.

Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Satu bulan kemudian, datanglah teman kamar baruku. Dia bukan orang Filipina, melainkan orang Vietnam. Aku merasa sedih, tapi kurasa aku tidak layak untuk bersedih, karena aku tahu doaku itu hanya keinginanku semata. Aku mencoba memulihkan perasaanku dengan mengingat kembali visiku dan menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “Sudahkah yang Terbaik ‘Ku Berikan?

Lirik lagu ini, ayat pertama dan ketiganya berkata demikian:

Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharap-Nya terbaik dariku.

Telah ‘ku perhatikankah sesama,
atau ‘ku biarkan tegar?
‘Ku patut menghantarnya pada Kristus
dan kasih Tuhan harus ‘ku sebar.

Reff:
Berapa yang terhilang t’lah ‘ku cari
dan ‘ku lepaskan yang terbelenggu?
Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus, Tuhanku?

Kesempatan baru yang Tuhan berikan

Semangatku pun kembali. Apapun kondisinya, aku berjanji untuk tidak melupakan dan terus memperjuangkan visiku. Aku coba melakukan misi yang sebelumnya sudah kulakukan ke ketiga mantan teman kamarku, dan puji Tuhan, temanku yang baru ini sangat terbuka. Bahkan dia bersedia kuajak ke gereja walaupun hanya sekali. Aku tetap bersyukur, dan aku berdoa supaya benih firman yang telah dia dengar bisa berakar dalam hidupnya. Walaupun aku tidak tahu seberapa lama masa pertumbuhan benih firman itu, namun aku beriman bahwa suatu saat benih itu akan berbuah secara nyata dalam hidupnya.

Perjuanganku untuk membawa jiwa kepada Tuhan rasanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan Tuhan Yesus bagiku. Namun, aku berdoa bagi kamu yang saat ini membaca tulisanku, supaya kita sama-sama terbeban, sekecil apapun itu, untuk membawa satu jiwa mengenal Tuhan.

Sebuah lagu yang kutulis di atas, bait keduanya berbunyi demikian:

Begitu banyak waktu yang terluang, sedikit ‘ku b’ri bagi-Nya.
Sebab kurang kasihku pada Yesus;
mungkinkah hancur pula hati-Nya?

Lirik ini menjadi suatu pengingat, agar kita pun mau memiliki kerinduan tersebut, dan pada akhirnya memperjuangkannya. Hidup kita sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap. Yuk kita gunakan waktu-waktu kita untuk Tuhan Yesus, yang telah berkurban di Kalvari demi kita.

Selamat menghayati hari-hari menjelang Paskah dan menikmati kebangkitan Tuhan Yesus di dalam hati kita!

Baca Juga:

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Sebagai atlet, aku berusaha keras untuk menggapai prestasi. Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku. Tetapi, di balik prestasiku yang seolah gagal, Tuhan sesungguhnya tidak berhenti bekerja dalam hidupku.

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Oleh Jefferson, Singapura

Jika kamu membaca judul artikel ini, mungkin kamu sudah bisa menebak alurnya. Jeff berdoa agar diberikan pekerjaan setelah lulus kuliah. Tuhan lalu meminta Jeff untuk menunggu terlebih dulu. Tak lama kemudian, barulah Tuhan memberikan Jeff pekerjaan. Tamat.

Mungkin alurnya terdengar klise. Tetapi, di dalam alur tersebut terselip sebuah kisah yang menarik: tentang apa yang kulakukan dan apa yang Tuhan ajarkan kepadaku selama aku menunggu.

Begini ceritanya.

Awal yang baik

Kurasa aku memulai perjalananku melamar pekerjaan dengan baik. Aku sudah menyiapkan segala macam persiapan yang dibutuhkan. Tips-tips penulisan CV dan surat pengantar kerja? Aku berdiskusi beberapa kali dengan konsultan karier dan dosen pembimbing di kampus untuk memastikan keduanya menarik perhatian HRD perusahaan. Kiat-kiat menjawab pertanyaan dalam wawancara? Aku berlatih intensif dengan konsultan karier. Cara berpakaian dan etika wawancara? Semuanya sudah termasuk dalam daftar hal-hal yang harus kukerjakan sebelum, selama, dan sesudah menghadiri wawancara.

Dengan seluruh persiapan ini, aku mulai mengirimkan lamaran sejak September 2017, di tahun terakhirku di universitas. Targetku adalah mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan lingkungan hidup, tapi aku juga terbuka terhadap kesempatan di bidang lain seperti analisis data, konsultasi manajemen, engineering, ataupun komoditas. Di tahap ini, aku tidak begitu memusingkan akan langsung diterima atau tidak. “Kelulusan masih setahun lagi”, pikirku. Terlebih lagi, statistik kampus menyatakan bahwa lulusan baru pada umumnya baru mendapatkan pekerjaan setelah melamar ke 20 hingga 30 posisi. Maka kumulai perjalanan ini dengan optimis, mengirimkan lamaran setiap 1-2 minggu sekali.

Memasuki 2018, aku lebih giat mencari dan melamar sembari menyelesaikan tugas magang di semester terakhir kuliah. Lamaran yang kuajukan pun mulai membuahkan hasil. Aku dipanggil untuk mengikuti beberapa wawancara, tentunya atas seizin kantor magangku. Namun, tidak ada yang memberikanku tawaran atau bahkan memanggilku untuk wawancara tahap kedua.

Melewati titik jenuh dan titik nadir

Enam bulan kemudian, kontrak magangku selesai. Yang tersisa dari kehidupan kampus hanya upacara kelulusan sekitar dua bulan setelahnya. Di masa-masa menunggu ijazah ini, aku mengirimkan CV dan surat pengantar hampir setiap harinya, kadang bisa untuk lima posisi sekaligus dalam sehari! Jumlah panggilan wawancara pun meningkat, tapi aku tetap belum menerima tawaran pekerjaan.

Dua bulan setelah upacara kelulusanku, kira-kira di awal September, dan setelah 60-an posisi yang kulamar, akhirnya aku mencapai titik jenuhku. Aku merasa ditekan dari segala arah–oleh teman-teman seangkatan yang satu kos denganku dan semuanya sudah mulai bekerja, oleh orang tua yang terus menanyakan tentang pekerjaan baik lewat telepon maupun chat, dan oleh teman-temanku dari gereja dan kampus. Di antara semua tekanan ini, yang paling besar kurasakan dari orang tua. Aku pernah dengan kesal memutus sambungan telepon dengan mereka karena kurasa mereka terlalu medesakkku.

Semua tekanan ini membuatku merasa lelah, putus asa, dan mempertanyakan kebaikan Tuhan yang sepertinya terus menerus menjawab doaku dengan “Tunggu”. Aku pun mulai bermalas-malasan di kos. Aku tidak mempersiapkan pelayanan dengan serius, aku malah menonton serial TV dan membaca komik dan buku terus menerus. Saking malasnya, aku pernah sampai menonton satu serial film yang kutonton habis dalam dua hari! Selama periode ini, saat teduh dan waktu doaku pun mengalami kekeringan, meskipun aku tetap melakukannya. Dan, masa-masa ini menjadi masa yang menguji imanku dengan keras.

Namun, aku bersyukur kepada Tuhan karena aku tidak dibiarkan-Nya berlama-lama berada di fase ini. Tuhan membangkitkan semangatku melalui satu perikop dalam Alkitab yang dikisahkan ulang dalam buku “Not by Sight” karangan Jon Bloom.

Sampai di sini kamu mungkin bertanya-tanya mengapa aku bisa dengan yakin menyimpulkan kalau Tuhan sedang menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi dalam kasih anugerah-Nya, Tuhan memberikanku iman untuk terus menunggu dan berharap pada-Nya.

Kisah para nelayan dan kebangkitan

Yohanes 21:1-14 mencatat peristiwa penampakkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya di tepi Laut Tiberias. Dari pasal sebelumnya, kita mengetahui bahwa penampakkan ini bukanlah yang pertama bagi para murid. Tuhan Yesus bahkan sudah pernah menemui mereka dua kali: pertama-tama pada malam hari kebangkitan-Nya (Yohanes 20:19), kemudian delapan hari setelahnya (Yohanes 20:26).

Tidak ada catatan lebih lanjut dalam kitab Yohanes tentang apa yang terjadi di antara ketiga penampakkan ini, tapi yang pasti para murid sedang “menunggu”. Dari mana kita tahu? Di penampakkan pertama, kita menyaksikan Tuhan Yesus mengus murid-murid dengan cara yang sama seperti Bapa mengutus-Nya (Yohanes 20:21). Ia menjanjikan Roh Kudus dan memberikan mereka perintah untuk mengabarkan Injil pengampunan dosa dalam nama-Nya (Yohanes 20:22). Penampakkan pertama berakhir di sini, tetapi dari Lukas 24:49 kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus juga menyuruh para murid untuk tinggal di sekitar Yerusalem hingga Roh Kudus turun atas mereka (Kisah Para Rasul 2).

Dalam konteks menunggu kedatangan Roh Kudus inilah peristiwa penampakkan ketiga dicatat. Bayangkan apa yang dirasakan oleh para murid sambil mereka menunggu. Mereka pertama-tama dikejutkan dan didukakan oleh pengkhianatan Yudas, salah satu dari mereka sendiri, yang berujung pada penyaliban Sang Guru. Belum lama Tuhan Yesus dikubur, wanita-wanita di antara mereka mengklaim bahwa Ia telah bangkit. Masih dalam duka, mereka pergi untuk memastikan bahwa para wanita telah berhalusinasi karena mendapati kubur yang kosong.

Malam itu juga, Tuhan Yesus yang sudah bangkit hadir di tengah-tengah mereka. Lubang-lubang bekas tusukan di lengan, kaki, dan lambung-Nya sebagai penanda bahwa Ia memang pernah mati dan kini bangkit. Sang Guru dengan penuh kasih kemudian memberkati dan mengurus mereka, namun sebelum mereka dapat pergi, mereka harus menunggu kedatangan Sang Penolong yang Ia janjikan. Ia lalu menampakkan diri beberapa kali lagi kepada mereka. Dan, di antara penampakkan-penampakka itu, para murid terus menunggu.

Tapi, menunggu sampai kapan?

Tuhan Yesus, yang waktu itu belum naik ke surga, tidak diketahui keberadaan-Nya dan tidak memberikan instruksi apapun selain yang Ia telah sampaikan dalam perikop-perikop lain di Alkitab. Roh Kudus yang dijanjikan juga tak kunjung datang. Di tengah masa penantian yang seperti akan berlangsung selamanya, seorang dari para murid memecah keheningan: “Aku akan pergi menangkan ikan” (Yohanes 21:3). Petrus tidak tahu harus melakukan hal apa lagi sambil menunggu. Menangkap ikan adalah profesi yang ia geluti sejak jauh sebelum ia menjadi murid Tuhan. Baginya, mengerjakan sesuatu yang familiar sambil menunggu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan ketimbang hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Murid-murid yang lain menangkap maksud Petrus, kemudian pergi bersamanya ke tengah Laut Tiberias untuk menangkap ikan.

Semalaman mereka mencari, namun tak menemukan satu ikan pun. Mendekati tengah hari, mereka mendengar suara dari tepi pantai, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?” Mungkin dengan agak kesal dan kelelahan, mereka menjawab si orang asing, “Tidak” (ayat 5). Kemudian hal paling ajaib terjadi. Si orang asing menyuruh mereka untuk menebarkan jala mereka di sebelah kanan perahu. Para murid menatap satu sama lain dengan mata terbelalak, setengah kebingungan, setengah bersukacita. “Mungkinkah itu Guru?” Maka mereka menebar jala ke sebelah kanan perahu.

Yang terjadi setelahnya adalah pertemuan ketiga para murid dengan Tuhan Yesus yang telah bangkit, di mana mereka diteguhkan dan bersekutu dengan-Nya.

Akhir yang lebih baik

Dalam pembacaan dan perenungan terhadap cerita dalam perikop ini, aku merasa ditegur dan dihibur di saat yang sama; ditegur karena selama ini aku terlalu fokus melamar pekerjaan sehingga lupa untuk bergantung pada Tuhan; dihibur karena dalam membiarkan para murid menunggu-Nya pun Tuhan tetap memelihara iman mereka.

Tidak butuh waktu yang lama hingga aku dapat melihat pekerjaan Tuhan Yesus yang mengubahkan sikapku selama menunggu jawaban dari-Nya. Aku masih menonton serial TV serta membaca komik dan buku, tapi hanya di sela-sela waktuku saja. Aku menggunakan waktu-waktu utamaku untuk menyesuaikan kembali isi CV dan surat pengantar untuk setiap lowongan pekerjaan yang berbeda. Selain itu, aku juga mulai melakukan aktivitas lain seperti: menulis, memimpin kelompok kecil di gereja, membantu penelitian survei mamalia, dan pergi menghadiri seminar apologetika. Aku juga kembali mengerjakan beberapa pelayanan yang sempat kulalaikan dengan serius di hadapan Tuhan seperti mengajar sekolah Minggu.

Puji Tuhan, panggilan wawancara pun kembali berdatangan, dan walaupun belum ada tawaran pekerjaan yang datang, aku tetap menunggu Tuhan dengan penuh pengharapan sambil melakukan hal-hal terbaik lain yang bisa kukerjakan. Kemudian tibalah jawaban yang kutunggu-tunggu di awal Oktober. Dalam waktu dua minggu, aku menemukan satu perusahaan konsultasi lingkungan hidup, melamar ke sana, mengikuti wawancara tahap pertama, dan sempat risau karena jadwal wawancara tahap kedua mungkin akan bentrok dengan seminar apologetika yang kuikuti. Tapi, puji Tuhan, jantungku rasanya seperti berhenti sesaat ketika setelah wawancara kedua aku langsung ditawarkan pekerjaaan di bidang yang ingin kujelajahi.

Sisa ceritanya adalah bagian dari sejarah.

Sambil menunggu, lakukan yang terbaik yang bisa dikerjakan

Sekarang aku sudah bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama tiga bulan. Butuh penantian dan perjuangan selama satu tahun untuk tiba di sini. Sambil menunggu, ada banyak pertanyaan dan kekecewaan yang kurasakan dan kutumpahkan kepada tuhan dalam waktu-waktuku berdoa dan bersaat teduh. “Kenapa aku tidak mendapatkan tawaran dari perusahaan A? Paling tidak aku seharusnya maju ke wawancara tahap kedua untuk posisi B, bukan?” dan lain sebagainya. Tetapi, Tuhan terus menjawabku dengan “Tunggu”, dan masa menunggu itulah dipakai-Nya untuk aku belajar berfokus melakukan hal-hal terbaik yang bisa kukerjakan.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa Tuhan menggunakan masa-masa itu untuk mengasah dan mempertajam imanku sehingga ku dapat lebih bersukacita di dalam Kristus ketika jawaban dari-Nya datang.

Ketika Tuhan menyuruh kita untuk menunggu, bukan berarti kita harus berdiam diri tanpa melakukan apapun. Sebaliknya, lakukanlah hal-hal terbaik yang bisa kita kerjakan. Niscaya kita akan melihat dan mengalami rancangan damai sejahtera dari-Nya yang memberikan kepada kita hari depan yang penuh pengharapan (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita.

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs Your Emotions Are Ruling Your Life

Butuh perjuangan berat untukku tidak segera membalas chat yang dikirim kepadaku. Kumatikan ponselku. Aku tidak akan membiarkan emosiku mempengaruhi tindakanku. Aku tidak ingin jadi orang yang ceroboh karena melontarkan kata-kata yang tidak tepat saat emosiku sedang tidak stabil.

Aku tahu chat dari temanku itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai orang dengan kepribadian INFJ, aku pun tahu bahwa aku mudah terbawa emosi dan perasaan. Oleh karenanya, aku menjaga diriku agar aku tidak mudah terbawa oleh emosi itu.

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita. Mungkin beberapa di antara kita adalah orang yang mudah “baper”, dan mengendalikan emosi adalah hal yang amat sulit. Tapi, inilah pelajaran berharga yang telah kupelajari selama beberapa tahun belakangan.

Belajar untuk mengendalikan emosi akan memberikan kepenuhan di setiap aspek kehidupan kita. Lagipula, hidup kita sesungguhnya tidak ditentukan dari perasaan kita sendiri. Jadi, bagaimana caranya kita tahu apabila hidup kita sudah dikendalikan oleh emosi kita sendiri?

1. Kita seketika bereaksi tanpa berpikir

Ketika emosiku telah mengendalikan diriku, aku sering mendapati diriku seketika bereaksi (kadang reaksi yang sebetulnya tidak perlu) ketika situasi sedang ‘panas’. Biasanya itu terjadi ketika aku mendapatkan balasan email yang tidak menyenangkan dari rekan kerjaku, atau mendapati piring-piring kotor menumpuk di dapur. Mudah rasanya untuk segera meluapkan emosiku dan mengatakan kata-kata pertama yang muncul di benakku.

Segera menghakimi orang lain kadang jauh lebih mudah daripada berusaha menunjukkan kasih dan memberi ruang untuk percaya kepada mereka. Tapi, aku menantang diriku untuk menghindari reaksi emosi yang buruk semacam itu. Aku belajar untuk bagaimana aku dapat merespons dengan positif alih-alih meremehkan.

Aku dan suamiku menciptakan beberapa “peraturan” yang harus kami pertahankan jika suatu saat kami bertengkar. Salah satu aturannya adalah “Jangan memantik kebakaran yang nanti akan sulit dipadamkan.” Dalam kata lain, kami tidak boleh ceplas-ceplos, bicara tanpa berpikir ketika emosi kami sedang meninggi. Bisa saja perkataan yang diucapkan itu nantinya malah menyakiti hati kami dan perlu upaya keras untuk dapat saling memaafkan.

Bereaksi secara spontan rasanya adalah respons alami, tetapi memahami bahwa perasaan kita tidak seharusnya mengatur hidup kita adalah langkah pertama untuk mencapai kehidupan emosional yang lebih sehat. Selagi menanti situasi yang panas menjadi dingin, aku memohon Roh Kudus untuk menunjukkan kepadaku akar dari reaksi emosionalku. Mengundang Tuhan untuk hadir dalam tiap reaksi yang kuberikan menolongku untuk dapat merespons dengan lebih baik lagi setiap kali aku mengalami gejolak emosi.

2. Kita begitu percaya akan perasaan kita seolah-olah itu adalah kenyataan

Satu hal yang konselorku ajarkan adalah perasaan itu sesungguhnya tidak benar atau salah, perasaan hanyalah perasaan. Temanku, ketika aku membagikan tulisan ini, aku juga ingin memberitahumu bahwa perasaan kita tidak selalu dapat dipercaya. Pada kenyataannya, perasaan kita seringkali berbohong pada kita. Kita menemukan kebenarannya di Yeremia 17:9 yang mengatakan bahwa hati adalah sumber kelicikan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatnya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Masalah dapat terjadi ketika perasaan kita membuat kita tidak lagi mampu melihat kenyataan di depan kita. Dalam kata lain, kita telah menjadikan perasaan kita sebagai berhala kita, dan kita mulai mempercayai perasaan itu lebih daripada kita percaya akan apa kata Tuhan buat kita. Jika kita tiba dalam momen seperti itu, itulah saatnya buat kita melakukan proses soul-searching, atau pencarian jiwa. Tapi, alih-alih mengikuti apa yang hatiku katakan, aku perlu mengikuti teladan Yesus dan mengupayakan buah-buah roh—yang di dalamnya juga terkandung penguasaan diri—dihasilkan dalam hidupku (Galatia 5:22-23).

3. Kamu merasa tidak terkendali

Ketika emosi kita mempengaruhi kita, kadang kita bisa saja jadi berperilaku seperti anak-anak, atau kita menarik diri dari situasi yang sedang kita hadapi. Emosi kita dapat secara langsung mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan kadang-kadang dengan cara yang tidak sehat.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku yakin kamu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cukup untuk mengenali apakah emosimu sedang bergejolak atau tidak. Tapi, jika ada di antara kamu yang merasa kesulitan mengendalikan emosimu, kamu perlu mencari tahu apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Apakah itu gejala FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuatmu merasa putus asa ketika kamu menjelajahi Instagram, atau perasaan tertolak ketika lawan bicaramu di telepon hanya merespons dengan hening. Sangat penting untuk mencari tahu apa yang jadi penyebab gejolak emosi kita, karena ketika kita tahu apa yang jadi penyebabnya, kita dapat lebih cepat menyerahkannya pada Tuhan dan kita dapat segera mengendalikan emosi tersebut.

Di hari-hari ini, ketika budaya kita mendorong kita untuk semakin terbuka tentang perasaan kita—sesuatu yang dibutuhkan untuk membina suatu relasi-—dalah penting untuk kita belajar hidup melampaui apa yang kita rasakan.

Menyadari emosi diri kita sendiri itu penting untuk perkembangan diri kita. Namun, kita tidak dapat mengizinkan emosi kita menentukan jalan mana yang hendak kita ambil. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah aku membiarkan emosiku mengendalikanku? Apakah perasaanku membawaku ke jalan yang salah? Jika jawabannya adalah ya, kita mungkin perlu memikirkan kembali di mana kita meletakkan peran emosi dalam kehidupan kita.

Dan, jika kamu mendapati dirimu merasakan salah satu dari ketiga poin yang kutuliskan, jangan khawatir. Aku ada di sini bersamamu. Emosi adalah salah satu bagian yang menjadikan kita manusia. Kita tidak perlu berusaha menghilangkan perasaan itu dengan menguburnya dalam-dalam, tapi kita bisa membawa seluruh perasaan dan emosi kita kepada Bapa yang penuh kasih, yang mau menuntun dan menantang kita untuk menjalani hidup yang terbaik buat kita.

Tuhan ingin kita menyerahkan segala aspek kehidupan kita kepada-Nya, termasuk emosi kita. Semakin kita mencari tuntunan Tuhan dalam kehidupan emosional kita, semakin kita dapat bertumbuh dengan kepekaan untuk mengetahui perasaan mana yang dapat kita percayai dan perasaan mana yang harus kita pakukan di kayu salib.

Jadi, janganlah takut, kita semua sedang melalui perjalanan emosional yang kita sebut sebagai kehidupan. Dan yang paling utama adalah kita semua sedang menempuh perjalanan menuju pemulihan yang sejati bersama Yesus. Jadi, yuk katakan ini bersamaku: “Emosiku bukanlah raja atas hidupku. Tidak ada raja apapun dalam hidupku selain Yesus.”

* * *

Tentang penulis:

Rachel adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia. Dia adalah penggemar digital media dan juga seorang penulis. Kamu bisa membaca lebih banyak karya-karyanya tentang iman dan kesehatan mental di blognya, With Love from Rachel. Ketika Rachel tidak sedang menulis, dia meluangkan harinya untuk mencari secangkir kopi terbaik di sebuah kafe yang nyaman, merencanakan tujuan perjalanan selanjutnya, dan menikmati hidupnya besama James, suaminya.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Aku pernah melayani dengan semangat, namun tanpa kusadari pelayanan ini membuat celah bagiku untuk memegahkan diri. Pelayanan tak lagi kulakukan buat Tuhan, tapi untuk diriku sendiri.

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Was Blinded By Success

Ada suatu masa di mana aku pernah menawarkan diriku untuk menulis satu artikel per minggu untuk membantu tim pelayananku mencapai target. Meskipun kemampuan menulisku dalam bahasa Inggris rasanya biasa saja, tapi aku suka menghubungkan pengalaman dan pemikiranku dengan firman Tuhan dan menuliskannya.

Setelah lembur di kantor, aku biasanya membuka laptopku di rumah dan mencoba menulis sebuah artikel baru. Pemimpin tim pelayananku sempat khawatir kalau aku tidak akan mampu mengerjakan pelayanan ini. Katanya, tidak ada paksaan untukku melakukannya. Tapi, seringkali aku berkata, “Tidak apa-apa kok, aku bisa melakukannya.”

Aku senang melihat respon yang baik dari pemimpin timku. Tetapi seiring bulan berganti, aku tidak menjaga kondisi hatiku dan aku mulai membanggakan diri atas pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin agar tim pelayananku merasa senang karena pelayananku. Seiring aku memfokuskan diri pada menulis artikel, sikap hatiku mulai menyimpang. Tanpa kusadari, setiap respons baik yang diberikan oleh pemimpin timku ternyata membuatku merasa kalau aku sanggup mengerjakan semuanya sendirian. Waktu-waktuku membaca firman Tuhan bergeser fokusnya karena tujuanku untuk menemukan ide-ide baru untuk menulis, bukan untuk mencari ketenangan di dalam Tuhan.

Ketika akhirnya aku kehabisan pengalaman baru untuk kutulis, aku mulai menulis cerita-cerita biasa yang sebenarnya tidak layak untuk diterbitkan. Dan akhirnya, artikel-artikelku jadi perlu banyak diedit, dan bahkan beberapa diantaranya ditolak untuk diterbitkan.

Aku mulai merasa malu. Aku seharusnya membantu meringankan beban tim pelayanan dengan kontribusiku, tapi mungkinkah aku malah menambahkan beban mereka? Hari-hari ketika kualitas tulisanku sangat buruk akhirnya menghancurkan rasa banggaku.

Selama beberapa minggu, rasa sakit hatiku tidak kunjung reda meskipun aku sudah berusaha keras untuk melupakan artikelku yang diedit habis-habisan dan ditolak. Setelah beberapa waktu, aku mengumpulkan keberanianku dan membicarakan hal ini dengan seorang teman yang kupercaya. Dia mendengarkanku dengan sabar dan menyarankanku untuk beristirahat sejenak dari menulis artikel untuk meluruskan kembali hatiku. Mungkin itulah yang sebenarnya kubutuhkan.

Kami tidak merencanakan secara spesifik apa yang akan dilakukan selama aku absen menulis, namun dalam hatiku aku tahu bahwa ini artinya aku harus berhenti mulai menulis untuk beberapa waktu kedepan dan sungguh sungguh menggunakan waktuku untuk beristirahat dalam hadirat Tuhan. Dan ini juga berarti menyerahkan segala rencanaku pada-Nya.

Ketika aku bersaat teduh esok paginya, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak bersaat teduh dengan tujuan agar aku punya bahan untuk ditulis. Aku bisa memfokuskan diri untuk mencari Tuhan dengan segenap hatiku, dan meneduhkan diriku dalam hadirat Tuhan— tempat di mana aku tahu aku bisa menemukan kedamaian.

Akhirnya aku menyadari bahwa ketika aku terlalu berfokus untuk menulis artikel, aku menjalani waktu teduhku dengan motivasi hanya untuk menemukan konten-konten untuk ditulis dan kata-kata yang lebih baik yang bisa kugunakan. Meskipun itu sebenarnya tidaklah salah, namun yang Tuhan inginkan adalah anak-anak-Nya datang mencari-Nya dalam roh dan kebenaran (Yohanes 14:2). Ketika aku mengakui pada Tuhan motivasiku yang salah dalam mencari-Nya, Ia pun menjamah hatiku.

Dalam kondisi hatiku yang hancur pagi itu, Tuhan mengingatkanku bahwa kekuatanku berasal dari Tuhan saja, dan Dia akan memberiku nyanyian baru untuk memuji-Nya (Mazmur 28:7). Kekuatanku berasal dari keteduhan relasiku dengan-Nya sebelum memulai hari. Meskipun aku telah gagal, tapi Tuhan akan memberiku kekuatan untuk memulai kembali, seperti rahmat-Nya yang selalu baru setiap pagi. Kebanggaan manusia atau kecukupan diri di luar Tuhan dalam bentuk apapun tidak akan menuntun kita pada kekuatan yang teguh, yang hanya berasal dari Tuhan.

Pada saat itu aku menyadari—baik dalam menulis ataupun pekerjaan lain—aku tidak bisa berbuat banyak tanpa kekuatan Tuhan. Di dalam hadirat Tuhan, aku bisa bermegah dalam kelemahanku meskipun aku gagal (2 Korintus 12:9-10).

Menulis artikel untuk pelayanan harus dilakukan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan—sebagai pengingat kesetiaan-Nya padaku—dan juga dengan harapan untuk membawa orang lain pada-Nya. Bukannya menjadi hamba-Nya yang setia dan menggunakan talentaku agar orang lain bisa melihat kemuliaan-Nya, dahulu aku malah menulis untuk diriku sendiri.

Setelah aku mengakui dosaku, aku melihat bagaimana kecerobohanku dalam menjaga hatiku membuat dosa memegahkan diri bisa menyelinap. Aku telah dibutakan oleh imaji kesuksesanku, aku menipu diriku sendiri dengan gambaran kecukupan diri, dan ini membuatku pergi menyimpang dari anugerah Tuhan.

Sukacita Tuhan ada di dalam kita, dan kasih-Nya pada kita tidak berubah dalam keberhasilan maupun kegagalan kita. Seiring aku mendekat pada Tuhan, Dia menunjukkan padaku bahwa Dialah yang akan terus menguatkan kita, bahkan pada saat kita kekuatan kita hilang. Jika aku tidak dihentikan untuk menulis dalam masa itu, aku bisa saja melewatkan pengalaman untuk merasakan kembali kebaikan Tuhan.

Meskipun aku gagal untuk menerbitkan artikel lagi, aku merasa puas. Pagi itu, Tuhan membawaku pada kepuasan yang mendalam di dalam hadirat-Nya.

Kasih-Nya tidak tidak akan goyah, dan nilai diri kita di hadapan-Nya tidak ditentukan oleh kesuksesan kita. Dia pencipta kita. Dia tahu bagaimana caranya mengangkat dan menguatkan kita ketika kekuatan kita hilang. Di dalam-Nya, aku bisa bersuka bahkan di dalam kelemahanku dan bermegah tanpa rasa takut (2 Korintus 12:9-10).

Dengan pengalaman tersebut, aku belajar untuk melambatkan tempoku dalam menulis, agar aku bisa beristirahat di dalam Tuhan. Di dalam-Nya, aku melihat harta yang lebih berharga dari kesuksesan dunia apapun yang bisa kucapai.

Sekarang, ketika aku membuka laptopku lagi dan mulai mengetik, aku tidak lagi melakukannya sebagai sebuah beban yang kukenakan pada diriku sendiri. Hal yang lebih penting adalah untuk tinggal di hadirat-Nya, di mana aku telah merasakan sukacita penuh.

Baca Juga:

Ketika Aku Belajar Memahami Arti Doa yang Sejati

Dulu, aku adalah orang yang kaku dalam menetapkan waktu berdoa. Aku pernah menolak permintaan tolong dari ibuku di saat aku seharusnya berdoa. Tapi, itu bukanlah respons yang tepat. Melalui sebuah teguran, aku pun lalu belajar tentang apa arti doa yang sejati.

Ketika Aku Belajar Memahami Arti Doa yang Sejati

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Berdoa. Itulah salah satu kegiatan yang kusukai. Jika orang lain mungkin merasa suntuk saat berdoa, itu tidak bagiku. Dalam doaku, aku bisa bercerita tentang apa saja kepada Tuhan. Sejak duduk di SMP, aku memiliki jam-jam doa pribadi: pagi sebelum berangkat sekolah, sore setelah pulang sekolah, dan malam hari. Kegiatan itu kulaksanakan dengan teratur selama kurang lebih 15-30 menit.

Namun, seiring bertambahnya usiaku, kesibukanku mulai bertambah. Aku mulai kesulitan konsisten berdoa di jam-jam yang sebelumnya sudah kutetapkan itu, khususnya saat sore sepulang sekolah. Ada saja kegiatan seperti bimbel, kerja kelompok hingga larut malam, atau diajak teman nongkrong. Seringkali pula ibuku memintaku menolongnya. Biasanya saat aku hendak mulai berdoa, dia memanggilku untuk membersihkan rumah. Rasanya selalu ada saja yang harus kukerjakan sepulang sekolah untuk membantunya.

Kegiatan-kegiatan itu akhirnya membuatku tidak lagi konsisten berdoa. Terkadang aku hanya berdoa seperlunya, bahkan dengan kekesalan karena saat hendak mulai berdoa, ibuku memberiku pekerjaan rumah. Pernah suatu kali, aku tidak mau menyelesaikan apa yang dimintanya dan mempertegas jam-jam doaku kepada ibuku.

Ibuku lalu berkata, “Nak, berdoa itu nggak cuma diam di kamar. Kamu membantu mama, jadi berkat di rumah, itu juga berdoa namanya. Gak baik juga doa seperti itu sampai lupa tanggung jawabmu.”

Tak hanya ibuku, ayahku juga berkata hal yang sama. “Nak, punya jam doa itu bagus. Tapi, bukan berarti harus saklek dan kaku dengan jam doamu itu. Lebih fleksibel sedikit, tetapi tetap setiap hari berdoanya.”

Aku tertegun dan berusaha mencerna kedua nasihat itu. Lalu sebuah kalimat dari Matius 23:23 pun membuatku gelisah, “Tetapi celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”

Aku sempat bertanya dalam diriku, apakah aku sudah melakukan hal yang terpenting? Apakah mengusahakan waktu untuk berdoa itu salah? Apakah mengorbankan waktu demi berdoa itu tidak tepat?

Jacques Ellul dalam bukunya yang berjudul Prayer and Modern Man berkata bahwa doa yang sejati melampaui apa yang mampu diungkapkan oleh bahasa. Dalam Perjanjian Lama, kata-kata yang digunakan dalam menggambarkan doa adalah kata kerja aktif (Ellul dalam Gary Thomas, Sacred Marriage, halaman 106). Berdoa adalah sebuah aktivitas yang aktif, di mana seseorang berbuat dan bertindak sesuatu. Berdoa lebih dari sekadar duduk diam dan melakukan penyembahan. Kita dapat berdoa melalui tindakan kita menolong orang lain.

Dalam bukunya yang berjudul Sacred Marriage, Gary Thomas bahkan berkata, “Ketika doa menjadi sekadar tindakan menundukkan kepala dan menutup mata, daya dan ruang lingkup kita dalam berelasi dengan Tuhan pun menjadi terbatas”.

Aku pernah mengalaminya. Ketika aku terlalu fokus dan mengorbankan waktu-waktu yang seharusnya bisa kupakai untuk menolong ibuku untuk berdoa sesuai dengan jam yang telah kutetapkan, aku merasa kosong. Aku merasa Tuhan sepertinya tidak mendengarkanku. Padahal, tanpa kusadari ketika aku berdoa, jawaban dari doaku terwujud melalui kegiatanku dalam menolong ibuku itu. Entah melalui percakapanku dengannya maupun lewat peristiwa tak terduga saat aku menolongnya. Bahkan, tak hanya ibuku saja, tetapi juga dengan orang-orang di sekelilingku di mana aku berinteraksi dengan mereka.

Sekarang aku lebih bijaksana dalam mengatur jam doaku. Aku menetapkan waktu doa regulerku bukan pada jam-jam sibuk di mana aku harus banyak berhubungan dengan orang lain, supaya aku bisa menikmati doa yang hangat bersama Tuhan. Namun, jika suatu ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolonganku di waktu doaku, aku dapat tetap menolongnya sambil hatiku bercakap dengan Tuhan. Aku percaya bahwa doa dan komunikasi dengan Tuhan tidak dibatasi pada ruang dan waktu, aku dapat berdoa kepada-Nya di manapun dan kapanpun dengan didasari kerinduan untuk berelasi dengan-Nya.

Meski begitu, aku tetap berkomitmen untuk konsisten berdoa di jam-jam yang sudah kutetapkan karena di sinilah aku belajar untuk mengikut Kristus, menyangkal diriku, dan memikul salib setiap hari.

Harapanku, biarlah kita semua dapat hidup menjadi berkat bagi orang lain dan juga menjaga komitmen doa kita setiap hari.

Baca Juga:

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Ketika pengalaman hidup yang mengenaskan terjadi, apakah memang Tuhan benar-benar tidak memberikan kita perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Oleh Kezia Lewis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Will God Give Me More Than I Can Bear?

“Tuhan tidak akan pernah memberimu perkara yang tidak dapat kamu tanggung. Tuhan hanya akan memberikan apa yang dapat kamu tangani.”

Dalam tahun-tahun awalku berjalan bersama Yesus, kalimat ini sangat menghiburku ketika aku menghadapi tantangan. Bahkan aku mulai membagikan pesan ini kepada teman-temanku yang sedang melewati masa-masa sulit.

Namun ketika aku kehilangan ibuku, aku meragukan kalimat itu. Tidak lama berselang, pamanku (saudara ibuku) tewas tertembak. Lalu, ayahku meninggal tiga hari setelah pernikahanku. Beberapa bulan kemudian, pamanku yang lain kehilangan kedua tangannya akibat sebuah kecelakaan yang mengerikan. Kalimat penguatan yang mulanya sangat berarti bagiku itu tiba-tiba kehilangan maknanya.

Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal-hal ini terjadi? Semua ini tidak masuk akal bagiku. Aku berpikir: Bukankah mereka berkata Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kutanggung? Tetapi bukankah aku baru saja melewati batas dari apa yang dapat kutanggung?

Hal ini membuatku berpikir bukan saja tentang diriku, tapi juga orang-orang yang berada dalam kondisi yang lebih berat dariku. Maksudku, bagaimana caranya aku memberitahu seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya bahwa Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat dia tanggung? Atau memberitahu semua itu pada seorang suami yang harus menguburkan istri dan anak-anaknya? Atau pada seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya?

Bagaimana aku bisa mencocokkan kalimat penghiburan yang seringkali digunakan ini dengan pengalaman hidup yang mengenaskan? Apakah Tuhan benar-benar tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Untuk beberapa waktu, aku berusaha untuk tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan melakukannya. Aku berpura-pura kuat. Tetapi tekanan yang kudapat membuatku sulit untuk menjaga keyakinanku; aku hampir tidak dapat bertahan.

Ya, Tuhan akan memberimu lebih dari apa yang dapat kamu tanggung

Setelah beberapa waktu, aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengakui ini: Tuhan memang memberikan lebih dari apa yang dapat kita tanggung. Aku percaya bahwa Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan begitu berat; penderitaan yang dapat ‘menghancurkan’ kita dan membuat hidup kita terasa hampa, dan juga kegagalan-kegagalan yang akan begitu mengguncang kita.

Lantas, jika begitu bagaimana kita dapat memaknai janji yang Tuhan berikan dalam 1 Korintus 10:13? Ayat itu dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan “tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu”. Pada saat itu aku menyadari hal ini: kata “dicobai” pada ayat ini mengacu pada dosa. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui apa yang dapat kita tahan. Ayat yang seringkali dikutip dengan salah. Ayat ini tidak berbicara soal penderitaan.

Ketika kita berbicara soal penderitaan akibat suatu kondisi, aku percaya Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang dapat kita dapat tanggung. Jika kita dapat menanggung semua perkara yang datang dalam hidup kita dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan benar-benar membutuhkan Tuhan. Jika kita dapat menanggung segala beban yang kita alami, maka kita tidak akan perlu mencari Tuhan; kita tidak akan mencari pertolongan-Nya, memohon kekuatan dari pada-Nya, dan memberi hati kita diteguhkan oleh-Nya.

Sampai kita mendapat anugerah dan kekuatan dari Yesus, kita tidak mungkin bisa menanggung semua perkara. Aku tahu hal ini karena aku pernah melewati situasi begitu berat yang membuatku hancur dan merasa hampa bahkan hingga aku tidak bisa menangis lagi. Rasa sakitnya tidak dapat kutahan; tertahan dalam hati dan leherku. Dalam masa-masa itu tidak ada yang berarti selain relasiku dengan-Nya.

Merasakan penderitaan itu baik

Lalu apakah artinya Tuhan itu jahat karena mengizinkan hal-hal buruk terjadi pada kita? Tentu tidak.

Justru pada kenyataannya, kurasa penderitaan itu baik untuk kita. Aku tidak berkata aku menyukainya—tidak sama sekali. Tapi meskipun penderitaan adalah kawan yang tidak menyenangkan, dia adalah seorang guru yang kompeten.

Penderitaan membantu kita melihat dengan jelas dan menolong kita untuk memahami apa yang benar-benar kita butuhkan. Penderitaan membuat kita mengetahui bahwa ada yang salah dalam hidup kita.

Aku pernah menonton sebuah film tentang seorang veteran perang yang tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhnya. Pada suatu adegan, seorang siswa sukarelawan yang menolongnya membersihkan diri berkomentar bahwa terkadang dia berharap supaya tidak bisa merasakan sakit ketika dia berlatih sepak bola. Veteran perang itu lalu menjawabnya, “Tidak, kamu tidak menginginkan hal ini. Kamu tidak akan mau jika seandainya kamu bisa tidak merasakan sakit.”

Kurasa itulah bagian yang seringkali terlewat dalam pikiran kita. Kita ingin tidak bisa merasakan penderitaan, meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita. Namun, rasa sakit bukanlah musuh kita. Rasa sakit justru menolong kita untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Penderitaan dapat menuntun kita ke arah yang benar—sebuah hidup yang berfokus dan bergantung pada Tuhan.

Aku tidak menganggap remeh hal-hal sulit yang harus kita hadapi dalam hidup kita. Percayalah, ada banyak masa dalam hidupku di mana aku berharap aku tidak perlu merasakan penderitaan. Meski begitu, aku harus berkata bahwa dalam hikmat Allah, Dia mengizinkannya terjadi untuk suatu tujuan.

Sekarang aku bisa lebih mengandalkan Allah untuk mendapat kekuatan, menyadari bahwa aku tidak akan bisa bertahan tanpa-Nya. Aku bisa belajar mengasihi orang-orang lebih lagi dan benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka. Aku melihat kebodohan dari keinginan pribadiku yang egois dan menjadi semakin bijak dalam mengambil keputusan. Semua ini hanya sebagian kecil dari pelajaran yang Tuhan ajarkan padaku—pelajaran yang tidak akan bisa kupahami jika penderitaan tidak ikut terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya, penderitaan adalah kenyataan yang harus selalu kita hadapi. Namun kita pastinya bisa mengandalkan Tuhan untuk menyertai kita dalam setiap langkah kita menghadapi penderitaan-penderitaan tersebut.

Baca Juga:

Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Kuakui sulit untuk konsisten melakukan saat teduh sebagai bagian dari latihan disiplin rohani. Aku bahkan pernah gelisah karenanya. Tapi, ada tiga cara yang bisa kita lakukan.