Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

“Huaaa… huaaa,” suara tangisan terdengar dari arah tangga. Aku mengenal suara tangisan itu. Marvelle, salah satu muridku yang duduk di kelas 4 berjalan terseok-seok menghampiriku. Air mata membasahi wajahnya.

Sebagai seorang guru, aku tidak tega melihat teman kecilku ini menangis demikian kerasnya. Aku menghampirinya dan bertanya, “Ada apa Marvelle?”

Aku menduga, tangisan Marvelle pasti karena seekor kucing yang ia beri nama Miichan. Beberapa hari belakangan, ada seekor kucing yang berkeliaran di area sekolah. Marvelle senang bermain dengan kucing itu. Dan, ternyata dugaanku benar. Ketika aku menyebutkan nama Miichan, tangisnya semakin keras.

“Kenapa Miichan, Marvelle? Miichannya pergi lagi ya?”

Sambil tetap menangis, Marvelle menjawab dengan terbata-bata, “Aku..aku mau kucing… Tapi nda boleh sama mamaku. Jadi aku nda bisa main sama Miichan lagi.” Aku pun berusaha menghibur Marvelle agar ia dapat lebih tenang.

Tangisan Marvelle siang itu membuat perasaanku campur aduk. Ada rasa terharu, gemas, terenyuh, dan entahlah. Tapi, dari balik tangisannya, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Dalam kehidupan kita, ada banyak hal yang “menggiurkan”, yang menarik kita menjauh dari Tuhan. Godaan-godaan dosa mungkin menawarkan hal yang indah dan menyenangkan buat kita. Namun, itu tidaklah menyenangkan hati Tuhan, dan sebenarnya pun tidak baik buat kita.

Tapi, apakah lantas kita memiliki hati seperti Marvelle kecil yang mau taat?

Aku yakin, pasti tidak mudah buat Marvelle mengikuti perintah mamanya. Marvelle begitu menyukai Miichan. Kucing ini tampak menarik dan membuatnya senang setiap kali bermain dengannya. Namun, ketika sang mama akhirnya mengatakan “tidak” untuk bermain dengan kucing ini lagi, pasti Marvelle merasa tidak senang. Marvelle bisa saja melanggar instruksi “tidak” dari mamanya. Toh, kucing itu ada di sekolah, di tempat di mana sang mama tidak ada secara fisik dan mengawasi Marvelle secara langsung.

Tapi, Marvelle—walaupun dengan rasa sedih—dapat mengatakan: “Nda boleh sama mama. Jadi aku tidak bisa main dengan Miichan.”

Di balik rasa sedihnya, Marvelle memilih taat. Ia melakukan apa yang mamanya perintahkan. Aku yakin, bahwa di dalam hatinya, Marvelle tahu bahwa mamanya mengasihi ia. Sehingga, ia pun bersedia taat meskipun mungkin ia sendiri tidak paham mengapa mamanya memerintahkan demikian.

Bagaimana dengan kita? Apakah momen Natal yang baru kita peringati di bulan lalu membuat kita semakin menyadari dan mengingat betapa Allah telah mengasihi kita?

Aku teringat akan perkataan Yesus di malam sebelum Ia ditangkap. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Ketika Yesus lahir ke dunia, Ia tahu bahwa Ia datang untuk sebuah misi: menyelamatkan umat manusia. Dan, Ia pun tahu bahwa Ia akan mati disalibkan. Itu bukanlah hal yang mudah bagi-Nya. Namun, Yesus menunjukkan ketaatan-Nya yang luar biasa.

Di tahun yang baru ini, aku ingin belajar untuk taat sebagaimana Kristus taat kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Dan, aku pun mengucap syukur kepada Bapa untuk kesempatan belajar dari Marvelle, yang menegurku agar aku terus bersedia dibentuk untuk semakin serupa dengan Kristus.

Baca Juga:

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Apakah resolusi tahun baru yang kita buat menyentuh masalah-masalah mendasar dalam hidup kita?

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Setiap awal tahun, banyak dari kita yang membuat resolusi untuk dijalankan di tahun berikutnya. Ada resolusi yang berupa rencana, komitmen, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Aku adalah salah satu orang yang membuat resolusi itu. Setiap tahun, aku mendoakan dan menyerahkan tiap resolusi yang kubuat agar dapat terjadi sesuai dengan kehendak-Nya.

Beberapa tahun lalu, aku punya resolusi yang rencananya akan kulakukan di sepanjang tahun. Namun, aku malah merasa ragu dan bertanya kepada diriku sendiri: apakah resolusiku itu benar-benar akan memberi dampak untuk hidupku di masa depan? Apakah aku dapat serius menjalani resolusi itu?

Aku ingat pengalamanku setahun sebelumnya. Waktu itu salah satu resolusiku adalah rajin berolahraga. Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk lari pagi, jalan-jalan berkeliling kompleks perumahan, dan bersepeda. Tapi, seiring waktu berlalu, bahkan hingga akhir tahun, aku mulai absen berolahraga sampai akhirnya berhenti melakukannya sama sekali. Aku telah gagal menjalankan resolusiku.

Namun, di tahun setelahnya, aku tetap mencanangkan olahraga sebagai resolusiku. Bersyukur ada temanku yang mengajakku berolahraga di gym. Di sana, seorang trainer menjelaskan padaku tentang pentingnya berolahraga. Katanya, jika jumlah lemak jahat terlalu banyak dalam tubuhku, itu bisa menyebabkan berbagai macam penyakit seperti jantung koroner, stroke, kolesterol, dan sebagainya. Olahraga merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko terkena penyakit seperti itu. Aku tersentak dan merasa ditegur. Awalnya, kupikir kalau olahraga itu hanyalah aktivitas sampingan agar tubuhku terlihat lebih sehat dan segar. Itu saja. Aku tak terpikirkan akan banyak penyakit yang bisa saja menyerangku jika aku tidak rutin berolahraga dan bergaya hidup sehat. Sejak saat itu, aku pun jadi lebih rutin berolahraga.

Resolusiku berolahraga itu pada akhirnya baru benar-benar terwujud ketika pikiranku berubah, ketika aku menyadari bahwa olahraga adalah salah satu cara yang bisa kulakukan untuk hidup sehat, bukan sekadar aktivitas sampingan. Dan, hal inilah yang kemudian mendorongku untuk memikirkan kembali semua resolusi yang kubuat setiap tahunnya. Tanpa pembaharuan pikiran, resolusi yang kulakukan akan terasa berat untuk kulakukan. Dalam setiap resolusi yang kubuat, aku perlu memikirkan: apakah resolusi tahun baruku menyentuh masalah-masalah yang mendasar dalam hidupku? Atau, apakah resolusiku hanya sekadar untaian kata yang pada akhirnya akan sulit kupraktikkan?

Saat ini, aku sedang berusaha mewujudkan resolusiku. Dan inilah yang mengajariku untuk menghargai komitmenku, dan menolongku untuk hidup lebih terarah sepanjang tahun. Aku tidak pernah tahu kapan waktuku akan berakhir. Namun yang bisa aku lakukan adalah menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin.

Resolusi dan perubahan apakah yang ingin kamu lakukan di tahun ini?

Baca Juga:

Interupsi dari Allah

Di tengah kesibukan yang menjadi rutinitas sehari-hari, ada kalanya jadwal yang sudah kita buat tidak berjalan semestinya. Pernahkah kita menyadari bahwa mungkin itu adalah interupsi yang dilakukan Allah?

Interupsi dari Allah

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Di samping kuliah, aku terlibat dalam pelayanan untuk siswa SMA. Aktivitas ini membuat jadwal keseharianku menjadi penuh. Aku perlu meluangkan waktu untuk rapat, membicarakan pola pelayanan, juga berdoa bersama rekan-rekan sepelayananku. Itu belum ditambah dengan kegiatan perkuliahan dan pekerjaan lainnya yang semakin menambah padat jadwalku. Lama-lama, semua kesibukan itu terasa menjadi rutinitas buatku. Aku tahu pasti hal-hal apa saja yang harus kukerjakan pada setiap waktu. Tapi, tanpa kusadari, inilah yang menyebabkanku seringkali mengabaikan interupsi dari Allah pada setiap aktivitasku.

Interupsi dari Allah yang kumaksud di sini adalah gangguan yang terjadi pada jadwalku. Allah dapat melakukan banyak hal untuk membuat jadwal yang sudah kubuat ternyata tidak berjalan semestinya. Semisal, kereta yang kutumpangi terlambat ketika aku sudah datang ke stasiun tepat waktu. Kupikir tidak ada orang yang suka keterlambatan. Atau, ketika badanku sudah terasa lelah dan aku ingin langsung pulang ke rumah menggunakan transportasi paling cepat, eh, ada temanku yang mengajak pulang bareng dengan transportasi yang memakan waktu lebih lama. Buatku, itu semua terasa melelahkan.

Namun, setelah beberapa kali mengalami hal seperti itu, aku mendapati bahwa sebenarnya Allah punya rencana lewat semua hal yang terjadi dalam hidupku. Penantian kereta yang datang terlambat membuatku bisa terdiam sejenak dan merenung. Pulang bersama temanku yang melewati jalanan yang lebih jauh membuatku jadi bisa berbincang dengannya lebih lama. Dari perbincangan ini, aku jadi tahu bagaimana kondisinya, dan dia pun akhirnya bisa mendengar sharing ceritaku tentang pengalamanku bersama Allah.

Christine Caine dalam bukunya yang berjudul “Undaunted”, menceritakan kembali kisah Alkitab tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:30-37). Ada seseorang yang jatuh ke tangan penyamun hingga ia hampir mati. Dalam kondisinya yang kritis, ada tiga orang yang lewat di dekatnya, yaitu seorang imam, Lewi, dan orang Samaria. Imam dan orang Lewi melewati korban itu begitu saja. Tapi, orang Samaria, karena tergerak oleh belas kasih, menunda sebentar perjalanannya untuk menolong korban penyamun itu. Dalam kisah ini, imam dan orang Lewi tidak dikatakan sebagai orang jahat; tapi mereka adalah orang-orang beragama yang sibuk. Mereka begitu fokus menjalani rutinitas dan kegiatan ibadah mereka sampai-sampai mereka melewatkan seseorang yang seharusnya mereka tolong.

Aku tidak pernah memikirkan kisah orang Samaria dari perspektif ini sebelumnya. Aku tertegun dan merasa ditegur. Kesibukanku melayani di pelayanan siswa pernah membuatku menutup diri dari teman-teman kampusku yang ingin menemuiku untuk bercerita. Bahkan, kesibukan pelayananku ini seringkali membuatku lupa kepada rekan sepelayananku. Aku berfokus pada pelayananku sendiri: pada sekolah yang aku bimbing dan pada siswa-siswi yang aku layani. Aku lupa kalau aku juga punya rekan sepelayanan yang bukan robot. Mereka tentu punya pergumulan. Mereka butuh diperhatikan dan didengar, sesuatu yang juga dibutuhkan oleh semua manusia.

Satu-satunya perbedaan antara orang Samaria dengan imam dan orang Lewi adalah orang Samaria rela berhenti. Orang Samaria rela rencananya terganggu supaya dia dapat membantu orang asing yang menjadi korban penyamun. Orang Samaria mau merendahkan dirinya untuk mengangkat mereka yang susah.

Christine Caine, dalam buku “Undaunted” di halaman 168, menuliskan bahwa rendah hati dan merendahkan diri itu berbeda. Belas kasih hanyalah emosi dalam diri kita. Ketika belas kasih itu membuat kita bertindak, barulah belas kasih itu dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi nyata.

Kesibukan kita seringkali dapat membuat kita tidak melihat orang-orang di depan mata kita yang sekiranya perlu kita tolong. Waktu kita hanya fokus melihat ke depan tanpa memedulikan gangguan yang datang dari kanan dan kiri, Allah bisa saja menggunakan gangguan itu agar kita menjadi jawaban doa bagi seseorang.

Secara pribadi, aku merenungkan dan mendapati bahwa Allah tidak ingin aku hanya mengerjakan pelayanan utamaku saja tanpa tujuan. Tuhan, yang menempatkanku berada di kampus dan lingkungan pekerjaanku sekarang, rindu agar banyak orang dapat menikmati kasih-Nya lewat hidup setiap kita. Kiranya setiap kita dianugerahkan kepekaan terhadap rencana-rencana-Nya yang dapat menginterupsi jadwal dan rutinitas kita.

Baca Juga:

Tuhan, Anugerahkan Kepadaku Ketenangan

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.

Tuhan, Anugerahkan Kepadaku Ketenangan

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Menjelang akhir Desember, aku biasanya meluangkan waktu untuk merenung sejak akan bagaimana perjalanan yang telah kulalui di sepanjang tahun itu. Kadang aku melakukannya dengan berdoa, menulis jurnal, atau pergi ke suatu tempat untuk mencari inspirasi. Hari ini, ketika aku menuliskan catatanku, aku teringat akan sebuah doa yang diucapkan oleh seorang teolog. Doa tersebut ditulis dalam bahasa Inggris oleh Reinhold Niebuhr, seorang teolog Protestan pada tahun 1940-an. Kalau kuterjemahkan secara bebas, kira-kira isinya seperti ini:

Tuhan, anugerahkan kepadaku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah,
Keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah,
Dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan keduanya.

Hidup menjalani hari demi hari;
Menikmati setiap momen;
Menerima kesulitan sebagai jalan masuk menuju kedamaian;
Mengikuti kehendak-Mu dalam menjalani hidup di dalam dunia yang berdosa ini;
Percaya bahwa Engkau akan membuat segala sesuatunya baik apabila aku berserah pada kehendak-Mu;
Sehingga aku dapat berbahagia dalam kehidupan ini, dan akan sangat berbahagia kelak bersama-Mu di kehidupan selanjutnya.

Amin.

Aku mengucapkan doa ini dalam hatiku. Ada dua hal yang kemudian terpikir olehku: Pertama, doa ini kedengarannya menenangkan hati. Kata-katanya tersusun dengan puitis. Namun, yang kedua, aku merasa doa ini cukup sulit jika harus dipraktikkan. Dalam perjalanan hidup ini, alih-alih bersikap tenang, kita mungkin lebih sering khawatir dan panik ketika badai kehidupan melanda. Kita lupa akan Sosok Mahakuasa yang memegang kendali atas setiap jengkal kehidupan kita. Padahal, firman Tuhan dengan jelas mengatakan pada kita, “Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (Yesaya 30:15).

Tahun ini akan segera berakhir, dan tahun yang baru akan kita songsong. Kita mungkin tidak tahu akan apa yang akan terjadi kelak. Tantangan, kesulitan, maupun duka mungkin kan menghadang jalan kita. Namun, satu hal yang kita tahu dan imani adalah Tuhan memegang tangan kita. Tuhan mungkin tidak menjanjikan langit sepanjang tahun akan selalu cerah, namun Dia akan selalu menuntun kita, sebab Dialah gembala kita yang baik.

Baca Juga:

Bagaimana Kita Dapat Memuliakan Yesus di Natal Kali Ini?

Di titik tertentu, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita menunjukkan kasih kita kepada Kristus dengan cara-cara yang memuliakan-Nya? Apakah kita menghargai tradisi Natal lebih daripada kita menghargai makna Natal yang sejati?

Bapa dan Lappy

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

Lappy, demikian aku menyebut laptopku. Benda ini sudah setia menemaniku selama lebih dari tujuh tahun. Aku ingat, pertama kali aku mendapatkan lappy adalah ketika aku sedang menyelesaikan skripsiku dulu. Setelah skripsiku selesai dan aku lulus kuliah, lappy masih setia menemaniku mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan yang harus kuselesaikan setiap harinya.

Selama masa itu, aku bersyukur karena lappy tidak pernah rusak. Tapi, belakangan ini lappy mulai lemot dan muncul beberapa masalah. Aku lalu meminta tolong adikku yang adalah seorang programmer untuk mencoba mencari tahu masalah di balik kondisi laptopku ini. Adikku mencoba meng-install ulang lappy. Tapi, tetap saja lemot-nya tidak berkurang dan ini cukup menggangguku untuk menyelesaikan pekerjaanku.

“Kak, sepertinya laptop ini benar-benar minta pensiun deh. Tapi, coba nanti aku periksa lagi,” kata adikku.

Hatiku terasa berat. Aku lalu berdoa pada Tuhan, “Apakah aku benar-benar membutuhkan laptop baru?” Aku masih berharap lappy akan kembali bekerja seperti sedia kala, atau setidaknya ia tetap bisa kugunakan meski kinerjanya lambat. Tapi, akhirnya lappy benar-benar rusak dan aku tidak dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaanku.

“Tuhan, bagaimana ini? Sepertinya aku benar-benar butuh laptop pengganti, tapi bujetnya dari mana? Caranya gimana?” Sambil berdoa, aku berpikir mencari-cari cara bagaimana nantinya aku bisa mendapatkan laptop baru di tengah kondisi keuanganku yang sedang terbatas.

Namun, hati kecilku berbisik, “Kalau memang Tuhan menghendaki, pasti ada jalan keluar.” Aku mengubah sedikit isi doaku, dari yang tadinya bertanya-tanya akan bagaimana caraku mendapatkan laptop baru menjadi doa yang berisikan penyerahan diri. Aku percaya apapun kelak jawaban Tuhan, itu adalah yang terbaik darinya.

Aku lalu menghampiri adikku dan memberitahunya kalau laptopku sudah tidak bisa digunakan. Aku sempat berpikir kalau nanti lappy kujual tukar tambah saja dengan laptop yang baru. Namun adikku menolak usulku itu.

“Kak, wah, parah itu. Udah nggak usah dipakai lappynya. Sudah faktor U (usia). Gini aja, aku ada laptop yang jarang aku pakai. Bentar aku lihat dulu dan perbaiki sedikit ya, nanti bawa saja dan pakai,” kata adikku.

Aku kaget. Hatiku meluap dengan ucapan syukur kepada Tuhan atas jawaban doa yang Dia berikan kepadaku. Tuhan mengetahui apa yang kubutuhkan. Tuhan tidak memberikanku laptop baru, tapi Dia memberikanku sebuah laptop lama yang dimiliki adikku, yang tentunya dapat kugunakan untuk mengerjakan pekerjaanku.

Peristiwa ini mengingatkanku akan bacaan saat teduh yang kurenungkan beberapa hari belakangan. Dalam buku pendalaman Alkitab pribadiku, terdapat bahan saat teduh yang terambil dari buku “Lady in Waiting”. Kubuka jurnalku, dan ternyata di sana aku pernah menuliskan sebuah kalimat: “Jika Allah mempedulikan kebutuhan-kebutuhanku secara fisik (makanan, minuman, barang, dll), dan kalau Allah juga sudah memenuhi kebutuhanku yang terbesar, yaitu KESELAMATAN melalui salib, mana mungkin Allah tidak memedulikan kebutuhan dan doaku yang lainnya?”

Aku punya beberapa pokok doa yang kunaikkan pada Tuhan. Selama aku mendoakannya, aku belajar untuk menanti jawaban dari-Nya dengan tetap mendekatkan diriku pada Tuhan. Aku pun belajar untuk teguh beriman bahwa apapun jawaban Tuhan atas setiap doaku, itu adalah jawaban yang sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Dan, apapun jawaban doaku kelak, itu adalah yang terbaik dan terindah yang Tuhan berikan.

Aku bersyukur, jawaban yang Tuhan berikan dari rusaknya lappy mengajariku untuk menghidupi dan mengalami ayat yang menjadi hafalanku beberapa hari belakangan ini:

“…Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian…”
(Yesaya 64:4).

Tuhan, Bapa kita, adalah Tuhan yang selalu peduli akan setiap detail kehidupan kita. Biarlah iman kita semasa kita menantikan jawaban doa dari-Nya menjadi suatu hal yang menyenangkan hati Tuhan.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

3 Hal yang Dilakukan Orang Majus untuk Menyambut Yesus. Sudahkah Kita Juga Melakukannya?

Jika bicara tentang orang Majus, mungkin ada sebagian orang yang berdebat mengenai kapan waktu pasti kedatangan mereka. Tapi, terlepas dari kapan waktu kedatangannya, ada tiga hal menarik dari orang Majus yang bisa kita renungkan.

3 Hal yang Dilakukan Orang Majus untuk Menyambut Yesus. Sudahkah Kita Juga Melakukannya?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Setiap memasuki momen Natal, sebagai orang Kristen kita mungkin telah sering mendengar kisah tentang orang Majus yang datang menjumpai Yesus. Ada yang berpendapat bahwa kedatangan orang Majus tidak terjadi di momen-momen ketika Yesus baru saja dilahirkan, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Namun, tulisan ini tidak hendak membahas perbedaan tersebut. Terlepas dari kapan mereka datang, ada hal-hal menarik lainnya yang bisa kita kupas dan renungkan.

1. Orang Majus mencari Tuhan dengan gigih

Kalau kita membaca Alkitab kita dari Matius pasal yang kedua, di sana tertulis bahwa orang Majus datang dari Timur ke Yerusalem. Mereka bertanya-tanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Matius 2:2). Wilayah “Timur” yang disebutkan oleh orang Majus pada masa itu jaraknya amat jauh dari Yerusalem, kemungkinan berada di wilayah Babel. Dan, satu-satunya transportasi yang memungkinkan digunakan pada masa itu tak lain tak bukan adalah dengan berjalan kaki atau naik unta melintasi padang gurun.

Alkitab memang tidak secara jelas merinci bagaimana persiapan dan tantangan yang dihadapi oleh orang Majus untuk menjumpai Yesus. Namun, perjalanan darat melintasi padang gurun bukanlah perjalanan yang sebentar. Selama beberapa minggu, atau bahkan bulan lamanya mereka harus berjibaku dengan udara panas kala siang, badai pasir, serangan perampok, juga binatang buas. Tapi, semua itu tidak menyurutkan niat mereka untuk datang menjumpai Kristus, Sang Raja yang baru saja dilahirkan itu.

Bagaimana dengan kita? Seberapa gigih kita mencari Kristus? Seberapa besar kerinduan kita untuk datang ke hadirat Tuhan dan menjalin relasi yang erat dengan-Nya?

2. Orang Majus bersukacita karena kelahiran Sang Raja

Orang-orang Majus adalah sekelompok orang yang mengenal ilmu astrologi atau perbintangan. Ketika melihat bintang di Timur, mereka mengenalinya sebagai suatu tanda akan kelahiran seorang Raja. Oleh karena itu, Alkitab mencatat bahwa mereka datang ke istana Herodes terlebih dulu, tempat yang awalnya mereka anggap sebagai kelahiran Sang Raja itu. Tapi, kemudian mereka tidak mendapati-Nya di istana megah, melainkan di tempat lain yang jauh dari kesan megah seperti istana.

Apakah kemudian Orang Majus menjadi urung bersukacita karena Sang Raja ternyata tidak dilahirkan di dalam istana megah? Tidak. Mereka tetap bersukacita meskipun tidak mendapati yesus di tempat yang awalnya mereka kira (Matius 2:10-11). Respons Orang Majus sangat berbeda dengan Herodes yang seketika merasa terancam karena kelahiran Sang Bayi. Herodes lalu berpura-pura ingin mencari tahu tentang siapa Sang Bayi itu, namun dalam hatinya dia justru ingin membunuhnya.

Bagaimana dengan kita? Apakah kedatangan Kristus memberi kita sukacita?

3. Orang Majus memberikan persembahan kepada Sang Raja

Ketika orang Majus tiba di rumah tempat Yesus berada bersama ibu-Nya, mereka sujud menyembah Yesus. Mereka tidak datang dengan tangan hampa. Mereka telah mempersiapkan persembahan yang terbaika. Emas, kemenyan, dan mur yang mereka berikan adalah wujud pengakuan dan penyembahan mereka kepada Sang Raja yang baru dilahirkan tersebut.

Bagaimana dengan kita? Persembahan terbaik apakah yang mau kita berikan sebagai wujud penyembahan kita kepada Yesus?

* * *

Renungan tentang kisah Orang Majus ini mungkin terkesan klise, sudah berkali-kali kita dengar. Namun, kiranya ini dapat menolong kita untuk mempersiapkan hati kita dalam menyambut kedatangan Sang Raja yang Mahaagung.

Baca Juga:

Mengapa Kita Memerlukan Juruselamat

Kita hidup di zaman modern, era di mana segala kemajuan teknologi kita rasakan. Masihkah kita memerlukan kehadiran Sesosok Juruselamat?

Ayo Renungkan Kembali Alasan Mengapa Kita Merayakan Natal

Oleh Debra Ayis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It’s Time To Re-examine Why You Celebrate Christmas

Kita telah memasuki bulan Desember, suatu masa ketika lampu-lampu Natal bersinar terang di lingkungan tempat tinggalku yang baru. Tapi, yang paling berkesan buatku adalah ketika lagu-lagu Natal yang ceria berkumandang setiap pagi.

Suasana Natal yang kental tidak hanya terasa di jalanan depan rumahku, tapi juga hampir di seantero kota Manhattan, Amerika Serikat—di toko, kantor, restoran, juga di rumah-rumah. Di rumahku, lagu-lagu Natal dari penyanyi terkenal mengalun dari speaker-ku, membuat atmosfer Natal di setiap ruangan terasa semakin hidup.

Meskipun semua suasana itu seolah menjadikan Natal sebagai momen paling indah sepanjang tahun, aku tahu bahwa tidak semua orang menganggapnya demikian. Bagi beberapa orang, Natal adalah momen yang dipenuhi rasa stres, masa di mana orang sibuk membeli ini dan itu untuk diberikan sebagai hadiah. Akibatnya, banyak orang menjadi lupa akan apa alasan utama dari perayaan ini. Beberapa orang lainnya tidak dapat menikmati sukacita karena mereka tidak mengerti arti Natal. Mungkin mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama, atau mungkin juga mereka tidak beragama.

Suatu ketika, di perjalananku ke suatu wilayah di Tiongkok, aku tidak melihat adanya dekorasi Natal ataupun semangat merayakan liburan. Cuaca di sana tidak sedang bersalju dan masyarakatnya tidak berfokus kepada Kekristenan. Aku merasa seperti pergi ke sebuah realita yang berbeda.

Selama tinggal di sana, aku mendapati diriku tidak banyak memikirkan tentang Natal. Aku memang tidak berhenti berdoa, bersekutu dengan Tuhan, membaca Alkitab, atau melakukan hal-hal rohani lainnya. Tapi, aku tidak lagi membaca renungan yang secara khusus disiapkan untuk menikmati masa-masa Advent, yang sebelumnya kutemukan secara online.

Pengalaman itu, beserta mood untuk merefleksikan perjalananku selama setahun ke belakang, membuatku menanyakan kembali beberapa pertanyaan sulit dan aku menguji kembali apa yang menjadi motivasiku merayakan Natal:

1. Apakah aku mau menghormati kelahiran Kristus di hari yang spesifik sekalipun budaya yang ada di sekelilingku tidak melakukannya?

2. Aku bersyukur atas pengorbanan Kristus setiap harinya dalam hidupku, tapi apakah aku harus benar-benar meluangkan waktu di suatu hari yang simbolis untuk mensyukurinya lagi?

3. Apakah Natal—seperti yang kita ketahui dirayakan di berbagai belahan dunia—membawa kemuliaan bagi Tuhan?

Perjalananku ke Tiongkok menunjukkan fakta bahwa aku mudah dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sekitarku. Inilah yang kemudian memaksaku untuk memikirkan kembali apa arti Natal bagiku dan mengapa aku berusaha untuk merayakannya.

Jawabannya bagiku cukup jelas: Jika tidak ada Natal, tidak ada harapan bagi kita semua. Natal, seperti juga Paskah, adalah dua momen yang berkaitan dalam kisah keselamatan. Jika Yesus tidak merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang bayi, mengalami kelemahan, pencobaan, sukacita, sakit, dan kemudian mati di kayu salib untuk menggantikan kita, maka kita tidak akan pernah didamaikan dengan Allah. Tanpa Kristus, kita tidak akan memiliki harapan untuk menjalani kehidupan dan setiap tantangan di dalam-Nya. Inilah alasan mengapa aku merayakan Natal, di manapun aku berada.

Kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita atas pengorbanan-Nya setiap hari, namun adalah praktik yang baik apabila kita meluangkan satu hari secara khusus untuk memperingati kelahiran Kristus, merenungkan dampak apa yang diberikan kelahiran-Nya, mengagumi, dan menyembah-Nya.

Kita mungkin merasa kecewa dengan cara budaya kita merayakan Natal yang sepertinya menghapus makna Natal yang sejati. Tapi, alih-alih kita menyalahkan acara-acara seperti perayaan, kumpul keluarga, dan tukar kado, bagaimana jika kita mengingatkan diri kita untuk bersyukur atas keadaan yang memungkinkan kita untuk merayakan Natal dan menyembah Tuhan dengan bebas?

Sebagai orang Kristen, kita dapat memilih untuk berpegang pada kebenaran yang Alkitab katakan tentang Natal, bahwa Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi serupa seperti aku dan kamu, supaya manusia dapat diperdamaikan dengan-Nya (Yohanes 3:16-21).

Terlepas dari segala suasana Natal dan tradisi-tradisi terkait Natal yang kulakukan, aku bersyukur karena di tahun ini aku bisa lebih memahami alasan di balik perayaan Natal yang telah kulakukan bertahun-tahun.

Baca Juga:

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Dokumen tesis yang sudah kukerjakan susah payah hilang karena laptopku eror. Aku stres, namun melalui peristiwa inilah aku ditegur dan mendapatkan kembali sukacita yang sejati.

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Aku adalah mahasiswi program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Tahun ini adalah semester terakhirku sebelum nantinya aku meraih gelar master. Setelah berjibaku dengan proses penelitianku, sekarang aku telah menyelesaikan analisis dan sedikit lagi tesisku dapat selesai.

Proses pengerjaan tesis ini berjalan lancar. Hingga suatu ketika, pada hari Jumat 9 November 2018 pukul 00:48, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Di laptopku, aku membuka dua dokumen yang berbeda. Satu adalah tesisku, dan satunya lagi adalah catatan tambahan. Saat itu aku bersiap untuk tidur, jadi aku save dokumen tersebut dengan mengklik Ctrl + S seperti biasa. Aku yakin bahwa proses penyimpanan dokumen itu tidak bermasalah. Aku lalu tidur dengan tenang karena aku merasa pencapaianku hari itu sudah maksimal.

Namun, ketenangan yang semalam kurasakan berubah menjadi kekhawatiran. Sekitar pukul 12:50, aku berniat melanjutkan kembali penulisan tesisku. Ketika aku mengklik dokumen yang semalam telah kusimpan, betapa kagetnya aku mendapati bahwa semua tulisan yang sudah kutulis hilang. Aku cermati detail dokumen tesisku, dari yang semula sebesar 3.328 KB ternyata sekarang menjadi 0 KB. Kucoba membuka satu dokumen lainnya yang berisi catatan tambahan, ternyata dokumen ini tidak bermasalah.

Aku gelisah. Aku coba berbagai cara supaya dokumen tesisku bisa dipulihkan. Aku menghubungi beberapa temanku yang kuanggap ahli, tapi mereka tidak bisa menolongku. Kata salah satu temanku, drive di laptopku eror, jadi saat aku mengklik save, dokumen tesisku tidak tersimpan dan hilang. Malangnya, momen eror itu terjadi saat aku mengklik “save” pada dokumen tesisku, bukan pada dokumen catatan tambahan.

Aku coba mengendalikan diri untuk tetap tenang. Kucoba usaha lain. Aku menghubungi salah satu staf dari layanan penyimpanan dokumen Dropbox yang biasa kugunakan. Setelah dicek pada database mereka, cadangan dokumen tesisku tidak ditemukan. Aku menangis dan berteriak pada Tuhan. “Kenapa semua ini terjadi ya Bapa? Ampuni aku kalau aku bersalah kepada-Mu.”

Setelah beberapa waktu bergumul untuk menenangkan diri, aku merasa lebih tenang. Hati kecilku berbisik, “Kamu masih punya cadangan tesismu yang tanggal 7 November, Vin. Bersyukurlah.” Aku sadar bahwa dokumen tesisku yang aku simpan tanggal 9 November tidak akan pernah kembali. Tiada jalan lain selain aku mengulang kembali penulisan tesisku. Prosesnya berat. Aku harus mengingat-ingat lagi tesis sebanyak 10 lembar dan menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Dari kehilangan, aku mendapatkan

Di tengah stres yang kurasakan, seorang sahabatku yang bernama Okta datang menghiburku. Dia lalu meminjamiku sebuah buku yang berjudul “Go and Do”. Salah satu bagian buku itu mengatakan bahwa iman haruslah dihidupi secara nyata. Aku merasa Tuhan seolah menyentilku dengan pernyataan itu. Aku lalu teringat ayat dari Yakobus 2:17 yang berbunyi: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Bagian lain dari buku ini juga menegurku, bahwa di dunia yang membutuhkan garam dan terang ini, aku perlu memiliki waktu untuk berdiam diri bersama Allah. Aku lalu menyadari bahwa belakangan ini aku sudah tidak pernah lagi memiliki waktu untuk berdiam dan berlutut kepada Tuhan. Aku hanya saat teduh sekadarnya, padahal biasanya aku selalu menikmati satu pujian dalam setiap saat teduhku. Ini semua terjadi karena selama ini tesisku berjalan baik. Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin menyelesaikan tesisku dengan cepat. Namun, tanpa kusadari aku pun jadi mengabaikan relasiku dengan Tuhan. Saat teduh yang seharusnya menjadi momen intimku dengan-Nya, menjadi sekadar rutinitas biasa yang kulakukan.

Ketika obsesiku untuk menyelesaikan tesisku lebih besar dibandingkan keberserahanku kepada Tuhan, di sanalah aku membiarkan watak lamaku yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan diriku. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang kemudian meliputi diriku. Namun, syukur kepada Tuhan, karena anugerah-Nya memampukanku untuk bertumbuh di tengah peristiwa buruk yang kualami.

Aku berkomitmen untuk membangun dan mendapatkan kembali relasi yang erat dengan Tuhan. Aku tidak hanya membaca firman Tuhan sambil lalu, tapi aku merenungkannya, menyanyikan satu buah pujian sebagai respons syukurku kepada-Nya, dan membagikan berkat yang kudapat hari itu kepada teman-temanku.

Aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah setia mendoakanku. Aku yakin aku bisa mengalami pemulihan ini juga semua karena dukungan doa. Kiranya seperti apa yang tertulis dalam renungan saat teduh Santapan Rohani di tanggal 12 November 2018, “Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan”, aku dapat mengimaninya dalam proses penyelesaian tesisku dan hidupku ke depannya.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Galatia 5:25.

Baca Juga:

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Aku tidak terlahir di keluarga Kristen. Ketika aku memutuskan untuk percaya pada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku sempat menolakku. Namun, kisah itu tidak berhenti di situ, Tuhan terus melanjutkan karya-Nya.

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Oleh Putra, Jakarta

Memasuki bulan Desember, memoriku mengingat kembali kenangan yang terjadi bertahun-tahun lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku SD dan salah satu hal yang paling kusukai tentang Natal adalah hari liburnya. Di pagi hari aku bisa duduk di depan televisi dan menonton film Home Alone. Film itu membuatku jadi ingin ikut merayakan Natal. Tapi, aku bukanlah orang Kristen, demikian juga kedua orang tuaku.

Keluargaku tidak mengenal siapa itu Tuhan Yesus. Kami sangat memegang tradisi leluhur. Keluargaku percaya bahwa berbakti kepada leluhur—dengan cara sembahyang kepada arwah mereka—adalah cara untuk mendapatkan berkat semasa hidup dan juga keselamatan kelak setelah kehidupan ini berakhir.

Perkenalan pertamaku dengan sosok Juruselamat

Aku bersekolah di sekolah negeri. Saat duduk di kelas 6, untuk pelajaran agama, aku mengikuti kelas agama Kristen sebab di sekolahku tidak ada guru yang mengajar kepercayaanku. Guruku menerangkan tentang apa itu iman Kristen. Dia mengatakan bahwa sembahyang kepada leluhur itu tidak dapat menyelamatkan kita dari kematian kekal. Aku tidak setuju dengannya. Tapi, kembali dia menegaskan pernyataannya: leluhur tidak bisa menyelamatkan, hanya Tuhan Yesus yang bisa.

Empat tahun setelahnya, saat aku duduk di bangku SMK, aku ikut kelompok persekutuan Kristen. Meski bukan orang Kristen, aku tidak merasa asing dengan Kekristenan. Sejak SD aku sudah mengikuti pelajaran agama ini dan aku juga berteman dengan teman-teman yang Kristen. Pertemuan awal di kelompok itu adalah acara ulang tahun temanku dan kami mengisinya dengan makan-makan.

Suatu ketika, saat sedang berada di rumah, aku mendengar satu lagu rohani Kristen. Aku merasa hatiku tergerak dan aku menangis sendirian. Tanpa kusadari, aku pun mengucap, “Tuhan, tolong selamatkan aku.” Aku sendiri masih tidak paham betul mengapa hari itu aku menangis tiba-tiba. Sebelumnya aku memang sudah ikut komunitas rohani, tapi itu cuma buat nilai. Namun, setelah hari itu, aku tertarik untuk lebih tahu siapa itu Tuhan Yesus dan bagaimana cara hidup orang Kristen. Teman-temanku menyambut baik ketertarikanku ini, hingga lambat laun aku menjadi yakin bahwa apa yang dikatakan guru SDku dulu adalah benar.

Di kelas I SMK, aku memutuskan untuk menjadi orang Kristen dan ingin terlibat aktif dalam pelayanan. Aku pergi ke gereja temanku dan dilayani oleh hamba Tuhan di sana. Aku memberitahukan hal ini kepada orang tuaku. Mereka tidak menyetujui keiginanku. Namun, aku tidak dapat membendung kerinduanku untuk mengikut Tuhan Yesus. Aku tetap pergi ke gereja. Ketika hal ini ketahuan oleh ayahku, dia datang menghampiriku di gereja dan memaksaku pulang. Sampai di rumah, dia memukulku. Puncaknya, ketika aku bersikukuh untuk pergi ke gereja, ayah dan ibu hendak mengusirku dari rumah.

“Kamu ngapain sih ke gereja? Memangnya kamu dapat apa di gereja?” kata ibuku dengan nada tinggi.

Aku membalasnya, “Saudara kita yang lain aja boleh ke gereja, kenapa aku nggak?”

“Leluhur kita semuanya sembahyang!”

Dia pun lalu mengeluarkan semua kekesalannya kepadaku. Jika aku bersikukuh tetap pergi ke gereja dan kelak mengganti imanku, dia akan menyesal menjadikanku sebagai anaknya. Kekhawatiran terbesar ayah dan ibuku adalah jika aku menjadi orang Kristen dan meninggalkan tradisi yang selama ini selalu mereka junjung.

Peristiwa itu mengguncangku. Namun, entah mengapa aku tidak menyimpan perasaan benci kepada orang tuaku. Malah, aku merasa sedih karena mereka belum mengenal Tuhan Yesus. Waktu itu, aku mendengar siaran radio Kristen yang mengajak pendengarnya untuk berdoa. Aku ikut berdoa, aku mendoakan supaya kedua orang tuaku mau membuka hati mereka buat Tuhan Yesus. Sejak saat itu, aku selalu berdoa untuk mereka. Namun, masalah terus saja datang, sampai akhirnya aku hampir merasa putus asa dan tidak lagi berdoa. “Terserah Tuhan saja!”

Meski demikian, aku masih rutin datang ke gereja setiap minggunya. Dalam hatiku, masih tersimpan setitik kerinduan agar kedua orang tuaku juga mengenal Tuhan, aku tidak ingin hanya menikmati keselamatan yang sudah Tuhan berikan sendirian. Hanya, aku merasa itu semua rasanya seperti mustahil.

Satu orang diselamatkan, seisi rumah diselamatkan

Hingga akhirnya, di tahun 2010, ayahku didiagnosis menderita kanker kelenjar getah bening. Ketika berita itu datang, aku tersentak. Aku teringat lagi doa yang dulu pernah rutin kunaikkan. Hatiku lalu berbisik, “Mana kerinduanmu buat ngenalin Tuhan ke orang tua?” Aku berusaha untuk mendoakan mereka lagi. Tapi, semakin hari kondisi ayahku semakin drop. Segala pengobatan alternatif telah dijalani, namun tak membuahkan hasil sampai suatu ketika, pamanku yang adalah orang Kristen datang ke rumah. Dia mengajak ayahku datang ke gereja untuk memohon mukjizat dari Tuhan. Ayahku mengelak, tapi ibuku yang hampir putus asa merawat ayah mengiyakan ajakan itu. “Apapun, yang penting sembuh.” katanya.

Keesokan harinya setelah ke gereja, ibuku bertanya pada Ayah, “Bisa tidur gak?”

“Iya,” ayahku mengangguk.

“Nanti mau ke gereja lagi?”

“Mau.”

Sejak saat itu, ayah dan ibuku datang ke gereja setiap minggu. Ada satu momen yang bagiku dulu terasa sangat mustahil. Saat tengah berada di rumah, ayahku memutar lagu rohani. Dia mengangkat tangannya, menyembah Tuhan, lalu memintaku untuk mengajarinya berdoa. Aku mengajarkan doa-doa sederhana kepadanya, seperti: “Tuhan, berkati makanan ini, minuman ini, obat-obatan ini, supaya bisa menjadi kesembuhan.”

Proses itu berlangsung beberapa waktu, sampai akhirnya Ayah memutuskan untuk percaya sungguh-sungguh pada Tuhan Yesus. Ayah menanggalkan segala kepercayaan lama yang dianutnya dan kemudian dibaptis. Kondisi fisik Ayah tidak banyak berubah, dia tetap berjuang melawan kankernya. Kurang dari setahun setelah ayah menyerahkan dirinya pada Kristus, Ayah meninggal dunia.

Satu kesedihanku ketika Ayah berpulang adalah kami tidak sempat merayakan Natal bersama-sama, sekali saja. Namun, aku tidak kecewa kepada Tuhan, karena aku percaya ayahku sudah mendapatkan yang terbaik dan sudah bersama dengan Tuhan Yesus di surga. Ayahku sudah sembuh secara total dari penyakit kankernya. Aku bersyukur, peristiwa sakitnya Ayah menjadi momen yang membawa seisi keluargaku mengenal Tuhan Yesus. Sekarang, ibuku tidak lagi menutup diri dari Kekristenan. Aku masih mendoakannya untuk menjadi orang percaya yang mengimani imannya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh.

Momen Natal tahun ini mengingatkanku kembali bahwa kedatangan Kristus ke dunia memberikan kita sebuah jaminan yang pasti, yaitu jaminan akan keselamatan. Dan, aku pun mengimani apa yang Alkitab katakan dalam Kisah Para Rasul 16:31: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.”

Adakah nama seseorang yang kamu rindukan agar dia dapat mengenal Tuhan Yesus? Marilah kita berdoa bagi mereka. Kiranya di Natal tahun ini, Kristus dapat hadir di dalam hati mereka.

“Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10).

Baca Juga:

Natal Bukanlah Sekadar Perayaan

Seorang temanku mengatakan bahwa mengadakan Christmas Dinner menjelang tanggal 25 Desember itu membuat suasana Natal lebih seru dan lebih bersama. Tapi, apakah benar demikian? Apakah Natal dimaknai hanya dengan perayaan, kumpul, dan makan bersama?