Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?

Kekurangan Fisik Membuatku Minder, Tapi Tuhan Memandangku Berharga

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku lahir dengan kondisi di mana langit-langit dalam rongga mulutku terbuka sehingga ketika aku berbicara, suaraku tidak jelas. Teman-temanku pernah mengejekku. Aku sangat sedih dan hampir menangis, tetapi seorang guruku menegur mereka dan menenangkanku.

Sejak saat itu, teman-temanku tidak lagi mengejekku. Akan tetapi, sulit bagiku untuk melupakannya begitu saja. Ejekan mereka sungguh melukai perasaanku sebagai seorang anak perempuan yang masih berumur 9 tahun. Aku tidak suka mereka mengejekku, meskipun aku tahu kalau suaraku memang tidak jelas.

Suaraku yang tidak jelas ini menjadi pergumulanku dalam membina komunikasi dengan orang lain. Aku jadi anak yang minder. Tak jarang aku memilih diam ketimbang bercakap-cakap dengan orang lain. Aku merasa lebih baik jadi pendengar saja ketika teman-temanku bersenda gurau atau membicarakan suatu hal. Aku malu dan takut berbicara kalau-kalau temanku tidak mengerti kata-kata yang aku ucapkan. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri: mengapa aku yang mengalami ini, tetapi teman-temanku tidak? Aku bahkan pernah kecewa kepada Tuhan. Aku merasa Dia tidak peduli pada keadaanku. Padahal, di sekolah Minggu aku suka mendengar guruku bercerita tentang Tuhan Yesus yang menyembuhkan banyak orang sakit dan melakukan banyak mukjizat. Aku pun berharap kelak aku mengalaminya. Namun, mukjizat berupa kesembuhan instan itu tidak tampak dalam hidupku.

Sulit bagiku untuk membangun rasa percaya diri seperti yang teman-temanku lakukan. Perasaan minder dalam diriku membuatku tumbuh jadi remaja yang pendiam. Rasa malu dan takut bicara seolah sudah melekat dalam diriku.

Seiring waktu yang terus berjalan, ada satu hal yang kemudian membuat pikiranku terbuka. Aku membaca dan mendengarkan kisah-kisah hebat dari orang-orang yang mengalami cacat fisik atau disabilitas. Ada Nick Vujicic, seorang motivator hebat yang dilahirkan tanpa lengan dan kaki. Ada Frances Jane Crosby, seorang anak yang lahir normal namun mengalami malpraktik hingga dia pun mengalami kebutaan seumur hidupnya. Tapi, dalam kebutaaannya, dia sanggup menciptakan ribuah pujian, himne, puisi, dan sajak.

Selain mereka, masih banyak lagi para disabilitas lainnya, termasuk para atlet. Mereka memiliki keterbatasan fisik, namun Tuhan memakai kekurangan itu dengan talenta-talenta yang luar biasa dan membuat dunia takjub.

Berangkat dari kisah hidup mereka, benih-benih semangat mulai bertumbuh di hatiku. Aku berkata pada diriku: “Kalau aku terlahir dengan ketidaksempurnaan pada salah satu bagian tubuh yang kumiliki, itu artinya Tuhan mau memakai keterbatasanku untuk suatu hal yang indah bagi-Nya.” Kata-kataku ini terus bergema dalam hatiku, dan menjadi batu loncatan yang mengubahku menjadi pribadi yang percaya diri.

Tuhan memimpin hidupku hingga aku menemukan rasa percaya diriku. Firman Tuhan berkata, “Oleh karena Engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan aku ini mengasihi engkau” (Yesaya 43:4a). Ayat ini menjadi sebuah kebenaran yang mengubah rasa minderku menjadi sebuah rasa percaya diri. Tuhan menegurku dengan kasih bahwa aku tidaklah seperti apa yang kupikirkan.

Aku sadar bahwa keterbatsan yang kumiliki tidak seharusnya membatasi dan menghalangi komunikasiku dengan orang lain. Sekalipun suaraku memang tidak jelas, aku tidak perlu bersedih sebab Tuhan sangat mengasihiku dan aku adalah ciptaan-Nya yang mulia dan berharga. Di balik suaraku yang tidak jelas, Tuhan menyatakan rancangan yang indah dan kini aku sedang menikmatinya. Tuhan memberiku talenta dan kesempatan untuk menulis, dan menyediakan media ini sebagai wadah bagiku untuk memberikan kesaksian tentang kasih Tuhan lewat tulisan.

Sekarang aku sungguh bersyukur bahwa Tuhan sangat peduli dengan keadaanku. Tuhan memberiku keluarga yang sangat menyayangiku, teman-teman di sekolah, kampus, persekutuan, tempat kerja, dan tempat pelayanan yang menerimaku apa adanya. Aku yakin dan percaya bahwa dalam kekuranganku, Tuhan turut berkarya. Tuhan merancangkan masa depan yang penuh damai sejahtera.

Teruntuk teman-teman yang mengalami keterbatasan fisik apapun itu, jangan pernah merasa minder. Tuhan yang pengasih, menciptakan kita sebagai pribadi-pribadi yang berharga dan mulia. Keterbatasan-keterbatasan itu mengingatkan kita untuk selalu bergantung pada Tuhan. Tuhanlah kekuatan dalam setiap kelemahan kita. Oleh karena itu, bersama sang pemazmur, marilah kita berkata:

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mazmur 139:14).

Aku bersyukur, saat aku mengetahui bahwa di balik keterbatasan yang ada pada diriku, ternyata Tuhan menciptakanku sebagai pribadi yang sangat berharga dan mulia.

Terpujilah Kristus!

Baca Juga:

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan mengajariku sebuah pelajaran berharga yang tak kudapati dari bangku sekolah.

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Aku, salah satu siswa kelas 12 IPA di salah satu SMA Negeri di Jawa Tengah. Tahun 2010 merupakan tahun yang penting bagiku, itu tahun kelulusanku. Untuk merayakan kelulusan, teman-temanku melakukan konvoi dan corat-coret seragam. Tapi, berbeda dari teman-temanku, aku malah bingung dengan kelulusanku sendiri.

Aku tidak tahu apakah aku lulus atau tidak. Kalaupun lulus, orang tuaku pasti memarahiku kalau aku ikut-ikutan konvoi atau corat-coret seragam. Padahal dulu aku ingin sekali melakukan itu, ketika melihat kakakku terlihat asyik melakukan konvoi dan corat-coret seragam, bahkan rambutnya dibuat berwarna.

Pada hari pengumuman, aku tidak mengambil surat pengumuman kelulusan. Aku takut mengambil surat itu karena aku belum melunasi uang sekolah selama satu semester. Pekerjaan orang tuaku memang tidak bisa diharapkan untuk membiayai pendidikanku. Bapakku bekerja sebagai tukang becak dan ibuku sebagai penjual makanan keliling setiap sorenya. Kami bisa makan sehari-hari saja sudah untung.

Suatu siang, teman sekolahku, Made namanya, bertanya, “Kamu lulus nggak?”

“Tidak tahu.”

Kok nggak tahu?”

“Ya aku belum mengambil surat pengumumannya, karena bayaran sekolahku belum lunas.”

“Loh, buat ngambil surat itu, syaratnya nggak harus lunas SPPnya (uang sekolah).”

Aku cuma diam saja. Aku ragu apakah tahun ini aku lulus. Waktu ujian berlangsung, aku kesulitan mengerjakan mata pelajaran Biologi. Aku hanya bisa mengerjakan 5 dari 50 soal. Sisanya kukerjakan dengan ngawur. Aku bisa memastikan kalau aku tidak akan lulus di mata pelajaran ini.

Selain Made, ada teman gerejaku juga datang ke rumahku. Dia melontarkan pertanyaan yang sama, “Tri, gimana? Lulus?”

“Belum tahu.”

Loh kok belum tahu?”

Jawaban yang sama kusampaikan kepadanya. Masalah tunggakan biaya membuatku tidak berani ke sekolah untuk mengambil surat pengumuman kelulusan. Temanku lalu melontarkan ide untuk meminta bantuan gereja. Katanya di gereja kami ada alokasi anggaran untuk pendidikan. Kuiyakan ide itu dan kuhitung jumlah kekurangan biaya sekolahku satu semester itu, jumlahnya kira-kira ada enam ratus ribu.

Keesokan harinya, beberapa majelis gereja datang ke rumahku. Mereka bertemu dengan ibuku, lalu pergi ke sekolah. Bukannya senang, aku mlaah takut bukan kepalang. Aku merasa pasti tidak lulus karena nilai Biologiku yang jeblok. Jam satu siang, ibuku pulang dari sekolah dan menyerahkan surat pengumuman.

LULUS!

Ya, aku lulus, meskipun nilai Biologiku cuma 5,25.

Tuhan mengarang alur cerita yang indah

Setelah lulus, masalah selanjutnya yang kuhadapi adalah apakah aku harus lanjut kuliah jika kutahu kemampuan finansial keluargaku lemah? Tanpa diketahui orang tuaku, aku mendaftar ujian masuk tertulis ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dulu namanya SNMPTN. Aku hanya memilih satu jurusan: Pendidikan Matematika. Meskipun sebenarnya aku ingin kuliah di MIPA Matematika agar nanti ketika lulus bisa menjadi seorang matematikawan, tetapi setelah diskusi dengan guru Matematikaku, aku memilih pendidikan Matematika yang setelah lulus nanti aku bisa jadi guru. Aku tak punya bayangan yang jelas untuk tujuan belajarku ini. Tekad adalah salah satu modalku saat itu. Keyakinanku bahwa otak adalah modal belajar.

Pada waktu ujian tulis selama tiga hari, aku mengerjakannya semaksimal mungkin. Tapi, hasilnya tidak lolos. Kecewa dan malu. Ingin menangis, tapi sungkan. Bahkan kadang pikiranku meragukan keberadaan Tuhan, Kenapa Tuhan diam saja dan membiarkanku gagal seperti ini? Apa kata orang kalau melihatku menganggur, atau tidak lanjut kuliah? Kata orang aku pintar, tapi malah gagal masuk PTN? Sebaliknya, temanku yang dianggap kurang pintar dan kuajari tiap malam untuk persiapan ujian, malah lolos. Sungguh mengecewakan dan tidak adil.

Setelah pengumuman itu, kakak rohaniku meneleponku. “Tri, bagaimana? Kamu lolos tidak?”

“Tidak, kak.”

“Lalu, apa rencanamu?”

“Nunggu SPMBTN tahun depan kak.”

“Kalau gagal lagi?”

“Ya nunggu tahun depannya lagi.”

Jawaban itu kuucapkan spontan, tanpa berpikir lebih dulu. Perasaan gagal masih menyelimuti pikiranku. Jarang sekali aku gagal soal akademik, tetapi kali ini aku gagal. Aku merasa malu dan juga bingung apa yang harus kukerjakan selama setahun ke depan.

Tiga hari kemudian, tetanggaku tiba-tiba mendatangiku dan menawariku pekerjaan sebagai penjaga warnet. Pekerjaan ini dikelola oleh menantunya. Aku diminta menjaga warnet sekitar jam 4 sore sampai 12 malam. Tapi, tak cuma itu. Teman-temanku menawariku pekerjaan sebagai tutor atau guru les buat adik mereka yang masih SMA. Aku merasa aneh, mengapa mereka mempercayaiku untuk mengajari adik mereka? Padahal statusku kan hanya lulusan SMA. Selama setahun, aku mengerjakan dua pekerjaan ini.

Tak jarang ada orang tua murid lesku yang bertanya, “Mas, kuliah di mana?”

“Saya tidak kuliah.”

“Kenapa tidak kuliah, Mas?”

“Karena gagal ujian masuk kemarin, Bu.”

Ibu itu lalu terdiam. Mungkin ia kecewa karena jawabanku. Mungkin juga ia takut kalau anaknya diajari oleh seorang yang gagal. Pikiranku diselimuti oleh jawaban ‘mungkin’. Tapi jika terlalu lama berpikir mengenai ini juga, aku hanya akan berjalan di tempat. Lambat laun, keraguanku akan keberadaan Tuhan mulai terkikis, karena pekerjaan demi pekerjaan mulai bertambah di tahun 2011. Aku sadar bahwa aku salah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena aku gagal masuk PTN. Meski Tuhan mungkin terlihat diam bagiku, namun Dia sedang mengerjakan sesuatu untukku.

Jika aku melihat ke belakang, kurasa aku adalah orang yang terlena dengan kepandaian hingga aku melihat semuanya bisa kuatasi sendiri. Namun nyatanya, aku kecewa dan malu ketika gagal. Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan menerima “anak bodoh” ini untuk belajar di luar sekolah.

Alur cerita yang Tuhan sediakan berbeda dengan apa yang kurencanakan. Apakah aku harus marah kepada-Nya jika pendapatku berbeda dengan-Nya? Kupikir tidak, karena yang aku ketahui hanyalah keinginanku saja, tetapi Tuhan jauh lebih mengetahui melampaui sekadar keinginanku. Tuhan tahu apa yang kubutuhkan. Tuhan tahu bahwa aku butuh uang untuk kuliah, maka Dia memberiku kesempatan untuk bekerja terlebih dulu untuk mengumpulkan uang itu. Hingga akhirnya di tahun 2011, Tuhan mengizinkanku lolos di SBMPTN 2011 dengan jurusan Pendidikan Ekonomi.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Baca Juga:

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Kobaran api menghanguskan rumahku. Segala harta benda hilang dalam sekejap. Hari-hari setelahnya jadi momen terendah dalam hidupku. Namun, dari musibah inilah aku belajar tentang kebaikan Tuhan dan penyertaan-Nya yang sempurna.

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Oleh Debora Asima Rohayani, Jakarta

17 September 2015, tanggal yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Hari itu rumah uwak, kakak dari mamaku mengalami musibah kebakaran. Rumah kami bersebelahan sehingga sebagian rumahku pun terkena kobaran api. Ketika menerima telepon tentang kejadian ini, aku sedang bekerja di kantor. Dengan segera aku pun pulang ke rumah.

Aku tidak melihat ada satu pun yang tersisa dari rumah uwakku, semuanya rata dengan tanah. Keponakan kembarku yang berusia dua tahun meninggal dalam musibah tersebut, kedua-duanya! Hatiku hancur, kakiku sudah tak kuat untuk berdiri rasanya. Aku melihat mamaku duduk tanpa ekspresi apa pun di depan rumah. Aku memeluknya, membisikkannya, “semua pasti baik-baik saja, Ma”. Tapi, kondisi saat itu jelas tidak sedang baik-baik saja. Aku berusaha menguatkan semua anggota keluargaku dengan membendung air mataku.

Aku lalu masuk ke dalam rumahku sendiri dan melihat semuanya hancur tak berbentuk. Aku tak dapat menahan lagi sesaknya hati ini. Aku menangis dalam kesendirianku. Semua peristiwa ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam hatiku, aku bertanya, “Tuhan, apa dosa yang aku perbuat?” Tanpa kusadari, pikiranku terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Apakah ini hasil aku melayani-Mu di gereja, berdoa, membaca firman-Mu? Adik-adikku juga melayani-Mu”. Saat itu, hanya pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di benakku, pertanyaan yang lebih mengacu kepada protesku pada Tuhan.

Namun, aku teringat tentang bagaimana Ayub yang di dalam kesalehan hidupnya mengalami hal yang sangat buruk, sangat tidak adil. Dan, ayat ini kemudian muncul di kepalaku:

“Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayub 1:22).

Ayub berusaha memakai sudut pandang Allah dalam menjalani apa yang terjadi di hidupnya. Aku tahu, apa yang dialami Ayub adalah sesuatu yang rasanya begitu berat untuk ditanggung seorang manusia. Dan kupikir, musibah yang kualami mungkin tidak lebih berat daripada yang Ayub alami.

Tapi, hidup ini rasanya tidak mudah bagiku. Kami harus tidur tanpa lampu penerangan karena semua aliran listrik dipadamkan. Sempat ada tetangga yang memberikan sambungan listrik, tapi tiba-tiba mereka mencabutnya kembali tanpa aku tahu alasannya. Dan, untuk pertama kalinya aku harus tidur di bawah langit malam secara langsung, ya tanpa atap. Saat hujan, kami berteduh di rumah tetangga yang lain. Bayangan canda tawaku dengan dua keponakanku selalu muncul di kepalaku. Tak sekali-kali air mataku pun mengalir.

Beberapa hari setelah musibah itu menjadi titik terendah dalam hidupku. Fase di mana aku bingung apakah aku mau tetap percaya kepada-Nya, atau berhenti berharap. Jelas sangat sulit, apalagi setelah aku mengetahui bahwa biaya untuk merenovasi total rumahku harus menggunakan uang tabungan mama yang awalnya ditujukan untuk membiayai kuliah adik pertamaku. Adikku bersedia merendahkan hatinya dan merelakan kesempatannya berkuliah. Adikku yang kedua akan masuk SMP tahun depan. Dan sebagai anak pertama yang baru bekerja dan kuliah di semester awal, aku bisa apa? Aku merasa semuanya tidak ada harapan lagi.

Tapi, ada satu kalimat yang muncul dalam hatiku. “Apakah kamu hanya mau menerima yang baik, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Kalimat ini menyentakku. Dari sudut pandangku sebagai manusia, jelas apa yang kualami rasanya begitu buruk dan tak mampu kutanggung. Tapi, maukah aku melihat musibah ini dari sudut pandang-Nya?

Aku menyesali segala pikiranku yang hanya menuntut Tuhan untuk mengerti perasaan dan mauku. Aku percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi yang luput dari pengawasan-Nya. Alih-alih menyerah, aku berusaha menguatkan kepercayaanku kepada Tuhan Yesus, dan belajar seperti Abraham yang sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, Abraham tetap memilih untuk berharap dan percaya (Roma 4:18).

Bulan demi bulan kami lalui, yang aku rasakan Tuhan memeliharaku dan keluargaku, walau ada tangisan dan pengorbanan dalam perjalanan yang kami lalui. Aku sempat merasa tidak mampu lagi, tetapi Tuhan menghiburku. Tuhan mengingatkanku kembali bahwa Tuhan Yesus selalu ada bagi aku dan keluargaku. Mama sudah 15 tahun menjadi single fighter bagiku dan adik-adikku karena Papa sudah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Dan, Tuhan selalu mencukupkan segala keperluan kami. Bahkan adik-adikku tetap dapat berkuliah dan membayar kebutuhan masuk SMP tepat waktu. Aku merasakan kekuatan tangan Tuhan Yesus yang perkasa, yang memampukan mamaku untuk menghidupi ketiga anaknya.

Aku mungkin tidak dapat menyelami apa rencana Tuhan dari awal sampai akhir. Tapi Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu, bahkan di dalam kesengsaraanku, untuk mendatangkan kebaikan. Yang aku rasakan adalah Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanku, Dia selalu ada. Kalau Yesus terasa jauh, mungkin akulah yang mulai menjauh dari kasih-Nya.

Kalau saat ini kita merasa beban hidup sangat berat, seolah tidak ada hasil yang baik, tidak ada perubahan atas keluarga, pasangan, atau apapun itu, tetaplah percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus, Dia sudah membuktikan menang atas maut di kayu salib. Dia juga sanggup menjadikan kita menang atas masalah apapun yang sedang kita alami saat ini, asalkan kita tidak menyerah. Karena Tuhan Yesus juga tidak pernah menyerah untuk tetap mengasihi kita dengan segala ketidaklayakan kita.

Di masa-masa yang lalu, kita mungkin pernah mengalami kesulitan. Tapi, sekarang kita telah tiba di titik ini meskipun mungkin kita mencapainya dengan tertatih-tatih. Kita berhasil melewatinya karena Yesus menyertai di setiap musim hidup kita. Mungkin kita terjatuh, tapi Dia tidak akan membiarkan kita tergeletak. Dan, pergumulan yang kita alami saat ini akan membuat kita melihat segala perkara besar yang Yesus sanggup lakukan, selama kita menaruh pengharapan kita kepada-Nya. Pengharapan di dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan dan salib-Nya yang ada di depan kita akan membawa kita kepada kemenangan.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Tetap bertahan, kawanku.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Benang Merah Kehidupan

Dalam hidupku, ada suatu hal yang awalnya kuanggap kurang penting. Tapi, inilah yang kemudian dipakai Tuhan sebagai sarana untukku memuliakan-Nya.

Benang Merah Hidup

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Aku yang duduk di bangku kelas 4 SD 14 tahun silam, pernah bercita-cita untuk membuat sebuah novel ciptaanku sendiri. Saking besarnya cita-citaku tersebut, aku pun langsung menyicilnya perlahan. Menulis setiap apa yang aku rasakan tiap harinya. Namun, lambat laun semangat menulisku menurun akibat banyaknya tugas dari sekolahku. Sampai akhirnya aku kuliah, semangat untuk melanjutkan tulisanku itu pun tak muncul lagi.

Di saat aku kuliah, sahabatku membujukku bahkan menantangku untuk mulai membaca buku rohani yang halamannya sekitar 30 lembar. Itu karena salah satu proyek ketaatan kami dalam kelompok kecil. Aku teringat dan berbicara di dalam hatiku: “Semangat masa kecilku untuk menulis saja tidak pernah kunjung, ini lagi disuruh membaca yang notabene aku tak pernah suka membaca selain membaca buku pelajaran”. Bagiku membaca di luar buku pelajaran hanya membuang-buang waktu saja, apalagi buku rohani. Mendengar khotbah tiap hari Minggu sudah cukup. Tapi, karena itu adalah proyek ketaatan aku pun mencoba menerima tantangan tersebut.

Tepat satu minggu setelahnya, akhirnya aku pun bisa menyelesaikan tantangan tersebut. Ya seperti yang kubayangkan, sahabatku itu pun kembali memberiku buku yang lain dengan halaman yang lebih banyak. Aku lagi-lagi bisa menyelesaikannya dengan baik karena aku adalah salah satu wanita perfeksionis yang tidak bisa melewatkan satu pun tanggung jawab sekecil apapun itu.

Di dalam proses aku menyelesaikan tantangan itu, lambat laun aku malah menyukainya. Dalam proses tersebut, aku teringat bahwa dulu aku punya bakat dalam menulis. Lalu, tanpaku sadari, Tuhan meneguhkanku lewat KTBku. Saat itu kami menikmati “Alone with God” di taman Monas. Pemimpin kelompokku menyuruh kami adik kelompoknya untuk mengingat-ingat benang merah hidup kami sejak dahulu kala, dan membuat sebuah komitmen apa yang harus kami lakukan berdasarkan benang merah hidup kami tersebut. Aku pun termenung dan berkata dalam hati “Iya ya Tuhan, dulu Tuhan beri aku semangat menulis, akhir-akhir ini Tuhan memberi kesempatan kepadaku untuk suka membaca, apakah Tuhan berkehendak untuk aku bisa kembali menulis dan menjadi berkat lewat tulisanku dengan beberapa referensi buku rohani yang sudah dan yang akan ku baca?”. Itulah pertanyaan dalam doaku kepada Tuhan dan itu jugalah yang menjadi bagian komitmen untukku kerjakan kedepan.

Namun lagi-lagi tanpa bisa dihindari, tuntutan kuliah selalu saja menjadi penghalangku untuk bisa menulis, walau proses membaca buku rohaniku tetap terus berjalan. Sampai akhirnya aku melanjutkan studiku dan tertekan dengan yang namanya tesis. Maju tak mampu, mundur pun segan, di situlah akhirnya tekadku membara kembali untuk mewujudkan komitmenku dalam membuat sebuah tulisan.

Di sini aku belajar bahwasanya merenungkan benang merah hidup kita itu penting, sekalipun awalnya ada bagian di mana salah satu benang merah hidup kita tersebut merupakan hal yang tidak kita sukai atau bahkan hal yang kita anggap tidak penting. Namun, ketahuilah ini bisa saja dipakai Tuhan menjadi sebuah karya yang indah bagi kemuliaan-Nya, seperti kata firman Tuhan di Roma 8:28 “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Ambillah waktu sejenak untuk mengilas balik dan menggali apa talenta kita dari benang merah hidup kita, sehingga pada akhirnya kita bisa sama-sama mengembangkan talenta kita yang terpendam tersebut. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk semakin peka.

Baca Juga:

Segala Sesuatu Ada Masanya, Gagal Hari Ini Bukan Berarti Gagal Seterusnya

Dua kali aku gagal untuk menempuh pendidikan di institusi negeri, dua kali pula aku merasa ingin menyerah. Namun, kegagalan itu kemudian menunjukkanku karya Tuhan yang luar biasa.

Segala Sesuatu Ada Masanya, Gagal Hari Ini Bukan Berarti Gagal Seterusnya

Oleh Pebri Sitorus, Bogor

Aku lahir di keluarga yang menuntutku untuk memperoleh nilai akademis yang tinggi. Sejak kecil aku selalu berusaha mempertahankan nilai-nilaiku dengan baik. Semua berjalan lancar, hingga tibalah waktu untukku melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Orang tuaku menginginkanku untuk masuk ke SMA Negeri, agar nantinya aku punya kesempatan lebih besar untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Selain biaya kuliah yang lebih murah, menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka melihat anaknya menjadi mahasiswa di PTN.

Namun, harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Aku gagal masuk SMA Negeri.

Aku sedih dan kecewa, terlebih lagi orang tuaku. Pilihan kedua saat itu adalah mendaftar ke SMA swasta Kristen, tetapi pendaftaran sudah tertutup. Pilihan akhirnya adalah masuk ke SMA swasta umum. Tidak pernah terpikir sebelumnya olehku untuk mendaftar ke SMA itu. “Daripada tidak sekolah”, pikirku. Singkat cerita, aku pun masuk ke sekolah tersebut.

Aku menjalani masa SMA selayaknya murid biasa yang menaati peraturan-peraturan sekolah. Aku bukan si kutu buku, tapi bukan juga seorang yang malas. Kata orang-orang, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Tetapi, aku tidak merasakan itu—aku malah ingin segera melewatinya.

Tahun terakhir pun datang. Murid kelas 12 mulai sibuk dengan ujian-ujian kelulusan yang akan dihadapi, begitu juga dengan rencana kuliah. Aku dan orangtuaku masih berharap untuk bisa berkuliah di PTN, sehingga mereka menawariku untuk mengikuti les persiapan ujian masuk PTN. Namun, aku menolak. Bukan karena aku merasa bisa, tetapi aku punya pertimbangan lain. Bagaimana jika aku sudah mengeluarkan uang yang besar untuk ikut les, tetapi aku tetap tidak berhasil masuk ke PTN? Mengikuti les tidak menjamin seseorang untuk lolos ke PTN, bukan? Aku pun memutuskan untuk mempersiapkan diri tanpa mengikuti les.

Kegagalan kedua

Aku mengikuti seleksi SNMPTN (Seleksi Nilai Masuk Perguruan Tinggi Negeri), alias jalur rapor (tanpa tes). Puji Tuhan, aku memenuhi syarat untuk mendaftar. Namun, aku lagi-lagi gagal. Sudah pasti aku sedih, tetapi aku tidak mau terlalu lama meratap. Masih banyak jalur lain yang bisa kutempuh, salah satunya jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) atau jalur tes.

Aku pun mengikuti tes SBMPTN dan rentang waktu menuju pengumuman cukup lama. Selama menunggu pengumuman hasil tes SBMPTN, aku mengikuti jalur mandiri di 4 PTN. Aku cukup deg-degan sembari terus berdoa kepada Tuhan agar dapat diterima di salah satu perguruan tinggi yang aku daftarkan.

Saat membuka pengumuman hasil tes, aku tidak diterima di satu universitas pun. Sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk. Dalam kondisi seperti itu, orang tuaku mulai membandingkanku dengan orang lain yang berhasil lolos ke PTN.

“Si A masuk PTN itu. Si B masuk PTN itu. Kenapa kamu gak bisa kayak mereka?”

Aku paham bahwa mereka juga sedih dan kecewa. Mereka banting tulang untukku, tetapi aku tidak berhasil membanggakan mereka. Namun, membandingkanku dengan anak-anak lain hanya membuatku semakin jatuh. Belum lagi, orang tuaku juga melihat kesibukanku pelayanan di gereja sebagai salah satu faktor yang membuatku kurang fokus belajar.

Aku mengungkapkan kesedihanku pada Tuhan. “Kenapa Tuhan? Kenapa aku gagal? Aku lelah dibanding-bandingkan dengan orang lain.”

Gagal bukan berarti akhir

Dengan berat hati, aku pun mendaftarkan diri ke universitas swasta. Aku sudah menyerahkan berkas-berkas yang diminta dan hendak melakukan pembayaran uang kuliah.

Suatu hari, aku membuka kembali pengumuman salah satu PTN yang aku daftarkan waktu itu. Ternyata, mereka sedang membuka pendaftaran untuk jalur D3. Aku diam-diam mendaftar, dengan pikiran hanya untuk coba-coba. Aku juga tidak berharap banyak.

Tiba-tiba, aku menerima pengumuman bahwa aku diterima. Aku sangat kaget. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini kepada orang tuaku.

Orang pertama yang kuberitahu adalah kakakku. Ia menyarankanku untuk mengikuti kata hatiku. Aku pun menyampaikan hal ini kepada orang tuaku dan yakin bahwa mereka akan menyetujui keputusanku. Nyatanya, mereka tidak memberi dukungan karena jurusan yang kupilih—Keperawatan. Mereka lebih memilih aku untuk masuk ke universitas swasta dan mengambil jurusan Teknik Industri. Mereka menganggap bekerja sebagai perawat tidak akan senyaman kerja di kantor, seperti lulusan teknik. Mendengar jawaban mereka yang tidak sesuai ekspektasi, aku kembali bersedih. Aku pun berdoa kepada Tuhan, “Tuhan aku merasa Tuhan yang tunjukkan jalan ini untukku. Jika ini memang rencana-Mu, biarlah terjadi. Bimbing aku terus sampai akhir, ya Bapa.”

Setelah dibantu oleh kakakku untuk meyakinkan kedua orang tua tentang jurusan Keperawatan, puji Tuhan aku diperbolehkan untuk masuk D3 jurusan tersebut dengan satu syarat: aku tidak boleh mengeluh. Aku harus bertanggung jawab atas semua resiko dari hasil keputusanku sendiri.

Memasuki dunia perkuliahan, aku mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Aku sempat merasa minder karena merasa sama sekali tidak mengerti dunia keperawatan, ketika teman-teman lainnya adalah lulusan SMK dari jurusan yang sama. Di tengah-tengah ketidaksanggupan itu, aku meminta kekuatan dari Tuhan. Aku percaya, ketika Tuhan sudah membukakan jalan, Tuhan juga yang akan menyertaiku sampai garis akhir.

Perjalanan kuliahku tidak semudah yang kupikirkan. Aku harus berjuang menyesuaikan diri dengan berbagai metode pembelajaran dan tugas-tugas yang ada, menjalani lika-liku pertemanan, serta sering kelelahan karena harus pulang pergi dari rumah dan kampusku yang jauh setiap harinya. Tetapi aku tidak mau cepat mengeluh, apalagi menyerah begitu saja. Aku sudah berkomitmen kepada Tuhan dan orang tuaku sejak awal. Aku mau menyerahkan segala kekuatiran dan keluh kesahku kepada Tuhan. Aku dikuatkan oleh firman-Nya dalam Matius 11:28 “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Kiranya pengalamanku juga bisa membantu teman-teman yang pernah ataupun sedang mengalami pergumulan yang sama. Aku bisa melewati ini semua hanya karena kebaikan Tuhan semata. Setiap kali aku terpuruk dan merasa kesulitan, Tuhan selalu punya cara untuk membuatku bangkit kembali.

Aku percaya, kesuksesan tidak datang dengan mudah. Pengkhotbah 3:11 menuliskan “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya”. Jangan pernah menyerah, libatkan Tuhan dalam perjalanan hidup kita—suka maupun duka. Mari tumbuh bersama di dalam Tuhan! Tuhan Yesus memberkati kita.

Baca Juga:

Kepada Temanku yang Berpikir untuk Menyerah

Temanku, aku terkejut dan tak menyangka ketika kamu berkata bahwa kamu ingin “menyerah”. Tapi, temanku, meskipun hari ini mungkin kamu mengeraskan hatimu, ada satu hal yang aku ingin kamu tahu.

Kepada Temanku yang Berpikir untuk Menyerah

Oleh Rebecca Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: A Letter To The Friend Who Feels Like Giving Up On God

Temanku,

Aku terkejut dan tak menyangka ketika kamu berkata bahwa kamu ingin “menyerah”.

Tapi, jika aku memutar kembali memoriku, kupikir keputusan itu seharusnya tidaklah mengejutkanku.

Untuk waktu yang lama, kamu bergumul dengan rasa sakit, konflik yang tak kunjung selesai, dan beban emosi yang menunggangimu. Kami melihat rasa sakitmu sebagai tanda seolah Tuhan telah meninggalkan dan mengabaikanmu di tengah belantara sendiran.

Mungkin saat ini kamu menyangkali perasaanmu, tapi aku ingin kamu tahu akan suatu kebenaran.

Terkadang, sulit rasanya untuk melihat kembali perjalanan kita di belakang, terutama ketika perjalanan itu seolah tidak tampak ujungnya. Dan, aku pun tahu betapa kerasnya kamu sudah berusaha untuk mencari Tuhan di tengah banyak pencobaan yang kamu lalui selama beberapa tahun belakangan. Aku tahu kamu berusaha menggenggam erat tangan Tuhan terlepas situasi yang tak dapat kamu pahami. Aku tahu betapa susah payahnya kamu berjuang untuk menemukan jawaban.

Kamu mengorbankan banyak bagian dari masa mudamu untuk melayani-Nya. Kamu menukarkan tawaran pekerjaan yang menguntungkan untuk pekerjaan misi Tuhan—merelakan kenyamanan materialmu, keuanganmu, dan bahkan relasi dengan keluargamu—untuk hidup di antara orang miskin dan membangun kerajaan-Nya di sana. Kamu merasa hancur ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kamu harapkan, dan kamu malah diminta untuk pergi meninggalkan pekerjaanmu setelah banyak perselisihan dengan rekan sekerjamu. Kamu pun pulang ke rumah dengan hati yang hancur, letih, dan kecewa.

Tapi, kamu masih belum mau menyerah, kamu masih berjuang untuk memberikan hidupmu untuk Tuhan. Kamu ingin hidupmu berkenan pada-Nya, jadi kamu melibatkan dirimu lebih banyak ke dalam kesempatan pelayanan, mengikuti studi teologi, dan meluangkan lebih banyak waktumu bersama Tuhan.

Aku ingat percakapan panjang yang pernah kita lakukan. Mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi? Mengapa Tuhan tidak memberimu jalan keluar? Mengapa Tuhan membuat segalanya lebih mudah supaya kita bisa melihat bahwa Dia bekerja di balik layar? Waktu itu kuharap aku bisa menolongmu menemukan jawaban-jawaban yang baik, yang memberi penghiburan, dan juga kedamaian.

Hingga saat ini, aku masih belum memiliki jawabannya.

Namun, inilah yang kuingin kamu tahu: Di momen terendah dalam hidupku sekalipun, Tuhan tidak pernah meninggalkanku.

Ingatkah kamu suatu masa ketika aku merasa seperti ada di puncak dunia—aku merasa seolah aku mendapatkan pekerjaan impianku hingga kemudian semuanya hancur hanya dalam satu hari? Hari itu, aku tidak hanya kehilangan pekerjaan, aku kehilangan visi dan semangat hidupku, semua rencana yang telah kususun berubah jadi butiran debu.

Butuh waktu yang lama untukku pulih dan mulai percaya lagi kepada Tuhan, bahwa Tuhan sedang melakukan sesuatu dalam hidupku. Tapi, di masa itu, kamu ada bersamaku ketika aku memutuskan untuk mengambil jeda sejenak dan pergi ke suatu tempat selama enam bulan, berharap dari perjalanan itu aku bisa mendapatkan visi yang lebih jelas akan apa yang harus kulakukan kelak.

Ingatkah kamu selama sembilan bulan setelahnya aku berjuang untuk mendapatkan pekerjaan? Aku lelah, tiap aplikasi lamaran kerjaku tidak berbalas. Aku pun harus mengahadapi banyak pertanyaan tentang mengapa aku masih menganggur. Kamu tahu betapa aku enggan ke luar dari rumah, aku takut menghadapi lebih banyak lagi pertanyaan yang tak mampu kujawab. Dan, kamu ada bersamaku hingga akhirnya ada tawaran kerja datang padaku.

Kamu ada bersamaku untuk mendengarkanku ketika aku terjebak dalam lingkungan kerja yang beracun, hingga aku bertanya-tanya apakah aku mendengarkan kata Tuhan untuk mengambil pekerjaan ini? Adalah perjuangan yang berat untuk bangun dari tidur setiap harinya, dan tiba di rumah setiap malam dengan tubuh lelah dan jiwa tertekan, bertanya-tanya bagaimana bisa aku mengumpulkan energi untuk bisa kembali bekerja besok.

Kamu melihatku tumbuh dalam keputusasaan ketika satu-satunya temanku di tempat kerja pindah ke tempat lain. Aku heran, mengapa Tuhan memberi jalan keluar bagi orang lain dengan mudahnya, sedangkan aku terjebak di sana dan harus memperjuangkan hidupku sendiri. Aku merasa pahit dan marah pada Tuhan, aku tidak bisa mengerti apa baiknya untukku jika aku tetap berada di tempat itu.

Lebih dari satu tahun aku bergumul demikian hingga akhirnya aku menemukan jalan keluar.

Sekarang, beragam rasa sakit dan kebingungan yang kualami dulu datang bersamaan. Dan, aku mulai melihat gambar yang Tuhan maksudkan untuk hidupku.

Aku mungkin bertanya-tanya apakah segala rasa sakit yang kualami itu sia-sia atau tidak, tapi yang kutahu adalah rasa sakit itu memberiku sedikit pemahaman akan apa yang ingin kubagikan dalam persekutanku bersama Tuhan Yesus.

Aku membagikan ceritaku bukan supaya kamu meremehkan apa yang sedang kamu alami, atau membubuhi garam dalam lukamu. Aku menulis ini untuk mengingatkanmu betapa aku menghargai kebersamaan denganmu, ketika kamu duduk bersamaku dalam dia, meratap bersamaku di dalam pergumulanku, dan bersukacita ketika aku mendapatkan jalan keluar. Dan, yang kuingin kamu tahu adalah aku ada di sini untuk melakukan yang sama untukmu.

Selama beberapa tahun, aku mendengar Paulus berkata dalam 2 Korintus 1:3-7. Aku bersukacita untuk kesempatan berjalan bersamamu, menghiburmu dengan penghiburan yang telah kuterima dari Tuhan (ayat 4).

Hari ini, salah satu lagu favoritmu terputar di playlist-ku, dan itu mengingatkanku akan api yang dulu pernah membara dalam dirimu, kerinduanmu untuk melihat kebaikan Tuhan dalam hidupku dan hidup orang-orang di sekitarmu (Mazmur 27:13).

Mungkin kata-kataku ini rasanya tak berarti buatmu sekarang.

Tapi, seperti pertemanan dan pertolongan doa darimu menolongku untuk melihat kembali pada Tuhan, aku mau tetap berdoa dan percaya bersamamu, bahwa kita akan bersama-sama melihat kebaikan Tuhan. Suatu hari, kamu akan memahami alasan di balik apa yang kamu alami, dan waktu-waktu yang telah kamu luangkan tidaklah berakhir sia-sia.

Dan di lain kesempatan ketika kamu menyanyikan lagu “Engkau baik”, akan ada api semangat yang berbeda. Api itu akan menjadi api kepercayaan seperti yang diucapkan oleh pemazmur yang berkata, “TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut?” (Mazmur 27:1). Tuhan tahu jalan hidup kita, dan ketika Dia menguji kita, kita akan timbul seperti emas (Ayub 23:10). Kita akan mengalami itu sebagai buah dari kelembutan hati yang bersedia mencicipi dan melihat kebaikan Tuhan, bahkan ketika kita telah memutuskan untuk melepaskan tangan-Nya.

Sampai tiba masa itu, aku akan terus berdoa untukmu, berjalan bersamamu, dan menunggu bersamamu.

Dengan kasih,

Temanmu.

Baca Juga:

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Aku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Jangan Sekadar Mengeluh!

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat. Baik yang pelajar maupun pekerja, mungkin pernah mengeluh saat Minggu malam untuk menyambut hari esok, hari Senin.

Aku pun juga pernah mengeluh, baik ketika menjadi pelajar S1, maupun ketika menjadi pekerja dan bahkan kini kembali menjadi pelajar S2. Saat menjadi pekerja, Senin pagi adalah waktu mengeluhku, “Hadeuh, kerja lagi, cari uang lagi, meeting lagi.” Ketika kini aktif pelayanan di hari Sabtu dan Minggu yang menyita waktu relatif banyak, lalu hari Senin kembali kuliah, aku pun mengeluh lagi, “Aduh, kapan badan ini istirahat? Senin sampai Jumat kuliah kerja tugas, akhir pekan capek pelayanan.”

Kurasa tak hanya aku, sebagian besar dari kita pun pernah mengeluh. Sebuah alasan yang mendasari kita mengeluh adalah karena ada sebuah penderitaan yang akan atau sedang kita hadapi. Banyak hal yang bisa menjadi penderitaan bagi kita, entah itu sekolah, kuliah, pekerjaan, relasi dengan siapapun, bahkan pelayanan kita sekalipun. Penderitaan itu terlihat dari keluhan yang keluar dari bibir kita.

Tetapi, sebelum kita lanjut mengeluhkan berbagai penderitaan yang kita hadapi dalam hidup ini, ada hal-hal yang perlu kita pahami nih. Yuk kita cek.

Kita tidak sendirian dalam menghadapi penderitaan

Kita, segenap manusia yang ada di bumi, bahkan Yesus semasa hidup-Nya di dunia pun pernah melontarkan keluhan. Dalam Injil Lukas 13:34 misalnya, ketika Yesus berada di Perea, wilayah Galilea, Ia hendak memasuki Kota Yerusalem. Yesus pun mengeluh dengan kenyataan tentang kota tersebut:

“Yerusalem, Yerusalem, engkau membunuh nabi-nabi dan melempari denga batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”

Ketika Yesus berdoa di Taman Getsemani di malam sebelum Dia ditangkap, Yesus pun sempat mengatakan:

“Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku…” (Matius 26:39a).

Dua ayat di atas merupakan ucapan keluhan Yesus ketika diri-Nya diperhadapkan pada penderitaan, yaitu penderitaan di mana Dia akan diangkap, disiksa, disalibkan, dan mati. Penderitaan Yesus tentu jauh lebih besar daripada derita yang kita hadapi. So, jangan pernah merasa diri kita sendirian dalam menghadapi penderitaan. Yesus juga turut menderita, bahkan lebih menderita daripada kita.

Yesus memilih menderita sebagai tanggung jawabnya

Jika Yesus sudah tahu akan menderita, dan Dia mengeluh, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: mengapa Dia tetap memilih menderita? Di sinilah kita perlu memaknai ulang kata “derita”. Kita mungkin memahami “menderita” sebagai kondisi sengsara, susah, dan mengenaskan. Tetapi, kata derita memiliki makna lebih daripada itu secara etimologi.

Kata “derita” dalam bahasa Inggris yaitu “suffer”, yang merupakan sebuah serapan dari bahasa Latin, “sufferire”. Kata “sufferire” ini berarti menanggung, menjalani, membawa sebuah tugas tanggung jawab. Maka kita bisa memahami bahwa penderitaan merupakan sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal.

Maka, yang jadi pertanyaan, tanggung jawab apakah yang dilakukan Yesus sehingga Dia harus menderita? Tanggung jawab Yesus ialah menyatakan kasih Allah kepada ciptaan-Nya dengan hidup di dunia, mengajar dan menyatakan mukjizat serta melakukan penebusan di kayu salib. Yohanes 15:13 menyatakan:

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Yesus memilih melaksanakan tanggung jawab untuk mengasihi manusia secara total dan Dia memahami konsekuensinya atau derita yang Dia jalani, yaitu disiksa dan mati disalibkan.

Dari penjelasan logis tentang Yesus yang menderita ini, kita juga bisa melihat penderitaan dalam hidup kita. Kita menderita dalam sekolah dan kuliah, dengan harus giat belajar dan mengerjakan tugas, karena itulah konsekuensi dari kita yang ingin menjadi lebih cerdas. Begitupun ketika kita bekerja, kadang lembur dan pulang malam karena itulah konsekuensi untuk mendapatkan penghasilan. Juga dalam pelayanan, kita merasa lelah secara pikiran, meluangkan waktu, mengeluarkan biaya dan tenaga, itulah konsekuensi ketika kita melayani Tuhan dan sesama kita.

Ubahlah keluhan menjadi berkat

Setiap tokoh-tokoh Alkitab juga tidak lepas dari mengeluh. Contohnya ketika harta dan anak-anak Ayub diambil oleh Tuhan, Ayub mengutuki hari kelahirannya. Contohnya lagi seruan Daud dalam Mazmur 22:1-9, dia menyatakan, “Ya Allahku, mengapa Kau tinggalkanku…” Begitu pun Yesus, yang juga turut menderita sebagai manusia seratus persen.

Beruntung, setiap tokoh-tokoh Alkitab tersebut belajar untuk berproses melihat rencana Allah dalam hidup mereka. Begitu pula dengan Yesus, ketika Dia mengeluhkan Yerusalem dalam Lukas 13:34, Dia tetap melanjutkan perjalanan-Nya. Ataupun dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Dia berseru kepada Allah dalam Matius 26:39b,

“…melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Yesus mengubah keluhan yang terucap oleh-Nya sebagai bentuk berserah kepada maksud Allah, yaitu agar Yesus bisa menyatakan kasih Allah bagi ciptan. Yesus pun melaksanakan tanggung jawab-Nya sehingga menjadi berkat bagi kita semua, yaitu berkat keselamatan.

Kita pun pasti juga tidak bisa lepas sepenuhnya dari mengeluh, tetapi apakah kita hanya melihat penderitaan yang akan atau sedang kita jalani dari sisi negatif melulu?

Mari kita belajar, bahwa Yesus juga turut menderita bersama kita. Yesus ingin mengajarkan bahwa ada sebuah tanggung jawab yang perlu kita laksanakan walaupun memiliki konsekuensi derita, dan jadilah berkat dengan menyatakan kasih Allah lewat melaksanakan tanggung jawab kita sebaik mungkin.

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku

Ku tak ingkar
Ku tak ingkar

Pernahkah kalian mendengar atau menyanyikan lagu di atas? Untuk teman-teman yang ibadah di gerejanya sering menggunakan kidung jemaat atau himne, lagu tersebut mungkin tidak asing didengar. Namun, tahukah kamu bahwa di balik sebuah lagu yang liriknya singkat dan sederhana itu, terdapat sebuah kisah yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah dalam perjalanan iman kita?

Di abad ke-19, terjadi sebuah kebangunan rohani di Wales yang menggugah banyak misionaris untuk pergi mewartakan Injil. Salah satu daerah yang dituju oleh para misionaris tersebut adalah Assam di timur laut India. Orang-orang di sana kala itu belum ada yang mengenal Tuhan Yesus, dan para misionaris rindu untuk membawa Kabar Baik ke tempat itu. Tapi, upaya tersebut disambut dengan penolakan dari orang-orang di sana.

Namun, di balik penolakan tersebut, ada benih firman Tuhan yang jatuh dan bertumbuh di hati seorang pria. Berdasarkan catatan Dr. P. Job, pria itu bernama Nokseng, seseorang dari suku Garo yang memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus dan mengikut-Nya. Tak hanya dirinya seorang, istri dan kedua anaknya pun mengikuti jejaknya.

Berita bahwa ada sebuah keluarga yang menerima iman Kristen membuat kepala desa marah. Dia memanggil semua warga dan menginterogasi mereka. Ketika didapatinya ada sebuah keluarga yang percaya kepada Yesus, kepala desa itu pun memaksa mereka untuk menanggalkan imannya. Ancaman ini tidak main-main. Nokseng diminta untuk menyangkal Yesus saat itu, jika tidak istrinya akan dibunuh.

Digerakkan oleh Roh Kudus, Nokseng menjawab, “Aku telah memutuskan untuk mengikut Yesus. Aku tidak ingkar.”

Jawaban ini membuat amarah kepala desa memuncak. Dia lalu mengambil kedua anak Nokseng dan mengancam akan membunuh mereka jika Nokseng tidak menyangkal imannya. Nokseng pun menjawab, “Sekalipun aku sendiri, aku tetap mengikut-Nya. Aku tidak ingkar.”

Kepala desa itu pun murka dan memerintahkan agar istri dan kedua anaknya dibunuh. Nokseng kini sendirian, dan sekali lagi kepala desa itu memintanya untuk menyangkal imannya atau mati. Di hadapan bayang-bayang maut, Nokseng kembali menjawab, “Salib di depanku, dunia di belakangku. Aku tidak ingkar.”

Kisah ini mungkin seharusnya berhenti di sini, ketika Nokseng dan keluarganya tewas terbunuh karena imannya. Namun, karya Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan. Kematian sebuah keluarga sebagai martir itu membuka jalan bagi tersiarnya Kabar Keselamatan bagi penduduk desa itu.

Sang kepala desa tak habis pikir, bagaimana bisa sebuah keluarga berani mati untuk Seseorang yang tidak pernah mereka temui. Secara mengejutkan, dia pun lalu tertarik untuk mengenal Siapa orang yang disebut oleh Nokseng dan keluarganya hingga akhirnya dia dan seluruh penduduk desa bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.

Kata-kata yang diucapkan oleh Nokseng sebelum dia dan keluarganya dieksekusi kemudian digubah menjadi sebuah himne oleh Sadhu Sundar Singh, seorang misionaris dari India. Liriknya menggunakan bahasa India dan mencantumkan Assam sebagai tempat asal lagu tersebut. Barulah pada tahun 1959, William Jensen Reynolds, seorang editor himne dari Amerika Serikat mengaransemen himne ini dan memasukkannya ke dalam buku kumpulan nyanyian. Versi inilah yang kemudian dikenal luas dan dinyanyikan oleh banyak orang percaya di berbagai belahan dunia.

Kisah di balik lagu ini mengingatkan kita kembali akan bagaimana pemeliharaan Allah memelihara perjalanan iman anak-anak-Nya. Rasul Paulus, dalam perjalanannya menjadi seorang Kristen juga mengalami banyak sekali penderitaan. Di suratnya kepada jemaat di Korintus, dia pun merinci tantangan dan marabahaya yang harus dia hadapi:

“Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali aku mengalami kapal karam, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu” (2 Korintus 11:24-26).

Secara manusia, penderitaan yang berat tersebut rasanya mustahil untuk ditanggung. Naluri manusia mungkin akan membawa Paulus, dan juga Nokseng untuk menyangkali iman mereka dan memilih kenyamanan duniawi. Tetapi, oleh pemeliharaan Allah, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, sebuah keputusan untuk menunjukkan imannya dan mengambil penderitaan yang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima (Roma 8:18).

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun diperhadapkan dengan berbagai pilihan dan juga penderitaan, meskipun mungkin penderitaan itu tidak seberat apa yang dialami oleh Paulus maupun Nokseng. Tetapi, satu kebenaran yang dapat kita pegang adalah, di dalam Kristus, segala perkara dapat kita tanggung, sebab Dialah yang memberikan kekuatan bagi kita (Filipi 4:13).

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Baca Juga:

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak?