Kerajaanku?

Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! —1 Petrus 3:15

Di tahun 1977, Kevin Baugh yang berusia 15 tahun bersama seorang temannya memutuskan untuk menciptakan negara mereka sendiri, hanya untuk bersenangsenang. Republik Molossia dimulai ketika mereka menggambar peta, menciptakan uang kertas, dan membuat bendera. Hari ini, Kevin Baugh melanjutkan negara-mikronya sama seperti ketika ia dulu memulainya—hanya untuk bersenang-senang. Ketika wartawan surat kabar Chicago Tribune, Colleen Mastony, berjalan-jalan mengelilingi kerajaan Baugh yang luasnya 0,5 hektar di padang pasir Nevada, Baugh meyakinkan wartawan itu bahwa ia masih membayar pajak kepada pemerintah Amerika, yang disebutnya sebagai “bantuan asing”.

“Ini hanya suatu gurauan,” Baugh mengakuinya. “Aku melakukannya hanya untuk bersenang-senang dan kesukaan karena memiliki negara sendiri.”

Tidak banyak dari kita akan menciptakan negara kita sendiri, tetapi kita semua mempunyai kerajaan hati di mana kita harus memutuskan siapa yang akan memerintah. Rasul Petrus menuliskan: “Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!” (1 Ptr. 3:15). “Kuduskanlah” berarti menjadikan Kristus sebagai Tuhan atau Penguasa hidup kita.

Di dalam diri kita masing-masing, ada suatu kerinduan kuat untuk mengendalikan hidup kita sendiri. Mungkin hanya sebagian kecil di sudut hati kita dimana kita menuntut kebebasan rohani untuk tidak taat kepada siapa pun kecuali pada diri kita sendiri. Namun, kebebasan sejati datang ketika kita memperkenankan Kristus untuk memerintah hati kita. —DCM

Ketika Kristus berkuasa di dalam hati kita, kaki kita akan melangkah di jalan-Nya.

Melepaskan

Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku,
sekarang kuanggap rugi karena Kristus. —Filipi 3:7

Ada pepatah yang mengatakan bahwa, “Sampah seseorang adalah harta bagi orang lain.” Ketika David Dudley mencoba untuk membantu orangtuanya membersihkan rumah dari “barang-barang yang tidak diperlukan” sebelum pindah ke rumah yang lebih kecil, ia menemukan kesulitan. Ia sering marah karena orangtuanya menolak untuk membuang barang-barang yang tidak pernah lagi mereka pakai selama puluhan tahun. Akhirnya ayah David menjelaskan supaya ia memahami bahwa meskipun sudah usang dan tidak berguna, barang-barang tersebut mengingatkannya pada kawan-kawan dekat dan kejadian-kejadian penting. Membuang barang-barang itu terasa seperti membuang kenangan lama.

Persamaan secara rohani tentang keengganan kita untuk melepaskan barang-barang yang tidak berguna di dalam rumah kita adalah ketidakmampuan kita untuk membersihkan hati kita dari sikap-sikap yang membebani kita.

Selama bertahun-tahun Saulus dari Tarsus berpegang kepada “kebenaran” dengan menaati hukum Taurat secara mutlak, sampai ia bertemu dengan Yesus di dalam peristiwa yang membutakannya saat melakukan perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:1-8). Ketika bertemu langsung dengan Juruselamat yang telah bangkit, Paulus melepaskan kehidupan yang sangat dibanggakannya. Kemudian ia menulis, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus” (Flp. 3:7).

Ketika Roh Kudus mendorong kita untuk melepaskan segala sikap yang menghalangi kita untuk mengikut Kristus, kita menemukan kemerdekaan sejati untuk melepaskannya. —DCM

Melalui Kristus kita memiliki kemerdekaan
untuk melepaskan segala sesuatu yang perlu dilepaskan.

Tidak Ada Kasih Yang Lebih Besar

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang
yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. —Yohanes 15:13

Shrine of Remembrance yang ada di Melbourne, Australia, adalah museum peringatan untuk menghormati mereka yang mengorbankan nyawa bagi negaranya. Dibangun setelah Perang Dunia I, museum tersebut selanjutnya diperluas penggunaannya untuk mengingat mereka yang membela negara dalam konflik-konflik berikutnya.

Sungguh ini adalah suatu tempat yang indah dan mengingatkan kita akan nilai keberanian dan pengabdian, tetapi yang menjadi daya tarik utama dari museum ini adalah sebuah aula yang di dalamnya terletak sebuah batu berukirkan kata-kata, “Tidak Ada Kasih yang Lebih Besar.” Setiap tahun pada hari ke-11 dari bulan ke-11 pada pukul 11 pagi, sebuah cermin memantulkan cahaya matahari ke arah batu tersebut untuk menyorot kata Kasih. Ini merupakan bentuk penghormatan bagi mereka yang telah mengorbankan nyawa mereka. Kita menghormati kenangan terhadap mereka yang telah membayar harga yang mahal untuk kemerdekaan.

Namun, kata-kata di batu itu mengandung arti yang jauh lebih agung. Yesus berbicara pada murid-murid-Nya di malam sebelum Dia mati di kayu salib bagi dosa-dosa dunia (Yoh. 15:13). Kematian-Nya bukanlah untuk memberi kita kemerdekaan dari tirani politik, melainkan dari hukuman dosa. Kematian-Nya tidak hanya untuk memberi kita kehidupan yang lebih baik, tetapi demi memberi kita hidup yang kekal.

Memang penting untuk mengingat mereka yang telah memberikan nyawanya bagi negara mereka—tetapi kiranya kita tidak akan lupa untuk memuji dan mengagungkan Kristus yang mati bagi dunia yang sedang sekarat ini. Sungguh, tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih-Nya ini. —WEC

Salib Yesus adalah bukti nyata terbesar dari kasih Allah.

Merdeka!

Oleh Stephanie Tanata

Setiap mendengar kata Merdeka, yang terbayang pertama kali dalam benak saya adalah hari kemerdekaan Indonesia yang tiap tahun dirayakan. Cerita tentang perjuangan mencapai kemerdekaan, mulai dari penculikan di Rengasdengklok sampai pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta, sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Perayaan hari kemerdekaan ini biasanya identik dengan upacara, banyak lomba, dan pawai. Tujuan dari semua itu adalah untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang sampai titik darah penghabisan demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Kata merdeka biasa diucapkan dengan lantang dan penuh semangat yang berkobar-kobar. Ketika guru saya memekikkan kata merdeka dalam suatu upacara 17 Agustus, daya kata itu serasa menjalar sampai ke tulang-tulang dan membuat semangat saya ikut meluap-luap juga. Merdeka berarti saya, Anda, dan bangsa ini terlepas dari segala ikatan penjajahan dan dapat berjalan mandiri.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, sepertinya makna kemerdekaan bangsa kita juga telah perlahan-lahan terkikis. Peringatan kemerdekaan hanya menjadi sekadar formalitas dan hanya terasa pada saat peringatannya saja. Bahkan ada yang mengikuti upacara peringatan ini karena diharuskan untuk datang, bukan karena ingin mengingat kembali makna peringatan kemerdekaan.

Arti lain dari kata merdeka adalah bebas, tidak terikat, dan independen. Senang sekali merasakan kemerdekaan yang kita miliki ini karena sifatnya kompleks: merdeka dari penjajah bangsa; merdeka untuk berpatisipasi, memilih, atau menciptakan sesuatu; merdeka untuk mencapai cita-cita sesuai yang diharapkan, dan merdeka dari dosa tentunya.

Merdeka dari dosa. Ya, saya sendiri sering mendengar kalimat ini tiap tahun saat Paskah tiba. Entah dalam khotbah, drama, ataupun cerita Paskah. Kisahnya klasik dan sudah didengar berulang kali, bahwa Yesus mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus dosa kita. Namun, terkadang karena terlalu sering kita dengar, sama seperti cerita tentang perjuangan bangsa ini, kita pun tak bisa lagi merasakan makna sesungguhnya dari pengorbanan Yesus.

Kemerdekaan kita sering disalahgunakan. Misalnya kita berkali-kali melakukan dosa yang sama, walaupun tahu itu salah. Kita melakukannya dengan berpikir bahwa selalu ada pengampunan, ketika kita tersadar dan mengakui kesalahan kita. Tanpa kita sadari, akhirnya kita pun terjerumus lagi dalam dosa yang sama. Padahal, kita sendiri tidak tahu sampai kapan pengampunan itu tersedia. Bagi seorang narapidana yang baru bebas dari penjara, hakim dan para polisi tentu mengharapkannya tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Ia diharapkan bertobat, memulai hidup yang lebih baik, dan tidak masuk penjara lagi. Begitu juga harapan Yesus kepada kita.

Menjadi merdeka itu memang penting, namun yang terpenting adalah merdeka di dalam Kristus. Kemerdekaan itu harus dimaknai sebagai proses mengelola diri kita dan usaha menjaga supaya makna kemerdekaan tetap sama seperti saat pertama kali kita mengalaminya. Darah Tuhan Yesus telah menjadi bukti dari kemerdekaan yang kita miliki sampai sekarang ini. Coba kita pikirkan apa saja yang telah kita lakukan sepadan dengan pengorbanan darah Yesus?

“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka.
Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.”
(Galatia 5:13)

Pahit Manis Hidup

Oleh David Wijaya, Jakarta

Manis, asam, asin, pahit. Itulah rasa yang kita kecap dengan bantuan lidah. Namun dari kata-kata yang mewakili beragam rasa itu, kata manis dan kata pahitlah yang kita gunakan sebagai metafora untuk menggambarkan kehidupan.

Manisnya hidup kita rasakan ketika kita sedang dalam keadaan senang. Misalnya, permintaan kita dikabulkan oleh Allah yang Maha Pemurah, kita menerima berkat melimpah, berbagai urusan hidup (seperti pekerjaan atau studi) berjalan lancar, dsb. Di saat-saat seperti inilah, kita merasa Tuhan begitu mengasihi kita. Segala sesuatunya beres. Tidak ada masalah. Kita senang. Kita menyambut ajakan pemazmur, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!” (Mzm. 34:9). Kita mengecap kebaikan-Nya, dan kebaikan-Nya itu terasa manis.

Namun, seperti halnya tidak semua yang masuk ke mulut itu selalu manis, maka tidak selalu hal-hal indah sajalah yang kita alami dalam hidup. Hidup kita justru sering dirundung masalah. Di saat-saat seperti inilah, kita merasakan kepahitan dalam hidup kita. Kepahitan hidup bisa berupa hal-hal yang pribadi: putusnya hubungan dengan seseorang, rasa dukacita karena ditinggal oleh orang yang kita kasihi, mengalami sakit-penyakit, harapan yang tak kunjung tercapai, mengalami tuduhan palsu, dsb. Kepahitan hidup juga bisa bersifat komunal, seperti: bencana alam, perang, dan perselisihan antar golongan. Di saat-saat seperti ini, kita merasa hidup sungguh pahit. Kita bahkan meragukan kehadiran Allah. Tidak jarang kita merasa Allah membisu. Pemazmur pun merasakan hal demikian. Ia bahkan berseru dengan jujur, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:1).

Namun, setelah orang-orang bergumul dengan kepahitan hidup, seringkali mereka tiba pada kesadaran bahwa Allah tetap berada dekat dengan mereka meskipun Ia tampak lamban dalam menanggapi kita atau bahkan sama sekali diam. Allah mengerti kesusahan hati kita. Dia datang ke dunia kita untuk menanggung hukuman atas dosa kita.

Oleh karena itu, di tengah kepahitan hidup, kita tidak boleh lupa bahwa Kristus, yang adalah Allah, menderita di salib. Ia mengalami penolakan, kebencian, fitnah, pengkhianatan, ketidakadilan, kekerasan, bahkan kematian. Inilah paradoks dari salib. Kepahitan hidup yang Ia terima berujung pada manisnya kasih Allah pada manusia. Jadi, kita tidak perlu menanggapi kepahitan hidup dengan keluhan, dan juga tidak perlu sampai menyimpan rasa dendam atau bersikap seolah Allah tidak ada. Karena Kristus telah merasakan kepahitan hidup yang paling pahit, kita pun boleh yakin bahwa Ia mengerti kepahitan hidup yang kita alami. Lebih dari itu, kita pun tahu dari Roma 8:28 bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” Oleh karena itu, kepahitan hidup dapat diubah-Nya menjadi sesuatu yang manis.

Undangan pemazmur dalam Mazmur 34:9, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!” berlaku dalam keadaan apa pun yang kita alami. Bersyukurlah dan teruslah mengingat kasih-Nya yang manis itu. Dan berdoalah agar kita dimampukan untuk membagikannya kepada orang lain, terutama mereka yang mengalami pahitnya kehidupan. Kiranya doa yang ditulis oleh Sue Mayfield berikut menjadi doa kita pula:

Kristus, yang merasakan pahitnya salib dan yang menanggung sakit kami,
Sertailah mereka yang menderita dan yang merasakan hidup ini begitu pahit.
Tuhan, yang bangkit dari kematian dan penuh kemuliaan,
Penuhi kami dengan kasih-Mu yang manis.
Kiranya kami mengecap kebaikan-Mu dan membagikannya kepada sesama. Amin.


Jangan Takut Berkarya Walau Kita Masih Muda

Tulisan oleh Gracea Vebby (Gea), 18 th.; Ilustrasi/Wallpaper oleh Heri Kurniawan, 21 th*

Teman2 KAMU yang terkasih..

Kita sebagai kaum muda yang merupakan generasi penerus Gereja harus berani menjadi terang dan garam dunia. Tentunya dalam porsi kita masing-masing. Setiap kita memiliki talenta yang berbeda-beda. Bapa telah mengaruniakan dan membekali anak-anaknya dengan kemampuan yang beragam, dengan maksud agar kita mengembangkannya, seperti perumpamaan tentang talenta dalam Injil Matius (Mat. 25:14-30).

Dalam pelayanan kita, kita tidak harus menjadi matahari yang gagah dan mampu menyinari setiap penjuru dunia. Cukuplah menjadi lilin kecil yang rela meleleh untuk menerangi ruang yang gelap dan kosong.

Beberapa dari antara kita mungkin ada yang berpikiran, “Untuk apa aku melayani? Males ah.. Itu adalah tugas mereka orang dewasa.” Atau ada juga yang berpikiran, “Aku ini masih muda, apa yang bisa aku lakukan dengan segala keterbatasanku?”

Teman2…

Justru kita (baca: kaum muda)-lah masa depan Gereja. Bila tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi??

Bukan tunggu nanti sudah tua kita baru mau melayani. Melayani itu tidak semata-mata berdiri di depan mimbar, menjadi singer, pemain musik, atau hal-hal lain yang indentik dengan “tampil ke muka umum”. Namun, melayani dalam arti yang sesungguhnya (paling tidak bagi saya) adalah dimana kita berani menjadi saksi Kristus lewat tingkah laku kita yang konkrit dengan segala keberadaan dan kerelaan hati kita. Menurut saya, itu sudah cukup untuk menjadi seorang pelayan sejati.

Dalam melayani pasti ada saja tantangan dan godaan. Saya pernah mengalaminya. Suatu hari di malam minggu, saya diberi undangan disco time sweet seventeen dari teman saya, dengan bintang tamu artis terkenal, tapi di saat yang bersamaan ada PD kaum muda di Gereja. Tentu saja saya harus memilih. Saya bukan orang muda yang hebat dan dengan tegas mengatakan, “Yaa pilih Gereja donk. Ngapain ke sweet?? Tuhan itu di atas segala – galanya.”

Saya pun mengalami yang namanya dilema.

“Duuh, gimana yaa… Gw dtg PD ato ikut disco time yah?” tanya batin saya.

Namun pada akhirnya, saya lebih memilih PD. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena pada saat itu ada dorongan dari hati saya; yang saya percaya suara Tuhan, yang membawa saya sampai ke aula Gereja untuk bersama-sama kaum muda yang lainnya memuji Tuhan. Walaupun baru merintis dan orang yang datang belum begitu banyak, namun saya merasakan sukacita yang daripada-Nya. Justru disinilah saya melayani, dengan ikut mendukung PD rintisan ini dan membawa teman-teman kaum muda yang lain untuk ikut masuk ke hadirat Tuhan.

Tuhan tidak pernah melihat kemampuan atau ketidakmampuan kita. Tidak juga kehebatan atau kecakapan kita. Yang Ia lihat hanyalah kesediaan kita untuk menjadi pelayan-Nya yang taat dan setia.

Jangan takut untuk berkarya walau kita masih muda.

“Jangan seorangpunpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang – orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu.” (1 Tim. 4:12)

Semoga sharing ini bisa menjadi berkat bagi teman-teman semua.

Saya masih pemula dan masih perlu banyak belajar dalam hal menulis. Oleh karena itu saya sangat terbuka terhadap kritik dan saran teman-teman sekalian.

Damai Tuhan Bersamamu ^^

[G]

Belajar dari Kutipan

oleh Natalia Endah

Audience of One

Saat ibadah pagi tadi, aku belajar tentang melakukan sesuatu di balik layar. Dalam artian, setiap kali melakukan segala sesuatu, maka aku harus melakukannya untuk Tuhan dan bukan mencari pujian dari orang lain. Kadang hal itu mudah dilakukan dan kadang sulit dilakukan. Sebagai sosok introvert, sering kali aku bersembunyi di balik “kelemahan” itu. Aku suka melakukan segala sesuatu di balik layar dan paling menghindari tugas-tugas yang harus tampil di muka umum atau yang harus berhubungan dengan banyak orang.

Pemimpin ibadah pun menegaskannya dengan 1 kutipan: I’m only living for the audience of ONE. Sebenarnya tidak masalah untuk bekerja di balik layar. Namun, perlu dilihat motivasinya juga. Apakah karena aku sebenarnya ingin mendapatkan pujian saat pekerjaanku mengagumkan atau karena aku malu dan tidak mau ketahuan saat pekerjaanku gagal atau karena aku memang benar-benar melakukannya untuk Dia? Sering kali ketiga motivasi itu muncul bersama-sama.

Ketika menyadari, bahwa apapun yang aku lakukan dan yang aku butuhkan sudah diketahui terlebih dulu oleh Dia yang menciptakan aku, maka sebenarnya aku sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

Tetapi, siapa sih orangnya yang tidak suka dipuji? Saat aku memberikan sesuatu yang dihargai dan disukai orang lain tanpa dia mengetahui siapa yang memberinya, ada terbersit rasa bangga dan kadang keinginan untuk menyatakan: “Itu aku lho yang melakukannya.” 🙂 Namun, diingatkan lagi dalam Matius 6 ini bahwa aku sudah mendapatkan upahku saat orang itu memujiku. Wah, tentu bukan itu upah yang kuharapkan. Yang selalu kurindukan adalah menyenangkan hati-Nya. Memang tidak mudah untuk melakukannya karena keinginan untuk menyombongkan diri senantiasa muncul dalam hati ketika melakukan segala sesuatu “yang baik” menurutku.

Kutipan yang kedua pun sangat menegurku bahwa I am not doing the work of God if I am not being the person of God. Aku tidak bisa melakukan segala kebaikan itu dengan motivasi yang benar selama aku belum diubahkan oleh Allah. Hanya Dia yang memampukan aku untuk melakukan segala pekerjaan baik sesuai dengan kehendak-Nya.

Renungan hari ini sangat membantuku untuk melihat kembali motivasi pribadiku saat aku melayani dan saat aku melakukan pekerjaanku. Apakah aku melakukan semuanya itu karena Dia sendiri yang bekerja didalamku? Atau apakah aku masih mengandalkan kekuatanku sendiri untuk melakukan semuanya itu?

Tentang Penulis:

Ari Setiawan, Yogyakarta | Merupakan lulusan Ilmu Komunikasi UK Petra. Sedang dan terus bergumul akan panggilan Tuhan dalam hidup, berjuang juga untuk mengalahkan ketakutan akan kehidupan. Aktif menulis di WarungSaTeKaMu, Ignite GKI dan merupakan head producer dari podcast Ignite GKI. Berharap dapat menjadi penggerak bagi anak muda Kristen untuk menjadi berkat bagi bangsa dan dunia dalam berbagai aspek kemampuan.