Kala Doa dan Harapan Tak Selalu Sejalan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Aku ingin begini.. aku ingin begitu.. ingin ini ingin itu banyak sekali..
Semua semua semua dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan kantong ajaib ..

Anak-anak 90’an pasti tidak asing dengan lirik lagu dari film kartu Doraemon. Jika dulu kita cuma dengar dan nikmati saja iramanya, saat kita dewasa mungkin kita menyadari bahwa lirik lagu tersebut benar-benar mengungkapkan naluri manusia yang memiliki berbagai keinginan dan berusaha mewujudkannya dengan berbagai cara. Rumus yang umum kita kenal ialah bila keinginan dikabulkan, tentu akan dapat membuat hati merasa gembira.

Tapi, apakah punya keinginan itu salah? Tentulah tidak. Mengingini sesuatu adahal hal yang baik. Bahkan, Tuhan Yesus pun berkata dalam sabda-Nya, “Mintalah maka kamu akan diberi” (Matius 7:7). Perkataan ini tentu sangat menggembirakan bagi kita. Bagaimana tidak, Tuhan berjanji akan memberikan apa yang kita minta! Atas dasar janji inilah, orang-orang percaya mulai menaikan permohonannya pada Tuhan; bahkan ada juga yang mengadakan doa beberapa hari, agar permohonannya dapat dikabulkan. Ada pula berdoa yang disertai berpuasa, seperti yang dilakukan Daud Ketika memohon anaknya agar tetap hidup (2 Samuel 12:16).

Pada perikop itu diceritakan Daud ditegur oleh Natan atas dosanya berzinah dan membunuh. Daud tidak akan mati, tetapi dia menerima konsekuensi dari dosanya berupa anak yang dikandung dari perbuatan zinahnya akan mati (ayat 14). Daud tidak ingin anak itu mati sehingga dia berdoa puasa memohon agar nyawa sang anak tidak dicabut, namun pada hari ketujuh sang anak itu mati (ayat 18).

Kisah Daud di sini dan janji Kristus terkesan seperti berkontradiksi.. Demikian pula dengan Yesus sendiri, yang memohon agar cawan dilalukan dari pada-Nya (Matius 26:39), dengan arti, sisi manusiawi Yesus mengalami ketakutan yang luar biasa menjelang penyaliban. Namun, pada akhirnya, baik pada Daud maupun Yesus, permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah Bapa. Ada pula pengalaman dari Rasul Paulus, yang meminta pada Tuhan agar dapat ‘mengusir roh jahat’ yang sering mengganggunya, namun Tuhan tidak mengabulkannya (2 Korintus 12:7-9).

Doa-doa yang tak dijawab ini mungkin membuat kita meragukan janji Tuhan dan merasa tak perlu berdoa meminta, namun pada Matius 6:8 tertulis janji yang lain bahwa Tuhan mengetahui apa yang kita perlukan, lebih dari diri kita sendiri. Terkadang, kita tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan kita yang sebenarnya. Lebih tepatnya, kita tidak tahu mengenai diri kita sendiri secara sempurna; hanya Tuhanlah yang mengetahuinya, sebab DIA pencipta kita.

Anggapan bahwa kita sendirilah yang paling tahu akan membuat kita sulit menerima jawaban Tuhan. Hal ini juga terjadi pada diriku. Sejujurnya, aku sempat marah pada Tuhan atas jawaban doa yang tidak sesuai dengan keinginanku. Waktu itu, aku berdoa agar aku dapat pergi ke luar negeri, untuk studi banding bersama dengan teman-teman sepelayanan. Namun karena pandemi, keberangkatan kami pun dibatalkan.

Rasa kecewa menyelimutiku. Kegiatan kerohanian seperti berdoa, saat teduh, membaca Alkitab, serasa membosankan dan muak untuk dilakukan. Namun kisah Daud dan Paulus sungguh menyadarkanku, bahwa bukan akulah yang mengendalikan apa yang aku inginkan. Semuanya karena Tuhan mengerti apa yang menjadi kebutuhan utamaku, lebih dari pada diriku sendiri. Mungkin, ada hal yang lebih utama dan penting dari kegiatan studi banding tersebut untuk aku kerjakan.

Sungguh menyedihkan dan menyakitkan bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dan dambakan; apalagi kita telah berdoa (bahkan berpuasa) demi pergumulan kita tersebut. Bila perasaan sedih dan kecewa ini tidak diselesaikan maka dapat mengakibatkan iman kita menjadi lemah. Dan pada akhirnya, kita akan menjadi negative thinking dengan Tuhan dan Firman-Nya. Bila hal ini pun tidak dapat diselesaikan, maka akan sulit untuk membangun hubungan yang erat dengan Tuhan.

Selama 3 tahun aku bergumul dan berusaha untuk berdamai dengan kehendak Tuhan, serta berusaha untuk membaharui pikiran dan pengenalanku akan Tuhan dan rencana-Nya dalam hidupku. Di tengah-tengah pergumulanku, aku dikuatkan melalui komunitas-komunitas rohani yang aku ikuti, baik di dalam maupun luar gereja.

Salah satu statement yang cukup menguatkanku adalah “Desire and Happiness cannot lives together” . Memang ada perasaan gembira ketika sebuah keinginan kita dikabulkan atau dijawab sesuai dengan harapan kita. Namun, aku belajar dari kisah raja Salomo, di mana dia hidup untuk melakukan segala keinginannya, bahkan sesuai harapannya, pada akhirnya jatuh pada kesia-siaan (Pengkhotbah 1-3).

Aku menyadari bahwa dengan tidak dikabulkannya keinginanku, Tuhan sedang membawaku untuk menikmati proses lain yang membawaku menikmati persekutuan yang lebih erat dengan-Nya. Dari kecewa aku belajar untuk menerima. Dari menerima, aku pun belajar untuk percaya. Mungkin saja jika segala yang kuinginkan terkabul segera, bisa saja aku jatuh ke dalam kesia-siaan dan kehampaan.

Aku bersyukur, pengalaman-pengalaman ini menolongku memetik hal-hal baik. Yakni di antaranya:

1. Tuhan adalah Sang Pencipta, dan kita adalah ciptaan-Nya. Kita tidak bisa, bahkan tidak berhak mengatur Tuhan dengan dalil dan ‘proposal’ yang dibuat dengan doa. Permohonan kita yang dikabulkan, adalah bagian dari rencana-Nya, bukan karena kehebatan doa kita.

2. Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan, bahkan di saat kita tidak sadar/tidak tahu akan kebutuhan kita. Bila itu tidak atau belum dikabulkan, tidak perlu kecewa berlarut-larut, dan kita berusaha untuk lebih mengenal kebutuhan diri kita sendiri—yang dituntun Roh Kudus tentunya. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi di komunitas kita, ataupun pergi ke konselor/mentor yang kita percayai.

3. Belajar untuk menguatkan hati, bahwa apa yang diperbuat Tuhan selalu baik, sekalipun kita tidak memahami dimana letak baiknya. Aku belajar dari nabi Yeremia mengenai hal ini. Ada banyak sekali ayat-ayat di kitab Ratapan yang telah menolongku waktu itu, sampai sekarang.

Kiranya Roh Kudus selalu memberikan semangat dan kekuatan dalam hati kita dalam menghadapi hal yang tidak kita harapkan dan inginkan. Amin.

Tips Jitu Lawan Ekspektasi Bodong: Selaraskan Hatimu sama Tuhan

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Ekspektasi. Bicara masalah ekspektasi, aku adalah orang yang tergolong dalam grup si pemimpi besar. Mimpinya berada di langit, tapi kenyataannya hanya bertapak di bumi. Kira-kira sejauh itulah ekspektasi dan realitaku. Oleh sebab itu, tidak jarang aku kecewa dengan kehidupan keseharianku, karena realitanya tidak sesuai dengan ekspektasi aku. 

Semakin besar gap antara ekspektasi dan realitanya, semakin tinggi rasa galaunya. Apakah ini akhirnya sering membuatku mengeluh? Pastinya (ngaku dulu hehe). Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang bisa relate sama masalah “ekspektasi dan realita” ini. Kabar baiknya, aku punya beberapa kakak senior andalan yang sering memberikan masukan yang sangat bermanfaat dan tentunya relatable buat generasi kita ini. Kalau aku rangkum, ada 3 poin yang mereka sampaikan, boleh ya aku sharing juga di sini.

1. Stop comparing yourself to the others

“Berhenti membandingkan diri kalian dengan orang lain.”

Ini adalah masukan yang sering aku dapat dari kakak-kakak seniorku yang juga teman-teman baikku. Karena umur mereka lebih tua, dan pengalaman hidupnya jauh lebih banyak, mereka selalu mengingatkanku untuk tidak membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Social media is a lie. Percaya ga percaya, ekspektasi kita di zaman ini seringkali datangnya dari hasil scrolling kita di media sosial setiap harinya. Waktu diajak ngobrol sama kakak-kakak seniorku, mereka menegur, “Aduhh.. Lu kurang kerjaan ya, ini mah lu kebanyakan liat Instagram!” 

Aku baru sadar, ternyata kekecewaanku itu datangnya karena ke-iri-an melihat momen kebahagiaan teman-temanku di sosmed. Tetapi, kita tahu dong bahwa 99% postingan orang merupakan momen terbaik dalam hidupnya. Apakah mereka akan memperlihatkan seluruh realita hidupnya termasuk permasalahan hidupnya? Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah ada yang menceritakan keburukan dan kegagalan hidupnya. Social media can be toxic jika kita tidak dapat mengolah informasinya, apalagi menjadikan apa yang diunggah orang lain patokan ekspektasi kita.

2. Know yourself before God

Kenali diri kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan teman-teman yang ada di media sosial kita. Apa yang mereka capai, belum tentu apa yang harus kita capai.

Everyone has his/her own different stories. Jadi simpelnya, kita harus tahu apa yang menjadi porsi kita. Memang ada kalanya kita sudah mengerjakan semaksimal mungkin, tapi ternyata hasilnya masih tidak sesuai ekspektasi kita juga. Mungkin pertanyaannya adalah: apakah keinginan kita sudah sesuai dengan porsi kita? Kalau memang tidak tercapai, mungkin kata Tuhan memang bukan porsi kita, dan perlu di-review ulang di hadapan Tuhan. Setiap orang sudah diberikan Tuhan porsinya masing-masing dengan pertanggungjawabannya masing-masing juga. Semakin besar porsinya, semakin besar tanggung jawabnya, sehingga tidak perlu iri hati. 

“Hidup ini harus banyak bersyukur baru bisa hepi. Ngiri ga akan ada habisnya. Lu harus lihat ke dalam diri lu sendiri dan refleksi sama Tuhan,” kata kakak-kakak seniorku. Ternyata lihat ke dalam diri itu ga mudah, karena apanya yang mau dilihat, ya? Dan bagaimana kita tahu standar kesuksesan untuk diri kita? Untuk memudahkan, melihat ke dalam diri artinya menyesuaikan ekspektasi kita dengan porsi yang sudah Tuhan berikan pada kita.

3. Discernment is the key to understanding what God wants in our lives, therefore we know our expectations

Berat kan ya definisinya, karena kalau poin ini sih, aku belajar dari beberapa kakak yang sudah sangat senior. Apa sih discernment itu? Jadi, dalam konteks Kristiani, discernment merupakan sebuah kearifan dan ketajaman dalam mengetahui mana yang tepat dan mana yang tidak untuk diri kita melalui tuntunan Roh Kudus. Kearifan ini sebuah skill yang dibutuhkan untuk mengerti maunya Tuhan dalam hidup kita, sehingga kita tahu doa seperti apa yang perlu kita panjatkan dan panggilan atau goals seperti apa yang harus kita tuju. Dengan adanya discernment, tentunya akan lebih jarang doa permohonan berakhiran no, karena keinginan dan ekspektasi kita sudah selaras sama hati Tuhan. Kalau sudah satu hati dan satu tujuan sama Tuhan, pasti ekspektasi dan realita 75% sesuai. Tidak 100% sesuai, tapi sebagian besar pasti sesuai, terbukti dari kisah para raja dan nabi di perjanjian lama. Salah satu nya cerita Yusuf:

“Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai…” (Kejadian 45:5-7).

Yusuf mengerti porsi dan panggilannya. Meskipun ia dijual menjadi budak raja Mesir, ia tidak pernah mengeluh ataupun menyesali masa-masa susahnya karena ia tahu bahwa Tuhan mempersiapkan dirinya untuk mendatangkan kebaikan bagi teman sebangsanya. Apa ga kurang pahit pengalamannya dijual oleh saudaranya menjadi budak? Apa lalu ia menyesali kehidupannya? Tidak, walau di awal ia mungkin tidak mengerti maksud dan rencana Tuhan, namun ia tidak pernah merasa iri dengan kakaknya ataupun meratapi nasibnya. Ia tetap mengerjakan yang terbaik, dan sampai pada akhirnya fokus Yusuf juga tetap pada porsi dan panggilannya—”memelihara kehidupan” Israel, supaya tidak mati kelaparan. Sehingga apa yang perlu ia keluh kesahkan di balik cerita pahitnya? Tidak ada, karena ekspektasi Yusuf dan realita yang dijalankannya sesuai 100%. Ia tahu betul bahwa inilah porsi yang diberikan dari Allah sendiri untuk dirinya (Kejadian 45:6, “Allah menyuruh aku mendahului kamu”). Jangan terbalik ya man-teman, yang menyesuaikan supaya terjadinya sebuah keselarasan hati bukan merupakan kompromisasi Tuhan yang mengikuti kemauan kita, tapi merupakan kerelaan hati kita yang mau mengikuti hati Tuhan. 

Aku sering dengar orang bilang, “Udehhh, ikuti kata hati aja.” Nah loh, hati siapa nih ini? Hati kita sendiri atau hati Tuhan? Karena kalau belum sehati sama Tuhan, kata hati kita kan belum tentu kata hati Tuhan. Hehe.. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya peran discernment, menyelaraskan dan menyatukan kedua hati supaya kedua belah pihak happy dan endingnya happily ever after. Walaupun idenya cukup mengawang, ternyata the gift of discernment ini lumayan bisa dilatih dan diterapkan dengan bantuan ilmu Psikologi. Ada 3 tahap discernment, yaitu: awareness, understanding, dan action.

Tahap 1: Awareness

Awareness itu boleh diibaratkan mobil polisi yang lagi ngiung-ngiung saat kejar maling atau kawal orang penting. Sama seperti lampu siren ini, seluruh indra kita harus dalam keadaan alert (siap siaga). Bukan hanya peka, tapi kita harus lebih peka dari biasanya—peka akan diri kita, sekeliling kita, dan suara Tuhan. Hal yang paling membantu adalah, menuliskan apa yang menjadi realita kita, keinginan kita, dan juga berdiskusi dengan orang di sekitar kita. Lalu bagaimana sih kita bisa dengar suara Tuhan? Suara Tuhan yang paling jelas dan mutlak benar ya hanya ada di Alkitab. Jadi jangan sampai tidak dibaca Alkitabnya. Di dalam tahap inilah, kita banyak-banyak mendengar dan mengobservasi.

Tahap 2: Understanding

Di tahap kedua ini, kita mulai mengolah semua informasi yang kita terima dari pemikiran kita, pendapat orang-orang di sekitar kita, dan penginterpretasian kita terhadap suara Tuhan. Tahap kedua ini cukup tricky, karena dapat menjebak jika kita salah menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang kita dapat. Di sinilah diperlukannya ketajaman kita dalam memilih apa yang tepat untuk diri kita. Selain itu, kita perlu berdoa untuk memohon kebijaksanaan Tuhan. Kalau kata ai (tante-tante) yang pernah aku temui di retret gereja, “eh, kalau lu lang (orang) tu dekat-dekat sama Tuhan, doa doa, lu pasti lasa-lasa (rasa-rasa) itu Tuhan maunya cemana (gimana).” Siap ai!

Tahap 3: Action

Tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan yang mudah-mudahan sudah selaras sama hati Tuhan. Sekalipun kita salah menganalisa dan mengambil keputusan, kalau intensi kita tulus bertujuan untuk mengikuti mau Tuhan, jangan khawatir, Tuhan pasti arahkan kembali ke jalan yang benar. Tuhan tidak sekejam itu untuk membiarkan kita jatuh selamanya.

Memang saat direalisasikan, menyelaraskan hati sama Tuhan itu tidak mudah, alias sulit. Menyelaraskan hati dengan orang rumah yang kelihatan aja susah, apalagi sama Tuhan ya yang wujudnya aja tidak bisa dilihat. Tidak kalah sering juga interpretasi kita akan jawaban tidak dari Tuhan dianggap sebagai hal yang memang belum waktunya sangking mengharapkan terwujudnya keinginan kita. Wajar dan lumrah banget kok… Tapi aku percaya, jika kita lebih aware, understand, and act accordingly, keinginan kita lama-kelamaan akan lebih sesuai dan selaras dengan kemauan Tuhan. Meminjam bahasa motivator, investasikan masa mudamu menyatukan hati dengan Tuhan, sudah terlalu banyak ekspektasi bodong karena kesalah-kaprahan anak muda akan porsinya.

Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya. 

Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.

Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini. 

Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya. 

Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya

1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang

Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 

Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian. 

Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. 

Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.

2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya

Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).

Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total. 

Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.

Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari. 

Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.

Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.

Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi. 

Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ikut Maunya Tuhan: Susah tapi Selalu Worth-It!

Oleh Cristal Tarigan, Nusa Tenggara Timur

Quarter Life Crisis, istilah ini gak asing banget di kalangan anak muda. Istilah yang merujuk pada kondisi emosional yang biasanya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun berupa kekhawatiran, keraguan, terhadap kemampuan diri dan kebingungan menentukan arah hidup. Jadi sering kali anak muda mencoba banyak hal, atau berusaha membuktikan sesuatu demi mengenali si jati diri tersebut. Aku juga merasa turut mengalaminya dalam masa-masa kehidupan yang kujalani. Belum lagi, rupanya saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masa depan atau pilihan hidup ini, banyak pihak selain pikiran kita yang juga turut menyumbang andil bagaimana kita akan mengambil keputusan. Salah satu yang terbesar di antaranya adalah keluarga.

Dealing dengan Keluarga Tentang Pilihan Hidup

Jika sesuatu yang jadi kesukaan dan harapan kita juga menjadi harapan orang tua, maka tidak terjadi masalah. Tapi faktanya seringkali tidak demikian. Di kisahku beberapa tahun lalu pun sama. Di tengah aku sedang bergumul mencari tujuan hidupku, dan sampai menemukannya, aku sadar pada akhirnya pilihanku dan orang tuaku berbeda soal masa depanku. Beberapa tahun aku menggumulkan apa, dan melalui wadah apa aku berkarya buat Tuhan. Jawabannya menjadi guru pedalaman. Saat pertama kali memberitahukan keinginanku ini, kedua orangtuaku sangat tidak setuju, apalagi bapakku. Ada segudang pertanyaan yang ditanyakan, beberapa di antaranya adalah nanti bisa jadi PNS tidak? Bagaimana jenjang kariernya? Sebenarnya terasa normal pertanyaan ini bagi kita orang Indonesia seperti orangtuaku. Tapi dalam kisah ini, aku mau berbagi soal bagaimana memahamkan sesuatu yang rasanya tidak bisa dipahami dengan mudah oleh orang tuaku saat itu tentang visi hidup, dan bagaimana akhirnya mereka menerima keputusanku tersebut dengan hati yang lapang.

Aku mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana kepada mamak-ku saat itu. “Mak, coba lah mamak bayangkan kalau pulpen dipakai motong sayur, pasti gak bisa kan mak, sekalipun bisa pasti gak maksimal.” Itu perumpamaan yang pernah aku sampaikan kepadanya, sampai akhirnya aku mencoba menjelaskan visi pribadi itu. Visi pribadi itu adalah peran kita secara pribadi untuk memuliakan Tuhan lewat hidup kita. Ini bukan sekedar punya pekerjaan saja, tapi memang ada sebuah hasrat yang sangat besar yang lahir dari hati untuk melakukannya. Bisa saja pekerjaan kita sama dengan visi pribadi kita, bisa juga pekerjaan kita dan visi pribadi kita bidangnya berbeda. Bukan berarti mengerjakan visi pribadi lebih rohani dari sekedar bekerja karena sesungguhnya seluruh kehidupan kita ini gak boleh kita kotak-kotakkan, semuanya adalah persembahan yang hidup. Mengerjakan visi pribadi ini berbicara tentang kemaksimalan kita dalam berkarya buat Tuhan jika kita menghidupinya. Akhirnya beberapa bulan sebelum keberangkatanku, orangtuaku bisa menerima keputusanku tersebut. Sepenuhnya penerimaan dan kelembutan hati mereka pada akhirnya pun kusadari bukan karena pekerjaanku, semua semata-mata hanya karena Roh Kudus yang hadir memberikan pengertian kepada mereka. Dari kisah ini aku sadar bahwa Tuhan akan selalu buka jalan dan kita punya bagian yaitu terus taat, sabar dan rendah hati. Taat untuk tetap mengikuti Dia dalam panggilan-Nya, sabar menantikan waktu-Nya bekerja dan rendah hati dalam menyampaikan sesuatu. Orangtua manapun pasti berharap anaknya sukses, tapi orangtua manapun lebih ingin kalau anaknya bahagia. Sekeras-kerasnya hati orangtua kita, jika kita berbicara dengan rendah hati, tidak menang sendiri dan tidak terkesan lebih pintar tentang pengalaman hidup ini, akan terluluhkan juga. Hal ini tidak hanya berlaku dalam panggilan, tapi dalam banyak aspek hidup kita. Amsal 15:33: “Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hormat dan kerendahan hati mendahului kehormatan.”

Menghidupi Panggilan Ditengah Banyaknya Tawaran yang Lebih Menggoda

Menemukan panggilan bukan akhir dari perjalanan mencari arah atau tujuan hidup yang lebih baik. Justru itu barulah awal dari perjalanan yang selanjutnya akan kita tempuh. Menghidupi panggilan dan sekaligus menikmatinya apalagi, ini hanya akan bisa dilakukan jika kita terus tunduk, taat dan terus dengar-dengaran dengan-Nya. Setidaknya hal ini yang masih terus aku alami sampai hari ini. Ada saja cara Iblis mengalihkan pikiranku kepada tawaran-tawaran yang bisa aku dapat lebih dari apa yang aku kerjakan sekarang. Singkatnya mungkin panggilan yang kita kerjakan gak membuat kita kaya, gak membuat kita merasakan kenyamanan seperti yang kita harapkan, gak membuat kita semakin terkenal dan justru membuat kita selalu kurang diperhitungkan di mata manusia, tapi panggilan selalu membawa kita keluar dari yang namanya zona nyaman baik secara iman maupun karakter. Hasilnya adalah kita akan menjadi semakin serupa kepada Kristus. 

Sejak menjadi guru pedalaman, masih sering sekali orangtua dan semua keluarga besarku menawarkan pekerjaan yang lebih baik menurut mereka, masih sering membicarakan tes CPNS, masih banyak teman-temanku yang menyinggung pencapaianku yang gak signifikan, tidak jelas jenjang kariernya. Bahkan bukan oranglain, kadang aku sendiri pun mempertanyakan Tuhan ke mana rancangan masa depan akan membawaku. 

Tapi mengapa aku masih terus berkomitmen? Tidak bisa kudeskripsikan semuanya.

Aku hanya merasa kasihku semakin besar, pekaku terhadap orang lain semakin mudah bertumbuh dibanding hidupku yang dulu. Senyum di wajah anak-anak yang kuajari, perasaan senang adanya guru yang mengajar mereka, itu cukup mengobati setiap perasaan yang ingin lebih muncul, setiap hati yang kadang terluka karena tekanan dari orang terdekat. Menurutku, jika benar itu panggilan, maka harusnya membuat kasih kita semakin lebar, kapasitas kita mengasihi semakin diperluas dan hati kita jadi semakin besar. Tolak ukurnya bukan pada apa yang dunia ini tawarkan. Saat saat sedang jatuh, caraku paling ampuh untuk kembali bangkit adalah mengingat bagaimana dulu aku memulainya bersama Tuhan, mengingat bagaimana cintaku mula-mula bertumbuh dalam panggilan ini, dan itu selalu cukup menjadi reminder untuk kembali berlutut dan merendahkan diri lagi dan lagi. 

Jadi buat kita yang lagi berjuang mencari panggilan hidup, semangat ya, terus berdoa, dan menggumulkan. Ingat tolak ukurnya adalah jawaban Tuhan bukan manusia. Buat yang sudah menemukan, bidang apapun itu, tetap semangat berproses. Mengerjakan panggilan Tuhan memang berat, karena ini bukan tentang mau-ku tapi mau-Mu. Matius 16:24: “Tuhan Yesus berkata “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Ayat ini menjadi sebuah pengingat bagi kita, sesungguhnya ikut mau-Nya gak pernah berbicara tentang kenyamanan, ikut mau-Nya berarti berbicara tentang harus melalui jalan yang sempit dan bukan jalan yang lebar. Tapi itu adalah harga yang layak dibayar, karena dengan apakah kita bisa membandingkan kemuliaan yang kelak kita terima?

2 Timotius 4:8: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

Sang Pemandu Jalan Tak Mungkin Membuat Kita Tersesat

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Road adalah sebuah lagu lawas yang dinyanyikan oleh grup penyanyi dari Korea Selatan bernama “god” (nama grup yang unik). Awalnya aku senang mendengar lagu ini karena melodi lagu yang mudah diingat dan enak untuk didengar. Namun, baru-baru ini ketika aku mencari arti dari lagu ini, aku tertegun karena ternyata liriknya seperti menunjukkan pergumulan yang mungkin dihadapi oleh sebagian orang saat ini (termasuk aku pun pernah mengalaminya). 

Salah satu liriknya mengatakan demikian: 

What am I really dreaming for, Who is this searching really for,
Will I be able to finally smile when I reach the goal.

Dulu ketika tiba waktunya bagi aku untuk memilih jurusan kuliah, lirik tersebut yang menggambarkan hatiku. Ketika itu aku kebingungan, kira-kira jurusan kuliah apa yang mau aku ambil, dan aku juga berpikir jika aku mengambil jurusan tertentu kira-kira aku bisa bahagia tidak ya menjalani perkuliahan dan pekerjaanku di masa depan nanti. Mungkin aku bisa bahagia, tetapi apakah aku akan menikmatinya?

Selama berada di masa itu, semua pilihan tidak ada yang membuat aku lega. Ada banyak universitas yang memberikan jaminan bahwa lulusannya akan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan atau setiap mahasiswa akan menikmati perkuliahan di tempat mereka. Namun, semua tawaran mereka tidak ada yang menarik minatku. Aku awalnya tidak tahu mengapa aku tidak merasa tertarik dengan hal yang sebenarnya dapat menarik minatku, siapa coba yang tidak mau mendapat jaminan sukses atau hidup nyaman dan bahagia? Tetapi entah mengapa hatiku tetap tidak tertarik.

Pertanyaanku ini akhirnya terjawab ketika aku sedang menggumulkan panggilan menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Iya, di tengah-tengah aku mempertanyakan tujuan hidupku, Tuhan mengarahkan aku untuk mengikuti sebuah camp remaja di mana melalui camp tersebut Tuhan menegurku bahwa selama ini perjalanan hidupku jauh dari jalan Tuhan dan tidak lagi berjalan mengikut Dia. Tidak hanya itu, Tuhan juga berbicara kepadaku dari Matius 4:19 TB “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” 

Di tengah-tengah kebingungan akan tujuan hidupku, Tuhan hadir untuk membukakan jalan bagiku. Tuhan mengingatkanku untuk memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan bukan dengan kehendak atau keinginan aku sendiri. Selama ini aku menjalani hidupku sesuai dengan kemauanku sendiri tanpa melihat apakah perbuatanku ini menyenangkan hati Tuhan atau sesuai dengan rencana-Nya. Pantas saja saat itu aku berada dalam kebingungan akan tujuan hidupku, karena masa depan yang aku inginkan tidak sesuai dengan rencana Tuhan dalam hidupku. Aku terlalu mengandalkan diriku di jalan yang sebenarnya hanya sang Pemandu jalan yaitu Tuhan saja yang mengetahui jalan hidupku yang terbaik.

Pada akhirnya, setelah bergumul dengan tujuan hidupku, aku memutuskan atau lebih tepatnya menyerahkan diri kepada Tuhan yang memberikan rencana jauh lebih indah daripada rencanaku terhadap tujuan hidupku. Hasilnya ternyata tidak pernah aku duga, yaitu muncul perasaan lega seakan sudah menemukan jalan keluar setelah berada di dalam sebuah maze yang rumit. 

Teman-teman mungkin sedang mengalami atau pernah mengalami apa yang aku rasakan, yaitu berada dalam kebingungan atau keraguan akan jalan hidup kalian. Mungkin akhir-akhir ini kalian berpikir “apakah pilihanku ini sudah benar ya? bagaimana seandainya kalau aku pilih yang lain seperti apa jalan hidupku?” atau “sebenarnya tujuan aku hidup apa sih? Kok rasanya semua hal yang aku coba gagal semua? Kok rasanya hati aku kosong?”

Teman-teman, mungkin saja keraguan atau kebingungan di jalan hidup yang kita saat ini adalah karena kita saat ini bukan berada di jalannya Tuhan. Kita bisa jadi sedang salah arah dan tersesat. Ketika kita menjalani hidup seperti yang kita inginkan mungkin saja jalan hidup kita terlihat lancar dan sukses namun kita tidak berjalan di jalan-Nya Tuhan sehingga tak jarang perasaan kekosongan atau kesepian kita rasakan karena tidak ada yang bisa memberikan kepuasan yang abadi.

Dalam Yohanes 14:6a (TB) Yesus berkata “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Yesuslah yang seharusnya menjadi Pemandu jalan hidup kita. Dia adalah Tuhan dan Juruselamat kita; Ia juga adalah Pencipta kita, Ia tahu apa yang terbaik untuk kita. Jadi, mari kita ikut rencana-Nya dalam hidup kita. Meskipun menurut kita rencana-Nya tidak seperti yang kita inginkan dan mungkin tidak menyenangkan bagi kita, tapi mari belajar untuk percaya bahwa Sang Pemandu jalan hidup kita tidak mungkin menyesatkan atau mencelakakan kita. Dia yang akan menuntun kita untuk tiba di tujuan yang kita nantikan, yaitu kehidupan kekal bersama dengan Dia di langit dan bumi yang baru. 

What am I really dreaming for, Who is this searching really for, Will I be able to finally smile when I reach the goal. 

Kiranya, dengan kita percayakan jalan hidup kita kepada Sang Pemandu jalan hidup kita, kita dapat yakin memiliki tujuan hidup yang benar dan tidak akan kita sesali. 

Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Cara Menyadari Blind Spot Dosa

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Tidak ada manusia atau pun tempat di dunia ini yang kebal terhadap dosa. Orang yang kita anggap teladan iman seperti pendeta atau pemimpin pun bisa saja jatuh dalam dosa seperti kesombongan, cinta uang, dan hawa nafsu. Menjadi seorang Kristen pun tidak menjamin seseorang tidak akan berbuat dosa lagi. Tetapi, fakta yang paling penting yang harus kita ketahui ialah: dosa yang paling mematikan adalah ketidaksadaran adanya dosa. 

Aku pernah mengalami momen ketika aku sendiri tidak menyadari dosaku. Aku adalah mahasiswa semester akhir yang terlibat juga dalam pelayanan mahasiswa Kristen (PMK) di kampus. Pada suatu kesempatan, kami para pengurus PMK sedang mempersiapkan pelayanan yang menargetkan mahasiswa baru. Kami melakukan rapat, pencarian dana, dan latihan untuk memastikan acara berjalan baik. Ada satu temanku di kepanitiaan itu, sebut saja namanya Mawar. Karena suatu kondisi tertentu dia kedapatan melakukan kesalahan dan berbohong. Sebagai teman yang bertanggung jawab, dan juga sebagai orang Kristen aku sadar bahwa aku harus mengingatkan dia. Jadi, di rapat selanjutnya aku pun menegur dia dan tampaknya dia sadar akan kesalahannya. 

Namun, setelah peristiwa itu dia menunjukkan respons yang tak terduga. Dia seakan tidak mau bicara denganku. Saat aku bicara dia menunjukkan bahasa tubuh yang seolah tidak senang dengan kehadiranku. “Udah ditegur baik-baik kok malah gini responsnya,” dalam hatiku merasa jengkel. Karena aku menganggap diriku benar dalam masalah ini maka kuputuskan untuk membenci dan tidak bicara lagi jika bertemu dengannya.

Hari lewat hari, dalam refleksi pribadi yang kulakukan aku merasa sikapku itu janggal. Aku sadar bahwa aku pun berdosa dan tindakanku ini sering kulakukan tanpa sadar. Hatiku telah berdosa dengan membiarkan rasa jengkel menjalar menjadi benci. Aku mengaku dosa dan memohon Tuhan memperbaharui hatiku. 

Ceritaku ini menegaskan bahwa dalam upaya kita memperjuangkan kebenaran  sekalipun tidak membuat seseorang luput dari melakukan dosa. Tidak ada manusia yang kebal dari dosa. Setiap orang memiliki blind spot-nya masing-masing. 

Bagaimana kita mau bertobat sedangkan kita tidak sadar bahwa kita telah berbuat dosa? Ada 3 cara yang pernah kulakukan untuk menyadari blind spot atau dosa yang ada dalam diri kita.

1. Cari tahu kehendak-Nya dari firman-Nya

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16). 

Dengan mempelajari firman maka kita bisa makin mengetahui mana yang kehendak Allah dan mana yang bukan. Mempelajari firman bisa dilakukan dengan menggunakan materi-materi pendamping seperti artikel-artikel renungan atau mendengar podcast dari lembaga atau pribadi yang kredibel.

2. Latihlah diri untuk terbiasa berefleksi

Aku melatih kebiasaan ini dengan menyediakan waktu sekitar dua hingga empat jam tanpa distraksi apa pun. Aku pribadi menyebutnya sebagai momen AWG alias Alone with God.

Dalam masa-masa perenungan itu aku mengajukan pertanyaan buat diriku sendiri. Misalnya: “Apa setiap perkataan dan perbuatanku sudah mencerminkan Kristus?” Atau, setiap kali aku akan melakukan sesuatu aku akan bertanya, “Apakah ini yang Tuhan ingin untuk aku lakukan?”

3. Dengarkan pendapat dari teman

Manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri-sendiri, tetapi berinteraksi untuk saling membentuk dan menumbuhkan. Karena aku tergabung dalam KTB, di situlah aku mendapat tempat bertumbuh, belajar, dan saling terbuka atas kekurangan dan kelebihan masing-masing anggota. 

Mendengarkan masukan dari teman memberi kita kesempatan untuk melihat diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain. 

Pertobatan adalah perjalanan seumur hidup seorang Kristen, dan dalam pertobatan kita menerima anugerah yaitu pengampunan dari Allah.  Kita akan terus diperhadapkan dengan dosa dan mati-matian berjuang untuk tidak berdosa. Roh Kudus akan menolong kita supaya kita peka terhadap dosa.

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Disiplin Rohani dalam Menjalani Kehidupan Kristiani

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Dulu, ketika aku aktif berolahraga di gym, ada tiga latihan dasar yang wajib dilakukan untuk membentuk masa otot, yaitu squat, deadlift, dan bench press. Walaupun sekarang aku sudah tidak lagi aktif berolahraga di gym, aku masih cukup sering melakukan tiga latihan dasar tersebut, tapi untuk latihan dada (bench press), aku hanya melakukan push up di lantai. Jadi, untuk mencapai tubuh yang ideal, ada latihan atau disiplin yang wajib kita lakukan, setidaknya tiga latihan dasar tersebut. Aku pikir hal yang sama berlaku untuk kehidupan rohani atau kehidupan Kristiani kita.

Kehidupan Kristiani kita dimulai ketika Roh Kudus memberi kita iman sehingga kita percaya kepada Yesus (Roma 10:9-10; Efesus 1:13), lahir baru, dan dibenarkan oleh iman kita kepada Yesus (Roma 3:23-24). Tetapi keselamatan, juga kehidupan Kristiani kita tidak pernah berhenti hanya pada fase dibenarkan (justification) di hadapan Allah, karena ada fase lain, yaitu pengudusan (sanctification), di mana kita dan Allah Roh Kudus bekerja secara sinergis untuk mencapai keserupaan kita dengan Kristus (Roma 8:29; 2 Korintus 3:18). Paulus menyebut fase ini dengan satu kalimat perintah, yaitu “kerjakan keselamatanmu” (work out your salvation, bukan work for your salvation) (Filipi 2:12-13).

Dalam artikel ini, aku ingin membagikan secara umum tiga disiplin rohani yang bisa kita lakukan bersama dalam menjalani kehidupan Kristen kita. Tiga disiplin ini saling berkaitan satu sama lain dan memiliki berbagai metode atau cara disiplin yang saling tumpang tindih dan tidak dapat habis jika dituliskan di sini. Oleh karena itu, kalian bisa menyesuaikan dan membuat cara disiplin rohani sesuai keadaan atau tingkat rohanimu masing-masing dengan memperhatikan tiga disiplin rohani umum ini.

Pertama, disiplin akal budi.

Kita perlu mengawasi konten-konten yang kita baca dan dengar sehari-hari, sebab apa yang kita baca dan dengar bisa membentuk atau mempengaruhi akal budi kita. Akal budi kita perlu untuk didisiplinkan atau diperbaharui (Roma 12:2) dengan cara membaca atau mendengarkan firman Tuhan, baik membaca Alkitab dan mendengarkan khotbah di gereja. Selain itu, ada banyak buku atau artikel yang baik, seperti memberitahu kepada kita tentang siapa itu Tuhan dan karya-karya-Nya bagi kita. Salah satu platform-nya adalah artikel-artikel yang dimuat di WarungSaTeKaMu.

Inti dari disiplin akal budi adalah kita perlu mengisi akal budi kita dengan pengetahuan yang benar tentang siapa itu Tuhan dan siapa kita, serta apa yang harus kita lakukan bagi Tuhan dan sesama.

Kedua, disiplin hati.

Amsal 4:23 mencatat, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Hati manusia ibarat seperti suatu ruangan, sebut saja ia adalah kamar tidur kita. Kamar tidur kita akan bau dan berantakan jika sampah-sampah di dalamnya tidak pernah kita buang dan tidak pernah kita bersihkan. Demikian juga dengan hati kita. Kita perlu membuang kebiasaan-kebiasaan yang kotor, sekaligus merawat dan mempercantik hati kita dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, sebab orientasi atau hasrat dari hati kita terbentuk melalui kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Oleh karena itu, kebiasaan kita adalah liturgi sehari-hari yang membentuk hati, sekaligus siapa kita.

Apa yang biasa kita lakukan setiap pagi setelah bangun tidur? Apa yang biasa kita lakukan setiap malam sebelum tidur?  Apa yang biasa kita lihat dalam media sosial kita?

Kebiasaan-kebiasaan inilah yang membentuk hati kita. Karena itu, cara mendisiplinkan hati kita adalah dengan membangun kebiasaan baru yang menambah iman kita kepada Tuhan, misalnya dengan membaca Alkitab, menghadiri kebaktian mingguan, dan bersekutu dengan sesama orang percaya. Selain itu, membangun kebiasaan baru yang menambah kepedulian kita terhadap sesama, seperti terlibat dalam pelayanan gereja, menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan adil, dan melakukan aksi-aksi filantropis seperti memberikan pertolongan kepada orang miskin, janda, dan anak yatim piatu.

Inti dari disiplin hati adalah menghilangkan kebiasaan yang buruk dengan membangun kebiasaan yang baik sesuai firman Tuhan untuk mendisiplin hati kita.

Ketiga, disiplin tubuh.

Kekristenan tidak anti dengan tubuh, seperti dalam filsafat gnostisisme dan platonisme. Karena Allah menciptakan kita sebagai makhluk yang bertubuh. Kristus bangkit dengan tubuh kebangkitan-Nya. Bahkan, kita yang di dalam Kristus akan menerima tubuh kemuliaan suatu hari kelak (1 Korintus 15:51-52).

Karena kita adalah makhluk yang bertubuh, maka apa pun yang kita lakukan dengan tubuh kita mempengaruhi kerohanian kita, dan juga sebaliknya. Oleh karena itu, cara-cara disiplin tubuh seperti berpuasa, berkontemplasi sambil merenungkan firman Tuhan di taman atau pinggir sungai, berdoa sambil berlutut, memuji Tuhan dengan bernyanyi dan menari dapat menjadi bentuk kita untuk mencintai Tuhan, sekaligus mengarahkan diri kita seutuhnya dalam berelasi dan menaati Dia.

Sebagai seorang yang berlatar belakang Protestan-Reformed, aku tidak anti dengan cara berdoa sambil berlutut dan menyanyikan lagu-lagu pujian kontemporer sambil menari di gereja, asalkan semua disiplin rohani itu dilakukan dalam relasi yang benar dengan Tuhan.

Inti dari disiplin tubuh adalah dengan melibatkan seluruh anggota tubuh kita mengekspresikan kasih dan relasi kita dengan Tuhan.

Dengan membagikan tiga disiplin rohani secara umum di atas, aku berharap dapat menolong kita untuk semakin mengasihi Tuhan dan menjadi semakin serupa dengan Kristus, baik dalam hal karakter dan perilaku kita sehari-hari. Kiranya kuasa Roh Kudus memampukan kita untuk mempraktikkan disiplin-disiplin rohani tersebut. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jangan Nunggu Ketahuan Dulu Baru Bertobat

Oleh Jovita Hutanto

Aku masih ingat jelas guyonan saat SMA dulu. Ketika ada teman yang ulang tahun, salah satu ucapan yang diberikan begini, “Happy birthday yaaa! Bertobatlah sebab kerajaan surga sudah dekat!” Atau, kalau si teman yang paling suka buat onar ketahuan dan dihukum, mereka akan berseru, “Ampun pak! Tobat deh, tobat saya.”

“Tobat”, kata ini jadi menarik buatku. Aku pikir-pikir lagi, apa yang ada di benakku dan teman-teman dulu ketika bicara soal “tobat” ya? Kudapati kalau pada masa itu ungkapan dan niatan tobat baru muncul ketika suatu dosa atau kesalahan terbongkar. Sederhananya, pertobatan itu lebih seperti ketahuan daripada pengakuan. Kok ketahuan dulu baru ngaku? Jadi, ini sungguh-sungguh bertobat atau situasi yang memaksa kita bertobat karena ketahuan? Kalau gak ketahuan, gak bertobat dong?

Untuk menjawabnya, aku mau mengajak kita semua untuk mengulik lebih dalam tentang perobatan. Ada dua tipe cerita pertobatan manusia. Ada yang sadar sendiri bahwa dia harus berubah, namun ada juga yang harus “ditampar” dulu baru sadar. Kalau bisa sadar sendiri, ibaratnya “surat peringatan” (SP) pertama dari Roh Kudus cukup berhasil. Tapi kalau sudah pakai cara kedua, biasanya teguran tidak diindahkan sampai-sampai harus “ditampar”. Namun, tamparan ini bukanlah itikad jahat untuk menghancurkan kita, melainkan adalah konsekuensi dari perbuatan dosa kita. Uniknya manusia, sekalipun mereka merasa diri baik-baik saja dan merasa tidak perlu bertobat, tetapi kita semua tahu bahwa dalam diri kita menyimpan keburukan. Pertanyaannya, apakah kita menyimpan begitu saja keburukan itu? Atau, punyakah kita niat untuk berubah?

Kalau kita mengaku diri Kristen, seharusnya kita mempunyai kerinduan untuk menjadi manusia yang semakin hari semakin serupa dengan Kristus.

Katekismus Westminster sudah merangkum arti dari “‘bertobat menempuh hidup baru,” yang bunyinya:

“Bertobat menempuh kehidupan baru adalah anugerah yang menyelamatkan (1) yang membuat seorang berdosa sungguh-sungguh menyadari dosanya, dan memahami rahmat Allah di dalam Kristus (2), sehingga ia menyesali dan membenci dosanya, serta berbalik dari dosa itu kepada Allah (3), dengan maksud mencapai dan mengejar ketaatan yang baru (4).”

Ada 4 poin penting yang disampaikan dalam arti pertobatan kekristenan. Pertama-tama, patut kita ketahui bahwa proses pertobatan dari awal sampai keberhasilannya itu murni anugerah Allah (Kisah Para Rasul 11:18). Manusia tidak dapat mengambil inisiatif dengan sendirinya untuk bertobat. Lalu poin kedua menjawab apa yang menjadi indikator manusia memulai proses pertobatannya, yaitu kesadaran akan dosanya (Mazmur 51:1-4). Kesadaran itu ternyata tidak dimiliki semua orang. Kesadaran hanya dimiliki oleh segelintir orang yang dibukakan mata hatinya.

Aku ingin menekankan bahwa ‘tahu’ dan ‘sadar’ itu berbeda. Orang yang tahu belum tentu sadar. Kesadaran melibatkan pengertian akan apa yang benar dan yang salah, dan mengerti kemana arah langkah kebenaran. Maka, di poin ketiga dinyatakan bahwa ciri-ciri manusia yang sadar, yakni pikirannya dibukakan pada keburukan dan dosa-dosanya; dan dengan kesadaran tersebut, timbullah keinginan untuk berbalik pada Allah—pada jalan yang benar (Yeremia 31:18-20). Poin keempat menjelaskan bahwa titik awal pertobatan manusia kelihatan dari orientasi hidupnya yang berubah, yaitu tertuju pada ketaatan pada Kristus secara perilaku dan pikiran (Matius 3:8). Dalam arti lain, tolak ukur keberhasilan pertobatan tidak dari kesempurnaan perilaku dan cara pikir kita (walau intensi dan arahnya harus pada kesempurnaan), namun dari orientasi dan fokus hidup kita yang berubah menuju pada kebenaran. Boleh disimpulkan bahwa pertobatan itu melibatkan dua unsur penting, unsur anugerah dan unsur kesadaran.

Teman-teman boleh tarik dan hela nafas dulu untuk kembali mencerna 4 poin di atas supaya tidak bingung. Hehehe..

Walau pertobatan sifatnya emergency dan harus segera dicanangkan dalam pikiran kita, jangan khawatir karena penerapan ‘kehidupan yang baru’ tidak harus terjadi dalam satu malam.

“Keluarkan olehmu buah-buah yang berpadan dengan tobat. Tunjukkanlah dengan perbuatanmu bahwa kamu sudah bertobat dari dosa-dosamu.” (Matius 3:8). Setelah adanya kesadaran secara internal atau secara mindset (cara pikir), berikutnya kita pikirkan strategi untuk mengubah yang eksternal, yaitu kebiasaan buruk kita.

Nah… Langkah seperti apa yang harus kita ambil untuk membangun kebiasaan yang baik?

Menurut pengalamanku, penerapan reward and punishment tergolong cukup efektif. Pertama-tama, kita list dahulu kebiasaan buruk yang ingin kita ubah. Lalu di sebelah kanan list tersebut, tuliskan goal atau kebiasaan baik yang ingin kita capai, contohnya: malas berolahraga → rajin berolahraga 2 kali seminggu. Pastikan kalian mencantumkan goal kalian lebih spesifik ya, supaya lebih ada gambaran dalam penerapannya dan kelihatan tolak ukur keberhasilannya. 

Lalu, di kolom ketiga, kalian tuliskan reward atau penghargaan yang kalian ingin berikan pada diri kalian jika kalian berhasil melaksanakannya. Tidak perlu ribet-ribet memikirkan reward ini, karena kita pasti memiliki hobi/kesenangan yang sering kita lakukan, seperti nonton drama, pergi bersama teman, dll. Jadikan hobi keseharian kita sebagai hadiah jika kita berhasil melaksanakan kebiasaan baru. Sebaliknya, jika gagal, maka kita tidak boleh menikmati hobi tersebut. Kuncinya kita harus komit untuk menjalankan reward and punishment yang sudah kita buat. Tiga bulan pertama mungkin akan terasa berat. Jangan kasih kendor, guys! Kalau menurut penelitian psikologi, manusia perlu melakukan kebiasaan barunya selama 90 hari tanpa putus untuk menjadikan habit tersebut sebuah lifestyle (gaya hidup).

Reward and punishment ini cukup membantu dalam hal pembentukan moralitas atau perilaku. Namun, akan lebih rumit diterapkan untuk dosa batiniah atau dosa pikiran, seperti kedengkian dan iri hati. Dosa yang tidak kelihatan ini memerlukan skill penguasaan diri yang baik. Aku harus berterus terang kalau mengendalikan pikiran kita sendiri itu tidak mudah karena seringkali pikiran jahat itu merasuki secara perlahan, tau-taunya sudah menjamur saja dalam otak dan karakter kita. Kalau untuk kasus yang seperti ini, aku biasanya banyak mendengarkan podcast-podcast yang tema nya sesuai dengan pergumulanku. Sudah banyak toh di Youtube podcast dan seminar dari para ilmuwan teologi. Jadi selagi pikiran yang jahat menggoda, podcast dari mbah Youtube juga ikut menegur. Dengan memperkaya pengetahuan yang benar, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menaklukkan pikiran jahat kita. Karena satu-satunya yang dapat mengurungkan niat berdosa kita ya hanya pengetahuan akan kebenaran itu sendiri. Ada pepatah mengatakan “the truth sets me free.” Kebenaran itu membebaskan. Selain itu, keniatan hati untuk menjadi lebih baik juga penting, karena di mana ada niat, di situ ada jalan.

Jujur, aku juga suka sih kena “sentil-sentilan” yang cukup membangunkan. Namun, sebagai orang yang percaya, aku rasa sudah seharusnya kita tidak menunggu sampai ketahuan atau di “tampar” terlebih dahulu baru mau bertobat dan menempuh hidup baru.