Ketika Berbakti Terasa Membebani, Cobalah Ganti Perspektifmu

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Kamu mungkin pernah mendengar lagu berjudul “Keluarga Cemara” yang liriknya berbunyi, “Harta yang paling berharga adalah keluarga…”. Lirik selanjutnya merupakan ungkapan terima kasih anak-anak kepada kedua orang tuanya, demikian, “Terima kasih Emak, terima kasih Abah, untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti.”

Sinetron Keluarga Cemara sangat familiar bagi generasi 90-an dan belum lama ini juga sempat diputar versi reborn-nya di bioskop. Keluarga Cemara diminati karena menggambarkan kondisi ideal sebuah keluarga—seorang ayah dan ibu yang berjuang demi anak-anaknya, sementara anak-anaknya siap berbakti kepada orang tuanya. Indah, bukan?

Sayangnya, realita tidak selalu berkata demikian.

Bagi orang tua, tentu sangat wajar untuk membanting tulang, bahkan berkorban demi memperoleh kehidupan yang layak bagi keluarga dan anak-anaknya. Orang tua ingin anak-anaknya hidup aman dan nyaman. Mereka mempersiapkan asuransi yang cukup untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan rumah untuk tempat tinggal masa depan! Mereka mencari segala cara justru agar anak-anaknya tidak perlu “menderita” seperti mereka.

Sementara itu, bagi anak-anak, bagian kita adalah berbakti kepada orang tua. Ulangan 5:16 jelas memerintahkan, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…” Dalam KBBI, kata “hormat” sama dengan “berbakti” yang juga berarti “mengabdi, berdedikasi, dan tunduk”. Inilah bagian yang seharusnya dilakukan anak kepada orang tuanya. Namun, adakah di antara kita yang terkesan bahwa berbakti itu tak ubahnya sebuah kewajiban atau tuntunan dari orang tua kepada anak-anaknya? Bila mengingat besarnya jerih lelah mereka, tidak aneh bukan jika orang tua berharap di masa tuanya nanti ada anak-anak yang akan membalas budi dengan memelihara hidup mereka?

Namun nyatanya, berbakti pada orang tua tidak semudah diucapkan. Ketika kita semakin dewasa, semakin tua dan renta pula orang tua kita. Di satu sisi, kita harus berjuang untuk hidup mapan mempersiapkan masa depan kita sendiri, tapi di sisi lain kita merasa masih harus “dibebani” untuk mengurus orang tua kita. Tak heran, muncul istilah generasi sandwich. Generasi yang harus tangguh karena berada di antara dua lapis generasi—beban untuk menyejahterakan orang tua, sekaligus tugas untuk membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil (bila sudah berkeluarga).

Jonathan Edwards, seorang teolog besar asal Amerika, pernah menyatakan betapa pentingnya keluarga yang mewakilkan gereja di muka bumi ini. Setiap keluarga Kristen seharusnya menjadi seperti sebuah gereja kecil yang dikuduskan bagi Kristus dan sepenuhnya dipengaruhi serta dikendalikan oleh ketetapan-ketetapan Allah. Selain itu, di dalam keluargalah kita seharusnya mengalami kasih karunia Allah yang nyata. Pernyataan ini sebenarnya sangat mencerahkan, mengapa? Karena keluarga yang ideal ternyata bukan ditentukan dari apa yang terlihat di luarnya saja, tetapi bagaimana karakter-karakter Kristus dan kasih karunia Allah itu nyata di dalamnya.

Oleh karena itu, keluarga Kristen seharusnya dibangun bukan hanya untuk mengusahakan kenyamanan hidup, tetapi lebih daripada itu, melatihkan karakter-karakter Kristen bagi setiap anggotanya. Karakter-karakter Kristus yang dapat dilatih sejak kecil itu termasuk menghormati orang tua, memberi perhatian penuh, menaati otoritas, setia, tekun, dst., serta mendemontrasikan pengampunan dan memberikan kasih karunia kepada anggota keluarga yang berbuat salah. Tidak ada keluarga yang sempurna, bukan? Sebab, dari keluarga-keluarga Kristenlah, ada pemulihan di tengah dunia yang berdosa ini.

Mari kembali ke Ulangan 5:16. Ternyata, ayat ini tidak berhenti pada perintah, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu…”. Hanya hukum ke-5 dalam Kesepulah Perintah Allah yang mengandung janji Allah, yaitu “supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” Jadi, perintah Allah untuk menghormati orang tua juga menjadi cara Allah untuk menggenapi janji kehidupan yang kekal bagi setiap anak-Nya. Perintah untuk menghormati orang tua merupakan perintah yang serius dan perlu diperhatikan karena Allah akan memberkati setiap kita yang menaati perintah-Nya ini. Walaupun demikian, menghormati orang tua mungkin menjadi hal yang lebih sulit terutama bagi kita yang justru mengalami kepahitan di dalam keluarga kita sendiri. Kita terluka karena ayah kita tidak hadir dalam kehidupan kita; kita terluka karena perselingkuhan orang tua kita sendiri; kita terluka karena harus mengalami pelecehan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga kita sendiri. Jangankan dilatih untuk memiliki karakter Kristen, tidak jarang di antara kita bahkan tidak mengalami kasih karunia atau unconditonal love itu walaupun ada di tengah-tengah keluarga Kristen.

Saudaraku, kita mungkin memiliki seribu alasan untuk menjadikan bakti kita kepada orang tua sebagai sebuah beban. Namun, percayalah, sekecil apa pun upaya kita untuk berbakti kepada orang tua kita, itulah wujud kasih nyata yang juga akan kita teladankan kepada generasi penerus kita.

Kelak, anak-anak kita pun akan berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai pengabdian yang tulus, karena, pertama-tama kasih mereka kepada Allah, dan kemudian kepada sesama manusia (Matius 22:37-40).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Just Trust Him, You’ll be Fine

Oleh Afriliana Hadja Weo, Kupang

Judul artikel ini sama seperti penggalan lirik lagu yang dinyanyikan oleh salah satu aktor dan musisi asal Amerika Serikat, Joe Keery, dalam lagunya yang berjudul “End of Beginning” yakni just trust me, you’ll be fine. Yang akan aku soroti bukan mengenai makna dari lagu tersebut, tetapi makna dari penggalan lirik pada lagu tersebut. Just Trust Me, You’ll be Fine, mungkin ini juga yang selalu diungkapkan oleh Tuhan pada kita. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sering mengabaikan ini.

Beberapa minggu yang lalu, aku mengalami masalah yang cukup berat, dan sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan sebuah masalah. Tapi, yang kali ini benar-benar berat dan membuatku stres selama sekitar dua minggu. Aku overthinking, susah tidur, menangis-nangis setiap malam tanpa diketahui semua orang… dan aku selalu khawatir akan semua kemungkinan yang akan terjadi dari masalah tersebut.

Sampai pada akhirnya, aku sadar kalau aku lupa untuk berdoa. Sudah hampir dua minggu aku terlalu berfokus dan terpuruk dengan keadaan, sampai membuat aku stres sendiri. Saat itu, kuputuskan untuk menghubungi salah satu teman pelayananku dari SMA, Maya namanya. Aku memintanya untuk berdoa bersamaku lewat telepon. Namun, saat itu aku malu dengan Tuhan. Dalam hati aku berpikir: aku sudah lama tidak berkomunikasi intim dengan Tuhan, lalu ketika ada masalah, aku datang untuk meminta bantuan? Aku terlalu munafik. Maya menanggapiku, katanya, “Kalau belum siap, tenangin diri dulu. Kalau sudah tenang baru kita doa.” Jadi, aku memutuskan untuk menunda dulu sesi berdoa bersamanya dan mencoba untuk tenangkan diri. Namun, ternyata aku lupa lagi sampai pada minggu berikutnya.

Karena merasa sudah tidak mampu, akhirnya aku kembali meminta Maya untuk berdoa bersama. Maya memulai dengan penyembahan. Keadaanku saat itu sedang menangis, tapi aku berusaha untuk ikut menyembah. Posisi kamar asrama saat itu ribut, sedangkan aku berada di sisi paling pojok dan sembunyi-sembunyi karena aku tidak ingin semua orang di kamar tahu aku sedang menangis. Kuceritakan semuanya pada Tuhan. Tidak ada yang aku tutupi dan tidak ada satu pun cerita yang aku lewatkan. Setelah doa, kami sempat berdiskusi tentang apa yang ingin Tuhan sampaikan. Kata Maya, “Tuhan mau dengar kamu, tapi aku tidak tahu maksud-Nya secara spesifik apa. Entah Dia mau dengar suara kamu, pengakuan kamu, atau permintaan kamu.”  Aku juga bingung dan masih belum paham soal ini. Singkat cerita, kami lanjut berdiskusi dan saling sharing, tapi aku belum juga paham. Pada akhir dari diskusi kami, aku berkata, “Aku akan berusaha mencari tahu maksud Tuhan.”

Dua hari pun berlalu. Jumat malam adalah jadwal ibadah wajib dari asrama kampus. Sebenarnnya aku tidak terlalu memperhatikan tema ibadah malam itu. Aku mengira mereka akan membahas sesuatu mengenai musik lagi, seperti minggu kemarin. Tetapi, setelah masuk ke dalam khotbah, aku baru sadar bahwa tema yang diberikan oleh asrama malam itu cukup spesial: “Embracing Jesus Invitation to True Rest”, yang menyatakan bahwa Tuhan itu tempat peristirahatan sejati. Pembicara malam itu adalah salah satu dorm parent di asrama fakultas kami. Beliau mengatakan, “Kristus adalah damai bagi kita, Ia memberikan perhentian yang sejati itu.” Aku mulai berpikir akan maksud Tuhan dari doa dua hari kemarin. Sambil mendengarkan beliau berkhotbah, aku berpikir apakah ada yang salah. Dan, sampailah pada satu titik di mana beliau mulai menguraikan inti khotbahnya.

“Apakah kita digerogoti oleh kesibukan kita, kehidupan kita, dan harapan yang sia-sia, hingga akhirnya kita merasa lelah secara fisik dan mental? Pada saat itulah harusnya kita sadar bahwa hanya Yesus yang memiliki perhentian yang sejati itu. Dia mengundang kita untuk hadir dalam hadiratnya.”

Dalam Matius 11:28-30, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”

Ada 3 undangan yang Yesus berikan lewat ayat ini:

  1. Datang kepada-Nya
  2. Mengenakan kuk yang disediakan-Nya
  3. Mengikut Dia

Setelah aku mendengar uraian khotbah ini, aku tersadar dan mulai paham akan maksud Tuhan. Ternyata, kemarin aku salah. Aku terlalu khawatir akan setiap masalah yang aku hadapi hingga kekhawatiran itu melebihi imanku sendiri. Aku ragu akan Tuhan. Aku lupa untuk berserah dan mengomunikasikan masalah ini dengan Dia. Aku terlalu berfokus pada masalahku dan lupa bahwa aku punya Tuhan yang lebih besar daripada masalah yang aku hadapi.

Aku menceritakan ini pada Maya dan dia berkata, “Kamu memilih keputusan yang bijak untuk berdoa. Ingat bahwa Tuhan selalu menolong kamu tepat waktu. Dia sudah menunjukkan itu sejak dahulu, dan semoga dari peristiwa iman yang kamu hadapi ini kamu dapat hal berharga yang bisa kamu pelajari. Dan, ingatlah bahwa Dia selalu ada di sampingmu dan tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Aku senyum-senyum sendiri dan kagum dengan apa yang terjadi. Ternyata Tuhan ingin aku datang pada-Nya dan berserah kepada Dia, karena Dia ingin aku tahu bahwa hanya Dia yang dapat memberikan kelegaan itu, hanya Dia tempat peristirahatan yang sejati. Dengan berserah kepada-Nya, maka kita akan mendapatkan ketenangan, dan masalah yang kita hadapi pun akan menjadi mudah untuk dilewati, walaupun masalah itu tidak hilang.

“Just Trust Him, You’ll be Fine”, hanya Dia yang dapat memberikan rasa tenang dan kelegaan, karena hanya Dia peristirahatan yang sejati itu. Just trust Him, everything will be fine. Cukup kamu percaya kepada-Nya, menerima undangan-Nya untuk masuk ke dalam hadirat-Nya, ceritakan semuanya kepada Dia lewat Doa, dan berserah pada-Nya, maka kamu akan menjadi pemenang atas setiap permasalahanmu. Semua masalahmu akan selesai, dan semua kekuatiranmu akan hilang, karena kamu punya Tuhan yang lebih besar dari semua masalah yang kamu hadapi. Semoga terberkati!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hormat dan Bakti Kepada Orang Tua: Sampai Kapan?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Setelah menamatkan sekolah menengah, lanjut ke pendidikan tinggi, pilihan jurusannya pun harus memiliki prospek kerja yang bergaji besar. Istilah lainnya, pekerjaan yang mencari kita, bukan sebaliknya. Lulus kuliah, bekerja, menabung sebanyak-banyaknya, bisa beli ini-itu. Pokoknya, usia 30-an sudah financial freedom.

Kira-kira mungkin begitulah yang kita impikan beberapa tahun yang lalu ketika masih di bangku sekolah menengah—usia di mana kita belum bertemu realita kehidupan dan pekerjaan; usia di mana kita merasa masa depan seluruhnya ada dalam kendali kita. Aku yakin, sebagian besar di antara kita yang saat ini sudah bekerja pasti berhadapan dengan kenyataan yang meleset jauh dari apa yang kita impikan itu. Sebab, kita lupa memasukkan dalam sistem perencanaan kita di masa lalu, bahwa di balik usia kita yang semakin menanjak, ada orang tua yang memasuki usia yang tidak dapat lagi bekerja atau berusia lanjut. Mungkin juga bagi sebagian orang, di kesempatan yang sama, sudah menikah dan memiliki anak yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian lebih. 

Realita ini memperhadapkan kita pada tuntutan yang tidak sedikit, cukup mengikat, sehingga kita tidak bisa lari dari tanggung jawab tersebut. Generasi sandwich, begitulah generasi tersebut dinamai. Generasi yang menghidupi orang tuanya, dirinya sendiri, dan anaknya. Namun, tak jarang di tengah situasi dilematis ini, kita perlahan-lahan mengabaikan panggilan kita sebagai anak karena kita berpikir bahwa orang tua kita pasti memahami kondisi kita, dan dapat menerima serta memakluminya. Apakah benar demikian? Di sisi lain, mungkin ada yang lebih memilih untuk berfokus merawat orang tuanya, sehingga panggilannya sebagai orang tua untuk anak-anaknya menjadi terbengkalai. 

Apa yang seharusnya kita lakukan di dalam kondisi “terjepit” ini?

Tanggung jawab kepada orang tua adalah sebuah panggilan, bukan beban

Tentu tak asing bagi kita, perintah untuk berbakti kepada orang tua mendapat tempat di dalam 10 Hukum Taurat. Perintah kelima berkata, Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” (Keluaran 20:12).

Tuhan Yesus pernah menegaskan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya (Matius 7:17-18). Artinya, Tuhan Yesus pun menaati perintah ini. Tuhan Yesus adalah teladan kita untuk memelihara kewajiban kepada orang tua. Dalam sebuah kesempatan lain, Tuhan Yesus juga pernah memberi kecaman ketika berhadapan dengan orang Farisi dan ahli Taurat, Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korbanyaitu persembahan kepada Allahmaka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya.(Markus 7:11-12).

Kita disadarkan bahwa tanggung jawab kepada orang tua adalah kewajiban, baik dalam hal dukungan secara finansial, dukungan dalam aspek kesehatan fisik dan emosi, pun dalam hal kehadiran kita saat mereka membutuhkan terlebih ketika mereka sudah berusia lanjut. Tentu saja, dukungan di atas tidak selalu dapat sekaligus kita kerjakan. Kita perlu peka dukungan seperti apa yang dibutuhkan oleh orang tua kita. Kewajiban itu… bukan pilihan ya atau tidak, bukan pilihan mau atau tidak mau, juga bukan pilihan sanggup atau tidak sanggup; tidak pula tergantung pada situasi dan kondisi, melainkan sebuah panggilan bahkan ketika sudah menikah. Kita juga perlu memahami panggilan akan kewajiban kita kepada orang tua kita tidak untuk memberhalakan mereka sampai tanggung jawab kita dengan pasangan dan anak terabaikan. Karena bagaimana pun ketika sudah menikah, keluarga inti kita adalah pasangan dan anak-anak kita. Dalam hal ini kita perlu meminta kebijaksanaan dari Tuhan untuk memampukan kita memenuhi panggilan tersebut.

Masa Lalu Bukanlah sebuah Tolok Ukur

Adalah sesuatu yang fatal dan gagalnya kita menjadi orang Kristen jika kita mendasarkan kadar kewajiban kita kepada orang tua saat ini pada apa dan bagaimana kita diasuh di masa lalu. Pada apa yang sudah dan tidak kita terima di masa lalu. Tentu saja tak ada orang tua yang sempurna. Orang tua kita pun adalah orang berdosa yang kepadanya kita tidak dapat menuntut banyak. Orang tua kita di masa lalu pasti memiliki keresahan tersendiri yang tak dapat kita pahami kala itu, atau mungkin pula tidak memiliki ruang atau komunitas yang sehat untuk saling berbagi dan mendoakan.  Namun, di balik semua masa lalu yang mungkin tidak baik itu, kita perlu melihat karunia Allah di tengah itu semua. Allah memilih mereka untuk menjadi orang tua kita dalam mengasuh, mendidik, dan menempa kita untuk membentuk kita menjadi manusia dewasa yang bertumbuh dalam iman.

Anugerah di balik Kehadiran Keluarga

Orang tua kita dan anak-anak yang sudah/akan diberikan Tuhan adalah orang-orang yang Tuhan hadirkan di hidup kita sebagai keluarga. Kita tidak bisa memilih lahir di keluarga seperti apa. Allah menghadirkan mereka untuk tujuan tertentu yang mungkin saat ini belum terlihat jelas dan masih samar-samar. Namun, kita perlu percaya di dalam tangan kedaulatan-Nya, selalu ada berkat terselubung yang bisa kita saksikan atau kita terima. Kita bisa melihat satu contoh dalam Alkitab, yaitu tentang Timotius yang Paulus tulis dalam suratnya, Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1: 5). Tentang hal ini juga bisa dibaca di artikel yang tayang beberapa waktu yang lalu (Nenek Lois di Belakang Layar). Paulus menyebut nenek dan ibu Timotius serta menyoroti pengaruh keduanya dalam pertumbuhan iman seorang Timotius. Seandainya, Eunike dan keluarganya hidup terpisah dengan nenek Lois, hal ini akan merampas dimensi yang sangat penting bagi pembentukan kerohanian Timotius. Tentu saja ini tidak selalu terjadi di setiap keluarga. Kita bisa memilih hidup terpisah dengan orang tua kita jika kehadiran mereka tidak memberikan pengaruh yang baik bagi anak-anak kita ke depan, atau ketika orang tua memilih untuk hidup terpisah dengan kita, dan berbagai faktor lainnya. Artinya, jika dalam kondisi yang tepat, ada berkat yang bisa kita saksikan yang membentuk kehidupan spiritualitas kita ketika kita menjalin kehidupan orang tua kita dan anak-anak kita ke depan.

Kita perlu menilik ulang pemahaman kita tentang panggilan kita sebagai orang Kristen. Ya, kita memiliki panggilan sebagai orang Kristen—pengikut Kristus, yang jika diuraikan berarti: panggilan sebagai anak, sebagai saudara, sebagai orang tua, sebagai teman sekerja, sebagai anggota gereja, sebagai masyarakat, dan lain-lain. Barangkali, Tuhan memang memanggil dan memakai kita untuk “memberi perhatian” sepanjang hidup kita. Di tengah semua tantangannya, kita perlu belajar percaya bahwa ada karunia Allah yang selalu dan siap mengejutkan kita. Allah bekerja di tengah keluarga. Kiranya Tuhan menolong kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sebuah Pengingat Mengapa Tubuh Jasmani dan Rohani Perlu Dilatih

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Biasanya tembok ruang gym dikelilingi cermin. Di sudut mana pun berdiri, kita selalu dapat melihat bayangan kita. Cermin di dalam ruang gym bertujuan menyadarkan kita akan bentuk tubuh kita sendiri (bukan untuk ngintipin orang lain, yah). Apakah bentuk tubuh kita sudah seideal yang kita mau atau belum. Jika belum kita bisa mengusahakannya, menambah apa yang perlu. Tak kalah penting, cermin menolong kita sadar akan kesalahan postur saat berolahraga agar tidak cedera. Jadi, cermin sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bentuk tubuh (selain untuk narsis).

Sayangnya, gym tidak menyediakan cermin yang dapat menampilkan tubuh rohani. Kalau seandainya ada cermin yang mampu menampilkan tubuh rohani kita, akan seperti apakah penampakannya? Apakah langsing atau kering? Apakah besar berotot atau layu merosot? Rasanya tanggung jika kita hanya melatih otot tubuh, tapi tidak dengan otot iman kita. Keduanya penting bagi Tuhan, dan perlu kita perkuat.

Tuhan Butuh Otot Tubuh Kita

Ada sebuah istilah umum: dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ibadah yang kita lakukan selalu melalui tubuh. Ibadah selalu terjadi di dalam tubuh jasmani. Roh kita tidak melayang-layang ke awan untuk bertemu Tuhan. Maka, jika tubuh sehat tentu kita tidak akan kesulitan untuk beribadah. Bayangkan jika kita harus berdoa di malam hari sesudah hari yang melelahkan, pasti kita akan kesulitan untuk fokus. Hal itu terjadi karena tubuh kita meminta beristirahat. Itu adalah respons wajar tubuh. Kita bisa paksakan berdoa, tapi hasilnya tidak akan semaksimal jika tubuh kita masih banyak memiliki energi. 

Di dalam kasus lain, kelebihan berat badan akan mengganggu stamina. Beberapa teman yang obesitas cenderung mudah letih, meskipun tidak semua seperti itu. Keletihan akan membuatnya lebih cepat untuk berhenti dan beristirahat. Bandingkan jika orang yang sama memiliki berat tubuh ideal. Staminanya akan bertambah dan akan butuh waktu lama baginya untuk letih. Akhirnya dia dapat mengerjakan pekerjaan kerajaan Tuhan lebih banyak lagi. Dia tidak kesulitan untuk menggerakan tubuhnya bekerja bagi Tuhan. Jadi, kesehatan tubuh itu penting bagi pekerjaan Tuhan.

“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” (Matius 6:11).

Dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan untuk berdoa untuk kebutuhan fisik kita. Tentu Yesus tahu betapa pentingnya kesehatan fisik kita bagi kerajaan Tuhan. Pada hari ini Yesus berkarya lewat tubuh kita. Dia sudah tidak memiliki tubuh fisik lagi dalam dunia ini. Yesus sudah terangkat ke surga. Di dunia ini hanya ada tangan kita dan Yesus berkarya melalui tangan kita. Oleh sebab itu, kita tidak perlu khawatir. Tuhan Yesus mau merawat segala kebutuhan tubuh kita sesuai hikmat-Nya. Kita pun perlu menjaganya untuk tetap sehat dan bugar. Yesus butuh tubuh kita dalam kondisi terbaiknya. Tubuh kita perlu makanan bergizi, berolahraga, pola istirahat yang rutin, dan masih banyak lagi usaha yang perlu kita lakukan agar selalu siaga untuk Tuhan pakai. Lantas, bagaimana dengan tubuh yang lemah karena sakit penyakit? Apakah Tuhan tidak mau memakainya?

Gym bagi Otot Rohani

Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. (2 Korintus 4:16-17).

Dalam pelayanannya, Paulus berulang kali mengalami kelemahan-kelemahan fisik. Namun, kelemahan fisik yang diderita tidak menghalangi dirinya melayani Tuhan. Paulus memberi kepada kita rahasianya. Dia memusatkan pandangan pada apa yang bersifat kekal. Dia tahu masa baktinya pada Tuhan dalam dunia akan berakhir. Ketika itu terjadi, ‘kemah’ Paulus dalam dunia ini akan dibongkar oleh kematian. Kemudian akan diberikan tubuh baru oleh Kristus. Lantas, bagaimana agar kita bisa membentuk tubuh rohani kita secara ideal?

Pertama, kita perlu mengetahui apakah tubuh rohani kita telah ideal atau belum. Kalau di gym ada cermin untuk menampilkan seperti apa bentuk tubuh fisik kita, bagi tubuh rohani kita cermin itu adalah firman Tuhan (Yakobus 1:23). Jadi jika kita ingin melihat seideal apakah tubuh rohani kita, kita tidak bisa melakukannya tanpa firman Tuhan. Segala yang tubuh rohani kita butuhkan dapat tercukupi oleh firman Tuhan. Jadi disiplin rohani sangat kita butuhkan. Kita perlu membaca firman, mendengar khotbah, merenungkan firman, menggali Alkitab, mendoakan firman, dan berbagai disiplin lainnya.

Namun, ada juga cara lain untuk membentuk otot iman kita, yaitu melalui penderitaan. Banyak orang yang rela ‘membuat sakit ototnya’ agar tubuhnya terlihat ideal. Mereka berlatih angkat beban hingga rasanya lengan mau copot agar otot lengannya terbentuk. Begitu juga dengan otot iman kita. Ini bukan berarti kita harus menyiksa diri dan dengan sengaja membuat masalah hidup.

Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. (Yakobus 1:2-3).

Kerohanian Paulus terbentuk bukan hanya karena disiplin rohani yang dikerjakannya. Ada juga pencobaan dan penderitaan hidup yang membentuk manusia rohaninya. Yakobus sendiri mengatakan kita perlu berbahagia ketika menghadapi pencobaan karena akan menghasilkan ketekunan. Lalu, bagaimana caranya supaya penderitaan dan pencobaan itu tidak menghancurkan kita tapi, justru membentuk kita? Kembali lagi, firman Tuhan akan memberi kita kekuatan dan apa yang perlu agar kita bertahan.

Ajaibnya, Tuhan juga campur tangan dalam penderitaan yang kita alami. Dalam surat Roma, kita diingatkan bahwa bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Jadi kita tidak perlu khawatir, di tangan Tuhan penderitaan yang kita alami akan berakhir pada pembentukan diri kita. Bukan untuk menghancurkan kita. Tuhan pandai memakai yang buruk untuk maksud baik.

Jika kita sesemangat itu membentuk tubuh fisik kita, mengapa tidak dengan tubuh rohani kita? Jadi, teruslah berjuang membuat diri kita sehat baik secara fisik dan rohani. Keduanya perlu seimbang, sebab Tuhan semesta alam membutuhkannya untuk mendatangkan kerajaan Allah di dunia ini.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Aku Dipaksa Percaya Takhayul Supaya Tidak Kena Sial

Oleh Mita

1.“Jangan pakai baju serba putih, kayak lagi berduka!”

2.“Jangan jadi pengapit pengantin lebih 3x nanti kamu sulit ketemu jodoh,lho!”

3.“Jauhi semua yang serba angka 4 ,bakalan sial hidupmu!”

Apakah kalian juga akrab dengan wejangan mitos seperti ini? Sebagai seseorang yang lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa dan pernah memeluk agama Buddha-Konghucu, omongan-omongan ini tidak asing di telingaku. Namun, saat Tuhan membawa keluargaku mengenal-Nya dan menjadi Kristen, kepercayaan kami terhadap mitos-mitos itu mulai ditinggalkan meskipun pada kenyataannya perubahan itu tidaklah terjadi semalam karena keluarga besarku banyak yang belum mengenal Kristus dan masih menganut kepercayaan yang lama. Di saat ada momen perkumpulan keluarga seperti tahun baru, pernikahan, pemakaman, mitos turun temurun ini tentu masih sering kudengar dari generasi pendahuluku.

Saat dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pernah menanyakan ke orang tuaku bagaimana harusnya bersikap. Jawaban mereka terkadang masih setengah mengambang. Udahlah, kita memang Kristen nggak percaya begituan. Tapi itu kan cuma wejangan kepercayaan turun temurun, gak ada salahnya kamu iya-in kata mereka, toh maksudnya baik buatmu. Salah-salah protes nanti kita jadi omongan mereka di belakang.”

Namun, jauh di lubuk hati, aku terusik dan berpikir: mengapa aku sebagai seorang Kristen seolah menginjak dua kepercayaan pada saat yang sama hanya untuk memuaskan pandangan orang lain? 1 Timotius 4:7 menjawab keraguanku akan hal ini “Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.”

Bukan kompromi, tetapi komunikasi

Suatu hari, bibiku dari pihak papa meninggal. Sebagai seorang Kristen, dia dimakamkan secara Kristen sesuai permintaannya sewaktu hidup. Namun, pada prosesi pemakaman dan penurunan peti jenazah ke dalam liang kubur, seperti biasa seluruh keluarga besarku termasuk orang tuaku pada saat bersamaan menoleh membelakangi peti. Hal itu dilakukan sebagai kepercayaan mereka untuk menghindari adanya nasib sial dari arwah yang keluar dan menghantui jika tetap menatap peti. Aku memperhatikan satu-satunya orang yang jelas tidak melakukannya adalah bapak pendeta pelayan kebaktian. Saat itulah kurasa tepat untukku melakukan hal serupa. Mamaku merasa heran sembari melirik ke arahku dan berkata: “Kamu ngapain sih, ayo noleh belakang sekarang!” Aku terdiam saja, tetap menonton prosesi itu hingga selesai sembari berdoa pada Tuhan dalam hati agar nantinya bisa memberi penjelasan padanya.

Benar saja, sesudah prosesi itu, beliau mulai mengkonfrontasi keras apa yang kulakukan. Roh Kudus mengingatkanku untuk menyatakan suatu ayat padanya dalam Roma 12 : 2yang berkata: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Aku juga memberikan pengertian padanya bahwa apa yang dilakukan Pak Pendeta adalah benar dan menjadi contoh baik pada kita sebab iman kita seharusnya didasarkan pada Yesus Kristus saja dan bukan mitos pemali seperti itu. Dengan demikian kita dapat merasakan damai sejahtera, tak perlu takut atas opini orang lain atas kita karena Kristus-lah yang sepenuhnya memegang kendali hidup kita. Perlahan respons beliau berubah dan  mulai tersadar. Hari itu, aku sangat bersyukur karena melalui kesempatan ini, Tuhan membukakan kebenaran-Nya padaku dan membebaskan pergumulan keluargaku.

Mungkin ada pendapat yang menyatakan bahwa dengan menolak pemali ataupun mitos, iman Kristen dianggap sebagai iman yang anti terhadap budaya dan tradisi. Ini tidaklah benar. Budaya merupakan keragaman dan kekayaan dalam kehidupan sosial dan ini tidaklah ditentang oleh iman kita. Namun, apabila mitos-mitos dan pemali ini membuat kita tidak lagi memercayai Allah dan menggantikan posisi-Nya sebagai yang terutama, di sinilah yang menjadi masalahnya. Dalam kasusku di prosesi pemakaman, menoleh ke belakang dengan alasan agar tidak kena sial tidaklah sesuai dengan iman kita. Kesialan tidak datang dari menatap prosesi penguburan, tetapi karena dosa memang telah merusak segala sendi kehidupan manusia. Namun, Kristus telah membayar lunas semua utang dosa kita dan memberikan kita jaminan yang pasti dan kekal.

Kawanku, mungkin tidak mudah bagi kita terutama sebagai orang muda untuk teguh berpegang pada kebenaran, terutama jika hal itu berisiko bagi kita untuk menjadi tidak disukai orang lain, bahkan oleh keluarga kita sendiri seperti yang kualami. Namun, tak perlu  berkecil hati, karena yang terpenting dari semua itu adalah adalah iman kita pada Tuhan. Dan jika tiba saatnyaa, justru itulah kesempatan bagi kita untuk menjadi contoh mewartakan Kabar Baik yang memerdekakan bagi mereka yang belum mengenal-Nya dalam penuh kasih.

Kiranya Roh kudus terus memperbaharui budi kita dari pandangan-pandangan dunia dan menguatkan kita untuk tanpa lelah mengejar kebenaranNya. Amin.

1 Timotius 4:12: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah  karena engkau muda. Jadilah teladan  bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Lika-liku Mencintai Orang Tua yang Semakin Tua

Oleh Jessie, Jakarta

Close-minded… Judgmental Kuno… Kepo…

Ini adalah komentar-komentar yang sering kudengar kalau sedang bercerita tentang orang tua kami dengan teman-teman sepantaranku, para generasi milenial dan gen-z. Nah, pernah ga sih kalian adu opini karena merasa orang tua kita udah mulai ga update dengan keterbukaan zaman now? Atau mungkin kehilangan kesabaran karena mereka terkesan bawel banget, sering suruh-suruh, lola, dsb…

Relasiku dengan orang tuaku boleh dikatakan cukup dekat. Malah saking dekatnya, kami juga sering berantem. Ya… biasalah, perbedaan pendapat. Karena aku anak yang cukup bawel dan ekstrover, maka cerita atau permasalah apa pun di hidupku umumnya langsung kuceritakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Tapi… kedekatan dan keterbukaan tidak membuatku selalu bersikap berbakti dan taat. Hanya saja, kalau dalam kasusku, aku tidak main belakang. Aku berterus terang dengan opini dan keputusan hidup yang banyak kalanya tidak sejalan dengan ekspektasi orang tuaku. Karena aku sudah tergolong orang dewasa secara umur, orang tuaku juga sudah tidak bisa terlalu memaksa lagi. Lalu apakah aku selalu benar? Oh sudah pasti tidak jawabannya! Dan apakah orang tuaku selalu benar juga?! Delapan puluh persen sih… Perkembangan zaman yang sangat cepat ini membuat beberapa opini mereka sudah tidak lagi relevan . Jujur berkata, aku sering tidak sabar dan cepat terpancing, sehingga diskusi yang aku intensikan di awal berakhir dengan tantangan dan kemarahan.

Hormat

Memang Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana anak dan orang tua seharusnya berelasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka dengan berbagai opini yang berbeda, serta tantangan untuk melihat dengan jelas garis pemisah antara apa yang benar dan yang salah. Namun, sebagai orang Kristen, aku percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya buku yang memberikan pengajaran-pengajaran mendasar yang relevan sepanjang masa.

Ada dua pengajaran penting yang Alkitab selalu tekankan mengenai etika anak kepada orang tua, yaitu hormat (Kel. 20:12 ; Ef. 20:12) dan taat (Ams. 1:8-9 ; Kol. 3:20). Menghormati dan taat adalah dua hal yang berbeda. “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20:12). Perintah ini diberikan dalam konteks tidak peduli apa pun situasinya, memberikan hormat kepada orang tua kita itu sudah selayaknya kita berikan karena sudah menjadi hak orang tua untuk mendapatkan hormat.

Apa sih bentuk etika menghormati kita kepada orang tua kita? Menghormati tidak sekadar apa yang kelihatan di luar, seperti saat kita menyapa mereka, mendahulukan mereka, dan sebagainya. Meskipun semua ini benar, namun konsep menghormati yang dimaksudkan di Alkitab mencakup penghormatan secara sikap dan juga mental. Contoh sikap menghormati secara mental adalah saat bagaimana kita memikirkan nasihat-nasihat orang tua kita. Jika kita menghormati dengan kesungguhan hati, maka kita pasti akan menghargai dan mempertimbangkan masukan dari orang tua kita. Bagaimanapun juga mereka sudah hidup jauh lebih panjang, pengalaman asam garamnya pun lebih banyak, maka sesungguhnya opini mereka mungkin ada benarnya. Seberapa sering kita akhirnya menyadari akan posisi kita yang salah, lalu teringat akan nasihat orang tua kita di awal? Kalau aku sih lumayan sering, tapi ya diem-diem aja (entar terkesan kalah dong gue hahaha).

Bentuk penghormatan anak kepada orang tua banyak diperjelas secara spesifik di ayat-ayat lainnya, seperti di kitab Amsal 1:8 TSI, yang bunyinya, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Si penulis tidak mengatakan agar kita langsung melakukan apa yang ayah-ibumu sudah katakan, tapi kata yang digunakan adalah “dengar” dan “jangan menyia-nyiakan.” Adanya sebuah ajakan untuk si anak agar mempertimbangkan perkataan orang tuanya. Penulis Alkitab mungkin sudah tahu kalau anak di generasi manapun itu sering banget mengangguk-angguk, tapi sebenarnya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Taat

Lain dengan menghormati yang kasusnya unconditionally atau tanpa syarat, ketaatan bersifat conditional. Bukan berarti ini memberikan kita alasan untuk menjadi anak yang membangkang ya, melainkan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia yang berdosa.

Orang tua kita juga manusia yang berdosa dan bisa salah, sehingga ketaatan tertinggi kita berikan hanya kepada Tuhan (Kis. 5:29b: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia”). Ada penjelasan bahwa seiring bertambahnya dewasa anak serta bertumbuhnya cara pikir si anak, maka mereka juga memiliki pertimbangan dan opsi yang lebih matang, yang mungkin membuat mereka lebih memahami apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu, ada perihal khusus di mana orang tuanya melarang anak ke gereja, atau kasus di mana orang tuanya jelas memberikan solusi yang salah, dan sebagainya. Sehingga, ketaatan ini sebenarnya bersifat conditional atau dalam bahasa sederhananya: ya kita lihat dahulu ya konteksnya bagaimana.

Patut diingat, bahwa karena ketaatan tertinggi hanya kita berikan kepada Tuhan, maka keputusan yang kita ambil harus dalam lingkup apa yang Tuhan katakan boleh dan tidak, bukannya kita malah mengambil keputusan atas dasar suka-suka kita.

Lalu, dikarenakan peraturan nomor #1 (menghormati) bersifat harus, maka peraturan nomor #2 ini bisa disanggah dengan mengingat adanya aturan nomor #1. Seperti contoh kasus yang sering aku hadapi—perselisihan pendapat. Ada kalanya kita tidak setuju dengan cara pikir dan solusi orang tua kita; maka tanpa harus bertengkar, kita bisa belajar untuk mengontrol cara bicara kita dan mengutarakan opini dengan sikap menghormati. Kita menghormati mereka meskipun tidak “menaati” masukan mereka. Memang sih, butuh kesabaran yang banget nget, karena seringkali emosi kita mudah terpancing. Setuju, setuju??

Keluarga bisa dibilang sebagai komunitas terdini yang Tuhan percayakan untuk si anak belajar bagaimana mengikuti kehendak yang lebih berotoritas dengan tujuan seiring bertambah besarnya mereka, si anak pun menjadi terbiasa untuk taat kepada Tuhan.

Jadi, keluarga seperti sekolah pelatihan cara menghormati dan menaati yang berotoritas. Cukup masuk akal sih menurutku, karena kalau kita saja tidak bisa menghormati dan menaati orang tua yang kelihatan, bagaimana kita bisa menghormati dan menaati Tuhan yang tidak kelihatan.

Ingat, bahwa orang tua kita sudah dipercayakan oleh Tuhan otoritas, maka sebagai anak kita sudah sepatutnya menghormati dan menaati mereka.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi dan Menghormati Orangtua (Saat Mereka Tidak Layak Mendapatkannya)

Oleh Gabriella

Bagiku, salah satu bagian Alkitab yang paling susah kutaati adalah Efesus 6:1-3, yang aku rasa sering menjadi ayat hafalan di sekolah Minggu:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Mengapa? Hubunganku dengan orangtuaku kurang begitu baik. Pertama, mereka bukanlah orang percaya (setidaknya selama aku tumbuh besar), sehingga kami sering memiliki pandangan yang berbeda tentang banyak hal dalam kehidupan. Kedua, mereka bercerai saat aku masih berusia tiga tahun, sehingga memori masa kecilku lebih banyak dipenuhi dengan kekecewaan, kesepian, dan tangisan yang tidak ingin kuhidupi kembali. Dan sayangnya, kedua orangtuaku sering mengatakan hal yang buruk tentang satu sama lain kepadaku, sehingga itu membuat image mereka dalam benakku ternodai dan semakin susah bagiku untuk menghormati mereka, sekalipun aku tahu tidak semua yang mereka katakan itu benar.

Mengapa aku harus mengasihi orangtuaku, saat aku juga tidak bisa merasakan kasih mereka untukku? Mengapa aku harus menghormati mereka, saat mereka telah melakukan banyak hal yang kurang terhormat? Aku ingin membagikan sebagian hasil pemikiran dari pergumulan panjangku, walau sejujurnya aku juga masih terkadang (bahkan mungkin sering) jatuh dan tidak berhasil menerapkannya. Aku harap kita bisa menjalani perjuangan ini bersama-sama.

1. “Hate the sin, love the sinner”

Perkataan ini cukup kontroversial karena seringkali digunakan dalam konteks merendahkan orang lain, atau saat kita merasa dosa yang dilakukan orang lain lebih buruk dari dosa kita. Selama ini aku mengartikan kalimat ini bahwa kita seharusnya hanya membenci perbuatan jahat yang mereka lakukan tanpa membenci orangnya, tapi aku berubah pikiran saat mendengar pernyataan dari R.C. Sproul: “Kita adalah orang berdosa bukan karena kita berbuat dosa, kita berbuat dosa karena kita adalah orang berdosa. Aku menyadari bahwa dosa bukanlah sekadar perbuatannya, tapi merupakan sengat maut dari maut (1 Korintus 15:56), yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Seringkali kita tahu apa yang baik untuk dilakukan, tapi tetap saja kita tidak bisa melakukannya karena kita adalah orang berdosa (Roma 7:15-20).

Membenci dosa bukan berarti sekadar membenci perbuatan jahat orang lain—termasuk orangtua kita—tapi membenci dosa itu sendiri. Dosa adalah musuh kita semua yang telah membawa kehancuran dalam dunia yang Tuhan ciptakan dengan sempurna. Dosa telah merusak dunia secara begitu menyeluruh (Roma 8:22-23), bahkan mereka yang menyakiti kita pun termasuk korbannya. Jika musuh dari musuh kita adalah teman kita, bukankah seharusnya kita tidak membenci mereka yang telah menyakiti kita?

Dalam kasus ini, aku akhirnya dapat sedikit memahami kedua orangtuaku yang juga tidak memiliki masa kecil yang bahagia dengan orangtua mereka. Aku rasa mereka bukan dengan sengaja ingin merusak masa kecilku dan menyakiti perasaanku, dan kalaupun mereka ternyata memang sengaja, itu hanyalah efek samping dari hidup dalam dunia yang sudah bobrok dan dirusak oleh dosa ini. 

Untuk kita bisa love the sinner, pertanyaan selanjutnya adalah siapakah sinner itu? Aku yakin sebenarnya aku tidak perlu menuliskan ini kembali karena kita semua pasti sudah mendengar pesan ini berkali-kali dan hapal di luar kepala. Jadi mari kita jawab bersama-sama: kita semua. 

2. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8) 

Kita baru saja merayakan Paskah bulan lalu. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa Yesus mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, walau mereka inilah ciptaan-Nya yang sudah memberontak, menolak-Nya, mencemooh-Nya, meludahi-Nya, memaku tangan dan kaki-Nya, mencambuk punggung-Nya hingga penuh bilur dan luka. Setelah pengkhianatan yang luar biasa ini, apa yang Ia katakan? ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).

Kita berhak mengharapkan orangtua kita mengasihi kita, seperti Tuhan berhak mengharapkan ciptaan-Nya untuk mengasihi-Nya. Namun, saat kita mengecewakan Dia dan gagal, Ia merespons dengan kasih dan pengampunan. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk merespons kekecewaan kita terhadap orangtua kita dengan kasih dan pengampunan yang Tuhan telah berikan lebih dahulu pada kita.

Walau ini klise, tapi seringkali pengetahuan kita tidak benar-benar meresap dalam hati dan pikiran kita. Kalau kita tahu kita semua orang berdosa, seharusnya kita bisa mengampuni orang lain yang telah menyakiti kita karena kenyataannya kita tidak lebih baik dari mereka. Namun nyatanya, tetap sangat sulit untuk mengampuni dan memaafkan orang lain karena… (drum roll) kita adalah orang berdosa. Jadi, mana yang lebih dulu? Ayam atau telur? 🙂

Mari kita minta pertolongan Roh Kudus untuk memampukan kita mengampuni, mengasihi, dan menghormati orang yang telah menyakiti kita, terutama orangtua kita. Mari kita berjuang bersama-sama; tolong doakan aku dan aku akan mendoakanmu juga.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Plot Twist Paling Manis

Oleh Grace Angelique Natanael, Jakarta

Sebagai anak muda yang mengikuti kelas katekisasi, aku diberi PR untuk menulis 15 jurnal bebas. Untuk menuntaskannya, aku terpikir untuk mengeluarkan tulisan-tulisan di notes HP-ku. Kumulai dari yang satu ini: jurnal pertama yang kutulis pada 1 September 2023. Kuberi judul sweetest plot twist alias alur cerita yang tidak tertebak, tapi paling manis.

Meskipun masih remaja, tapi aku telah mengalami momen-momen ketika apa yang kumau tidak terwujud. “Kenapa ya?” pertanyaan ini selalu muncul. “Apa aku kurang? Padahal kan aku selalu mencoba jadi yang terbaik,” lanjutku. Aku benci sekali dengan perasaan bahwa aku tidak qualified seperti ini. Namun, ketika aku tertolak dari jalan yang aku dambakan, justru di situlah Tuhan mengulurkan tangan-Nya.

Di gereja, aku tidak ingin masuk ke komisi remaja. Aku takut tidak memenuhi syarat. Aku merasa kurang dibandingkan semua orang di sini, aku rasa aku tidak akan bisa membaur dengan teman-teman yang lain. Namun, kucoba menahan semua perasaan itu dengan fokus melihat ke depan. Suatu kali, ketika aku ikut ibadah remaja, sebuah kalimat terdengar dari sisi kananku. “Halo,” seorang gadis berambut panjang menyapaku sambil menundukkan sedikit kepalanya. Senyumnya terlihat dari balik maskernya. Kami memperkenalkan diri masing-masing lalu menjadi mutual di Instagram. Sejak pertemuan itu, kami suka mengobrol dan menghabiskan waktu bersama sepulang gereja dan katekisasi. Kalau saja waktu itu ketakutanku menang atasku sehingga aku melarikan diri dari ibadah pada hari itu, tentunya aku tidak akan bisa menerima sekotak hadiah manis darinya hari ini.

Beberapa bulan setelah pertemuan dengannya, kuhadapi persaingan sengit untuk merebutkan kursi memasuki sekolah idamanku. “Tuhan, hatiku ada di pilihan pertamaku, aku ga bisa membayangkan terlempar ke pilihan ke dua ini,” doaku sungguh memohon. Namun, meski aku telah berdoa seperti itu, Tuhan tidak menghindarkanku dari tangisan setelah melihat pengumuman di website sekolah itu.

Aku terlempar, tidak terkualifikasi untuk menjadi siswa di pilihan pertamaku. Dengan hati yang masih sedih, kuuruslah dokumen-dokumen yang diperlukan, mendaftar di pilihan ke duaku dengan berat hati. Yang aku lakukan hanyalah mencoba—mencoba merelakan pilihan pertamaku gugur.

Satu bulan berlalu, rupanya aku berkawan erat dengan teman-teman di kelasku, di sebuah sekolah yang bukan pilihan pertamaku. Betapa manisnya sikap mereka padaku—bagaimana mereka memujiku karena hal-hal kecil, bagaimana mereka menggunakan kata “aku-kamu” saat berbicara denganku, bagaimana mereka menyimak pengumumanku, hingga hal yang paling sulit diterima; bagaimana mereka memelukku saat aku menangis.

Dua peristiwa yang kualami ini mungkin terkesan remeh dalam dunia orang dewasa yang tentunya telah mengalami lebih banyak asam dan garam kehidupan, tapi tetaplah suatu bukti nyata bahwa Tuhan hadir dalam tiap cerita hidup anak-anak-Nya. Entah kamu masih remaja, sudah kuliah, bekerja, hingga lanjut usia pun Tuhan tetap menyayangi kita. Kasih-Nya tidak diukur berdasarkan siapa kita, tetapi karena Dia adalah kasih itu sendiri.

Rencana Tuhan yang kurasakan amat luar biasa. Biasanya ketika ketemukan ayat dari Yeremia 29:11 di ibadah-ibadah gereja atau teks-teks yang kubaca, kupikir aku tidak akan pernah merasakan janji Tuhan itu bahwa Dia akan memberikan rancangan damai sejahtera dan hari depan yang penuh harapan. Namun, plot twist tak terduga yang Tuhan tuliskan dalam kisah hidupku telah membuktikan bahwa Dialah sutradara terkeren yang pernah ada di sepanjang zaman!

Bagaimana denganmu? Plot-twist apa yang sedang kamu alami?

*Grace Angelique adalah siswa kelas X, salah satu peserta workshop menulis WarungSaTeKaMu pada 1 September 2023.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Senandung yang Mencapai Sorga: Rest in Love Melitha Sidabutar

Sebuah obituari oleh Cristal Tarigan, NTT

8 April 2024, bisakah kusebut tanggal ini sebagai salah satu hari duka bagi banyak orang Kristen di Indonesia? Sampai aku mengetik tulisan ini pun, air mataku belum bisa kutahan karena mengingat dan mengenang sosok Melitha Sidabutar. Aku belum pernah berjumpa secara langsung dengannya, tapi aku menyayanginya dan merasa dekat karena setiap kesaksian yang dia bagikan, lagu-lagu yang dia ciptakan, semuanya telah mengambil tempat di hatiku.

Melitha Sidabutar adalah sosok penyanyi rohani yang memulai kiprahnya di dunia tarik suara lewat kontes-kontes pencarian bakat. Namun, dunianya tidak berlabuh di sana. Melitha menggunakan taleta suaranya untuk menyanyi bagi Tuhan lewat lagu-lagu rohani. Usianya pun masih muda. Dia dilahirkan pada tahun 2001, sehingga pada tahun ini usianya barulah menginjak 23 tahun. Seperempat abad pun belum!

Selama beberapa tahun terakhir, lagu-lagunya kumasukkan dalam playlist musikku begitu memberkati dan membuatku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Kepergian Melitha yang mendadak mengingatkan kembali akan kepergian Melisha, saudari kembarnya yang telah berpulang lebih dulu menjelang ulang tahunnya yang ke-20 pada 8 Desember 2020. Media sosial pun riuh. Banyak komentar yang menuliskan kata-kata penghiburan. Salah satu yang paling mengena di hati adalah: Melitha dan Melisa bersama para malaikat sudah bernyanyi di surga bersama-sama memuji Tuhan”, demikian tulisan warganet.

Kematian dan hidup berjarak begitu dekat

Menyukai kisah dan lagu-lagu Melitha, aku sedih, rasanya juga belum percaya. Juga muncul beberapa pertanyaan di pikiranku: Tuhan panggil Melitha yang begitu memberkati banyak orang, di usia yang muda, ketika dia sedang mengerjakan pelayanannya. Kenapa? Apakah Tuhan tidak sayang? Mengapa harus pula kedua saudara kembar ini? Kenapa Tuhan tidak biarkan saja salah satunya panjang umur dan terus menjadi kesaksian yang hidup untuk nama-Nya sendiri?

Pertanyaan itu memantul dalam relung-relung hatiku. Lalu, aku sejenak mengingat bahwa meskipun ajal seringkali datang mendadak, segala sesuatu tetaplah ada dalam kendali-Nya. Allah yang maha mengetahui kapan masa segala sesuatu dari segala sesuatu.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1).

Aku sadar bahwa Melitha, aku, pun kita semua adalah buatan Tuhan, ciptaan-Nya. Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan kapan masa terbit dan terbenam hidup kita. Bahkan sejengkal masa ke depan, tak ada yang tahu dan sanggup menjamin! Namun, mengapa Tuhan terkadang memanggil anaknya begitu cepat? Bukankah kepergian yang terlalu mendadak akan menggoreskan banyak luka bagi yang ditinggalkan?

Tahun 2022 lalu, aku juga kehilangan orang yang sangat kukasihi, dan orang pertama dalam garis keturunan keluargaku yang aku rasakan sosok kepergiannya. Dia adalah kakekku dari pihak bapak. Memang beliau wafat bukan di usia muda, tapi aku yakin bahwa baik muda ataupun tua, dukacita selalu memberikan rasa sakit. Kami begitu kehilangan, kesepian, bahkan kadang-kadang seperti tidak sadar bahwa mereka sudah tiada.

Ketika kehilangan kakekku, aku sedih sekali karena aku dekat dengannya. Tapi, beberapa hari setelah kematiannya, aku mengalami perjalanan iman yang membuatku mengucap syukur. Penghiburan yang kudengar dan iman yang kupunya membuatku yakin akan kehidupan kekal yang sudah dia miliki. Aku diteguhkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Kematian merupakan jalan untuk bertemu dengan Bapa dan tinggal selamanya dalam persekutuan kasih-Nya yang tidak berkesudahan. Kehidupan kita di dunia ibarat seorang musafir, hanya sementara.

Pada Yohanes 15:19 tertulis, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”

Ayat ini menyadarkanku tentang betapa pentingnya mengerti keberadaan kita saat ini hanyalah sementara. Yang menjadikan tiap nafas kita berarti bukan seberapa lama kita hidup, tapi tentang bagaimana kita hidup untuk memenuhi panggilan-Nya—taat melayani-Nya, dan berbuah lewat seluruh kesaksian hidup kita. Kesehatan dan panjang umur adalah baik, tapi memang umur hanyalah angka yang tak pernah kita tahu akan berhenti di mana.

Ketika dukacita datang, inilah perenungan yang kudapat:

1. Kematian memang menyedihkan tapi lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita memiliki keyakinan akan hidup kekal

Inilah pengharapan bagi kita bahwa kelak kita akan dibangkitkan sama seperti Kristus dan hidup dalam persekutuan kekal bersama para kudus. 

2. Hidup bukan sekadar kesempatan untuk melayani, tetapi melayani adalah keharusan kita dalam hidup

Lewat kehidupan Melitha, kita dapat belajar bagaimana mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melayani Tuhan sepenuh hati kita. Bersaksi buat Tuhan lewat seluruh aspek hidup, karena kita tidak tahu bilamana waktu-Nya Tuhan tiba.

3. Tuhan berkenan atas sikap kerendahan hati dan ketulusan

Apabila dua sikap ini ada dalam diri kita, maka setiap karya yang kita lakukan bisa jadi pesan yang lembut sekaligus kuat untuk memberkati orang lain.

Sekalipun aku tidak mengenal Melitha secara pribadi, tapi dengan begitu banyaknya orang yang hari ini berduka, aku tahu Melitha telah melakukan pelayanannya dari hatinya yang terdalam.

4. Belajar taat untuk mengakhiri pertandingan dengan baik

Tuhan melihat proses hidup kita. Kita percaya bahwa kepada setiap orang yg mengakhiri pertandingan dengan baik, akan diberikan mahkota kehidupan. Seandainya saat ini kita bisa melihat rekam jejak hidup kita, sudahkah kita berproses dengan setia di hadapan-Nya?

Tuhanlah yang memberi, Tuhan jugalah yang mengambil. Turut berdukacita sedalam-dalamnya untuk seluruh keluarga besar Melitha Sidabutar, beristirahatlah dalam lautan cinta yang tak pernah usai, rest in love.

Terimakasih Mel, lewat hidupmu kami saat ini belajar bahwa sekalipun ragamu telah mati, tetapi karya dan teladanmu dapat dipakai Tuhan untuk menghidupkan semangat-semangat yang padam dan membawa mereka mereguk hidup yang sejati di dalam Kristus, Tuhan kita.