Namaku Noni Elina Kristiani, biasa dipanggil Noni. Saat ini melayani sebagai staf siswa Perkantas di kota Banyuwangi, Jawa Timur. Seseorang dengan kepribadian ENTP yang berusaha menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Posts

Suka, Cinta, dan Penantian

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Langit sore tampak cerah. Matahari bersinar di balik awan putih dan angin pantai menyapu wajah muda-mudi yang bersemangat . Setelah melangkahkan kaki ke luar dari parkiran, mereka pun berjalan menuju pantai. Tiga orang remaja SMP bersama seorang kakak pembinanya berniat untuk melakukan pendalaman Alkitab di alam terbuka. Tempat yang berbeda untuk melakukan kegiatan mingguan mereka.

Sembari berjalan, Gracia membuka obrolan, “Kak, kakak tahu Dery nggak?”

Kak Nindy, nama kakak pembina rohani para remaja ini menatap Gracia. “Iya, tahu. Kenapa?”

“Kemarin dia confess ke aku,” lanjut Gracia sambil terus berjalan.

Kak Nindy memasang wajah kaget, kemudian memandang ke belakang sambil memberi isyarat tangan pada Luke dan Bisma yang jauh tertinggal di belakang untuk lebih mendekat. Ternyata kedua laki-laki itu sedang bermain adu gulat sambil berjalan.

“Memangnya dia bilang gimana?” Kak Nindy menatap Gracia yang terus memandangi jalan setapak di hadapan mereka.

“Dia bilang: ‘Gracia, aku mau bilang sesuatu sama kamu. I like you.’ Udah gitu aja,” Jawab Gracia.

“Terus kamu bilang apa sama dia?” tanya kak Nindy lagi.

“Ya udah, he is just like me kan, not love me.” Kak Nindy tertawa geli mendengar jawaban itu. Anak SMP berusia 13 tahun pun tahu bedanya dicintai dan disukai ya?

“Memangnya kenapa kalau dia suka sama kamu bukan cinta sama kamu?” Belum sempat Gracia menjawab, Kak Nindy segera berteriak, “Hai gaes, Gracia baru dapat pernyataan cinta nih!” “Wah tunggu, kita juga mau dengar!” Luke dan Bisma antusias lalu berlari mendekat.

“Ya kan cuma suka kak, kayak nge-fans gitu kan. Kalau cinta berarti dia kan lebih dalam lagi perasaannya,” jelas Gracia lagi. Kak Nindy mengangguk-angguk.

“Ceritanya waktu kita sudah sampai tempat tujuan aja,” saran Luke.

“Enak sekarang aja, sambil jalan biar nggak kerasa capeknya,” sahut Gracia.

Mereka berempat terus berjalan menuju gubuk di tepi pantai, bagian paling favorit versi mereka dari tempat wisata ini. Bersyukur sore ini tidak banyak pengunjung yang datang, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Terus, terus, kakak tahu Michael? Dia chatting aku lagi, panjang lebar.” Mata Gracia tampak berbinar mengucapkannya.

“Ehem, chatting gimana?” Tanya kak Nindy mempersiapkan hati untuk mendengar ceritanya lagi.

“Intinya dia mau bilang, I still love you.” Kali ini Gracia menatap Kak Nindy yang memasang wajah pura-pura kaget. Bahkan sampai menutup mulut. Gracia tahu itu berlebihan, tetapi dia nampak senang dengan reaksi itu.

“Wow!” Teriak Bisma dari belakang sambil bertepuk tangan. Kak Nindy lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh anak SMP zaman sekarang bisa dengan mudah mengekspresikan perasaan mereka. Entah apakah di balik pernyataan itu mereka sudah tahu makna sesungguhnya.

“Aneh kan kak? Padahal kita sudah lama lost kontak lho,” lanjut Gracia. Jadi, Gracia pernah berpacaran dengan Michael selama beberapa hari (iya, hari). Jangan heran, bahkan Kak Nindy pernah mendengar anak kelas 5 SD sudah berpacaran.

“Lalu, kamu senang dia bilang begitu?” Tanya kak Nindy lagi. Dia ingin membiarkan Gracia untuk bercerita banyak terlebih dahulu.

“Ya…” Gracia memainkan tangannya. Ragu-ragu mau bilang apa.

“Tapi, kayaknya aku cuma dijadikan pelarian deh. Jadi aku biasa aja,” lanjut gadis itu kemudian.

“Kamu masih suka ya, sama Michael?” Pertanyaan ini mendapat respon dengan nada yang cukup ngegas. “Ya nggak lah kak, ngapain.”

“Hemm, okay,” Kak Nindy tersenyum kecil.

Mereka pun tiba di gubuk yang menghadap ke pantai. Setelah duduk di lantai kayu tanpa beralaskan apapun, mereka mengeluarkan Alkitab dan buku PA (pendalaman Alkitab) mereka. “Wah indah ya, pemandangannya,” seru kak Nindy sembari menatap garis pantai yang ada di hadapan mereka.

“Kak aku mau tanya deh. Nggak papa kan?” Luke menatap Kak Nindy.

“Oke, kita sharing dulu sebelum masuk ke bahan PA. Mau tanya apa dek?”

“Kak Nindy pernah bilang, kalau kita boleh pacaran waktu kita sudah siap. Nah itu biasanya umur berapa sudah siapnya?” Tanya laki-laki berusia 13 tahun itu. Ya, tiga remaja ini baru berusia 13 tahun. Namun, nampaknya mereka sudah penuh dengan gejolak cinta remaja.

“Sebenernya nggak ada umur yang pasti, kapan kita bisa dikatakan siap pacaran. Karena siap itu bukan bicara soal umur, tapi kedewasaan seseorang. Nah, mereka yang sudah berumur 20 tahun tapi masih egois dan nggak tahu tujuan hidupnya, kayaknya juga belum siap buat pacaran.” Jelas Kak Nindy.

“Berarti, nanti kalau SMA aku sudah dewasa dan tahu tujuan hidup, aku boleh pacaran?” Sahut Gracia.

“Ngebet amat lu.” Celetuk Bisma sambil melirik pada Gracia, gadis itu memukul pelan paha Bisma dengan buku di tangannya.

“Ya, kalau kalian sudah merasa siap dan sudah mendoakan dengan sungguh-sungguh, silahkan pacaran. Tapi ingat ya, pacaran itu bukan untuk anak-anak, karena ada banyak hal yang akan kalian usahakan dan berikan. Seperti emosi, perhatian, saling melayani, saling mengenal lebih dalam. Nah, kalau kalian nggak siap, terus putus, itu bisa bikin kalian kalang kabut. Bahkan ada yang berpikiran ingin mengakhiri hidup karena putus cinta. Makanya, kakak bilang: kenallah Tuhan dan dirimu sendiri dengan baik, sebelum mau memulai relasi dengan lawan jenis.”

“Kalau kakak, kenapa belum pacaran? Kakak kan sudah dewasa, sudah tahu tujuan hidupnya, kayaknya kakak juga sudah siap. Nunggu apa coba?” Gracia menatap kakak rohaninya itu yang sudah setahun ini menemani mereka dalam kelompok kecil.

“Iya, kakak sudah 27 tahun kan,” Tambah Luke.

Kak Nindy tersenyum mendengar pertanyaan itu sambil menatap mereka satu per-satu, “Kalau kita merasa siap, bukan berarti Tuhan juga menilai demikian. Karena rencana kita bukan rencana Allah.” Lalu pandangannya beralih pada laut di hadapannya, bau air laut dibawa oleh angin memecah keheningan di antara mereka.

“Kalau kita hidup dengan sebuah tujuan, kakak yakin pacaran dan pernikahan seharusnya juga punya tujuan. Bukan hanya karena cinta, ya meskipun itu juga penting. Tapi menurut kakak, ada yang jauh lebih penting dari itu.” Kak Nindy berhenti lagi menunggu reaksi dari ketiga adiknya.

“Apa?” Tanya Gracia.

“Pernikahan itu alat yang dipakai Tuhan untuk membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Pernikahan itu juga untuk menggenapi rencana Tuhan bagi dunia ini. Apa coba, rencana Tuhan bagi dunia ini?” Kak Nindy menyipitkan matanya sambil melayangkan telunjuknya kepada wajah para remaja itu.

“Nggak tau kak,” rengek Gracia.

“Kak Nindy sudah pernah bilang lho padahal.” Wanita itu meraih Alkitabnya, “Coba baca Wahyu 7:9…” Mereka pun memulai diskusi tentang salah satu bagian perikop tersebut, bahkan juga membuka beberapa bagian kitab lain.

Ada yang berbicara tentang rasa suka terhadap lawan jenis atau tentang cinta yang tumbuh entah sejak kapan, tetapi juga ada yang masih tetap berbicara tentang penantiannya. Bukankah kita semua adalah kekasih-kekasih Allah yang telah ditebus dan dimerdekakan-Nya?

Kiranya mata kita senantiasa tertuju kepada Kristus. Hingga suatu saat kau temukan orang lain yang juga berlari ke arah yang sama, beririsan dengan hidupmu. Jika penantian akan pasangan hidup seakan selamanya, sesungguhnya Kekasih Jiwa kita tetap sama. Penantian kita tidak akan sia-sia.

Dan jika dirimu adalah jiwa yang terluka karena cinta yang sebelumnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk datang ke pelukan Bapa. Dia peduli dan akan membalut setiap luka.

Baca Juga:

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Siapa pendeta yang akan berkhotbah sering jadi motivasiku untuk ikut ibadah. Kalau pendeta X yang khotbahnya menurutku tidak bagus, aku pun malas ke gereja. Tapi, ini pemikiran yang salah, dan aku bersyukur Roh Kudus menolongku.

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Pada tanggal 14 April 2021 aku kaget ketika membaca kertas dihadapanku. Surat keterangan hasil swab tes antigen tersebut menyatakan bahwa aku positif Covid-19. Kemudian aku beranjak dari gedung laboratorium klinik swasta itu dengan perasaan campur aduk. Di atas motor yang kukendarai aku bertanya-tanya “Lalu bagaimana, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?”

Sesampainya di rumah kontrakan, aku menelepon salah satu rekan yang juga pernah mengalami positif Covid-19. Dia menenangkanku dan memberikan beberapa saran. Aku harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari ke depan karena gejala yang aku alami tidak parah. Aku mulai kehilangan penciuman sejak 3 hari sebelum aku memutuskan untuk swab antigen. Selebihnya aku tidak merasakan gejala seperti sesak nafas atau pun demam. Sehingga aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski semuanya dilakukan di rumah saja.

Aku juga menghubungi keluarga dan beberapa orang yang aku temui selama satu minggu belakangan. Hal yang paling aku takutkan adalah jika aku menularkan penyakit itu pada orang lain. Aku tidak bisa membayangkannya. Penyesalan dan rasa bersalah yang akan menghantuiku jika mereka harus menderita sakit karena tertular olehku. Aku bersyukur ketika tahu bahwa orang-orang yang berinteraksi denganku selama satu minggu terakhir tidak mengalami gejala Covid-19. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keluhan sakit.

Pengalaman terinfeksi dan isolasi mandiri memberiku beberapa pelajaran, dan inilah yang ingin kubagikan pula untukmu.

1. Aku tidak sendirian di masa yang sulit ini

Di kota tempatku bekerja dan melayani, aku tinggal seorang diri di rumah kontrakan, tapi meski jauh dari keluarga aku bersyukur memiliki saudara seiman di sini. Ketika tahu bahwa aku positif Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Allah memakai mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Mulai dari membelikan multivitamin, susu, bahan makanan dan bahkan oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah). Bukan hanya saudara seiman yang ada di kota yang sama denganku, mereka yang di luar kota juga menunjukkan kasihnya dengan bertanya kabar dan mengirimkan makanan. Jarak tidak menjadi penghalang untuk bisa menunjukkan kepedulian.

Aku merasa bahwa ayat firman Tuhan di Galatia 6:2 ini benar-benar aku alami “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Allah seringkali menunjukkan kasih-Nya melalui uluran tangan saudara seiman. Aku semakin tidak ragu akan kebaikan dan pemeliharaan Allah dalam hidupku.

Tuhan menginginkan kita mengambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari mendoakan, mengirim pesan singkat, menelepon, memberi apa yang bisa kita berikan. Dengan saling tolong-menolong inilah kita menjadi perpanjangan tangan Allah bagi saudara kita.

2. Aku semakin mengenal siapa Allah dan diriku sendiri

Sebagai seorang ekstrovert yang menjalani masa karantina mandiri, tidak bertemu atau berinteraksi langsung dengan manusia lain adalah suatu bencana bagiku. Aku mulai merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa tidak sanggup untuk menjalani satu hari lagi tanpa bertemu dengan seorang pun. Aku merindukan sebuah pertemuan! Ada waktu di mana aku pergi tidur dan menangis tanpa tahu apa sebabnya. Aku berusaha untuk terus optimis dan bersukacita, namun rasa sedih itu tidak mau kunjung pergi. Aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberiku kekuatan dan damai sejahtera. Aku bertanya “Apa yang Kau inginkan untuk aku pelajari dari kejadian ini?”

Aku diperhadapkan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang lain selain aku dan Tuhan. Dia mulai membukakan kepadaku, luka yang selama ini aku sembunyikan. Ternyata selama ini aku menyimpan kekecewaan yang berasal dari masa lalu. Alih-alih menyembunyikannya, Tuhan ingin aku merengkuh setiap luka itu dan menghadapinya bersama-sama. Dia rindu untuk memulihkanku, bukan hanya dari penyakit Covid-19 tetapi terlebih lagi dari luka yang ada di hatiku. Selama masa karantina mandiri, aku mengenal diriku sendiri bahwa ternyata aku tidak setangguh kelihatannya dan itu tidak apa-apa.

Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dia adalah Allah yang setia. Ketika kita tidak percaya pada diri kita sendiri dan ingin menyerah, Allah tidak pernah menyerah untuk terus membentuk kita menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Mungkin kita memiliki banyak bekas luka, itu tidak apa-apa. Bekas luka itu akan mengingatkan kita bahwa kita telah melalui banyak hal dalam hidup ini. Bekas luka itu juga mengingatkan kita jika kita boleh ada hingga saat ini, itu semua karena penyertaan dan kemurahan Tuhan semata.

3. Kita perlu punya iman tetapi juga kewaspadaan

Aku tidak bangga dengan pengalaman menjadi penyintas Covid-19, karena aku sadar ini terjadi akibat kelalaianku sendiri. Meski aku tidak begitu yakin kapan dan di mana aku terkena virus itu, nampaknya ini karena aku tidak segera membersihkan diri setelah menaiki bus angkutan umum. Aku berharap semoga sikapku ini tidak ditiru. Aku mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa kebal terhadap Covid-19: kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, orang dengan agama apa pun, dapat terjangkit virus ini.

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dengan mematuhi protokol kesehatan, membatasi pertemuan dengan kerumunan orang, dan terus menjaga pola hidup yang sehat adalah wujud iman kita juga. Hal ini dapat membuat kita terhindar dari Covid-19 dan menolong orang lain untuk tidak tertular.

Kita memang sedang menghadapi masa yang tidak mudah. Mungkin kita sudah kehilangan orang terkasih di masa pandemi ini, ada juga yang sedang berjuang untuk sembuh, ada yang sabar mendampingi kerabat yang sedang sakit. Tidak ada yang tahu pasti tahu kapan Covid-19 akan segera berakhir, namun kiranya kita mau tetap percaya bahwa Dia adalah Allah yang peduli. Jika Dia sangat peduli dengan hal yang paling penting dalam hidup umat manusia yaitu keselamatan kekal mereka, maka terlebih lagi dalam menghadapi Covid-19 ini.

Aku tidak tahu pasti alasan mengapa Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, dan mungkin memang tidak perlu tahu. Satu hal penting yang aku tahu, Dia adalah Tuhan yang mengetahui setiap kesedihan, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami karena Dia pernah menjadi manusia, sama seperti kita. Kiranya Tuhan memampukan kita menghadapi masa-masa sulit ini. Kiranya damai sejahtera dan sukacita dari Allah melimpah dalam hati kita.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Kehadiran orang asing dalam hidup seringkali bukan sekadar kebetulan. Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

5 Hal yang Kupelajari dari Yesus Ketika Dia Ditinggalkan

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Kebanyakan orang tidak suka dengan kesendirian. Apalagi di masa-masa pembatasan sosial seperti sekarang ini, banyak dari kita membatasi aktivitas di rumah saja, bergumul dengan hidup kita masing-masing, dan mungkin relasi kita dengan kawan yang tadinya karib menjadi renggang. Itulah kesan yang aku alami. Ketiadaan pertemuan dan kesibukan di masa pandemi membuatku merasa kesepian.

Tidak boleh pergi berkerumun, dan aku pun sempat harus melakukan pekerjaan dari rumah saja. Biasanya aku melakukan koordinasi di luar kota selama tiga bulan sekali, dan mengikuti beberapa retret untuk penyegaran rohani namun selama tujuh bulan sudah semua itu tidak bisa terlaksana. Aku merindukan persekutuan dengan saudara-saudara seiman di mana kami dapat beribadah bersama-sama. Semua temanku mulai sibuk untuk mengadaptasikan diri dengan ritme baru, yakni bekerja di rumah saja. Kami menjadi jarang untuk berkomunikasi. Lantas aku pun bergumul dengan rasa bosan dan kesepian.

Pada suatu malam ketika aku berada di puncak kesepian, aku membaca salah satu bagian di Alkitab. Aku menemukan fakta bahwa Yesus pernah merasa ditinggalkan. Lebih tepatnya, Dia tahu bahwa Dirinya akan ditinggalkan.

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaian masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:32-33).

Perkataan Yesus ketika menjelang waktu penyaliban-Nya ini memberi penghiburan bagiku. Bagaimana Dia menjalani semua hukuman yang ditimpakan kepada-Nya, sendirian. Yesus sadar bahwa Dia akan ditinggalkan, fakta ini mengingatkanku pada situasi yang aku alami yang kesepian meski tidak dengan sengaja ‘ditinggalkan’ hanya terpisah karena keadaan.

Berikut 5 hal yang aku pelajari dari Yesus ketika Dia ditinggalkan:

1. Yesus tahu bahwa Dia akan ditinggalkan

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu dicerai-beraikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri” (Yohanes 16:32).

Yesus mengetahui bahwa murid-murid-Nya akan meninggalkan Dia. Yesus akan mengalami kesendirian. Tetapi, kendati Dia tahu bahwa murid-murid-Nya akan berlaku tidak setia terhadapnya, Dia tetap memilih berada bersama dengan mereka. Fakta ini sungguh menyentuhku. Betapa besar kasih Yesus terhadap para murid.

Dari hal ini, kita dapat belajar untuk mengasihi seseorang dengan tulus, meskipun mereka mungkin akan mengecewakan kita.

2. Yesus tahu bahwa meskipun Dia sendirian, Bapa menyertai-Nya

“Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku” (Yohanes 16:32b).

Kendati Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya akan meninggalkan Dia, tetapi Yesus sadar bahwa Allah Bapa tidak akan pernah meninggalkan-Nya seorang diri.

Yesus tahu siapa diri-Nya, bahwa Dia disertai Bapa. Penyertaan Bapalah yang membuat Kristus menghadapi masa-masa kelam-Nya. Yesus tidak mendasari keyakinan-Nya pada situasi atau keadaan, melainkan kepada kebenaran akan Bapa yang tak pernah meninggalkan-Nya.

Apa pun yang terjadi pada kita, mari kita terus mengingat hal ini:Bapa selalu menyertai kita.

3. Damai sejahtera hanya di dalam Yesus

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku” (Yohanes 16:33a).

Meskipun Yesus menghadapi kondisi kesepian dan ditinggalkan, tetapi Dia tetap menjanjikan bahwa di balik segala penderitaan itu tersedia damai sejahtera. Konsep dunia mungkin mengajarkan kita bahwa damai sejahtera hanya dapat diperoleh dalam keadaan yang baik dan menyenangkan saja, tetapi Kristus menawarkan damai sejahtera yang berbeda dari dunia. Suatu damai yang tak bergantung pada keadaan, suatu kedamaian yang memberi penghiburan bahkan di tengah penderitaan. Kita tidak bisa memperoleh kedamaian tersebut di luar Kristus (Yohanes 14:7).

4. Tidak menyangkal akan adanya penderitaan

“Dalam dunia kamu menderita penganiayaan…” Inilah hal yang unik dari mengikuti Yesus, tidak seperti ketika politikus menawarkan banyak janji ketika kita mendukung partainya, Yesus justru memberitahukan risiko ketika kita mengikut Dia: penderitaan (Matius 10:22).

Mungkin kita tidak tahu alasan di balik penderitaan yang kita alami. Mungkin kita menganggap Tuhan seolah tidak peduli, tetapi Dia sungguh peduli akan penderitaan kita hingga Dia memberi diri-Nya mengalami penderitaan di kayu salib agar kita mendapatkan pengampunan dan pemulihan.

Ketika kita merasa ditinggalkan, ingatlah bahwa Yesus juga pernah mengalaminya. Yesus telah menanggung hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada kita, hal ini menjadi penghiburan bagi setiap kita yang saat ini mengalami penderitaan.

5. Memilih untuk tetap taat

“…tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33b).

Ketaatan Yesus di kayu salib membuat Dia menang atas dunia ini. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati menyatakan bahwa Dia tidak berada di bawah kuasa dunia. Hal inilah yang membuat kita yakin untuk mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.

Dalam ketaatan-Nya bukan berarti Yesus tidak sedih sama sekali, pada kitab Injil yang lain setelah Yesus berkata demikian kepada para murid, Dia pergi untuk berdoa di taman Getsemani. “Hati-Ku sangat sedih seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Matius 26:38). Yesus yang adalah Tuhan, mau mengakui kesedihan-Nya. Maka, penting bagi kita untuk tidak berpura-pura baik-baik saja. Mengakui kesedihan adalah merupakan proses ketaatan.

Lukas 22:44 lebih memperjelas rasa takut yang Yesus alami “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” Kita tahu, akhir dari kisah ini. Yesus taat hingga mati di kayu salib. Selain mau mengakui perasaan yang kita alami, kita juga perlu terus berdoa kepada Allah karena dari sanalah kita memperoleh kekuatan untuk taat.

Setelah menyadari kelima hal tersebut, aku menjadi dikuatkan untuk menjalani masa-masa kesepian karena bekerja dari rumah sendirian. Aku berdamai dengan keadaan meski Tuhan tidak mengubah situasi di sekitarku, tetapi Dia telah mengubah hatiku sehingga mampu melewatinya.

Semoga kelima hal yang kita pelajari tentang Yesus melalui penggalan ayat Alkitab di atas dapat memampukan kita menghadapi perasaan ketika ditinggalkan. Tidak ada pribadi yang dapat mengerti perasaan ini selain Yesus. Mari kita terus berpegang kepada setiap janji-Nya.

Tuhan Yesus berserta!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

4 Kebohongan yang Harus Dipatahkan Saat Kamu Merasa Kesepian

Pindah ke luar kota untuk studi atau bekerja, membiasakan diri kembali setelah putus dari pacar, beradu pendapat dengan anggota keluarga sendiri, atau karena alasan-alasan lain yang kita sendiri pun bingung—kita semua pernah merasakan kesepian.

Perasaan kesepian bisa hadir selama berhari-hari atau berminggu-minggu, dan dengan mudah kita pun jadi kecewa dan kesal. Selama masa-masa tersebut, kebohongan yang kita ketahui tentang kesepian bisa melumpuhkan kita, dan seringkali membuat kita semakin sulit dijangkau. Kita semakin larut dalam kesepian kita sendiri tanpa menyadari bahwa ada jalan keluar dari permasalahan kita.

Inilah beberapa kebohongan yang bisa kita patahkan:

Penginjilan lewat Media Sosial, Bagaimana Caranya?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, TikTok, Podcast di Spotify, ada banyak aplikasi dan media sosial yang saat ini digandrungi bukan hanya oleh kalangan remaja tetapi juga oleh orang dewasa. Aku juga merupakan pengguna media sosial yang cukup aktif, meskipun aku tidak punya akun di semua medsos tersebut. Di zaman post-modern ini, segala lini di media sosial dapat menjadi ladang yang subur untuk kita menuai benih firman Tuhan. Ada jutaan pengguna media sosial di Indonesia dan mereka selalu berpetualang di dunia maya. Bayangkan jika konten yang ada di media sosial kita dapat mengenalkan mereka tentang kasih Tuhan.

Perintah untuk memberitakan Injil bukan hanya untuk rohaniawan seperti misionaris atau pun pendeta, tetapi adalah tugas semua orang percaya (Matius 28:18-20). Sebagai seseorang yang belajar untuk memberitakan Injil melalui media sosial, aku ingin membagikan 5 tips untuk melakukannya:

1. Sebelum memulai menginjili orang lain, milikilah hubungan pribadi dengan Tuhan melalui merenungkan firman-Nya

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Alkitab adalah sumber dari segala hikmat dalam kita melakukan sesuatu. Ya, buku yang ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu itu masih sangat relevan untuk membimbing bagaimana cara kita hidup seharusnya. Alkitab mungkin tidak secara spesifik memberi arahan bermedia sosial, toh pada saat Alkitab ditulis, media sosial belum eksis. Tapi, Alkitab dengan jelas memberi arahan apa saja yang bisa kita bagi dan pelajari di sosial media.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Kita tidak bisa membagikan sesuatu yang tidak kita miliki, bukan? Ketika kita ingin memberitakan Injil, kita perlu melekat dan memiliki hubungan dengan Sang Sumber pemberi hikmat, yaitu Tuhan sendiri. Dengan setia membaca, merenungkan, dan melakukan firman Tuhan, kita akan memiliki hikmat untuk memberitakan kasih Allah kepada dunia melalui media sosial kita.

2. Jadi dirimu sendiri

Menjadi diri sendiri adalah cara terbaik bagi kita untuk melayani orang lain. David G. Benner dalam bukunya, The Gift of Being Yourself, mengatakan: “Saat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, maka kita akan menjadi semakin unik sebagai diri kita yang sejati.” Benner mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang otentik di hadapan Allah dan dunia.

Menjadi diri sendiri akan mempengaruhi apa yang akan kita bagikan di media sosial kita. Mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat kita, memaksimalkannya dan menunjukkannya kepada dunia adalah kombinasi yang sempurna untuk menyatakan kebaikan Allah. Misalnya, ketika kita hobi menulis maka kita akan menciptakan sebuah tulisan yang memuliakan Allah. Jika dirimu menyukai fashion, otomotif, menyanyi, menggambar, atau memiliki kepedulian di bidang kesehatan, semua hal itu dapat kita pakai untuk menyatakan kemuliaan Tuhan jika dibagikan.

Jadi mari mengenal diri kita sendiri di dalam Tuhan, melayani orang lain dengan bakat kita dapat kita lakukan dengan memberitakannya melalui media sosial.

3. Membaca lebih banyak, belajar lebih banyak

Mengetahui apa yang menjadi bakat kita saja tidaklah cukup, kita perlu terus berlatih dan belajar untuk memaksimalkannya menjadi lebih baik. Bisa dengan membaca buku, menonton video tutorial, dengan rendah hati mau belajar dari orang yang lebih berpengalaman, mengikuti kursus dan berbagai macam cara lainnya yang berkaitan dengan bakat dan minat kita itu.

Terkhusus jika kita ingin bersaksi di sosial media kita perlu belajar seperti bagaimana cara mengambil gambar dengan baik, mengedit foto, video, audio atau membuat desain tulisan menggunakan aplikasi di gawai kita masing-masing. Saat ini sudah ada banyak aplikasi di playstore yang dapat mendukung tampilan konten supaya lebih menarik.

Namun, tidak perlu menunggu menjadi profesional yang sempurna dalam membuat konten untuk memulai memberitakan kabar baik di sosial media. Langkah pertama perlu dilakukan, meski seringkali sulit. Kita akan diperhadapkan dengan rasa malu, kurang percaya diri, takut menerima kesan negatif dari orang lain, tapi jangan berkecil hati. Niat baik kita untuk memberitakan Injil akan senantiasa didukung oleh Allah. Mulailah saat ini dengan apa yang kita miliki sembari terus memperbaiki diri.

4. Tidak lupa menjadi berkat di dunia nyata

Craig Groeschel dalam bukunya #Struggles mengatakan bahwa “Hidup bukanlah tentang berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Melainkan tentang seberapa banyak kasih yang kamu perlihatkan.” Dia juga menambahkan demikian “Mereka (followers kita di sosial media) takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak followers-mu. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari seberapa cepat kamu membalas email. Percaya atau tidak, mereka bahkan takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak ayat Alkitab yang kamu posting. Tidak, mereka akan tahu kamu murid Yesus ketika mereka melihat kasih-Nya di dalammu lewat tindakan-tindakanmu.”

Jangan sampai keinginan kita untuk menjadi berkat di media sosial menghalangi hubungan kita dengan manusia di dunia nyata. Kita perlu hadir di tengah-tengah mereka sama seperti yang Yesus teladankan kepada kita. Dia Allah yang mau duduk dan makan bersama dengan orang-orang berdosa yang dipandang sebelah mata oleh dunia, yaitu kita. Menjalin hubungan dengan orang lain dan hadir dalam hidup mereka merupakan cara yang tidak akan pernah gagal untuk membangun Gereja.

Yang terpenting dari menjadi pemberita Injil di media sosial bukan seberapa banyak jumlah likes dan followers kita, tetapi apakah yang kita tuliskan di dunia maya juga kita lakukan di dunia nyata? Apa yang kita bagikan di dunia maya seharusnya selaras dengan sikap dan tindakan kita di kehidupan nyata, supaya kesaksian kita bukan kesaksian bohong atau munafik.

5. Memiliki fokus dan sikap hati yang benar

Ketika kita mulai menggunakan media sosial akan ada kemungkinan kita akan kecanduan. Memiliki hasrat untuk semakin terkenal, berpikir keras untuk memiliki banyak likes di setiap postingan, mendapatkan semakin banyak followers dan mungkin juga membandingkan diri dengan pengguna media sosial lainnya. Kita perlu berhati-hati karena manusia tidak ada yang kebal dengan dosa kesombongan dan iri hati.

Aku pun pernah mengalami kecanduan media sosial dan membandingkan diriku dengan orang lain. Tuhan menegurku dengan firman-Nya yang aku baca di Alkitab dan buku rohani. Ternyata untuk terus memiliki motivasi hati yang murni, kita perlu terus memelihara hubungan pribadi kita dengan Tuhan.

“Allah yang menciptakan segala sesuatu. Semuanya berasal dari Allah dan adalah untuk Allah. Terpujilah Allah untuk selama-lamanya! Amin.” Roma 11:36 (BIMK).

Dia terus bekerja membentuk karakter dan bakat kita hingga saat ini. Terkadang, Tuhan juga memakai orang lain untuk menegur kita. Diperlukan kerendahan hati untuk mau mengakui kesombongan dan motivasi kita yang salah. Tak mengapa kita sedang berproses bersama-sama, ketika menyadari kesalahan kita bisa segera bangkit dan bertobat. Akhir dari semuanya: kiranya hanya nama Tuhan saja yang dipermuliakan ketika kita menggunakan media sosial.

Baca Juga:

3 To-Do-List Saat Kita Melakukan Penginjilan

Memberitakan Injil adalah tugas semua orang percaya. Tapi, untuk melakukannya ada tiga hal yang harus kita siapkan lebih dulu.

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

“Sudah tahun baru 2019 tapi masih jomblo aja nih?”

“Kapan punya pacar?”

“Eh, teman SMP kamu anaknya sudah dua loh. Kamu kapan nyusul?”

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang sering aku terima ketika liburan panjang beberapa minggu lalu. Tahun yang baru masih dengan status yang sama, single. Bagi seorang wanita yang sudah lama hidup single, aku bisa ikut tertawa ketika teman-temanku bercanda tentang masa single-ku. Namun, tetap saja, terkadang aku merasa risih mendengarnya.

Beberapa waktu lalu, ada pesan masuk di akun Instagramku. Seorang gadis yang duduk di semester akhir di suatu universitas bercerita bahwa dia selalu sedih ketika orang-orang yang dia anggap sahabat menyindir kondisinya yang masih belum memiliki pacar. Katanya, ada rasa tidak nyaman ketika sahabat-sahabatnya mulai membicarakan tentang pacaran mereka. Ditambah dengan sindiran-sindiran, si gadis ini pun merasa bahwa mereka telah menyakiti hatinya.

Aku sepenuhnya setuju bahwa sukacita yang sejati tidak datang dari memiliki pasangan hidup, tetapi dari hubungan yang intim dengan Tuhan. Bahwa satu-satunya pribadi yang bisa membuat kita utuh adalah Tuhan saja. Tidak masalah bagiku menunggu waktunya Tuhan untuk mempertemukanku dengan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku kelak. Aku percaya Tuhan akan memenuhi segala kebutuhanku. Namun, pada kenyataannya, masa single tidak selalu mudah, bukan? Seperti kisah seorang gadis yang mengirimiku pesan di Instagram tadi, komentar dan pertanyaan orang-orang di sekitar dapat membuat kita yang masih single merasa tersisihkan.

Melalui pengalamanku, aku tergerak untuk membagikan tips bagaimana aku bisa menghadapi setiap komentar dan pertanyaan yang seringkali menyindir status hubunganku.

1. Jujurlah kepada Tuhan tentang apa yang kamu rasakan

Apa yang kita rasakan ketika ditanya: kenapa masih single? Mungkin ada beberapa dari kita yang tidak mengambil pusing pertanyaan tersebut dan dengan percaya diri menyampaikan kepada mereka alasannya. Tapi, mungkin ada pula sebagian dari kita yang merasa sedih, tertekan, atau bahkan marah. Namun, tidak masalah jika kita merasakan itu semua.

Aku ingat kisah tentang seorang yang sakit di dekat kolam Betesda (Yohanes 5:1-8). Ada seorang yang sakit selama 38 tahun dan mengharapkan kesembuhan. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh hingga suatu ketika ia dijumpai oleh Yesus. “Maukah engkau sembuh?” (ayat 6) tanya Yesus kepadanya. Orang sakit itu merespons dengan bercerita segala usahanya yang gagal untuk masuk ke dalam kolam itu. Alkitab mencatat akhir dari kisah ini adalah orang itu mengangkat tilamnya dan sembuh.

Sometimes it’s okay not to be okay. Ketika kita terluka karena perkataan atau sikap orang lain, aku percaya bahwa Tuhan pun bertanya pertanyaan yang sama kepada kita, “Maukah engkau sembuh?” Namun, menjadi persoalan di sini adalah apakah kita bersedia jujur pada Tuhan atau tidak? Seperti orang sakit di tepi kolam Betesda tadi yang berkata jujur hingga ia pun disembuhkan, kita pun dapat mengakui dengan jujur isi hati kita kepada Tuhan. Jujur terhadap apa yang kita rasakan menolong kita untuk menghadapi kesedihan.

Mengakui perasaanku kepada diriku sendiri dan Tuhan dalam doa menolongku untuk pulih dari rasa sedih dan kecewa ketika aku disakiti oleh perkataan orang lain.

2. Berkatilah mereka yang menyinggung perasaanmu

“Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Roma 12:14).

Bukannya sedang melebih-lebihkan, meskipun sindiran atau pertanyaan tentang masa single tidak melukai kita secara fisik, tetapi itu bisa membuat kita merasa tertekan dan melukai hati. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengingat teladan yang telah Yesus lakukan saat Ia dianiaya. “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Melepaskan pengampunan dan memberkati mereka yang menyakiti kita adalah cara yang baik untuk pulih dari rasa sakit hati. Kita pun dapat mendoakan apa yang menjadi pergumulan mereka. Ini memang tidak mudah, tetapi inilah teladan Yesus.

3. Bangunlah hubungan yang intim dengan Tuhan melalui firman-Nya

Kita bukanlah apa yang orang katakan tentang kita. Jika orang-orang menilai kita berdasarkan status hubungan kita, tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan memandang kita berharga sebagaimana adanya kita. Allah mengasihi kita sebagai seorang pribadi.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”

Itulah yang firman Tuhan katakan dalam Yesaya 43:4. Dari pembacaan firman Tuhan, kita mengetahui betapa besar kasih Allah bagi kita. Melalui pembacaan firman Tuhan jugalah kita diteguhkan oleh janji-Nya. Bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3:11).

Ketika aku memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, aku dapat menghadapi segala tantangan hidup dengan bersukacita, karena aku tahu bahwa Tuhan beserta. Cinta Tuhan melalui firman-Nya membuatku mengerti bagaimana cinta sejati sebenarnya. Kita perlu mengubah standar cinta yang disuguhkan dunia menjadi standar yang Tuhan berikan melalui persekutuan dengan-Nya.

4. Isilah waktumu untuk mengembangkan diri

Daripada terlalu sibuk memikirkan komentar orang lain yang tak kunjung selesai tentang status hubungan kita, lebih baik kita mengisi waktu untuk mengembangkan diri. Bukan mengembangkan bada ke kanan dan ke kiri alias menggendut ya! Hehehe. Tapi kita mau mengembangkan apa yang menjadi bakat atau talenta kita. Meraih mimpi yang kita cita-citakan, kita bisa mulai menyusun rencana dan melakukannya setahap demi setahap. Dan, terlibat di dalam komunitas yang membangun juga menolong kita mengarahkan hidup ke arah yang lebih baik.

Aku menikmati masa single-ku dengan berfokus kepada impianku untuk melayani anak-anak muda dan melakukan multiplikasi di dalam pelayanan pemuridan. Aku juga bergabung di dalam komunitas menulis yang mengajarkanku banyak hal. Ketika kita memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, masa single dapat kita lalui dengan menyenangkan.

5. Bersyukurlah!

Bersyukur ketika segala sesuatunya baik-baik saja itu perkara yang mudah. Tapi bagaimana jika beryukur ketika segala sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan? Sangat tidak mudah. Namun, Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam segala hal.

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Aku bersyukur atas masa lajang yang Tuhan izinkan untuk kujalani selama delapan tahun terakhir. AKu bersyukur ketika teman-temanku mulai menemukan pasangan hidup mereka dan akhirnya menikah. Aku bersyukur untuk setiap pertanyaan dan komentar yang orang lain ajukan kepadaku terkait status hubunganku. Aku bersyukur karena aku yakin bahwa Tuhan tahu benar apa yang sedang Dia lakukan untukku.

Maka, alih-alih bertanya tentang siapa yang kelak jadi pasangan hidupku, aku lebih memilih bertanya demikian pada-Nya: “Tuhan, apa yang Engkau inginkan untuk aku pelajari selama masa single ini, Tuhan? Apa yang Engkau ingin aku lakukan?”

Tuhan menjawab pertanyaan itu dengan membukakan ladang pelayanan untuk kulakukan. Dan, ketika aku fokus melayani-Nya, pertanyaan dan sikap orang lain tidak begitu penting lagi buatku. Yang terpenting adalah aku tidak pernah sendirian di setiap musim hidupku, ada Allah yang menyertaiku.

Baca Juga:

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Namun, itu bukanlah akhir dari segalanya.

Satu Hal yang Kupelajari dari Kegagalanku di SNMPTN

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Aku masih ingat bagaimana campur aduknya perasaanku saat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri diumumkan. Kecewa, sedih, juga takut bercampur menjadi satu di dalam diriku saat aku dinyatakan tidak lolos.

Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama saudari kembarku mendaftar lewat jalur SNMPTN Bidikmisi. Tidak ada tes tertulis untuk jalur ini, kami hanya perlu menyiapkan segala berkas yang menjadi prasyarat, mengirimkannya, dan menunggu hasil. Salah satu alasan kami mendaftar ke jalur Bidikmisi adalah karena keluarga kami mengalami kesulitan finansial. Jika kami bisa kuliah dengan beasiswa, tentu itu akan meringankan beban finansial keluarga. Saudariku diterima, sedangkan aku tidak. Ini membuat nyaliku ciut. Aku takut apabila aku tidak bisa kuliah di tahun itu.

Ayahku berusaha menenangkanku. Dia menyarankanku untuk mengikuti SNMPTN jalur tertulis yang akan diselenggarakan dalam empat minggu ke depan. Hari-hari yang kulalui terasa menegangkan. Aku tidak mengikut les persiapan ujian seperti yang dilakukan teman-temanku. Kendala biaya membuatku hanya belajar lewat buku latihan soal. Kata Ayah kalau aku tidak lolos di jalur ini maka aku harus bekerja. Mendaftar di jalur mandiri akan sangat mahal biayanya. Aku mengerti maksud ayahku dan tidak bisa menyalahkannya apabila nantinya aku gagal dan harus bekerja.

Selama masa persiapan itu, aku dipenuhi keraguan. Aku merasa tidak cukup pintar karena aku tidak bisa mempertahankan nilai untuk masuk peringkat 5 di kelas. Aku sangat ingin kuliah, tapi ragu jika aku bisa lolos seleksi SBMPTN. Pernah suatu ketika, saking stresnya aku sampai menangis hingga Ayah memelukku untuk menenangkanku. Ayah mendukungku bahwa apapun hasilnya nanti, dia akan menerimanya.

Di saat-saat penuh keraguan itu, satu hal lainnya yang menguatkanku adalah doa. Ketika aku berdoa, aku belajar untuk mengandalkan Tuhan dan menyerahkan semua proses ini kepada-Nya.

Hari ujian tiba. Dari sekian banyak soal, hanya sedikit yang mampu kujawab dengan yakin. Soal-soal IPS di ujian itu berstandar SMA, dan sebagai siswi SMK aku merasa soal itu terlalu luas cakupannya dibandingkan dengan apa yang kupelajari. Aku ragu, tapi aku belajar untuk tenang. Di halaman terakhir buku soal latihan, aku menuliskan “Noni Elina Kristiani S.S, Universitas Negeri Jember 2015” sebagai ungkapan harapanku. Kemudian aku berdoa dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan. Yang penting aku telah berusaha semaksimal mungkin dan berlaku jujur.

Selang beberapa waktu, hasil ujian diumumkan. Waktu itu aku sedang retret di luar kota dan tidak bisa mengakses internet. Temanku membantuku untuk melihat hasil ujian itu. Hasilnya mengejutkanku, aku dinyatakan lolos dan siap menjadi mahasiswa di jurusan Televisi dan Film di Universitas Negeri Jember, universitas pilihan pertamaku.

Aku tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Jika diingat-ingat lagi, apa yang menjadi harapanku yang kutulis di halaman terakhir buku soal latihan SBMPTN itu telah Tuhan wujudkan. Di tahun 2015, aku menyelesaikan studiku, diwisuda, dan memperoleh gelar sarjana di belakang namaku. Apa yang dulu aku ragukan dijawab Tuhan dengan kepastian. Semuanya ini terjadi semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Karena kemurahan-Nya pula, aku belajar memahami bahwa setiap proses yang terjadi dalam kehidupan ini bukanlah suatu kebetulan. Tuhan ingin supaya di dalam setiap proses itu kita boleh merasakan pengalaman bersama-Nya, sehingga kita mengenal-Nya tidak cuma berdasarkan apa kata orang, tapi benar-benar dari pengalaman kita sendiri, seperti Mazmur yang berkata: Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya (Mazmur 34:9). Pahit manis kehidupan boleh terjadi supaya kita sendiri dapat mengecap kebaikan Tuhan.

Tuhan itu sungguh baik dan Maha Pemurah. Tuhan baik bukan hanya karena Dia memberikan kesuksesan, tetapi juga melalui kegagalan yang dulu pernah kualami, Tuhan menggunakannya sebagai kesempatan untukku belajar mengenal karakter-Nya lebih dalam. Aku belajar untuk mengerti bahwa rancangan-Nya terkadang tidak dapat kuselami, tetapi dapat kuimani bahwa itulah yang terbaik.

Mungkin saat ini kita tidak menerima apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan. Tuhan ingin membentuk karakter kita dan Dia ingin kita tahu betapa kasih-Nya melimpah bagi kita semua.

TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia (Ratapan 3:25).

Baca Juga:

Doa yang Sulit

Kawan, sepanjang perjalananmu menjadi orang Kristen, adakah doa yang mudah kamu ucapkan tapi sulit untuk kamu lakukan?

3 Akibat yang Kurasakan Ketika Aku Terlalu Terobsesi dengan Drama Korea

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Jalan cerita yang menarik dan para pemainnya yang rupawan merupakan daya tarik tersendiri dari drama Korea. Aku suka drama Korea yang bergenre romantis dan komedi. Hingga saat ini, mungkin sudah ada puluhan drama Korea yang kutonton.

Kesukaanku pada drama Korea bermula ketika aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai sebuah drama berjudul “Dream High” yang bercerita tentang pencarian jati diri seorang remaja dan bagaimana dia meraih mimpinya. Drama ini membuatku jadi semangat untuk juga meraih mimpiku. Kemudian, aku mulai mengidolakan beberapa aktor Korea dan mendengarkan lagu yang mereka nyanyikan berulang-ulang. Terkadang, aku begitu tenggelam dalam chemistry yang diperankan oleh sepasang sejoli di drama tersebut dan mulai berkhayal bagaimana seandainya jika aku yang menjadi pemeran utama.

Setelah aku mengenal Kristus secara pribadi, aku masih menyempatkan diri untuk menonton drama Korea di waktu senggangku. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari ada beberapa hal tentang drama Korea yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku jika aku tidak bijak menyikapinya.

Inilah 3 dampak negatif drama Korea menurutku yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku:

1. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku tidak bijak menggunakan waktu

Jalan cerita dalam drama Korea sering membuatku penasaran. Akibatnya, aku ingin terus menerus menontonnya sampai tamat secepat mungkin. Drama Korea yang memiliki 16-20 episode itu biasanya dapat selesai kutonton selama 4-7 hari. Bahkan jika ditonton berturut-turut tanpa melakukan pekerjaan apapun, hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menuntaskan seluruh episodenya.

Secara tidak sadar, rasa penasaran akan kelanjutan cerita dalam drama Korea membuatku menggunakan sebagian besar waktuku hanya untuk menonton. Aku pernah ditegur oleh orangtuaku karena obsesiku yang berlebih terhadap drama Korea membuatku tidak membantu pekerjaan rumah. Ketika seluruh anggota keluarga sedang membersihkan rumah, aku malah asyik sendiri di depan laptop. Aku sadar aku telah bersalah karena tidak mempedulikan keadaan di sekitarku.

Bahkan di saat aku bersaat teduh, aku jadi tergoda dan terus memikirkan tentang bagaimana kelanjutan drama Korea yang aku tonton. Aku jadi tidak berkonsentrasi dalam membaca firman Tuhan dan terburu-buru karena tidak sabar untuk menonton drama Korea.

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Menonton drama Korea di waktu senggang sejatinya bukanlah masalah. Akan tetapi, apabila seluruh waktuku kugunakan untuk menonton dan mengabaikan tanggung jawabku, maka tindakan ini bukanlah sesuatu yang bijak.

Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan lebih bijak, tidak seluruh waktu luangku kuhabiskan dengan menonton drama Korea. Jika aku sedang di rumah dan kedua orangtuaku membutuhkan bantuan, maka aku akan membantu mereka lebih dahulu daripada menonton drama Korea.

2. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku memuja ilah romantisme

Ada banyak jenis berhala di dunia ini. Salah satunya adalah imaji akan cinta yang romantis. Dunia menanamkan nilai-nilai pada diri kita bahwa kita tidak akan bahagia jika tidak memiliki kisah cinta yang romantis. Kemudian, inilah yang dikejar oleh banyak orang, perasaan cinta yang menggebu-gebu atau mabuk kepayang.

Tanpa kusadari, dulu aku pernah mengingini cinta romantis seperti yang banyak diceritakan dalam drama Korea. Cinta yang terlihat begitu sempurna, padahal pada kenyataannya setiap hubungan dalam dunia tidak sepenuhnya romantis seperti diceritakan dalam drama Korea. Aku bersyukur karena di kemudian hari Tuhan menyadarkanku. Cinta romantis dalam suatu hubungan memang indah. Tapi, tanpa adanya Allah dalam hubungan itu, cinta romantis tidak akan bertahan lama, segera hilang.

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:9). Kasih Allah adalah satu-satunya kasih yang sejati. Dan, karena kasih Allah inilah kita dimampukan untuk mengasihi orang lain apa adanya, bukan karena penampilan orang itu yang menarik, ataupun karena kekayaannya. Kita mengasihi orang lain karena Allah telah mengasihi kita terlebih dahulu.

3. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku merasa rendah diri

Selain jalan ceritanya, hal lain yang paling menarik dari drama Korea adalah aktor dan aktris yang memainkannya. Semuanya terlihat tampan dan cantik. Aku pikir tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, seringkali kita malah jadi mulai membandingkan diri kita sendiri dengan mereka. Kita jadi mengasihani diri sendiri atau merasa tidak puas; Kenapa aku tidak sekurus itu? Mengapa kulitku hitam?

Aku pernah merasa frustrasi karena merasa berat badan dan warna kulitku tidak ideal. Namun, firman Tuhan dalam Yesaya 43:4 dengan jelas menyatakan bahwa di mata Tuhan aku begitu berharga dan Dia mengasihiku. Mengetahui kebenaran bahwa aku dikasihi oleh Sang Pencipta memulihkan caraku memandang diriku.

* * *

Sampai saat ini, drama Korea masih menyenangkan buatku dan aku menontonnya sebagai hiburan di sela-sela waktu senggangku. Hanya saja, sekarang aku jadi lebih bijaksana dalam menggunakan waktu. Bagaimana pun, hubungan dengan Allah harus menjadi prioritas utamaku. Aku juga belajar untuk bisa menyaring nilai-nilai apa yang seharusnya tidak kutanam dalam pikiranku dan kutiru. Mari kita berdoa supaya kita bisa bersikap bijaksana dalam mengisi waktu-waktu luang kita dan terus belajar untuk mengutamakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Secara tidak sengaja, teman dekatku menyinggungku. Karena kesal, aku membalasnya dengan berdiam diri dan menganggapnya seolah tak ada. Tapi, melalui sebuah peristiwa, aku sadar bahwa tindakanku itu bukanlah yang paling tepat dan Tuhan memprosesku untuk menundukkan rasa egoisku.

3 Alasanku Berhenti Berbuat Curang

3 alasanku berhenti berbuat curang

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Mari kuceritakan kisah yang lucu tapi juga memalukan. Saat duduk di kelas X dan sedang diadakan ulangan harian, aku yang duduk di bangku paling depan berusaha untuk mencontek. Waktu itu, aku benci pelajaran kimia karena bagiku pelajaran itu terlalu rumit dan harus banyak menghafal. Sebenarnya, tak hanya di pelajaran kimia, di mata pelajaran lainnya pun aku sudah terbiasa mencontek.

Tepat di depanku, guruku sedang duduk. Melihat soal-soal yang memusingkan, aku pun tak berdaya dan akhirnya memilih untuk diam-diam membuka buku catatanku di bawah meja. Kemudian, ada suara yang menegurku. “Apa itu? Berani-beraninya kamu mencontek, padahal ada guru di depan sini. Cepat tutup buku itu!” Guru kimia itu memergokiku dan saat itu juga aku merasa seolah jantungku berhenti berdetak. Suara tawa dari teman-temanku memenuhi ruangan kelas. Aku merasa amat malu karena ketahuan mencontek. Saking malunya, aku merasa seperti ingin mengubur diriku sendiri saja. Sepulang sekolah, teman-teman meledekku. Kata mereka, aku perlu latihan supaya bisa mencontek lebih baik.

Saat ulangan itu berlangsung, sebenarnya ada banyak anak-anak lain yang mencontek juga tapi hanya aku yang ketahuan. Walaupun aku sudah mencontek, tapi tetap saja ketika hasil ulangan dibagikan, nilaiku tetap jelek. Sudah mencontek, gagal pula. Kejadian itu membuatku malu dan akhirnya bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama. Aku tidak mau mencontek lagi seumur hidupku.

Itu adalah kisah pertamaku tentang mencontek. Setelah kejadian itu, aku memang tidak lagi mencontek. Sebelum ujian dilangsungkan, aku berlatih untuk mendisiplinkan diri dengan membaca buku, mengulang kembali pelajaran-pelajaran di kelas, dan tak lupa aku juga berdoa supaya Tuhan menolongku untuk memahami setiap pelajaran yang kubaca. Tapi, masih ada satu hal lainnya yang belum bisa aku lepaskan, yaitu memberi contekan.

Kisah kedua terjadi ketika aku duduk di kelas XI. Teman sebangkuku adalah sahabat terdekatku. Ketika ulangan berlangsung, dia memohon kepadaku untuk diberikan satu saja jawaban dari soal yang paling sulit. Aku merasa kasihan dan ingin berbuat baik kepadanya, jadi kuberikan saja jawaban itu. Tapi, coba tebak. Ketika nilai ulangan dibagikan, aku sangat kaget. Aku mendapatkan nilai 80, sedangkan temanku yang kuberikan contekan malah mendapat nilai 90. Aku jadi kesal dan jengkel karena orang yang kuberikan contekan malah nilainya lebih tinggi dariku. Saat itulah akhirnya aku berjanji untuk tidak mencontek dan tidak akan memberi contekan lagi untuk seterusnya.

Usahaku untuk berhenti dari kebiasaan mencontek itu tidak mudah. Kadang, aku masih tergoda untuk mencontek karena aku tidak puas dengan nilai-nilaiku. Ketika kuliah, godaan lainnya datang dari teman-teman yang menganggapku tidak bisa diajak kerjasama kalau tidak mau mencontek. Aku pernah dikucilkan oleh mereka karena prinsipku ini, tapi lambat-laun mereka bisa menghargai keputusanku dan mau bergaul kembali denganku.

Jika aku mengingat kembali kejadian memalukan saat guru kimia memergokiku, aku mengucap syukur kepada Tuhan. Lewat kejadian itu, Tuhan sedang menegurku, meski sebenarnya aku berharap ditegur dengan cara yang lain, bukan dengan cara yang memalukan.

Ketika aku berjuang untuk menjaga diriku dari berbuat curang, ada 3 hal yang membuatku menyadari bahwa kebiasaan mencontek itu tidak patut dilakukan bagi pengikut Kristus.

1. Tuhan mengetahui segala sesuatu

Mencontek, apapun cara caranya adalah tindakan berbohong dan curang. Sebenarnya, setiap soal ujian yang diberikan itu baik untuk menilai kemampuan kita. Itulah sebabnya mengapa kita harus mengerjakannya dengan jujur sesuai dengan kemampuan diri kita sendiri. Ketika kita mencontek, kita bukan hanya sedang menipu guru kita, tapi kita juga sedang berusaha menipu Allah, padahal tidak ada satu pun yang tersembunyi di hadapan-Nya. “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibrani 4:13).

Kebiasaan-kebiasaan kecil kelak akan membentuk hidup kita. Tanpa kita sadari, apabila kita melestarikan kebiasaan contek-mencontek, kelak kita bisa saja akan jatuh kepada kebohongan yang lebih besar lagi, seperti praktik korupsi. Jika kita mengakui diri sebagai pengikut Kristus, kita pasti menyadari bahwa Tuhan mengetahui apa pun yang kita kerjakan, dan tentu kita tidak ingin mengecewakan Dia.

2. Kita sudah lahir baru

Aku baru bertobat dan mengalami lahir baru ketika duduk di kelas XI. Saat itu, aku mengalami kasih mula-mula yang begitu indah bersama Tuhan. Ketika aku mulai terbiasa melakukan saat teduh dan berdoa, lambat laun aku mulai tidak menyukai hal-hal yang tidak berkenan kepada Allah, salah satunya adalah mencontek.

Sebagai seorang Kristen, kita tidak hanya dipanggil untuk diselamatkan oleh Allah, tapi kita juga dipanggil untuk menjadi serupa dengan-Nya. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).

3. Kita hidup untuk menyenangkan Tuhan, bukan manusia

Ketika kita belajar taat, mungkin saja teman-teman kita akan menganggap kita sebagai orang yang ‘sok rohani’. Waktu aku berusaha berhenti mencontek, ada teman-temanku yang mengejekku demikian. Tapi, aku berusaha menanggapinya dengan tenang. Aku membalas olokan mereka dengan senyuman dan berkata bahwa apapun hasilnya, aku bahagia dengan kerja kerasku sendiri.

Jika kita membuka kembali Alkitab kita, ada orang-orang yang awalnya dianggap remeh karena pilihan mereka menaati Tuhan. Tapi, pada akhirnya ketaatan mereka tidak hanya menyelamatkan diri mereka sendiri, tapi juga banyak bangsa. Ketika Nuh diperintahkan Tuhan untuk membangun bahtera di atas gunung, orang-orang banyak mengejeknya. Tapi, Nuh tetap taat mengerjakan bahtera itu hingga akhirnya air bah datang dan Nuh beserta keluarganya selamat.

Tidak perlu malu ketika kita berbeda dengan orang banyak karena kita memilih untuk menaati Tuhan. Kita hidup untuk menyenangkan Tuhan, bukan manusia. Segala sesuatu yang kita lakukan, kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Mendengarkan Musik Sekuler?

Kita hidup di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Oleh karenanya, kita tidak perlu heran ketika menemukan musik-musik, buku-buku, maupun tontonan yang tidak sesuai dengan standar Alkitab. Lalu, apakah itu berarti kita hanya boleh mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu rohani saja? Apakah semua musik yang kita labeli sebagai musik sekuler akan membawa kita ke dalam dosa?

Untuk Meresponi Panggilan Tuhan, Aku Melepaskan Karierku Sebagai Seorang Fotografer

Untuk-Meresponi-Panggilan-Tuhan-Aku-Melepaskan-Karierku-Sebagai-Seorang-Fotografer

Oleh Noni Elina Kristiani

“Tuhan apakah Kau sedang bercanda?” Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku ketika Tuhan menyatakan apa yang sebenarnya menjadi panggilan hidupku. Bagaimana mungkin aku yang seorang sanguinis, suka berbicara tanpa berpikir panjang ini menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu?

Aku memiliki tekad yang besar untuk menjadi seorang fotografer profesional, tapi keluargaku sangat ingin aku bekerja di media televisi sesuai dengan program studi Televisi dan Film yang aku ambil semasa kuliah. Aku sempat melamar ke stasiun televisi beberapa kali namun gagal. Akhirnya aku mencoba untuk mengasah kemampuan fotografiku seraya terus menyimpan mimpi untuk kelak dapat memproduksi sebuah film rohani Kristen pertama di Indonesia.

Sebuah acara yang menyadarkanku akan panggilan

Di bulan Agustus 2016 aku mengikuti sebuah kamp yang ditujukan untuk mahasiswa maupun yang sudah lulus. Dalam acara ini kami dikelompokkan berdasarkan bidang pekerjaan yang kami tekuni dan kami diberikan beragam materi tentang bagaimana kami bisa menjadi saksi dalam pekerjaan masing-masing. Pembicara-pembicara yang diundang adalah anak-anak Tuhan yang profesional di bidangnya. Akhir acara diisi dengan malam doa dan panitia acara menyiapkan satu sesi untuk kami mendengar tentang wilayah-wilayah di Indonesia yang bahkan belum mendengar kabar keselamatan.

Dalam sesi itulah aku merasa terpanggil untuk bekerja di ladang Tuhan, tapi aku menolaknya. Aku tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Namun, kemudian ada beban dalam hatiku terhadap jiwa-jiwa terhilang yang butuh pengenalan akan Kristus. Rasanya seperti Tuhan menaruh dukacita dalam hatiku ketika aku berusaha menolak panggilan itu. Setelah acara berakhir, aku memutuskan untuk menceritakan pergumulan hatiku kepada seorang kakak rohani dan dia mendoakanku supaya aku mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan.

Kamp telah usai dan tiba saatnya kami kembali ke dunia kerja. Aku masih tidak percaya pada panggilan Tuhan untukku hal itu membuatku sangat bersedih dan tidak berhenti menangis. Sebelum aku masuk ke dalam bus yang akan mengantarkanku ke kota tempatku bekerja, aku menyempatkan diri untuk pergi ke toilet lalu berdoa dengan berurai air mata seraya berkata, “Tuhan aku mau, terjadilah padaku apa yang menjadi kehendak-Mu.”

Kembali ke dunia kerja

Aku pun kembali ke dalam pekerjaanku sebagai seorang fotografer dan penyiar radio yang cukup menyita banyak waktuku. Dua pekerjaan yang aku tekuni ini adalah sesuatu yang menyenangkan dan merupakan minat serta bakatku, namun hal ini jugalah yang membuatku lupa akan komitmenku untuk mau dipakai Tuhan melayani jiwa-jiwa dan membawa mereka kepada Tuhan.

Di akhir tahun 2016, aku mendapatkan sebuah tawaran untuk menjadi staff penuh waktu di yayasan yang melayani siswa dan mahasiswa. Aku mengenal yayasan ini karena semasa dulu kuliah, yayasan inilah yang membinaku. Pihak yayasan itu menanyakan kepadaku apakah aku berkenan untuk menerima panggilan menjadi staff di kota kecil di Jawa Timur. Mulanya aku bingung dengan tawaran itu. Aku telah merasa nyaman tinggal dan bekerja di kota metropolitan, jadi aku pun enggan jika harus pindah ke kota kecil. Kemudian aku berdoa dan memohon pada Tuhan supaya aku ditempatkan di kota yang sesuai dengan keinginanku saja.

Tuhan tidak tinggal diam, Dia menggunakan berbagai hal untuk membawaku kembali pada panggilanku yang sesungguhnya. Di bulan Maret 2017 aku mengikuti seminar tentang pemuridan dan aku merasa bahwa di setiap sesi khotbah yang dibawakan seperti menyinggung dan mengingatkanku akan doa yang kupanjatkan ditahun 2016, ketika aku berkata mau taat kemana pun Tuhan mau menempatkanku. Tidak sampai disitu saja, aku semakin diteguhkan untuk berhenti dari pekerjaanku ketika tanpa sengaja aku membaca sebuah buku karya John Ortberg yng berjudul Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu. Ketika aku membuka buku itu secara acak, mataku berhenti pada sebuah paragraf yang bertuliskan, “Kadang-kadang, dalam kedaulatan Allah, akhir dari suatu karir adalah permulaan dari panggilan hidup. Sejauh mana pekerjaan Anda saat ini mengungkapkan bakat dan hasrat Anda yang sesungguhnya?” Apa yang baru saja kubaca itu seolah menegurku tepat pada sasaran.

Memulai sebuah awal yang baru

Bulan Mei 2017 aku memantapkan hatiku untuk menerima panggilan itu dan melayani di kota kecil dimana aku ditempatkan. Berada di tempat yang sepenuhnya baru dan harus kembali beradaptasi bukanlah hal yang mudah bagiku, tapi aku mau tetap percaya bahwa Tuhan senatiasa menyertaiku. Aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku sebagai fotograrer dan penyiar radio. Ketika mendengar rencana ini, orangtuaku sangat menentangnya dan dengan berurai air mata aku menjelaskan kepada ayahku kalau aku tidak bisa menolak panggilan ini.

Aku berdoa supaya Tuhan melembutkan hati ayahku. Beberapa hari kemudian ayahku bertanya kapan aku akan berangkat dan ke kota mana aku ditempatkan. Pertanyaan itu merupakan tanda bahwa beliau telah menyetujui keputusanku. Aku takjub akan pekerjaan Tuhan yang mengubahkan hati ayahku secepat itu. Belum semua teman-temanku tahu tentang keputusanku ini, tapi aku siap untuk memberikan jawaban kepada mereka jika mereka bertanya alasan mengapa aku melepaskan pekerjaanku yang semula. Aku belajar untuk tidak terlalu mempedulikan penilaian orang lain terhadapku, tapi mempedulikan tentang bagaimana Allah menilaiku. Aku hidup untuk menyenangkan Allah, bukan manusia.

Dari pergumulanku akan panggilan hidup ini, ada beberapa hal yang ingin aku bagikan kepadamu:

1. Mengasihi Allah lebih dari apapun adalah kunci ketaatan

Sebagai seorang perempuan single berusia 23 tahun sebenarnya aku memiliki mimpi dan ekspektasi yang besar akan masa depanku. Namun, semua itu berubah ketika aku menyadari betapa besar kasih Tuhan kepadaku.

Kita bisa menulis atau mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, namun mengasihi Allah tentu lebih dari sekadar ungkapan kata. Mengasihi Allah berarti kita harus melakukan tindakan nyata yang disertai dengan iman. Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, sehingga hidup ini merupakan persembahan bagi Allah (Roma 12:1). Apa yang akan kita korbankan bagi-Nya?

2. Kita melayani bukan karena layak, tetapi Tuhanlah yang melayakkan

Ada beberapa contoh tokoh Alkitab yang awalnya menolak untuk dipakai Tuhan. Musa, pada awalnya dia merasa dirinya tidak layak memimpin bangsa Israel (Keluaran 3:11; 4:1&10) hingga beberapa kali dia menolak panggilan Tuhan. Selain Musa, ada juga Yunus yang harus menanggung akibat dari ketidaktaatannya untuk pergi ke Niniwe. Tuhan memerintahkan Yunus untuk memperingati kota itu supaya bertobat, tapi Yunus malah pergi melarikan diri ke Tarsis hingga akhirnya dalam perjalanan perahunya diombang-ambing badai, Yunus dilemparkan ke laut dan ditelan oleh ikan besar (Yunus 1:17).

Dari kedua tokoh Alkitab itu aku belajar bahwa jika Tuhan memakai seseorang yang sempurna untuk menjadi alat-Nya, maka Dia tidak akan menemukan satupun. Namun, terpujilah Allah karena dia setia dan menyertai anak-anak-Nya. Ada banyak kesulitan untuk mentaati panggilan Tuhan, salah satunya adalah tetap mempercayai-Nya. Percayalah bahwa Tuhan sanggup bekerja di dalam kelemahan kita, karena justru di dalam kelemahan itulah kuasa-Nya menjadi sempurna (2 Korintus 12:9). Aku percaya bahwa Tuhan juga sanggup bekerja dalam setiap kelemahanku untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya.

3. Kita menantikan Tuhan dengan melakukan disiplin rohani dan mendengar nasihat

Ketika aku bergumul dengan panggilan hidupku, aku melatih diriku untuk lebih giat melakukan disiplin rohani. Aku melakukan pendalaman Alkitab secara pribadi dengan menggunakan buku-buku panduan. Aku juga lebih banyak berdoa di waktu luangku dan mulai melatih diri berpuasa. Bukan sesuatu yang mudah bagiku, namun kakak rohaniku selalu mendukungku dan mengingatkanku untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Ketika aku mengarahkan pandanganku pada Tuhan, ada banyak hal yang Dia nyatakan kepadaku. Tuhanlah satu-satunya sumber kekuatan dan hikmat. Semakin kita mendekat kepada-Nya, semakin kita bisa dengan jelas mendengar suara-Nya.

Pengambilan keputusan yang kuambil tidak lepas dari bimbingan dan nasihat beberapa orang. Tuhan juga bisa menggunakan nasihat dari orang lain untuk menolong kita mengetahui kehendak-Nya. Pilihlah orang-orang yang takut akan Allah dan mintalah nasihat dari mereka. “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak” (Amsal 12:15).

Baca Juga:

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Tidak Sesuai Harapanku

Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman. Tapi, aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis, hingga suatu ketika ada sebuah peristiwa yang menyadarkanku akan apa yang menjadi motivasi pertamaku ketika memilih bekerja di sini.