Sejak masih sekolah dulu, teman-temannya sering menjuluki Ary dengan nama ‘Bolang’ alias si ‘Bocah Ilang’. Kesukaan Ary adalah pergi menjelajah ke banyak tempat di Indonesia. Sejak menamatkan studi di kota kesayangannya, Jogjakarta, Ary pindah dan menetap di Jakarta.

Posts

Dibuai Narasi Negeri nan Kaya—Catatan Perjalanan ke Ujung Indonesia

Oleh Aryanto Wijaya

Usiaku 21 tahun ketika aku menginjakkan kakiku sebagai seorang backpacker selama satu bulan penuh menjelajahi Sumatra. Buatku yang lahir dan besar di Jawa, pulau besar di sebelah barat negeri ini menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda, yang membuat jantungku berdegup kencang sekaligus bibirku tersenyum sumringah akan keindahan alamnya juga keramahan orangnya.

Perjalananku dimulai dengan menaiki pesawat ke Kualanamu, Medan. Dari sini, aku dan temanku—seorang bule Jerman yang mengajakku ikut backpackeran—melanjutkan perjalanan lewat jalur darat. Tiga hari di Medan, tiga hari di Bahorok, kami lalu bertolak menuju Banda Aceh sampai titik nol Indonesia di Sabang dengan naik bus umum dan ferry. Setelah seminggu di Aceh, kami turun ke sisi selatan Sumatra dengan tujuan utama: Padang dan Bukittinggi. Tapi, alih-alih melewati jalan utama dari Aceh yang melewati Medan, kami melewati jalur tengah yang membelah pegunungan Gayo-Luwes sampai nanti kami tiba di Parapat, Sumatra Utara.

Jalanan membelah pegunungan Leuseur ini tidak semulus jalan antar-provinsi di Jawa yang ramai penduduk. Dari Banda Aceh sampai ke Kutacane kami membutuhkan waktu perjalanan tiga malam dengan rincian satu malam wajib transit di Takengon, dan semalam lagi di Kutacane karena tidak ada angkutan yang beroperasi di malam hari. Angkutan antar-kotanya pun tidak seperti travel Bandung-Jakarta yang bisa dengan mudah kita pesan online dengan mobil anyar. Angkutan yang kami naiki adalah mobil L-300 dengan AC alami dari angin semilir.

Jalan belum beraspal yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Aceh Tengah

Menepi sejenak di tepian Danau Lut Tawar, Takengon. Di tiap-tiap kota jika tidak berjalan kaki, kami menyewa motor atau kadang dipinjamkan oleh warga yang berbaik hati.

Pengalaman menarik yang membuat jantung was-was kualami ketika mobil yang kami tumpangi melewati perbatasan provinsi. Di sebuah pasar, naiklah seorang ibu dengan anaknya yang tampaknya masih balita. Ibu ini membawa serta ember besar dengan tas dari anyaman bambu. Di ember itu tampak hasil bumi berupa sayuran.

“Mau ke mana, Dek?” tanya si ibu yang mendapat duduk di sebelahku. Kami duduk di bagian paling belakang karena semua kursi di depan sudah penuh.

“Ke Siantar, Bu,” jawabku.

“Sudah pernah ke daerah sini?” dia bertanya lagi sambil melempar senyum. Aku tak menaruh curiga apa pun, toh dia tampak seperti ibu-ibu biasa. Lagipula, pertanyaan seperti ini sudah sering kudapat sepanjang perjalanan backpakceran. Penampilan seorang anak muda kurus dengan ransel yang lebih tebal daripada badannya memang mengundang pertanyaan bagi warga di desa-desa yang kusambangi.

“Hehe…iya Bu, ini baru pertama ke Aceh…” Aku tak berniat untuk melanjutkan obrolan karena jalanan rusak membuat mobil kami seperti dikocok-kocok. Mual. Jadi, aku pun tertidur.

Kira-kira tiga jam kemudian aku terbangun dengan kondisi mobil telah berhenti. Kutanya ke penumpang lain di depan ada apa, dijawabnya kalau ada pemeriksaan kendaraan sebelum masuk ke provinsi Sumatra Utara. Seraya kami turun, beberapa orang tanpa seragam yang belakangan kutahu itu polisi menghampiri mobil kami dan melakukan penggeledahan.

Awalnya suasana tenang-tenang saja, tapi mendadak riuh ketika ibu yang sedianya duduk di sebelahku berteriak keras dan meronta. Dia berusaha lari, tapi tangannya dipegang erat.

Saat barang-barang kami digeledah, rupanya di balik sayuran yang tampak di ember ibu itu tersimpan ganja.

“Gila…” aku membatin. Belum pernah kulihat rupa asli tanaman itu, sekaligus juga melihat bagaimana seorang ibu diringkus oleh aparat.

“Kenal ibu ini? Tadi naik dari mana dia? Kamu juga naik dari mana dan mau ke mana?” Polisi turut menginterogasiku. Dilihatnya KTP-ku, juga semua penumpang lain ikut diperiksa kalau-kalau ada kaitannya dengan si ibu. Ransel besarku ikut dibongkar, kalau-kalau aku ikut membawa barang terlarang itu. Dalam hati aku was-was. Kalau saja ibu itu berniat buruk, bisa jadi saat aku tidur dia diam-diam menyelipkan sejumput barang itu ke kantong celana cargo atau tasku. Tapi, syukurlah itu tak terjadi. Di ranselku, celanaku, juga di semua barang penumpang lainnya tak ditemukan ada kejanggalan. Setelah dua jam menanti, kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.

Suasana di dalam mobil yang awalnya hening menjadi riuh oleh obrolan seputar ibu tadi.

Supir membuka diskusi, “Gila itu ibu… bawa ganja kok siang-siang demi duit yang gak seberapa.”

“Memang dia itu naik dari mana?” sahut penumpang yang lain.

“Tadi kudengar dia itu dari Blangkejeren. Disuruh bawa itu barang ke Medan. Katanya nanti dikasihlah duit 10 juta, tapi baru 2 juta yang dikasih.”

“Blangkejeren”… aku ingat nama tempat ini. Itu adalah kota yang kulewati dalam perjalananku dari Takengon ke Kutacane. Kota ini kecil dan aksesnya sulit karena terkepung pegunungan. Meskipun mungkin secara potensi alam kaya, tetapi statistik menunjukkan bahwa orang-orang di sana hidup dalam kemiskinan. Tahun 2021 pendapatan per kapita rata-rata orang di sana hanya berkisar 438 ribu per bulan, menjadikannya sebagai kabupaten termiskin kedua di Provinsi Aceh.

Masalah yang kita semua punya andil di dalamnya

Pengalaman di Sumatra itu membuatku merenung lebih jauh. Ketika Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun, tak semua warganya menikmati kehidupan yang layak. Meskipun tiap daerah punya problemnya sendiri-sendiri, kurasa aku yang sehari-harinya hidup di kota besar di Jawa mungkin lebih beruntung karena akses infrastruktur yang lengkap dan ketersediaan lapangan kerja relatif lebih mudah. Tak dipungkiri bahwa sejak kita merdeka, negeri ini belum memaksimalkan potensinya. Pembangunan masih bersifat Jawa-sentris meskipun sudah mulai ada gebrakan pemerataan pembangunan sejak era reformasi. Belum lagi masalah-masalah domestik lainnya seperti intoleransi, pelanggaran HAM, korupsi, juga krisis lingkungan yang semakin hari dapat semakin parah.

Bicara soal kemiskinan, fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru dan mungkin pula terkesan utopis untuk mengenyahkannya seratus persen dari muka bumi. Tetapi, Yesus memberi kita teladan menarik. Ketika Dia berada di Betania, datanglah seorang perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak. Melihat tindakan wanita itu, para murid pun gusar. Mereka bilang, “Untuk apa pemborosan ini? Sebab minyak itu dapat dijual dengan mahal dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin” (Matius 26:8-9).

Yesus pun merespons, “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.” (ayat 10-11).

Sang perempuan yang meminyaki Yesus bukanlah seorang yang dianggap terhormat pada masa itu. Dia bukan Yahudi, dan beberapa tafsiran juga mengungkapkan mungkin perempuan itu adalah perempuan sundal. Tetapi, dia memberikan penghormatan pada Yesus dengan mengurapi-Nya dengan minyak narwastu yang mahal.

Yesus menerima tindakan perempuan itu dan dengan tegas menekankan pada para murid bahwa orang-orang miskin akan selalu ada bersama mereka. Artinya, sepanjang kehidupan ini kita para murid akan senantiasa berjumpa dengan orang-orang miskin, yang teraniaya. Dan, di sinilah panggilan mulia itu diberikan bagi kita bahwa jika kita menolong dan berbaik hati pada seorang yang dianggap dunia paling hina, kita melakukannya untuk Tuhan (Matius 25:40).

Lebih lanjut lagi, Yesus datang ke dunia untuk menggenapi apa yang Yesaya nubuatkan, “…untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin… memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19).

Panggilan untuk melayani mereka yang paling hina masih dan terus berlaku bagi setiap pengikut Kristus sampai kepada hari ini.

Aku tahu mengentaskan kemiskinan dan penderitaan tidaklah mudah dan instan, itu adalah perjuangan yang harus selalu kita upayakan sampai kedatangan-Nya yang kedua. Pada banyak kasus, kemiskinan dan penderitaan ini muncul akibat dari masalah kompleks yang saling berkelindan, atau sederhananya: kekacauan struktural—pemerintahan yang korup, warga yang tak terudaksi dan terampil, akses infrastruktur juga pendidikan yang sulit, timpangnya kesenjangan sosial, hingga posisi geografis. Tetapi, percayalah satu tindakan kecil kita yang bisa kita mulai dengan mendoakan, akan memberi dampak.

Dalam doa-doa kita izinkanlah Tuhan menggerakkan hati kita untuk bertindak. Kita mungkin tak bisa menolong langsung seseorang yang tak berdaya dengan memberinya segepok uang, seperti aku yang tak berdaya bagaimana menolong si ibu di sebelahku yang diringkus polisi. Kita bisa memulainya dengan belajar peka: siapa orang di sekitar kita yang Tuhan letakkan namanya di hati kita untuk kita tolong? Jika memungkinkan, kita bisa menjangkaunya dengan bertanya apa yang jadi kebutuhannya dan memberi pertolongan sesuai kemampuan kita. Atau, kita juga dapat mempertimbangkan untuk memberi lewat lembaga-lembaga yang kredibel yang tak cuma memberi, tetapi mengupayakan empowerement agar masyarakat yang rentan dapat lebih berdaya. Semua tindakan ini meskipun tidak memberi dampak dramatis adalah upaya yang berguna, ibarat menyalakan lilin di tengah kegelapan, alih-alih hanya mengutukinya.

Meskipun statistik mengatakan Indonesia sekarang telah menjadi lebih makmur daripada di masa lampau, tetapi tetaplah ingat bahwa di balik statistik itu ada orang-orang yang berjuang untuk dapat hidup dengan layak. Dan sebagaimana Kristus memanggil kita, kita punya andil dalam kesejahteraan negeri ini.

Kiranya Tuhan memberkati Indonesia, negeri kita yang amat luas ini.

Dirgahayu!

Stres Sehari-hari Bukanlah Kondisi yang Bisa Dianggap Remeh

Oleh Aryanto Wijaya

Sudah lebih dari dua bulan perutku tampak dan terasa lebih besar dari biasanya.

“Dung…dung…” suara kembung muncul saat telapak tanganku kutepukkan pelan-pelan ke atas perutku. Pikiranku segera menerka kalau-kalau ada yang tak beres dengan pencernaanku. Daripada aku googling dan mendapati info-info tidak akurat, maka keesokan harinya kuputuskan untuk menemui dokter spesialis penyakit dalam.

Sebenarnya kembung yang kualami saat itu bukanlah yang pertama. Setahun sebelumnya, aku pernah mengalami kembung serupa. Oleh dokter yang kusambangi, aku cuma dibilang butuh lebih banyak olahraga. Namun, di konsultasiku yang kedua kali (tapi di dokter yang berbeda), barulah aku disodorkan fakta yang membuatku tercengang.

Selama lebih kurang setengah jam, dokter melakukan pemeriksaan USG pada perutku. Hasilnya, dia bilang kalau aku terkena Gastroesophageal Reflux Disease atau lebih beken disingkat Gerd. Penyakit Gerd ini menyebabkan lambungku memproduksi cairan asam yang berlebihan. Karena volumenya yang terlalu banyak, asam itu lalu menjalar ke kerongkongan dan bagian pencernaan lainnya. Dampaknya jika dibiarkan bisa fatal.

“Masih mau hidup lama, kan?” tanya sang dokter dengan senyum tipisnya.

Aku tahu itu pertanyaan seloroh, tapi terasa menohok. Kujawab, “Iya dong dok, menikah aja belom masa udah good bye, haha.”

Aku menggugat diriku sendiri: kok bisa di umur yang masih muda sudah punya sakit begini?

Selama enam bulan sejak aku melakukan pengobatan hari itu, aku melakukan banyak pantangan makan. Pola hidup pun mau tak mau berubah total, walaupun ini sangat sulit dan seringkali aku abai. Aku belajar membiasakan diri untuk bergerak, makan mengurangi gorengan, tidur cukup, dan yang paling susah….mengubah caraku merespons terhadap stres.

Pikiran stres yang tak mungkin bisa hilang dari hidup

Di konsultasi-konsultasiku selanjutnya dengan dokter, dia mengungkapkan bahwa salah satu penyebab gangguan lambungku adalah stres yang tidak dikelola dengan baik, yang diperparah dengan tabiat makan dan pola tidur yang buruk.

Aku lantas menyelidiki diriku. Agaknya apa yang dokter itu sampaikan bukanlah sekadar diagnosis yang diambil dari teori, tetapi memang pada faktanya demikian. Aku seorang yang bisa dikategorikan sebagai introver, meskipun karena tuntutan pekerjaan aku sering tampil di muka publik. Aku suka menyendiri dan merenung, tetapi kadang durasinya bisa kelamaan. Dari situ, kusadar kalau aku belum memiliki kapasitas untuk mengelola setiap tekanan hidupku dengan benar dan baik. Ketika beban pekerjaan, konflik dengan rekan, beban finansial, atau masalah keluarga datang—yang sebenarnya adalah masalah rutin yang kita alami—yang kulakukan adalah berlebihan memikirkannya. Kupikirkan hal-hal yang seharusnya tak perlu jadi soal, hingga aku pun terjebak dalam pusaran kekhawatiran. Tidak satu jam atau dua jam, pikiran berat itu kubiarkan berkecamuk di otak berhari-hari, sampai-sampai aku sering kedapatan melamun sendirian di samping jendela.

Dalam buku Filosofi Teras, dr. Andri yang merupakan spesialis kejiwaan mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di otak kita bisa memengaruhi badan secara keseluruhan. Tidaklah heran apabila saat seseorang merasa tegang atau panik, dia akan gemetar atau berkeringat dingin, atau sakit kepala. Lanjutnya, otak kita selalu berusaha untuk beradaptasi. Ketika kita mengalami stres yang diterjemahkan otak sebagai persepsi negatif, otak kita akan bekerja lebih keras untuk beradaptasi dengannya.

Hans Selye mengatakan demikian: “Bukan stres yang sebenarnya membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadapnya.”

Mendapati kenyataan bahwa tekanan-tekanan hidup yang mengantar kita pada pikiran stres adalah bagian dari hidup, dapat menolong kita untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Kita perlu menggeser fokus, bukan agar semua tekanan dalam hidup ini lenyap, tetapi bagaimana kita dapat merespons dengan benar terhadapnya.

Jalan pasti yang Gembala kita tawarkan

Ilmu psikologis saat ini telah berkembang. Kita dapat menemukan beragam jawaban komprehensif atas kendala-kendala pikiran dan perasaan yang kita gumulkan. Tetapi, sebagai orang Kristen, hendaknya kita tidak lupa bahwa iman yang kita anut turut pula menyajikan bagi kita jawaban-jawaban yang mendasar melalui firman Tuhan. Ayat-ayat dari Alkitab bukanlah mantra yang jika kita daraskan akan mengubah keadaan kita seperti sulap, tetapi karena itu diilhamkan oleh Allah, maka dengan kita menerima, mengerti, dan mengaplikasikannya, firman Tuhan berkuasa untuk mengubah kelakukan kita dan mendidik kita dalam kebenaran (2 Timotius 3:16; Yakobus 1:22).

Alkitab pun melihat perasaan takut, stres atau tertekan sebagai respons alamiah manusia. Tidak ada satu pun manusia yang kebal dari perasaan ini. Dalam beberapa bagiannya, Alkitab mencatat tokoh-tokoh yang bergumul dengan tekanan-tekanan hidup: Pemazmur yang meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi, Tuhan…?” (Mazmur 13:2); Ayub yang dalam kesakitannya tak tahu bilamana segala penderitaannya akan selesai; atau seorang Rut, yang pasca kematian suaminya harus memilih bagaimana dia akan hidup. Bahkan, Tuhan Yesus dari sisi manusia-Nya pun mengalami hebatnya gulatan perasaan ini ketika Dia hendak ditangkap oleh prajurit Romawi. Injil Matius 26 mencatat saking takutnya, Yesus mengucap: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya…” (ayat 38), dan saat Dia berdoa pun keringatnya berubah seperti titik-titik darah (Lukas 22:44).

Allah mengaruniakan manusia akal budi. Kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia, dan mampu membedakan manakah yang baik dan yang buruk (Roma 12:2). Perasaan stres sejatinya adalah respons yang wajar, namun di sinilah titik krusialnya: bagaimanakah kita akan merespons stres tersebut?

Dunia mungkin menawarkan kita solusi atas perasaan itu—rekreasi sejenak, self-healing dengan makan, atau pada kasus yang buruk: beralih pada obat-obatan atau minuman beralkohol. Solusi-solusi itu bermanfaat, tetapi itu bisa hanya bersifat sebagai pengalihan. Biasanya, segera setelah seseorang pulang dari berlibur atau nongkrong, dia akan kembali berkubang dalam pikiran stresnya.

Firman Tuhan menawarkan kita solusi yang dibangun di atas jalan yang pasti, yakni jalan yang dibuat oleh Sang Gembala Agung untuk memimpin domba-domba-Nya.

Pertama, segala permasalahan dalam hidup yang memunculkan stres dalam diri kita bukanlah hal yang harus kita nihilkan kehadirannya. Melainkan, kita dapat merengkuhnya dan membawa itu semua ke hadapan Allah, sebab Allah bukanlah Allah yang jauh. Dia adalah Allah yang mendengar doa-doa kita dan bersedia menjawabnya (Yohanes 16:23).

Allah tidak memandang hina ratapan anak-anak-Nya. Yesus telah memberi kita teladan bahwa dalam masa-masa terkelam, ketika murid-murid-Nya tertidur dan tak dapat Dia andalkan, Dia tetap dapat meluapkan perasaan-Nya yang terdalam kepada Bapa (Matius 26:39, 42). Alkitab memang tidak mencatat ada jawaban secara verbal yang Allah berikan atas ratapan Yesus, tetapi satu hal yang kita imani adalah: Allah tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Dalam Podcast KaMu Episode-3, Ev. Dhimas Anugrah mengungkapkan bahwa sekalipun Allah tampaknya diam dan tidak merespons, sejatinya diamnya Allah itu merupakan bahasa kasih-Nya. Dalam diam sekalipun, Allah tidak pernah berhenti mengasihi, sebab Dia adalah kasih (1 Yohanes 4:8).

Kedua, Allah menjanjikan penyertaan-Nya bagi setiap kita (Matius 28:20). Penyertaan Tuhan bukanlah sebuah kondisi bak sulap yang menjadikan seluruh perjalanan hidup kita mulus tanpa kendala. Tantangan, kesulitan akan tetap ada dan menghadang kita, tetapi bersama Dia dan dalam penyertaan-Nya, kita selalu dimampukan untuk mengatasinya (Filipi 4:13).

Dimampukan untuk mengatasi segala tantangan itu bukan pula berarti bahwa hidup kita akan selalu berhasil. Kegagalan mungkin akan tetap kita jumpai. Kesakitan mungkin akan tetap kita alami. Tetapi, dalam iman kita mengetahui bahwa segala kesukaran itu mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Dua kebenaran yang Alkitab sajikan bagi kita ini adalah sebuah rumus dasar yang seharusnya hadir dalam pemahaman kita. Ketika kita memiliki pola pikir dan cara pandang yang berasal dari-Nya, kita pasti bisa melalui setiap tantangan dan kesukaran, dan menjadikan itu sebagai kesempatan untuk mendewasakan iman kita.

Ketiga, merengkuh kerentanan adalah cara untuk menjadi kuat. Untuk menyembuhkan sakit, kita perlu tahu secara jelas apa yang jadi penyebabnya. Jiwa yang tertekan tidak seratus persen disebabkan oleh keadaan, tetapi lebih kepada respons kita terhadap keadaan itu. Jika respons kita adalah menanggapi dengan cara-cara yang negatif, pemazmur mengingatkan bahwa “…tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari” (Mazmur 32:3).

Kembali pada secuplik kisahku tentang sakit lambungku, sejak saat itu aku terus belajar untuk membangun dasar hidupku pada dasar yang teguh: firman Tuhan. Stres yang muncul sebagai respons atas kendala sehari-hari akan tetap ada, tetapi aku kini telah mengetahui cara yang benar untuk meresponsnya. Bukan membiarkan diriku jatuh berlarut-larut memikirkannya seorang diri, tetapi aku dapat menaikkannya dalam doa, dan juga meminta bantuan dari orang-orang terdekatku atau bahkan tenaga profesional kesehatan mental. Sebab meminta tolong bukanlah tanda bahwa kita lemah, meminta pertolongan adalah tanda bahwa kita manusia ciptaan Allah, yang dipanggil untuk saling menolong (Galatia 6:2).

Menutup tulisan ini, ada satu lagu yang liriknya memberkatiku. Lagu ini adalah sebuah himne yang dalam bahasa Inggris berjudul: “Turn Your Eyes Upon Jesus.”

Refrainnya berkata:

Turn your eyes upon Jesus
Look full in His wonderful face
And the things of earth will grow strangely dim
In the light of his glory and grace

Ketika kita memandang pada Yesus dan melihat wajah-Nya yang mulia, segala hal duniawi akan meredup, tersamarkan oleh sinar-Nya yang teramat mulia.

Tabik. Tuhan Yesus memberkati.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Oleh Aryanto Wijaya

Kemarin (14/6), ungkapan bahagia muncul di beberapa Instagram story teman-temanku. Mereka lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Tak ketinggalan, sekolah yang menjadi almamaterku juga membuat postingan yang berisi ucapan selamat atas siswa-siswinya yang berhasil menembus seleksi akbar tersebut.

Tatkala teman-teman yang berhasil menumpahkan haru bahagianya, ada pula teman-teman yang gagal dalam seleksi tersebut. Beberapa sanggup berlapang dada, tapi beberapa lainnya kecewa dan memilih untuk menyembunyikan diri untuk sejenak.

Euforia yang bercampur aduk dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri—was-was, takut, kecewa, senang, atau sedih—juga pernah kualami ketika aku jadi siswa SMA. Aku yang belajar di sekolah swasta pernah punya semangat membara untuk masuk ke perguruan tinggi negeri favorit. Semangat itu mewujud dalam upaya belajar pantang lelah, ikut bimbel yang konon katanya menambah peluang bisa diterima, dan lain-lainnya. Tapi, jalan hidupku pada akhirnya tidak mengantarku studi ke kampus negeri yang kudambakan. Aku kuliah di kampus swasta dan bekerja pula di sektor swasta sampai detik ini.

Namun, hal yang menarik dari impian yang gagal terwujud itu ialah, jalan hidup kita terlalu panjang untuk didefinisikan hanya oleh satu pertandingan. Bayangkanlah kamu diberi Tuhan usia selama 70 tahun. Apakah perjalanan hidup di seluruh usia tersebut suram hanya karena kegagalan di satu babak pada usia 18 tahun? Jika 70 dikurangi 18, maka ada sisa waktu sepanjang 52 tahun, waktu yang panjang untuk kita isi dengan banyak hal yang berarti.

Ada satu kisah menarik dari Alkitab yang pesannya tetap bergema dan relevan bagi kita di masa kini, meskipun memang kisah ini tidak bicara spesifik tentang gagal ujian masuk kuliah karena toh pada zaman Alkitab belum ada institusi perguruan tinggi.

Kita ingat dengan kisah Yusuf yang hidupnya dipenuhi kemalangan karena rasa iri hati saudara-saudaranya. Yusuf dilemparkan ke dalam sumur dan dijual kepada orang Mesir. Seorang anak yang paling disayang oleh ayahnya dipisahkan secara paksa. Jika kita membayangkan ada di posisi Yusuf, sangatlah pedih tentu hati ini. Bertahun-tahun setelah terusir dari keluarganya sendiri, Yusuf bekerja di rumah Potifar lalu dijebloskan ke penjara karena menolak ajakan bersetubuh dari istri sang tuan rumah. Dari kacamata manusia, kita melihat ini sebagai kemalangan yang bertubi-tubi bagi Yusuf.

Namun, ada hal yang menarik yang bisa kita cermati. Kejadian 39:21 menulis demikian:

“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya…”

Kalimat “Tuhan menyertai” ini muncul di tengah kemalangan berat yang Yusuf hadapi. Tak hanya tertulis satu kali, pada ayat-ayat lainnya (Kej 39 ayat 2, 21, 23) juga tertulis demikian.

Hidup di dunia ini menawarkan kejutan demi kejutan, termasuk kegagalan, jadi anggaplah sebagai keindahan hidup yang harus kita nikmati ketika kita menghadapi kegagalan. Dengan begitu hidup menjadi tidak membosankan, kita tidak harus seperti robot yang harus selalu sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Bukankah hanya orang mati yang tidak akan pernah gagal? Karena ia tidak mencoba untuk melakukan apapun dan tidak menjadi apapun. Jadi kalau kita berkeinginan untuk tidak pernah gagal, kita sama saja dengan orang mati. Oleh karena itu, kegagalan yang kita alami hari ini sesederhana menunjukkan bahwa kita sedang berproses dalam hidup.

Ketika kegagalan menghadang, kita mungkin berpikir bahwa itu dihadirkan Allah sebagai hukuman atas perbuatan kita. Tetapi, bukan soal hukuman atau tidak yang seharusnya kita pusingkan, karena kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan segala sesuatu diizinkan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Tidak masalah apabila ada di antara kita yang ingin meluangkan waktu-waktunya sejenak untuk meratap dan kecewa atas kegagalan masuk di perguruan tinggi negeri, tetapi kembalilah tenang dan ingat bahwa dalam gagal atau berhasil, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Gagal dalam masuk perguruan tinggi tidak mutlak karena kita kurang berusaha atau bodoh, karena perguruan tinggi negeri diminati oleh ratusan ribu hingga jutaan siswa, sedangkan kuota yang tersedia tidak sepadan dengan tingginya peminat. Alhasil, tentu ada orang-orang yang harus tersingkir dari kompetisi ini.

Janganlah kiranya kamu berkecil hati dan padam semangatmu. Kegagalan adalah bagian yang tak terelakkan dalam kehidupan. Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk yang lain. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Teruntuk teman-teman yang gagal, damai dan ketenangan dari Tuhan kiranya mendekapmu dengan hangat agar esok kamu bisa bangkit kembali dan menikmati perjalananmu bersama Tuhan, sang penulis hidup.

Baca Juga:

Lebar atau Sempit: Mana yang Kau Pilih?

Jalan lebar dan sempit sering dianalogikan sebagai dua sikap dalam mengikut Yesus. Ketika kita harus memilih salah satu dari dua jalan ini, apa sih yang seharusnya kita ketahui dari keduanya?

Secuplik Mitos tentang LDR

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Ketika memutuskan untuk menjalin relasi jarak jauh (LDR) dengan pacarku, kurasa perjalanan kami akan terasa mudah. Kami sudah enam tahun saling kenal sebagai teman dekat, kerja kelompok bersama-sama, bahkan satu kelompok dalam mengerjakan mata kuliah puncak di semester akhir kuliah. Jarak kupikir tidak jadi kendala karena kami sudah cukup saling mengenal.

Tetapi, menjalin relasi baik terpisah secara jarak atau tidak menyajikan tantangannya tersendiri. Pasangan LDR punya pr lebih karena pertemuan fisik tidak bisa dilakukan sesering mereka yang tinggal satu kota. Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Aku bukanlah ahli dalam bidang relasi, tetapi perjalananku berelasi jarak jauh selama dua tahun mengajariku banyak hal, salah satunya adalah mitos-mitos yang dipercaya orang tentang LDR.

1. Sekarang kan teknologi sudah canggih, tidak harus bertemu muka, video-call saja cukup

Berelasi jarak jauh di abad ke-21 jauh lebih nyaman ketimbang seabad sebelumnya di mana Internet dan HP belum ditemukan. Atau, jika seabad lalu terasa jauh, bayangkanlah kita menjalin LDR di tahun 2000-an awal ketika ingin berkomunikasi harus antre di wartel, atau membeli pulsa telepon yang harganya masih selangit. Sekarang, segala kesulitan itu tidak lagi kita jumpai. Meski terpisah jarak, kita bisa berkomunikasi nyaris kapan saja dan di mana saja. Pesan via aplikasi chat dapat dikirim dan diterima secara real time. Juga dengan kecepatan internet yang makin tinggi, video call menjadi semakin mudah tanpa perlu pusing karena suara yang putus-putus atau gambar yang buram.

Tetapi, meskipun perangkat teknologi menyajikan komunikasi yang tidak terbatas pada jarak, tetap ada kelemahan di dalamnya. Teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik. Dalam komunikasi tatap muka, kita dapat menangkap lebih dari sekadar pesan verbal. Kita dapat melihat mimik wajah, gerakan tubuh, dan jalinan perasaan yang lebih kuat. Kehadiran secara fisik adalah kehadiran yang tak tergantikan oleh medium mana pun. Dan, satu hal lainnya adalah mengupayakan hadir secara fisik tentu memberikan nilai pengorbanan yang lebih.

Namun, meskipun komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik, kita tidak perlu memaksakannya setiap waktu. Kita dapat menetapkan kesepakatan per berapa lama kita akan saling bertemu. Dalam relasi kami, kami bersepakat untuk bertemu setiap dua bulan dengan memikirkan beberapa pertimbangan. Tetapi, seperti ketika pandemi Covid-19 melanda dan pertemuan fisik menjadi berisiko, kami pun kembali berdiskusi untuk menemukan cara yang tepat dan bijak untuk kami tetap dapat saling terhubung.

2. Komunikasi tanpa putus, harus mengobrol serius setiap hari

Awal-awal kami masuk dalam fase pacaran, kami berupaya membangun kedekatan seintens mungkin. Tetapi, seperti kata pepatah bahwa yang berlebihan tidaklah baik, demikian juga dengan memaksakan durasi dan frekuensi komunikasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Kami pernah berada di fase di mana menelepon setiap hari dengan durasi di atas satu jam. Akibatnya, dalam beberapa bulan kami kelelahan secara fisik dan mental. Topik pun keburu habis dibahas. Alih-alih menjadi erat, kami malah menjadi renggang.

Aku lalu mendapati sebuah wejangan bijak dari seorang praktisi relasi yang berkata, take it slow to make it last. Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti, dibuat santai supaya awet. Wejangan tersebut ada benarnya. Memaksakan durasi telepon menjadi tiap hari, berjam-jam, dan membahas topik-topik serius (semisal: rencana pernikahan, dsb) membuat kami luput akan apa yang sejatinya kami butuhkan. Manusia membutuhkan waktu tak cuma untuk berkomunikasi dengan pasangannya, tetapi juga dengan keluarganya, sahabatnya, diri sendiri, juga dengan Tuhan!

Lagi-lagi, yang dibutuhkan di sini adalah kesepakatan dan saling pengertian. Kami lalu saling mengevaluasi area manakah dalam hidup kami yang terabaikan dalam upaya kami membangun kedekatan. Setiap pasangan punya kesepakatannya masing-masing. Aku dan pacarku bersepakat untuk menelepon sekitar dua hari sekali, saat tidak sedang sibuk, atau memang jika keadaan memungkinkan saja. Di sini kami belajar untuk saling percaya. Dan, puji Tuhannya, relasi kami jadi membaik. Kami punya waktu untuk bersaat teduh, bekerja lembur, quality time bersama kawan dan keluarga, atau sekadar me-time untuk merelaksasi diri.

3. Jangan terlalu percaya, harus selalu ada curiga

“Memangnya kamu yakin dia pasti jujur? Kan nggak ada yang tahu kalau dia bakal bohong”.

Seperti disinggung di awal, LDR dianggap sebagai bentuk relasi yang berisiko, terkhusus dalam hal kehadiran orang ketiga. Kesadaran akan risiko ini biasanya menimbulkan bibit-bibit kecurigaan yang sadar atau tidak terselip dalam relasi sehari-hari. Pasangan menjadi cemburu dan melontarkan kata-kata menyindir, melarang-larang, atau pihak tertuduh lantas menjadi emosi atau mengarang alasan-alasan palsu.

Yang perlu kita pahami, meskipun jarak memberikan risiko yang lebih tinggi, ketidakjujuran adalah pilihan yang berasal dari diri sendiri. Hampir tidak ada kaitannya dengan jarak yang membentang. Ketika seseorang sudah memiliki itikad untuk tidak jujur, tanpa adanya jarak fisik yang membentang sekalipun, dia bisa melakukannya. Dunia biasanya memberikan saran berupa letakkanlah sedikit curiga, jangan percaya sepenuhnya pada pasanganmu, dan sebagainya. Tetapi, dalam relasi antara dua anak Tuhan, kepercayaan adalah hal yang harus selalu ada. Dan, tugas dari pasangan itu adalah saling memelihara kepercayaan tersebut. Bibit-bibit kecurigaan yang kita pelihara bisa bertumbuh dan mewujud ke dalam bentuk hilangnya rasa percaya, perubahan nada dan cara bicara, hingga spekulasi-spekulasi yang bukannya mengarahkan kita pada solusi tetapi malah membawa kita ke dalam jurang konflik yang dalam.

Memelihara kepercayaan datang dari meletakkan relasi tersebut sebagai relasi yang kudus dan penting bagi Allah. Kolose 3:23 mengatakan apa pun yang kita perbuat, perbuatlah itu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kurasa prinsip ini juga dapat berlaku dalam hal relasi, tentang bagaimana kita memperlakukan pasangan kita sebagai pelayanan kita juga terhadap Allah. Ketika kita berlaku jujur, mengasihi, dan juga menjaga kekudusan dengan dan kepada pasangan kita, itu berarti kita sedang menghormati dan melayani Allah.

* * *

Aku yakin ada banyak mitos lainnya yang kita pernah percayai terkait LDR atau juga berpacaran pada umumnya. Setiap relasi, baik itu LDR atau tidak, memiliki tantangannya masing-masing. Tetapi, yang paling penting dalam menjalaninya adalah bagaimana kita dapat memelihara komitmen dan memuliakan Allah di dalamnya.

Setiap manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ketika dua orang berdosa memutuskan untuk berelasi, tidak ada relasi yang sempurna. Oleh karena itu, sebuah relasi yang bertahan dan berjalan baik bukanlah relasi yang tanpa konflik dan kecewa. Hal-hal yang menyakitkan hati mungkin akan terjadi, tetapi yang terpenting adalah kedua belah pihak menyadari bahwa mereka membutuhkan anugerah Allah setiap hari dalam relasi mereka, dan melibatkan-Nya untuk hadir, berjalan, dan memimpin relasi tersebut untuk mencapai tujuan mulia-Nya.

Mitos atau pengalaman LDR apakah yang kamu alami? Yuk bagikan juga di kolom komentar.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Lelehan mentega, bercampur sirup gula dan serbuk vanilla tercium semerbak. Malam ini Chesa membuat nastar untuknya dan kedua adiknya.

Tembok Bata dari Jaring Laba-laba

Oleh Aryanto Wijaya

Alkisah ketika Perang Dunia II berlangsung di Pasifik, seorang marinir Amerika Serikat (AS) terpisah dari pasukannya. Berawal dari keterpisahan dan nyaris mati, sang marinir malah mendapati ‘mukjizat’ pertolongan. Tak diketahui siapa nama marinir tersebut, tetapi kemungkinan besar kisah ini terjadi di Saipan, salah satu pulau di Kepulauan Mariana.

Perang di Pasifik antara AS dengan Jepang jauh berbeda dengan palagan di Eropa. Tentara AS menghadapi medan berupa hutan belantara yang hawanya lembab, dan prajurit Jepang yang lebih memilih mati daripada menyerah. Tentara musuh memanfaatkan belantara sebagai tempat yang tepat untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba.

Ketika sang marinir terpisah dari pasukannya, dia mendaki ke bukit yang tanpa dia ketahui adalah teritori musuh. Langkahnya tetiba berhenti. Dia mendengar seorang prajurit Jepang berpatroli. Jika ketahuan, tentu kematian adalah jawabannya. Sang marinir lalu berusaha mencari tempat sembunyi. Tak jauh dari posisinya, dia melihat sebuah goa. Dia berdoa agar goa itu kosong, dan doanya pun terkabul.

Goa itu punya kedalaman yang lumayan, tetapi tetap saja pasukan musuh bisa sewaktu-waktu merangsek masuk. Cahaya matahari dari luar pun masuk dengan berlimpah ke dalam. Ini berbahaya. Prajurit jepang bisa dengan mudah melihat ada musuh di dalam goa. Dia pun berdoa kembali, memohon Tuhan memberikan tembok bata supaya prajurit musuh tak mampu melihatnya, atau tak bisa masuk ke dalam goa itu.

Bermenit-menit sang marinir memasang telinga, dengar-dengaran terhadap suara sekecil apa pun. “Krak…krak..” dia mendengar langkah kaki yang mematahkan ranting dan dedaunan kering. Itu langkah kaki pasukan Jepang! Lagi-lagi sang marinir berdoa agar Tuhan memberinya tembok bata, tapi tak ada yang terjadi. Tak mungkin ada pasukan marinir lain menolongnya, jadi dia pun menyiapkan senjata. Wajah pertama yang muncul di dalam goa akan dia tembak. Selama dia bersiaga, muncul seekor laba-laba besar. Laba-laba itu menjalin jaring persis di mulut goa. Menit demi menit, jaring itu bertambah besar dan besar, menutupi hampir seluruh mulut goa.

Sang marinir lantas tertawa, “Tuhan, aku perlu sebuah tembok bata dan Engkau mengirimkanku laba-laba?”

Tak lama menjelang, langkah kaki pasukan Jepang semakin dekat. Sang marinir bersembunyi di balik cerukan, sudah siap menembak sembari melihat bahwa sarang laba-laba itu nyaris selesai sempurna. Langit sedikit mendung sehingga pandangan ke dalam goa menjadi gelap. Pasukan Jepang yang telah tiba di depan goa berbicara. Mereka ragu untuk mengecek ke dalam karena jaring laba-laba tersebut. “Kita tidak perlu memeriksa goa ini. Tidak seorang pun dapat masuk ke dalam tanpa merusak jaring ini.” Benarlah apa yang prajurit itu katakan. Jika memang ada orang yang masuk ke dalam goa, tentu dia harus merobek jaring laba-laba tersebut. Mengira goa itu kosong, mereka pun lantas pergi.

Butuh beberapa saat bagi sang marinir untuk mencerna peristiwa itu. Dia tertegun dan mengucap syukur pada Tuhan untuk ‘tembok bata’ yang dibuat dari jaring laba-laba itu.

Keadaan tertekan, takut, dan hampir putus asa pun pernah dialami Habakuk pada zaman Perjanjian Lama. Habakuk mempertanyakan apakah Allah masih setia terhadap bangsa Israel yang hidup ditindas oleh orang Kasdim. Namun, di tengah keadaan yang sepertinya suram dan tak lagi ada harapan, Habakuk meneguhkan imannya dengan kembali berfokus pada Allah sumber keselamatan, kekuatan, dan keteguhan (Habakuk 3:18-19). Dari Habakuk kita dapat belajar bahwa siapa pun yang percaya kepada Allah tidak dikecewakan-Nya.

Kisah sang marinir juga sekelumit tentang Habakuk ini menggemakan pertanyaan di hati kita: berapa banyak ‘jaring laba-laba’ yang sudah Tuhan bentuk dalam hidup kita, tapi kita malah bersikap seperti sang marinir, sangsi dan merasa laba-laba itu cuma buang-buang waktu dan upaya tak berguna. Hingga kemudian, kita menyadari bahwa itu sesungguhnya adalah berkat yang terselubung. Ketika kita mengizinkan Tuhan bekerja dalam hidup kita, itu tidak berarti jalan kita akan jadi mulus dan nyaman. Setiap orang, bahkan orang Kristen sekalipun, akan mengalami penderitaan dan kesukaran dalam hidup mereka. Cobaan-cobaan itu bisa datang dalam rupa relasi yang karam, kehilangan pekerjaan, krisis keuangan, sakit keras, atau kematian orang yang dikasihi.

Kita lantas berfokus pada bahaya yang menyergap di luar dan mengabaikan ‘goa’ yang sesungguhnya cukup untuk menjadi tempat perlindungan kita. Kita getir, tak melihat bagaimana sesungguhnya Tuhan bekerja. Kita acuh tak acuh ketika Tuhan memberi cerukan dalam goa itu sebagai tempat kita bersembunyi, atau tatkala Dia membuat langit sedikit mendung agar kita diluputkan dari musuh. Kita pun mengernyit ketika seekor laba-laba dipakai Tuhan untuk menciptakan jaring yang lemah, tetapi mampu menahan kita dari kesukaran yang lebih besar.

Kisah marinir tersebut mungkin bisa dianggap sebagai kisah mukjizat, tapi bisa juga sebagai kisah kebetulan biasa. Tapi jaring laba-laba itu bisa jadi sungguh menyelamatkan. Setelah prajurit Jepang pergi, pasukan AS akan segera datang dan menyelamatkan dia.

Tuhan jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan, dan terkadang apa yang Dia beri melampaui apa yang kita pikirkan. Sungguh, Tuhanlah “tempat perlindungan dan kubu pertahanan” kita (Mazmur 91:2).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Para sahabat pernah bertanya kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Pertanyaan itu perlu kujawab dengan bertutur tentang siapa sosok Yesus yang ingin kubagikan dalam tulisan panjang ini. Selamat membaca!

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang cukup viral. Di video itu ditunjukkan seorang badut dengan mimik tersenyum berdiri di ballroom mal yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya pengunjung di mal itu, tak ada satupun yang tergerak untuk mengisi kotak uangnya. Namun, sang badut bergeming menghibur orang-orang yang sedikit itu dengan senyumannya.

Sang pembuat video lalu berinisiatif memasukkan uang ke dalam kotak. Rupanya tindakan ini mendorong pengunjung lainnya untuk memberi juga. Lalu, setelah video ini viral di media sosial, sumbangan kepada sang badut pun berdatangan dari para warganet.

Di tengah situasi pandemi yang mencekam ini, mendapati kisah-kisah kebaikan seperti di atas terasa menghibur hati. Namun, aku jadi teringat. Masih di media sosial, terjadi perdebatan atas peristiwa merebaknya virus corona pada sebuah acara gereja di Bandung.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengidentifikasi bahwa jumlah orang yang positif terjangkit dari klaster acara tersebut berjumlah 226 orang. Di luar jumlah itu, ada beberapa yang telah meninggal dunia pula. Ketika berita ini menyebar di media sosial, komentar-komentar pun berdatangan. Ada komentar-komentar yang mengatakan bahwa itu ganjaran yang tepat untuk mereka yang mengikuti acara tersebut.

Sejenak aku termenung.

Jika ingin digali secara detail, mungkin investigasi dari peristiwa ini akan panjang. Untuk mencari dan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dari merebaknya virus ini di acara tersebut, kupikir itu adalah ranah pihak yang berwajib untuk memprosesnya. Namun, bagaimana jika kita menggeser sedikit cara pandang kita? Daripada berfokus kepada “salah siapa,” bagaimana jika kita memberi ruang bagi empati untuk turut hadir dalam asumsi-asumsi kita?

Aku membayangkan, para anggota jemaat yang hadir di acara tersebut tentunya terguncang karena terjangkit. Pun, ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia, pastilah itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarga mereka.

Selayaknya, tugas kita sebagai orang Kristen adalah menawarkan penghiburan dan empati. Para korban dari pandemi ini, siapa pun mereka, adalah manusia juga seperti kita. Manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan.

Ketika Yesus berjumpa dengan seorang yang buta sejak lahir, murid-murid-Nya bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan murid-murid sejatinya bukanlah pertanyaan yang tidak peka terhadap kesakitan si orang buta, karena pada zaman itu orang-orang meyakini bahwa cacat fisik seseorang adalah akibat dari dosa. Dan, biasanya mereka yang buta sejak lahir bernasib menjadi pengemis. Buta dan pengemis pula. Lengkap sudah penderitaan orang itu. Yesus lalu menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Dari bagian ini, kita mendapati bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sama-sama melihat orang buta tersebut. Namun, dalam cara dan respons yang berbeda. Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Murid-murid melihat dengan blepo, mereka melihat hanya dengan mata jasmani. Cara melihat seperti ini akhirnya menghasilkan penghakiman yang terselubung, seperti tercermin dalam pertanyaan mereka. Sedangkan Yesus melihat dengan horao, melihat dengan hati. Cara Yesus melihat menghasilkan respons untuk berbelas kasihan. Bukan penghakiman yang ditawarkan-Nya, tetapi tindakan kasih yang berujung pada pemulihan.

Andaikata saat itu si orang buta tak jadi dicelikkan Yesus, mungkin hatinya merasa lebih baik sebab Yesus tidak menghakimi matanya yang buta sebagai dosa. Namun, Kristus berkenan memulihkan penglihatannya, sehingga celiklah matanya.

Mata kita tidak pernah melihat dengan asal melihat. Kita melihat dengan tujuan. Kita melihat untuk mencari sesuatu dan kita berfokus melihat apa yang kita lihat. Hari ini, ketika kita melihat satu per satu korban berjatuhan, apakah yang kita lihat dan pikirkan? Apakah kita melihatnya sebagai hukuman, biar tau rasa, atau terbitkah kasih kita kepada mereka? Tergerakkah hati kita untuk mendoakan mereka, agar tangan Tuhan yang berkuasa menjamah dan menganugerahkan mereka dengan damai sejahtera?

Yesus mengatakan bahwa semua orang akan tahu kita adalah murid-murid-Nya jika kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Kasih yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengasihi orang yang dekat dengan kita, atau yang baik pada kita. Kita diminta-Nya untuk mengasihi siapa saja, termasuk musuh kita sekalipun (Matius 4:44). Tak ada pengecualian, kita wajib mengasihi semua orang.

Virus COVID-19 memang berbahaya, cepat menular, tetapi yang tak kalah bahayanya adalah dosa-dosa yang bersarang dalam diri kita. Kita membutuhkan pengampunan dari-Nya, sebab kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6).

Baca Juga:

Kasih Tuhan di Masa Corona

Lent, Jumat Agung, dan Paskah serasa tenggelam di tengah-tengah pandemi COVID-19, tetapi kegelapan tidak dapat menutupi terang. Pesan apa yang salib Yesus 2000 tahun lalu sampaikan? Kasih Tuhan yang terus menyertai, bahkan di masa corona.

Sendirian di Tahun 2020?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Di awal bulan Desember, seorang teman berbicara kepadaku di telepon. “Tahun 2019 aja rasanya sudah berat banget. Aku nggak kebayang gimana nanti 2020, sanggup nggak ya?” katanya lirih.

Pergumulan-pergumulan yang dihadapi temanku—keluar dari pekerjaan, pindah ke luar kota, guncangan dalam relasi, juga masalah finansial—membuatnya tawar hati menghadapi tahun 2020 yang tinggal sejengkal lagi akan kita masuki. Mungkin, tak hanya temanku seorang, aku dan kamu pun tentu memiliki kekhwatirannya sendiri-sendiri tentang bagaimana setahun ke depan akan berlangsung. Kisah-kisah pahit di tahun ini membuat kita getir. Kita pun tak tahu masalah apa yang akan menghadang, tragedi apa yang mungkin terjadi. Ayat firman Tuhan yang mengatakan pada kita “jangan khawatir” pun rasanya tak cukup kuat untuk menenangkan keraguan dalam hati.

Namun, di tengah segala hal yang tampaknya tidak pasti tersebut, kita punya satu kepastian yang teramat pasti: Allah menyertai kita senantiasa.

Aku teringat akan bacaan saat teduhku pada tanggal 2 September 2018. Pesan firman Tuhan dari bacaan ini meneguhkanku akan penyertaan Allah yang senantiasa hadir dalam kehidupan kita. Ada sebuah kisah alegori yang bercerita tentang seekor domba bernama Si Penakut. Suatu ketika, Si Penakut pergi melakukan perjalanan bersama Sang Gembala. Namun, sesuai dengan namanya, Si Penakut memang selalu takut. Alih-alih berjalan melewati jalan setapak yang berbatu dan terjal, dia meminta Sang Gembala untuk menggendongnya saja.

Dengan lembut Sang Gembala menjawab, “Aku bisa saja menggendongmu sampai ke puncak bukit daripada membiarkanmu mendakinya sendiri. Namun, bila itu kulakukan, kamu takkan pernah bisa membuat kakimu sekuat kaki rusa, dan menjadi pendampingku dan mengikutiku ke mana pun aku pergi.”

Karakter Si Penakut tersebut menggemakan pertanyaan yang juga diajukan oleh Nabi Habakuk (mungkin juga pertanyaan kita), “Mengapa aku harus menderita? Mengapa hidupku sulit?”

Habakuk hidup di Yehuda pada akhir abad ke-7 SM, sebelum bangsa Israel dibawa ke pembuangan. Masyarakat Israel kala itu hidup mengabaikan keadilan sosial dan dilingkupi ketakutan atas serbuan dari orang-orang Kasdim (Habakuk 1:2-11). Habakuk meminta Tuhan untuk menolong dan Tuhan berjanji untuk bertindak seturut waktu-Nya (2:3).

Dengan iman, Habakuk memilih untuk percaya kepada Tuhan. Pada pasal 3 ayat 19, Habakuk menyatakan, “ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.”

Allah yang dahulu menyertai bangsa Israel, juga Habakuk, adalah Allah yang kesetiaan-Nya tidak pernah berubah. Kita bisa mendapatkan penghiburan dan teguh beriman bahwa Tuhanlah kekuatan yang menopang kita bertahan dan maju menghadapi penderitaan.

Tahun yang berganti mungkin tidak akan membuat jalan hidup kita lebih rata atau langit kita cerah senantiasa. Namun, dalam segala lintasan tahun, Tuhan adalah Tuhan yang setia. Tuhan mengizinkan segala hal yang tampaknya berat bagi kita untuk menguatkan kaki kita agar kita mampu mengiring-Nya ke mana pun Dia pergi. Percayalah, Tuhan adalah gembala yang baik, yang menjaga kita selalu.

Hari ini, jika kamu membaca tulisan ini, aku mungkin tidak tahu apa yang jadi pergumulanmu. Namun, aku mau mengajakmu untuk mengucap dalam hatimu: meskipun kita tak tahu akan apa yang terjadi di depan kita, tetapi kita tahu siapa Pribadi yang memegang tangan kita—Dialah Yesus.

Tidak dibiarkan-Nya kita melangkah sendirian di tahun 2020, sebab Dia senantiasa beserta kita.

Selamat memasuki tahun yang baru, Kawan!

Baca Juga:

Ketika Perayaan Natal Telah Usai

Hari Natal, 25 Desember, baru saja selesai. Semua kemeriahan, dekorasi, dan pernak-pernik sebentar lagi akan diturunkan. Apakah dengan berlalunya Natal berarti Natal sudah berakhir?

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku

Ku tak ingkar
Ku tak ingkar

Pernahkah kalian mendengar atau menyanyikan lagu di atas? Untuk teman-teman yang ibadah di gerejanya sering menggunakan kidung jemaat atau himne, lagu tersebut mungkin tidak asing didengar. Namun, tahukah kamu bahwa di balik sebuah lagu yang liriknya singkat dan sederhana itu, terdapat sebuah kisah yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah dalam perjalanan iman kita?

Di abad ke-19, terjadi sebuah kebangunan rohani di Wales yang menggugah banyak misionaris untuk pergi mewartakan Injil. Salah satu daerah yang dituju oleh para misionaris tersebut adalah Assam di timur laut India. Orang-orang di sana kala itu belum ada yang mengenal Tuhan Yesus, dan para misionaris rindu untuk membawa Kabar Baik ke tempat itu. Tapi, upaya tersebut disambut dengan penolakan dari orang-orang di sana.

Namun, di balik penolakan tersebut, ada benih firman Tuhan yang jatuh dan bertumbuh di hati seorang pria. Berdasarkan catatan Dr. P. Job, pria itu bernama Nokseng, seseorang dari suku Garo yang memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus dan mengikut-Nya. Tak hanya dirinya seorang, istri dan kedua anaknya pun mengikuti jejaknya.

Berita bahwa ada sebuah keluarga yang menerima iman Kristen membuat kepala desa marah. Dia memanggil semua warga dan menginterogasi mereka. Ketika didapatinya ada sebuah keluarga yang percaya kepada Yesus, kepala desa itu pun memaksa mereka untuk menanggalkan imannya. Ancaman ini tidak main-main. Nokseng diminta untuk menyangkal Yesus saat itu, jika tidak istrinya akan dibunuh.

Digerakkan oleh Roh Kudus, Nokseng menjawab, “Aku telah memutuskan untuk mengikut Yesus. Aku tidak ingkar.”

Jawaban ini membuat amarah kepala desa memuncak. Dia lalu mengambil kedua anak Nokseng dan mengancam akan membunuh mereka jika Nokseng tidak menyangkal imannya. Nokseng pun menjawab, “Sekalipun aku sendiri, aku tetap mengikut-Nya. Aku tidak ingkar.”

Kepala desa itu pun murka dan memerintahkan agar istri dan kedua anaknya dibunuh. Nokseng kini sendirian, dan sekali lagi kepala desa itu memintanya untuk menyangkal imannya atau mati. Di hadapan bayang-bayang maut, Nokseng kembali menjawab, “Salib di depanku, dunia di belakangku. Aku tidak ingkar.”

Kisah ini mungkin seharusnya berhenti di sini, ketika Nokseng dan keluarganya tewas terbunuh karena imannya. Namun, karya Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan. Kematian sebuah keluarga sebagai martir itu membuka jalan bagi tersiarnya Kabar Keselamatan bagi penduduk desa itu.

Sang kepala desa tak habis pikir, bagaimana bisa sebuah keluarga berani mati untuk Seseorang yang tidak pernah mereka temui. Secara mengejutkan, dia pun lalu tertarik untuk mengenal Siapa orang yang disebut oleh Nokseng dan keluarganya hingga akhirnya dia dan seluruh penduduk desa bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.

Kata-kata yang diucapkan oleh Nokseng sebelum dia dan keluarganya dieksekusi kemudian digubah menjadi sebuah himne oleh Sadhu Sundar Singh, seorang misionaris dari India. Liriknya menggunakan bahasa India dan mencantumkan Assam sebagai tempat asal lagu tersebut. Barulah pada tahun 1959, William Jensen Reynolds, seorang editor himne dari Amerika Serikat mengaransemen himne ini dan memasukkannya ke dalam buku kumpulan nyanyian. Versi inilah yang kemudian dikenal luas dan dinyanyikan oleh banyak orang percaya di berbagai belahan dunia.

Kisah di balik lagu ini mengingatkan kita kembali akan bagaimana pemeliharaan Allah memelihara perjalanan iman anak-anak-Nya. Rasul Paulus, dalam perjalanannya menjadi seorang Kristen juga mengalami banyak sekali penderitaan. Di suratnya kepada jemaat di Korintus, dia pun merinci tantangan dan marabahaya yang harus dia hadapi:

“Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali aku mengalami kapal karam, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu” (2 Korintus 11:24-26).

Secara manusia, penderitaan yang berat tersebut rasanya mustahil untuk ditanggung. Naluri manusia mungkin akan membawa Paulus, dan juga Nokseng untuk menyangkali iman mereka dan memilih kenyamanan duniawi. Tetapi, oleh pemeliharaan Allah, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, sebuah keputusan untuk menunjukkan imannya dan mengambil penderitaan yang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima (Roma 8:18).

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun diperhadapkan dengan berbagai pilihan dan juga penderitaan, meskipun mungkin penderitaan itu tidak seberat apa yang dialami oleh Paulus maupun Nokseng. Tetapi, satu kebenaran yang dapat kita pegang adalah, di dalam Kristus, segala perkara dapat kita tanggung, sebab Dialah yang memberikan kekuatan bagi kita (Filipi 4:13).

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Baca Juga:

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak?