Apakah Denominasi Gerejaku Penting Buat Tuhan?

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does My Denomination Matter To God?

“Apa? Kamu datang ke pendalaman Alkitab di gereja Methodist?” Suamiku terkejut ketika aku pertama kali memberitahunya bahwa aku bergabung dengan kelompok pendalaman Alkitab itu. Gereja itu jaraknya cuma 10 menit berjalan kaki dari kantorku, dan pendalaman Alkitabnya diselenggarakan setelah jam pulang kerja. Waktu yang tepat buatku.

Saat ini aku tergabung di empat gereja dan organisasi Kristen yang semuanya berbeda denominasi. Tidaklah aneh apabila suamiku mungkin merasa khawatir kalau-kalau aku jadi kebingungan secara teologis. Tapi, aku malah semakin belajar bahwa kasih Tuhan itu tidak terbatas hanya kepada satu denominasi tertentu.

Gereja asalku adalah gereja Pentakosta di bawah naungan denominasi Sidang Jemaat Allah. Aku mulai menghadiri gereja itu karena pertolongan dan dukungan yang diberikan oleh para pemimpin dan jemaat ketika aku mengalami masa-masa sulit di awal pernikahanku. Merekalah yang menolongku melihat Tuhan di masa-masa paling gelapku. Di sinilah dasar teologisku dibangun, melalui mempelajari Alkitab yang dipimpin mentorku dan pemimpin lainnya di gereja.

Gereja kami adalah gereja karismatik. Kami tidak asing mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Roh (1 Korintus 14:3-5) dan melihat orang-orang mengangkat tangan mereka ketika menyembah Tuhan. Kami sering menyanyikan lagu-lagu pujian dan penyembahan yang modern. Aku senang terlibat dalam ibadah yang suasananya begitu hidup.

Namun, keluarga suamiku menginginkan aku datang ke gereja bersama mereka. Jadi untuk sekarang, aku lebih sering meluangkan hari Mingguku di gereja Anglikan daripada di gereja asalku.

Perpindahan ini awalnya terasa sulit. Aku merasa kaku dengan himne-himne tradisional dan musik di gereja Anglikan, juga cara beribadah jemaat yang tenang. Aku rindu suasana kebaktian yang hidup seperti di gereja asalku. Diam-diam aku mengkritik para pemimpin gereja dan jemaatnya karena gaya ibadah mereka. Rasanya mereka itu seperti hanya mengikuti rutinitas mingguan, dan tidak sepenuhnya digerakkan oleh Roh Kudus.

Meski awalnya aku merasa tidak nyaman, tapi tiap kali aku datang ke gereja, khotbah-khotbahnya menyentuhku—sama seperti khotbah yang kudengar di gereja asalku. Aku mulai menyadari bahwa meski cara ibadah atau cara menggunakan karunia rohaninya berbeda, kami sama-sama percaya pada firman Tuhan yang sempurna. Pendeta di kedua gereja itu memberitakan pengajaran yang sehat. Kedua gereja itu sama-sama berdiri teguh di atas dasar Alkitab. Dan, Tuhan menggunakan kedua gereja itu pula untuk berbicara kepada hatiku dan menyadarkanku akan dosa-dosaku.

Daripada menghakimi pemimpin gereja dan kebaktian di gereja baruku yang kuanggap tidak karismatik, aku sadar bahwa aku harus bertobat dari menjadikan diriku sebagai hakim. Lagipula, siapakah aku hingga aku dapat menghakimi orang lain (Roma 14:4)? Jemaat di gereja suamiku adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan. Mereka berpegang pada harapan dan jaminan yang juga kumiliki di dalam Kristus. Roh Kudus yang menginspirasi para pengkhotbah dan pemimpin di kedua gereja adalah Roh Kudus yang juga bekerja di hidupku.

Kembali ke cerita tentang reaksi terkejut suamiku, pendalaman Alkitab yang kulakukan meski bertempat di gereja Methodist, tapi bukan eksklusif untuk satu denominasi tertentu. Pemimpin kelompok kami berasal dari gereja Presbiterian, sedangkan teman-teman lainnya berasal dari gereja yang berbeda pula. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda-beda, kami disatukan oleh kasih Kristus, kami rindu melihat Tuhan di dalam hidup kami. Aku mendapat manfaat dari diskusi dan pengajaran di kelompok ini. Bersama saudari-saudari dalam Kristus, aku belajar lebih dalam tentang firman Tuhan dan disadarkan dari beberapa caraku yang salah.

Melalui pendalaman Alkitab ini, aku akhirnya tahu bahwa gereja Methodist menyelenggarakan kebaktian tengah minggu di saat jam makan siang untuk para pekerja kantoran di sekitar gereja. Aku mulai menghadiri kebaktian ini yang dikemas secara singkat tapi tradisional. Aku belajar bahwa apapun denominasi atau cara yang setiap orang Kristen pilih, selama pengajaran yang diberikan itu sehat, kita bisa mendapatkan manfaatnya.

Tentu ada topik-topik tertentu yang disikapi secara berbeda oleh setiap gereja atau kelompok pendalaman Alkitab—seperti bahasa Roh dan nubuatan, atau tentang apakah anak kecil boleh dibaptis atau tidak. Tapi, seiring aku meluangkan waktu lebih banyak untuk mendalami aturan-aturan itu, aku semakin menyadari bahwa meskipun isu-isu ini penting, seringkali itu tidak seharusnya diperdebatkan. Lagipula, kita menyembah Tuhan yang sama. Dan meskipun ada perbedaan-perbedaan kecil di dalam tradisi dan pengajaran gereja, kami memberitakan Injil yang sama dan membagikan tujuan yang sama untuk memuliakan Tuhan.

Karena itu, adalah salah apabila aku menghakimi denominasi lain karena cara ibadah mereka yang berbeda atau karena perbedaan minor dalam pengajarannya. Menghakimi orang lain dan gereja bisa mengakibatkan perpecahan dan bukanlah sesuatu yang menyenangkan Tuhan. Siapakah aku hingga aku bisa menghakimi hamba-hamba yang setia dan takut akan Tuhan, yang kepada mereka Tuhan berkenan?

Berbahasa Roh, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan mengangkat tangan tidak membuatku jadi lebih baik daripada orang Kristen lainnya. Tuhan melihat hati kita, dan melalui ukuran inilah, aku telah gagal. Aku telah mengizinkan kesombongan merayap masuk dalam diriku daripada berhati-hati menjaga diriku di hadapan Tuhan. Meskipun aku berbicara dalam bahasa Roh, aku hanya akan sama seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing kalau aku tidak dapat menunjukkan kasihku (1 Korintus 13:1-2).

Alih-alih berfokus pada perbedaan yang bisa mengakibatkan perselisihan atau perpecahan, Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita, dan hukum yang kedua adalah untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:36-40). Kita dapat menunjukkan kasih dengan menawarkan dukungan atau menolong sesama orang Kristen yang sedang membutuhkan—apapun latar belakang gereja mereka. Pemimpin di kelompok pendalaman Alkitabku contohnya, dia menghiburku saat aku sedih dan memberiku kata-kata penguatan. Dia mengingatkanku akan kasih dan kebenaran Tuhan, dan dengan cara inilah dia mengangkat semangatku.

Memiliki pengalaman dengan beberapa denominasi membuatku menyadari bahwa kasih dan kerinduan kita kepada Tuhanlah yang menyatukan kita sebagai tubuh Kristus—juga sebagai mempelai-Nya—dengan tujuan untuk menantikan kedatangan-Nya dan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Efesus 5:25-27). Seiring kita menanti, kita harus siap dan waspada sebagai satu tubuh Kristus dengan memfokuskan pandangan kita kepada Yesus, membagikan kasih kita kepada Kristus dengan satu sama lain, dan menyaksikan bagaimana Kristus bekerja di dalam kehidupan kita masing-masing terlepas dari latar belakang yang berbeda-beda. Betapa indahnya kasih dan harapan yang diberikan Tuhan, tidak ada bandingannya!

Baca Juga:

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Seorang teman yang dulu pernah duduk satu kelas denganku sekarang terbaring tak berdaya karena sebuah penyakit langka. Aku terdiam dan merenung. Bila aku yang berada di posisinya, apakah aku sudah menggunakan kesempatan yang ada dengan bijak?

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Di suatu malam aku menjelajahi timeline Instagramku. Aku melihat beberapa temanku memposting sebuah screenshot dari akun Kitabisa.com, sebuah akun untuk penggalangan dana. Aku tidak membaca jelas postingan itu dan melewatkannya begitu saja. Tapi, semakin lama aku melihat lebih banyak teman-teman sekampusku mulai memposting screenshot itu.

Ting, nada pesan WhatsAppku berbunyi. Di dalam pesan itu tertulis cerita dan link menuju website penggalangan dana tersebut. Aku penasaran, lalu kubukalah link itu. Aku terkejut dan tidak percaya. Seorang teman yang dulu pernah bersama denganku di bangku kuliah sekarang terbaring sakit. Dia sudah mengalami koma selama kurang lebih delapan bulan. Temanku itu menderita penyakit yang jarang sekali didengar, Moyamoya Disease namanya. Penyakit ini menyerang sistem saraf otak dengan memperkecil pembuluh darah yang menuju otak. Akibatnya suplai darah menjadi terhambat. Tindakan yang bisa dilakukan untuk mengobatinya adalah dengan operasi. Tapi, pasca operasi itu dia kehilangan kesadaran.

Aku terdiam dan merenung. Aku mungkin tidak begitu dekat dengan temanku itu. Tapi kami sempat duduk di satu kelas yang sama ketika kuliah dulu. Dia adalah orang yang easygoing, loyal, lucu, dan selalu terlihat ceria. Seingatku dia juga dari keluarga yang berkecukupan. Aku sama sekali tidak menyangka kalau dia akan terbaring sakit tak berdaya.

Malam itu aku mengambil waktu untuk mendoakannya dan melihat kembali hidupku akhir-akhir ini. “Apakah aku sudah melakukan yang terbaik selama aku hidup? Bagaimana jika aku yang berada di posisi temanku itu? Apa yang bisa kulakukan untuk temanku selain donasi dan doa?” tanyaku dalam hati. Lalu aku teringat akan sebuah lagu “Hidup ini Adalah Kesempatan” yang liriknya berkata:

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan apa yang Tuhan beri
Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti
Ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat

Lirik lagu itu terdengar sederhana, tetapi maknanya begitu dalam dan menegurku. Sudah dua bulan terakhir aku bolos dari pelayanan menari di gereja. Malas, itulah alasanku. Padahal dulu ketika awal-awal aku berkomitmen pelayanan, aku dipenuhi kerinduan untuk mempersembahkan talentaku buat Tuhan. Tapi, sekarang aku malas untuk datang latihan. Aku malas mencari outfit pelayanan, dan aku pun malas pergi ke gereja karena jaraknya dengan tempat tinggalku yang jauh. Bahkan di hari Minggu aku tidak menggunakan waktu itu untuk beribadah ke gereja. Aku malah tidur seharian. Selain itu, aku pun banyak menyia-nyiakan waktuku. Daripada bersaat teduh, aku lebih suka meluangkan waktuku untuk menjelajahi media sosialku, menonton YouTube, dan melakukan hal-hal lain yang kusuka.

Aku lupa bersyukur. Aku lupa untuk menggunakan waktu-waktu yang sudah Tuhan berikan kepadaku untuk melayani-Nya. Bukankah tujuan hidup manusia sejatinya adalah untuk memuliakan Allah? Seperti yang tertulis dalam Katekismus Westminster pertanyaan 1, apa tujuan umat manusia? Tujuan utama manusia ialah memuliakan Allah dan bersukacita di dalam Dia selama-lamanya.

Kuakui bahwa aku menggunakan waktuku dengan sembrono. Pemazmur dalam Mazmur 90:12 (BIS) berkata: “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Waktuku di dunia begitu singkat, seharusnya aku dapat lebih bijak memanfaatkan setiap momen yang Tuhan berikan padaku.

Mungkin ada banyak hal tak terduga yang terjadi dalam kehidupan kita, tetapi satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa Tuhan selalu memegang kendali kehidupan ini. Kesakitan, kehilangan, kematian, atau apapun itu adalah hal yang tak terelakkan. Kita harus siap menghadapinya. Namun, yang menjadi penting bukanlah kapan atau bagaimana waktu-waktu kemalangan itu akan terjadi dalam kehidupan kita, melainkan bagaimana kita memanfaatkan waktu-waktu yang ada sekarang. Selagi kita memiliki waktu dan kesempatan untuk berkarya melayani-Nya, pakailah itu.

Aku berdoa dan berharap kiranya Tuhan memberikan kekuatan buat keluarga temanku, juga memberikan yang terbaik untuknya. Aku percaya akan kuasa Tuhan yang besar, dan tugas kita adalah percaya sepenuh-Nya kepada-Nya dan memanfaatkan waktu-waktu kita sebijak mungkin hingga kelak ketika tiba saatnya, Tuhan akan berkata kepada kita: “Well done, anakku terkasih.”

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.

Surat untukmu Yang Sedang Berduka

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Untukmu yang berduka,

Aku ingat ketika ayahku meninggal dunia satu setengah tahun lalu. Rasa pedihnya masih bisa kurasakan hingga saat ini. Kehilangan orang yang kita kasihi, apalagi secara tiba-tiba, tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Hari demi hari berlalu, namun menanggung beban kesedihan tidak terasa lebih mudah. Rasanya seperti berjalan dalam lembah kelam yang penuh dengan duri. Hari depan seperti gelap gulita, sementara kaki kita terus menginjak duri demi duri. Berdarah, berlinang air mata. Beribu ragu dan pertanyaan berputar dalam kepala:

“Tuhan, di mana Engkau saat ini?”
“Tuhan, apakah Engkau mendengar tangisan kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau biarkan hal ini terjadi?”
“Tuhan, mengapa harus kami yang mengalami malapetaka ini?”
“Tuhan, benarkah Engkau mengasihi kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau seolah diam saja?”

Tapi, seperti jalan buntu, tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Yang ada hanya keheningan yang panjang. Dan, tanpa kita sadari, air mata mengalir dan doa-doa tertahan dalam mulut kita. Dengan langkah gontai dan terpaksa, kita terus berjalan dalam lembah kelam yang penuh duri tanpa tahu kapan perjalanan ini akan berakhir.

Untukmu yang berduka,

Aku juga pernah berjalan di sana. Walau tentu lembah kelam kita berbeda, tapi aku pernah menikmati hidup bersama air mata. Perasaan kehilangan adalah perasaan terburuk yang kurasa tidak seharusnya dirasakan oleh siapapun di muka bumi. Namun, kejatuhan manusia, kejatuhan kita ke dalam dosa membuat kita harus mengalami kematian, perpisahan, kehilangan, kesedihan, dan air mata. Begitu mengerikan dosa itu, hingga karenanya, bukan hanya kita saja tetapi semua orang di seluruh dunia harus turut merasakan perasaan kehilangan dan duka. Begitu mengerikan dosa itu, hingga Allah harus mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, mati di kayu salib untuk menebus dosa dan mengalahkan maut. Namun, karena kematian dan kebangkitan-Nya, kini kita punya harapan akan adanya suatu masa di mana tiada lagi duka dan air mata.

“Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah bagi mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu’” (Wahyu 21:3-4).

Untukmu yang berduka,

Lembah kekelaman ini memang masih harus kita jalani. Tapi aku ingat, pada satu titik dalam perjalanan di lembah kekelamanku, aku menyadari bahwa Tuhan ada di sisiku, Dia berjalan bersamaku. Pernah satu kali aku menangis dalam perjalanan pulang dari kantorku, dan hujan tiba-tiba turun. Aku merasa Tuhan seolah menangis bersamaku. Dalam butiran-butiran hujan itu, aku merasakan penghiburan dari-Nya. Aku seperti mendengar suara Tuhan lembut berkata, “Berdukalah, tapi ingatlah Aku turut berduka bersamamu. Menangislah, tapi ingatlah Aku ikut menangis bersamamu.” Dalam keheningan, Tuhan berjalan bersamaku, melewati lembah yang kelam dan berduri.

Ada sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku akan penyertaan Tuhan:

Does Jesus care when I’ve said “good bye” to the dearest on earth to me,
And my sad heart aches, till it nearby breaks,
Is it ought to Him? Does He see?

O yes, He cares, I know He cares,
His heart is touched with my grief;
When the days are weary,
The long night dreary,
I know my Savior cares.

(Does Jesus Care, Frank E. Graeff (1860-1919))

Adakah Yesus peduli, ketika kuucapkan “selamat tinggal” kepada yang kukasihi di dunia,
Dan hatiku begitu terluka, hingga hampir hancur
Apakah itu berarti bagi-Nya? Apakah Ia melihatnya?
Oh ya, Ia peduli, aku tahu Ia peduli
Hati-Nya tersentuh oleh kesedihanku yang mendalam
Ketika siang terasa melelahkan, dan malam terasa suram
Aku tahu Juruselamatku peduli.

(Terjemahan bebas)

Untukmu yang berduka,

Perjalanan masih panjang. Kesedihan yang dalam masih harus kita hadapi. Tapi, Tuhan hadir dalam setiap tetesan air mata yang jatuh dan dalam tiap doa yang kita naikkan. Tiada tempat lain, hanya di dalam-Nya penghiburan yang sejati bisa kita temukan. Satu setengah tahun hidup bersama air mata mengajarkanku bahwa berjalan bersama-Nya adalah perjalanan terbaik, walaupun harus melewati lembah kelam yang berduri. Hanya Tuhanlah perlindungan dan kekuatan, kota benteng kita yang teguh. Di dalam Dia, kita takkan goyah.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya” (Mazmur 46:2-4).

Kiranya Tuhan menyinari kita dengan wajahNya dan memberi kita kasih karunia.

Dariku, yang berduka untukmu.

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi, kita dapat mengetahui secara cepat perkembangan suatu peristiwa atau musibah yang terjadi. Namun, tak jarang kemudahan ini malah menimbulkan kesimpangsiuran. Di saat informasi belum terhimpun sempurna, beberapa orang merespons dengan sengaja menyebarkannya melalui media sosial. Alih-alih membagikan informasi baik, yang ada malah menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Teruntuk kita semua, para warganet Indonesia dan khususnya para pemuda Kristen, sekiranya inilah tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum kita memposting sesuatu sebagai respons kita terhadap suatu musibah:

1. Jangan terburu-buru menyebarluaskan informasi

Cek terlebih dulu sebelum membagikan informasi kepada keluarga atau rekan-rekan kita. Apabila informasi yang kita terima hanya berupa pesan broadcast tanpa disertai tautan menuju sumber yang jelas dan kredibel, ada baiknya kita menunda dulu penyebarluasan pesan tersebut. Meski maksud untuk membagikan pesan itu adalah baik, tetapi apabila informasi yang diberikan itu ternyata tidak sesuai, bisa saja menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan kepanikan.

Hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk mengecek kebenaran suatu informasi adalah dengan membuka portal berita resmi dan terpercaya, atau dengan menunggu pernyataan resmi dari instansi terkait yang biasanya dengan cepat diumumkan melalui media sosial Twitter. Informasi yang tidak berasal dari sumber-sumber tersebut ada baiknya kita kesampingkan dahulu.

Ketika kita turut menyebarkan informasi yang tidak sesuai, bisa jadi kita juga turut menyebarkan kabar kebohongan. Keluaran 23:1 mengatakan demikian, “Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar.”

2. Tunjukkanlah empati, bukan spekulasi

Ketika bencana atau musibah terjadi, kita mungkin bertanya-tanya bagaimana itu dapat terjadi, siapa saja korbannya, apakah ada pihak yang bersalah atau tidak, dan sebagainya. Respons itu adalah wajar, akan tetapi bukanlah hal yang bijak apabila kita kemudian mengungkapkannya secara terburu-buru melalui media sosial, apalagi kalau kita bukan orang yang mengalami langsung hal tersebut. Mungkin yang kita ketahui ada benarnya, tetapi bukan itu yang benar-benar dibutuhkan oleh para korban dan keluarganya.

Selain itu, hindari menyebarluaskan informasi berisi gambar-gambar atau foto-foto korban. Menyebarkan foto dan gambar tersebut, apalagi apabila menonjolkan luka-luka dan kengerian di dalamnya tidak akan memberikan manfaat apapun selain menyebarkan ketakutan dan menambah duka bagi keluarga korban.

Ketika bencana atau musibah terjadi, baik korban maupun orang terdekat mereka mengalami trauma dan bahkan dukacita. Yang mereka perlukan adalah uluran tangan dan penghiburan. Sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk menunjukkan empati kita, sebagaimana yang Rasul Paulus katakan dalam Roma 12:15, “Menangislah dengan orang yang menangis!”

3. Doakanlah para korban dan mereka yang bertugas melakukan proses evakuasi

Kita mungkin tidak mengalami secara langsung suatu bencana atau musibah, pun bukan kerabat atau kawan dari mereka yang menjadi korban. Namun itu bukan alasan untuk kita bersikap tidak peduli. Salah satu dukungan sederhana tetapi nyata yang dapat kita lakukan adalah dengan mendoakan mereka. Ketika kita berdoa, kita mengakui kepada Tuhan bahwa diri kita terbatas. Tetapi, Tuhan kita adalah Pribadi yang Mahakuasa. Dia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dia sanggup menolong, memberikan kekuatan pada mereka yang berduka dan memberikan penghiburan yang sejati.

Ketika kita berdoa, mungkin musibah itu tidak seketika juga selesai diatasi. Tetapi kita tahu dan percaya bahwa Roh Kudus mampu menguatkan dan menghibur mereka yang kita doakan. Rasul Paulus pun dalam suratnya kepada Yakobus berkata, “Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa!” (Yakobus 5:13).

Pertolongan Tuhan dapat hadir dalam berbagai wujud, salah satunya adalah melalui para relawan atau petugas yang berada di lapangan untuk melakukan evakuasi. Kepada Tuhan, kita dapat berdoa memohon agar Dia mengaruniakan kekuatan dan kebijaksanaan kepada para petugas yang melakukan proses evakuasi. Untuk menyelamatkan para korban, mereka harus berpacu dengan waktu dan juga medan evakuasi yang mungkin sulit.

Tuhan Yesus memanggil kita untuk menjadi terang. Ketika dunia menjadi gelap akan segala kesimpangsiuran musibah, kita dapat menghadirkan terang itu dengan merespons dengan cara-cara yang bijak.

Baca Juga:

Terima Kasih Matt Kecil

Aku bekerja sebagai seorang pengajar. Suatu kali, dalam sebuah jadwal les di sore hari aku mendapatkan suatu pengalaman yang mengajariku tentang bersyukur dan tersenyum. Cerita pengalaman ini kudapat dari interaksiku dengan Matt, seorang murid les sekaligus teman kecilku yang manis.

Terima Kasih Matt Kecil

Oleh Maria Felicia, Surakarta

Aku bekerja sebagai seorang pengajar. Suatu kali, dalam sebuah jadwal les di sore hari aku mendapatkan suatu pengalaman yang mengajariku tentang bersyukur dan tersenyum. Cerita pengalaman ini kudapat dari interaksiku dengan Matt, seorang murid les sekaligus teman kecilku yang manis.

“Miss,” demikian Matt memanggilku. “Aku mau poop,” katanya sambil memandangku dengan tatapan aneh.

“Hah? Kamu mau poop?” Aku menjawabnya sembari ternganga. Aku tidak mau menolong Matt melakukan buang air besar di tempatku. Jadi aku berusaha menghindarinya.

“Ditahan bentar ya Matt. Bentar lagi selesai, pulang deh. Nanti kamu poop-nya di rumah saja.”

“Ya, miss,” jawab Matt. Aku tidak tahu apakah itu jawaban pasrah atau taat. Tapi, sesaat kemudian Matt memandangiku lagi dengan tatapan yang semakin memelas. Matt berusia empat tahun. Tatapan itu memberitahuku bahwa Matt sudah tidak tahan lagi. Mau tak mau aku harus membawanya ke toilet.

“Miss, bantuin Matt ya,” dia berkata. Kalimat ini membuat hatiku yang semula enggan menolongnya menjadi luluh.

Menolong anak didikku untuk buang air di toilet bukanlah hal yang ahli kulakukan. Biasanya di sekolah kami ada helper yang menolong Matt dan murid lainnya untuk urusan di toilet. Tapi, kejadian ini sekarang berlangsung di tempat lesku, di mana tidak ada helper yang bertugas menolong.

Saat menemaninya, Matt memegang erat pundakku. Dia lalu menatap setiap inci langit-langit dan dinding kamar mandiku, tempat yang kuanggap tidak istimewa sama sekali di rumah.

“Miss, kok kamar mandinya miss bagus banget?” tanya Matt.

“Hah?” aku menjawab Matt dengan heran. Jawaban itu membuat Matt kembali mengamati kamar mandiku dengan detail hingga dia pun berkata lagi, “Miss, kamar mandi miss kok bagus banget sih?”

Di usianya yang masih balita, aku yakin apa yang terucap dari mulut Matt adalah sesuatu yang juga berasal dari hatinya. Buat Matt, kamar mandi ini tampak sangat bagus, sedangkan bagiku kamar mandi ini biasa saja, tidak bagus. Atap dan pintunya tampak usang, juga reyot dimakan rayap. Tapi, sepenggal kalimat yang diucapkan Matt itu kemudian membuatku tersenyum dan mengajariku untuk mengucap syukur. Bahwa hal sederhana yang sepertinya tidak istimewa bagiku bisa dipandang begitu bagus dan istimewa bagi orang lain.

Seringkali dalam kehidupan ini aku merasa bahwa rumput tetangga lebih hijau. Aku melihat kepada orang lain yang kuanggap memiliki lebih dariku hingga aku tidak lagi menemukan keistimewaan dari apa yang ada padaku. Meski sebenarnya ada banyak alasan untuk mengucap syukur, aku seringkali hanya berfokus pada masalah-masalahku saja. Namun puji Tuhan, karena Allah Bapa adalah Pribadi yang begitu setia dan sabar. Dia menuntun, mengajar, dan mendidikku lewat banyak hal, termasuk melalui hal sederhana yang terjadi dalam keseharianku.

Aku lalu teringat akan firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:16-18 yang berkata, “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Dalam perenungan itu, aku merasa seolah Tuhan berkata kepadaku:

“Anakku, ingatlah selalu, apapun keadaan hidupmu, tidaklah perlu membandingkan diri dan merasa iri dengan orang lain. Lihatlah penyertaan-Ku. Tidakkah setiap berkat-Ku cukup bagimu untuk selalu membuatmu tersenyum dan bersyukur? Lihatlah kamar mandi ini, dan ingatlah perkataan Matt tentang kamar mandi sederhana ini, bersyukurlah. Lihatlah rumah ini, meski bukan sebuah kastil megah dan mewah, bukankah rumah ini kokoh dan tegap menaungimu dan keluargamu?”

Hari itu aku bersyukur karena melalui Matt kecil Tuhan telah mengajariku sesuatu yang berharga. Aku mau mengucap syukur kepada Tuhan untuk kamar mandiku, untuk rumahku, untuk keluargaku, untuk teman-teman kecil yang mengajariku banyak hal luar biasa, dan untuk setiap berkat-berkat yang Tuhan telah berikan buatku.

Apapun keadaan dalam hidupku, aku mau selalu tersenyum bagi Bapa. Aku berharap agar hatiku terus meluap dengan segala ucapan syukurku bagi-Nya, sebab itulah yang Tuhan kehendaki bagiku di dalam Yesus Kristus, sahabat kekalku.

Baca Juga:

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik. Inilah tiga pertanyaan yang sering kuajukan kepada diriku sendiri sebelum aku memposting sesuatu.

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Oleh Michelle Lai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Would Jesus Like Your Post On Social Media?

Kalau Tuhan memiliki akun di media sosial, apakah Dia akan menyukai postingan yang kamu buat?

Dulu aku adalah orang yang selalu memposting foto ke Instagram setiap hari. Di bawah foto itu aku menuliskan caption untuk memberitahu para followers-ku tentang apa yang kurasakan saat itu. Aku memposting cerita refleksi diri yang sedih, cerita lucu, dan bahkan kemarahan. Itulah caraku untuk mengekspresikan diriku, juga mengatasi kebosanan dan kesepianku. Aku bisa “bicara” kepada para followers-ku tanpa harus benar-benar berdiskusi atau bertemu langsung dengan mereka.

Namun, kemudian aku belajar satu kenyataan yang keras, bahwa meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik.

Aku telah belajar bagaimana seharusnya aku bertindak di media sosial dengan cara yang sehat, dan inilah tiga pertanyaan yang seringkali kuajukan kepada diri sendiri sebelum aku memposting sesuatu:

1. Apakah postinganku bermanfaat buat temanku?

Aku suka mendengarkan lagu-lagu bernuansa sedih, dan sering memposting liriknya dengan atau tanpa maksud pribadi. Karena postingan itu bersifat emosional, temanku sering bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku tidak mau menjelaskan apapun kepada mereka, sebab aku cuma ingin mendapatkan respons dari mereka. Tapi, seringkali respons yang kudapat tidak seperti itu. Mereka yang bukan teman terdekatku malah mengomentari seputar hidup dan aktivitasku. Sedangkan teman-teman yang kuanggap paling dekat malahan menjadi orang yang paling akhir mengetahui masalah-masalah yang kualami karena mereka tidak melihat postinganku di Instagram.

Semuanya ini membuatku merasa rentan tapi aku ingin dikenal oleh dunia. Ini adalah dilema yang lucu. Di satu sisi aku merasa lega ketika mengungkapkan perasaanku di media sosial, tapi aku juga merasa kosong kalau tidak ada orang yang menanggapiku. Dan, di sisi lainnya, aku pun merasa kewalahan kalau semisal teman-temanku menanggapiku.

Aku tidak sedang memuliakan Tuhan dengan perkataan mulutku dan perenungan di hatiku (Mazmur 19:15). Kebiasaanku di media sosial itu tidak hanya menghadirkan masalah dalam relasiku dengan teman-temanku, itu juga membuatku menjadi seorang yang haus akan penerimaan, menjelaskan diriku, dan mencari kepuasan yang instan.

Jika dahulu aku memperlakukan media sosial seperti buku harianku, sekarang aku menggunakannya sebagai alat untukku terhubung dengan teman-teman dekatku. Sebagai contoh, aku memposting puisi-puisi Kristen untuk menguatkan teman-temanku, atau membagikan sedikit pencapaianku untuk merayakannya bersama teman-temanku dan menyemangati mereka. Aku juga berusaha untuk mengurangi intensitasku mengunggah sesuatu tentang kehidupan sehari-hariku, dan hanya memposting gambar bersama orang yang kukasihi. Aku mengingatkan diriku untuk tidak terus mengecek media sosialku setelah aku mengunggah sesuatu, menanti like demi like yang diberikan oleh followers-ku. Ketika aku melihat sesuatu yang menarik yang dibagikan temanku di media sosial, seperti foto-foto dari perjalanan mereka, aku coba untuk bertemu mereka secara langsung dan mengobrol lebih banyak tentang apa yang sudah mereka unggah.

2. Sudahkah aku mengambil waktu sejenak untuk memikirkan kembali apa yang mau kuposting?

Sekarang, aku tidak segera menuliskan status ketika aku merasa ingin melakukannya. Aku memberi waktu sejenak kepada diriku untuk berpikir apakah postingan ini diperlukan, apakah itu baik, dan apakah itu membuatku memanjakan diri

Aku belajar bahwa menceritakan perasaanku kepada seseorang—daripada mempostingnya di media sosial—memberikanku privasi untuk menjaga isu itu tetap pribadi dan profesional dalam situasi tertentu. Ketika aku membagikan pergumulanku kepada temanku atau pembimbingku, aku seringkali bisa mendapatkan perspektif yang lain. Ini memberikanku waktu untuk memproses pemikiranku. Aku menyadari ketika aku memberikan jeda beberapa saat untuk memikirkan apakah aku akan mengunggah sesuatu atau tidak, seringkali keinginan itu pudar dan kuanggap tidak lagi mendesak. Aku perlu berhati-hati dengan emosiku untuk tidak gegabah mengunggah sesuatu.

3. Apakah aku memuliakan Tuhan atau menjadi batu sandungan buat orang lain?

Aku pernah bekerja kelompok dengan seorang rekan sekelas. Ketika aku berselisih pendapat dengan salah satu dari mereka, aku mengirimkan emoji marah di grup chat kami. Akibatnya relasiku dengan seluruh kelompok jadi terganggu.

Media sosial memang diciptakan bukan untuk sekadar berbagi hal-hal yang membahagiakan, tapi sebagai pengikut Kristus kita tidak seharusnya mengunggah sesuatu yang dapat menjadi batu sandungan buat orang lain. Aku tidak seharusnya beraktivitas di media sosial tanpa mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang kutulis nanti akan berdampak kepada orang lain.

Pemazmur dalam Alkitab tidak takut untuk menuliskan mazmur yang sedih dan marah, tetapi yang paling utama adalah segala tulisannya, pemazmur selalu berfokus kepada Tuhan. Meski aku tidak berpikir bahwa kita harus menahan diri dari memposting sesuatu tentang isu-isu seperti depresi, atau bahkan membagikan cerita pengalaman kita bahwa kita lelah atau merasa sedih pada suatu hari, aku belajar dari pemazmur bahwa postinganku harus selalu mengarahkan orang lain kembali pada Tuhan. Contohnya, ketika aku menuliskan puisi-puisi terkait depresi, aku menyertakan Tuhan di dalamnya. Aku juga menyertakan link yang ketika diklik akan mengarahkan pembacaku kepada lembaga yang mampu menolong mereka secara profesional. Aku memastikan untuk mengakhiri puisi-puisiku dengan harapan.

Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebiasaanku bermedia sosial, aku belajar bahwa kita semua dipanggil untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, dan menjaga kata-kata yang keluar dari mulut atau ketikan jari kita adalah permulaan yang baik.

Baca Juga:

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Aku pernah menolak panggilan untuk melayani sebagai pemimpin kelompok kecil. Aku merasa tidak layak dan dak mampu. Namun, Tuhan menggerakkan hatiku hingga akhirnya aku menjadi pemimpin dari kelompok kecil beranggotakan 8 orang, dan melalui inilah Tuhan mengubahkanku.

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu duduk di bangku kuliah di kota Pekanbaru, aku mengikuti pembinaan dalam sebuah kelompok kecil yang diselenggarakan oleh Komunikasi Mahasiswa Kristen (KMK) di kampusku. Awalnya aku tidak pernah terpikir untuk ikut kegiatan ini. Keadaan ekonomi keluargaku yang sedang sulit membuatku ingin segera lulus dan mendapat nilai terbaik. Aku tidak ingin ikut kegiatan yang kupikir dapat mengganggu aktivitas studiku.

Aku sudah mengenal Kristus sejak SMP dan aku juga berjemaat di sebuah gereja. Hal ini jugalah yang menjadi alasan lain mengapa aku enggan mengikuti kelompok kecil dari KMK tersebut. Tapi, kakakku menasihatiku. Dia ingin aku berada di lingkungan Kristen yang baik, karena aku tinggal merantau di kota lain. Lalu, teman-temanku pun banyak yang mengajakku, hingga akhirnya aku mengiyakan ajakan mereka dan ikut dalam kelompok kecil.

Kami sepakat untuk rutin bertemu seminggu sekali, tapi itu tidak berjalan dengan konsisten. Kenyataannya, kami hanya bisa bertemu sebulan sekali atau bahkan lebih jarang dari itu. Karena tidak konsisten, aku merasa imanku tidak bertumbuh dengan baik. Namun aku bersyukur karena ada orang-orang di luar kelompokku yang tetap membantu dan mendukung pertumbuhan imanku. Mereka mengunjungiku, memberi saran buku yang bisa kubaca, sharing firman Tuhan, juga memberiku konseling pribadi.

Setelah dua tahun tergabung dalam kelompok kecil, rekan-rekan di persekutuan mendukungku supaya aku dapat memuridkan kembali adik-adik tingkatku, membagikan kesaksian tentang keselamatan dan pengajaran yang telah kuterima selama aku menjadi anggota kelompok kecil supaya lebih banyak lagi mahasiswa yang menjadi murid Kristus yang berdampak.

Tapi, aku menolak panggilan itu. Aku merasa tidak layak dan tidak mampu. Lagipula aku sendiri sedang mengalami kesulitan keuangan dan memiliki penyakit. Namun, setiap kali aku melihat adik-adik tingkatku atau melihat adanya kelompok kecil yang tidak berjalan efektif seperti kelompokku, aku merasa gelisah. Seandainya saja kelompok kecil itu dapat berjalan efektif, pasti akan menolong pertumbuhan rohani anggotanya. Dalam hatiku aku ingin supaya mahasiswa bisa jadi agent of change, yang selain diperlengkapi secara ilmu akademis, juga memiliki kedewasaan rohani agar kelak mereka bisa menjadi dampak melalui hidupnya. Akhirnya, setelah mendoakannya, aku menerima panggilan tersebut.

Aku lalu memilih nama “Vania Griselda” sebagai nama kelompok kecil yang aku pimpin. “Vania” adalah kata dalam bahasa Rusia yang artinya “hadiah dari Tuhan”. Sedangkan “Griselda” adalah kata dari bahasa Jerman yang artinya “wanita yang bertempur”. Jadi nama ini menggambarkan harapanku untuk anggota kelompokku. Mereka adalah hadiah dari Tuhan, yang Tuhan pilih untuk berperang memenangkan jiwa bagi-Nya.

Kelompok ini terdiri dari delapan mahasiswi yang latar belakang dan karakternya berbeda-beda. Tiap mereka punya cerita, kejatuhan, dan pergumulan sendiri-sendiri. Dari awal proses pendekatan sampai tahun-tahun berikutnya, menggembalakan mereka bukanlah proses yang mudah. Ada beberapa dari mereka yang perasaannya sangat sensitif, ada pula yang kalau bicara blak-blakan hingga membuat orang lain tersinggung. Tapi, aku berusaha untuk tidak menjadikan itu sebagai halangan. Aku belajar untuk menjadi bagian dari mereka. Aku mendengarkan setiap cerita mereka, mencoba menengahi konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, mengajarkan firman Tuhan, membantu mereka saat jatuh, dan berusaha untuk menjadi teladan buat mereka. Ketika konflik terjadi karena masalah kedekatan dan kecemburuan, aku berusaha untuk membagi waktu dan perhatianku sama rata supaya tidak ada kesan aku pilih kasih. Dalam setiap pertemuan, aku menyiapkan bahan pengajaranku dengan sebaik mungkin sebab pemikiran mereka sangat kritis.

Sejak aku menjadi pemimpin kelompok kecil ini, hari-hari sebagai mahasiswa yang awalnya ingin kulalui dengan tenang berubah jadi lebih menantang. Aku harus menjadi rekan seperjalanan iman bagi mereka. Ada waktu, dana, dan tenaga yang harus aku korbankan di tengah pergumulan pribadi dan sederet masalah lain yang harus kuhadapi. Kami meluangkan waktu untuk belajar Alkitab bersama, berdoa bersama, dan juga sharing proses kehidupan kami masing-masing. Kami juga berlatih untuk saling mengingatkan, menegur, dan menghibur, serta melakukan pelayanan lainnya baik di dalam persekutuan ataupun di luar. Semua itu adalah pembelajaran buat kami mengikis ego kami dan berkomitmen untuk mau saling belajar.

Tapi, di waktu-waktu yang sulit dan berat itulah aku jadi sering merenungkan bagaimana ketika Tuhan Yesus sendiri menjadi gembala bagi kedua belas murid-Nya. Dalam pelayanan-Nya di bumi, selain mengajar dan menyembuhkan orang banyak, Tuhan Yesus juga memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi penjala manusia (Matius 4:18-22). Yesus selalu mengajak mereka ke mana Yesus pergi dan mengajar mereka lewat firman yang diucapkan-Nya dan lewat perbuatan-Nya. Yesus selalu sabar di tengah kelemahan, keraguan iman, dan motivasi-motivasi yang tidak benar dalam diri murid-Nya. Yesus menegur (Matius 16:23), mendoakan (Lukas 22:32), sekaligus menghibur dan menguatkan mereka (Matius 14:27 dan Lukas 6:23). Ketika konflik terjadi, Yesus ada dan menyelesaikannya (Lukas 9:46-48). Yesus juga mengambil bagian terkecil untuk melayani dengan membasuh kaki Petrus (Yohanes 13). Yesus, dikhianati oleh murid-Nya, dan disiksa oleh orang yang membenci-Nya, namun Dia tidak menaruh dendam. Yesus memaafkan mereka (Lukas 23:34).

Semuanya itu rela ditanggung Tuhan Yesus demi mempersiapkan mereka yang awalnya tidak mengenal Injil menjadi orang yang kelak bukan hanya sekadar menerima, tetapi juga menjadi pembagi berita Injil. Yesus menjadikan para pengikut-Nya memiliki kualitas murid supaya dapat menghasilkan murid kembali. Buah dari segala pelayanan dan penggembalaan yang Yesus lakukan itu adalah kesebelas murid-Nya yang dulu hidup hanya untuk diri sendiri menjadi orang yang hidup untuk Injil. Buah dari karya-Nya. Inilah yang membuat banyak orang sampai saat ini bisa mengenal dan menerima Injil.

Proses pemuridan dan penggembalaan yang kulakukan selain mengubahkan adik-adikku, ternyata juga memberikan mengubahkan hidupku. Karakter buah-buah rohku dibentuk. Aku dapat konsisten melakukan disiplin rohani yang menolongku mendisplinkan diriku sendiri. Karakterku yang dulu suka moody sekarang bisa lebih stabil, aku lebih sabar, dan aku pun jadi pribadi yang lebih terbuka. Selain itu, aku belajar menjadi lebih bijak mengelola aktivitas dan keuanganku. Aku juga menjadi orang yang berserah dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan lewat doa. Karunia mengajar dan menggembalakanku semakin terasah. Bahkan aku mendapatkan keluarga dan komunitas baru yang senantiasa mendukung dan menolongku, yaitu adik-adik rohaniku. Dan, puji Tuhan, pelayanan yang dulu kupikir dapat membuat kuliahku terganggu, ternyata malah membuatku jadi semakin termotivasi untuk menunjukkan teladan dalam studiku. Aku dapat lulus sarjana dalam waktu 3 tahun dan 10 bulan, lebih cepat daripada yang kupikirkan.

Ketika tantangan terasa sulit dan aku ingin menyerah, aku mengingat kembali bagaimana penggembalaan yang Yesus lakukan menghasilkan buah yang begitu besar. Inilah yang menjadi motivasiku. Seberapapun seringnya adik-adik rohaniku jatuh, sesakit apapun konflik yang kami alami, sebesar apapun masalah dan tantangannya, aku tetap bertahan untuk menjadi kakak rohani yang baik buat mereka. Karena sama seperti kesetiaan Tuhan yang menghasilkan banyak jiwa, aku pun ingin kelak melalui kesetiaanku boleh ada murid-murid Kristus baru yang dilahirkan.

Pada akhirnya, lewat proses pemuridan dalam kelompok kecil ini aku juga dapat melihat perubahan yang nyata dalam diri adik-adikku. Mereka yang awalnya tidak mengenal Kristus secara pribadi kini menerima jaminan keselamatan. Mereka yang dulu hidupnya sesuka hati kini belajar memprioritaskan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka yang awalnya hidup untuk diri sendiri kemudian berganti menjadi orang yang mau kembali memuridkan adik-adik lainnya.

Membina komunitas dan menggembalakan adik-adik rohani mungkin bukan hal yang mudah. Butuh pengorbanan waktu, tenaga, uang, serta pikiran dan perasaan kita akan terkuras di samping kita juga harus mengurusi pergumulan pribadi kita. Namun, ketika kita mau belajar taat dan setia pada panggilan Tuhan, kita dapat melihat kehadiran komunitas dan penggembalaan itu sebagai salah satu cara Tuhan membentuk dan memproses kita untuk semakin serupa dengan Kristus hingga akhirnya kita kembali membagikan proses itu sendiri dan menghasilkan lebih banyak lagi jiwa buat Tuhan.

Tulisan ini ditulis sebagai apresiasi kepada Tuhan dan juga kedelapan anggota kelompok kecilku: Wan Devi, Dewi, Sophia, Rosmelisa, Rinda, Raisa, Martina, Tetty.

Baca Juga:

Di Tengah Kekhawatiranku, Tuhan Memberikan Kedamaian

Aku pernah begitu khawatir akan kehidupanku dan masa depanku, hingga membuat kesehatan mental dan fisikku terganggu. Sampai akhirnya, ketika aku berseru pada Tuhan, di situlah Dia memberiku solusi atas kekhawatiranku.

3 Alasan Mengapa Aku Menunggu

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Must I Wait?

Kita hidup di dalam masyarakat yang serba cepat: informasi yang instan, makanan cepat saji, dan hal-hal yang serba otomatis. Sulit untuk menghindari segala kemajuan zaman tersebut selain belajar untuk menjadi lebih peka terhadap teknologi. Namun ketika segalanya menjadi lebih cepat, generasi seperti kita sering menganggap bahwa menunggu itu— meskipun itu cuma lima menit—bisa jadi aktivitas yang terasa sangat berat.

Oleh karena itu, kita mencari hal-hal yang bisa kita lakukan selama kita menunggu. Sedang menunggu bus? Atau sedang mengantre makan siang? Waktunya untuk mengecek email dan media sosial. Masalah datang ketika tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mengalihkan perhatian kita saat kita menunggu. Inilah yang membuat menunggu terasa jadi penderitaan yang berat.

Tapi, bukankah sesungguhnya dalam hidup ini kita selalu menunggu sesuatu? Seperti seorang lajang yang menunggu pasangan hidup yang takut akan Tuhan; seorang pelajar yang dengan gelisah menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi; atau seorang pemuda yang menunggu masa akhir baktinya di wajib militer supaya dia bisa kembali ke kehidupan normal dan menumbuhkan kembali rambutnya. Atau, sepasang suami istri yang menunggu kehadiran anak pertama mereka.

Enam belas tahun sudah berlalu sejak aku mendengar panggilan Tuhan untuk melayani di ladang misi-Nya. Panggilan ini telah diteguhkan oleh para pemimpin gereja, dinubuatkan oleh para pembicara di youth-camp, dan dikuatkan melalui waktu-waktu teduh pribadiku dengan Tuhan. Tapi, beginilah hidupku sekarang: seorang ibu rumah tangga yang mengurusi anak balita di tanah airku, dan istri dari seorang calon pendeta yang harus memenuhi kontrak pelayanan selama empat tahun setelah lulus dari seminari.

Sejujurnya, masa menunggu ini membuatku frustrasi. Sekalipun aku tahu kalau belum seorangpun di keluargaku yang siap untuk melayani ladang misi tersebut, aku tetap tidak sabar untuk segera diutus. Setiap tahun, gereja kami memiliki “Bulan Misi” dan di minggu terakhirnya, pembicara selalu menantang para jemaat yang merasa terpanggil melalui panggilan altar. Sebagai seorang pemuda, dulu aku bergegas turun ke altar dengan tangan terangkat. Tapi, beberapa tahun belakangan, aku hanya berjalan ke altar dalam diam sembari hatiku terus menerus bertanya, “Kapan waktunya, Tuhan? Kapan?”

Namun tahun ini berlalu dengan sangat berbeda. Aku memutuskan untuk tidak tergesa-gesa. Selama masa penantian inilah aku mempelajari beberapa hal tentang menunggu yang Tuhan ajarkan kepadaku:

1. Proses menunggu dialami oleh setiap orang Kristen

Sesulit apapun menunggu, setiap kita dipanggil untuk menunggu.

Kita semua menjalani kehidupan kita di bumi sebagai pengembara. Kita menunggu untuk kelak pulang ke tempat peristirahatan yang kekal, seperti yang telah dijanjikan oleh Yesus. Tapi, masa-masa menunggu ini bukanlah masa yang kita jalani dengan berdiam diri. Sebaliknya, Yesus memerintahkan kita untuk memuridkan dan mengikuti Roh Kudus dalam melaksanakan pekerjaan Bapa.

Seorang misionaris yang pernah tinggal sambil melayani bersamaku selama semusim di Thailand baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-60 di Singapura. Setiap kali dia ditanya mengapa dia tidak menikah, dia dengan mudah menjawab bahwa Tuhan mungkin masih menyiapkan dirinya untuk menjadi pengantin wanita yang terbaik—dan jika itu tidak terjadi di kehidupan sekarang, maka itu akan terjadi di kekekalan nanti, bersama Tuhan di surga.

Tapi, alih-alih hanya duduk diam, dia adalah orang yang mempraktikkan perkataan “jangan pernah sia-siakan satu momen pun”. Dia bangun pukul lima pagi setiap hari untuk berdoa dan menyiapkan sarapan sebelum dia pergi berkeliling mengunjungi warga. Dia melakukan pekerjaan Tuhan dengan taat—memuridkan, berdoa, dan melayani orang-orang di sekitarnya.

Selagi kita menunggu hal-hal yang diinginkan oleh hati kita, mengapa kita tidak melakukan hal-hal yang menyenangkan hati Tuhan dengan penuh semangat? Buat sebagian besar dari kita yang sudah menjadi orang percaya untuk waktu yang lama, kita bisa menggunakan waktu kita untuk mempelajari Alkitab, membimbing orang-orang yang baru percaya, atau mengajari anak-anak yang lebih muda di gereja kita.

2. Menunggu adalah proses yang terpuji

Menunggu di bawah kaki Tuhan adalah sesuatu yang menyenangkan-Nya—tepat seperti yang dilakukan Maria ketika Marta menyibukkan dirinya di dapur. Yesus berkata Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya. Aku yakin bagian terbaik yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika Maria memilih untuk mendengarkan perkataan-Nya, yang adalah anak Allah.

Kita semua menanti Tuhan dengan cara yang berbeda. Beberapa orang lebih suka menulis dalam catatan harian mereka, sedangkan yang lain membaca dan mendengarkan ayat-ayat Alkitab dalam perjalanan mereka. Terlepas dari bagaimana cara kamu berdoa, yang terpenting adalah kamu menanti di dalam Tuhan. Di dalam firman-Nya, ada kehidupan. Dan ketika kita menerima-Nya, kita akan merasakan sukacita yang melimpah.

Ketika aku memperhatikan saudara-saudari seimanku yang sedang menantikan kehadiran seorang anak, aku dibuat malu oleh iman yang mereka tunjukkan. Alih-alih marah atau menyalahkan Tuhan, mereka berserah sepenuhnya pada Tuhan untuk memberikan kekuatan selama mereka menunggu. Aku melihat bagaimana Tuhan membalas waktu-waktu yang telah mereka berikan pada-Nya. Tuhan memberikan penghiburan dalam setiap tetesan air mata mereka, juga memberikan sukacita yang tak terukur dari firman-Nya.

3. Tuhan juga menunggu

Tuhan sendiri sedang menunggu kita untuk datang bertobat. 2 Petrus 3:9 mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

Jadi sekarang, alih-alih bertanya “kapan” pada Tuhan, aku belajar untuk bertanya “mengapa”—mengapa aku masih di sini? Pada saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan memberikan sebuah peran untukku lakukan sekarang, tepat di tempat di mana aku berada sekarang. Aku masih memiliki anggota keluarga besarku yang belum kujangkau. Ada para pemuda dan ibu-ibu muda di gerejaku yang harus kulayani. Ada orang-orang asing di seminari yang harus kusambut ke dalam rumahku. Dan masih banyak lagi.

Untuk kita yang sedang menunggu apapun itu, izinkan aku menguatkanmu dengan perkataan ini: jangan hanya berdiam ketika menunggu, karena Tuhan punya pekerjaan untuk kamu kerjakan sekarang.

Baca Juga:

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Ketika aku sangat mengagumi selebritis idolaku, aku pun mulai membandingkan mereka dengan diriku. Aku ingin menjadi cantik dan terkenal seperti mereka hingga aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku.

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought I Needed To Be Beautiful

Aku dan rekan kerjaku sedang makan siang di dapur ketika kami melihat seorang rekan lainnya berjalan ke arah pintu sambil membawa tasnya.

“Mau pergi ke mana dia?” salah seorang rekanku bertanya.

Yang lain lalu menjawab, “Oh, dia cuti setengah hari buat nonton konser musik pop Korea. Dia punya tiket premium.”

“Wow,” aku menanggapi. “Dia sungguh-sungguh fans K-Pop!”

Peristiwa itu membuatku teringat kembali kenangan bertahun-tahun lalu, ketika aku masih seorang remaja. Waktu itu, aku sangat menikmati drama dan musik pop Korea. Aku bahkan mengidolakan beberapa selebriti. Mereka tampak memiliki segalanya yang aku inginkan—penampilan yang menarik dan popularitas.

Aku menghias binder sekolahku dengan foto-foto mereka. Aku menggunakan uang jajanku untuk membeli majalah atau koran yang memuat cerita dan foto tentang mereka. Aku dengan tekun menenggelamkan diriku dalam setiap detail kehidupan mereka. Kalau saja ada ujian tentang seberapa dalam aku mengenal dengan detail idola-idola itu, pasti aku akan lulus dengan nilai terbaik.

Namun, di samping mengagumi mereka, aku pun mulai membandingkan diriku dengan mereka. Semua selebriti yang aku sukai itu cantik dan langsing. Ketika aku melihat diriku di cermin, aku melihat diriku hanyalah seorang perempuan biasa. Aku merasa ada yang salah dengan penampilan wajahku. Tinggiku pun hanya 150 cm. Dan, aku tidak kurus.

Dengan segera aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku. Kupikir para selebriti itu terkenal dan disukai banyak orang karena penampilan mereka yang menarik.

Ketika aku membaca tulisan-tulisan tentang selebriti yang menjalankan program diet demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, aku merasa perlu meniru mereka juga. Aku harus diet, membatasi asupan kaloriku. Banyak selebriti juga menjadi bintang iklan produk-produk diet dan pelangsing badan sekalipun tubuh mereka sebenarnya tidak gemuk. Selain itu, setiap kali ada selebriti yang berat badannya turun, media dan para penggemarnya segera menyuarakan rasa keprihatinan atas kesehatan para selebriti itu. Sepertinya para selebriti itu mendapatkan perhatian dan popularitas yang lebih besar ketika mereka melakukan diet—dan kupikir itu juga akan berlaku buatku kalau aku mengikuti jejak mereka.

Aku pun berubah jadi seorang yang percaya kalau tubuh langsing itu cantik. Kalau aku tidak bisa mengubah wajah atau tinggi badanku, aku bisa mengubah berat badanku. Jadi, meskipun berat badanku sudah menurun, aku tetap melakukan diet. Tapi, betapapun kerasnya aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi seorang selebriti.

Selain itu, diet dengan mengurangi asupan kalori sering membuatku jadi merasa murung dan lesu. Ketika aku sudah bekerja, ketertarikanku pada dunia selebriti mulai menurun karena aku semakin sibuk. Tapi, aku masih terus melakukan dietku dan memperhatikan berat badanku.

Cara pandangku akhirnya berubah ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi empat tahun lalu. Sebagai buah dari berbagai pencobaan yang kualami dalam keluargaku, aku mulai membaca firman Tuhan dengan tekun dan mendapatkan penghiburan di masa-masa sulit itu. Dan, karena aku begitu larut dalam firman Tuhan, obsesiku pada selebriti pun menjadi bagian dari masa laluku. Selama masa-masa inilah kebutuhan emosionalku dipenuhi oleh Tuhan dan akhirnya aku menemukan siapa diriku yang sejati di dalam Tuhan.

Yesaya 43:7 mengingatkanku bahwa aku diciptakan untuk kemuliaan Tuhan. Tujuan dari kehadiranku di dunia ini adalah untuk kemuliaan-Nya! Aku mungkin tidak rupawan seperti selebriti, atau paling pintar, atau paling baik dalam semua yang kulakukan. Tapi, itu tidak penting, sebab tujuan hidupku ditemukan dalam Kristus.

Aku juga belajar dari 1 Korintus 6:19-20 bahwa tubuh ini adalah bait Roh Kudus. Aku bukanlah milikku sendiri, dan tubuhku adalah kepunyaan Tuhan. Aku harus merawat tubuhku baik-baik sebab itu adalah kediaman Tuhan. Ini berarti tujuanku menjaga pola makan adalah untuk membuat tubuhku tetap sehat.

Lambat laun, aku belajar menerima penampilan diriku, karena aku tahu bahwa Tuhan menciptakanku dengan sangat baik. Tuhan tidak membandingkanku dengan selebriti. Kenyataannya, Dia begitu mengasihiku hingga tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkanku dari kasih-Nya (Roma 8:35)!

Ketika baru-baru ini aku membaca tulisan tentang meningkatnya jumlah kasus bunuh diri di antara para bintang K-Pop, aku dapat membayangkan bagaimana kegelapan yang mereka hadapi—perbandingan tanpa akhir, tekanan industri, kritik-kritik di media sosial. Mungkin mereka pun sebenarnya tidak ingin untuk mengakhiri kehidupan mereka.

Tapi aku juga teringat sebuah lagu Sekolah Mingguku dulu yang liriknya berkata, “Bersama Kristus kita bisa tersenyum dalam badai, tersenyum dalam badai.” Lagu ini mengingatkanku bahwa di dalam masa-masa kelam kita, kita dapat berseru kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita untuk menghadapi pergumulan seorang diri. Tuhan akan mengubah kegelapan kita menjadi terang (Yesaya 42:16). Seandainya saja para bintang K-Pop itu mengetahui betapa Tuhan mencintai dan menyayangi mereka, mungkin mengakhiri hidup tidak akan jadi pilihan mereka.

Membanding-bandingkan diri adalah hal yang mengerikan. Itu membuatku sengsara selama masa remajaku dan menghalangiku untuk memenuhi tujuan Allah dalam hidupku. Sekarang aku menyadari bahwa para selebriti yang dulu sangat aku kagumi suatu saat nanti pasti akan menjadi tua. Penampilan fisik mereka yang mengagumkan akan memudar. Tapi tujuan Tuhan untuk kita memiliki nilai yang kekal. Perhatian dan kasih sayang yang aku cari tidak berasal dari penampilanku, tetapi hanya ditemukan di dalam Kristus.

Alih-alih terobsesi pada selebriti dan kecantikan fisik, sekarang aku berusaha menggunakan waktuku dengan bijaksana. Aku membaca firman Tuhan dengan sepenuh hati supaya aku dapat terus belajar lebih mengenal Dia. Pengejaranku juga telah berubah, dari lagu-lagu populer kepada lagu-lagu yang berisi puji-pujian kepada Tuhan. Tuhan adalah penghiburan dan sukacitaku yang luar biasa di hari-hari tergelapku, dan sukacita dari Tuhanlah yang akan terus menjadi kekuatan dan perisaku selamanya (Mazmur 28:7). Hatiku menemukan penghiburan di dalam Dia.

Baca Juga:

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Karena penyakit tumor yang menyerangku di usia 20 tahun, hubunganku dengan pacarku pun terguncang hingga akhirnya kami putus. Aku patah hati dan begitu kecewa. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Dia menolongku dan memulihkanku.