Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

“Huaaa… huaaa,” suara tangisan terdengar dari arah tangga. Aku mengenal suara tangisan itu. Marvelle, salah satu muridku yang duduk di kelas 4 berjalan terseok-seok menghampiriku. Air mata membasahi wajahnya.

Sebagai seorang guru, aku tidak tega melihat teman kecilku ini menangis demikian kerasnya. Aku menghampirinya dan bertanya, “Ada apa Marvelle?”

Aku menduga, tangisan Marvelle pasti karena seekor kucing yang ia beri nama Miichan. Beberapa hari belakangan, ada seekor kucing yang berkeliaran di area sekolah. Marvelle senang bermain dengan kucing itu. Dan, ternyata dugaanku benar. Ketika aku menyebutkan nama Miichan, tangisnya semakin keras.

“Kenapa Miichan, Marvelle? Miichannya pergi lagi ya?”

Sambil tetap menangis, Marvelle menjawab dengan terbata-bata, “Aku..aku mau kucing… Tapi nda boleh sama mamaku. Jadi aku nda bisa main sama Miichan lagi.” Aku pun berusaha menghibur Marvelle agar ia dapat lebih tenang.

Tangisan Marvelle siang itu membuat perasaanku campur aduk. Ada rasa terharu, gemas, terenyuh, dan entahlah. Tapi, dari balik tangisannya, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Dalam kehidupan kita, ada banyak hal yang “menggiurkan”, yang menarik kita menjauh dari Tuhan. Godaan-godaan dosa mungkin menawarkan hal yang indah dan menyenangkan buat kita. Namun, itu tidaklah menyenangkan hati Tuhan, dan sebenarnya pun tidak baik buat kita.

Tapi, apakah lantas kita memiliki hati seperti Marvelle kecil yang mau taat?

Aku yakin, pasti tidak mudah buat Marvelle mengikuti perintah mamanya. Marvelle begitu menyukai Miichan. Kucing ini tampak menarik dan membuatnya senang setiap kali bermain dengannya. Namun, ketika sang mama akhirnya mengatakan “tidak” untuk bermain dengan kucing ini lagi, pasti Marvelle merasa tidak senang. Marvelle bisa saja melanggar instruksi “tidak” dari mamanya. Toh, kucing itu ada di sekolah, di tempat di mana sang mama tidak ada secara fisik dan mengawasi Marvelle secara langsung.

Tapi, Marvelle—walaupun dengan rasa sedih—dapat mengatakan: “Nda boleh sama mama. Jadi aku tidak bisa main dengan Miichan.”

Di balik rasa sedihnya, Marvelle memilih taat. Ia melakukan apa yang mamanya perintahkan. Aku yakin, bahwa di dalam hatinya, Marvelle tahu bahwa mamanya mengasihi ia. Sehingga, ia pun bersedia taat meskipun mungkin ia sendiri tidak paham mengapa mamanya memerintahkan demikian.

Bagaimana dengan kita? Apakah momen Natal yang baru kita peringati di bulan lalu membuat kita semakin menyadari dan mengingat betapa Allah telah mengasihi kita?

Aku teringat akan perkataan Yesus di malam sebelum Ia ditangkap. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Ketika Yesus lahir ke dunia, Ia tahu bahwa Ia datang untuk sebuah misi: menyelamatkan umat manusia. Dan, Ia pun tahu bahwa Ia akan mati disalibkan. Itu bukanlah hal yang mudah bagi-Nya. Namun, Yesus menunjukkan ketaatan-Nya yang luar biasa.

Di tahun yang baru ini, aku ingin belajar untuk taat sebagaimana Kristus taat kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Dan, aku pun mengucap syukur kepada Bapa untuk kesempatan belajar dari Marvelle, yang menegurku agar aku terus bersedia dibentuk untuk semakin serupa dengan Kristus.

Baca Juga:

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Apakah resolusi tahun baru yang kita buat menyentuh masalah-masalah mendasar dalam hidup kita?

Bagikan Konten Ini
6 replies
  1. Debora
    Debora says:

    Menyentuh sekali. Tuhan Yesus emang selalu berkata untuk punya hati seperti anak kecil yang tulus. Amen.

  2. Nina Suprapti
    Nina Suprapti says:

    Amin Artikel yang sangat memberkati sekali, betuklah kami Tuhan utk selalu taat kepadamu, taat kepada perintahMu

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *