Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang cukup viral. Di video itu ditunjukkan seorang badut dengan mimik tersenyum berdiri di ballroom mal yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya pengunjung di mal itu, tak ada satupun yang tergerak untuk mengisi kotak uangnya. Namun, sang badut bergeming menghibur orang-orang yang sedikit itu dengan senyumannya.

Sang pembuat video lalu berinisiatif memasukkan uang ke dalam kotak. Rupanya tindakan ini mendorong pengunjung lainnya untuk memberi juga. Lalu, setelah video ini viral di media sosial, sumbangan kepada sang badut pun berdatangan dari para warganet.

Di tengah situasi pandemi yang mencekam ini, mendapati kisah-kisah kebaikan seperti di atas terasa menghibur hati. Namun, aku jadi teringat. Masih di media sosial, terjadi perdebatan atas peristiwa merebaknya virus corona pada sebuah acara gereja di Bandung.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengidentifikasi bahwa jumlah orang yang positif terjangkit dari klaster acara tersebut berjumlah 226 orang. Di luar jumlah itu, ada beberapa yang telah meninggal dunia pula. Ketika berita ini menyebar di media sosial, komentar-komentar pun berdatangan. Ada komentar-komentar yang mengatakan bahwa itu ganjaran yang tepat untuk mereka yang mengikuti acara tersebut.

Sejenak aku termenung.

Jika ingin digali secara detail, mungkin investigasi dari peristiwa ini akan panjang. Untuk mencari dan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dari merebaknya virus ini di acara tersebut, kupikir itu adalah ranah pihak yang berwajib untuk memprosesnya. Namun, bagaimana jika kita menggeser sedikit cara pandang kita? Daripada berfokus kepada “salah siapa,” bagaimana jika kita memberi ruang bagi empati untuk turut hadir dalam asumsi-asumsi kita?

Aku membayangkan, para anggota jemaat yang hadir di acara tersebut tentunya terguncang karena terjangkit. Pun, ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia, pastilah itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarga mereka.

Selayaknya, tugas kita sebagai orang Kristen adalah menawarkan penghiburan dan empati. Para korban dari pandemi ini, siapa pun mereka, adalah manusia juga seperti kita. Manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan.

Ketika Yesus berjumpa dengan seorang yang buta sejak lahir, murid-murid-Nya bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan murid-murid sejatinya bukanlah pertanyaan yang tidak peka terhadap kesakitan si orang buta, karena pada zaman itu orang-orang meyakini bahwa cacat fisik seseorang adalah akibat dari dosa. Dan, biasanya mereka yang buta sejak lahir bernasib menjadi pengemis. Buta dan pengemis pula. Lengkap sudah penderitaan orang itu. Yesus lalu menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Dari bagian ini, kita mendapati bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sama-sama melihat orang buta tersebut. Namun, dalam cara dan respons yang berbeda. Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Murid-murid melihat dengan blepo, mereka melihat hanya dengan mata jasmani. Cara melihat seperti ini akhirnya menghasilkan penghakiman yang terselubung, seperti tercermin dalam pertanyaan mereka. Sedangkan Yesus melihat dengan horao, melihat dengan hati. Cara Yesus melihat menghasilkan respons untuk berbelas kasihan. Bukan penghakiman yang ditawarkan-Nya, tetapi tindakan kasih yang berujung pada pemulihan.

Andaikata saat itu si orang buta tak jadi dicelikkan Yesus, mungkin hatinya merasa lebih baik sebab Yesus tidak menghakimi matanya yang buta sebagai dosa. Namun, Kristus berkenan memulihkan penglihatannya, sehingga celiklah matanya.

Mata kita tidak pernah melihat dengan asal melihat. Kita melihat dengan tujuan. Kita melihat untuk mencari sesuatu dan kita berfokus melihat apa yang kita lihat. Hari ini, ketika kita melihat satu per satu korban berjatuhan, apakah yang kita lihat dan pikirkan? Apakah kita melihatnya sebagai hukuman, biar tau rasa, atau terbitkah kasih kita kepada mereka? Tergerakkah hati kita untuk mendoakan mereka, agar tangan Tuhan yang berkuasa menjamah dan menganugerahkan mereka dengan damai sejahtera?

Yesus mengatakan bahwa semua orang akan tahu kita adalah murid-murid-Nya jika kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Kasih yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengasihi orang yang dekat dengan kita, atau yang baik pada kita. Kita diminta-Nya untuk mengasihi siapa saja, termasuk musuh kita sekalipun (Matius 4:44). Tak ada pengecualian, kita wajib mengasihi semua orang.

Virus COVID-19 memang berbahaya, cepat menular, tetapi yang tak kalah bahayanya adalah dosa-dosa yang bersarang dalam diri kita. Kita membutuhkan pengampunan dari-Nya, sebab kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6).

Baca Juga:

Kasih Tuhan di Masa Corona

Lent, Jumat Agung, dan Paskah serasa tenggelam di tengah-tengah pandemi COVID-19, tetapi kegelapan tidak dapat menutupi terang. Pesan apa yang salib Yesus 2000 tahun lalu sampaikan? Kasih Tuhan yang terus menyertai, bahkan di masa corona.

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Andre
    Andre says:

    Mazmur 94:8

    Perhatikanlah, hai orang-orang bodoh di antara rakyat! Hai orang-orang bebal, bilakah kamu memakai akal budimu? Perhatikanlah, hai orang-orang bebal di antara bangsa-bangsa; hai kamu orang bodoh, kapan kamu akan menjadi bijak?

    Masih ada waktu 1 hari untuk membatalkan kegiatan tsb sejak pengumuman kasus pertama covid di Indonesia . Kita semua tau penyebaran virus ini sangat cepat , dan bahkan tanpa gejala sekalipun

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *