Eulogi untuk Tim Keller, Sang “Raksasa” Iman dari Abad 21

Oleh redaksi WarungSaTeKaMu
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways Tim Keller Challenged Us To Live Out Our Faith

Jumat, 19 Mei 2023 yang lalu, seorang pendeta, teolog, dan penulis dari banyak buku tutup usia pada umur 72 tahun setelah tiga tahun berjuang melawan kanker pankreas. Jika kita gemar membaca buku-buku Kristen atau mendengarkan khotbahnya, nama Tim Keller bukanlah sosok yang asing. Dia dikenal oleh banyak orang Kristen di seluruh dunia, terkhusus juga bagi jemaat lokal yang dia layani. 

Ketika kabar meninggalnya tersiar melalui media sosial, banyak orang mengungkapkan kehilangan dan bercerita akan dampak yang mereka alami dari hidup dan karya Tim. Bagi sebagian dari kita yang tumbuh dalam kekecewaan pada Tuhan atau yang merasa diasingkan oleh gereja karena keraguan dan pertanyaan kita tentang iman Kristen, pengajaran dari Tim Keller dan caranya menjelaskan tentang kekristenan sebagai iman yang kredibel dan memuaskan telah menolong kita menemukan kembali keindahan Injil dan menarik kita kembali pada dekapan Bapa Surgawi. 

Seiring kita mengenang karya Tim, kita pun berdoa agar Tuhan membangkitkan lebih banyak pemimpin Kristen seperti Keller yang mampu memberitakan Injil dengan fasih, berpikir dengan kasih karunia, dan hidup dengan integritas. 

Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari teladan hidup Tim Keller.

1. Dia melayani dan berinteraksi dengan lemah lembut dan hormat 

Tim Keller dikenal karena dia berani membahas isu-isu sensitif seperti seks, uang, atau kekuasaan—hal-hal yang dipakai dunia untuk mengukur kesuksesan kita—dengan lemah lembut dan hormat. Topik-topik ini seringkali sulit dibicarakan, atau jika pun dibahas seringkali sudut pandang yang diambil adalah “aku lebih suci dari kamu”, atau sosok yang terjerat dalam dosa tersebut merasa begitu “malu” tatkala mereka menghampiri mimbar. Namun, pada tulisan-tulisannya, Keller menceritakan kebenaran dengan cara yang lembut, dengan sabar menguraikan mitos dan kebohongan yang selama ini kita pegang, dan membawa kita pada Kristus yang selalu mencukupkan setiap kebutuhan kita. 

Peter Wehner dalam The Atlantic menuliskan demikian, “Kawanku, Tim Keller: “Gaya khotbah Tim bersifat intelektual, detail dalam budaya, mengalir dan tidak melukai.” [1] 

Cara Tim berkhotbah, menjawab pertanyaan dengan lembut tanpa bersikap defensif adalah contoh nyata dari Kolose 4:6 yang berkata, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Juga dari 1 Petrus 3:15, “Tetapi di dalam hatimu, hendaklah kalian memberikan kepada Kristus penghormatan yang khusus yang sesuai dengan kedudukan-Nya sebagai Tuhan. Dan hendaklah kalian selalu siap untuk memberikan jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki.”

Kita dapat belajar dari Tim Keller saat kita bercerita pada teman kita tentang Yesus. Kita tidak harus bersikap defensif dan mengubah diskusi hangat menjadi perdebatan, tetapi kita bisa mendengarkan cerita tentang apa yang teman kita percayai seperti kita juga menceritakan iman kita.

2. Tim memberitakan Injil ke mana pun Tuhan memanggilnya

Salah satu warisan yang Keller tinggalkan adalah dia memberikan kita visi tentang seperti apa menjangkau kota-kota dengan berita Injil. Pada tahun 1989, Keller dan istrinya, Kathy, memulai pelayanan gereja Redeemer Presbyterian, sebuah gereja dengan teologi yang solid di tengah kota Manhattan—kota yang tak pernah tidur, pesta pora setiap hari selalu ada, dosa dilihat sebagai kehidupan, dan…juga dihuni oleh orang-orang yang merasa telah ‘tercerahkan’.

Keller bercerita pada majalah New York bahwa dia merasa jadi ‘pengecut’ jika dia tidak pindah ke Manhattan. Bersama istrinya, mereka seperti mengalami perasaan “mual” di perut setiap hari. 

Namun demikian, keluarga Keller percaya bahwa cara terbaik untuk taat dalam iman kita adalah dengan mengasihi sesama dan pergi ke mana pun Tuhan memanggil kita—bahkan seperti yang Kathy katakan, jika harus pergi menjangkau “pelacur Babel yang jahat”. Di sanalah Tuhan mengajar mereka bahwa ketika kita melihat diri kita sebagai “pendosa yang diselamatkan anugerah”, itu akan membuat kita sulit untuk “mengabaikan orang lain, menjelekkan atau menghina atau merasa takut pada siapa pun.”[2]

Banyak dari kita tentu tidak dipanggil untuk menanam sebuah jemaat gereja di kota New York, tapi setiap kita dipanggil untuk menanam Injil pada “Babel” kita masing-masing. Entah itu di sekolah, kampus, dan tempat kerja—tempat-tempat sekuler di mana memegang teguh iman bisa berpotensi merugikan kita.

Namun, kita dapat mengambil banyak teladan dari kehidupan Keller yang dijalaninya dengan baik, dan mengetahui bahwa Injil melenyapkan “rasa takut”. Mungkin kita takut menceritakan Injil pada lingkungan yang asing dan menolak iman Kristen, tetapi seperti kata-kata Keller, “Meskipun kita harus peduli dan sebisa mungkin tidak menyinggung orang lain, tapi kepastian akan kasih dan penerimaan Tuhan seharusnya memberi kita keberanian untuk menghadapi kritik dan ketidaksetujuan.”[3]

3. Keller mengajari kita untuk menghadapi kematian dan penderitaan dengan baik

Mungkin salah satu dampak terbesar yang Keller berikan adalah bagaimana dia menghidupi iman Kristennya saat dia berjuang melawan kanker selama tiga tahun terakhir.

Tiga hari sebelum tutup usia, Keller mengucapkan kata-kata mengharukan ini dalam doanya: “Aku mengucap syukur atas keluargaku yang mengasihiku. Aku mengucap syukur atas waktu yang Tuhan berikan buatku. Tapi, aku telah siap bertemu Yesus. Aku tak sabar melihat Yesus. Bawalah aku pulang.”

Apa yang Keller katakan mungkin tampak wajar diucapkan seorang raksasa iman. Tapi dua tahun sebelumnya, Keller jujur mengakui dalam sebuah artikel bahwa dia bergumul menghadapi kematian setelah didiagnosis mengidap kanker pankreas: “Aku… melihat sekilas (buku yang sedang ditulisnya), “On Death”, di atas sebuah meja. Aku tidak berani membukanya untuk membaca apa yang aku tulis… Apa yang akan terjadi padaku? Aku merasa seperti ahli bedah yang tiba-tiba berada di meja operasi. Apakah aku dapat menerima saranku sendiri?”[4]

Seperti kita juga, Keller tahu bahwa mengetahui kebenaran adalah satu hal, dan mempercayai diri kita sendiri dengan menjalaninya adalah hal yang sama sekali berbeda. Kita mungkin tahu bahwa Tuhan berkata dalam firman-Nya, tapi ketika penderitaan dan kematian datang mendekat, kita masih merasa ngeri. Tapi… inlah yang Keller katakan:

Aku sadar bahwa kepercayaanku harus menjadi nyata di hatiku, atau aku sendiri takkan bisa melewati hari itu kelak. Gagasan teoritis tentang kasih Allah dan kebangkitan di masa depan harus menjadi kebenaran yang mengikat kuat, atau dibuang saja karena tidak berguna.[5]

Untuk membuat teori menjadi nyata, Keller mengajari kita untuk menyelaraskan kepala dengan hati, untuk menggunakan kemampuan penalaran dan perasaan kita; untuk mempelajari kembali dan melatih diri kita sendiri tentang siapa Tuhan itu, dan biarkan semuanya meresap ke dalam hati.

Pertama, untuk menolong kita menghadapi kenyataan akan penderitaan dan kematian, serta mendamaikannya dengan keberadaan Tuhan, Keller mengingatkan kita untuk memeriksa kembali dan mengoreksi apa yang kita yakini jauh di dalam lubuk hati kita. Kita hidup untuk Tuhan bukan sebaliknya. Tuhan tahu segalanya dan kita tidak. Tuhan memegang kendali dan kita tidak. Ketika kita benar-benar mempercayai semua ini, inilah yang membebaskan kita untuk membiarkan Tuhan sungguh berdaulat menjadi Tuhan atas kita. 

Kedua, bicaralah ke hati kita sendiri. Keller mengundang kita untuk merenungkan Mazmur yang memberi tahu kita siapakah Tuhan itu, dan supaya kita berbicara pada jiwa kita sendiri. Semisal: “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku?” atau “Pujilah TUHAN hai jiwaku” (Mazmur 42 dan 103). Keller mendorong kita untuk sungguh “melihat kepercayaan terdalam kita, cinta dan ketakutan terkuat kita, dan mendekatkan semuanya itu pada Allah”, dan mengucapkan kebenaran yang memberi penghiburan ini dalam doa-doa kita. Karena Yesus mati dan bangkit, kita juga akan mati dan bangkit seperti Dia. 

Terakhir, Keller membagikan pada kita bagaimana luar biasanya menikmati hidup di hadapan kematian ketika Tuhan begitu berkesan di hati kita. Keller berbicara tentang menemukan kedamaian yang melampaui pemahaman manusia ketika diaakan menjalani operasi besar.[6] Di hari-hari terakhirnya, Keller berbicara dengan tulus dan penuh percaya diri tentang kebahagiaan yang dirasakannya akhir-akhir ini, dan bagaimana kebahagiaan itu bisa hadir beriringan dengan kesedihan. Meskipun kita mungkin meneteskan banyak air mata, penghiburan dan sukacita Tuhan tetap mengalir di dalam diri kita dan akan menuntun kita sampai pada harinya Tuhan Yesus membawa kita pulang. 

Terima kasih, Tim Keller, karena telah menunjukkan pada kami seperti apa menghidupi hidup yang taat dan setia—dan bagaimana menyambut kepulangan pada Bapa dengan sukacita. Meskipun banyak dari kita meratap dari balik kekekalan yang engkau jalani, ribuan lain bersukacita denganmu seiring pertemuanmu dengan Tuhan yang tanpa keraguan memanggilmu “hamba yang baik dan setia” (Matius 25:23) dan dengan sukacita membawamu dalam kebahagiaan abadi selamanya.

[1] Peter Wehner. “My Friend, Tim Keller”.
[2] Timothy Keller & John Inazu, Uncommon Ground: Living Faithfully in a World of Difference, Nelson Books, 2020, pages 25-26.
[3] Ibid, p.30.
[4] Timothy Keller. “Growing My Faith in the Face of Death”.
[5] Ibid.
[6] Matt Smethurst. “Tim Keller Wants You to Suffer Well”.

 

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dusta dan Dosa di Antara Kita: Memahami Cara Kerja Iblis dari Buku The Screwtape Letters

Oleh Jovita Hutanto

“Yang Terkasih Wormwood,

Pasienmu itu tentu saja sudah mengetahui bahwa dia harus sabar menaati kehendak Sang Musuh. Maksud Sang Musuh dalam hal ini supaya pasien sabar menerima semua penderitaan yang terjadi padanya. Untuk hal inilah pasien seharusnya mengatakan ‘jadilah kehendak-Mu.’ Tugas kamu, Wormwood, adalah mengalihkan perhatiannya dari Sang Musuh ke pikirannya sendiri. Berikan ejekan atau sesosok tubuh wanita untuk menarik perhatiannya pada hal-hal duniawi, supaya dia tidak berjumpa dengan Sang Musuh.”

Teman-teman, penggalan surat di atas adalah tulisan dari Screwtape, sesosok Iblis senior kepada Wormwood, keponakannya. Kisah dua tokoh ini dituliskan oleh C.S Lewis dalam buku klasik karangannya yang berjudul “The Screwtape Letters”. Walaupun usia buku ini telah lebih dari 80 dekade sejak ditulis, tapi pesannya tetap relevan bagi kita yang hidup di zaman sekarang.

Dikisahkan lebih lanjut, Screwtape adalah iblis senior, berpangkat tinggi dalam birokrasi neraka. Dia sedang mengajarkan Wormwood strategi untuk mendapatkan jiwa “pasien” atau si pemuda Kristen. Sang Musuh yang dimaksudkan oleh Screwtape adalah Bapa Surgawi. Buatku, buku ini sangat menarik karena surat-surat dari Screwtape secara lengkap menggambarkan pergumulan yang mungkin pernah atau akan kita alami dalam hidup. Di sinilah aku mulai mengerti bahwa seringkali pikiran kita merupakan pikiran yang diinginkan dan diarahkan oleh iblis.

Lewat tulisan ini, aku mau mengajakmu untuk melihat beberapa penggalan-penggalan lain dari surat si iblis senior.

“Yang Terkasih Wormwood,

Di dalam surat terakhirmu, kau nyatakan cara-cara hina, contohnya kerakusan, sebagai sarana untuk menangkap jiwa-jiwa. Ini semua upaya kita yang telah memusatkan kerakusan pasien kita pada makanan lezat. Seluruh hidupnya telah diperbudak oleh kenikmatan dari jenis hawa nafsu ini, yang cukup terselubung dan pada taraf yang masih ringan. Di sini kita bisa menggunakan perut dan cita rasa lidah pasien untuk menghasilkan omelan, ketidaksabaran, pelit hati, dan pementingan diri sendiri.”

Penggalan ini menarik! Mungkin banyak dari kita berpikir bahwa pertarungan spiritual terjadi di saat kita menghadapi pencobaan besar seperti kejatuhan finansial, penyakit kritis, konflik keluarga, dan sebagainya. Namun, pertarungan spiritual sejatinya tidak hanya terjadi pada area eksternal, tapi juga di dalam pergumulan yang sifatnya internal seperti penyangkalan diri melawan keegoisan, menahan amarah, dan hawa nafsu. Kita mungkin terdorong untuk menganggap remeh dosa-dosa yang tampaknya sepele, atau bahkan tidak lagi dianggap seperti dosa karena sifatnya yang ditolerir masyarakat. Dalam kasus ini, C.S Lewis memberikan contoh dosa ketamakan saat makan.

Dalam keseharian kita, banyak contoh dosa ‘sepele’ lainnya yang kita terus lakukan seperti bergosip, malas-malasan, berbohong, dan lainnya. Dosa-dosa ini memang dapat dimaklumi oleh masyarakat, namun tidak mengubah fakta bahwa semuanya itu tetaplah tindakan dosa. Malah, yang justru paling membahayakan adalah dosa-dosa yang tidak kelihatan seperti kedengkian, iri hati, kesombongan. Sekecil apa pun tantangan dosa kita, iblis akan terus berusaha menggoda dan mencuci otak kita.

“Yang Terkasih Wormwood,

Jadi engkau sangat mengharapkan fase keagamaan pasienmu menjadi sekarat? Ingat bahwa manusia adalah makhluk amfibi (setengah roh dan setengah binatang). Sebagai roh mereka adalah milik dunia kekekalan, dan sebagai binatang mereka mendiami waktu. Artinya, ketika roh mereka bisa diarahkan pada suatu objek yang abadi- tubuh, nafsu, dan imajinasi- mereka tetap terus menerus mengalami perubahan.

Kau perhatikan juga, Sang Musuh memang sungguh-sungguh ingin mengisi alam semesta ini dengan banyak makhluk kecil tiruan diri-Nya yang menjijikan itu. Dia ingin mereka memiliki kualitas yang sama seperti kehidupan-Nya, bukan karena Dia menyerap manusia tetapi karena kehendak bebas mereka untuk menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya.”

C.S Lewis mengingatkan kita juga bahwa pertarungan spiritual tidak akan selesai selama kita masih bernafas. Selama kita masih mengenakan tubuh yang naturnya sudah berdosa, godaan akan terus datang. Tapi, kita jangan salah kaprah. Bukan berarti Tuhan tidak berkuasa mengalahkan kuasa iblis, namun Dia memberikan kita kehendak bebas untuk memilih dan berekspresi pada pihak mana kita ingin menyerahkan jiwa kita.

Kemenangan atau kekalahan kita dalam menghadapi peperangan spiritual ada di tangan kita dan belas kasih Tuhan. Ada dua personil dalam perjuangan ini: kita dan Tuhan. Peperangan ini adalah peperangan kita menanggalkan keberdosaan kita, tetapi karena Tuhan memberikan kita anugerah, Dia dengan sukarela menolong kita dalam pertarungan ini. Maut telah dikalahkan, tetapi seperti yang kutuliskan di atas, selama kita masih hidup di dunia, kita akan terus melakukan peperangan ini.

Rasul Paulus mengatakan, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan … dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah … Berdoalah setiap waktu di dalam Roh…” (Efesus 6:14-18). Kalimat ini sungguh solid. Sebagai seorang yang memperlengkapi dirinya untuk berperang, begitulah selayaknya kita mempersiapkan diri kita dalam pertarungan spiritual kita.

Paulus menyebutkan 3 kata kunci penting: “iman,” “firman Allah,” dan “doa.” Se-tak-berwujud itu 3 kunci kemenangan peperangan sengit ini, karena memang ini bukan pertarungan kelas manusia yang bisa dilihat dengan kasat mata, sehingga yang bisa mengalahkan kuasa iblis hanyalah kuasa Tuhan dalam diri kita. Pertarungan rohani ini pertama-tama memerlukan iman, yaitu keyakinan kita pada kemenangan dalam Kristus. Iman yang menjadi tameng kita di kala sedang bergumul sembari tetap percaya. Yang kedua, Firman Allah dibutuhkan sebagai pedoman hidup orang percaya agar kita tahu bagaimana seharusnya kita bertindak; dan yang ketiga adalah doa. Doa merupakan sarana komunikasi kita dengan Allah, sekaligus menjadi waktu QT (quality time) kita dengan Tuhan. Aku yakin kita semua sudah bosan mendengar tiga kewajiban ini, tapi tak peduli seberapa bosan pun, inilah tiga senjata yang kita perlukan. Dengan ketiganya, mata hati kita akan dibukakan pada peperangan yang tidak kelihatan ini.

Kita memiliki pertarungan rohani masing-masing, sehingga tidak ada ilmu eksak dalam memenangkan pertarungan ini. Setiap orang memiliki story-nya sendiri-sendiri, sehingga fase iman setiap manusia bisa berbeda-beda.

Aku lebih suka menyimpulkan 3 kunci kemenangan ini (iman, firman, doa) dalam satu kata, yaitu “relasi.” Relasi kedekatan kita pada Tuhanlah yang akan memberikan kita kepekaan dan kekuatan dalam bertarung melawan musuh kita masing-masing. Jangan bandingkan jalan hidup kita dengan orang lain; jalankanlah sesuai dengan standar yang diberikan Tuhan pada diri kita masing-masing.

Jadi, standar Tuhan untukku itu seperti apa? Ya itulah pr yang harus selalu kukerjakan seumur hidupku.

“Wormwood yang sangat terkasih,

Engkau sudah membiarkan sebuah nyawa terlepas dari genggamanmu. Para penggoda yang tak becus seperti dirimu adalah kegagalan departemen inteligensi kita. Ini membuatku marah.

Pamanmu yang semakin kelaparan,
Screwtape”

Kita semua punya gelar sarjana yang sama, “manusia berdosa”. Tapi, setelah kita memenangkan peperangan rohani, kita akan memperoleh gelar magister, “menang dalam Tuhan”!

Semangat buat terus berjuang untuk meraih gelar kedua kita ya teman-teman!

Rahmat-Nya Tak Pernah Absen di Hidup Kita

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Sebelum tahun yang baru ini kita masuki, kata beberapa orang ini akan jadi tahun yang gelap. Iya, gelap. Akan ada banyak krisis yang merugikan manusia. Juga katanya ada 2,45 juta anak remaja Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental dalam dua tahun terakhir, entah itu gangguan kecemasan, depresi dan sebagainya.

Tak perlu kusebut lebih banyak lagi, kita mungkin telah terbiasa terpapar dengan beragam prediksi maupun kabar-kabar buruk yang menjadikan dunia dan masa depan terasa suram. Namun, apakah ini artinya tidak ada lagi kesempatan untuk berharap? Atau, apakah harapan akan sesuatu yang lebih baik hanyalah sebuah impian, omong kosong belaka?

Memang tidak mudah berharap di tengah masa-masa suram, ibarat seorang pendaki yang tersesat di antah berantah mengharapkan datangnya pertolongan yang entah kapan dan dari mana datangnya. Kesuraman ini pernah juga dialami oleh bangsa Israel, yakni saat mereka berada di padang gurun (Keluaran 16-17) maupun saat para raja memerintah setelah zaman raja Yosia (2 Raja-raja 23-25), ketika mereka mulai dikuasai oleh negara Babel. Perasaan takut, khawatir, bahkan bimbang menguasai bangsa Israel dalam menghadapi tekanan-tekanan yang ada, baik tekanan dari luar maupun dari dalam. Sebagai bangsa terjajah, hidup mereka amat bergantung pada penjajahnya. Harapan untuk terbebas dan hidup sebagai bangsa merdeka pun seolah padam.

Walau demikian, saat kucermati perjalanan Israel dari yang Alkitab tuliskan, aku melihat ada satu hal yang tak pernah berubah. Telah berbagai tempat, pemerintahan, dan situasi mereka hadapi, tetapi satu hal yang teguh dan pasti adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah tekanan dan krisis itu. Tuhan tidak absen, Dia hadir melalui nabi-nabi dan orang-orang yang Dia izinkan memegang posisi penting di sana seperti Nehemia, Daniel, Ester, Nabi Yehezkiel dan Nabi Yeremia. Tentu saja, mereka ikut merasakan tekanan yang sama karena mereka juga tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Bahkan, Nabi Yeremia pun menumpahkan rasa sedih dan tertekannya selama pembuangan berlangsung dalam kitab Ratapan.

Namun, aku melihat hal yang berbeda. Mereka yang dipilih dan diutus Tuhan punya respons yang kontras di tengah kesuraman, khususnya respon dari nabi Yeremia yang menggelitik hatiku. Dalam Ratapan 3, Nabi Yeremia memang mengakui bahwa ia terluka—bahkan terluka karena Allah (Ratapan 3:1-20). Dalam ayat 1 misalnya, dia berseru “Akulah orang yang melihat sengsara…” Tetapi, menariknya sekalipun nabi Yeremia menyadari akan lukanya, dia justru memilih untuk memperhatikan hal yang penting, melebihi hal yang dialaminya. Di tengah ratapannya, dia yakin teguh bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi” (ay. 23-24).

Nabi Yeremia adalah salah satu nabi yang dapat mengajarkan kita akan pentingnya “mengakui diri bahwa kita terluka” di hadapan Tuhan, lalu memilih untuk memfokuskan dirinya akan pribadi Tuhan yang dikenalnya. Yeremia tahu bahwa kasih-Nya tak berkesudahan, Tuhan tidak selamanya menghukum namun juga membalut luka (Ratapan 3:31-38). Yeremia benar-benar jujur dengan dirinya sendiri; tak malu mengakui dirinya dalam keadaan terpuruk di hadapan Allah; dan dengan rendah hati menerima keadaannya seperti tertulis di Ratapan 3 tersebut.

Tak berhenti sampai di situ. Nabi Yeremia pun “memilih” untuk memperhatikan hal yang lebih penting, dibalik perasaannya itu! Ia tetap mempercayai Tuhan, dan tetap yakin bahwa Tuhan masih menyayangi dirinya dan juga bangsa Israel, bila bangsa Israel bertobat dengan sungguh-sungguh. Dan kisah Nabi Yeremia pun merujuk pada Tuhan Yesus, yang memilih untuk memperhatikan hal yang lebih penting dibandingkan dengan rasa sakit dan lukanya akibat dicambuk, dipukul dan dipaku di kayu salib: menyelamatkan hidup kita.

Jujur pada diri sendiri adalah langkah awal bagi kita untuk mengenal diri kita sendiri, serta mengurangi beban hidup kita. Menurut konselor yang kutemui, salah satu faktor depresi adalah sulitnya seseorang untuk jujur dengan diri sendiri; cenderung gengsi/enggan mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, takut, dan memendamnya, atau bahkan menutupinya dengan mencari kesenangan yang tidak wajar (ketagihan bermain game, pornografi, miras, dsb).

Mungkin sebagian besar orang, termasuk aku, adalah orang yang paling tidak suka untuk merasakan perasaan tersebut. Rasanya ingin sekali membuang perasaan sedih, marah, kecewa, dsb, apalagi saat menghadapi sesuatu yang tidak sesuai harapan. Tetapi setelah melihat Nabi Yeremia, dan juga Yesus Kristus, yang tetap “menelan” dan (terkesan) “menikmati” penderitaan/tekanan/krisis tanpa harus malu dan kabur mencari kesenangan lain, aku belajar untuk tidak mengakui emosi yang dirasakan, dan tidak kabur untuk mencari kesenangan demi menghilangkan emosi negatifku, emosi yang tidak kuharapkan.

Namun, tak berhenti sampai di situ. Kita perlu melakukan hal yang lebih penting setelahnya: “memilih” untuk yakin dan beriman, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih, yang tidak akan selamanya “tega” dengan kita, selama kita hidup sesuai kehendak dan perintah-Nya dalam Alkitab. Sebenarnya tak hanya Nabi Yeremia saja, tokoh-tokoh Alkitab di masa lampau seperti Daud, memilih untuk menguatkan hatinya pada Tuhan, di tengah-tengah krisis yang dialaminya, seperti tulisan dalam Mazmur 27:14.

Di tahun 2023 ini, mungkin kita akan mengalami banyak hal, entah itu baik maupun buruk. Dan, hal itu bisa jadi dapat mengguncang perasaan kita. Namun satu kebenaran yang dapat kita percayai, sama seperti Nabi Yeremia percayai: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:22-23).

Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah seizin Tuhan, serta masuk dalam kedaulatan-Nya. Meskipun dunia yang kita tinggali saat ini “gelap”, aku berdoa agar kasih Tuhan senantiasa menerangi hati kita senantiasa, sehingga kita mampu menguatkan hati kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Amin.

Nantikanlah TUHAN! Kuatkan dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mazmur 27:14)

Gempa Bumi: Realita yang Mengikat Kita

Oleh Agustinus Ryanto

2 September 2009 adalah kali pertama aku mengalami gempa dengan durasi yang panjang. Kala itu aku masih duduk di kelas X SMA. Satu jam setelah pulang ke rumah, tiba-tiba lantai bergetar. Sedetik dua detik aku masih bingung ini kejadian apa. Barulah setelah tetangga berteriak “Gempaa!” aku lari keluar rumah, menghambur bersama ratusan orang lainnya.

Gempa tektonik berkekuatan 7,2 skala richter itu berpusat di laut selatan. Dengan durasi sekitar 50 detik, guncangannya cukup kuat untuk menghancurkan rumah-rumah di kawasan Bandung selatan dan Cianjur. Tercatat ada puluhan korban meninggal dan ribuan rumah rata dengan tanah. Kondisi rumahku masih cukup aman meskipun muncul banyak retakan, tetapi gedung sekolahku terdampak cukup parah hingga kami pun diliburkan selama dua hari.

Gempa bumi bukanlah hal baru bagi kita yang tinggal di Indonesia, terkhusus jika kita bermukim di sekitaran sabuk gunung berapi dan pertemuan lempeng seperti pulau Jawa, pesisir barat Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Papua. Posisi negeri kita yang kaya akan sumber daya alam berdampingan pula dengan bahaya nyata berupa bencana. Lempeng-lempeng tektonis yang saling bertemu dan bertumpuk pasti akan mengakibatkan gempa. Meskipun teknologi telah memungkinkan untuk kita mendeteksi, tetapi memastikan waktu spesifik kapan dan bagaimana gempa itu akan terjadi masihlah sulit.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu takut, atau abai saja terhadap bencana yang sedang mengintai?

Jujur, hatiku sendiri takut menghadapi bencana. Getaran yang diakibatkan gempa selalu membuat kaki lemas dan kepala pusing. Seketika terbayang segala kengerian yang bisa terjadi pasca bumi bergoncang. Namun, aku pun belajar bahwa gempa dan bencana alam adalah bukti bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk kerdil yang tak mampu mengendalikan bumi di bawah pijakan kaki kita. Kita butuh tempat yang lebih kokoh untuk berpijak, dan kabar baiknya, tempat itu dapat kita temukan dalam Allah yang bersabda, “Biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu” (Yesaya 54:10).

Kepada umat-Nya, Allah memanggil kita semua untuk datang pada-Nya. Bencana alam meskipun terjadi atas seizin-Nya, bukanlah niatan hati Allah untuk mencelakakan kita. Dunia dipenuhi bencana adalah akibat dari dosa (Kej. 3:17, Rm 8:20-22) dan Allah memanggil kita untuk menemukan perlindungan sejati hanya di dalam Dia saja.

Hari ini ketika kita berduka karena gempa bumi yang baru mengguncang Kabupaten Cianjur pada 21 November, marilah berdoa agar Tuhan memberkati dan menolong setiap proses evakuasi yang masih berlangsung, memberi penghiburan dan pemulihan bagi setiap korban.

Bagi kita yang tidak terdampak secara langsung, momen gempa bumi adalah momen yang baik untuk kita memikirkan ulang bagaimana kita seharusnya bertindak menghadapi gempa. Berdoa dan berserah pada Tuhan sudah tentu jadi yang pertama dan utama, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana kita belajar melakukan mitigasi yang tepat seperti yang sudah dipraktikkan oleh saudara-saudara kita dari negara yang lebih maju seperti di Jepang.

Ada banyak instansi kredibel yang memberikan informasi mitigasi yang tepat dan mudah kita akses dari internet. Memahami cara mitigasi dengan benar dari sebelum bencana terjadi akan sangat bermanfaat untuk membuat kita siap sedia menghadapi bencana kapan pun. Dan… sambil kita waspada, kita pun berdoa memohon perlindungan dan pemeliharaan Allah sebab pertolongan kita “ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (Mazmur 121:2).


Baca lebih lanjut atau bagikan materi tentang musibah dan bencana pada Seri Pengharapan Hidup di bawah ini:

Kala Musibah Melanda

Apa yang kita pikirkan dan rasakan ketika musibah, bencana, atau sesuatu yang buruk melanda hidup kita? Mungkinkah kita tidak sekadar bertahan, tetapi masih berharap dan bahkan bertumbuh? Bagaimana kita masih dapat hidup dengan keyakinan di tengah dunia yang rawan dengan bahaya?

Pasca Bencana

Ketika bencana telah terjadi dan kerusakan yang ditimbulkannya masih terlihat nyata, apa yang perlu orang Kristen perbuat untuk menanggapi peristiwa buruk tersebut secara alkitabiah? Apa saja yang dapat kita lakukan dengan kasih Kristus untuk menolong mereka yang menderita?

Baca lebih lanjut atau bagikan materi tentang musibah dan bencana pada Seri Pengharapan Hidup di bawah ini:

Kala Musibah Melanda

Apa yang kita pikirkan dan rasakan ketika musibah, bencana, atau sesuatu yang buruk melanda hidup kita? Mungkinkah kita tidak sekadar bertahan, tetapi masih berharap dan bahkan bertumbuh? Bagaimana kita masih dapat hidup dengan keyakinan di tengah dunia yang rawan dengan bahaya?

Pasca Bencana

Ketika bencana telah terjadi dan kerusakan yang ditimbulkannya masih terlihat nyata, apa yang perlu orang Kristen perbuat untuk menanggapi peristiwa buruk tersebut secara alkitabiah? Apa saja yang dapat kita lakukan dengan kasih Kristus untuk menolong mereka yang menderita?


Tak Seharusnya Nyawa Melayang, Bagaimana Kita Bisa Belajar dari Petaka Kanjuruhan

Oleh Agustinus Ryanto

Indonesia berduka.

Seratusan lebih nyawa melayang dalam sebuah pertandingan yang berubah menjadi kacau di stadion Kanjuruhan, Malang. Kita yang tidak hadir secara langsung di tempat kejadian perkara hanya bisa menerka-nerka seperti apa keadaan saat itu dari berbagai postingan di media sosial. Terlepas dari apa pun teori maupun kesaksian yang menyorot siapa yang salah, ada satu poin krusial yang bisa kita sepakati bersama, yakni suasana chaos alias kacau yang mengakibatkan situasi tidak bisa lagi dikendalikan.

Kronologis umum yang beredar di masyarakat adalah para suporter tak terima tim kesayangannya kalah merangsek masuk ke lapangan, lalu berujung ricuh. Aparat berwajib menanggapinya dengan melepaskan tembakan gas air mata yang bukannya membuat suasana kondusif, tetapi menjadi semakin kacau. Puluhan ribu orang berlari tunggang-langgang menyelamatkan diri, saling berhimpitan, hingga akhirnya satu per satu nyawa berjatuhan.

Mengendalikan amarah sebelum itu menciptakan angkara

Aristoteles seorang filsuf Yunani pernah berkata, “Siapa pun bisa marah—marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik—bukanlah hal mudah.”

Tragedi Kanjuruhan bisa kita katakan bermula dari suatu kemarahan. Ketika para suporter tak terima tim kesayangannya kalah, mereka meluapkan kemarahannya dengan turun ke lapangan. Tetapi, ini bukanlah faktor tunggal dan utama. Sebuah chaos atau kekacauan terjadi karena faktor-faktor lain yang bertumpang tindih dan tidak ditanggapi dengan cara yang tepat. Kemarahan suporter yang beringas ditanggapi aparat dengan penembakan gas air mata. Amarah bertemu amarah, maka terjadilah angkara. Kericuhan pun tak terelakkan.

Kondisi diperparah dengan banyaknya jumlah massa. Coba kita bayangkan, ketika kita sedang marah sampai naik ke ubun-ubun. Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence mengatakan bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, yang diterima otak lalu diterjemahkan tubuh menjadi tindakan-tindakan seperti membentak, membanting pintu, menangis, atau yang mengerikannya (seperti yang kita lihat dalam berita kriminal), menyakiti hingga membunuh orang lain.

Jika kita membaca kembali Alkitab, kita akan menemukan ada beberapa kasus ketika amarah massa meluap-luap dan mereka melakukan tindakan brutal. Dalam Kisah Para Rasul kita mendapati kisah Stefanus yang dirajam batu oleh kerumunan orang yang marah kepadanya. Stefanus hidup pada masa imperium Romawi. Kita yang hidup di abad 21 mungkin merasa masa-masa Romawi itu masa yang sangat kuno dan jadul, tetapi sejarah mencatat Kekaisaran Romawi sebagai sebuah negara dengan sistem politik dan peradilan yang mapan pada zaman itu. Mereka memiliki mahkamah dan pengadilan. Tetapi, prosedur dan sistem itu tidak berlaku dalam kasus Stefanus. Kisah Para Rasul 7:54 mencatat, “Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi…” lanjutnya, “…sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya.”

Perajaman Stefanus diawali dari amarah yang disebabkan oleh ucapannya. Amarah mahkamah agama menjalar menjadi amarah massa yang pada akhirnya menjatuhi Stefanus hukuman tanpa peradilan. Amarah yang bertumpuk dan terjadi pada suatu kerumunan menimbulkan suatu efek luar biasa. Orang bisa bertindak sadis karena tahu mereka tidak sendirian melakukannya. Semakin tak terkendali tindakan kerumunan, semakin chaos-lah situasi yang terjadi. Bayangkanlah jika kita ada di antara kerumunan yang sedang marah dan chaos tersebut? Apa yang dapat kita lakukan? Kita mungkin akan melarikan diri, atau bisa jadi kita pun tersulut emosinya untuk ikut melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang.

Terhadap rasa marah yang dapat mengantar kita pada situasi kacau, Alkitab pada dasarnya menegaskan bahwa marah bukanlah tindakan berdosa. Tuhan Yesus pun pernah marah, dan di sinilah kita dapat belajar bagaimana mengelola marah dengan benar.

Kelemahan kita sebagai manusia adalah ketika kita marah, kita gagal menguasai diri. Oleh karenanya, Alkitab mengingatkan, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20). Poin yang bisa digarisbawahi dari ayat ini adalah pada frasa “amarah manusia.” Emosi marah tanpa pengendalian diri yang didapat dari pertolongan Roh Kudus tidak menjadikan amarah kita sebagai cara untuk memecahkan masalah, yang ada malah menimbulkan masalah yang lebih besar.

Dukacita telah terjadi. Nyawa yang telah melayang tak dapat ditarik kembali kepada tubuh yang fana. Ini kabar kelam dan pilu bagi kita semua, entah kita seorang suporter sepak bola atau bukan. Jika ada di antara kita yang marah karena tragedi ini, bawalah kemarahan itu dalam doa pada Tuhan lebih dulu supaya kita dapat melihat pula ke dalam diri kita sendiri dan memandang tragedi ini dari perspektif yang lebih luas.

Rivalitas dan fanatisme antara sesama suporter yang tak terima tim kesayangannya kalah, mungkin juga adalah sifat kita yang tak suka melihat orang lain lebih berhasil dari kita, sehingga kita selalu menganggap hidup ini adalah persaingan tiada batas.

Kiranya tragedi ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Tak ada marah yang sebanding nilainya dengan jatuhnya nyawa manusia.

Duka mendalam untuk seluruh korban. Tuhan Yesus memberi penghiburan dan kekuatan bagi semua korban dan keluarga yang berduka.

Cukup Tak Selalu Bicara Soal Angka

Oleh Raganata Bramantyo

Lulus kuliah, bekerja di perusahaan keren, mendapat penghasilan besar, dan hidup berbahagia. Itu rumus hidup yang kupegang saat studiku tinggal menanti sidang skripsi. Tetapi, realitasnya tidak begitu. Pekerjaan yang kutekuni sempat membuatku tidak puas, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah besar.

Kepada atasanku, aku bilang begini, “Saya sudah memutuskan dengan matang bahwa di bulan Mei nanti saya ingin keluar dari pekerjaan ini.” Sudah enam tahun aku bekerja di satu instansi yang jadi pekerjaan pertamaku sejak lulus kuliah. Durasi kerja yang tidak sebentar itu sebenarnya menjadikanku lebih profesional daripada awal masuk dulu. Namun, kekhawatiranku akan kebutuhan-kebutuhanku di masa depan serta iri melihat teman-temanku sudah berproses lebih jauh dalam hal income membuatku merasa harus segera keluar dan mencari ladang baru yang lebih menjanjikan.

“Apa alasannya? Kenapa mau keluar?” atasanku balik bertanya.

“Saya rasa pendapatan saya di sini kurang. Saya udah 6 tahun kerja, Pak. Berharap bisa dapetin penghasilan yang lebih banyak.”

Atasan hingga direktur di tempat kerjaku menyetujui permohonanku, tetapi mereka memberiku nasihat bahwa value suatu pekerjaan tidak selalu diukur berdasarkan materi. Jika aku berubah pikiran, kantorku tetap dengan senang hati menyambutku kembali.

Kejadian yang menjungkirbalikkan pandanganku

Beberapa hari setelah obrolan tentang resign, aku mendapat kabar buruk. Papaku mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Bonggol sendi antara paha dan pinggangnya patah, dan muncul juga penyakit lainnya seperti pneumonia dan yang paling parah adalah autoimun pada bagian usus besarnya. Hanya aku yang punya waktu dan dapat merawat papaku, mengingat papaku telah menikah lagi dan dari keluarga besarku pada mulanya enggan untuk menolongnya.

Saat itu memang biaya pengobatan ditopang oleh BPJS, tetapi tidak semua biaya bisa di-cover. Di sinilah mukjizat terjadi. Dengan tabunganku yang sedikit, rupanya Tuhan mencukupkan dengan berbagai cara. Lebih dari 70 temanku serta beberapa kerabat bahu membahu mengumpulkan uang hingga seratusan juta sehingga semua biaya pengobatan tercukupi. Meskipun pada akhirnya papaku meninggal dunia, tetapi semua biaya pengobatan hingga pemakaman tercukupi tanpa kekurangan sedikit pun. Di samping itu, kantor yang semula ingin kutinggalkan berbaik hati mengizinkanku untuk bekerja dari rumah sakit selama satu bulan tanpa memangkas gaji bulananku.

Momen-momen itu menegurku dengan keras. Aku merasa Tuhan seolah berbicara, “Kamu khawatir sama gajimu yang kecil? Semua kebutuhanmu pasti Aku cukupkan. Biaya rumah sakit papamu pun cukup. Apa yang kamu khawatirkan lagi?”

Aku termenung. Uang yang kudapatkan sebenarnya cukup bagiku, tetapi karena rasa iri aku pun menutup pandanganku akan hal-hal baik yang selama ini aku dapatkan. Mungkin, jika aku berkarier di tempat lain dengan penghasilan yang lebih besar, tentulah ada tuntutan yang lebih besar pula yang mungkin membuatku tidak bisa hadir merawat papaku sampai ujung napasnya. Momen satu bulan kebersamaan itu dipakai Tuhan dengan luar biasa. Aku dan papaku saling memaafkan, dan aku bisa bercerita tentang Tuhan Yesus dan membimbingnya untuk menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Cukup tak selalu bicara soal angka

Pengalamanku di atas mengingatkanku akan kisah tentang seorang kaya raya yang hidupnya tak pernah cukup. Orang kaya itu bernama Rajat Gupta. Dia lahir di Kolkata, India dan menjadi anak yatim pada usia belasan tahun. Tetapi, ketika usianya menginjak pertengahan 40-an tahun, dia menjadi salah satu pebisnis paling sukses. Harta kekayaannya mencapai $100 juta, tetapi dia merasa itu kurang. Ia ingin miliaran dolar. Keinginan inilah yang akhirnya membawanya ke jeruji besi karena dia kedapatan melakukan tindakan curang.

Aku membatin, mengapa Gupta yang telah memiliki uang dengan jumlah amat besar masih saja merasa tidak cukup dan malah ingin terus meraih lebih? Gupta merasa seratusan juta dolar itu kurang. Dia sangat ingin meraih miliaran dolar.

Di sinilah aku mulai belajar merenungkan matematikanya Tuhan. Kita sebagai manusia seringkali berpikir bahwa lebih banyak itu pasti lebih cukup, tetapi natur keberdosaan kita menjadikan kita sulit mendefinisikan pada titik mana kita harus merasa “cukup.” Terhadap keinginan tanpa batas inilah Yesus menegaskan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15).

Senada dengan sabda Yesus, Morgan Housel, penulis dari buku The Psychology of Money juga menekankan hal yang sama mengapa banyak orang menjadi tamak, “Karena mereka tak tahu kapan harus berkata cukup.”

Morgan juga menuliskan bahwa hanya sedikit di antara kita yang akan atau pernah punya harta miliaran, tetapi setiap kita pada suatu saat dalam hidupnya pasti akan mendapat gaji atau punya sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan kebutuhan dan keinginan kita. Dengan apa yang ada pada kita saat ini, inilah 4 hal yang bisa kita lakukan untuk merasa cukup:

1. Keahlian keuangan tersulit adalah menjaga tiang gawang agar berhenti bergerak

Ketika awal-awal aku merantau ke Jakarta, seorang kakak kelasku mengatakan begini di sesi pertemuan kami, “Temen-temen, kita dulu waktu kuliah bisa kok hidup dengan uang yang seadanya. Sekarang, saat kita udah punya penghasilan yang lebih tetap dan besar, yuk kita coba pertahankan gaya hidup kita. Jangan gaya hidup yang naik, tapi kita belajar memberi lebih.”

Kami pun belajar menekan pengeluaran untuk hal-hal yang kurang penting dan bersifat gengsi semata. Hasil dari hidup berhemat itu kemudian kami kumpulkan untuk membiayai kuliah seorang teman yang kesulitan keuangan.

Menjaga standar pengeluaran memang tidaklah mudah. Ketika penghasilan kita bertambah, tanpa kita sadari ada kebutuhan yang bertambah. Semisal, dulu ketika diberi uang jajan orang tua 1 juta satu bulan kita pergi ke mana-mana naik sepeda. Sekarang, setelah kerja dan punya gaji 5 juta, kita perlu motor untuk menunjang mobilitas karena naik sepeda dirasa terlalu melelahkan. Jika memang kebutuhan yang bertambah itu adalah hal pokok, tentu tidaklah masalah untuk dipenuhi. Toh itu akan menunjang produktivitas atau meningkatkan makna hidup kita.

Tetapi, jika itu hanya sebatas urusan gengsi, di sinilah letak masalahnya. Jika dahulu kita bisa enjoy dengan minum kopi yang kita seduh sendiri, maka sekarang harusnya tak perlu memaksa diri untuk ngopi di kafe-kafe kekinian yang cukup mahal.

2. Berhenti membanding-bandingkan pencapaian finansial

Morgan Housel mengatakan perbandingan sosial adalah pertandingan yang tak akan pernah ada pemenangnya. Semua orang dalam natur keberdosaannya selalu merasa ada yang kurang dengan dirinya.

Kita mungkin hanya melihat hasil dari pencapaian orang lain tanpa tahu seperti apa prosesnya. Menetapkan patokan “sukses” kita pada standar orang lain akan jadi perjalanan yang melelahkan. Alangkah lebih baik jika kita memetakan sendiri apa yang hendak kita capai dan menyerahkannya pada Allah, sebab Dialah yang memelihara dan mencukupkan kita.

3. Cukup adalah cukup

Cukup adalah ketika kita menyadari bahwa menginginkan yang lebih akan mendorong kita pada titik penyesalan. Analogi ini dapat diilustrasikan begini. Satu-satunya cara mengetahui seberapa banyak makanan yang bisa kita makan adalah dengan makan terus sampai muntah. Hanya sedikit yang mencobanya karena tahu kalau muntah itu lebih sakit daripada kenikmatan makan (Housel, 2020:36)

Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat meminta hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berhenti dan berpuas diri dengan pencapaian finansial kita.

4. Uang bisa membeli segalanya, tetapi tidak segalanya bisa dinilai dengan uang

Memiliki keluarga yang menyayangi, teman-teman yang saling mendukung, dan tubuh yang sehat adalah sekelumit dari hal-hal kecil yang membentuk kebahagiaan kita.

Melalui pengalamanku merawat papaku yang menghabiskan uang ratusan juta, aku belajar bahwa ada prestasi terbesarku yang Tuhan karuniakan, yang tak mampu dinilai dengan uang sejumlah apa pun, yakni kebersamaan antara ayah dan anak yang begitu hangat. Dengan uang yang terbatas, Tuhan izinkan aku melihat mukjizat dan pemeliharaan-Nya bahwa Bapa di surga memelihara setiap anak-anak-Nya (Matius 6:26).

Dibuai Narasi Negeri nan Kaya—Catatan Perjalanan ke Ujung Indonesia

Oleh Aryanto Wijaya

Usiaku 21 tahun ketika aku menginjakkan kakiku sebagai seorang backpacker selama satu bulan penuh menjelajahi Sumatra. Buatku yang lahir dan besar di Jawa, pulau besar di sebelah barat negeri ini menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda, yang membuat jantungku berdegup kencang sekaligus bibirku tersenyum sumringah akan keindahan alamnya juga keramahan orangnya.

Perjalananku dimulai dengan menaiki pesawat ke Kualanamu, Medan. Dari sini, aku dan temanku—seorang bule Jerman yang mengajakku ikut backpackeran—melanjutkan perjalanan lewat jalur darat. Tiga hari di Medan, tiga hari di Bahorok, kami lalu bertolak menuju Banda Aceh sampai titik nol Indonesia di Sabang dengan naik bus umum dan ferry. Setelah seminggu di Aceh, kami turun ke sisi selatan Sumatra dengan tujuan utama: Padang dan Bukittinggi. Tapi, alih-alih melewati jalan utama dari Aceh yang melewati Medan, kami melewati jalur tengah yang membelah pegunungan Gayo-Luwes sampai nanti kami tiba di Parapat, Sumatra Utara.

Jalanan membelah pegunungan Leuseur ini tidak semulus jalan antar-provinsi di Jawa yang ramai penduduk. Dari Banda Aceh sampai ke Kutacane kami membutuhkan waktu perjalanan tiga malam dengan rincian satu malam wajib transit di Takengon, dan semalam lagi di Kutacane karena tidak ada angkutan yang beroperasi di malam hari. Angkutan antar-kotanya pun tidak seperti travel Bandung-Jakarta yang bisa dengan mudah kita pesan online dengan mobil anyar. Angkutan yang kami naiki adalah mobil L-300 dengan AC alami dari angin semilir.

Jalan belum beraspal yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Aceh Tengah

Menepi sejenak di tepian Danau Lut Tawar, Takengon. Di tiap-tiap kota jika tidak berjalan kaki, kami menyewa motor atau kadang dipinjamkan oleh warga yang berbaik hati.

Pengalaman menarik yang membuat jantung was-was kualami ketika mobil yang kami tumpangi melewati perbatasan provinsi. Di sebuah pasar, naiklah seorang ibu dengan anaknya yang tampaknya masih balita. Ibu ini membawa serta ember besar dengan tas dari anyaman bambu. Di ember itu tampak hasil bumi berupa sayuran.

“Mau ke mana, Dek?” tanya si ibu yang mendapat duduk di sebelahku. Kami duduk di bagian paling belakang karena semua kursi di depan sudah penuh.

“Ke Siantar, Bu,” jawabku.

“Sudah pernah ke daerah sini?” dia bertanya lagi sambil melempar senyum. Aku tak menaruh curiga apa pun, toh dia tampak seperti ibu-ibu biasa. Lagipula, pertanyaan seperti ini sudah sering kudapat sepanjang perjalanan backpakceran. Penampilan seorang anak muda kurus dengan ransel yang lebih tebal daripada badannya memang mengundang pertanyaan bagi warga di desa-desa yang kusambangi.

“Hehe…iya Bu, ini baru pertama ke Aceh…” Aku tak berniat untuk melanjutkan obrolan karena jalanan rusak membuat mobil kami seperti dikocok-kocok. Mual. Jadi, aku pun tertidur.

Kira-kira tiga jam kemudian aku terbangun dengan kondisi mobil telah berhenti. Kutanya ke penumpang lain di depan ada apa, dijawabnya kalau ada pemeriksaan kendaraan sebelum masuk ke provinsi Sumatra Utara. Seraya kami turun, beberapa orang tanpa seragam yang belakangan kutahu itu polisi menghampiri mobil kami dan melakukan penggeledahan.

Awalnya suasana tenang-tenang saja, tapi mendadak riuh ketika ibu yang sedianya duduk di sebelahku berteriak keras dan meronta. Dia berusaha lari, tapi tangannya dipegang erat.

Saat barang-barang kami digeledah, rupanya di balik sayuran yang tampak di ember ibu itu tersimpan ganja.

“Gila…” aku membatin. Belum pernah kulihat rupa asli tanaman itu, sekaligus juga melihat bagaimana seorang ibu diringkus oleh aparat.

“Kenal ibu ini? Tadi naik dari mana dia? Kamu juga naik dari mana dan mau ke mana?” Polisi turut menginterogasiku. Dilihatnya KTP-ku, juga semua penumpang lain ikut diperiksa kalau-kalau ada kaitannya dengan si ibu. Ransel besarku ikut dibongkar, kalau-kalau aku ikut membawa barang terlarang itu. Dalam hati aku was-was. Kalau saja ibu itu berniat buruk, bisa jadi saat aku tidur dia diam-diam menyelipkan sejumput barang itu ke kantong celana cargo atau tasku. Tapi, syukurlah itu tak terjadi. Di ranselku, celanaku, juga di semua barang penumpang lainnya tak ditemukan ada kejanggalan. Setelah dua jam menanti, kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.

Suasana di dalam mobil yang awalnya hening menjadi riuh oleh obrolan seputar ibu tadi.

Supir membuka diskusi, “Gila itu ibu… bawa ganja kok siang-siang demi duit yang gak seberapa.”

“Memang dia itu naik dari mana?” sahut penumpang yang lain.

“Tadi kudengar dia itu dari Blangkejeren. Disuruh bawa itu barang ke Medan. Katanya nanti dikasihlah duit 10 juta, tapi baru 2 juta yang dikasih.”

“Blangkejeren”… aku ingat nama tempat ini. Itu adalah kota yang kulewati dalam perjalananku dari Takengon ke Kutacane. Kota ini kecil dan aksesnya sulit karena terkepung pegunungan. Meskipun mungkin secara potensi alam kaya, tetapi statistik menunjukkan bahwa orang-orang di sana hidup dalam kemiskinan. Tahun 2021 pendapatan per kapita rata-rata orang di sana hanya berkisar 438 ribu per bulan, menjadikannya sebagai kabupaten termiskin kedua di Provinsi Aceh.

Masalah yang kita semua punya andil di dalamnya

Pengalaman di Sumatra itu membuatku merenung lebih jauh. Ketika Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun, tak semua warganya menikmati kehidupan yang layak. Meskipun tiap daerah punya problemnya sendiri-sendiri, kurasa aku yang sehari-harinya hidup di kota besar di Jawa mungkin lebih beruntung karena akses infrastruktur yang lengkap dan ketersediaan lapangan kerja relatif lebih mudah. Tak dipungkiri bahwa sejak kita merdeka, negeri ini belum memaksimalkan potensinya. Pembangunan masih bersifat Jawa-sentris meskipun sudah mulai ada gebrakan pemerataan pembangunan sejak era reformasi. Belum lagi masalah-masalah domestik lainnya seperti intoleransi, pelanggaran HAM, korupsi, juga krisis lingkungan yang semakin hari dapat semakin parah.

Bicara soal kemiskinan, fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru dan mungkin pula terkesan utopis untuk mengenyahkannya seratus persen dari muka bumi. Tetapi, Yesus memberi kita teladan menarik. Ketika Dia berada di Betania, datanglah seorang perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak. Melihat tindakan wanita itu, para murid pun gusar. Mereka bilang, “Untuk apa pemborosan ini? Sebab minyak itu dapat dijual dengan mahal dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin” (Matius 26:8-9).

Yesus pun merespons, “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.” (ayat 10-11).

Sang perempuan yang meminyaki Yesus bukanlah seorang yang dianggap terhormat pada masa itu. Dia bukan Yahudi, dan beberapa tafsiran juga mengungkapkan mungkin perempuan itu adalah perempuan sundal. Tetapi, dia memberikan penghormatan pada Yesus dengan mengurapi-Nya dengan minyak narwastu yang mahal.

Yesus menerima tindakan perempuan itu dan dengan tegas menekankan pada para murid bahwa orang-orang miskin akan selalu ada bersama mereka. Artinya, sepanjang kehidupan ini kita para murid akan senantiasa berjumpa dengan orang-orang miskin, yang teraniaya. Dan, di sinilah panggilan mulia itu diberikan bagi kita bahwa jika kita menolong dan berbaik hati pada seorang yang dianggap dunia paling hina, kita melakukannya untuk Tuhan (Matius 25:40).

Lebih lanjut lagi, Yesus datang ke dunia untuk menggenapi apa yang Yesaya nubuatkan, “…untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin… memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19).

Panggilan untuk melayani mereka yang paling hina masih dan terus berlaku bagi setiap pengikut Kristus sampai kepada hari ini.

Aku tahu mengentaskan kemiskinan dan penderitaan tidaklah mudah dan instan, itu adalah perjuangan yang harus selalu kita upayakan sampai kedatangan-Nya yang kedua. Pada banyak kasus, kemiskinan dan penderitaan ini muncul akibat dari masalah kompleks yang saling berkelindan, atau sederhananya: kekacauan struktural—pemerintahan yang korup, warga yang tak terudaksi dan terampil, akses infrastruktur juga pendidikan yang sulit, timpangnya kesenjangan sosial, hingga posisi geografis. Tetapi, percayalah satu tindakan kecil kita yang bisa kita mulai dengan mendoakan, akan memberi dampak.

Dalam doa-doa kita izinkanlah Tuhan menggerakkan hati kita untuk bertindak. Kita mungkin tak bisa menolong langsung seseorang yang tak berdaya dengan memberinya segepok uang, seperti aku yang tak berdaya bagaimana menolong si ibu di sebelahku yang diringkus polisi. Kita bisa memulainya dengan belajar peka: siapa orang di sekitar kita yang Tuhan letakkan namanya di hati kita untuk kita tolong? Jika memungkinkan, kita bisa menjangkaunya dengan bertanya apa yang jadi kebutuhannya dan memberi pertolongan sesuai kemampuan kita. Atau, kita juga dapat mempertimbangkan untuk memberi lewat lembaga-lembaga yang kredibel yang tak cuma memberi, tetapi mengupayakan empowerement agar masyarakat yang rentan dapat lebih berdaya. Semua tindakan ini meskipun tidak memberi dampak dramatis adalah upaya yang berguna, ibarat menyalakan lilin di tengah kegelapan, alih-alih hanya mengutukinya.

Meskipun statistik mengatakan Indonesia sekarang telah menjadi lebih makmur daripada di masa lampau, tetapi tetaplah ingat bahwa di balik statistik itu ada orang-orang yang berjuang untuk dapat hidup dengan layak. Dan sebagaimana Kristus memanggil kita, kita punya andil dalam kesejahteraan negeri ini.

Kiranya Tuhan memberkati Indonesia, negeri kita yang amat luas ini.

Dirgahayu!

Tersesat di Dunia yang Kosong

Oleh Rosi L. Simamora

“Aku… tersesat di dunia yang kosong.” Malam itu ucapan Lara tersebut terngiang di telingaku.

Kedatanganku di rumahnya siang tadi disambut potret hitam-putih yang membuat jantungku tergeragap. Selama satu-dua detik aku seolah lumpuh, terlalu syok untuk dapat mengalihkan pandangan.

Lara, si tuan rumah, menoleh dan langsung mengerti. “Itulah harga yang kubayar. Pengingat yang pahit, aku tahu,” ucapnya.

Kutatap potret itu: wajah Lara sengaja dibiarkan kabur, sepasang tangannya yang terulur ke kamera dihiasi garis melintang panjang bekas irisan. Tipis, namun tetap terlihat. Seperti jeritan tanpa suara yang memekakkan. Kerongkonganku tersekat. Aku… sama sekali tidak tahu. Dunia tidak tahu. Bahwa di balik Lara yang selalu tampil sempurna dan bahagia di medsos-nya, ada Lara yang ini.

“Apa yang terjadi?” bisikku.

“Aku… tersesat di dunia yang kosong,” jawab Lara.

Pelan, sesekali berhenti di tengah ucapannya, Lara mengisahkan perjalanannya hingga menjadi seleb medsos tersohor. “Awalnya sederhana. Aku hanya ingin didengar. Dilihat. Diakui. Aku ingin orang tahu siapa aku,” ucapnya. “Aku kepingin membuktikan, dengan menjadi diri sendiri, kita bakal bahagia.”

Dunia maya langsung menyambut Lara. Apa pun yang ia pasang di akun medsosnya, dunia langsung menyambarnya. Mengapa tidak? Lara tampil unik. Percaya diri. Bahagia. Cerdas. Sukses. Pokoknya sempurna, khas figur idaman dunia.

“Hanya butuh beberapa ratus hari, angka-angka, dan barisan kotak komentar, maka moto ‘jadilah diri sendiri’ yang kujunjung pun rontok,” ucapnya tersenyum kecut.

“Angka-angka?” tanyaku, tapi langsung mengerti. “Ah, angka-angka subscriber, follower, like, maksudmu?” Lara mengangguk. “Tapi kenapa harus begitu? Bukannya dunia memujamu?”

Lara menggeleng muram. “Tidak juga. Dunia rupanya tidak pernah puas sampai dia berhasil mengubahmu,” bisiknya. “Walaupun postinganku menuai puja-puji, selalu saja ada yang berkomentar miring. Mengkritik ini. Membahas itu. Mengomentari hal-hal remeh.” Lara menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Tapi aku terobsesi dengan angka-angka itu. Dan aku membutuhkan restu dunia untuk menaikkan jumlahnya. Jadi ya… begitulah. Aku tak lagi bebas memasang konten yang ‘gue banget’. Karena salah konten sedikit saja, angka-angka itu langsung berkurang drastis. Dan kalau angka itu berkurang, aku cemas.”

Tanpa benar-benar menyadarinya, Lara pun mengunci kebahagiaannya pada angka-angka tersebut. “Akhirnya… angka-angka itulah yang menentukan citra diriku,” ujarnya.

“Kepuasan dan kebahagiaanku jadi semakin singkat dan dangkal, hanya dari satu konten ke konten.” Ia memandang ke dinding di belakangku, tempat potretnya tergantung. “Dan tidak berbeda dengan dunia, egoku juga tak kenal puas. Haus popularitas, haus perhatian, haus pengakuan…,” bisiknya pelan.

Lara ganti menatapku, dan salah satu ayat dalam Amsal 27 muncul begitu saja di benakku. “Di dunia orang mati, selalu ada tempat; begitu pula keinginan manusia tidak ada batasnya”(Amsal 27:20, BIS).

“Bayangkan, aku sampai rela tidak lagi menjadi diriku sendiri, dan ganti menjadi versi Lara yang dicintai dunia,” akunya. “Dengan penuh perhitungan, kususun ulang citra diriku. Kuatur sedemikian rupa, supaya cocok dengan kotak medsos tempat aku memasang potongan kehidupanku. Aku mulai memilah dan memoles sisi mana saja dari diriku yang ingin kutampilkan, menyesuaikannya dengan selera dan minat dunia.

“Tapi tahu tidak? Meski aku berhasil memperoleh semua yang kuinginkan, aku tidak bahagia.

Aku sudah mencoba menjadi diriku sendiri, tapi kepuasan yang kudapatkan hanya sebentar. Aku juga sudah mencoba menjadi versi yang dunia inginkan, tapi itu pun tidak mendatangkan sukacita. Semua yang kulakukan… seperti sia-sia,” bisiknya.

Hari lepas hari ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan menggerogoti Lara, menciptakan lubang besar yang semakin mengisapnya. Dunia masih gaduh dengan pendapatnya yang berubah-ubah dan cetek, tapi di tengah semua kebisingan itu, Lara merasa… Kosong. Tersesat.

Kosong. Tersesat.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang pernah kubaca di buletin gereja. Ingin rasanya aku berkata ke Lara, “Kalau saja kamu tahu, Ra, tidak ada satu pun pencapaian maupun harta kita yang bisa benar-benar mengisi kekosongan dalam hati kita. Kalau saja kamu tahu, bahwa kepuasan hati kita, nilai diri kita, dan makna hidup kita harus datang dari Allah. Kenapa? Karena sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan kita yang tahu apa yang sejatinya kita butuhkan .” Tapi aku menahan diri dan tidak melontarkannya, aku ingin ia melanjutkan ceritanya.

“Dan malam itu aku merasa sangat sendirian. Kosong. Tersesat. Aku hanya melihat satu jalan keluar untuk mengakhiri penderitaanku…” bisik Lara, ujung jemarinya menyusuri garis di pergelangan tangannya. Sekujur tubuhku bergidik.

“Apa… persisnya yang terjadi malam itu, Ra? Apa yang akhirnya menyelamatkanmu?” tanyaku.

“Tuhan,” jawab Lara, matanya berlinang. “Tepat setelah aku melukai diriku dan terbaring di lantai, mataku menangkap poster berbingkai yang kamu kirim tahun lalu. Tulisan di poster itu membuatku marah waktu itu, karena berasa kamu menghakimiku.”

Tentu saja aku ingat. Poster itulah yang membuat Lara memutuskan persahabatan kami.

“Aku merasa aneh saat itu, karena seingatku poster itu sudah kusingkirkan di celah antara lemari dan dinding kamar. Namun pagi itu rupanya ART kami membersihkan celah itu dan lupa mengembalikannya ke tempat semula. Jadi di sanalah poster itu menatapku, seolah Tuhan memakainya untuk menyadarkanku.”

“Kamu tahu kan momen ketika kita mengalami Tuhan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Nah, itulah yang terjadi padaku malam itu. Aku tiba-tiba sadar apa yang menjadi sumber ketidakbahagiaanku: aku mencoba mengandalkan diriku sendiri, padahal aku takkan mampu. Aku mengira dengan ‘jadilah diri sendiri’, semua akan beres dan aku bisa mengubah dunia. Padahal itu tidak benar. Dan malam itu, tulisan di poster itu memberiku harapan.

Ia tersenyum lebar sekarang. “Tuhan sungguh baik. Waktu kupikir aku sangat sendirian malam itu, aku keliru. Karena meski aku telah meninggalkan Tuhan, Tuhan tidak pernah meninggalkan aku. Dan meski aku telah berpaling dari-Nya untuk mencari kesukaan manusia dan bukan kesukaan-Nya, Dia tetaplah Allah yang maha pengasih.” Ia memelukku erat-erat sambil membisikkan terima kasih dan meminta maaf karena pernah menolak persahabatanku. “Kamu mau terus menolongku dengan jadi temanku, kan?” ia bertanya.

Aku mengangguk sepenuh hati, mataku menangkap poster yang terpajang jauh di dinding di belakangnya. Walaupun tulisan pada poster itu terlalu kecil untuk dapat kubaca, aku hafal setiap katanya, yang dikutip dari tulisan Greg Morse: “Don’t ‘ just be yourself’. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create”—“Jangan ‘jadilah dirimu sendiri’, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya.

Malam ini, di kamarku yang senyap, akhirnya air mataku luruh. Sepotong tulisan C.S. Lewis di Mere Christianity terbit dalam ingatanku. “Cari dirimu sendiri, maka ujung-ujungnya kamu hanya akan menemukan kebencian, kesepian, keputusasaan, kemarahan, kehancuran, dan kebusukan. Namun, carilah Kristus, maka kamu akan menemukan Dia, dan bersama Kristus akan engkau temukan segalanya.”

Untuk pertama kali, aku bersyukur pernah mengirimkan poster itu kepada Lara. Meski persahabatan kami sempat terputus, kini aku tahu, Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Perjalanan Lara selanjutnya pastinya bukan hal mudah. Namun, aku akan menemaninya. Dan aku akan memulainya dengan berdoa agar Lara terus mengizinkan Roh Kudus melepaskan dirinya dari pengaruh dunia. Dan agar Roh Kudus terus mengubahnya hingga menjadi versi dirinya yang ingin diciptakan Kristus melalui kematian-Nya.

Dua Arti Pawang Hujan Bagi Kita

Oleh Agustinus Ryanto

Dalam acara akbar, kadang ada saja kisah renyah yang lebih heboh daripada peristiwa utamanya. Di gelaran MotoGP Mandalika Minggu (20/03) lalu, perhatian publik tertuju pada Rara Isti Wulandari. Rara bukan pembalap, tapi seorang pawang hujan yang seketika terkenal karena aksinya memutar-mutar pengaduk pada mangkok sambil merapal doa muncul di banyak media.

Pro kontra pun bermunculan. Yang pro mengelu-ngelukan kesuksesan Rara, sementara yang kontra menganggap menggunakan jasa pawang hujan itu klenik, tidak berdasar sains, ritual kuno, dan lainnya.

Jika kita melihat sedikit pada peta sejarah, keberadaan pawang hujan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara mengenal ritus Kadiano Ghuse, di Banten ada tradisi Nyarang Hujan, dan banyak lainnya. Kepulauan Nusantara ada di wilayah tropis dengan dua musim: hujan atau kemarau. Jika hujan datang, tanah akan berlumpur. Acara besar bisa terkendala. Oleh karena itulah jasa pawang hujan menjadi penting.

Okeh, meskipun sepertinya asyik kalau saja kita membahas bagaimana mekanisme atau cara kerja pawang hujan itu beraksi, tulisan ini tidak akan mengarah ke sana.

Terlepas dari pro dan kontranya, aksi pawang dan hujan bisa merefleksikan kita akan dua hal:

1. Alam semesta tidak sepenuhnya ada dalam kendali kita

Mengutip dari tulisan Masruri yang berjudul “12 Macam Ilmu Pawang Hujan”, sebenarnya pawang hujan tidak bertugas untuk melenyapkan hujan, tapi menggeser awan hujan (dengan ritual mereka) itu untuk menjatuhkan airnya di tempat lain. Intinya: hujan tetap jatuh. Atau, di negara lain yang lebih maju, ‘ritual’ memindahkan hujan ini bisa dilakukan dengan cara yang lebih saintifik. Mengutip dari CNN, perusahaan di Inggris bisa melakukannya, namun butuh waktu 6 minggu persiapan dan biayanya US$150,000 alias lebih dari dua milyar rupiah!

Alam semesta dengan segala siklus dan fenomenanya adalah karya Allah yang agung dan sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Untuk menatalayani segala ciptaan itu, Allah lantas menciptakan manusia sebagai ciptaan yang diciptakan-Nya di hari terakhir. Allah memberikan berkat sekaligus mandat untuk beranak cucu, memenuhi dan menaklukkan bumi, dan berkuasa atas segala binatang (ayat 28). Namun, pemberian mandat ini tidaklah menghilangkan fakta bahwa kendati manusia memiliki kuasa, manusia bukanlah pemilik dari alam semesta ini. Allah adalah pemilik dan pencipta, kita adalah orang yang diutus untuk menatalayani ciptaan-Nya.

Alkitab memberi kita contoh-contoh menarik tentang bagaimana Allah menggunakan alam semesta untuk menunjukkan kasih-Nya bagi manusia. Dalam kisah Yunus, Allah mengizinkan badai hebat menghantam perahu yang sedang berlayar ke Tarsis. Ke dalam laut bergelora itu, Yunus diceburkan dan kemudian ditelan oleh ikan raksasa. Sekilas kisah ini terkesan ngeri. Kok Allah yang baik malah menginisiasi badai dahsyat dan ikan raksasa. Namun, jika kita lihat dari sisi kasih Allah, kehadiran badai ini adalah ‘penyelamat’ untuk meraih Yunus kembali dari pelariannya, yang akan semakin menjauhkan dia dari rencana dan kasih Allah. Untuk menyelamatkan nyawa Yunus dari amukan badai, syahdan hadirlah ikan raksasa yang menelannya, yang memberi perlindungan sementara sampai Yunus dimuntahkan. Tim Keller dalam bukunya “The Prodigal Prophet” menyebutkan bahwa berada dalam perut ikan itu memberikan Yunus kesempatan untuk ‘berjumpa’ kembali dengan Allah, menerima kembali panggilan-Nya, untuk kelak tiba pada tujuan-Nya: mempertobatkan Niniwe.

2. Hujan adalah rahmat bagi bumi dan kita

November 2021 lalu, dalam perjalananku motoran dari Jakarta ke Malang, aku meraih pemahaman baru tentang hujan. Perjalanan hampir 1000 kilometer itu kuawali dengan doa, “Tuhan, jangan hujan ya.” Ketika awan kelabu pekat sudah menggelayut, ucapan itu semakin santer aku daraskan. Hasilnya, hanya sedikit momen ketika aku berhasil melewati awan kelabu itu tanpa kebasahan.

Hingga suatu ketika, saat motorku tiba di daerah Cangar, Malang, aku menepi dan duduk di sebuah warung pinggir jalan. Jas hujan kulepas, dingin dan anyep kurasa, lalu kuseruput segelas air jahe.

Kulihat bulir-bulir air di atas rerumputan, dan kusesap aroma segarnya. Aku membatin: sebenarnya, hujan itu rahmat bagi bumi. Meski aku mengeluh karena jadi repot, tapi hujan itu justru memberi berkat bagi tanah, tumbuhan, juga makhluk lainnya. Dengan adanya hujan, tanah menjadi subur, tumbuhan terpenuhi nutrisinya, dan manusia pun mendapatkan air untuk kelangsungan hidupnya. Hujan bukanlah bencana. Apabila saat atau pasca hujan muncul bencana banjir atau longsor, kita bisa selidiki itu terjadi karena ada ulah manusia di dalamnya: perubahan iklim, alih fungsi lahan, penumpukan sampah di sungai, dan sebagainya.

Jika hujan adalah rahmat bagi dunia, lantas mengapa aku menolak berkat itu hanya demi kenyamanan pribadiku?

Dalam sisa perjalananku menyusuri pesisir selatan Jawa, kuubahlah ucapan hatiku: “Tuhan, jika hujan harus turun, turunlah. Ajarlah aku yang kerdil ini untuk menikmati apa pun yang diturunkan langit bagi segala ciptaan di atas bumi.”

Hujan pun turun, mengiringi perjalananku. Basah dan ribet karena aku harus copot-pasang jas hujan. Namun, pemahaman akan hujan yang adalah rahmat ini menjadikanku bersukacita atas tiap tetesan air yang Tuhan berikan.

***

Dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya ‘hujan’ dalam berbagai kadar datang—entah itu gerimis, hujan sedang, sampai badai dan puting beliung. Namun, kita dapat mengingat bahwa kendati kita tak punya kuasa untuk memberhentikan hujan itu, kita punya Allah yang mengasihi dan menciptakan alam semesta. Dalam cakupan kasih-Nya, ‘hujan’ itu Dia berikan sebagai rahmat yang menyirami kita.