Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku

Ku tak ingkar
Ku tak ingkar

Pernahkah kalian mendengar atau menyanyikan lagu di atas? Untuk teman-teman yang ibadah di gerejanya sering menggunakan kidung jemaat atau himne, lagu tersebut mungkin tidak asing didengar. Namun, tahukah kamu bahwa di balik sebuah lagu yang liriknya singkat dan sederhana itu, terdapat sebuah kisah yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah dalam perjalanan iman kita?

Di abad ke-19, terjadi sebuah kebangunan rohani di Wales yang menggugah banyak misionaris untuk pergi mewartakan Injil. Salah satu daerah yang dituju oleh para misionaris tersebut adalah Assam di timur laut India. Orang-orang di sana kala itu belum ada yang mengenal Tuhan Yesus, dan para misionaris rindu untuk membawa Kabar Baik ke tempat itu. Tapi, upaya tersebut disambut dengan penolakan dari orang-orang di sana.

Namun, di balik penolakan tersebut, ada benih firman Tuhan yang jatuh dan bertumbuh di hati seorang pria. Berdasarkan catatan Dr. P. Job, pria itu bernama Nokseng, seseorang dari suku Garo yang memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus dan mengikut-Nya. Tak hanya dirinya seorang, istri dan kedua anaknya pun mengikuti jejaknya.

Berita bahwa ada sebuah keluarga yang menerima iman Kristen membuat kepala desa marah. Dia memanggil semua warga dan menginterogasi mereka. Ketika didapatinya ada sebuah keluarga yang percaya kepada Yesus, kepala desa itu pun memaksa mereka untuk menanggalkan imannya. Ancaman ini tidak main-main. Nokseng diminta untuk menyangkal Yesus saat itu, jika tidak istrinya akan dibunuh.

Digerakkan oleh Roh Kudus, Nokseng menjawab, “Aku telah memutuskan untuk mengikut Yesus. Aku tidak ingkar.”

Jawaban ini membuat amarah kepala desa memuncak. Dia lalu mengambil kedua anak Nokseng dan mengancam akan membunuh mereka jika Nokseng tidak menyangkal imannya. Nokseng pun menjawab, “Sekalipun aku sendiri, aku tetap mengikut-Nya. Aku tidak ingkar.”

Kepala desa itu pun murka dan memerintahkan agar istri dan kedua anaknya dibunuh. Nokseng kini sendirian, dan sekali lagi kepala desa itu memintanya untuk menyangkal imannya atau mati. Di hadapan bayang-bayang maut, Nokseng kembali menjawab, “Salib di depanku, dunia di belakangku. Aku tidak ingkar.”

Kisah ini mungkin seharusnya berhenti di sini, ketika Nokseng dan keluarganya tewas terbunuh karena imannya. Namun, karya Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan. Kematian sebuah keluarga sebagai martir itu membuka jalan bagi tersiarnya Kabar Keselamatan bagi penduduk desa itu.

Sang kepala desa tak habis pikir, bagaimana bisa sebuah keluarga berani mati untuk Seseorang yang tidak pernah mereka temui. Secara mengejutkan, dia pun lalu tertarik untuk mengenal Siapa orang yang disebut oleh Nokseng dan keluarganya hingga akhirnya dia dan seluruh penduduk desa bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.

Kata-kata yang diucapkan oleh Nokseng sebelum dia dan keluarganya dieksekusi kemudian digubah menjadi sebuah himne oleh Sadhu Sundar Singh, seorang misionaris dari India. Liriknya menggunakan bahasa India dan mencantumkan Assam sebagai tempat asal lagu tersebut. Barulah pada tahun 1959, William Jensen Reynolds, seorang editor himne dari Amerika Serikat mengaransemen himne ini dan memasukkannya ke dalam buku kumpulan nyanyian. Versi inilah yang kemudian dikenal luas dan dinyanyikan oleh banyak orang percaya di berbagai belahan dunia.

Kisah di balik lagu ini mengingatkan kita kembali akan bagaimana pemeliharaan Allah memelihara perjalanan iman anak-anak-Nya. Rasul Paulus, dalam perjalanannya menjadi seorang Kristen juga mengalami banyak sekali penderitaan. Di suratnya kepada jemaat di Korintus, dia pun merinci tantangan dan marabahaya yang harus dia hadapi:

“Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali aku mengalami kapal karam, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu” (2 Korintus 11:24-26).

Secara manusia, penderitaan yang berat tersebut rasanya mustahil untuk ditanggung. Naluri manusia mungkin akan membawa Paulus, dan juga Nokseng untuk menyangkali iman mereka dan memilih kenyamanan duniawi. Tetapi, oleh pemeliharaan Allah, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, sebuah keputusan untuk menunjukkan imannya dan mengambil penderitaan yang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima (Roma 8:18).

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun diperhadapkan dengan berbagai pilihan dan juga penderitaan, meskipun mungkin penderitaan itu tidak seberat apa yang dialami oleh Paulus maupun Nokseng. Tetapi, satu kebenaran yang dapat kita pegang adalah, di dalam Kristus, segala perkara dapat kita tanggung, sebab Dialah yang memberikan kekuatan bagi kita (Filipi 4:13).

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Baca Juga:

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak?

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *