Posts

4 Cara Menjumpai Tuhan di Kehidupan Sehari-hari

Oleh Justin

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways We Can See God In Everyday Life

Aku sering mengalami momen-momen di siang hari ketika aku asyik sendiri dan lupa kalau Tuhan sebenarnya selalu ada bersamaku. “Lupa” ini sering terjadi saat aku melakukan kegiatan yang tampaknya “duniawi”—pekerjaan, tugas kuliah, hobi.

Salah satu hobiku adalah mendengarkan musik klasik, terutama ketika aku sedang bekerja, supaya aku lebih rileks. Dalam playlist yang biasanya kuputar acak, kadang ada lagu yang enak, yang tiba-tiba terputar seperti, “The Lark Ascending” dari Vaughan William—dan untuk sesaat, aku seperti  dibawa ke dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan keagungan dan keindahan. Musik yang indah mengingatkanku bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup ini daripada apa yang terlihat oleh mata, dan aku pun mengingat Dia yang menciptakan segala keindahan.

Momen-momen seperti ini membuatku sadar, seperti yang Yakub alami di Betel, bahwa Tuhan ada di sini, bersama kita, meskipun kita tidak mengetahuinya (Kejadian 28:16). Aku mengakui bahwa Tuhan selalu menyertaiku, di mana pun aku berada dan apa pun yang aku lakukan (Yeremia 23:24; Mazmur 139:7-10).

Saat kita sadar bahwa Tuhan senantiasa hadir, kita dapat memiliki cara pandang surgawi dan kita pun mampu merenungkan kasih dan kesetiaan-Nya yang tak pernah berakhir. 

Jadi, bagaimana kita dapat “melihat” Allah dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari? Kita dapat berdoa, memohon agar Tuhan menolong fokus dan perhatian kita kepada-Nya. 

Berikut adalah empat cara agar kita dapat melihat lebih banyak tentang Allah:

1. Lihatlah Allah dalam ciptaan-Nya

Setiap kali aku melihat seekor burung hinggap di ambang jendela, atau melihat matahari bersinar, atau merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajah, aku memandang semua itu sebagai pengingat akan Sang Pencipta dan betapa menakjubkannya Dia menciptakan semua ini untuk kesenangan-Nya dan kesenangan kita.

Alkitab berkata, “Langit memberitakan kemuliaan Allah” (Mazmur 19:1). Dia membuat rumput tumbuh (Mazmur 104:14), menurunkan hujan pada waktunya (Yeremia 5:24), dan menentukan batas-batas gelombang laut (Ayub 38:10-11).

Selain mengingatkan kita akan keberadaan dan kuasa Allah, ciptaan mengajarkan kita untuk memandang Allah sebagai pemelihara dan penolong kita. Yesus mengajak kita untuk merenungkan bagaimana Allah memberi makan burung-burung di udara dan memberi pakaian kepada bunga bakung di padang, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan apa yang kita makan dan kenakan (Matius 6:25-33). Kita dapat melihat ke bukit-bukit dan mengingat bahwa Allah yang sama yang menciptakannya adalah Allah yang menolong kita (Mazmur 121:1-2).

Aku pun merasa beruntung karena aku kuliah di kampus yang banyak ruang terbuka hijaunya. Setiap kali aku stres ketika menghadapi ujian, aku akan pergi ke area yang dekat dengan alam untuk melihat burung-burung yang melompat-lompat di atas rumput atau memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Atraksi sederhana dari alam menolongku untuk mengingat bahwa Pencipta alam semesta ada di sini bersamaku. Dialah yang menjadi sumber dari segala kebijaksanaan dan pengertian, dan apa pun hasil ujianku nanti, semuanya akan baik-baik saja.

2. Melihat Allah di dalam berkat-berkat-Nya

Dunia adalah anugerah dari Allah buat kita, tapi kadang kita tidak merasa dunia ini se-spesial itu karena kita membandingkannya dengan berkat-berkat khusus yang Tuhan berikan pada kita masing-masing, seperti makanan apa yang kita makan, pakaian apa  yang kita kenakan, di mana tempat tinggal kita, dan sebagainya. 

Setiap kali aku merenungkan berkat-berkat yang kuterima, entah itu secangkir kopi, atau sesendok besar es krim, kulatih diriku untuk meluap dalam rasa syukur. Makanan dan minuman bisa saja dikonsumsi dengan sikap hambar, seolah itu hanya ‘rutinitas’ supaya kita bertahan hidup, tapi pada kenyataannya, saat kita makan, kita menikmati berbagai macam rasa dan aroma. Tuhan memberi kita indera pengecap untuk menikmati semua ini! Tidaklah mengherankan jika pada pernikahan di Kanan, Yesus tidak membuat sembarang anggur, tetapi anggur yang baik (Yohanes 2:1-10). 

Jika kita menikmati manisnya madu dan mendapatkan energi darinya, terlebih lagi manisnya firman Tuhan (Mazmur 119:103) dan nutrisi rohani yang kita dapatkan dari tiap firman Allah. Janji-janji Allah menyenangkan jiwaku, sebab janji-janji itulah yang memberiku kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masa depan. 

Jika kita menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabat kita, persahabatan dengan Yesus, sahabat kita yang sejati, tentulah memberi kita sukacita sejati. Aku telah diberkati dengan teman-teman yang baik hati, penuh kasih, dan penyayang, yang selalu bersamaku dalam suka dan duka. Aku bersyukur atas kehadiran mereka. Melalui mereka, Allah menunjukkan kasih setia-Nya padaku. Dan, aku semakin bersukacita karena Yesus yang melebihi segalanya yang dapat kubayangkan. 

Bapa kita tahu bagaimana memberi kita pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Meskipun kita mungkin menganggap remeh sebagian besar berkat-berkat-Nya, sudah sepatutnya kita lebih menghargai tiap berkat-Nya dan berterima kasih kepada sang Pemberi yang memberkati kita setiap hari.

3. Melihat Allah di dalam pekerjaan

Allah telah menugaskan pekerjaan kepada manusia bahkan sebelum kejatuhan dalam dosa (Kejadian 2:15). Pekerjaan adalah bagian dari rancangan Allah, yang berarti pekerjaan bukanlah suatu beban. Masing-masing kita memiliki panggilan yang diberikan Tuhan untuk kita kerjakan di bumi ini. Sebagai contoh, ketika kita memesan makanan dari sebuah restoran, kita diberkati oleh pekerjaan petani, koki, dan semua orang yang terlibat dalam proses produksi makanan tersebut. Melalui pemeliharaan-Nya, Tuhan dapat menggunakan pekerjaan kita untuk memberkati orang lain.

Pekerjaanku terkait pengelolaan keuangan sebuah bisnis kecil dengan sekitar sepuluh karyawan. Sekilas pekerjaanku tampak sekadar memantau arus kas sepertinya tidak terlalu berdampak dibandingkan dengan pekerjaan lain yang lebih hebat, tetapi aku telah belajar bahwa Tuhan dalam hikmat-Nya yang tak terbatas memberikan pekerjaan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan tujuan-Nya. Bahkan ketika aku menulis ini, aku sejatinya sedang mengkhotbahkan kebenaran ini kepada diriku sendiri, dan aku pun berdoa agar aku dapat lebih melihat Tuhan dalam pekerjaanku, dan memandang pekerjaanku lebih dari sekadar sarana untukku mendapatkan penghasilan.

Seperti yang dikatakan A.W. Tozer, “Bukan apa yang dilakukan seseorang yang menentukan apakah pekerjaannya itu sakral atau sekuler, melainkan mengapa ia melakukannya.” Aku tahu bahwa dalam pekerjaanku, pada akhirnya aku bertanggung jawab kepada Tuhan, dan setiap pekerjaan kecil yang dilakukan sepenuh hati, entah itu menulis cek belanja atau mengecek kembali arus kas keuangan, tidak akan luput dari perhatian-Nya. 

Meskipun pekerjaan kita seringkali tidak menyenangkan dan suram karena kita dan seisi dunia telah jatuh dalam dosa (Kejadian 3:17-19), kita dapat yakin bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati bagi Tuhan akan mendapatkan upahnya (Kolose 3:23-24). Apa pun pekerjaan yang kita lakukan, besar atau kecil, dibayar atau tidak dibayar, kita tahu bahwa jerih payah kita di dalam Tuhan tidak sia-sia (1 Korintus 15:58) dan kita dapat meminta kasih karunia untuk memperlengkapi kita dalam setiap pekerjaan baik (2 Korintus 9:8).

4. Melihat Allah dalam pencobaan

Pencobaan dan penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kristen (Kisah Para Rasul 14:22), entah itu penyakit ragawi, masalah keuangan, penganiayaan, atau bahkan hal-hal kecil yang membuat kita tidak nyaman. Momen-momen penderitaan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa dunia ini bukanlah rumah kita yang kekal, rumah kita pada akhirnya adalah bersama Bapa.

Setiap kali aku merasa tidak enak badan, entah itu migrain, mual, atau asam lambungku kumat, aku merasa terhibur karena mengetahui bahwa di surga, tubuh kemuliaan kelak tidak akan mengenal sakit atau nyeri. Meskipun penyakit-penyakit yang sering terjadi ini terkadang membuat frustrasi, semua ini mengajariku untuk lebih rendah hati dan lebih bergantung hanya pada Tuhan saja. 

Setiap pencobaan adalah kesempatan untuk kembali mempercayai Allah dan bersandar pada kasih karunia-Nya yang amat mencukupi di dalam kelemahan kita (2 Korintus 12:9). Ketika kita mengalami banyak penderitaan, kita didorong untuk tidak berkecil hati, mengingat bahwa kemuliaan kekal sedang dipersiapkan bagi kita, dan hadiah surgawi yang tak terlihat itu bersifat kekal (2 Korintus 4:16-18).

Ketika kita mencari Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh dalam keseharian kita, kiranya kita dapat mengalami sukacita persekutuan dengan-Nya. Ketahuilah, Dia menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Lockscreen 1 Yohanes 4:8

“Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8).

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu.
Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

Lockscreen ini dibuat oleh Caroline Widananta untuk sobat muda di WarungSaTeKaMu.

 

Lockscreen Yohanes (576 downloads)

Perbedaan Apa yang Yesus Sanggup Lakukan dalam Hidupmu?

Oleh Paul Wong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Difference Does Jesus Make?

Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Filipi 3:8-9).

Pria yang menulis kata-kata itu menulisnya di sebuah penjara yang dingin dan sepi sekitar tahun 60 masehi. Dia dibelenggu seorang tentara Romawi selama 24 jam penuh setiap harinya. Seiring dia menuliskan surat ini, reputasi dan nama baiknya sedang diruntuhkan oleh lawan-lawannya yang iri pada pengaruhnya terhadap gereja-gereja di Asia dan Makedonia. Dan, gereja-gereja yang telah dia bangun, termasuk jemaat Filipi yang menjadi penerima surat ini, sedang mengalami ancaman dari penganiayaan dan ajaran-ajaran sesat. Singkatnya, segala hal yang telah orang ini usahakan dan capai dalam hidupnya selama beberapa tahun terakhir sedang diserang dan menghadapi kemungkinan untuk dihancurkan.

Tahukah kamu siapa gerangan orang itu? Dia adalah Paulus. Alkitab mencatat kisah pertobatan Saulus yang kemudian berubah nama menjadi Paulus. Tapi, apakah dengan mengikut Yesus kisah hidup Paulus menjadi lebih baik? Dampak apa yang Paulus orang Tarsus rasakan melalui kepercayaannya pada Yesus? Mungkin pada satu sisi kita bisa berkata: Banyak, namun bukan dalam artian yang baik.

Ketika dalam suratnya Paulus menuliskan bahwa dia telah kehilangan segala sesuatunya, dia benar-benar merasakannya. Status, rasa aman—semua hilang.

Maka seharusnya pertanyaan besar kita adalah: Mengapa Paulus bisa menganggap bahwa “memperoleh Kristus” adalah hal yang lebih berharga dan mulia jika dibandingkan dengan kehilangan segala sesuatu secara harafiah? Mengapa dia menggambarkan kehidupan lamanya yang nyaman sebagai “sampah”, ketika dia sekarang tersiksa di penjara?

Pengampunan dan relasi

Ketika Yesus dilahirkan di Yudea, Dia datang dengan sebuah tujuan. Kejadian-kejadian yang terjadi pada kelahiran-Nya yang ajaib membuktikannya. Sebuah catatan saksi mata dari kehidupan-Nya mengatakan bahwa Dia dinamakan Yesus (yang berarti “Allah menyelamatkan”) “karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Matius 1:21). Hal itu berarti tujuan-Nya di dunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari hukuman yang pantas kita terima akibat penolakan kita terhadap Tuhan.

Aku ingin tahu pendapat kalian tentang hal itu. Mungkin kalian berpikir kalian sesungguhnya adalah orang yang baik—karena itu pemikiran tentang hukuman “dosa” adalah suatu hal yang konyol.

Namun, jujurlah pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar “orang baik”? Lagipula, siapa yang berhak menentukannya? Paulus mengatakan pada kita bahwa di mata semua orang dia adalah orang baik—tidak bercacat dalam pemahamannya tentang hukum Taurat (Filipi 3:4-6)—namun tetap sebuah kegagalan total di hadapan Allah yang kudus dan adil.

Ini alasannya: Allah tidak sekadar memandang “dosa” sebagai perbuatan buruk yang kamu dan aku lakukan setiap hari. Yang Allah artikan sebagai dosa adalah hal yang jauh lebih parah. Allah berkata bahwa kita hidup di dalam kegelapan, memberontak terhadap-Nya. Manusia sedang mendiami (bahkan menghancurkan) dunia-Nya, menggunakan benda-benda ciptaan-Nya dan menghirup udara-Nya, tanpa rasa hormat pada-Nya. Dan itu merupakan sebuah masalah karena jika Allah adalah kudus dan adil dan baik, dan jika kita menjalani hidup seakan-akan Dia tidak ada, maka sikap seperti itu pantas menerima penghakiman—tanya saja pada orang tua manapun.

Tetapi Allah, dalam kasih-Nya pada ciptaan-Nya dan kerinduan-Nya akan sebuah relasi dengan umat-Nya, berinisiatif memberikan obat penawarnya dengan mengutus Yesus. Dan caranya adalah dengan Yesus mati di kayu salib, menanggung segala hukuman tersebut sebagai ganti kita. Pengorbanan Yesus merupakan jaminan pengampunan bagi kita.

Meyakini pengorbanan itu berarti Allah sekarang memandang kita sebagaimana Allah memandang Yesus. Yang menakjubkan, Allah tidak lagi melihat dosa kita, melainkan kesempurnaan Anak-Nya. Dan hal yang paling krusial adalah, pertobatan (berbalik dari pemberontakan kita) dan iman (mempercayai Yesus) membawa kita pada relasi dengan Allah.

Inilah pemahaman yang mengubah segalanya.

Karena dia adalah seorang Kristen, Paulus dari Tarsus dapat yakin bahwa dia tidak perlu takut terhadap penghakiman Allah. Dia bisa saja mati dihukum sebagai seorang kriminal, namun sejatinya dia tahu bahwa dia telah didamaikan dengan Penciptanya.

Apa perbedaan dari hidup yang percaya pada Yesus? Ia menawarkan pengampunan atas penolakan kita terhadap Tuhan, dan sebuah relasi yang dimulai sejak sekarang dan akan bertahan selamanya. Dan itulah segala hal yang penting di dunia ini.

Jangka waktu yang berbeda

Meski begitu, bagi Paulus, semua itu tidak hanya sampai di sana.

Sebelum Yesus mati, Dia berjanji untuk datang kembali. Dan bagi mereka yang percaya pada-Nya, ada sebuah janji akan kehidupan yang kekal—namun bukan di dunia yang rusak ini, melainkan di sebuah tempat di mana kekecewaan dari hidup ini hanya akan menjadi sebuah kenangan. Sebuah surga yang sempurna, tanpa dosa, penderitaan, maupun rasa sakit.

Menjadi seorang Kristen tidak menjadikan hidupmu lebih baik sekarang juga. Justru dalam banyak hal menjadi seorang Kristen akan membuat hidupmu lebih sulit (tanyakan saja pada Paulus!). Tetapi dampak dari menjadi seorang Kristen adalah mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan secara radikal. Menjadi seorang Kristen akan menggeser pemahaman kita tentang “hidup” dari 70-90 tahun di bumi menjadi hidup di kekekalan.

Yang terpenting dari apa yang Yesus janjikan adalah sebuah relasi dengan-Nya yang memuaskan jiwa karena relasi tersebut bukanlah sekadar relasi yang sementara, melainkan sebuah relasi dengan Allah penguasa semesta yang dimulai dari sekarang dan akan bertahan melampaui kematian kita. Itulah pemahaman yang mengubah segalanya.

Menjalani hidup sebagai seorang Kristen yang berkomitmen di dunia bukanlah hal yang mudah seperti berjalan-jalan di taman. Pertempuran terhadap dosa membawaku untuk berlutut dan berdoa.

Pekerjaanku sebagai youth pastor seringkali menyibukkan, dan terkadang juga membuat stres dan kecewa. Beberapa kerabatku yang bukan Kristen menganggap pekerjaanku sebagai sesuatu yang tidak berguna. Rasanya ada banyak tantangan dan kekecewaan di tiap hal yang kulakukan. Kadang aku membayangkan bagaimana hidupku akan lebih baik dan menyenangkan jika aku waktu itu tetap memilh menjadi seorang pengacara. Aku tahu suara dalam hatiku itu adalah keinginan manusiawiku.

Namun di tengah masa-masa yang membuatku goyah ini, aku diteguhkan di hadapan sebuah kebenaran yang mulia, yaitu bahwa aku telah diampuni, dan sedang berjalan menuju masa depan yang lebih baik, cerah dan kekal bersama Juruselamatku. Jika Alkitab benar, maka kesulitan akibat menjadi Kristen yang sesungguhnya jarang terjadi ini hanyalah sebuah kilat di dalam jangka waktu Allah (Roma 8:18).

Jadi, apa perbedaan dari hidup mempercayai Yesus bagi Paulus? Sederhananya kamu dapat bilang: Banyak, dan dalam makna yang paling positif. Ketika Paulus menulis bahwa pengenalan akan Kristus adalah jauh lebih mulia, dia benar-benar serius. Dia mendapatkan pengampunan dan relasi dengan Allah yang terjamin, dan sebuah sukacita abadi untuk dinantikan. Dan semua ini diperoleh dari keselamatan melalui kepercayaannya pada Kristus.

Apakah kamu mau mempertimbangkan untuk menaruh kepercayaanmu pada Yesus?

* * *

Tentang penulis:

Paul adalah seorang pastor kampus di Singapore Management University’s Christian Fellowship (SMUCF). Dalam waktu senggangnya dia menikmati fotografi, membaca sejarah yang terkenal, dan menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Baca Juga:

Pengakuan Terjujur di Hidupku

Sahabat, aku pernah remuk oleh karena dosa yang kuperbuat. Berat bagiku untuk mengakui ini. Tapi, melalui tulisan ini, izinkanlah aku menuturkannya kepadamu.

#GaliDasarIman: Apakah Keberadaan Allah Jelas Bagi Semua Orang?

Oleh Wilson Jeremiah
Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Maksud pertanyaan ini lebih tepatnya, “Apakah keberadaan Allah jelas bagi semua pada dirinya sendiri, tanpa diajarkan atau tanpa tanda-tanda khusus?” Mungkin sebagian orang berkata, “Jelas lah!”, dan juga akan berpikir pertanyaan seperti agak konyol. Juga sebagian mungkin berkata, “Kita ini di Indonesia, penuh dengan agama yang berbeda-beda. Pastilah orang percaya Tuhan itu ada!” Juga Menurut Roma 1:19-20, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang sehingga mereka sedikit banyak tahu bahwa Allah itu ada.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau begitu, untuk apa apologetika? Apalagi penginjilan? Toh, kalau semua orang tahu bahwa Allah ada dan beragama, ngapain lagi kita susah-susah belajar apologetika dan penginjilan yang berisiko kita menyinggung bahkan kehilangan teman atau orang lain di sekitar kita? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan utama kita bahwa keberadaan Allah JELAS bagi semua orang, pembelajaran apologetika serta praktek penginjilan menjadi kurang penting, bahkan sia-sia.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya keberadaan Allah tidak selalu jelas bagi semua orang. Jika kita memahami “semua orang” di sini termasuk orang di luar Indonesia, atau orang Indonesia yang sudah mencicipi budaya luar negeri, kita akan melihat jumlah orang agnostik dan ateis yang cukup signifikan sekalipun masih minoritas. Apalagi di era globalisasi serta kemajuan dalam sains dan teknologi, semakin banyak orang (Indonesia) yang mayoritas beragama yang mulai dipengaruhi oleh ateisme atau budaya sekularisme dari berbagai negara luar. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Alkitab, khususnya Roma 1:19-20, mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya mengetahui akan adanya Allah tetapi samar-samar dan tidak menyeluruh. Dosa manusia mengaburkan bahkan menjauhkan pikiran mereka dari Allah yang benar, sehingga mereka berkata bahwa Allah tidak ada (Mazmur 14:1-3; Roma 3:10-12). Apalagi, Allah dikatakan sebagai roh yang tidak kelihatan (Yohanes 4:24) dan tidak ada yang pernah melihat-Nya (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Oleh sebab itu, aku beberapa kali menjumpai orang-orang yang tidak mengaku percaya akan Allah tetapi kepada “sebuah kuasa yang lebih tinggi dari dirinya” (a higher power). Kita juga mendapati bahwa banyak agama-agama yang tidak mengajarkan Allah yang berpribadi dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya, tetapi lebih kepada “Allah dalam diri kita” atau “dalam dunia ini.” Jadi, kita mungkin heran bahwa ada agama yang “tidak bertuhan” dan tidak menyinggung sedikitpun tentang Allah, lebih mirip dengan sebuah filsafat atau cara hidup saja.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Maka dari itu, sebagai orang Kristen, kita perlu belajar dan mempraktikkan apologetika, minimal karena dua alasan. PERTAMA, apologetika berguna untuk memperjelas bahwa Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak percaya Allah ada, bahkan untuk mereka yang sudah percaya pada Allah dan beragama. Di zaman seperti sekarang ini, khususnya di mana kredibilitas agama dan iman sering dipertanyakan, apologetika dapat menolong kita untuk memahami bahwa lebih rasional dan masuk akal bagi kita untuk percaya akan keberadaan Allah dari pada tidak.

KEDUA, bukan hanya untuk memperjelas keberadaan Allah saja, tetapi apologetika berguna untuk memperjelas Allah seperti apa yang kita percayai dan sembah. Di tengah pasar global yang menawarkan begitu banyak ide dan gambaran (palsu) mengenai siapa Allah itu, kita perlu memahami bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar, sehingga kita dapat merespons dengan hidup tepat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang benar itu. Tanpa pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, kita tidak mungkin mampu memahami arti dan tujuan hidup kita di dunia yang kompleks ini.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kesimpulannya: Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan jelas akan keberadaan Allah, maka apologetika diperlukan untuk menunjukkan bahwa keberadaan Allah sesungguhnya cukup jelas dan Allah seperti apa yang harus kita percayai. Teolog Herman Bavinck berkata bahwa apologetika adalah ilmu Kristen yang pertama muncul (“the first Christian science”), dan yang tentunya akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Apakah kita sudah meyakini akan keberadaan Allah, serta mengenal Allah yang kita yakini dan percayai itu?

* * *

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Wilson Jeremiah adalah anggota tim API yang sedang menempuh studi Ph.D. dalam bidang Systematic Theology di Trinity Evangelical Divinity School, USA.⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Artikel ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API). Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Yang Allah Lihat

Jumat, 26 April 2019

Yang Allah Lihat

Baca: 2 Tawarikh 16:7-9

16:7 Pada waktu itu datanglah Hanani, pelihat itu, kepada Asa, raja Yehuda, katanya kepadanya: “Karena engkau bersandar kepada raja Aram dan tidak bersandar kepada TUHAN Allahmu, oleh karena itu terluputlah tentara raja Aram dari tanganmu.

16:8 Bukankah tentara orang Etiopia dan Libia besar jumlahnya, kereta dan orang berkudanya sangat banyak? Namun TUHAN telah menyerahkan mereka ke dalam tanganmu, karena engkau bersandar kepada-Nya.

16:9 Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia. Dalam hal ini engkau telah berlaku bodoh, oleh sebab itu mulai sekarang ini engkau akan mengalami peperangan.”

Mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia. —2 Tawarikh 16:9

Yang Allah Lihat

Pagi-pagi sekali, saya berjalan diam-diam melewati jendela ruang keluarga yang menghadap ke hutan di belakang rumah kami. Saya sering melihat seekor elang atau burung hantu bertengger di pohon sedang mengawasi seluruh area. Suatu pagi, saya kaget melihat seekor elang botak bertengger di dahan yang tinggi, memandang sekelilingnya seolah-olah seluruh kawasan itu adalah miliknya. Kemungkinan ia sedang mencari-cari bahan “sarapan”. Tatapannya yang tajam terlihat sangat berwibawa.

Dalam 2 Tawarikh 16, Hanani sang pelihat (nabi Allah) memberi tahu raja bahwa tindakannya sedang diamat-amati. Ia memberitahu Asa, raja Yehuda, “Engkau bersandar kepada raja Aram dan tidak bersandar kepada Tuhan Allahmu” (ay.7). Lalu Hanani menjelaskan, “Mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia” (ay.9). Karena Asa bersandar pada sosok yang salah, maka hidupnya tidak akan pernah damai.

Kita dapat membaca ayat tadi dan mengira bahwa Allah mengawasi setiap langkah kita agar Dia dapat menerjang kita seperti burung pemangsa. Perkataan Hanani sesungguhnya berfokus pada hal yang positif. Maksud Hanani adalah bahwa Allah kita terus mengawasi dan menunggu kita memanggil-Nya saat kita membutuhkan pertolongan.

Seperti elang botak di pekarangan saya, mungkinkah mata Allah menjelajah seluruh bumi—sampai sekarang—dan menemukan kesetiaan dalam diri Anda dan saya? Mungkinkah Dia hendak memberikan harapan dan pertolongan yang sedang kita butuhkan? —Elisa Morgan

WAWASAN

Karena ketidaksetiaan Salomo (1 Raja2 11:4-11), kerajaannya terbelah dua. Yerobeam, hamba Salomo, memerintah kerajaan Israel di utara (11:28-31), dan Rehabeam, anak Salomo, memerintah kerajaan Yehuda di selatan (14:21). Asa, raja ketiga Yehuda sekaligus cicit Salomo (2 Tawarikh 12:16; 14:1), “melakukan apa yang baik dan yang benar di mata TUHAN, Allahnya” (14:2) dan melakukan banyak pembaharuan keagamaan (pasal 14-15). Namun, ketika pecah perang antara Asa dan Raja Baesa dari Israel, Asa berpaling meminta pertolongan kepada Aram, bukan kepada Allah (16:1-3). Nabi Hanani menegur kurangnya iman percaya Asa, mengingatkannya tentang Allah yang pernah menyelamatkan Yehuda dari musuh-musuh yang lebih kuat sekalipun (12:1-12; 14:9-15). Asa menolak bertobat, dan tiga tahun kemudian Allah memukulnya dengan sakit kaki yang parah. Ia tetap “tidak mencari pertolongan TUHAN” (16:10-12). Asa mati tanpa mengalami pertobatan.—K.T. Sim

Mengapa penting bagi Anda untuk terus-menerus mencari arahan dan tuntunan Allah? Bagaimana kesadaran bahwa Allah menantikan seruan Anda minta tolong dapat membuat Anda terhibur?

Ya Allah, kuatkanlah hati kami agar kami tetap bersungguh hati terhadap Engkau.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 23–24; Lukas 19:1-27

Handlettering oleh Mesulam Esther

Pada Waktunya

Kamis, 18 April 2019

Pada Waktunya

Baca: Lukas 23:32-46

23:32 Dan ada juga digiring dua orang lain, yaitu dua penjahat untuk dihukum mati bersama-sama dengan Dia.

23:33 Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Tengkorak, mereka menyalibkan Yesus di situ dan juga kedua orang penjahat itu, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang lain di sebelah kiri-Nya.

23:34 Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya.

23:35 Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya. Pemimpin-pemimpin mengejek Dia, katanya: “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah.”

23:36 Juga prajurit-prajurit mengolok-olokkan Dia; mereka mengunjukkan anggur asam kepada-Nya

23:37 dan berkata: “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!”

23:38 Ada juga tulisan di atas kepala-Nya: “Inilah raja orang Yahudi”.

23:39 Seorang dari penjahat yang di gantung itu menghujat Dia, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”

23:40 Tetapi yang seorang menegor dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama?

23:41 Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”

23:42 Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.”

23:43 Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

23:44 Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga,

23:45 sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.

23:46 Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.

Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. —Yohanes 10:17-18

Pada Waktunya

Pintu mobil ambulans hampir tertutup—dan saya ada di dalamnya. Di luar, anak lelaki saya sedang menelepon istri saya. Dengan penglihatan yang mulai kabur karena kondisi gegar otak, saya memanggil nama anak saya. Menurut ceritanya, saat itu saya sempat berkata kepadanya dengan suara lirih, “Beri tahu ibumu aku sangat mencintainya.”

Rupanya saya mengira saya akan berpisah dengannya, dan saya ingin kalimat itu menjadi kata-kata terakhir saya. Hal itulah yang terpenting bagi saya waktu itu.

Ketika Yesus memasuki masa tergelap dalam hidup-Nya, Dia tidak hanya memberi tahu kita bahwa Dia mengasihi kita; Dia menunjukkannya dengan cara-cara yang spesifik. Dia menunjukkannya kepada prajurit-prajurit yang memaku tangan-Nya ke kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Dia memberikan harapan kepada penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Dia: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (ay.43). Menjelang saat-saat terakhir, Dia menatap ibu-Nya. “Ibu, inilah, anakmu,” kata-Nya kepada Maria, dan kepada sahabat karib-Nya Yohanes, Dia berkata, “Inilah ibumu” (Yoh. 19:26-27). Lalu, ketika nyawa-Nya hendak meninggalkan raga-Nya, tindakan kasih terakhir dari Yesus adalah mempercayai Bapa-Nya: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk. 23:46).

Yesus sengaja memilih jalan salib untuk menunjukkan ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya—dan kedalaman kasih-Nya kepada kita. Sampai akhir, Dia menunjukkan kasih-Nya yang tak menyerah. —Tim Gustafson

WAWASAN

Kematian Yesus mengubahkan orang-orang yang hadir menyaksikannya. Salah satu dari dua penjahat yang disalibkan bersama Dia berkata, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Lukas 23:39-43). Kepala pasukan yang ditugaskan untuk menghukum Yesus berseru, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Markus 15:39). —Tim Gustafson

Apa yang paling berarti bagi Anda? Bagaimana kasih dan ketaatan saling melengkapi?

Setiap perkataan Yesus diucapkan-Nya dengan penuh kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 3–5; Lukas 14:25-35

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra

Bertumbuh Mekar Seperti Bunga

Rabu, 17 April 2019

Bertumbuh Mekar Seperti Bunga

Baca: Mazmur 103:13-22

103:13 Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.

103:14 Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.

103:15 Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;

103:16 apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.

103:17 Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu,

103:18 bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya.

103:19 TUHAN sudah menegakkan takhta-Nya di sorga dan kerajaan-Nya berkuasa atas segala sesuatu.

103:20 Pujilah TUHAN, hai malaikat-malaikat-Nya, hai pahlawan-pahlawan perkasa yang melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya.

103:21 Pujilah TUHAN, hai segala tentara-Nya, hai pejabat-pejabat-Nya yang melakukan kehendak-Nya.

103:22 Pujilah TUHAN, hai segala buatan-Nya, di segala tempat kekuasaan-Nya! Pujilah TUHAN, hai jiwaku!

Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga. —Mazmur 103:15

Bertumbuh Mekar Seperti Bunga

Cucu saya yang paling kecil baru berusia dua bulan, tetapi setiap kali saya melihatnya, ada saja perubahan-perubahan kecil dalam dirinya. Baru-baru ini, ketika saya sedang berbicara lembut kepadanya, ia menatap saya dan tersenyum! Tiba-tiba saja saya menangis. Mungkin saya gembira melihat senyumnya, sekaligus terharu mengenang senyum pertama anak-anak saya sendiri—sesuatu yang saya saksikan sekian puluh tahun lalu, tetapi yang rasanya baru terjadi kemarin. Terkadang memang ada saat-saat yang tidak bisa dijelaskan seperti itu.

Dalam Mazmur 103, Daud menuliskan sebuah pujian puitis yang memuji Allah sembari mengingat betapa cepatnya saat-saat indah dalam hidup kita berlalu: “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia” (ay.15-16).

Meskipun mengakui betapa singkatnya hidup ini, Daud menggambarkan bunga itu “berbunga” atau berkembang. Meskipun setiap tangkai bunga mekar dan tumbuh dengan cepat, tetapi wangi, warna, serta keindahannya membawa sukacita besar pada saat itu. Berbeda dengan setangkai bunga yang bisa sedemikian cepatnya dilupakan—“dan tempatnya tidak mengenalnya lagi” (ay.16)—kita mendapatkan jaminan bahwa ”kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia” (ay.17).

Seperti bunga, kita dapat bersukacita dan bertumbuh pada suatu waktu; tetapi kita juga bisa mensyukuri bagaimana setiap momen dalam kehidupan kita tidak pernah benar-benar terlupakan. Allah mengendalikan setiap detail hidup kita, dan kasih setia-Nya yang kekal akan selalu menyertai anak-anak-Nya selama-lamanya! —Alyson Kieda

WAWASAN

Dalam Mazmur 103, Daud memuji sifat belas kasih Allah. Dengan membandingkan kasih Allah dengan dengan kasih seorang ayah, ia menuliskan bahwa Tuhan berbelas kasihan kepada orang-orang yang takut akan Dia. Maksud Daud bukanlah bahwa Allah berbelas kasih kepada mereka yang ketakutan terhadap Dia, seolah Tuhan mengawasi dan memastikan agar semua orang menerima otoritas-Nya karena tertekan oleh rasa takut. Sebaliknya, kata “takut” di sini memiliki pengertian sebagai pengenalan yang tepat dan sikap yang patut kepada pribadi yang memang layak dihormati. Allah menunjukkan kasih-Nya kepada mereka yang takut akan Dia, yang memiliki pengertian dan menyembah-Nya dengan penuh hormat.
Mungkin kita cenderung berpikir bahwa rasa takut kitalah yang menghasilkan belas kasih-Nya. Namun, dalam ungkapan puitisnya, Daud mengajarkan bahwa belas kasihan itu berasal dari Allah, sama sekali bukan balasan atas pengakuan kita tentang Dia. Belas kasih Allah merupakan sikap Allah terhadap kita karena melihat siapa kita sebenarnya—debu. Allah berbelas kasih kepada kita karena kita hanya debu. —J.R. Hudberg

Dalam hal apa Anda bisa “berbunga” di saat ini? Bagaimana Anda dapat memberikan sukacita kepada orang lain?

Allah menyediakan apa yang kita butuhkan untuk bertumbuh bagi-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 1–2; Lukas 14:1-24

Handlettering oleh Novia Jonatan

Adakah Kau di Sana?

Sabtu, 13 April 2019

Adakah Kau di Sana?

Baca: Keluaran 3:11-14

3:11 Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?”

3:12 Lalu firman-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.”

3:13 Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? —apakah yang harus kujawab kepada mereka?”

3:14 Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.”

Bukankah Aku akan menyertai engkau? —Keluaran 3:12

Adakah Kau di Sana?

Ketika istrinya tertular penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian, Michael berharap istrinya mengalami damai sejahtera seperti yang ia alami lewat hubungan pribadinya dengan Allah. Ia sudah pernah menceritakan tentang imannya kepada sang istri, tetapi istrinya tidak tertarik. Suatu hari, ketika sedang berjalan melewati sebuah toko buku, ada judul buku menarik perhatiannya: Allah, Adakah Kau di Sana? Karena tidak yakin pada reaksi istrinya bila diberi buku tersebut, Michael beberapa kali keluar-masuk toko itu sebelum kemudian membelinya juga. Ia cukup terkejut ketika istrinya mau menerima buku tersebut.

Buku itu menyentuh hati sang istri, dan ia mulai membaca Alkitab juga. Dua minggu kemudian, istri Michael meninggal dunia—dalam damai bersama Allah dan beristirahat dengan tenang karena meyakini Allah tidak akan pernah meninggalkannya.

Ketika Allah memanggil Musa untuk memimpin umat-Nya keluar dari Mesir, Dia tidak menjanjikan kekuasaan kepada Musa. Akan tetapi, Dia menjanjikan kehadiran-Nya: “Aku akan menyertai engkau” (Kel. 3:12). Dalam pesan terakhir-Nya kepada para murid sebelum penyaliban, Yesus juga menjanjikan kehadiran Allah yang kekal, yang akan mereka terima melalui Roh Kudus (Yoh. 15:26).

Ada banyak hal yang dapat Allah berikan untuk menolong kita melewati berbagai tantangan hidup, seperti kenyamanan materi, kesembuhan, atau solusi cepat terhadap masalah-masalah kita. Kadang-kadang Dia melakukannya. Namun, anugerah terbesar yang Dia berikan adalah diri-Nya sendiri. Inilah penghiburan terbesar yang kita miliki: apa pun yang terjadi dalam hidup ini, Dia akan selalu menyertai kita dan tidak akan pernah meninggalkan kita. —Leslie Koh

WAWASAN

Kepastian penyertaan Allah bagi Musa dan umat Israel dinyatakan dengan kata Ibrani yang muncul empat kali dalam bacaan hari ini, yaitu hayah. Pada ayat 12, kata itu diterjemahkan menjadi, “Aku akan menyertai engkau.” Kata yang cukup kompleks ini juga merupakan nama pribadi Allah dalam perjanjian-Nya dengan Israel. Tiga kali kata ini diterjemahkan sebagai, “AKU ADALAH AKU” dalam ayat 14. Ketika dipakai sebagai kata benda penunjuk orang (nama), huruf-huruf penyusunnya dialihbahasakan menjadi “Yahweh”. Kata “TUHAN” yang ditulis dengan huruf kapital dalam berbagai versi terjemahan bahasa Indonesia juga berasal dari kata hayah, menyatakan keberadaan Allah yang kekal.
Yohanes 1:14 mencatat bahwa Firman Allah yang kekal “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita.” Juga dalam Injil Yohanes, Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak Allah yang kekal melalui berbagai pernyataan “Akulah,” salah satunya yang paling gamblang, “Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (8:58). —Arthur Jackson

Bagaimana Anda dapat dikuatkan oleh kehadiran Allah? Bagaimana Anda menjalani hidup secara berbeda karena tahu bahwa Dia menyertai setiap langkah Anda?

Tuhan, terima kasih untuk janji indah bahwa Engkau akan selalu bersamaku. Di tengah krisis dan rutinitas kehidupan ini, izinkan aku belajar mengandalkan kehadiran-Mu, karena aku tahu Engkau berjalan bersamaku.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 22–24; Lukas 12:1-31

Handlettering oleh Tora Tobing

Bertahan dalam Kesesakan

Sabtu, 6 April 2019

Bertahan dalam Kesesakan

Baca: Kejadian 16:7-16

16:7 Lalu Malaikat TUHAN menjumpainya dekat suatu mata air di padang gurun, yakni dekat mata air di jalan ke Syur.

16:8 Katanya: “Hagar, hamba Sarai, dari manakah datangmu dan ke manakah pergimu?” Jawabnya: “Aku lari meninggalkan Sarai, nyonyaku.”

16:9 Lalu kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: “Kembalilah kepada nyonyamu, biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya.”

16:10 Lagi kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya.”

16:11 Selanjutnya kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.

16:12 Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.”

16:13 Kemudian Hagar menamakan TUHAN yang telah berfirman kepadanya itu dengan sebutan: “Engkaulah El-Roi.” Sebab katanya: “Bukankah di sini kulihat Dia yang telah melihat aku?”

16:14 Sebab itu sumur tadi disebutkan orang: sumur Lahai-Roi; letaknya antara Kadesh dan Bered.

16:15 Lalu Hagar melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abram dan Abram menamai anak yang dilahirkan Hagar itu Ismael.

16:16 Abram berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya.

Kemudian Hagar menamakan Tuhan yang telah berfirman kepadanya itu dengan sebutan: “Engkaulah El-Roi.” Sebab katanya: “Bukankah di sini kulihat Dia yang telah melihat aku”. —Kejadian 16:13

Bertahan dalam Kesesakan

The Experience Project adalah salah satu komunitas dunia maya terbesar pada abad ke-21, tempat puluhan juta orang pernah berbagi pengalaman paling menyakitkan dalam kehidupan mereka. Ketika membaca kisah-kisah memilukan di dalamnya, saya merenung betapa kita amat merindukan adanya seseorang yang dapat melihat—menyelami—penderitaan kita.

Dalam kitab Kejadian, ada kisah tentang seorang hamba perempuan yang menunjukkan betapa berharganya kepedulian tersebut. Hagar adalah budak perempuan yang kemungkinan diberikan Firaun Mesir kepada Abram (baca Kej. 12:16; 16:1). Ketika Sarai, istri Abram, tidak dapat memberikan keturunan, ia meminta Abram memperolehnya dari Hagar—suatu praktek yang meragukan tetapi lazim pada waktu itu. Namun, ketika Hagar hamil, terjadi perselisihan yang mendesaknya lari ke padang gurun untuk menghindari penindasan Sarai (16:1-6).

Namun, kesusahan yang dialami Hagar, hamil dan sendirian di padang gurun yang gersang, tidaklah luput dari pandangan Tuhan. Seorang malaikat Tuhan memberi penguatan kepadanya (ay.7-12) dan Hagar berkata, “Engkaulah El-Roi” (Mahamelihat) (ay.13). Hagar memuji Allah yang melihat lebih dari yang kasatmata. Allah yang sama telah dinyatakan dalam Yesus, yang ketika “melihat orang banyak itu, tergeraklah hati-[Nya] oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar” (Mat. 9:36). Hagar bertemu dengan Allah yang menyelami penderitaannya.

Pribadi yang melihat dan menyelami penderitaan Hagar juga melihat penderitaan kita (Ibr. 4:15-16). Menerima empati ilahi dapat meringankan beban kita di tengah kesesakan yang amat menekan. —Jeff Olson

WAWASAN

Situasi yang digambarkan dalam Kejadian 16 yakni seorang istri yang mandul memberikan hambanya kepada sang suami untuk menghasilkan keturunan bukanlah hal yang asing dalam sejarah Timur Dekat Kuno. “Budak atau hamba perempuan diperhitungkan sebagai hak milik dan perpanjangan tangan nyonya mereka yang sah secara hukum. Karena itu, Sarai bisa meminta Hagar melakukan berbagai urusan rumah tangga, termasuk meminjam rahimnya untuk menggantikan rahim Sarai sendiri yang mandul” (IVP Bible Background Commentary: Old Testament). Dengan adat istiadat itu pulalah Rahel dan Lea memberikan hamba perempuan mereka untuk melahirkan keturunan dari Yakub (Kejadian 30:1-24). —Arthur Jackson

Bagaimana Anda dikuatkan dengan mengetahui bahwa Allah memahami tantangan-tantangan yang Anda hadapi? Bagaimana Anda dapat menjadi saluran empati dan belas kasihan Tuhan terhadap sesama?

Tuhan menyelami penderitaan kita seakan-akan Dia mengalaminya sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 4–6; Lukas 9:1-17

Background photo oleh: Saw Nicholas