Posts

Kasih yang Tidak Terselami

Selasa, 2 April 2019

Kasih yang Tidak Terselami

Baca: Yohanes 13:31-35

13:31 Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.

13:32 Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.

13:33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.

13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

13:35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. —Yohanes 13:34

Kasih yang Tidak Terselami

Jemaat kecil kami memutuskan memberi kejutan pada anak lelaki saya pada ulang tahunnya yang keenam. Mereka menghiasi ruang kelas Sekolah Minggu dengan balon-balon dan menyiapkan satu meja kecil dengan kue diatasnya. Ketika anak saya membuka pintu, semua orang pun berteriak: “Selamat ulang tahun!”

Belakangan, saat saya memotong kue, anak saya datang menghampiri dan berbisik di telinga saya, “Ibu, mengapa semua orang di sini sayang padaku?” Saya juga memiliki pertanyaan yang sama! Kami baru enam bulan mengenal mereka tetapi mereka memperlakukan kami seolah-olah kawan lama.

Kasih mereka kepada anak saya mencerminkan kasih Allah kepada kita. Kita tidak bisa memahami mengapa Dia mengasihi kita, tetapi itulah yang Dia lakukan—dan kasih-Nya diberikan secara cuma-cuma. Kita tidak melakukan apa pun yang membuat kita layak menerima kasih-Nya, tetapi Dia melimpahi kita dengan kasih-Nya. Kitab Suci mengatakan: “Allah adalah kasih” (1yoh. 4:8). Itulah Dia.

Allah telah mencurahkan kasih-Nya kepada kita supaya kita dapat menunjukkan kasih yang sama kepada sesama. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34-35)

Jemaat di gereja kecil kami mengasihi karena kasih Allah ada dalam mereka. Kasih itu terpancar dan menandai mereka sebagai pengikut-pengikut Yesus. Kita tidak sepenuhnya bisa memahami kasih Allah, tetapi kita dapat mencurahkan kasih itu kepada sesama, sehingga kita menjadi contoh kasih-Nya yang tidak terselami. —Keila Ochoa

WAWASAN

Kata kunci dalam bacaan hari ini adalah mulia (dipermuliakan). Lima kali kata itu dipakai dalam ayat 31-32. Yesus berbicara tentang kemuliaan-Nya (dipermuliakan), kemuliaan Allah (Bapa), dan hubungan antara dua kemuliaan tersebut. Hubungannya timbal balik: ketika Yesus dipermuliakan, Allah dipermuliakan; ketika Allah dipermuliakan, Yesus pun dipermuliakan.
Menurut kamus konkordansi Strong, mempermuliakan artinya “memberi bobot dengan mengakui nilai sesungguhnya.” “Mempermuliakan Allah” berarti mengakui Dia sebagaimana Pribadi-Nya yang sesungguhnya. Sebagai contoh, “memberi kemuliaan kepada Allah” ialah secara pribadi mengakui Allah dalam karakter (esensi)-Nya yang sejati.”
Yesus mengungkapkan siapa Dia sebenarnya; ketika jati diri-Nya disingkapkan, Dia juga mengungkapkan Bapa. —J.R. Hudberg

Bentuk kasih Allah apa yang baru-baru ini Anda alami melalui orang lain? Apa yang dapat Anda lakukan untuk menunjukkan belas kasih-Nya kepada sesama hari ini?

Karena Allah mengasihi kita, kita dapat mengasihi sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 16–18; Lukas 7:1-30

Handlettering oleh Febronia

Dikelilingi oleh Tuhan

Kamis, 28 Maret 2019

Dikelilingi oleh Tuhan

Baca: Mazmur 125:1-5

125:1 Nyanyian ziarah. Orang-orang yang percaya kepada TUHAN adalah seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya.

125:2 Yerusalem, gunung-gunung sekelilingnya; demikianlah TUHAN sekeliling umat-Nya, dari sekarang sampai selama-lamanya.

125:3 Tongkat kerajaan orang fasik tidak akan tinggal tetap di atas tanah yang diundikan kepada orang-orang benar, supaya orang-orang benar tidak mengulurkan tangannya kepada kejahatan.

125:4 Lakukanlah kebaikan, ya TUHAN, kepada orang-orang baik dan kepada orang-orang yang tulus hati;

125:5 tetapi orang-orang yang menyimpang ke jalan yang berbelit-belit, kiranya TUHAN mengenyahkan mereka bersama-sama orang-orang yang melakukan kejahatan. Damai sejahtera atas Israel!

Yerusalem, gunung-gunung sekelilingnya; demikianlah Tuhan sekeliling umat-Nya, dari sekarang sampai selama-lamanya. —Mazmur 125:2

Daily Quotes ODB

Di sebuah bandara yang sibuk, seorang ibu muda terlihat sangat kerepotan. Anak balitanya mengamuk, menjerit, menendang, dan menolak naik ke pesawat. Dalam kondisi kewalahan dan hamil besar, ibu muda itu akhirnya tidak tahan lagi, dan ia pun terduduk di lantai dengan frustrasi. Sambil menutupi wajah, tangisnya pun meledak.

Seketika itu juga, enam sampai tujuh calon penumpang lain yang tidak saling mengenal mengerubungi ibu muda dan anaknya itu. Mereka membagikan camilan, air minum, pelukan, bahkan nyanyian untuk menenangkan si anak. Keberadaan mereka yang mengelilingi ibu dan anaknya itu membuat keduanya tenang kembali, lalu mereka naik ke pesawat. Para wanita yang lain kembali ke tempat duduk masing-masing, tanpa membicarakan lagi apa yang telah mereka lakukan tadi, tetapi menyadari bahwa dukungan mereka telah menguatkan ibu muda itu di saat ia sangat membutuhkannya.

Kisah tadi menjadi gambaran yang tepat dari kebenaran indah dalam Mazmur 125. “Yerusalem, gunung-gunung sekelilingnya,” kata ayat 2, “demikianlah Tuhan sekeliling umat-Nya, dari sekarang sampai selama-lamanya.” Gambaran itu mengingatkan kita bagaimana kota Yerusalem yang ramai benar-benar dikelilingi oleh bukit-bukit, di antaranya Bukit Zaitun, Gunung Sion, dan Gunung Moria.

Demikian jugalah Allah melingkupi umat-Nya—mendukung dan menjaga jiwa kita “dari sekarang sampai selama-lamanya.” Jadi, bila hari-hari kita terasa berat, pandanglah “ke gunung-gunung,” seperti yang dikatakan oleh pemazmur (mzm. 121:1). Allah siap menolong, dengan memberi kamu harapan teguh dan kasih abadi. —Patricia Raybon

Bagaimana kamu merasakan bahwa Tuhan melingkupimu dengan kasih-Nya? Kepada siapa kamu dapat membagikan kasih-Nya hari ini?

Tuhan, ketika kami menghadapi hari-hari yang sulit, lingkupi jiwa kami dengan kasih-Mu yang meneduhkan.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 4-6; Lukas 4:31-44

Mengenang Ayah

Rabu, 27 Maret 2019

Mengenang Ayah

Baca: Ayub 38:1-11

38:1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub:

38:2 “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?

38:3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.

38:4 Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!

38:5 Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? —Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?

38:6 Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya

38:7 pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?

38:8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, ketika membual ke luar dari dalam rahim? —

38:9 ketika Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan kekelaman menjadi kain bedungnya;

38:10 ketika Aku menetapkan batasnya, dan memasang palang dan pintu;

38:11 ketika Aku berfirman: Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. —Kolose 3:23

Daily Quotes ODB

Ingatan terbaik saya tentang ayah saya adalah membayangkan ia berada di luar rumah, sedang bertukang atau berkebun, atau berkutat di ruang bawah tanah, bekerja di ruang kerjanya yang berantakan dan penuh dengan berbagai jenis perangkat yang aneh-aneh. Tangannya selalu sibuk mengerjakan tugas atau proyek—kadang-kadang membangun sesuatu (garasi, dek, atau sangkar burung), lain waktu mengutak-atik kunci, atau bisa juga merancang perhiasan dan membuat kerajinan dari kaca timah.

Kenangan tentang ayah saya membuat saya teringat pada Bapa saya di surga, Sang Pencipta alam semesta yang selalu sibuk bekerja. Pada awalnya, “[Allah] meletakkan dasar bumi . . . [dan] menetapkan ukurannya . . . pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai”(ayb. 38:4-7). Segala sesuatu yang Dia ciptakan adalah karya seni, sebuah mahakarya. Dia merancang dunia yang begitu indah dan mengatakan bahwa semua itu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

Itu termasuk kamu dan saya. Allah merancang kita dengan sangat detail dan cermat (Mzm. 139:13-16); kemudian Dia mempercayakan dan menanamkan dalam diri kita (ciptaan yang segambar dengan Dia) tujuan dan kerinduan untuk bekerja, termasuk menguasai dan merawat bumi serta makhluk-makhluk di dalamnya (Kej. 1:26-28; 2:15). Apa pun yang kita lakukan—dalam pekerjaan atau di waktu senggang—Allah memperlengkapi dan memberikan apa yang kita butuhkan agar bisa bekerja sepenuh hati untuk-Nya.

Dalam segala hal yang kita lakukan, kiranya kita melakukannya untuk menyenangkan Dia. —Alyson Kieda

Apa yang telah Tuhan kerjakan dalam hidupmu baru-baru ini? Bagaimana hal itu mengubah pandanganmu bahwa tugas-tugas yang sepele sekalipun dapat dipandang sebagai kesempatan untuk melayani dan memuliakan Tuhan?

Allah terkasih, terima kasih karena Engkau memperlengkapi kami untuk melakukan pekerjaan yang Engkau mau kami lakukan.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-Hakim 1-3; Lukas 4:1-30

Tersembunyi di Balik Awan

Sabtu, 23 Maret 2019

Tersembunyi di Balik Awan

Baca: 2 Korintus 4:16-18

4:16 Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.

4:17 Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.

4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.

Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan. —2 Korintus 4:18

Daily Quotes ODB

Fenomena supermoon langka muncul pada bulan November 2016, ketika bulan pada orbitnya berada di titik terdekat dengan bumi dalam masa enam puluh tahun terakhir, sehingga terlihat lebih besar dan lebih terang dibandingkan pada waktu-waktu lain. Namun, sayang sekali hari itu langit di tempat saya berada sedang tertutup awan kelabu. Meskipun saya dapat melihat keindahan fenomena tersebut lewat foto-foto yang dikirim teman dari tempat lain, saat menengadah ke langit, saya perlu meyakini bahwa ada supermoon tersembunyi di balik awan.

Rasul Paulus menghadapi banyak kesulitan, tetapi ia percaya bahwa apa yang tidak kelihatanlah yang bertahan selamanya. Ia mengatakan bahwa “penderitaan ringan yang sekarang ini” akan menghasilkan “kemuliaan kekal” (2Kor. 4:17). Oleh karena itu, ia “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan,” karena yang “tak kelihatan adalah kekal” (ay.18). Paulus merindukan agar iman kita—seperti iman jemaat Korintus—bertumbuh, sehingga walaupun menderita, kita tetap percaya kepada Allah. Mungkin kita tidak bisa melihat Dia, tetapi kita percaya bahwa Dia memperbarui batin kita dari hari ke hari (ay.16)

Saya teringat kepada Allah yang tidak kelihatan tetapi kekal ketika saya menatap awan-awan hari itu dan mengetahui bahwa supermoon tersembunyi di baliknya. Saya pun berharap, apabila suatu saat nanti saya merasa Allah jauh dari saya, saya akan memusatkan perhatian pada apa yang tidak kelihatan. —Amy Boucher Pye

Apa maksudnya bagi kamu untuk memperhatikan yang tidak kelihatan? Bagaimana pengharapan kamu dalam Yesus menolongmu menghadapi segala kesulitan hidup?

Tuhan Allah, terkadang aku merasa Engkau jauh dariku. Tolonglah aku untuk mempercayai bahwa Engkau selalu dekat, entah aku dapat merasakan kehadiran-Mu ataupun tidak.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 13-15; Lukas 1:57-80

Dibuat Khusus dengan Tangan

Kamis, 21 Maret 2019

Dibuat Khusus dengan Tangan

Baca: Efesus 2:4-10

2:4 Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita,

2:5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan—

2:6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga,

2:7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.

2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,

2:9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. —Efesus 2:10

Daily Quotes ODB

Nenek saya sangat pintar menjahit. Ia selalu merayakan peristiwa penting dalam hidup saya dengan memberi hadiah sebuah hasil jahitannya sendiri. Sweter rajut berwarna merah anggur sebagai hadiah saya lulus SMA. Sehelai selimut warna pirus sebagai hadiah pernikahan kami. Saya suka membuka lipatan pada ujung setiap hasil jahitannya, karena saya akan menemukan sebaris tulisan khasnya yang berbunyi, “Dibuat khusus dengan tangan untukmu.” Lewat setiap kata yang tersulam, saya bisa merasakan kasih nenek saya dan keyakinannya pada masa depan saya.

Paulus menulis kepada jemaat di Efesus mengenai tujuan keberadaan mereka di dunia ini, dengan menggambarkan mereka sebagai “buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik” (2:10). Kata “buatan Allah” merujuk kepada karya seni atau mahakarya. Kemudian Paulus menyatakan bahwa karya tangan Allah yang menciptakan kita akan membuat kita melakukan pekerjaan baik dengan tangan kita—atau untuk mengungkapkan hubungan kita yang sudah dipulihkan dengan Yesus—demi kemuliaan-Nya di dunia ini. Kita tidak diselamatkan oleh perbuatan baik kita, tetapi ketika tangan Allah membentuk kita demi tujuan-Nya, Dia dapat memakai kita untuk membawa orang lain kepada kasih-Nya yang besar.

Hasil jahitan tangan nenek saya mengungkapkan kasih sayangnya kepada saya dan kerinduannya agar saya menemukan tujuan hidup saya di bumi ini. Dengan tangan-Nya, Allah membentuk hari-hari kita dengan sangat mendetail. Dia merajut kasih dan tujuan-Nya dalam hati kita agar kita bisa mengalami Dia dalam hidup kita dan memperlihatkan karya tangan-Nya kepada sesama kita. —Elisa Morgan

Menurutmu, apa yang Allah mau kamu lakukan sebagai tujuan penciptaan-Nya? Kepada siapa kamu bisa menunjukkan kasih-Nya hari ini?

Bapa, terima kasih Engkau telah membentuk diriku; tolonglah aku menyatakan diri-Mu kepada dunia.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 7-9; Lukas 1:21-38

Kehidupan yang Tiada Tara

Kamis, 14 Maret 2019

Kehidupan yang Tiada Tara

Baca: Kejadian 29:31-35

29:31 Ketika TUHAN melihat, bahwa Lea tidak dicintai, dibuka-Nyalah kandungannya, tetapi Rahel mandul.

29:32 Lea mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ruben, sebab katanya: “Sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku; sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku.”

29:33 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sesungguhnya, TUHAN telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai, lalu diberikan-Nya pula anak ini kepadaku.” Maka ia menamai anak itu Simeon.

29:34 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Lewi.

29:35 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Yehuda. Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi.

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada Tuhan.” —Kejadian 29:35

Daily Quotes ODB

Dalam sebuah acara TV, beberapa orang pemuda berperan menjadi murid SMA agar dapat lebih memahami kehidupan remaja. Mereka mendapati bahwa media sosial memiliki peranan yang sangat penting bagi remaja dalam mengukur harga diri mereka. Salah satu peserta mengamati, “Nilai diri [para pelajar] terkait erat dengan media sosial—tergantung dari berapa banyak ‘likes’ yang mereka dapat pada foto yang mereka unggah.” Kebutuhan untuk diterima orang lain dapat mendorong kaum muda bertindak ekstrem di dunia maya.

Keinginan untuk diterima orang lain sudah ada sejak zaman lampau. Dalam Kejadian 29, kita dapat memahami bagaimana Lea rindu dicintai oleh suaminya, Yakub. Itu terlihat dari nama tiga anak lelaki pertamanya—semuanya menyiratkan kesepian yang dirasakannya (ay.31-34). Sedihnya, tidak ada tanda-tanda Yakub pernah memberi perhatian yang didambakan Lea.

Setelah kelahiran putra keempatnya, Lea berpaling kepada Allah daripada suaminya, dan menamai anak itu Yehuda, yang berarti “pujian” (ay.35). Sepertinya Lea, pada akhirnya, memilih menemukan nilai dirinya dalam Allah. Ia menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah atas umat-Nya: Yehuda adalah leluhur dari Raja Daud, dan kemudian, Yesus.

Kita bisa mencoba mencari nilai diri kita lewat berbagai cara, tetapi hanya dalam Yesus kita menemukan identitas sejati sebagai anak-anak Allah, pewaris Kerajaan Allah bersama Kristus, yang akan hidup kekal bersama Bapa Surgawi. Seperti yang ditulis Paulus, tidak satu hal pun di dunia ini yang sebanding dengan “pengenalan akan Kristus Yesus, [yang] lebih mulia dari pada semuanya” (flp. 3:8). —Peter Chin

Dalam hal apakah, atau pada siapakah, kamu berusaha mendapatkan pengakuan dan penerimaan? Bagaimana iman kepada Yesus menyingkapkan identitas sejati kamu?

Bapa Surgawi, tolonglah aku memandang nilai diriku dalam Engkau dan bukan dalam hal-hal lain. Hanya dalam Engkaulah aku menemukan identitas sejatiku dan keindahan hidup yang tiada tara!

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 23-25; Markus 14:1-26

Selalu Menyertai Kita

Senin, 4 Maret 2019

Selalu Menyertai Kita

Baca: Matius 14:13-21

14:13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.

14:14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.

14:15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.”

14:17 Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”

14:18 Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”

14:19 Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.

14:20 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh.

14:21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.” —Matius 14:17

Daily Quotes ODB

Wanita itu memusatkan perhatiannya pada rak paling atas, tempat botol-botol saus spageti dipajang. Sudah sejak tadi saya berdiri di sampingnya, memperhatikan rak yang sama dan menimbang-nimbang. Akan tetapi, wanita itu sepertinya tidak menyadari kehadiran saya dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak sulit bagi saya untuk mengambil botol dari rak paling atas karena badan saya yang lumayan tinggi. Namun, tidak demikian dengan wanita itu. Saya menyapanya sambil menawarkan bantuan. Wanita itu sempat tersentak, lalu berkata, “Ya ampun, saya tidak sadar kamu ada di sini. Terima kasih bantuannya, Pak.”

Murid-murid Yesus menghadapi situasi yang cukup pelik—orang-orang yang kelaparan, lokasi yang terpencil, dan hari yang semakin larut. Mereka berkata kepada Tuhan, “Suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa” (Mat. 14:15). Ketika ditantang oleh Yesus untuk mengurus orang banyak itu, mereka menjawab, “Yang ada pada kami di sini hanya . . .” (ay.17). Yang mereka lihat hanyalah kekurangan mereka. Padahal, tepat di samping mereka berdiri Yesus, yang bukan hanya sanggup melipatgandakan roti, tetapi adalah Roti Hidup itu sendiri.

Sering kali kita terlalu sibuk memikirkan pergumulan hidup kita dan berusaha mencari jalan keluar dengan sudut pandang kita yang terbatas, sampai-sampai kita melupakan kehadiran Kristus yang telah bangkit itu. Padahal, dalam segala situasi kehidupan kita, Dia, Imanuel—Allah yang menyertai kita—selalu siap dan mampu menolong dalam kesesakan kita. —John Blase

Bagaimana kamu dapat meningkatkan kesadaranmu terhadap kehadiran Yesus? Mengapa penting bagi kita mendapatkan sudut pandang Tuhan dalam hal-hal yang kita hadapi?

Di mana pun kita berada dan apa pun tantangannya, Kristus, Imanuel, selalu menyertai kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 31–33; Markus 9:1-29

Interupsi dari Allah

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Di samping kuliah, aku terlibat dalam pelayanan untuk siswa SMA. Aktivitas ini membuat jadwal keseharianku menjadi penuh. Aku perlu meluangkan waktu untuk rapat, membicarakan pola pelayanan, juga berdoa bersama rekan-rekan sepelayananku. Itu belum ditambah dengan kegiatan perkuliahan dan pekerjaan lainnya yang semakin menambah padat jadwalku. Lama-lama, semua kesibukan itu terasa menjadi rutinitas buatku. Aku tahu pasti hal-hal apa saja yang harus kukerjakan pada setiap waktu. Tapi, tanpa kusadari, inilah yang menyebabkanku seringkali mengabaikan interupsi dari Allah pada setiap aktivitasku.

Interupsi dari Allah yang kumaksud di sini adalah gangguan yang terjadi pada jadwalku. Allah dapat melakukan banyak hal untuk membuat jadwal yang sudah kubuat ternyata tidak berjalan semestinya. Semisal, kereta yang kutumpangi terlambat ketika aku sudah datang ke stasiun tepat waktu. Kupikir tidak ada orang yang suka keterlambatan. Atau, ketika badanku sudah terasa lelah dan aku ingin langsung pulang ke rumah menggunakan transportasi paling cepat, eh, ada temanku yang mengajak pulang bareng dengan transportasi yang memakan waktu lebih lama. Buatku, itu semua terasa melelahkan.

Namun, setelah beberapa kali mengalami hal seperti itu, aku mendapati bahwa sebenarnya Allah punya rencana lewat semua hal yang terjadi dalam hidupku. Penantian kereta yang datang terlambat membuatku bisa terdiam sejenak dan merenung. Pulang bersama temanku yang melewati jalanan yang lebih jauh membuatku jadi bisa berbincang dengannya lebih lama. Dari perbincangan ini, aku jadi tahu bagaimana kondisinya, dan dia pun akhirnya bisa mendengar sharing ceritaku tentang pengalamanku bersama Allah.

Christine Caine dalam bukunya yang berjudul “Undaunted”, menceritakan kembali kisah Alkitab tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:30-37). Ada seseorang yang jatuh ke tangan penyamun hingga ia hampir mati. Dalam kondisinya yang kritis, ada tiga orang yang lewat di dekatnya, yaitu seorang imam, Lewi, dan orang Samaria. Imam dan orang Lewi melewati korban itu begitu saja. Tapi, orang Samaria, karena tergerak oleh belas kasih, menunda sebentar perjalanannya untuk menolong korban penyamun itu. Dalam kisah ini, imam dan orang Lewi tidak dikatakan sebagai orang jahat; tapi mereka adalah orang-orang beragama yang sibuk. Mereka begitu fokus menjalani rutinitas dan kegiatan ibadah mereka sampai-sampai mereka melewatkan seseorang yang seharusnya mereka tolong.

Aku tidak pernah memikirkan kisah orang Samaria dari perspektif ini sebelumnya. Aku tertegun dan merasa ditegur. Kesibukanku melayani di pelayanan siswa pernah membuatku menutup diri dari teman-teman kampusku yang ingin menemuiku untuk bercerita. Bahkan, kesibukan pelayananku ini seringkali membuatku lupa kepada rekan sepelayananku. Aku berfokus pada pelayananku sendiri: pada sekolah yang aku bimbing dan pada siswa-siswi yang aku layani. Aku lupa kalau aku juga punya rekan sepelayanan yang bukan robot. Mereka tentu punya pergumulan. Mereka butuh diperhatikan dan didengar, sesuatu yang juga dibutuhkan oleh semua manusia.

Satu-satunya perbedaan antara orang Samaria dengan imam dan orang Lewi adalah orang Samaria rela berhenti. Orang Samaria rela rencananya terganggu supaya dia dapat membantu orang asing yang menjadi korban penyamun. Orang Samaria mau merendahkan dirinya untuk mengangkat mereka yang susah.

Christine Caine, dalam buku “Undaunted” di halaman 168, menuliskan bahwa rendah hati dan merendahkan diri itu berbeda. Belas kasih hanyalah emosi dalam diri kita. Ketika belas kasih itu membuat kita bertindak, barulah belas kasih itu dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi nyata.

Kesibukan kita seringkali dapat membuat kita tidak melihat orang-orang di depan mata kita yang sekiranya perlu kita tolong. Waktu kita hanya fokus melihat ke depan tanpa memedulikan gangguan yang datang dari kanan dan kiri, Allah bisa saja menggunakan gangguan itu agar kita menjadi jawaban doa bagi seseorang.

Secara pribadi, aku merenungkan dan mendapati bahwa Allah tidak ingin aku hanya mengerjakan pelayanan utamaku saja tanpa tujuan. Tuhan, yang menempatkanku berada di kampus dan lingkungan pekerjaanku sekarang, rindu agar banyak orang dapat menikmati kasih-Nya lewat hidup setiap kita. Kiranya setiap kita dianugerahkan kepekaan terhadap rencana-rencana-Nya yang dapat menginterupsi jadwal dan rutinitas kita.

Baca Juga:

Tuhan, Anugerahkan Kepadaku Ketenangan

Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.

Teguran Allah yang Membuatku Kembali Pada-Nya

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

“Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setia-Mu. Hapuskan pelanggaranku seturut rahmat-Mu yang besar.”

Ketika lirik lagu yang diambil dari Mazmur 51 itu dinyanyikan, tanpa kusadari air mataku menetes. Hari itu adalah hari Rabu Abu tahun 2015, hari di mana aku menyadari akan betapa berdosanya aku dan betapa dulu aku berusaha menjauh dari Allah.

Beberapa bulan sebelumnya, karena tergiur akan pekerjaan yang menghasilkan cukup banyak uang, tanpa kusadari aku mulai menanggalkan kehidupan rohaniku. Jika dahulu aku selalu memulai hari dengan bersaat teduh, sekarang aku malah hampir tidak pernah melakukannya. Ke gereja, ikut persekutuan, bahkan memiliki waktu khusus untuk berdoa pun tidak karena aku terlalu sibuk mengurusi pekerjaan yang kulakukan di samping kuliah. Iman Kristen praktis hanya sekadar sebuah status di KTP, tanpa aku memiliki kerinduan untuk menghidupinya.

Suatu ketika, aku ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke tiga kota sekaligus. Di minggu pertama bulan Oktober, aku ditugaskan ke Bandar Lampung selama lima hari. Kemudian, seminggu setelahnya aku ditugaskan ke Bogor, dan di minggu ketiga aku kembali ditugaskan ke Madiun. Dari tiga perjalanan dinas tersebut aku mendapat tanggung jawab membawa uang tunai sejumlah 12 juta rupiah, jumlah yang sangat banyak untukku yang saat itu masih berstatus mahasiswa.

Jauh sebelum aku mengiyakan perjalanan dinas ini, sebenarnya aku telah lebih dulu mengiyakan untuk menjadi bendahara di acara retreat persekutuan di kampusku. Tapi, karena kesibukan pekerjaan yang kupikir lebih menggiurkan ini, aku pun mengingkari tanggung jawabku di retret itu.

Sebuah insiden pun terjadi. Di perjalanan dinasku yang ketiga, tepatnya di kota Madiun, tak sengaja aku kelupaan dan meninggalkan uang itu di sebuah sekolah. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, aku baru sadar kalau uang itu tertinggal saat kami telah tiba di Solo. Panik bukan main kurasakan saat itu. Badanku lemas. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika uang itu raib.

Dalam kondisi panik itu, temanku mencoba menenangkanku. Dia memintaku untuk pulang saja dulu, beristirahat, dan mencoba mengingat kembali bagaimana detail peristiwanya. Tapi, sulit sekali untuk berpikir jernih. Saat itu jam delapan malam, dan aku hanya bisa menangis karena dilanda kepanikan yang luar biasa. Seingatku, setelah melakukan presentasi singkat di sebuah sekolah, sepertinya uang itu tertinggal di dalam map yang kuletakkan di ruang guru. Jadi, kucobalah menelepon seorang guru di sekolah tersebut. Namun, jawaban yang kudapat tidak memuaskan. Katanya dia tidak melihat ada map yang tertinggal. Dan, katanya lagi, di hari Sabtu-Minggu sekolah itu tutup. Meski ada seorang yang menjaga sekolah, tapi orang itu mengalami gangguan pendengaran, sehingga dia tidak dapat mendengar suara bel apabila ada orang yang datang.

Aku hampir putus asa, tapi belum mau menyerah. Sampai di sini, aku coba untuk mengendalikan kepanikanku. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Di titik di mana kehilangan arah inilah akhirnya aku kembali datang kepada Tuhan. Aku berdoa, “Tuhan, ampuni aku, dan tunjukkanlah jalan buatku,” pintaku lirih.

Saat itulah aku sadar, bahwa selama ini aku telah kehilangan fokus. Aku tahu bahwa bukanlah suatu kesalahan untuk bekerja sembari kuliah dan mendapatkan uang lebih. Tapi, ketika pengejaranku akan uang mulai membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi yang utama dalam hidupku—kuliah dan berelasi dengan Allah—di sinilah Tuhan mengingatkanku untuk memperbaiki diriku.

Setelah berdoa dan memohon ampun, aku pun memutuskan untuk meminta maaf kepada teman-teman panitia retret terlebih dulu karena aku telah mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya sudah kusepakati lebih dulu. Jadi, dalam kondisi hujan, aku segera memacu sepeda motorku ke tempat retret dilaksanakan. Di sana aku menangis, menceritakan apa yang baru saja kualami, dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada mereka. Dan, setelah itu, aku juga memutuskan untuk kembali ke Madiun. Ditemukan atau tidaknya uang itu, aku harus berusaha mencarinya terlebih dulu.

Singkat cerita, setelah enam jam mengendarai motor sendirian dari Yogyakarta ke Madiun, aku pun tiba di depan sekolah yang kuduga uangku tertinggal di sana. Lima belas menit berlalu, aku memukul-mukul gembok pagar sambil berteriak permisi. Tapi, tak ada respons sama sekali. Mulai pudarlah harapanku. Namun, tiba-tiba sesosok kakek tua yang katanya memiliki ganguan pendengaran itu muncul tak sengaja melintas di balik pagar dan melihatku. Dia pun menghampiriku dan kepadanya kujelaskan singkat bahwa kemarin sepertinya aku ketinggalan sesuatu di sana.

Tepat di ruangan guru, aku menemukan sebuah map bening teronggok di samping kursi. Di dalam map itu terlihat jelas lembaran uang seratus ribuan. Segera kuraih map itu dan kupeluk erat. Kepanikanku luntur. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Sesuatu yang kukira hilang itu akhirnya kutemukan kembali. Singkat cerita, aku pun kembali ke Yogyakarta dan amat bersyukur karena uang yang hilang itu akhirnya ditemukan.

Satu hal yang kupelajari dari insiden nyaris kehilangan uang ini adalah Allah adalah Allah yang baik. Allah itu baik bukan karena Dia mengizinkanku menemukan kembali uang yang hampir hilang karena kecerobohanku. Tapi, Dia baik karena Dia tetap menyertaiku sepanjang perjalanan hidupku, bahkan saat aku berpaling menjauh dari-Nya. Sekalipun saat itu uang itu raib, mungkin aku akan stres luar biasa, tapi aku tetap percaya bahwa Dia akan tetap menyertaiku sebagaimana janji-Nya yang berkata: “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5).

Hari itu aku sadar, bahwa relasi dengan Allah bukanlah sebuah relasi yang bisa dibangun dengan ala kadarnya. Dalam teori komunikasi, relasi dapat terjalin apabila terdapat komunikasi dua arah yang menciptakan pemahaman bersama. Aku tak akan pernah memahami apa kehendak Allah apabila aku tidak mau meluangkan waktuku untuk mendengarkan suara-Nya. Relasi membutuhkan pengorbanan. Allah telah lebih dulu melakukan pengorbanan itu, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, aku pun memiliki akses untuk berbicara langsung kepada Allah. Hanya, seringkali aku tidak memanfaatkan akses ini. Kesibukan dan keasyikan dunia sering membuatku memilih menjauh dari Allah.

Aku perlu bijak. Aku perlu hikmat dari-Nya dalam setiap aktivitas yang kulakukan. Selepas peristiwa itu, aku kembali mengatur jadwalku, membagi waktuku dengan efektif antara kuliah, bekerja, dan melayani. Aku memang tidak sampai keluar dari pekerjaanku, karena memang aku membutuhkan uang. Tapi, aku memangkas sedikit waktu kerjaku. Uang memang kubutuhkan, tapi uang bukanlah sesuatu yang utama. Tatkala aku menyerahkan segalanya pada Allah, maka Dialah yang akan memenuhi semua kebutuhanku.

Berkaca dari peristiwa nyaris kehilangan yang kualami, aku pun jadi teringat akan kisah Daud. Ketika Daud jatuh ke dalam dosa karena mengambil Batsyeba, Nabi Natan menegurnya. Respons Daud saat itu adalah mengakui dosanya, menyesal, dan bertobat. Jika kita membaca secara lengkap Mazmur 51, di sana kita mendapati ungkapan penyesalan Daud. Daud sadar betul bahwa Dia telah berdosa di hadapan Allah, oleh karenanya dia memohon pengampunan daripada Allah, seturut kasih setia dan rahmat Allah yang besar.

Menariknya, Allah tidak memalingkan wajah-Nya dari Daud. Allah mendengar seruan Daud dan Daud pun memperbaiki kehidupannya. Hingga akhirnya, Alkitab pun mencatat Daud sebagai seseorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22).

Mungkin dosa yang kulakukan dengan mengabaikan relasi dengan Allah itu terlihat sepele. Tapi, yang namanya dosa tetaplah dosa. Syukur kepada Allah, karena Allah mengasihi setiap orang yang berkenan kepada-Nya dan tidak pernah meninggalkan mereka seorang diri.

“Barangsiapa Kukasihi ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19).

Baca Juga:

Puji Tuhan, Papa Kembali Mengikut Tuhan

Karena kekecewaannya kepada pemimpin gerejanya, Papa jadi menjauhi gereja dan Tuhan. Bahkan, sikap Papa kepada keluarga pun berubah menjadi buruk. Selama dua tahun aku dan keluargaku bergumul dengan Papa dan selalu berdoa agar dia dapat kembali pada Tuhan.