Pertama-tama, Jeff memang tidak punya nama belakang. Sejak ia bertobat, Tuhan Yesus terus menumbuhkan imannya hingga melanjutkan studi dan sekarang bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup di Singapura. Berbagai kelompok pemuridan yang ia ikuti menginspirasi Jeff untuk aktif memuridkan orang lain, terutama lewat tulisan. Di waktu luangnya, kamu bisa menemukan Jeff sedang bersekutu dengan teman, nature walk , atau membaca.

Posts

Melihat dan Memahami Injil Natal Lewat Tokoh Manga

Oleh Jefferson

“Dasar lu wibu!” canda teman-temanku. 

“Huh? Apa tuh ‘wibu’?” aku bertanya, bingung.

“Jeff, lu baru aja jelasin plot satu manga, itu berarti lu wibu.”

Percakapan di atas kurang lebih merangkum kali pertama aku mendengar kata “wibu”. Maaf kalau aku terdengar ketinggalan zaman. Aku memang tak begitu aktif di media sosial, yang kupahami mempopulerkan istilah ini di antara orang Indonesia. Kalau kamu juga tidak tahu, “wibu” dipakai – kerap dengan konotasi ejekan – untuk mendeskripsikan orang-orang yang kelihatannya terobsesi dengan budaya pop dari Jepang dan bahkan menganggapnya lebih unggul dibandingkan budaya-budaya lain.

Aku bilang “kelihatannya” karena tidak semua orang yang disebut “wibu” memiliki persepsi maupun obsesi seperti di atas. Kami hanya menikmati manga dan anime sebagai hiburan, tidak lebih dari itu. Maafkan kalau terkadang aku membicarakan tentang serial manga yang kuikuti dengan terlalu antusias, tapi aku percaya kamu dapat berempati dengan gairahku ini. Lagi pula, bukankah wajar jika kita membagikan sukacita kita atas sesuatu dengan penuh semangat kepada orang lain agar mereka juga bisa menikmatinya?

Itulah yang akan kulakukan dalam tulisan ini: berbagi tentang seorang protagonis dari salah satu serial manga favoritku dan bagaimana aku berempati dengannya. Tapi kita tak berhenti di situ: aku akan menghubungkan perenunganku tentang karakter tersebut kembali kepada Tuhan Yesus. Lewat refleksi yang tidak biasa yang menghubungkan manga dengan Injil ini, aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa: (i) kita bisa mengikut Tuhan Yesus dengan penuh komitmen dan tetap menikmati bentuk-bentuk hiburan di dunia ini dan (ii) Ia dapat ditemukan di dalam semua ciptaan, termasuk ciptaan tangan kita, ketika kita mencari-Nya dengan segenap keberadaan kita (Kis. 17:27, bdk. Yes. 55:6–7).

Mari kuperkenalkan kamu dengan, dari serial manga My Hero Academia (MHA):

Izuku Midoriya, pewaris One for All

Untuk memahami apa itu “One for All” dan signfikansi Izuku sebagai pewarisnya, pertama-tama kita perlu menyelami latar – dan sedikit sejarah – dari jagat MHA.

Serial manga ini mengambil tempat di dunia di mana hanya sebagian kecil populasinya yang tidak memiliki “quirk” (istilah MHA untuk kekuatan super). Maka keberadaan pahlawan dan penjahat adalah lazim di masyarakat. Para penjahat dikepalai All For One (AFO), penjahat yang quirk-nya dengan nama yang sama memampukannya untuk mencuri dan memakai quirk orang lain. Yang memimpin perlawanan para pahlawan melawan penjahat adalah All Might, yang memiliki quirk One For All (OFA).

Lima tahun sebelum cerita utama MHA, All Might sukses mengalahkan AFO sehingga ia dijuki “Simbol Perdamaian”. Namun, ada harga yang harus dibayar All Might untuk kemenangannya: luka parah yang membatasi hari-harinya sebagai Simbol Perdamian. Mengetahui bahwa AFO suatu hari akan kembali untuk menghancurkan perdamaian yang ia perjuangkan dengan keras, All Might mulai mencari pewaris yang layak untuk OFA dan mampu menyelesaikan misinya untuk menghentikan AFO untuk selamanya. Setelah pulih dari luka-lukanya, All Might mulai mengajar di almamaternya SMA U.A.

Masuk: Izuku Midoriya. Seorang tipikal remaja kutu buku, Izuku bercita-cita untuk mendaftar masuk ke U.A. dan menjadi seorang pahlawan hebat seperti All Might. Tetapi Izuku terlahir tanpa quirk, jadi bagaimana dia bisa mewujudkan cita-citanya ini? Kamu pasti bisa menebak apa yang kemudian terjadi: Izuku secara tidak sengaja bertemu All Might dan terlibat dalam sebuah kejadian di mana ia menunjukkan kepahlawanannya walaupun tidak memiliki quirk. Setelah kejadian itu lewat, All Might mengungkapkan rahasianya kepada Izuku dan memilih Izuku sebagai pewaris OFA. Dengan quirk barunya, Izuku berhasil bergabung ke SMA U.A. dan mulai berlatih untuk pada akhirnya menjadi Simbol Perdamaian menggantikan All Might.

Dari sini alur cerita MHA berjalan dengan cukup standar hingga, seperti semua cerita bagus lainnya, sang protagonis harus mengalami masa nadir sebelum mencapai klimaks kejayaannya. Sembilan bulan setelah belajar di U.A., Izuku terlibat dalam operasi rahasia untuk menangkap pengikut AFO. Apa daya, mereka berhasil kabur dari sergapan para pahlawan dan membebaskan AFO dari penjara. Kembalinya AFO mengembalikan kondisi masyarakat kepada kekacauan seperti masa sebelum ia dikalahkan All Might. Menghadapi AFO yang aktif mengejarnya untuk merebut kembali OFA, Izuku memutuskan untuk kabur dari U.A. bersama All Might untuk melindungi teman-teman kelasnya. Sebelum pergi, Izuku meninggalkan mereka surat yang menjelaskan tentang OFA dan alasan kepergiannya. Maka dimulailah misinya untuk melacak dan menghadapi AFO.

Namun, setelah beberapa waktu mencari petunjuk dan mengalahkan penjahat kiriman AFO, Izuku masih tidak dapat menemukannya sama sekali. Rasa letih memperberat beban yang Izuku pikul sebagai penerus OFA. Izuku pada akhirnya menjauhkan diri dari sekutu-sekutu yang telah membantunya sejauh itu, termasuk All Might, dan beroperasi sendiri dengan alasan untuk melindungi mereka dari bahaya. Perjalanan Izuku akhirnya mencapai titik nadir ketika berhari-hari pencarian dan pertarungan yang melelahkan membuat penampilannya lebih mirip penjahat daripada pahlawan, seperti yang ditunjukkan pada gambar di sebelah kanan.

Melihat diriku dalam Izuku Midoriya

Setelah mengetahui lebih banyak tentang Izuku dan MHA, aku ingin berbagi bagaimana aku berempati dengannya.

Sebagaimana Izuku menerima OFA dari All Might pada usia 14 tahun, aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku sembilan hari sebelum ulang tahunku yang ke-15. Hidup kami tidak pernah sama lagi: Izuku mulai sekolah di U.A., berlatih untuk menghadapi AFO, dan tumbuh menjadi pahlawan yang cakap; Tuhan memanggilku untuk belajar tentang lingkungan hidup di Nanyang Technological University di Singapura, di mana aku menjadi mahasiswa dari Indonesia satu-satunya di angkatan pertama jurusan itu. Setelah “berlatih” selama 4 tahun dan bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama 3,5 tahun, Tuhan memberikanku afirmasi terhadap panggilan-Nya untukku di dunia kerja, terutama di bidang sustainability / keberlanjutan yang sedang berkembang.

Aku pun memutuskan untuk membekali diri lebih jauh dengan mengambil gelar S-2 dalam bidang sustainable finance di National University of Singapore. Herannya – atau harusnya bisa kuduga? – sekali lagi aku menjadi satu-satunya orang Indonesia di angkatan pertama program master itu. Sekarang aku bekerja di institut NUS yang menaungi jurusan masterku, di mana aku menyelidiki bagaimana sektor-sektor pasar bisa menginternalisasi eksternalitas lingkungan dan sosial mereka lewat sustainable finance sehingga kita bisa beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim dengan lebih baik. Selain pekerjaan, aku melayani di beberapa pelayanan seputar pengajaran dan pemuridan: memimpin kelompok kecil, mengembangkan kurikulum gereja, mengajar di ibadah remaja, dan menulis di WarungSaTeKaMu dan blog.

Seperti yang kamu lihat, kombinasi pekerjaan dan pelayananku, pemuridan dan sustainable finance, agak tidak biasa. Tergantung pada sudut pandangnya, kombinasi panggilanku bisa dipandang sebagai suatu kehormatan atau beban: kehormatan, karena tidak semua orang dipanggil oleh Allah untuk merintis dan menemukan pekerjaan kerajaan-Nya di bidang yang sedang berkembang dan semakin relevan; beban, karena trailblazing / perintisan berarti kita sering kali harus berjalan sendirian dan hanya segelintir yang bisa memahami apa yang kita lalui. Tambahkan ke dalam situasi ini latar geografisku, sebuah negara yang terkenal sibuk, maka kamu dapat melihat godaanku setiap harinya untuk memandang panggilanku sebagai beban. Sayangnya, aku lebih sering jatuh ke dalam godaan itu. Seperti Izuku, aku merasa terbebani oleh panggilanku sampai-sampai aku berulang kali berpikir, “Tidak ada yang dapat mengerti aku, tidak ada yang bisa memikul bebanku, aku harus berjuang sendirian!”

Sekarang kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana Izuku dan aku bangkit dari masa nadir. 

Kami tidak melewatinya sendiri.

Ada orang lain yang datang menyelamatkan kami.

Bagaimana Izuku melewati masa nadirnya

Bagi Izuku, adalah teman sekelasnya di U.A. yang menyelamatkannya. Setelah mengetahui beban yang dipikulnya, teman-teman Izuku mengonfrontasi dan memintanya untuk kembali ke U.A. sehingga mereka dapat bersiap menghadapi AFO bersama-sama. Izuku mencoba melawan, tetapi pewaris OFA kedelapan yang sedang keletihan tidak berdaya melawan 19 pahlawan dalam pelatihan. Menyadari kesalahan tindakannya, Izuku meminta maaf kepada teman-temannya dan kembali ke U.A. bersama mereka sehingga ia bisa mendapat istirahat dan dukungan yang cukup untuk pertempuran final melawan AFO dan kroni-kroninya.

Kesimpulan yang “gampangan” dari kisah ini adalah bahwa orang-orang terdekat kita dapat menyelamatkan kita dari titik nadir dan membantu kita bangkit kembali ketika kita sedang terpuruk. Namun, jauh di dalam lubuk hati kita tahu bahwa kenyataannya tidak semudah itu. Mengapa? Karena keluarga dan teman-teman kita tidak akan selalu bersama kita sepanjang kita hidup. Beberapa bahkan mungkin akan meninggalkan kita sendirian dalam pergumulan kita karena mereka sendiri tidak mampu menanggung beban-beban mereka pribadi.

Jadi, kepada siapa kita bisa meminta bantuan ketika kita berada di titik nadir?

Bagaimana kita dapat melewati masa nadir kita bersama Kristus

Membaca bagian cerita Izuku ini (bab 316–325, Izuku berhadapan dengan teman-temannya di bab 320–322) mengingatkanku pada satu sosok dalam sejarah yang dibawa ke titik nadir, seperti Izuku dan aku, dan berhasil melewatinya dengan pengharapan.

Inilah yang ia katakan tentang penderitaannya dan cara ia menyelesaikannya:

(16) Pada pembelaanku yang pertama, tidak ada seorang pun yang mendukung aku karena semua telah meninggalkan aku. Semoga hal ini tidak dibalaskan atas mereka. (17) Namun, Tuhan berdiri di sampingku dan menguatkanku sehingga Injil dapat diberitakan sepenuhnya melalui aku, dan semua orang bukan Yahudi dapat mendengarnya. Dengan demikian aku dilepaskan dari mulut singa. (18) Tuhan akan menyelamatkan aku dari setiap perbuatan jahat dan akan membawaku ke kerajaan surgawi-Nya dengan selamat. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin. (2 Tim. 4:16–18 AYT)

Rasul Paulus menulis teks di atas sebagai bagian dari suratnya yang kedua kepada anak didiknya Timotius sekaligus surat terakhirnya sebelum ia meninggal. Setelah dibebaskan dari penjara di Roma dalam Kisah Para Rasul 28, Paulus terus melayani dan membagikan Injil Yesus Kristus di Roma dan kota-kota lainnya. Pelayanan penginjilannya menyebabkan Paulus dipenjara lagi di kota yang sama beberapa tahun kemudian. Di sanalah kita melihat Paulus sedang menulis di sudut gelap sel penjara kepada Timotius, kemungkinan sambil menggigil karena musim dingin (ay. 13). Setelah rekan-rekannya meninggalkannya dalam pengadilan yang pertama (ay. 16), Paulus meminta Timotius untuk datang menemaninya (ay. 9) sambil menunggu pengadilan berikutnya, yang kemungkinan akan berakhir dengan kematiannya (ay. 6).

Kita tentu paham kalau Paulus mengakhiri suratnya dengan nada keputusasaan, tapi bukan itu yang dicatat setelah ayat 16. Apa yang terjadi? Kita melihat Tuhan Yesus mendampingi Paulus, meneguhkan panggilan-Nya kepadanya dan menguatkannya untuk melewati masa nadir ini (ay. 17). Mengapa kehadiran Tuhan Yesus cukup untuk menyanggupkan Paulus bertahan dalam pemenjaraannya dan bahkan memuji Dia (ayat 18)? Karena Paulus tahu bahwa Yesus pernah mengalami kesepian dan penderitaan yang lebih parah daripada yang ia alami, bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Paulus sendiri (Kis. 19:5). Dan, setelah menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, Paulus tahu pasti bahwa Yesus Kristus selalu bersamanya melalui Roh Kudus di dalam dirinya (Rom. 8:9–11). 

Aku pernah membaca perikop ini beberapa kali, namun aku tidak memahami signifikansi di balik kata-kata Paulus sampai aku melihat ilustrasi The Bible Project untuk ayat 17: Paulus di dalam sel penjara yang dingin, dengan Tuhan Yesus berdiri di sampingnya menghiburnya. 

Aku tidak bisa tidak memperhatikan kemiripan antara gambar 2 Tim. 4:17 ini dengan satu adegan di bab 321 MHA, di mana salah satu teman Izuku berhasil menggegam tangannya, melambangkan kesediaan mereka untuk mendukungnya dalam misinya mengalahkan AFO:

Aku langsung teringat nama lain Yesus: Imanuel, Allah beserta kita (Mat. 1:23, Yes. 7:14).

Nama ini memiliki implikasi pribadi dan kosmis. Inilah Injil, yang secara harfiah berarti Kabar Baik: kalau Allah beserta kita, tidak ada satu titik pun di alam semesta yang berada atau terjadi di luar kendali-Nya, termasuk penderitaan kita (Rom. 8:28, bdk. Mat. 6:25–30). Yesus sebagai Imanuel berarti Allah tidak akan membiarkan ataupun meninggalkan kita sendirian (Ul. 31:8). Kita punya jaminan untuk janji-Nya, jaminan terkuat di antara semua jaminan yang pernah dan mungkin ada. Di dalam pribadi Yesus, aku menemukan Izuku sejati yang menanggung beban seluruh dunia, ditinggalkan dan dikhianati oleh oleh orang-orang yang dikasihinya, namun bertahan sampai akhir tanpa kehilangan diri-Nya. Di mana? Di salib Romawi yang merupakan titik nadir Natal, Yesus berseru dengan keras, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34 TB).

Lihatlah Anak Allah, sang Penulis seluruh ciptaan (Kej.1:3; Yoh. 1:3), pewaris sejati Allah Bapa (Rom. 8:17), turun ke dunia mengambil bentuk ciptaan-Nya untuk menyertai kita dan mengalami nadir terburuk yang dapat dirasakan oleh manusia sendirian. Untuk apa? Supaya mereka yang percaya kepada-Nya tidak akan pernah lagi sendirian melainkan berada dalam hadirat-Nya yang setia dan kekal. Perlukah kita bukti lain bahwa inilah satu-satunya Allah yang patut kita sembah dan bisa andalkan setiap saat, terutama pada momen-momen kita paling membutuhkan-Nya? 

Kalau Yesus menyertai Paulus selama ia dipenjara, Ia pun pasti menyertai kita, sampai akhir zaman pada kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 28:20).

Melihat Yesus Kristus dalam setiap kisah di dunia ini

Sangat mudah bagi kita untuk melupakan bahwa kita pun adalah orang berdosa yang tidak layak menerima keselamatan yang dikaruniakan Tuhan Yesus kepada kita, terutama jika kita melihat diri kita sebagai orang yang baik dan diberkati. Anugerah dan berkat yang kita miliki dapat menjadi menjadi kutukan dan beban yang membuat kita melupakan bahwa kita pun membutuhkan keselamatan dari Kristus. Izuku menderita amnesia ini, tapi teman-temannya mencari dan menyelamatkannya. Orang-orang terdekat kita mungkin melakukan hal yang sama kepada kita, namun pada akhirnya hanya Yesus yang bisa  menyelamatkan kita. Izuku dan teman-temannya masih perlu melawan AFO di pertempurang terakhir, namun Kristus telah memenangkan pertempuran tersebut bagi kita. Maka kita terus berjuang karena Dia telah menang telak atas dosa dan maut.

Ada banyak aplikasi yang bisa kita ambil dari renunganku, seperti berinisiatif untuk berbagi dengan orang-orang terdekat tentang kesulitan yang kita alami, seperti yang dilakukan Izuku dan Paulus dengan surat-surat mereka. Namun ada satu hal yang dapat kita lakukan untuk menangani amnesia kita sampai ke akarnya. Kuharap kamu setidaknya akan mengingat dan menerapkan aplikasi ini: ketika kelihatannya tidak ada jalan keluar dan kamu tidak merasa ingin datang kepada Allah sama sekali, biarlah Roh-Nya menggerakkanmu untuk mengingat kisah-kisah yang menggerakkanmu, lalu telusurilah jalur yang mereka tunjukkan kepadamu. Di sana, kamu akan menemukan sang Penulis Agung, Yesus Kristus, dan bersama-Nya segala hal (Rom. 8:32; 1 Kor. 3:21–23): kasih (Yoh. 15:9), kekuatan dan penyertaan (2 Tim. 4:17), ketenangan (Mat. 11:28–30), keberanian serta pengharapan (Mzm. 23:4, 6) untuk terus berjalan dalam panggilan-Nya bagimu.

Seperti yang ditulis almarhum Tim Keller dalam bab 2 bukunya The Hidden Christmas:

Jika Natal benar-benar terjadi, itu berarti seluruh umat manusia menderita amnesia, tetapi kisah-kisah yang paling kita sukai bukan sekadar pelarian yang menghibur. Karena Injil adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi, semua kisah-kisah terbaik akan terbukti benar pada hakikatnya.

Temukan kisah-Nya di balik semua kisah baik di dunia ini, maka kamu akan menemukan diri kamu tersembunyi di dalam-Nya (Kol. 3:3), tenang, tenteram, dan penuh harapan (Mzm. 131) di hadapan segala hal.

Di akhir tahun ini, semoga kamu menemukan Yesus Kristus selalu hadir, selalu dekat, selalu penuh kasih.

Selamat Natal, kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria!

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Beranikah Kamu Datang Merangkul Seterumu?

Oleh Jefferson

Beberapa minggu setelah Natal pertamaku di gereja, tepatnya pada awal 2013, banjir besar melanda berbagai sudut kota Jakarta. Salah satu bangunan yang kebanjiran adalah gedung gereja milik jemaat saudari (sister church) dari jemaat di mana aku sekeluarga beribadah. Sambil menunggu bangunannya selesai diperbaiki, semua aktivitas ibadah jemaat saudari kami digabungkan dengan jemaat kami, termasuk komisi remajanya.

Aku tidak menyangka bahwa orang-orang yang kujumpai dalam ibadah gabungan tersebut akan membangkitkan satu ingatan yang kukira telah lenyap hilang dalam rimba kenangan.

Kenangan Sebuah Perseteruan

Swung, tass, swung, tass. “Hahaha.”

Aku bisa mendengar jelas suara kotak pensilku yang dilempar dan ditangkap layaknya bola kasti oleh “teman-temanku”. Nada olokan di balik tawa mereka pun tak dapat dipungkiri. Dan di tengah kesulitan untuk merebut kembali kotak pensilku, tidak ada yang (berusaha untuk) membantuku. Beberapa orang hanya menonton seru dari bangku mereka seolah-olah kami sedang mengadakan pertandingan bola kasti, sementara yang lain menulikan diri terhadap keributan di kelas, sibuk dengan urusannya sendiri.

Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apa salahku sehingga mereka memainkan kotak pensilku begitu? Apakah karena aku anak baru di SMP ini? Atau akunya yang terlalu serius jadi perlu diajak ‘main’?” Makin lama aku makin geram. Dan melihat emosiku yang meningkat, mereka yang mengaku “teman-temanku” semakin menjadi-jadi.

“Permainan” ini hanya berakhir ketika bel kelas berbunyi, menandakan waktu istirahat telah selesai. Tepat sebelum guru masuk ke dalam kelas, “teman-temanku” mengembalikan kotak pensilku dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama istirahat. Suasana semu ini menyebar dengan cepat ke setiap sudut kelas. Tidak ada yang melapor kepada guru, termasuk aku, karena tidak ada dari kami yang ingin dicap sebagai pengadu.

Dalam cerita pertobatanku, peristiwa tersebut adalah salah satu dorongan penentu yang membuatku menolak keberadaan Tuhan dan merangkul paham Ateisme. Ini bukan pertama kalinya “teman-temanku”—termasuk anggota-anggota jemaat saudari dari gerejaku di masa depan—mempermainkan maupun mengabaikan aku. Keberadaan Tuhan yang sudah terasa samar-samar pada tahun pertamaku di SMP Kristen ini seketika dilenyapkan pada tahun kedua oleh mereka yang mengaku sudah Kristen sejak lahir. Perilaku “teman-temanku” tidak menyerupai Yesus Kristus sama sekali dan membawaku kepada kesimpulan bahwa iman Kristen tidak lebih dari kepercayaan yang ompong.

Maka ketika aku sendiri pada akhirnya dituntun oleh Kristus untuk percaya bahwa Ia adalah Allah yang sejati, aku diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: apa yang akan aku lakukan ketika aku menjumpai “teman-temanku” yang Kristen di lingkungan gereja?

Salah Satu Tujuan Kedatangan Pertama

Dalam perenunganku akan kejadian ini, Roh Kudus menuntunku kepada satu perikop dalam Efesus 2:11-20:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ”sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, –bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ”jauh”, sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Ialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.

Walaupun di bagian ini Paulus sedang membicarakan pendamaian yang diadakan Kristus di atas kayu salib antara Allah dengan semua orang, khususnya dengan orang non-Yahudi (ay. 11–13), aku menemukan bahwa kebenaran di dalamnya juga berlaku pada situasi yang aku hadapi. Aku semakin yakin ketika menyadari bahwa Paulus sedang berbicara kepada orang Kristen yang bukan Yahudi (ay. 11); dalam kasusku, “teman-temanku” yang mengaku Kristen sejak lahir adalah yang “bersunat” sementara aku yang percaya kepada Tuhan Yesus belakangan adalah yang “tak bersunat”. Lantas apa yang ingin Tuhan sampaikan kepadaku lewat perikop ini?

Bahwa di dalam Kristus, aku yang dulu bukan orang Kristen (“jauh”) dan diolok-olok mereka yang mengaku orang Kristen (“dekat”) sekarang turut menjadi bagian dari keluarga-Nya (ay. 13). Oleh darah-Nya, aku mendapatkan bagian dalam “ketentuan-ketentuan yang dijanjikan” dan “pengharapan… di dalam dunia” (ay. 12). Sang Allah Anak yang datang 2000 tahun lalu itu terlebih lagi telah mengadakan damai sejahtera di antara aku dan teman-temanku serta mempersatukan kami sebagai bagian dari tubuh-Nya (ay. 14–18). Oleh karena karunia-Nya, kami yang dahulu adalah seteru sekarang adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Seteru yang Dijadikan Kristus “Saudara”

Melihat ke belakang, aku tidak tahu apakah teman-temanku menyadari kesalahan mereka ketika mereka memperlakukanku begitu semasa SMP. Meskipun begitu, aku tahu dengan pasti bahwa Ia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati juga akan memampukanku (Rom. 8:11) untuk mengasihi musuh-musuhku (Mat. 5:44–45). Sebab Ialah batu penjuru yang mendasari hubungan antara sesama orang percaya (Ef. 2:20). Anggukan canggung disertai sapaan singkat ketika kami berpapasan di gereja menjadi langkah awal yang kuambil dalam perjalanan pemulihan relasiku dengan teman-teman.

Walaupun pada akhirnya banyak yang tidak berkembang lebih dari “kenalan di sekolah dan gereja” karena kepindahanku ke Singapura, ada seorang teman yang benar-benar menjadi saudara rohaniku di tanah perantauan. Karena hanya kami berdua dari angkatan kami yang melanjutkan studi ke Singapura, secara alamiah kami mulai sering berinteraksi dengan satu sama lain. Persaudaraan itu pun pelan-pelan bertumbuh, dari dimuridkan bersama dalam satu kelompok sampai akhirnya menjadi teman satu kos. Semuanya ini niscaya hanya dapat terjadi oleh karunia Tuhan Yesus sang “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (ay. 14).

Inilah Kerajaan yang dinyatakan Tuhan Yesus pada kedatangan-Nya yang pertama, di mana Ia “menciptakan [pihak-pihak yang bertikai] menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (ay. 15). Baik yang sudah Kristen sejak lahir maupun baru percaya kepada-Nya ketika dewasa, baik yang “tinggi” seperti orang-orang Majus maupun “rendah” seperti gembala, semua orang diundang tanpa terkecuali untuk berbagian di dalam damai sejahtera-Nya sebagai “anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Merayakan Natal sebagai Keluarga Allah

Selama masa pandemi COVID-19, kamu mungkin terkurung di rumah atau terdampar di luar kota sepertiku. Maka dalam ibadah Natal tahun ini, baik secara online maupun fisik, aku mengajakmu untuk mengamati dengan saksama orang di sekeliling dan depanmu: inilah saudara-saudari dan paman dan bibimu secara rohani yang Tuhan Yesus telah berikan lewat kedatangan pertama-Nya ke dunia. Bersama mereka, “kamu bukan lagi orang asing” (ay. 19).

Terlebih lagi, mari kita mendatangi dan mengajak mereka yang merasa kesepian selama pandemi—terutama seteru-seteru kita—untuk menjadi bagian dalam satu-satunya keluarga abadi yang dikepalai oleh Bapa yang Kekal (Yes. 9:6), sebagaimana Ia telah datang untuk mengundang kita.

Selamat merayakan kedatangan pertama Tuhan Yesus tahun ini bersama orang percaya di segala abad dan tempat, soli Deo gloria!

Panduan renungan

1. Apakah kamu pernah mengalami hal yang serupa dengan yang kuceritakan di atas? Bagaimanakah perseteruan yang kamu hadapi itu berakhir? Apakah seteru-seterumu pun turut menjadi saudara-saudaramu dalam keluarga Allah?

2. Baca kembali Efesus 2:11–22 dengan saksama. Tuliskan poin-poin kebenaran yang menggugah hati dan pikiranmu, terutama dalam kaitannya dengan pengalamanmu di nomor 1.

3. Adakah orang(-orang) yang ingin kamu ajak untuk bergabung dengan keluarga Allah pada perayaan Natal? Doakan nama-nama tersebut, pikirkan bagaimana kamu akan mendatangi dan mengundang mereka untuk mengikuti ibadah Natal, lalu ajaklah mereka dengan kekuatan dari Allah Roh Kudus.

“Dengan Segenap Keberadaan”: Mengenal Tuhan Lewat Disiplin Rohani Belajar

Oleh Jefferson

Setahun lalu, aku menulis tentang bagaimana aku belajar mengikut Kristus dari menggemari klub sepak bola Liverpool. Saking gemarnya aku terhadap Liverpool, aku pun hafal berbagai prestasi, strategi perekrutan, taktik permainan mereka, dll. Meskipun begitu, relasiku dengan Liverpool berhenti hanya pada “sebatas tahu”; aku tidak mengenal pemain-pemain maupun staf kepelatihan Liverpool secara pribadi.

Ilustrasi ini menunjukkan bahwa kita akan mencari tahu, mempelajari, dan mengingat hal-hal yang menarik perhatian kita, mungkin bahkan dengan antusiasme yang melebihi gairah kita terhadap Tuhan Allah sendiri.

“Bukannya tidak antusias, Jeff, tapi aku takut akan jadi sombong kalau tahu terlalu banyak,” mungkin respons ini muncul di benakmu.

Memang benar bahwa “[p]engetahuan membuat sombong…” (1 Kor. 8:1), tetapi balasan di atas yang terkesan rendah hati pun adalah bentuk arogansi yang terselubung: Aku terlalu “rendah” untuk kebenaran Allah. Arogansi inilah yang Paulus saksikan dalam orang-orang sebangsanya yang tidak mau percaya kepada Yesus. Mereka memiliki semangat untuk Allah, tetapi tidak berdasarkan pengertian; mereka hanya peduli dengan kebenaran versi mereka sendiri (Rom. 10:2-3). Ilusi pengetahuan inilah yang menghasilkan kesombongan.

Namun, jika kita menilik pada surat Paulus yang lain dalam 1 Korintus 8, ada jenis pengetahuan yang tidak menghasilkan kesombongan. Pengetahuan ini tidak hanya membuat kita menjadi rendah hati (ay. 2), tetapi juga melahirkan kasih yang membangun orang lain (ay. 1). Dari manakah asalnya? Allah yang adalah kasih (1 Yoh. 4:8) yang lebih dulu (1 Yoh. 4:19) mengenal dan mengasihi kita (ay. 3). Pemahaman “belajar” dalam konteks kasih Allah inilah yang akan kita pelajari lebih dalam.

Ketika membicarakan tentang “mengasihi Allah”, rasanya tidak mungkin kita tidak kembali kepada pernyataan Tuhan Yesus tentang kedua hukum yang pada mana “tergantung semua hukum Taurat dan kitab para nabi”. Kamu tentu tahu perikop mana yang kumaksud, bukan?

Belajar dari Tuhan Yesus tentang Belajar sebagai Penerapan Hukum yang Terutama

Matius 22:15–46 mencatat peristiwa yang kusebut “pertandingan intelektual empat ronde” antara Yesus dengan beberapa kaum cendekiawan pada masa-Nya. Dari pengalamanku mengikuti lomba debat Inggris SMA, pihak yang bergerak pertama biasanya memiliki kans menang yang lebih tinggi. Itulah yang “lawan tanding” Yesus coba lakukan dalam tiga babak pertama. Dengan maksud untuk “menjerat Yesus dengan ucapan-Nya” (ay. 15), mereka mengambil inisiatif serangan. Sayangnya, setiap peluru yang mereka tembakkan tidak sanggup untuk membuat lubang sekecil ujung jarum pun pada tembok pertahanan Yesus:

  1. Tentang hal membayar pajak kepada kaisar (ay. 15–21), Ia menjawab, “[B]ayarlah kepada kaisar hal-hal milik kaisar, dan kepada Allah hal-hal yang adalah milik Allah” (ay. 21);
  2. Terhadap pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan dari kematian (ay. 23–33), Yesus menghardik, “Kamu tersesat, tidak mengerti Kitab Suci ataupun kuasa Allah” (ay. 29) sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang kebangkitan orang mati; dan
  3. Terakhir, seorang ahli Taurat menguji Tuhan dengan satu pertanyaan sulit, “[P]erintah manakah yang terpenting dalam Hukum Taurat?” (ay. 36). Maka keluarlah Hukum yang Terutama itu dari mulut Yesus (ay. 37–39 TB):Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Inilah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Tuhan Yesus tidak hanya dapat melawan semua serangan yang datang kepada-Nya dengan penuh hikmat, Ia bahkan balik menyerang orang-orang Farisi pada ronde terakhir tentang hubungan Mesias dengan Raja Daud (ay. 41–46). Poin penting dari perikop ini bukanlah tentang Yesus yang menang telak dalam debat intelektual dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Sebaliknya, perikop ini menunjukkan bagaimana Yesus dalam keilahian-Nya sebagai Anak Allah pun memberikan diri-Nya untuk mempelajari Taurat Bapa-Nya sebagai seorang pembelajar yang intensional (bdk. Yoh. 7:15–16; Luk. 24:25–27). Meskipun Alkitab tidak mencatat tentang masa kecil Tuhan dengan lengkap, satu peristiwa yang Lukas catat terjadi ketika Yesus berumur 12 tahun berakhir begini: “Yesus pun bertumbuh semakin besar dan semakin bijaksana. Ia juga semakin disukai Allah dan manusia” (Luk. 2:52).

Karena tujuan kita mempraktikkan disiplin rohani adalah agar kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, adalah wajar bagi kita untuk bertanya, “Bagaimanakah aku dapat belajar sebagaimana Tuhan Yesus belajar?” Tentunya tidak dengan cara yang persis sama dengan bangsa Yahudi 2000 tahun lalu. Kita yang hidup di abad ke-21 dapat belajar seperti Kristus belajar dengan menarik prinsip-prinsip yang Ia praktikkan, yang lalu kita kontekstualisasikan untuk kehidupan masa kini. Itulah yang aku lakukan ketika membagikan tentang 7 tindakan menebus waktu dalam artikel ketiga.

Jadi, apakah prinsip pembelajaran yang Tuhan Yesus pegang?

Dari kehidupan Tuhan, penjelasan-Nya tentang Hukum yang Terutama, dan bagian-bagian Alkitab yang kukutip di awal, aku mendapati bahwa disiplin rohani belajar dapat diterapkan lewat dua tindakan:

LEARN (belajar) = Love + EARN

#1. Love (Mengasihi) Allah dengan segenap keberadaan kita (ay. 37)

Kalau kamu pernah membaca kitab-kitab Musa dengan saksama, kamu pasti bisa langsung menyadari bahwa kedua Hukum yang Terutama dikutip Yesus dari sana. Hukum pertama bisa kita temukan di Ulangan 6:4–5:

Dengarlah, hai Israel. TUHAN adalah Allah kita. TUHAN adalah satu. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.

Perhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak sedang salah mengutip ketika Ia hanya mengurutkan hati, jiwa, dan akal budi (ay. 37). Sementara bahasa Yunani (yang lazim dipakai oleh orang Yahudi di masa Yesus) dan modern menggunakan dua kata terpisah untuk emosi (“hati”) dan penalaran (“akal budi”) manusia, keduanya adalah satu dalam bahasa Ibrani (“hati” / lêbâb). Di sisi lain, “jiwa” berarti “energi kehidupan” sementara “kekuatan” digunakan dalam artian “sangat”, derajat superlatif yang menerangkan kata kerja utama “kasihilah”. Dengan kata lain, hukum pertama memerintahkan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap keberadaan kita: dengan setiap perbuatan, pikiran, dan perasaan kita, setiap saat, tanpa terkecuali. Dalam pengertian ini, tindakan kita mengasihi Allah dapat diwujudkan dengan mendisiplinkan diri untuk semakin mengenal Dia yang telah mengenal dan mengasihi kita (1 Kor. 8:3) bahkan sejak sebelum kita dikandung dalam rahim ibu (Mzm. 139:14–17). Kamu tidak sedang salah baca: salah satu cara kita mengasihi Kristus adalah dengan belajar.

Sayangnya, mungkin belajar—yang identik dengan membaca buku—adalah kegiatan yang (paling) kita benci sambil bertumbuh dewasa. Apa daya, sistem pendidikan masa kini pada umumnya memang berfokus hanya pada melatih nalar tanpa memperhatikan pertumbuhan perasaan dan kejiwaan. C. S. Lewis dalam bukunya The Abolition of Man memperingatkan bahwa menganakemaskan pertumbuhan nalar serta mengucilkan perkembangan emosi dan mental pada akhirnya hanya akan menghasilkan “manusia-manusia tanpa dada”. Sekitar 80 tahun setelah peringatan Lewis, kita mengamati dua hasil perkembangan yang kusebut di awal: antara kita menjadi sombong karena merasa tahu segala sesuatu (1 Kor. 8:1–2) atau karena merasa terlalu “rendah” untuk tahu lebih dalam tentang Allah (Rom. 10:2–3).

Puji Tuhan, kuasa keselamatan Kristus mengisi lubang di dada kita itu lewat berbagai cara belajar dan juga lewat praktik disiplin rohani! Belajar dalam terang Kristus (Mzm. 36:10) tidak selalu dilakukan dengan membaca buku; setiap orang memiliki gaya belajar dan metode masing-masing yang paling pas untuknya, e.g. mempraktikkan teori langsung di lapangan, mendengarkan podcast, merenung dalam jurnal, dan berdiskusi dengan sesama. Selain itu, kesembilan praktik disiplin rohani yang lain adalah cara-cara langsung dari Allah untuk kita belajar makin mengenali dan mengasihi-Nya. Ketika kita menyediakan waktu untuk belajar dengan berbagai metode, seluruh keberadaan kita bersekutu dengan Allah (1 Kor. 13:12) yang memenuhi alam semesta dengan kemuliaan-Nya (Hab. 2:14), yang mengasihi dengan mengirimkan Anak-Nya yang tunggal sebagai ganti korban dosa (Yoh. 1:29).

Ketika akal budi, jiwa, dan hati kita berpadanan dan saling melengkapi untuk mengenal dan mengasihi Allah dengan segenap kekuatan, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan pernah bisa mengenal Allah yang mulia sebagaimana mestinya di masa kini. Bukannya menjadi sombong, kita malah menjadi rendah hati dan bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus (2 Pet. 3:18, bdk. Ams. 9:9–10). Lebih lagi, lewat pembelajaran dari berbagai sumber, baik dari pengalaman kita sendiri maupun buku dan kesaksian orang lain, akal budi kita diperbaharui sehingga “dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Rom. 12:1–2). Menjadi semakin serupa Kristus lewat pembelajaran berarti bertumbuh dalam hikmat Tuhan sehingga kita dapat menavigasi hidup seturut dengan kehendak-Nya, baik dalam membuat keputusan, menunggu Tuhan, maupun setia dalam melayani-Nya.

Inilah kebenaran mendasar tentang disiplin rohani belajar: pengetahuan yang benar, jika dipadankan dengan perasaan dan tindakan yang benar, akan menghasilkan kasih kepada Allah yang membangun sesama dan memberikan sukacita terbesar dengan “dikenal oleh Allah” (1 Kor. 8:3).

Tetapi bagaimanakah kasih kita kepada Allah lewat disiplin rohani belajar dapat membangun sesama?

#2. EARN the favour of men / “Disukai… manusia” (Luk. 2:52; bdk. ay. 39, Yoh. 7:15)

Dalam kitab Injil, terkesan bahwa banyak orang berbondong-bondong datang kepada Tuhan Yesus terutama untuk disembuhkan. Meskipun begitu, kesembuhan bukanlah alasan utama orang-orang mencari dan mengikuti Yesus. Matius 4:23 mencatat urutannya dengan jelas: mereka datang kepada Yesus terutama untuk mendengar-Nya mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan pengenalan Yesus akan Allah Bapa merupakan bahan bakar-Nya untuk mengasihi dan menyembuhkan orang-orang yang datang kepada-Nya.

Lewat peristiwa kehidupan Tuhan Yesus di atas, kita melihat bahwa tindakan mengenal dan mengasihi Allah dengan benar akan menumbuhkan kasih kepada orang-orang yang Ia kasihi. Imamat 19:18 yang dikutip Tuhan Yesus di Matius 22:39 menegaskan mengapa Allah memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri: “[Dialah] TUHAN”. Apa maksudnya? atau, lebih tepatnya, siapakah TUHAN ini? Semua buku yang ada di dunia tidak bisa mendeskripsikan-Nya: Ia yang adalah empunya alam semesta (Mzm. 24:1), yang menciptakan manusia menurut rupa-Nya (Kej. 1:26–27), yang menebus dosa seluruh dunia dengan darah-Nya (1 Yoh. 1:17) dan menyambut mereka yang kembali kepada-Nya (Luk. 15:20).

Jadi Allah mau kita mengasihi sesama supaya kita, orang-orang yang telah ditebus-Nya dari dosa (2 Kor. 5:21), menjadi serupa dengan Kristus dalam kasih-Nya (Ef. 5:1–2). Lebih lagi, kita mengasihi seperti Kristus mengasihi supaya orang lain pun dapat mengenal dan mengasihi Yesus (1 Kor. 9:19–23) yang pada-Nya ada “ada kepenuhan sukacita” dan “kebahagiaan selama-lamanya” (Mzm. 16:11). Tapi bagaimana caranya orang lain dapat mengenal Tuhan Yesus lewat kita kalau kita sendiri tidak mengenal-Nya secara pribadi? Di sinilah pentingnya disiplin rohani belajar.

Sekali lagi, kita belajar bukan untuk menyombongkan diri atau dikagumi orang-orang, tetapi supaya bisa menjangkau orang lain lewat pengetahuan kita dan membagikan Injil kepada mereka. Dari pengalaman pribadiku, aku belajar bahwa dalam pelaksanaannya kita tidak bisa hanya memiliki pengetahuan yang bertambah; kita perlu menumbuhkan kasih dan kepedulian yang tulus kepada sesama (1 Kor. 13:1–2). Pemimpin kelompok pemuridanku dulu sering mengingatkan kami, Orang-orang tidak akan memperdulikan seberapa banyak yang kamu tahu sampai mereka tahu seberapa dalam kamu memperdulikan mereka.

Pengetahuan yang tunduk pada kasih Kristus: inilah yang aku coba terapkan dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, memimpin kelompok pemuridan, ketika memfasilitasi kelompok baca buku, dalam berelasi dengan teman-teman dan kolega-kolega, serta lewat berbagai tulisanku. Sangatlah mudah bagi kita untuk terlarut dalam seluk-beluk doktrin Tritunggal, argumen apologetis, dan pengalaman rohani sehingga kita melupakan tujuan akhir dari semuanya itu: kasih yang membangun (1 Kor. 8:1), yang mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Mat. 22:39), yang merendahkan diri sebagaimana Tuhan Yesus telah merendahkan diri-Nya (Flp. 2:1–8) agar orang-orang di sekitar kita memberikan diri “diperdamaikan dengan Allah” demi Kristus (2 Kor. 5:20b).

“Jadi [kita] ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati [sesama kita] dengan perantaraan [kita]” (2 Kor. 5:20a TB).

Belajar adalah Sebuah Disiplin

Untuk menutup seri disiplin rohani ini, aku ingin mengingatkanmu bahwa disiplin rohani pada dasarnya adalah sebuah “disiplin”. Untuk mempraktikkan disiplin rohani, kita perlu meminta kasih karunia dari Allah supaya kita dapat mengingini maupun mengerjakan hal-hal yang menyenangkan-Nya (Flp. 2:13). Don Whitney dalam buku “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen” mengingatkan, Mereka yang tidak mencoba untuk belajar hanya akan mendapatkan pengetahuan rohani dan alkitabiah secara kebetulan atau karena kemudahan. Kita harus menjadi pelajar yang disiplin dan intensional kalau kita ingin menjadi serupa dengan Yesus.

Tanpa disiplin dalam mempraktikkan disiplin rohani, hubungan kita dengan Tuhan tak akan pernah melebihi relasiku dengan para pemain Liverpool: tahu tentang, tetapi tidak mengenal.

Tanpa disiplin dalam mempraktikkan disiplin rohani, hubungan kita dengan Tuhan tak akan pernah melebihi relasiku dengan para pemain Liverpool: tahu tentang, tetapi tidak mengenal.

Akhir kata, doa Paulus dalam Efesus 3:16–21 menjadi doaku bagi kita semua yang berjuang untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus lewat berlatih “hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7):

Aku berdoa supaya sesuai dengan kekayaan kemuliaan-Nya, Ia berkenan mengaruniakan kepadamu kekuatan di dalam batinmu, dengan kuasa melalui Roh-Nya, sehingga Kristus berkenan tinggal di dalam hatimu melalui iman sehingga kamu berakar dan berdasar dalam kasih, dan agar kamu bersama semua orang kudus dapat memahami betapa lebar, dan panjang, dan tinggi, dan dalamnya kasih Kristus. Dengan demikian, kamu dapat mengenal kasih Kristus yang melampaui pengetahuan sehingga kamu dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah. Bagi Dia, yang sanggup melakukan jauh lebih melimpah daripada semua yang kita minta atau pikirkan, sesuai dengan kuasa yang bekerja di dalam kita. Bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan dalam Yesus Kristus bagi seluruh generasi sampai selama-lamanya. Amin.

Tuhan Yesus menyertai kamu dalam setiap pembelajaran dan pekerjaan baik (2 Kor. 9:8), soli Deo Gloria.

Pertanyaan refleksi:

  1. Bagaimanakah kamu memandang pengetahuan dan aktivitas belajar selama ini? Sebagai jalan untuk mengenal Allah lebih dalam atau pemicu kesombongan?
  2. Pembelajaran apa saja yang kamu dapatkan dari penjelasan di atas tentang Hukum yang Terutama (Mat. 22:37–40)?
  3. Bagaimanakah kamu akan mulai mempraktikkan disiplin rohani belajar sebagai L + EARN?

Ketika Metode Bertemu Realita: Bagaimana Melakukan Disiplin Rohani

Oleh Jefferson

Dalam artikelku sebelumnya, aku telah membagikan kepadamu apa yang kupelajari selama 10 tahun terakhir tentang disiplin rohani: kaitannya dengan “kesalehan”, bagaimana definisi “kesalehan” menurut Kekristenan jauh berbeda dengan yang dunia pahami, serta berbagai bentuk praktik disiplin rohani menurut Firman Tuhan.

Melanjutkan pembahasan di atas, tulisan ini akan menjelaskan tiga prinsip yang menolong kita untuk mempraktikkan disiplin rohani dalam kesalehan Kristiani, sebelum mengarahkan kita kepada satu janji Allah yang menopang kita untuk terus melatih diri kita “untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b).

“Bagaimanakah seharusnya melakukan disiplin rohani?”

Inilah prinsip pelaksanaan disiplin rohani pertama dariku: kita “berlatih dalam kesalehan” lewat disiplin-disiplin rohani dalam Alkitab agar dapat semakin mengenal, mengasihi, dan menyerupai Kristus. Seperti yang telah dijelaskan dalam jawaban untuk pertanyaan pertama di artikel sebelumnya, sasaran inilah yang harus menjadi fokus kita, bukan praktik disiplin rohani itu sendiri. Kalau kita berfokus pada praktik dan kesalehan moral semata, antara kita akan larut dalam kegagalan berdisiplin karena natur dosa kita atau akan bermegah di luar Allah karena “kesuksesan” kita berdisiplin rohani. Jelas keduanya bukan hasil yang kita inginkan, apalagi Tuhan! Oleh karena itu, “berlari[lah] dengan tekun pada perlombaan yang disediakan di hadapan kita” dengan mata yang “tertuju pada Yesus, Sang Pencipta dan Penyempurna iman kita” (Ibr. 12:1–2).

Prinsip kedua kurumuskan berdasarkan satu kata kunci dalam ayat yang kukutip dalam pembuka tulisan ini, “latihlah dirimu untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b). Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “latihlah” adalah gymnaze. Terdengar familiar? Betul, ini adalah akar kata dari gymnasium, yang selama pandemi COVID-19 mungkin pindah ke ruang tamu atau kamar tidurmu dalam rangka menjaga kebugaran tatkala tidak bisa keluar rumah. Paulus memakai analogi perlombaan untuk menjelaskan proses pertumbuhan rohani dan kesalehan dalam beberapa suratnya karena analogi ini memang tepat: atlet-atlet berlatih menguasai diri dengan keras untuk mengejar mahkota kemenangan yang fana, tetapi pengikut-pengikut Kristus berlari untuk mendapatkan mahkota yang abadi (1 Kor. 9:25). Lebih lagi, dalam arena kehidupan di mana semua orang berlari menurut jalan pilihan masing-masing, hanya sedikit yang akan menemukan gerbang sempit yang menuju kepada kehidupan (Mat. 7:14, bdk. 1 Kor. 9:24), jadi kita perlu mempraktikkan disiplin rohani hari demi hari dengan intensional dan disiplin (1 Kor. 9:27). Berdisiplin rohani tanpa disiplin pada dasarnya adalah seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin (1 Kor. 9:26); kita tidak akan pernah mencapai sasaran daripada disiplin rohani, yaitu keserupaan dengan Kristus.

Terakhir, kita perlu melakukan disiplin rohani baik secara pribadi maupun secara komunal bersama saudara-saudari seiman. Senada dengan dorongan Paulus kepada Timotius untuk tidak hanya bertekun dalam Firman tetapi juga mengajarkannya kepada jemaat Efesus (1 Tim. 4:6–7), penulis surat Ibrani mendorong kita untuk “saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (10:24 TB). Bagaimana caranya? Lewat persekutuan dan pertemuan ibadah, di mana kita “saling menguatkan, terlebih lagi karena kamu tahu bahwa Hari Tuhan sudah semakin dekat” (Ibr. 10:25). Ya, karena kedatangan Tuhan Yesus yang kedua pasti segera terjadi, marilah kita semakin giat bertemu dan bersekutu dengan-Nya, baik secara pribadi maupun dengan orang-orang percaya lainnya.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas saudara-saudari yang Ia telah tempatkan dalam hidupku untuk bersama-sama berdisiplin rohani. Lewat berbagai sharing dan diskusi, rencana baca Alkitab dan saat teduh tahunan yang biasanya kujalani sendiri jadi lebih berwarna dan berbobot. Melanjutkan analogi perlombaan, kehadiran rekan-rekan yang berlatih bersama kita pastinya akan meningkatkan semangat dan memperluas pemahaman kita sendiri.

Itulah ketiga prinsip yang kupelajari dan terapkan dalam sepuluh tahun terakhir. Di atas kertas kelihatannya mudah, namun ada kenyataan yang perlu kita sadari dan ingat agar dalam “berlatih dalam kesalehan” kita tidak menjadi tawar hati (bdk. 2 Kor. 4:16).

“Bukan sekarang, tapi 60 tahun lagi”

Kata-kata itu keluar dari mulut kakak pembina di persekutuan kampusku dulu dalam perjalanan kami kembali ke kantor masing-masing sehabis makan siang. Pertemuan ini kami adakan setelah sekitar 2 tahun tidak bertemu satu sama lain karena kesibukan kami masing-masing.

Aku sedang bersiap-siap turun di stasiun MRT berikutnya ketika beliau berkata kepadaku dengan setengah bercanda, “Jangan lupa keep in touch ya, jangan sampai ketika aku ketemu kamu lagi, kamu malah sudah punya anak.”

“Tenang saja Kak, aku akan kabari kalau sudah punya pasangan,” jawabku geli.

“Ya, ya,” balasnya. Ada keheningan selama beberapa detik sebelum beliau melanjutkan begini, “Ingat ya Jeff, aku tidak akan menilai kamu berdasarkan siapa kamu sekarang, tetapi siapa kamu 60 tahun lagi, itu yang menentukan.”

Kebingungan menerima kata-kata tersebut, aku bertanya, “Maksudnya gimana, Kak?”

“Iya, kerohanianmu dan semangatmu melayani saat ini mungkin baik, tapi siapa yang tahu hubunganmu dengan Tuhan 60 tahun lagi, apakah masih baik atau tidak? Di tengah dunia yang berdosa, kita hanya bisa berharap kepada Tuhan bahwa Dia akan terus menjaga iman kita sampai akhir.”

Bersamaan dengan balasan beliau, aku pun tiba di tempat tujuan. Setelah bertukar “Sampai jumpa” dengan kakak pembinaku, aku bergegas turun dari kereta. Sambil berjalan kembali ke kantor, aku larut dalam perenungan, memikirkan kata-katanya.

Perihal pembahasan kita dalam dua tulisan ke belakang, kurasa kata-kata kakak pembinaku sangatlah tepat. Berdisiplin rohani untuk hidup dalam kesalehan, dalam keserupaan dengan Yesus Kristus, terdengar mudah ketika dibaca di atas gadget. Namun pengalaman mengajarkanku bahwa disiplin dan kesetiaan kepada Tuhan tidak mungkin dilakukan secara konsisten oleh usaha manusia semata, apalagi di tengah-tengah dunia yang berdosa dan membenci Tuhan yang kita sembah (Yoh. 15:18). Berbagai perlawanan akan kita hadapi dalam mempraktikkan disiplin rohani, baik dari dalam diri kita sendiri (e.g. keengganan kita membaca Alkitab yang begitu tebal) maupun dari luar (e.g. daya tarik Netflix ketika kita seharusnya doa malam, sindiran teman ketika kita memilih untuk menghadiri persekutuan doa gereja ketimbang pergi hang out bersama mereka). Kata-kata tekad mudah diucapkan, tapi apakah kata-kata itu akan dipegang atau tidak sampai kita bertemu dengan Tuhan Yesus muka dengan muka, semuanya hanya bergantung pada kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan memampukan (1 Tim. 4:10).

Oleh karena itu, aku ingin mengarahkanmu kepada Filipi 1:6 yang memberikan kita pengharapan bahwa bukan kita yang memampukan diri kita untuk berdisiplin rohani untuk menjadi serupa Tuhan Yesus, melainkan Allah sendiri:

Aku sungguh yakin bahwa Ia yang telah memulai pekerjaan baik di antara kamu, Ia juga yang akan menyempurnakannya sampai hari Yesus Kristus.

Akhir kata, kejarlah Kristus, kejarlah Dia dengan penuh disiplin dan bersemangat, kejarlah Dia bersama saudara-saudari seiman lainnya hingga bertemu dengan-Nya muka dengan muka di akhir kehidupan kita di dunia ini.

Tuhan Yesus menyertai kamu dalam latihan “untuk hidup dalam kesalehan”, soli Deo Gloria.

Pertanyaan refleksi

  1. Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? dengan mata tertuju pada usaha sendiri atau pada Tuhan Yesus (Ibr. 12:2)?
  2. Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin, atau “melatih tubuh[mu] dengan keras dan menguasainya” (1 Kor. 9:27)?
  3. Bagaimanakah kamu dapat mulai berdisiplin rohani bersama dengan orang-orang percaya lainnya?

Catatan:
kecuali bagian-bagian yang memiliki singkatan TB / ESV, kutipan-kutipan Alkitab dalam tulisan ini memakai terjemahan Alkitab Yang Terbuka (AYT).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Disiplin Rohani: Perlukah Menjadi Orang Saleh di Abad Ke-21?

Disiplin rohani dan kesalehan, kita mungkin tidak asing dengan dua istilah ini, tapi sejauh mana kita memahami keduanya sebagai sebuah cara hidup orang Kristen? Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari #SeriDisiplinRohani ini.

Disiplin Rohani: Perlukah Menjadi Orang Saleh di Abad Ke-21?

Oleh Jefferson

Pada 2 November yang akan datang, secara rohani aku akan genap berusia satu dekade. Sepuluh tahun yang berlalu sejak pertobatanku terasa begitu panjang dan singkat; panjang, karena ada begitu banyak pengalaman hidup yang telah kulalui (dan segelintir darinya aku bagikan lewat tulisan); singkat, karena rasanya baru kemarin aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.

Rasanya baru kemarin juga aku menerima undangan untuk menulis tentang disiplin rohani. Topik ini cukup familiar karena pernah kubahas dalam beberapa tulisan terdahulu. Melihat kesempatan ini sebagai anugerah dari Tuhan untuk sekali lagi membagikan pembelajaranku bersama-Nya lewat tulisan, keempat artikel dalam seri ini kutulis sebagai kristalisasi dari pengalamanku “berlatih dalam kesalehan” selama ~10 tahun terakhir.

Untuk memulai penjelajahan kita tentang disiplin rohani selama beberapa minggu ke depan, kita perlu pertama-tama mempelajari dasar-dasar daripada disiplin rohani itu sendiri, yang kurangkum dalam dua pertanyaan besar.

“Apa itu ‘disiplin rohani’ menurut Kekristenan?”

Walaupun istilah “disiplin rohani” tidak pernah disebut secara eksplisit dalam Alkitab, konsep ini tersirat dalam berbagai bagiannya, terutama di Perjanjian Baru. Perumusan terjelasnya terkandung dalam 1 Timotius 4:7b, “latihlah dirimu untuk hidup dalam kesalehan”. Dari ayat ini, kita memahami bahwa “disiplin rohani” pada dasarnya diartikan menurut tujuan yang ingin dicapai, yaitu “kesalehan” atau godliness (ESV). Dengan kata lain, disiplin rohani hanyalah cara untuk mencapai kesalehan dan bukanlah kesalehan itu sendiri.

Mendengar kalimat di atas, kamu mungkin berpikir, “Jadi apa bedanya disiplin rohani Kristen dengan tindakan agamawi kepercayaan lain kalau tujuan akhirnya sama, yaitu kesalehan?”

Untuk menjawab keberatan di atas, kita perlu mengklarifikasi apakah definisi “kesalehan” yang dimaksud Paulus dalam 1 Timotius 4:7b sama dengan pemahaman pada umumnya, yaitu “sikap hidup pribadi yang tidak berdosa/bercela”. Pembacaan ayat-ayat sebelum (ay. 1–7a) dan sesudahnya (ay. 8–10) membantu kita menguraikan kebingungan ini.

Pertama-tama, 1 Timotius 1:1–7a menjelaskan latar belakang ayat 7b: akan ada sebagian jemaat Efesus yang meninggalkan iman mereka “dengan menyerahkan diri kepada roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (ay. 1). Orang-orang ini mengharamkan hal-hal baik yang diciptakan oleh Allah, seperti pernikahan dan makanan tertentu (ay. 3–5), dan mempercayai berbagai takhayul (ay. 7a). Terhadap latar kebejatan inilah Paulus mengarahkan Timotius untuk tidak hanya mengajarkan “perkataan-perkataan iman dan ajaran sehat” kepada gereja di Efesus (ay. 6), tetapi juga melatih dirinya “untuk hidup dalam kesalehan” (ay. 7b). Dari ayat-ayat ini, kita mempelajari bahwa disiplin rohani dipraktikkan agar kesalehan dapat dihidupi baik secara pribadi maupun komunal; kita berlatih untuk hidup menurut “perkataan-perkataan iman dan ajaran sehat” dalam Firman Tuhan agar dapat mengenali dan menjauhi berbagai ajaran yang menyimpang dari kebenaran Kristus serta membantu sesama orang percaya melakukan hal serupa untuk mencapai kesalehan.

Ayat 8 memperjelas alasan di balik dorongan Paulus: karena kesalehan “mengandung janji untuk kehidupan sekarang dan juga kehidupan yang akan datang”. Don Whitney dalam bukunya “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen” mengidentifikasi janji tersebut sebagai keserupaan dengan Kristus, baik di masa kini maupun di masa depan. Rasul Yohanes menulis dengan yakin bahwa ketika Kristus datang kedua kalinya, “kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1 Yoh. 3:2). Perintah Tuhan dalam Ibrani 12:14 lebih lanjut menjangkarkan janji itu di masa sekarang, “kejarlah kekudusan [yang berhubungan erat dengan “kesalehan”], sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan”. Jadi kita berdisiplin rohani, melatih diri untuk hidup serupa dengan Kristus, supaya dapat melihat kehadiran Kristus secara nyata dalam kehidupan kita di masa kini dan mempersiapkan diri menikmati kekekalan bersama dengan-Nya ketika Ia nanti datang yang kedua kali.

Faktor pembeda terakhir yang perlu kita perhatikan adalah peranan manusia dalam praktik agamawi. Kepercayaan-kepercayaan lain pada umumnya mengajarkan praktik agamawi sebagai jalan untuk mendapatkan keselamatan. Implikasinya adalah manusia harus secara aktif mengejar keselamatan lewat berbagai bentuk kesalehan; kesalehan hanyalah hasil dari praktik agamawi. Keyakinan ini bertolak belakang dengan Kekristenan, yang percaya bahwa kesalehan yang sempurna telah dihidupi oleh Yesus Kristus sehingga orang-orang yang percaya kepada-Nya mempraktikkan disiplin rohani untuk menjadi serupa dengan-Nya, bukan untuk memperoleh keselamatan (bdk. 1 Kor. 1:30–31). Kesalehan yang merupakan keserupaan dengan Kristus adalah penyebab sekaligus sasaran dari disiplin rohani, bukan hasil usaha manusia berdosa, “supaya tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri” (Ef. 2:9). Karena keselamatan diberikan Allah kepada kita oleh karunia-Nya semata, kita mempraktikkan disiplin rohani dengan sepenuhnya “menaruh pengharapan kepada Allah yang hidup” (ay. 10), yang telah membuat Kristus “yang tidak mengenal dosa… menjadi dosa karena kita supaya kita dibenarkan Allah di dalam Dia” (2 Kor. 5:21). Ya, untuk janji di kehidupan sekarang dan yang akan datang “itulah kita bekerja keras dan berjuang” (ay. 10), “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Kor. 15:10 TB).

Jadi, apa itu ‘disiplin rohani’ menurut Kekristenan? Secara singkat, “praktik-praktik pribadi dan komunal yang melatih setiap pengikut Kristus untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya dan mempersiapkan kita menikmati kekekalan bersama-Nya”.

Definisi ini jelas berbeda dari tindakan agamawi kepercayaan-kepercayaan lainnya bukan?

“Apa saja bentuk-bentuk disiplin rohani?”

Sebelum sepenuhnya bergeser dari konsep disiplin rohani menuju bentuk-bentuk praktiknya, kita perlu menyadari adanya bahaya dari ketiadaan batasan bentuk disiplin rohani. Kalau kita “kecanduan” pada perasaan dekat dengan Allah lewat aktivitas-aktivitas tertentu—yang mungkin hanya berlaku untuk diri kita saja—seperti berkebun dan berolahraga, kita dapat melabeli setiap hal sebagai “disiplin rohani”. Don Whitney melanjutkan dalam “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen”, … lebih parahnya lagi, ini berarti bahwa kita sendirilah yang menentukan praktik-praktik mana saja yang paling baik untuk kesehatan dan kedewasaan rohani kita, bukannya menerima dan melakukan praktik-praktik yang telah Allah ungkapkan dalam Alkitab; dengan kata lain, kita mencoba menggeser Allah dari tempat-Nya sebagai Tuhan atas hidup kita.

Kalau begitu, apa saja bentuk-bentuk disiplin rohani yang Alkitabiah? Don Whitney mencatat paling tidak ada 10 praktik yang paling menonjol dalam Alkitab, sebagai berikut:

  1. Bergaul dengan Firman / Bible intake (2 Tim. 3:14–17; Ez. 7:10; Mzm. 119)
  2. Berdoa (Mat. 6:5–9; 1 Tes. 5:17; Lk. 11:1; Mrk. 1:35–39; Mzm. 19)
  3. Beribadah (Yoh. 4:23–24; Ibr. 10:24–25; Mrk. 12:30; Why. 4:8)
  4. Memberitakan Injil (Mat. 28:18–20; Mrk. 16:15; Yoh. 20:21; Kis. 1:8)
  5. Melayani (Ibr. 9:14; Mzm. 100:2; 1 Sam. 12:24; Yoh. 13:12–16)
  6. Penatalayanan / stewardship (Ef. 5:15–16; Yoh. 9:4; 1 Tim. 5:8; 2 Kor. 9:7)
  7. Berpuasa (Mat. 6:16–18, 9:14–15; Ez. 8:23; Kis. 14:23; Mzm. 35:13)
  8. Bersaat teduh / silence and solitude (Kol. 3:2; Mat. 14:23; Lk. 4:42; Yes. 30:15)
  9. Menulis jurnal (Mzm. 86:1, 62:8, 102:18; Rom. 12:3; Ul. 17:18)
  10. Pembelajaran / learning (Mat. 22:37–39; Ams. 10:14, 18:15; Rom. 12:1–2)

Kamu mungkin sangat familiar dengan beberapa praktik di atas dan merasa bisa bertumbuh tanpa perlu mempraktikkan semua yang ada dalam daftar, namun aku ingin mendorongmu untuk mencoba melakukan semuanya, satu demi satu. Mengapa begitu? Karena kesepuluh praktik ini adalah jalan-jalan yang Tuhan rancang sendiri dan berikan kepada kita agar kita dapat bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Anak-Nya (bdk. 2 Tim. 3:16–17). Kalau misalkan ada aktivitas-aktivitas lain yang telah dirancang Allah untuk melakukan tujuan yang sama, tentunya mereka pasti dicatat oleh Firman-Nya, bukan?

Masih ada satu pertanyaan besar lagi yang karena keterbatasan waktu tidak bisa kujawab sekarang, yaitu tentang bagaimana melakukan disiplin rohani. Tenang saja, pertanyaan itu akan kubahas minggu depan, beserta dengan catatan satu percakapanku dengan seorang kakak pembina, yang tanpa kuduga-duga merangkum dengan sangat baik realita manusia yang mempraktikkan disiplin rohani.

Semoga artikel ini membantu kamu dalam mulai berdisiplin rohani di dalam Kristus. Sampai jumpa dalam tulisan berikutnya, Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo Gloria.

Pertanyaan refleksi:

  1. Apa pengertianmu tentang disiplin rohani sebelum membaca tulisan ini?
  2. Apa motivasimu mempraktikkan disiplin rohani selama ini? untuk menjadi saleh dan mendapat pahala dari Allah, atau untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus?
  3. Disiplin-disiplin rohani mana saja yang telah kamu praktikkan selama ini? Adakah disiplin tertentu yang belum pernah kamu telusuri dan bisa kamu lakukan dalam waktu dekat, baik secara pribadi maupun bersama orang lain, untuk dapat semakin mengenal dan mengasihi Tuhan Yesus?

Catatan:
kecuali bagian-bagian yang memiliki singkatan TB / ESV, kutipan-kutipan Alkitab dalam tulisan ini memakai terjemahan Alkitab Yang Terbuka (AYT).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Manfaat Melakukan Disiplin Rohani

Jika kita ingin sungguh-sungguh hidup dalam Tuhan, kita tidak boleh menghindar dari disiplin rohani. Ketika kita melatih diri lewat berdoa, saat teduh, dan bersekutu, di situlah kita membangun relasi yang erat dengan-Nya. Sekalipun tantangan dan godaan selalu datang, tetapi Tuhan sendirilah yang memampukan kita.

Ketika Hidup Ditilik oleh Firman: Perenunganku tentang Reformasi Gereja

Oleh Jefferson

503 tahun yang lalu, seorang biarawan mengirimkan setumpuk dokumen tebal kepada kepala-kepala gereja di kota Wittenberg, Jerman. Isinya adalah 95 tesis yang ditulis si biarawan untuk mengkritisi penjualan surat penebusan dosa oleh gereja saat itu untuk membiayai pembangunan Basilika Santo Petrus dan Kapel Sistina di Vatikan. Dari peristiwa ini, berkembanglah legenda tentang si biarawan, Martin Luther, yang konon memakukan 95 tesisnya di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Tanggal ini lalu dicatat sejarah sebagai Hari Reformasi Protestan.

Sebagaimana peristiwa aslinya tidak sedramatis legenda yang berkembang di kemudian hari, dampak yang Luther harapkan lewat 95 tesisnya pun tidak seimpresif yang kemudian terjadi. Beliau hanya ingin ajaran-ajaran dan praktik-praktik dalam gereja kembali bersumber pada kebenaran Alkitab; tidak lebih, tidak kurang. Luther tidak pernah menyangka bahwa tindakannya akan dipakai oleh Tuhan sebagai kepingan domino yang memicu Reformasi dan mengembalikan sentralitas Injil dan Alkitab dalam kehidupan iman Kristen.

Di antara banyaknya warisan Reformasi yang mempengaruhi Kekristenan masa kini, aku ingin membagikan perenunganku tentang satu konsep yang menurutku merupakan inti dari Reformasi: Sola Scriptura, “hanya oleh Firman Tuhan”.

Firman Tuhan yang menerangkan tentang Firman Tuhan

Perikop yang menuntunku kepada kesimpulan di atas ditulis oleh Paulus dalam 2 Korintus 4, khususnya ayat 4–6. Pasal ini dibuka dengan pernyataan Paulus bahwa ia beserta dengan rekan-rekannya tidak tawar hati dalam pelayanan mereka memberitakan Injil ke berbagai kota (ay. 1b) meskipun menghadapi rintangan dari berbagai pihak, terutama jemaat Korintus sendiri (pasal 1–3). Mereka menolak Paulus dengan keras dalam kunjungan sebelumnya (2:1) karena menganggap ia kalah pamor dibandingkan dengan mereka “yang menjual firman Allah” (2:17 AYT). Jemaat Korintus bahkan meminta surat rekomendasi sebagai bukti kerasulan Paulus, sebagaimana sering dipamerkan oleh pengajar-pengajar palsu di sana (3:1). Menghadapi rintangan seperti ini, bagaimana Paulus dapat tidak berkecil hati?

Pertama-tama, Paulus dan rekan-rekannya melihat pelayanan mereka sebagai bentuk kasih karunia yang Allah limpahkan kepada mereka (ay. 1a). Oleh karena itulah mereka menolak melakukan berbagai tipu muslihat dan pemalsuan yang dilakukan oleh para penjual Firman. Sebaliknya, mereka menyatakan pesan Injil Kristus secara gamblang dan apa adanya di hadapan Allah (ay. 2), yaitu “Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri [mereka] sebagai hamba [jemaat Korintus] karena kehendak Yesus” (ay. 5). Jika masih ada yang tidak memahami Kabar Baik ini setelah mendengar pemberitaannya, lanjut Paulus, itu karena “ilah dunia ini telah membutakan pikiran mereka yang tidak percaya sehingga mereka tidak dapat melihat terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” (ay. 4 AYT). Paulus mengakhiri dengan tegas, “Karena Allah, yang berfirman, ‘Biarlah terang bercahaya dari kegelapan,’ telah bercahaya dalam hati kita untuk memberi terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (ay. 6 AYT).

Aku pribadi tidak menemukan bagian lain di Alkitab yang menjelaskan Sola Scriptura sejelas perikop ini. Hanya lewat firman Tuhan sajalah kita dapat mengetahui dan mengenali Allah yang sejati yang menyatakan diri-Nya secara nyata dan utuh dalam pribadi Kristus Yesus. Meminjam istilah John Piper, inilah “a peculiar glory” (kemuliaan yang khas) yang dimiliki Injil sebagai inti dari keseluruhan Alkitab (bdk. Luk. 24:26–27): pribadi Allah yang kudus datang ke dalam dunia untuk memulihkan kemuliaan-Nya di dalam seluruh ciptaan yang telah rusak oleh karena dosa dan pemberontakan manusia.

Terang kemuliaan Firman yang menilik hati manusia

Teks-teks di Alkitab menjadi berharga karena Kabar Baik yang terkandung di dalamnya. Pikiran-pikiran yang selama ini dibutakan oleh ilah dunia (2 Kor. 4:4) tidak mampu dicelikkan hanya oleh sekedar untaian kata-kata manusia. Hanya Firman itu sendirilah yang berbicara kepada setiap pribadi di segala abad dan tempat lewat firman-Nya yang tertulis (2 Kor. 4:6; bdk. Yoh. 1:1–16) yang mampu membukakan mata manusia yang berdosa kepada terang kemuliaan Tuhan. Inilah mengapa Paulus tidak tawar hati dalam mengerjakan pelayanannya: ia sendiri telah mengalami perjumpaan dengan sang Firman secara pribadi dan melihat terang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus (Kis. 9:1–18). Paulus tidak lagi hidup di dalam kegelapan dosa, melainkan di bawah tilikan terang Kristus “yang mengasihi[nya] dan telah memberikan diri-Nya untuk[nya]” (Gal. 2:20; bdk. Mzm. 139:23–24).

“Terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” jugalah yang dilihat Luther sebagai solusi untuk pergumulan hebat yang dialaminya di bulan-bulan menjelang Oktober 1517. Dalam studinya tentang surat-surat rasul Paulus, Luther menemukan dua kebenaran yang begitu mengusik hatinya: bahwa pada dasarnya ia adalah orang berdosa, dan bahwa kekudusan Allah menuntut kebajikan darinya. Penemuan ini begitu mengusiknya hingga ada satu masa dalam hidup Luther di mana ia membenci Allah karena ketidakadilan-Nya dengan menuntut kebajikan yang mustahil dari manusia berdosa. Konflik internal dan kebenciannya berlangsung selama beberapa waktu sebelum akhirnya lenyap ketika ia membaca Roma 1:17. Setelah merenungkan ayat ini siang dan malam, Luther menulis:

Di [Roma 1:17] aku mulai memahami bahwa kebenaran Allah adalah sesuatu yang dihidupi orang benar oleh karunia Allah, yakni oleh iman. Dan inilah maksudnya: kebenaran Allah dinyatakan oleh Injil, yaitu kebajikan pasif dengan mana Allah yang penuh belas kasihan membenarkan kita oleh iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” Sampai di sini aku merasa sungguh-sungguh dilahirkan dan masuk lewat gerbang yang terbuka lebar ke dalam surga itu sendiri. … Dan aku menaikkan puji syukur kepada Allah dengan kata-kata termanis dan dengan kasih sehebat kebencian yang kumiliki sebelumnya terhadap frasa “kebenaran Allah”.

Perhatikan bahwa Luther mendeskripsikan kebajikan yang Allah tuntut dari kita sebagai sesuatu yang pasif. Apa signifikansinya? Kita tidak menjadi benar di hadapan Allah melalui usaha atau kebaikan kita sendiri, melainkan oleh kasih karunia Allah (Sola Gratia) melalui iman (Sola Fide) semata (Ef. 2:8–9). Kebajikan ini telah Kristus dapatkan untuk kita melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Solus Christus; Kis. 4:12) sehingga hal sekecil apa pun kita lakukan hanya untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria; 1 Kor. 10:31). Hanya dari Alkitablah (Sola Scriptura) kita mempelajari semuanya ini.

Kelima Sola memang baru dirumuskan secara konkrit bertahun-tahun setelah Luther dan rekan-rekan Reformator lainnya sudah tiada, namun tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran mereka mengandung kelima intisari ini. Bagi kita yang hidup di abad ke-21, pencapaian tokoh-tokoh Reformasi yang mengguncangkan dunia merupakan sesuatu yang hebat dan kelihatannya berada di luar jangkauan kita. “Mungkinkah Allah bekerja melalui diriku di masa sekarang?” Kita harus mengingat bahwa pada dasarnya Luther dan rekan-rekannya adalah manusia-manusia berdosa yang memberi diri mereka untuk ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya yang tertulis di Alkitab. Di akhir hidupnya, jauh dari keluarga dan dalam kondisi kesakitan, tepat sebelum kembali ke hadirat Allah, Luther mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Kita semua adalah pengemis di hadapan Allah: itulah kebenarannya”

Sudahkah hidupmu ditilik oleh sang Firman?

Kita sudah melihat betapa dahsyat dan berdampak ketika hidup ditilik oleh sang Firman, dan betapa lebih hebat dan berkuasanya lagi sang Firman itu sendiri. Yang perlu kita renungkan setelah mengetahui semuanya ini adalah, “Apakah kita sendiri telah memberi diri untuk ditilik oleh sang Firman lewat firman-Nya yang tertulis?”

Apa itu Alkitab bagimu? Sebuah buku tebal kuno yang membosankan dan sulit dimengerti, yang jauh kalah menarik dibandingkan TikTok dan Netflix dan Mobile Legends, atau firman Allah yang hidup yang “memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16)? Bagi Paulus, Alkitab berisi Injil yang menyatakan “terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (2 Kor. 4:6 AYT). Bagi Luther, Alkitab menyatakan kebenaran Allah “yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rom. 1:17) dan kasih kemurahan-Nya bagi manusia berdosa. Bagiku, Alkitab memberitahukan siapa Yesus Kristus dan siapa diriku di hadapan-Nya, mengingatkanku akan kasih Tuhan di tengah masa COVID-19, dan menuntunku untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagaimana denganmu? Bagaimanakah hidupmu selama ini telah ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya?

Ketika Firman yang asali berbicara kepada hati manusia lewat firman-Nya yang tertulis dan mengerjakan karya kelahiran baru di dalam orang itu, ia tidak dapat berpaling lagi. Kita yang dulu buta sekarang melihat, dan di dalam terang kemuliaan Kristus kita melihat segala hal yang lain (Mzm. 36:9). Seberapa besar pun usaha kita untuk menyembunyikan aspek-aspek kehidupan kita dari hadapan Tuhan, semuanya itu akan terlihat, entah sekarang atau pada akhirnya di Hari Penghakiman (Luk. 8:17). Baik sekarang maupun nanti, itu adalah pilihan kita. Maukah kamu menyerahkan diri saat ini juga untuk ditilik oleh sang Firman, mati dan bangkit setiap harinya bersama Tuhan Yesus?

Aku berdoa supaya setiap kita benar-benar hidup ditilik oleh sang Firman dan tiada satu iota maupun titik pun yang tidak ditilik dan dikuasai oleh Tuhan Yesus Kristus.

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Oleh Jefferson, Singapura

Kisah Liverpool 2005–2020

Bulan Juni tahun 2005: majalah Bobo menampilkan kemenangan Liverpool atas A. C. Milan di final Liga Champions. Pertandingan ini diingat sebagai salah satu kemenangan paling dramatis dalam dunia sepak bola, sebab Liverpool sempat tertinggal 3 gol di babak pertama sebelum membalas balik 3 gol di babak kedua dan pada akhirnya menang lewat adu penalti. Sejak membaca liputan itu, aku adalah penggemar dari kesebelasan Liverpool.

Tapi aku tidak selalu menggemari Liverpool. Klub yang bertanding di Liga Inggris ini tidak menjuarai kompetisi utama selama 14 tahun setelahnya. Ada beberapa kesempatan di mana Liverpool hampir memenangkan Liga Inggris, Liga Champions, dan turnamen besar lainnya, tetapi selalu kandas di babak terakhir. Jujur saja, di periode puasa gelar ini, aku jadi pesimistis terhadap kans Liverpool di berbagai kompetisi dan memperlakukannya bukan sebagai klub favoritku.

Aku baru kembali menggemari Liverpool dengan bergairah sejak mereka dilatih oleh Jürgen Klopp pada tahun 2015. Dalam wawancara pertamanya sebagai manajer Liverpool, Klopp yang adalah seorang Kristen mengajak seluruh jajaran dan pendukung klub untuk berubah dari “berhenti meragukan dan mulai percaya, dimulai dari sekarang”. Ia juga percaya bahwa di bawah kepemimpinannya Liverpool dapat kembali menjuarai kompetisi besar dalam kurun 4 tahun. Pernyataan yang terkesan terlalu percaya diri ini kemudian menjadi kenyataan: Liverpool menjuarai Liga Champions di musim 2018–2019 dan Liga Inggris baru-baru ini.

Sebagai penggemar Liverpool yang mengamati dekat sepak terjang mereka selama 4 tahun terakhir, aku dapat bilang bahwa perjalanan mereka tidaklah mudah. Liverpool tidak bisa menggelontorkan beratus-ratus juta pound untuk merekrut pemain-pemain terkenal seperti yang dilakukan pesaing-pesaing utama mereka di Liga Inggris. Jadi, bagaimana mereka dapat membangun tim yang kompetitif? Mengusung model tim yang menggabungkan ilmu data dan pengelolaan keuangan yang berkelanjutan, Liverpool mengidentifikasi para pemain yang secara statistik dan gaya bermain cocok dengan taktik gegenpressing khas Jürgen Klopp. Setelah benar-benar yakin bahwa ia dapat berkontribusi terhadap sistem permainan Liverpool, barulah pemain tersebut dikontrak dengan harga yang wajar. Perekrutan ini juga dilakukan sambil memastikan bahwa keuangan mereka tetap stabil, salah satunya dengan melepas anggota tim yang memang ingin keluar dari Liverpool dengan harga yang pantas.

Strategi perekrutan yang berkelanjutan dan efektif selama beberapa tahun ini memampukan Klopp untuk melatih pemain-pemainnya dalam taktik gegenpressing yang ia sukai. Alhasil, kesebelasannya bermain sebagai satu unit yang kompak dan berpikiran menyerang sejak detik pertama. Klopp juga mengembangkan variasi permainan dengan penguasaan bola untuk meningkatkan efektivitas serangan mereka sehingga pesaing pun kesulitan meredam gempuran-gempuran serangan Liverpool. Semuanya ini mereka lakukan demi satu tujuan: membangun kesuksesan yang berkelanjutan.

Kisah Bulan Pemuridan 2020 di gerejaku

Kuharap cerita singkatku di atas tentang klub sepak bola favoritku dapat kamu pahami dan nikmati sejauh ini. Sekarang kita berganti haluan dan melihat apa yang sedang terjadi di gerejaku, GKY Singapore, pada waktu yang bersamaan dengan dipastikannya Liverpool menjuarai Liga Inggris akhir Juni kemarin: dimulainya Bulan Pemuridan. Acara khusus ini diadakan oleh Bidang Fokus Pemuridan di gerejaku untuk mengingatkan jemaat bahwa TUJUAN HIDUP kita adalah menjadi murid Tuhan Yesus, tentang perlunya mengenali posisi kita saat ini dalam PERJALANAN pertumbuhan rohani kita masing-masing, dan bahwa sebagai satu tubuh Kristus kita BERSAMA-SAMA diutus oleh Tuhan untuk memuridkan segala bangsa.

Tim Kerja menerjemahkan ketiga tujuan ini dalam berbagai kegerakan dan kegiatan. Selama 6 minggu sejak awal bulan Juli, kami mengajak jemaat untuk membaca bab-bab pilihan dan bersaat teduh bersama dari buku “Not a Fan” karangan Kyle Idleman. Kami juga membuat seri Bulan Pemuridan di akun Instagram gereja untuk menjangkau lebih banyak orang-orang yang mengikuti kegerakan ini lewat media sosial. Bulan Pemuridan mencapai puncaknya selama 3 minggu terakhir di Agustus, di mana dalam ibadah Minggu, Tuhan meneguhkan identitas kami sebagai pengikut Kristus dan memperlihatkan kaitan erat antara pemuridan dengan misi-Nya.

Seorang teman menanyakan satu hal yang menurutku sangat penting bagi diriku sendiri sebagai bagian dari Tim Kerja Bulan Pemuridan, “Jadi, apa itu pemuridan buat kamu?” Aku sangat menghargai pertanyaannya yang mengingatkanku untuk mengaplikasikan kebenaran Alkitab yang telah kurenungkan selama beberapa bulan terakhir kepada diriku sendiri, agar jangan sampai “sesudah aku memberitakan [panggilan pemuridan Tuhan Yesus] kepada orang lain, aku sendiri… ditolak” (1 Kor. 9:27).

Waktu itu jam makan siangku hampir selesai, jadi aku hanya menjawab temanku dengan singkat. Di tulisan ini, aku akan membagikan jawabanku itu dalam bentuk tiga pelajaran yang kudapat tentang menjadi murid Kristus dari pengalamanku menggemari Liverpool dan menyelenggarakan Bulan Pemuridan di GKY Singapore.

Kisahku belajar bagaimana mengikut Yesus dari menggemari Liverpool

Setelah memastikan bahwa murid-murid-Nya benar-benar mengenali siapa diri-Nya, yaitu Mesias dari Allah (Lk. 9:20), Tuhan Yesus berkata kepada mereka (dan kita) semua, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (ay. 23).

#1. Pemuridan adalah sebuah komitmen, bukan hanya pilihan, untuk mengikut Yesus

Tuhan Yesus memulai panggilan-Nya dengan sebuah undangan. English Standard Version (ESV) menerjemahkan frasa “mengikut Aku” dari bahasa Yunani dengan lebih tepat, “come after me”. Kyle Idleman di dalam bukunya mengamati bahwa frasa ini umumnya digunakan dalam konteks romantik, sebuah “pengejaran yang dapat dengan mudah menyita pikiran, sumber daya, dan energi kita”. Layaknya sepasang kekasih yang berkomitmen untuk terus menjalin hubungan, Tuhan Yesus mengundang pengikut-pengikut-Nya untuk mengikut dan mengejar Dia dengan segala yang mereka punya.

Dalam pengalamanku menggemari Liverpool, aku sempat gagal dalam aspek ini selama beberapa tahun sebelum Jürgen Klopp tiba. Itulah yang dilakukan oleh penggemar: ketika masa susah tiba, banyak yang akan mundur dan tidak mengikut lagi. Pikiran-pikiran untuk melakukan hal itu sempat terlintas dalam benakku ketika melayani dalam Tim Kerja Bulan Pemuridan. Kondisiku terbilang unik: aku adalah yang paling muda dalam Tim Kerja dan pertama kalinya melayani seluruh golongan jemaat, tetapi aku ditunjuk sebagai koordinator acara umum. Melayani bersama rekan-rekan yang semuanya lebih tua dariku adalah pengalaman yang sangat menantang. Berbagai perbedaan karena faktor usia seperti gaya kerja, kesigapan tindakan, dan daya tangkap sering membuatku frustasi dan lelah; rasanya seperti ingin berhenti melayani saja.

Puji Tuhan, perenunganku terhadap frasa “mengikut Aku” dan kesaksian dari banyak jemaat yang terberkati oleh berbagai kegerakan Bulan Pemuridan yang kami selenggarakan menghentikan keinginan untuk mangkir itu pada pemikiran saja. Aku jadi melihat pelayanan ini sebagai sebuah berkat yang Tuhan anugerahkan padaku dan menghadapi rekan-rekan setim dengan lebih sabar dan penuh kasih.

Ke depannya pasti akan ada rintangan-rintangan seperti ini dalam pekerjaan dan pelayanan yang membuatku jadi ingin mangkir lagi, tapi dalam kasih karunia Allah aku berharap dapat berkomitmen untuk terus mengikut Yesus hingga akhirnya. Bersama Paulus, aku berpegang pada kebenaran Allah bahwa “penderitaan menghasilkan ketekunan, ketekunan menghasilkan karakter, dan karakter menghasilkan pengharapan, dan pengharapan tidak membuat kita malu, sebab kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm. 5:3-5 AYT).

#2. Pemuridan berarti bergantung pada kekuatan Roh Kudus, bukan diri sendiri

Menghadapi situasi pelayanan Bulan Pemuridan di atas, dalam rasa frustasi dan keletihanku aku jadi sering lupa bahwa di dalamku ada Roh Kudus yang memberikanku kekuatan yang yang juga membangkitkan Tuhan Yesus dari kematian (Rm. 8:11); aku lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan diriku sendiri. Padahal instruksi pertama Tuhan Yesus dalam Lukas 9:23 bagi pengikut-pengikut-Nya adalah “menyangkal diri”. Ada satu alasan mengapa para rasul membuka surat mereka dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai hamba Tuhan Yesus (2 Pet. 1:1; Yak. 1:1; Rm. 1:1): mereka sadar akan keberdosaan mereka dan betapa mulianya pribadi Allah yang menyelamatkan mereka dari keterpisahan kekal dengan-Nya. Menyangkal diri berarti menyadari penuh bahwa “aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20a), sebuah kehidupan yang “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh” oleh kuasa Roh Kudus (Rm. 8:13).

Dalam kasus Liverpool, Klopp “menyangkal diri” dengan menyadari bahwa ia tidak mampu mengubah klubnya menjadi tim yang kompetitif seorang diri sehingga ia merangkul seluruh jajaran dan pendukung klub untuk bekerja bersama-sama dengannya. Dalam kasus Bulan Pemuridan, ada beberapa kesempatan di mana Roh Kudus bekerja dalam diri anggota Tim Kerja untuk membagikan pergumulan masing-masing dalam pelayanan secara terbuka. Lewat kesempatan-kesempatan itu, kami jadi bisa mengapresiasi kelebihan masing-masing, mengisi kekurangan satu sama lain, dan dipersatukan untuk menyelesaikan pelayanan yang Tuhan titipkan kepada kami dengan baik.

Murid yang mengikut Kristus dengan sungguh-sungguh tahu pasti bahwa penyangkalan diri tidak pernah membawa kerugian karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, “jauh lebih berharga dari apa pun” (Flp. 3:8 AYT).

#3. Pemuridan berarti makin mengenal dan menyerupai Kristus

Frasa berikutnya dalam panggilan pemuridan Tuhan Yesus memberitahukan bagaimana kita dapat menyangkal diri, yaitu dengan memikul salib kita setiap hari. Mengapa Tuhan Yesus memilih salib yang adalah simbol penghinaan, penderitaan, dan kematian untuk para pengikut-Nya? Karena Ia sendiri memilih untuk menyangkal diri dan memikul salib-Nya untuk mengerjakan kehendak Bapa-Nya di surga (Mat. 26:39). Mengikut Yesus berarti menjadi serupa dengan Dia (Rm. 8:29), bahkan dalam kematian-Nya (Flp. 3:10). Oleh karena itu, kita berkomitmen untuk memikul salib dan mati terhadap diri kita, terhadap segala keinginan, rencana, dan mimpi yang kita miliki, untuk mengikut Yesus setiap hari. Kyle Idleman menyampaikan dengan tegas, “Di momen kita menjadi pengikut Kristus, saat itu jugalah diri kita berakhir. … Ketika kita benar-benar mati terhadap diri kita, kita menemukan kehidupan yang sejati di dalam Kristus.”

Memikul salib setiap hari dalam kehidupanku saat ini berarti memahami komitmen pekerjaan dan pelayanan mana saja yang harus kuprioritaskan sehingga dapat benar-benar mengikut Tuhan Yesus dengan seluruh keberadaanku. Kesibukanku selama beberapa bulan terakhir mendorongku untuk merenungkan kehendak Tuhan terhadap kehidupanku ke depannya, terutama setelah Bulan Pemuridan berakhir. Kalau jumlah komitmen tetap sama, rasanya waktu istirahat sebanyak apapun tidak akan cukup, tidak peduli seberapa integralnya pekerjaan dan pelayanan dalam kehidupanku. Seperti Liverpool yang meragamkan taktik permainan mereka dan merekrut pemain dengan selektif, aku belajar untuk mengevaluasi komitmen-komitmen mana saja yang pernah kubuat; apakah mereka membantuku untuk menikmati dan memuliakan Tuhan, atau malah membuatku bertambah jauh dari Tuhan dan kelelahan. Itu berarti melepas sejumlah pelayanan yang sudah kukerjakan cukup lama.

Keputusan ini tidak kuambil dengan mudah dan iseng; berbulan-bulan aku merenungkan dan mendoakannya. Walaupun terkesan berat dan tegang, aku percaya keputusan ini pada akhirnya akan memberikanku sukacita lewat pengenalan akan dan keserupaan dengan Tuhan Yesus secara pribadi. Mengutip C. S. Lewis dalam “Mere Christianity”, “Hiduplah untuk dirimu sendiri, dan dalam jangka panjang kamu hanya akan menemukan kebencian, kesepian, keputusasaan, amukan, kehancuran, dan kerusakan. Tapi hiduplah untuk Kristus dan kamu akan menemukan Dia, dan bersama dengan-Nya segala hal yang akan dan pernah kamu butuhkan.”

“JF”: sebuah harapan, sebuah warisan

Singkatan di bagian belakang kaus Liverpool yang kupakai memiliki makna khusus. Selain untuk menghemat biaya pencetakan, pelafalan “JF” mirip dengan nama panggilanku (“Jeff”). Sambil mempersiapkan tulisan ini, aku menyadari ada satu makna lain di balik singkatan ini: “Jesus’ Fan” (Penggemar Yesus) atau “Jesus’ Follower” (Pengikut Yesus). Dengan “JF” sebagai nama punggungku, aku berharap dapat benar-benar menjalani dan mengakhiri kehidupan ini sebagai pengikut Kristus yang autentik, bukan sekadar penggemar. Sebab kepada penggemar, Tuhan Yesus akan berkata, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan” (Mat. 7:23 TB), tetapi kepada para pengikut-Nya Ia akan menyambut mereka, “Masuklah ke dalam sukacita tuanmu” (Mat. 25:21, 23 AYT).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Pertanyaan refleksi dan aplikasi, diadaptasi dari panduan diskusi kelompok “Not a Fan”:

  1. Dalam buku “Not a Fan”, Kyle Idleman menantang pembacanya untuk memberikan definisi terhadap hubungan mereka dengan Tuhan Yesus. Bagaimana denganmu? Apakah selama ini kamu adalah seorang penggemar Yesus, pengikut-Nya, atau sesuatu yang lain? Bagaimana perasaanmu terhadap jawabanmu?
  2. Pernahkah kamu mangkir dari atau menolak pelayanan? Apa alasanmu? Apa kaitan jawabanmu ini dengan status hubunganmu dengan Tuhan di pertanyaan no. 1?
  3. Harga apa saja yang harus kamu bayar untuk mengikut Yesus selama ini?
  4. Adakah area-area dalam kehidupanmu yang belum kamu serahkan kepada Tuhan selama ini?
  5. Jika kamu mendadak meninggal, apa yang kamu yakini akan disebutkan oleh teman dan kerabat tentang dirimu? Apakah kamu ingin dikenang dan diingat seperti itu?

Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Ada kendala yang mungkin tidak diceritakan teman kita. Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Mengupas Mitos Work-Life Balance: Di Manakah Tempat Pekerjaan dalam Kehidupan?

Oleh Jefferson, Singapura

Tidak terasa kita sudah memasuki paruh kedua tahun 2020. Terhitung bulan ini, oleh karena pandemi COVID-19, aku sudah menghabiskan lebih banyak waktu bekerja dari rumah (~4 bulan) daripada di kantor (3 bulan) tahun ini. Walaupun aku nyaman-nyaman saja dengan pengaturan kerja yang baru, aku merasa jauh lebih sibuk dibandingkan dengan sebelum bekerja dari rumah. Dari segi pekerjaan, waktuku jadi banyak dipakai untuk berdiskusi dengan timku untuk memastikan bahwa kami masih memenuhi tenggat waktu dari berbagai proposal dan proyek yang kami kerjakan. Pelayanan pun padat; aku memimpin kelompok pemuridan atau grup baca setiap minggu, menghadiri dan mengajar di ibadah remaja yang diadakan lewat Zoom, dan mengkoordinasi Bulan Pemuridan di gerejaku. Ada juga proyek pribadi seperti membaca buku dan menulis untuk WarungSaTeKaMu dan blog.

Ketika aku membagikan berbagai kesibukanku ini dengan kelompok pemuridanku, seorang anggota berkomentar, “Santailah Jeff, rasanya kamu terlalu memaksakan diri.”

Mendengar tanggapannya, aku jadi sempat cemas kalau-kalau aku jatuh lagi ke dalam sisi gelap pelayanan seperti yang kualami di bulan September tahun lalu. Namun setelah benar-benar mengevaluasi kondisiku saat ini, aku menemukan diriku baik-baik saja. Perihal disiplin rohani, saat teduh dan doaku berjalan lancar setiap hari. Secara emosi aku cukup diletihkan oleh beberapa pertikaian baik dengan kolega maupun rekan pelayanan, tetapi Allah dalam kasih karunia-Nya selalu menyelesaikan konflik-konflik yang kuhadapi dengan damai dan memberikanku kekuatan untuk melaluinya dengan kasih dan kerendahan hati. Secara fisik terkadang aku merasa sangat lelah, tapi aku selalu bisa tidur nyenyak selama 6–7 jam setiap malam dan menyisihkan waktu untuk berolahraga. Dan, yang paling penting, aku menikmati hadirat Tuhan dalam mengerjakan semuanya itu.

Evaluasi ini menuntunku untuk memikirkan ulang satu konsep yang digaungkan keras di dunia masa kini: work-life balance. Secara singkat, konsep ini mengajarkan perlunya suatu keseimbangan antara kesibukan pekerjaan dengan kehidupan di luar karier agar kita dapat menikmati kehidupan sebagaimana mestinya. Betapa menariknya konsep ini, apalagi untuk konteksku di Singapura yang terkenal sibuk! Meskipun begitu, aku mengamati ada suatu kejanggalan dalam premis dasarnya. Apakah kamu melihatnya juga?

Memikirkan ulang ”keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan”

Pertama-tama kita perlu memperhatikan penggunaan kata “keseimbangan”. Kata-kata apa saja yang biasanya kamu asosiasikan dengan “keseimbangan”? Aku langsung terpikir: gelap dan terang, panas dan dingin, berlimpah dan langka. Bisa kamu amati polanya? Kata ini umumnya kita gunakan untuk mengilustrasikan pasangan kata yang berlawanan. Dan apa saja yang sedang diseimbangkan, atau yang digambarkan sebagai bertentangan satu sama lain, dalam konsep work-life balance? “[P]ekerjaan dan kehidupan”.

Setelah membaca paragraf di atas, kuharap kamu jadi mempertanyakan hal-hal yang sama denganku: ‭‭Bukankah pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, sama seperti tidur, olahraga, istirahat, hubungan dengan keluarga dan teman, dan hal-hal lainnya? Mengapa pekerjaan perlu dibedakan dari dan diadu dengan kehidupan? Apakah ketika kita sedang bekerja, kita tidak sedang hidup, dan begitu juga sebaliknya, seolah-olah yang satu adalah “baik” sehingga patut kita sukai dan yang lain adalah “jahat” sehingga patut kita benci?

Begitu menyadari kejanggalan ini, aku jadi teringat Firman Tuhan dalam 1 Korintus 10:31 dan Kolose 3:23–24. Ayat-ayat ini memberikan sudut pandang yang jauh berbeda dari konsep work-life balance, di mana Tuhan mengajarkan kita untuk, dalam kata-kata terakhir almarhum J. I. Packer kepada gereja, “glorify Christ every way” (“muliakan Kristus dalam segala sesuatu”; 1 Kor. 10:31), termasuk dalam karier dan pekerjaan kita (Kol. 3:23) dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang melayani Tuhan Yesus (Kol. 3:24).

Ketika kita membandingkan konsep work-life balance dengan pandangan Alkitab terhadap pekerjaan dan kehidupan, kita bisa melihat bahwa konsep ini, mengasumsikan intensi yang terbaik, adalah sebuah pengingat tentang pentingnya istirahat untuk orang-orang yang gila kerja (baca: aku). Di sisi lain, mengasumsikan yang terburuk, konsep work-life balance memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang jahat dan harus diimbangi sebanyak mungkin dengan “kehidupan”, entah apapun bentuknya. Interpretasi terburuk ini tentunya tidak Alkitabiah karena Allah sendiri melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang baik, buktinya selama penciptaan Ia bekerja selama enam hari, baru beristirahat (Kej. 1).

Walaupun secara niat konsep ini baik karena mengingatkan perlunya istirahat dari pekerjaan, kita telah melihat bagaimana presumsi dasar dari konsep work-life balance tidak sejalan dengan pandangan Alkitab. Kalau begitu, bagaimanakah pengikut-pengikut Kristus seharusnya memandang pekerjaan dan istirahat?

Integrasi yang dilandasi bulir-bulir gandum

Istilah “integrasi pekerjaan dalam kehidupan” yang kupinjam dari dunia bisnis adalah jawabanku terhadap pertanyaan terakhir. Mendengar “dunia bisnis”, kamu mungkin jadi khawatir kalau-kalau tulisan ini tidak berlandaskan Alkitab sama sekali. Tenang saja, aku hanya meminjam tidak lebih dari istilahnya. Konsep yang kuusulkan sendiri dilandasi oleh satu perikop Alkitab yang akan kita pelajari lebih lanjut.

Kamu tentunya akrab dengan konsep Sabat, di mana Tuhan memerintahkan kita untuk mengkhususkan satu hari untuk beribadah kepada-Nya dan “tidak melakukan sesuatu pekerjaan” apapun (Kel. 20:8, Ima. 23:3, Ula. 5:12–15). Di zaman Perjanjian Lama dan bahkan hingga saat ini, orang-orang Yahudi menginterpretasikan perintah ini secara harfiah: mereka benar-benar tidak melakukan hal-hal yang mereka anggap sebagai “pekerjaan” pada hari Sabat mereka (pernah dengar anekdot lift di Israel yang berhenti di setiap lantai pada hari Sabat?). Sementara itu, kita sebagai pengikut Kristus yang menerima Perjanjian Baru menghidupi Sabat dalam iman bahwa Ia adalah “Tuhan atas hari Sabat” (Mat. 12:8, Mrk. 2:28, Luk. 6:5). Apakah maksudnya?

Mari kita menilik asal muasal gelar ini sebagaimana diceritakan oleh Markus. Pada suatu hari Sabat, “Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum” (Mrk. 2:23) untuk dimakan (Mat. 12:1, Luk. 6:1). Apa yang para murid lakukan sebenarnya tidak melanggar hukum Taurat sama sekali (Ul. 23:24–25), namun orang-orang Farisi menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hukum Sabat (ay. 24). Tuhan Yesus menanggapi mereka dengan mengutip kisah Daud (ay. 25–26) yang melanggar Taurat (Im. 24:5–9) dengan memakan roti sajian (1 Sam. 21:1–6). Perhatikan bahwa Tuhan Yesus menekankan kepada orang-orang Farisi bahwa saat itu Daud dan rombongannya sedang “kekurangan dan kelaparan” (ay. 25). Atas dasar peristiwa ini, Tuhan Yesus kemudian mengingatkan bahwa “”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (ay. 27) sebelum mengajarkan bahwa Ia adalah Tuhan atas hari Sabat (ay. 28).

Perikop di atas mengajarkanku bahwa kita memang perlu membedakan antara waktu bekerja dan beristirahat, tetapi dalam praktiknya kita harus memahami apakah kita memang sedang melakukan apa yang perlu dilakukan saat itu. Dalam kasus Daud dan murid-murid, Tuhan Yesus melihat bahwa mereka memang sedang membutuhkan makanan, maka Ia tidak melihat adanya pelanggaran terhadap hukum Taurat sama sekali. Justru Tuhan Yesus mengkritik orang-orang Farisi yang menginterpretasikan hukum Taurat dengan terlalu keras dan mengabaikan kebutuhan mereka yang membutuhkan. Terlebih lagi, Ia mengundang kita semua yang letih lesu dan berbeban berat untuk memikul kuk yang Ia pasang dan belajar dari-Nya (Mat. 11:28–29), sebab kuk-Nya itu enak dan beban-Nya pun ringan (ay. 30).

Mendalami “integrasi pekerjaan dalam kehidupan”

Sama halnya dengan pekerjaan dan istirahat dan kehidupan. Pemahaman work-life balance menggambar satu garis pemisah tebal antara ketiganya dan menuntut suatu keseimbangan mutlak nan abstrak tanpa memperhatikan kebutuhan tiap orang yang berbeda-beda. Di sisi lain, konsep work-life integration yang kuusulkan melihat bahwa Tuhan menciptakan pekerjaan untuk kemuliaan-Nya dan sukacita kita (Pkh. 3:12–13) sehingga kita patut mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan. Sampai di sini kamu mungkin berpikir, “Kalau memang pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, mengapa ia masih perlu diintegrasikan?” Karena ada dosa dalam dunia ini yang kadang membuat pekerjaan kita, dalam kata-kata Tim Keller dalam bukunya Every Good Endeavour, menjadi tanpa hasil (bdk. Kej. 3:17–19), sia-sia (bdk. Pkh. 2:17–20), egois (Tim Keller membahas bagian ini dari kitab Ester), dan menyingkapkan berhala-berhala yang kita sembah (bdk. 1 Tim. 5:10). Menghadapi realita pekerjaan yang Tuhan kutuk dalam dosa (Kej. 3:17), kata “integrasi” dipilih dan dipakai untuk mengingatkan bahwa realita itu bukanlah rancangan awal Tuhan dan bahwa Tuhan Yesus telah memulihkan rancangan awal itu kembali lewat karya keselamatan di atas kayu.

Lebih lagi, dalam konsep ini kita menanggapi panggilan Tuhan Yesus dalam Matius 11:28–30 dengan menanyakan satu pertanyaan kunci, “Apakah yang sedang aku lakukan saat ini adalah tindakan yang paling memuliakan Tuhan dan memberikanku sukacita-Nya?” Perhatikan implikasi dari pertanyaan itu, yang memberikan kepada kita keluwesan dalam bekerja dan beristirahat:

  1. Memberikan yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan dan sukacita-Nya dalam pekerjaan dan aktivitas sehari-hari;
  2. Berserah kepada dan beristirahat di dalam Tuhan ketika sedang kelelahan; dan
  3. Ketika sudah disegarkan kembali oleh Tuhan, melakukan kembali poin 1.

Sejauh ini kita telah belajar bahwa hal pekerjaan dan istirahat bukan tentang keseimbangan tetapi bagaimana memaksimalkan waktu kita untuk memuliakan Tuhan dan menikmati-Nya dalam segala aspek kehidupan, termasuk pekerjaan (bdk. Ef. 5:15-16); bukan tentang mengikuti peraturan atau mengambil waktu istirahat, melainkan apakah kita benar-benar sedang melakukan apa yang perlu dilakukan saat itu.

Kamu jadi mungkin bertanya-tanya adakah aplikasi praktis dari konsep work-life integration yang bisa langsung kamu terapkan dalam kehidupanmu sehari-hari? Seperti yang telah kusebutkan, kebutuhan setiap orang berbeda-beda dan hanya kamu yang paling paham jadwal dan kebutuhanmu sendiri. Yang bisa kubagikan hanyalah prinsip-prinsip panduan dalam mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan yang kuterapkan sendiri pada diriku, sebagai berikut.

Menghidupi integrasi pekerjaan dalam kehidupan

Yang pertama adalah mengkhususkan satu “hari” Sabat dalam satu minggu, biasanya hari Sabtu, di mana aku benar-benar tidak bekerja dan bergantung sepenuhnya pada kasih karunia Allah untuk mencukupkan dan menghidupiku sepanjang hari itu. Kusebut “hari” karena dalam pelaksanaannya lebih mirip satu periode 24 jam yang bisa lebih atau kurang. Ingatlah bahwa “Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2:27), jadi jangan terlalu kaku mendefinisikan durasi “hari Sabat”-mu. Pada hari Sabatku, aku hanya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang menyegarkanku – tentunya setelah bersaat teduh dan berdoa sebangunnya dari tidur malam – seperti berolahraga, memimpin kelompok pemuridan, menulis, membaca, mengikuti ibadah gereja kalau hari Sabat minggu itu adalah hari Minggu, dan bersekutu dengan teman.

Pada hari Sabat, usahakan untuk tidak memikirkan pekerjaan atau pelayanan; kalau perlu, kurangi frekuensi mengecek notifikasi di ponsel dan alihkan semua urusan yang mendesak untuk dibicarakan langsung lewat panggilan telepon. Perhatikan bahwa prinsip ini bukannya menganjurkan kita untuk tidak memikirkan pekerjaan dan pelayanan sama sekali; justru keduanya harus kita bawa kepada Tuhan di momen-momen doa dan saat teduh dan ibadah pribadi pada hari Sabat. Maksudku adalah karena fokus hari Sabat kita adalah bersekutu dengan Tuhan, jangan sampai karena kepikiran tentang keduanya kita malah jadi tidak menikmati Tuhan dan beristirahat dengan maksimal. Kesusahan sehari biarlah untuk sehari saja, dan kesusahan pekerjaan dan pelayanan biarlah untuk waktu bekerja dan melayani saja. Pekerjaan dan pelayanan tidak akan ada habisnya, tetapi kapasitas kita untuk bekerja dan melayani ada batasnya. Justru ketika kita sudah disegarkan kembali oleh Allah, kita akan jadi lebih efektif dalam pekerjaan dan pelayanan di hari/minggu berikutnya.

Yang kedua, aku mengadakan “Sabat mini” selama yang aku bisa setiap malam seusai kerja. Selain kegiatan-kegiatan di atas, waktu-waktu seperti ini juga kupakai untuk membaca perikop harian dari rencana baca Alkitab tahunanku. Masak dan makan malam bersama teman-teman sekos menjadi sorotanku untuk aktivitas dari prinsip kedua ini.

Yang ketiga, kalau benar-benar sedang sibuk, aku akan menukar beberapa slot Sabat mini ke slot-slot berikutnya. Intinya adalah menjadi sefleksibel mungkin dalam memberikan kadar yang secukupnya kepada waktu bekerja dan beristirahat sehingga dalam semuanya itu kita benar-benar memuliakan dan menikmati Allah semaksimal kita. Artikel ini seharusnya sudah selesai kutulis bulan Juni kemarin, namun karena kelelahan setelah mengalami beberapa minggu yang sangat sibuk di kantor dan di pelayanan, aku menunda tulisan ini ke bulan Juli. Pada akhirnya, aku butuh sekitar 4 minggu penuh istirahat untuk bisa kembali ke level semangat dan energi yang biasanya.

Melihat kembali 4 minggu yang kesannya tak menghasilkan buah apapun, aku bisa bilang bahwa masa itu termasuk “produktif” karena aku benar-benar fokus memulihkan kesehatan rohani, mental, dan fisikku. Kalau aku tidak benar-benar beristirahat, rasanya tulisan ini pun tidak akan selesai dengan kualitas yang kuinginkan. Menurutku istirahat tidak selalu berarti waktu untuk diriku sendiri, walaupun aku sering berolahraga ke taman sendirian, membaca buku dan komik, dan menonton serial TV kesukaanku sewaktu istirahat. Yang kumaksud dengan “istirahat” adalah segala kegiatan yang menyegarkan diri dan memberikan kita sukacita di dalam Tuhan, menyadari penuh bahwa kasih karunia-Nya terus menopang kita bahkan ketika kita tidak sedang bekerja, dan mengingat bahwa Tuhan Yesuslah yang mendefinisikan diri kita, bukan pekerjaan, pelayanan, ataupun istirahat. Buatku, ini berarti main games bersama teman-teman sekos, masak untuk tamu yang datang ke rumah, dan memimpin orang-orang di sekelilingku satu langkah lebih dekat menyerupai Tuhan Yesus lewat percakapan dan diskusi kami. Dengan definisi “istirahat” seperti itu, kita membuka ruang untuk tetap melayani orang-orang di sekitar kita di waktu istirahat.

Mungkin prinsip-prinsip yang kubagikan ini sudah terkesan baik dan bisa segera diterapkan dalam kehidupanmu, tetapi marilah kita mengarahkan hati untuk belajar kepada sang Teladan yang sempurna, Tuhan Yesus sendiri.

“Berlomba dengan tekun dengan mata yang tertuju kepada Yesus”

Dalam Matius 11:28–30, Tuhan Yesus mengklaim bahwa undangan-Nya dapat dipercaya karena Ia “lemah lembut dan rendah hati” dan Ia sendirilah yang akan mengajarkan kepada kita bagaimana cara membajak ladang dengan-Nya. Dengan mempertimbangkan klaim ini, dan karena konsep usulanku didasarkan pada identitas Yesus Kristus sebagai Tuhan (atas hari Sabat), ketahanan uji konsep ini hanya bisa dilakukan dengan menerima undangan-Nya dan belajar dari-Nya. Untuk melakukannya, tidak ada cara lain selain menerima Yesus sebagai Tuhan atas hidup kita dan membaca Alkitab, terutama kitab-kitab Injil, dengan tekun.

Kubagikan sedikit contoh dari kitab-kitab Injil yang menunjukkan betapa integralnya pekerjaan dan pelayanan Tuhan Yesus dalam kehidupan-Nya:

  • Di tengah-tengah kesibukan-Nya, Ia tetap meluangkan waktu pagi-pagi buta untuk bersekutu dengan pribadi Tritunggal yang lain (Mrk. 1:35) agar dapat menjalani hari-Nya sesuai dengan kehendak Bapa (Mrk. 1:36–39).
  • Pada hari Sabat yang lain, Ia menyembuhkan seorang yang mati tangan kanannya di rumah ibadat (Luk. 6:6–11), mengajarkan kepada kita bahwa pada hari Sabat pun kita harus tetap memperhatikan kebutuhan orang lain di sekeliling kita.
  • Ia tahu pasti kapan harus melintasi daerah Samaria sehingga dalam istirahat perjalanan-Nya di kota Sikhar Ia dapat bercakap-cakap dengan perempuan Samaria dan memimpin orang-orang di sana kepada pertobatan (Yoh. 4:1–42).
  • Ia dengan “lemah lembut dan rendah hati” membasuh kaki murid-murid-Nya pada malam sebelum penyaliban-Nya, memberikan teladan bagi kita untuk memuliakan Tuhan, bersukacita dalam-Nya, dan mengasihi sesama, bahkan dalam tugas-tugas tersepele sekalipun (Yoh. 13:1–20).

Melihat kehidupan dan teladan Tuhan Yesus “yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, … yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa” (Ibr. 12:2–3), tidaklah mengherankan bahwa penulis kitab Ibrani mendorong kita untuk “menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita … dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:1–2). Ya, mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan “dengan mata yang tertuju kepada Yesus”; inilah yang kuharap terutama kamu pelajari dan terapkan melalui perenunganku.

Selamat mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupanmu dengan mengikuti teladan Tuhan Yesus!

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Pertanyaan refleksi dan aplikasi:

  1. Bagaimanakah kamu melihat pekerjaan atau studimu selama ini, apakah sebagai sesuatu yang “baik” atau “buruk”, terutama ketika dibandingkan dengan pelayanan?
  2. Cara-cara apa saja yang bisa kamu terapkan untuk bisa memuliakan dan menikmati Allah dalam konteksmu saat ini, baik itu pekerjaan ataupun studi?
  3. Bagaimanakah pandanganmu terhadap “hari Sabat” selama ini? Sudahkah kamu memberikan diri sepenuhnya bergantung kepada Allah dan kasih karunia-Nya pada hari Sabatmu?
  4. Aktivitas apa saja yang bisa kamu lakukan di luar waktu-waktu pekerjaan/studi dan pelayanan untuk bisa “disegarkan kembali oleh Allah” sehingga jadi lebih efektif dalam pekerjaan/studi dan pelayanan di hari/minggu berikutnya?

Baca Juga:

Gwan-hee Lee: Melalui Kanker, Kristus Nyata Hidup di Tubuhku

Bagi Gwan-hee, hidupnya berjalan amat baik. Lulusan dari kampus ternama, kerja di perusahaan besar, dan menikah dengan istri yang baik. Tapi, tak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertamanya, Gwan-hee divonis menderita kanker usus besar stadium empat.