Hati yang Membisikkan Pengampunan

Sebuah cerpen oleh Prilia

“Kalau diingat-ingat… ternyata out of the box ya jawaban Tuhan. Aku minta cowok ganteng, keren, dingin ala-ala novel atau kayak aplikasi orange, eh Tuhan kasih yang sebaliknya. Bener-bener di luar dugaanku. Hahaha…”

Suara tawa Siska segera mengisi kesunyian Kafe Ropita, disusul tawa Karen yang lebih lembut. Setelah sekian lama ditelan kesibukan masing-masing, akhirnya mereka menyempatkan bertemu sepulang dari ibadah Paskah. “Sekalian bertukar cerita tentang kelanjutan kisah asmara masing-masing,” ucap Siska. Duileh…

“Iya, emang gokil! Tapi ada yang lebih lucu sih. Kok bisa ya kamu tetep mau sama abang itu? Bukan tipemu banget padahal. Mana sekarang jadi bucin pula. Hahaha…” goda Karen.

Mendengar itu Siska langsung cemberut. Iya, sih… Bisa dibilang ia menjilat ludah sendiri, pacaran dengan laki-laki yang tak pernah dia sangka-sangka dan bukan tipe dia banget. Alias pendiam, kaku, dan garing.

“Ngeledek mulu nih kamu! Lagian ya, setelah kupikir-pikir, ada yang lebih penting daripada penampilan luar, yaitu… karakter. Abang tuh berkarisma, tahu. Dia punya prinsip, pekerja keras, superrr perhatian, dan bertanggung jawab,” ucap Siska dengan mata berbinar. “Apalagi penampilan bisa pudar seiring berlalunya waktu, tapi karakter semakin kokoh seiring berjalannya waktu dan pengalaman.”

“HOAAAA! KAPAN KAMU KETEMU MARIO TEGUH? KOK BISA SETEGUH ITU KATA-KATAMU!?”

Suara Karen seketika membuyarkan binar kagum dari mata Siska. Huh! Lagi asyik bayangin Abang, langsung bubar jalan disembur ucapan Karen ini. Asem memang bestieku ini! batin Siska.

“Kalau kamu, gimana dengan Dino?”

Karen langsung terdiam dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Ia tercenung dan menundukkan kepala, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. “Mmm… Bisa ganti topik aja nggak, Sis?”

Jawaban Karen seketika membuat Siska bertanya-tanya. “Karen, kamu gapapa?” ucapnya seraya menyentuh bahu gadis itu.

Karen semakin tertunduk dan bahunya mulai bergetar. Siska langsung meraih dan memeluknya.

“Aku… putus. Aku putus sama Dino, Sis.”

Dan ucapan itu pun seketika membuat Siska tercekat.

Putus?! Siska pasti salah dengar. Ini Karen dan Dino lho, couple goals yang selalu tampak mesra meski sudah empat tahun pacaran. Belum lagi Dino baru saja melamar Karen untuk menikah tahun depan! Lalu mengapa setelah jalan bareng sejauh ini, mereka tahu-tahu putus? Kapan?

“Tiga bulan yang lalu. Tepat seminggu setelah dia melamarku.” Suara Karen sarat dengan nada pilu yang menyesakkan dada. Karen, sahabat yang dikasihinya itu, ternyata memilih menyimpan luka ini untuk dirinya sendiri.

Karen merasakan tangan Siska semakin erat memeluknya sambil perlahan membelai punggungnya. Tangis yang sejak tadi ditahannya itu pun perlahan pecah. Ia tak pernah menyangka ia begitu membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini. Pelukan yang meneduhkan. Pelukan yang memberinya rasa aman. Pelukan yang entah kenapa membuat ia berani untuk sekali lagi menjenguk ingatan-ingatannya tentang… Dino.

Ia masih ingat benar hari itu, ketika Dino menembaknya menjadi pacar dengan cara yang sangat romantis. Dino, cinta pertamanya, yang selalu memberi Karen perayaan-perayaan anniversary yang sempurna. Dan yang termanis tapi sederhana, Dino selalu memperlakukan Karen dengan sangat lembut, bahkan hal sepele seperti memasang pengait helm pun dilakukannya untuk Karen.

Bukankah apa yang laki-laki itu lakukan selama ini menunjukkan Dino teramat menyayanginya? Bahkan caranya melamar Karen sungguh manis dan gentleman. Ia meminta izin lebih dulu kepada orangtua Karen dan diam-diam mengajak saudara-saudara Karen serta Siska untuk memberinya surprise lamaran. Bukankah itu artinya Dino sangat serius terhadapnya?

Perlahan, Karen melepaskan pelukannya. “Sebenarnya aku nggak mau cerita tentang hal ini ke siapa pun. Aku malu terlihat menyedihkan seperti ini, Sis. Aku nggak mau orang-orang mengasihani aku. Tapi … aku juga capek menyimpan ini sendiri.”

Siska menatap sahabatnya itu dengan lembut. “Ayo cerita, Ren, aku mendengarkan.”

Karen menghela napas dalam-dalam, tatapannya setengah menerawang. “Tepat seminggu setelah Dino melamarku, aku melihat dia bersama seorang perempuan di mall. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi ketika akan menghampiri mereka, aku… melihat gestur mereka seperti orang pacaran, Sis.

“Jadi, aku diam-diam memperhatikan mereka cukup lama. Ketika mereka semakin mesra, aku langsung menghampiri. Aku tahu Dino sama sekali tidak menyangka. Tapi bukannya mengenalkanku kepada perempuan itu, dia malah mengajakku menjauh dan bilang begini…” Karen berhenti sebentar, suaranya gemetar saat mengutip perkataan Dino, “’Aku bingung mau bilang dari mana. Tapi, maafin aku, Ren. Sungguh, maafin aku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf. Maaf banget, Ren. Aku bingung dan nggak tega memberitahumu. Tapi, daripada kita tetap melanjutkan hubungan ini dengan kebimbangan hatiku, lebih baik… kita putus.’

“Aku benar-benar kaget. Aku menahan diri supaya tidak menangis di depannya. Kutanya, kenapa dia baru memberitahuku setelah dia melamarku. Dan siapa perempuan di sampingnya itu? Tapi, jawabannya semakin menohok hatiku, Sis. Katanya, perempuan itu teman lama yang sempat dia sukai. Dan semenjak bertemu lagi dengan temannya itu, dia merasa perasaannya yang dulu kini kembali bersemi. Itu yang bikin dia bimbang dengan hubungan kami, Sis.”

Siska tercengang. “Trus, kamu apain dia, Ren? Kamu tampar nggak pipinya?”

“Nggaklah, Sis. Aku nggak mau. Putusnya aku sama Dino udah kayak cerita sinetron. Kalau kutampar pipinya, jadilah sinetron beneran. Malu aku.”

Siska mendengus dan memasang tampang cemberut. “Udahlah blokir aja kontak dan semua medsosnya. Aku yakin itu bisa bikin kamu move on.”

“Sis, saranmu sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu. Tapi, bukannya membuatku lupa, aku justru semakin ingat padanya. Aku merasa hancur, sampai-sampai aku nekat mencoba berbagai cara demi menyembuhkan hatiku. Aku bukan hanya memblokir semua medsosnya, aku bahkan membuang semua barang pemberiannya. Tapi itu pun nggak berhasil. Nggak ada yang berhasil. Sedikit pun hatiku nggak merasa lega, Sis. Hatiku panas. Kecewa. Marah, dan… aku pun mulai menyalahkan Tuhan. Aku bertanya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku? Dia kan tahu aku yakin Dino adalah yang terbaik untukku. Bahwa aku mencintainya amat sangat. Tapi, Sis, suatu hari aku tiba-tiba disadarkan bahwa ternyata aku melupakan satu hal.” Mata Karen yang kembali basah kini menyorotkan penyesalan.

“Tahu nggak? Tanpa kusadari, selama ini aku telah menjadikan Dino sebagai pusat hidupku. Menerima dia menjadi pacar memang keputusanku dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi, ketika aku semakin terlena oleh perhatiannya, aku pun semakin mencintainya, bahkan menjadikannya yang paling utama dalam hatiku. Perasaan cintaku kepada Dino perlahan tapi pasti menggeser posisi Tuhan di hatiku, Sis. Dan aku pun menomorsekiankan Tuhan. Melupakan-Nya. Dan aku menyesal.”

Tangis Karen pecah. Penyesalan yang dirasakannya begitu memilukan dan membuat hati Siska sedih.

“Melupakan Tuhan adalah pilihan terburuk dalam hidupku, Sis. Setelah aku sadar, aku pun memohon ampun sama Tuhan, membawa kehancuran dan penyesalan yang kurasakan. Dan setelahnya, aku cuma minta satu hal sama Tuhan. ‘Tuhan, tolong perbaiki hatiku.’ Udah, itu aja yang saat ini terus-terusan kuminta.“

Memperbaiki hati… itu hal tersulit yang takkan pernah sanggup dilakukan dengan kekuatan manusia. Hati adalah hal yang paling kuat sekaligus paling rapuh. Hati yang diciptakan oleh Tuhan, ditujukan untuk hal baik. Dan jika manusia menghancurkan hati itu, siapa yang bisa menyembuhkannya selain Penciptanya sendiri?

“Perlahan, dari sehari ke sehari, hatiku pun mulai dipulihkan. Namun, perbuatan Dino masih saja muncul dan mengusikku, seolah-olah menolak untuk dilupakan. Seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang belum … selesai. Lalu aku membaca sebuah kutipan yang menyadarkanku bahwa masih ada yang belum tuntas, yaitu … pengampunan.”

“Nothing in the Christian life is more important than forgiveness—our forgiveness of others and God’s forgiveness of us.”

“Kutipan itu benar-benar menohokku, Sis. Ternyata aku baru setengah jalan dalam proses pengampunanku sendiri, karena sesungguhnya pengampunan tidak selesai hanya dengan kita menerima pengampunan Allah. Kita juga perlu meneruskannya kepada sesama kita. Seperti aku yang telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi belum meneruskannya kepada Dino. Tidak heran hatiku terus bergejolak.” Karen diam sebentar dan menghela napas dalam-dalam. “Bukan itu saja. Aku akhirnya tahu, mengampuni bukanlah urusan mood, melainkan sepenuhnya adalah tentang … keputusan,” bisik Karen. Ditatapnya Siska dalam-dalam.

“Keputusan yang tidak mudah pastinya, bukan?” balas Siska.

Karen mengangguk. “Iya, tidak mudah dan pastinya tidak selesai dalam semalam. Proses pengampunanku sendiri terhadap Dino masih terus berlangsung, Sis, bahkan sampai sekarang. Kadang, kalau teringat aku masih merasa kecewa. Meski begitu, aku juga tahu, kekecewaanku tidak lagi sedalam dulu, Sis. Dan aku yakin suatu hari nanti, akhirnya perasaan kecewa itu akan hilang sepenuhnya, karena Tuhan terus bekerja dalam hatiku.”

Siska tersenyum, hatinya membuncah dan tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Karen.

“Ren, sesungguhnya aku bingung mau bilang apa… Tapi, makasih banget. Makasih kamu udah sharing ini kepadaku ya,” ucapnya tulus.

“Makasih juga karena kamu udah sabar mendengarkan ceritaku, Sis,” balas Karen seraya tersenyum.

“Dan aku akan terus berdoa agar kamu bisa segera pulih total dari patah hati itu sampai akhirnya kau dapat sepenuhnya memaafkan Dino dan melepaskan perasaan kecewamu. Aku sungguh bersyukur kamu segera berpaling kepada Tuhan yang memampukanmu untuk mengambil hikmah dari pengalaman pahit ini. Ingat ya, Ren, kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman cerita, aku siap menemanimu.”

Karen mengangguk dengan penuh rasa haru. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Siska dengan hangat.

Cerita Karen memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pacar atau siapa pun sosok yang kita kasihi dan kagumi di dunia ini, bukanlah sosok sempurna. Satu-satunya sosok yang dapat kita percaya untuk menaruh harapan, hanyalah Yesus.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. zeamays
    zeamays says:

    Aminnn !
    kisah ini sungguh nyata dalam kehidupan saya. Benar sekali, only God, hanya Tuhan saja yang kupercaya dan berserah !

  2. assi
    assi says:

    Dari kisah ini.
    saya mau beraksi bahwa sejak kecil saya disakiti oleh tante kandung saya dan sampe saya besar menikah saya disakiti oleh suami saya.

    kepahitan tersebut sudH berjalan bebrapa tahun lalu dan saya mulai membereskan dan mulai dipulihkan oleh Tuhan Yesus beberapa minggu lalu dengan cara mengakui segala kelemahan dan kesalahan saya.

    puji Tuhan, saya sangat bersyukur Tuhan melegakan hati saya dan saya seperti amnesia dengan masa lalu saya. Tuhan Yesus luar biasa dalam hidup saya.

    Tuhan Yesus itu baik dan luar biasa. amin.

  3. Rikky Lesmana
    Rikky Lesmana says:

    Puji Tuhan. Saya merasa sangat diberkati dan disadarkan betapa pentingnya pengampunan dalam hidup orang kristiani yg hidup sebagai murid Kristus. Pengampunan tidak hanya yg kita terima dari Allah tetapi juga pengampunan yg kita berikan kepada sesama, bahkan kepada orang yang paling menyakiti kita (orang yg kita sayangi)..

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *