Posts

Hati yang Membisikkan Pengampunan

Sebuah cerpen oleh Prilia

“Kalau diingat-ingat… ternyata out of the box ya jawaban Tuhan. Aku minta cowok ganteng, keren, dingin ala-ala novel atau kayak aplikasi orange, eh Tuhan kasih yang sebaliknya. Bener-bener di luar dugaanku. Hahaha…”

Suara tawa Siska segera mengisi kesunyian Kafe Ropita, disusul tawa Karen yang lebih lembut. Setelah sekian lama ditelan kesibukan masing-masing, akhirnya mereka menyempatkan bertemu sepulang dari ibadah Paskah. “Sekalian bertukar cerita tentang kelanjutan kisah asmara masing-masing,” ucap Siska. Duileh…

“Iya, emang gokil! Tapi ada yang lebih lucu sih. Kok bisa ya kamu tetep mau sama abang itu? Bukan tipemu banget padahal. Mana sekarang jadi bucin pula. Hahaha…” goda Karen.

Mendengar itu Siska langsung cemberut. Iya, sih… Bisa dibilang ia menjilat ludah sendiri, pacaran dengan laki-laki yang tak pernah dia sangka-sangka dan bukan tipe dia banget. Alias pendiam, kaku, dan garing.

“Ngeledek mulu nih kamu! Lagian ya, setelah kupikir-pikir, ada yang lebih penting daripada penampilan luar, yaitu… karakter. Abang tuh berkarisma, tahu. Dia punya prinsip, pekerja keras, superrr perhatian, dan bertanggung jawab,” ucap Siska dengan mata berbinar. “Apalagi penampilan bisa pudar seiring berlalunya waktu, tapi karakter semakin kokoh seiring berjalannya waktu dan pengalaman.”

“HOAAAA! KAPAN KAMU KETEMU MARIO TEGUH? KOK BISA SETEGUH ITU KATA-KATAMU!?”

Suara Karen seketika membuyarkan binar kagum dari mata Siska. Huh! Lagi asyik bayangin Abang, langsung bubar jalan disembur ucapan Karen ini. Asem memang bestieku ini! batin Siska.

“Kalau kamu, gimana dengan Dino?”

Karen langsung terdiam dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Ia tercenung dan menundukkan kepala, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. “Mmm… Bisa ganti topik aja nggak, Sis?”

Jawaban Karen seketika membuat Siska bertanya-tanya. “Karen, kamu gapapa?” ucapnya seraya menyentuh bahu gadis itu.

Karen semakin tertunduk dan bahunya mulai bergetar. Siska langsung meraih dan memeluknya.

“Aku… putus. Aku putus sama Dino, Sis.”

Dan ucapan itu pun seketika membuat Siska tercekat.

Putus?! Siska pasti salah dengar. Ini Karen dan Dino lho, couple goals yang selalu tampak mesra meski sudah empat tahun pacaran. Belum lagi Dino baru saja melamar Karen untuk menikah tahun depan! Lalu mengapa setelah jalan bareng sejauh ini, mereka tahu-tahu putus? Kapan?

“Tiga bulan yang lalu. Tepat seminggu setelah dia melamarku.” Suara Karen sarat dengan nada pilu yang menyesakkan dada. Karen, sahabat yang dikasihinya itu, ternyata memilih menyimpan luka ini untuk dirinya sendiri.

Karen merasakan tangan Siska semakin erat memeluknya sambil perlahan membelai punggungnya. Tangis yang sejak tadi ditahannya itu pun perlahan pecah. Ia tak pernah menyangka ia begitu membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini. Pelukan yang meneduhkan. Pelukan yang memberinya rasa aman. Pelukan yang entah kenapa membuat ia berani untuk sekali lagi menjenguk ingatan-ingatannya tentang… Dino.

Ia masih ingat benar hari itu, ketika Dino menembaknya menjadi pacar dengan cara yang sangat romantis. Dino, cinta pertamanya, yang selalu memberi Karen perayaan-perayaan anniversary yang sempurna. Dan yang termanis tapi sederhana, Dino selalu memperlakukan Karen dengan sangat lembut, bahkan hal sepele seperti memasang pengait helm pun dilakukannya untuk Karen.

Bukankah apa yang laki-laki itu lakukan selama ini menunjukkan Dino teramat menyayanginya? Bahkan caranya melamar Karen sungguh manis dan gentleman. Ia meminta izin lebih dulu kepada orangtua Karen dan diam-diam mengajak saudara-saudara Karen serta Siska untuk memberinya surprise lamaran. Bukankah itu artinya Dino sangat serius terhadapnya?

Perlahan, Karen melepaskan pelukannya. “Sebenarnya aku nggak mau cerita tentang hal ini ke siapa pun. Aku malu terlihat menyedihkan seperti ini, Sis. Aku nggak mau orang-orang mengasihani aku. Tapi … aku juga capek menyimpan ini sendiri.”

Siska menatap sahabatnya itu dengan lembut. “Ayo cerita, Ren, aku mendengarkan.”

Karen menghela napas dalam-dalam, tatapannya setengah menerawang. “Tepat seminggu setelah Dino melamarku, aku melihat dia bersama seorang perempuan di mall. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi ketika akan menghampiri mereka, aku… melihat gestur mereka seperti orang pacaran, Sis.

“Jadi, aku diam-diam memperhatikan mereka cukup lama. Ketika mereka semakin mesra, aku langsung menghampiri. Aku tahu Dino sama sekali tidak menyangka. Tapi bukannya mengenalkanku kepada perempuan itu, dia malah mengajakku menjauh dan bilang begini…” Karen berhenti sebentar, suaranya gemetar saat mengutip perkataan Dino, “’Aku bingung mau bilang dari mana. Tapi, maafin aku, Ren. Sungguh, maafin aku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf. Maaf banget, Ren. Aku bingung dan nggak tega memberitahumu. Tapi, daripada kita tetap melanjutkan hubungan ini dengan kebimbangan hatiku, lebih baik… kita putus.’

“Aku benar-benar kaget. Aku menahan diri supaya tidak menangis di depannya. Kutanya, kenapa dia baru memberitahuku setelah dia melamarku. Dan siapa perempuan di sampingnya itu? Tapi, jawabannya semakin menohok hatiku, Sis. Katanya, perempuan itu teman lama yang sempat dia sukai. Dan semenjak bertemu lagi dengan temannya itu, dia merasa perasaannya yang dulu kini kembali bersemi. Itu yang bikin dia bimbang dengan hubungan kami, Sis.”

Siska tercengang. “Trus, kamu apain dia, Ren? Kamu tampar nggak pipinya?”

“Nggaklah, Sis. Aku nggak mau. Putusnya aku sama Dino udah kayak cerita sinetron. Kalau kutampar pipinya, jadilah sinetron beneran. Malu aku.”

Siska mendengus dan memasang tampang cemberut. “Udahlah blokir aja kontak dan semua medsosnya. Aku yakin itu bisa bikin kamu move on.”

“Sis, saranmu sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu. Tapi, bukannya membuatku lupa, aku justru semakin ingat padanya. Aku merasa hancur, sampai-sampai aku nekat mencoba berbagai cara demi menyembuhkan hatiku. Aku bukan hanya memblokir semua medsosnya, aku bahkan membuang semua barang pemberiannya. Tapi itu pun nggak berhasil. Nggak ada yang berhasil. Sedikit pun hatiku nggak merasa lega, Sis. Hatiku panas. Kecewa. Marah, dan… aku pun mulai menyalahkan Tuhan. Aku bertanya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku? Dia kan tahu aku yakin Dino adalah yang terbaik untukku. Bahwa aku mencintainya amat sangat. Tapi, Sis, suatu hari aku tiba-tiba disadarkan bahwa ternyata aku melupakan satu hal.” Mata Karen yang kembali basah kini menyorotkan penyesalan.

“Tahu nggak? Tanpa kusadari, selama ini aku telah menjadikan Dino sebagai pusat hidupku. Menerima dia menjadi pacar memang keputusanku dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi, ketika aku semakin terlena oleh perhatiannya, aku pun semakin mencintainya, bahkan menjadikannya yang paling utama dalam hatiku. Perasaan cintaku kepada Dino perlahan tapi pasti menggeser posisi Tuhan di hatiku, Sis. Dan aku pun menomorsekiankan Tuhan. Melupakan-Nya. Dan aku menyesal.”

Tangis Karen pecah. Penyesalan yang dirasakannya begitu memilukan dan membuat hati Siska sedih.

“Melupakan Tuhan adalah pilihan terburuk dalam hidupku, Sis. Setelah aku sadar, aku pun memohon ampun sama Tuhan, membawa kehancuran dan penyesalan yang kurasakan. Dan setelahnya, aku cuma minta satu hal sama Tuhan. ‘Tuhan, tolong perbaiki hatiku.’ Udah, itu aja yang saat ini terus-terusan kuminta.“

Memperbaiki hati… itu hal tersulit yang takkan pernah sanggup dilakukan dengan kekuatan manusia. Hati adalah hal yang paling kuat sekaligus paling rapuh. Hati yang diciptakan oleh Tuhan, ditujukan untuk hal baik. Dan jika manusia menghancurkan hati itu, siapa yang bisa menyembuhkannya selain Penciptanya sendiri?

“Perlahan, dari sehari ke sehari, hatiku pun mulai dipulihkan. Namun, perbuatan Dino masih saja muncul dan mengusikku, seolah-olah menolak untuk dilupakan. Seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang belum … selesai. Lalu aku membaca sebuah kutipan yang menyadarkanku bahwa masih ada yang belum tuntas, yaitu … pengampunan.”

“Nothing in the Christian life is more important than forgiveness—our forgiveness of others and God’s forgiveness of us.”

“Kutipan itu benar-benar menohokku, Sis. Ternyata aku baru setengah jalan dalam proses pengampunanku sendiri, karena sesungguhnya pengampunan tidak selesai hanya dengan kita menerima pengampunan Allah. Kita juga perlu meneruskannya kepada sesama kita. Seperti aku yang telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi belum meneruskannya kepada Dino. Tidak heran hatiku terus bergejolak.” Karen diam sebentar dan menghela napas dalam-dalam. “Bukan itu saja. Aku akhirnya tahu, mengampuni bukanlah urusan mood, melainkan sepenuhnya adalah tentang … keputusan,” bisik Karen. Ditatapnya Siska dalam-dalam.

“Keputusan yang tidak mudah pastinya, bukan?” balas Siska.

Karen mengangguk. “Iya, tidak mudah dan pastinya tidak selesai dalam semalam. Proses pengampunanku sendiri terhadap Dino masih terus berlangsung, Sis, bahkan sampai sekarang. Kadang, kalau teringat aku masih merasa kecewa. Meski begitu, aku juga tahu, kekecewaanku tidak lagi sedalam dulu, Sis. Dan aku yakin suatu hari nanti, akhirnya perasaan kecewa itu akan hilang sepenuhnya, karena Tuhan terus bekerja dalam hatiku.”

Siska tersenyum, hatinya membuncah dan tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Karen.

“Ren, sesungguhnya aku bingung mau bilang apa… Tapi, makasih banget. Makasih kamu udah sharing ini kepadaku ya,” ucapnya tulus.

“Makasih juga karena kamu udah sabar mendengarkan ceritaku, Sis,” balas Karen seraya tersenyum.

“Dan aku akan terus berdoa agar kamu bisa segera pulih total dari patah hati itu sampai akhirnya kau dapat sepenuhnya memaafkan Dino dan melepaskan perasaan kecewamu. Aku sungguh bersyukur kamu segera berpaling kepada Tuhan yang memampukanmu untuk mengambil hikmah dari pengalaman pahit ini. Ingat ya, Ren, kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman cerita, aku siap menemanimu.”

Karen mengangguk dengan penuh rasa haru. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Siska dengan hangat.

Cerita Karen memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pacar atau siapa pun sosok yang kita kasihi dan kagumi di dunia ini, bukanlah sosok sempurna. Satu-satunya sosok yang dapat kita percaya untuk menaruh harapan, hanyalah Yesus.

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Oleh Christina Anggita

Satu pertanyaan muncul dalam suatu kelompok tumbuh bersama, “Apa yang paling kamu syukuri sepanjang hidupmu?” Jawaban dari teman-temanku adalah penyertaan Tuhan, keluarga, maupun komunitas. Saat itu aku menjawab, kesehatan. Ya. Aku merasakan bahwa Tuhan begitu mengasihiku dengan menganugerahkanku kesehatan yang sangat baik. Mungkin hanya setahun sekali aku demam. Hampir tidak pernah aku tidak masuk sekolah atau bekerja karena sakit.

Namun, beberapa waktu setelahnya, aku mengalami sakit di bagian ulu hati. Biasanya aku merasakannya hanya sebentar tetapi kali ini berbeda, sakitnya masih bisa kurasakan selama dua hari berturut-turut. Di hari kedua itu, aku merasa ada yang aneh pada tubuhku. Bangun tidur, sebelah mataku bengkak, begitu pun leher. Siang hari di tempat kerja, aku melihat kakiku sepertinya bengkak tetapi aku tidak benar-benar yakin karena aku memakai celana panjang dan sepatu kets, dan tidak berniat memeriksanya. Sore hari, aku bersama teman mencoba menimbang berat badan ternyata berat badanku naik 5 kg. Aku senang sekali karena akhirnya aku gemuk, tapi setibanya di rumah setelah pulang kerja, aku berganti pakaian dan aku melihat ternyata kakiku bengkak seluruhnya. Ketika aku bercermin, mata dan leherku masih bengkak dan bertambah di bagian dahi.

Aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter, lalu dokter merujukku ke rumah sakit. Aku didiagnosis mengalami Sindrom Nefrotik (ginjal bocor). Aku harus menjalani proses pemeriksaan berkelanjutan dengan seluruh bagian tubuh yang semakin membengkak. Kondisi ini tidak mudah bagiku, terlebih saat itu aku berada di tanah rantau. Aku kemudian memutuskan kembali ke kota asal untuk dirawat di sana oleh keluarga.

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit ini. Inilah yang tetap kulakukan dan kupelajari selama masa-masa sakitku:

1. Tetap belajar bersyukur

Waktu aku sehat aku yakin Tuhan mengasihiku karena Dia mengaruniakan kesehatan, tapi waktu aku sakit aku juga sangat yakin Tuhan mengasihiku, meskipun sakit yang kualami terasa seperti teguran. Aku tetap berusaha bersyukur, karena aku percaya bahwa Tuhan itu baik dan Dia tentu punya rencana yang baik pula di balik sakit yang kualami.

2. Belajar mengandalkan Tuhan

Waktu aku sehat, fisikku kuat, aku bisa melakukan banyak hal. Pertanyaannya, apakah aku sering mengandalkan kekuatanku sendiri untuk banyak hal itu? Jawabannya ya. Waktu aku sakit, aku tidak bisa melakukan banyak hal. Aku melihat diriku lemah, jalan saja susah, terbatas beraktivitas, bisakah aku mengandalkan kekuatanku sendiri? Tentu tidak. Aku membutuhkan orang lain dalam banyak hal. Aku menyadari bahwa sesungguhnya aku hanya ciptaan yang terbatas dan lemah, tetapi aku punya Pencipta yang begitu kuat dan luar biasa. Kekuatanku itu semata-mata hanya karena kasih anugerah-Nya sehingga aku dan kita semua ada sampai saat ini. Maka sesungguhnya kita selalu membutuhkan Tuhan dalam tiap aspek kehidupan dan tiap waktu. Aku belajar lebih berserah pada Tuhan dalam kondisi apapun itu.

3. Belajar melayani sesama

Waktu aku sakit, begitu mudahnya aku mendapat pertolongan, doa dan dukungan di tengah kesulitan yang kualami selama sakit. Itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan begitu mengasihiku. Ia mengizinkan aku merasa sesuatu yang tidak enak menurutku tetapi Dia juga menyediakan pertolongan melalui orang-orang di sekitar. Mereka berdoa bersamaku, menguatkan dan memberi semangat kepadaku, bahkan membantu menyiapkan makananku hingga mengantarku bolak-balik ke rumah sakit. Sekarang pertanyaannya adalah sudahkah aku juga memberi diri untuk melayani dan menolong sesama dengan setia?

Rasul Paulus jelas mengingatkan kita semua tentang kasih Kristus dalam Efesus 3 : 18-19 (TB) “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Bagian ini merupakan rangkaian dari bagian doa Rasul Paulus bagi orang-orang percaya di Efesus. Apa yang menjadi permohonan Paulus bagi jemaat di Efesus adalah bukan supaya kehidupan jemaat bertumbuh dalam hal kuantitas, mereka yang hidup dalam kemiskinan menjadi bergelimpang harta, mereka yang sakit mendapatkan kesembuhan, melainkan bagaimana jemaat bertumbuh dalam memahami dan memiliki pengenalan akan kasih Kristus. Harapan Paulus dalam doanya adalah supaya jemaat di Efesus bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami kasih Kristus.

Paulus menggambarkan kasih Kristus itu betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalam. Kasih Kristus adalah kasih yang tiada tara, yang sulit dipahami oleh akal pikiran manusia yang terbatas. Namun frasa “sulit dipahami” itu bukan berarti bahwa orang percaya seharusnya berhenti saja untuk belajar memahami dan mengenal-Nya. Paulus juga memohonkan kepada Allah supaya jemaat di Efesus dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Paulus rindu mereka hidup dalam kasih kepada Kristus Yesus dan kasih kepada sesama, sebagai orang yang telah diselamatkan dan sebagai tubuh Kristus.

Inilah juga yang seharusnya menjadi konten dan semangat yang seharusnya hidup dalam kehidupan setiap orang kudus di segala abad dan tempat. Tidak jarang kita memohonkan kepada Allah tentang bagaimana kita sembuh dari sakit penyakit, bagaimana supaya keuangan kita bertambah, karir lancar atau meningkat dan lain-lain. Adakah permohonan kita kepada Allah tentang bagaimana kita bertambah teguh dalam iman, memahami, mengenal dan menghidupi kasih Allah dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan keseharian sehingga hidup yang kita jalani adalah hidup yang benar dan yang memuliakan nama Tuhan.

Sesungguhnya kehidupan selama masa pemulihan sangatlah sulit bagiku. Selain melakukan rawat jalan dengan cek urin dan darah setiap dua minggu, aku harus mengonsumsi banyak obat dan mengubah pola makan. Aku benar-benar tak menyukainya tapi aku belajar taat. Setiap hari juga aku berdoa bukan hanya untuk kesembuhan tapi untuk terus bertambah teguh dalam iman kepada Kristus seperti yang Paulus ingatkan. Puji Tuhan setelah empat bulan berlalu, aku sembuh total. Aku bersyukur atas perkenanan Tuhan memberiku kesembuhan meskipun akhirnya Tuhan izinkan aku tidak bekerja lagi demi kesehatanku yang lebih baik.

Tuhan mengubahku menjadi pribadi yang berbeda setelah melalui penyakit ini. Aku menjadi pribadi yang selalu mencari Tuhan lebih dahulu dalam menghadapi pergumulan apapun sehingga aku lebih kuat menghadapinya dan percaya segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Kehidupan doa dan saat teduh menjadi bagian yang kunikmati setiap hari. Tuhan juga menanamkan panggilan untuk terus melayani orang-orang di sekitarku meski hanya melalui hal kecil yang bisa kulakukan seperti menjadi pendengar dan mendoakan sesama yang sedang bergumul, serta memberi kesaksian bagaimana Tuhan bekerja dalam hidupku melalui komunitas maupun media sosial.

Kiranya kasih Kristus selalu memampukanku dan kita semua untuk bersyukur, mengandalkan Tuhan, serta melayani Tuhan dan sesama dengan setia.

To God be the glory.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lebih Dari Kain Kering Bekas

Pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu. Meski sempat gengsi untuk meminta tolong, tetapi Tuhan menolongku lewat tindakan kasih teman-temanku.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Pernahkah kamu menolak dirimu sendiri?

Mungkin ketika nilai-nilaimu tak memenuhi keinginan orang tuamu? Karena teman-temanmu mengejek dan menertawakanmu? Atau, karena kondisi keluargamu tak sebaik keluarga orang lain? Dunia ini mengajari kita untuk selalu merasa tidak puas. Ibarat secarik kertas putih, kita dinodai oleh pandangan-pandangan buruk yang berkembang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, kita pun menolak diri kita.

Apa sih tandanya kalau kamu sedang menolak dirimu sendiri?

1. Kamu berjuang keras untuk membuktikan dirimu

Ada kutipan yang bilang: what doesn’t kill you, makes you stronger. Komentar-komentar buruk mungkin menjadi motivasi penggerakmu. Kata-kata itu melukaimu, tapi mendorongmu bangkit. Selembar kertas putih menyembunyikan wujudnya, mengenakan sehelai masker untuk menunjukkan senyum getirnya. Penolakan dari orang lain kamu jadikan pecut bagi dirimu sendiri, dan kamu paksa dirimu untuk selalu jadi orang yang lebih baik.

2.Takut melihat ke belakang

Menutup lembaran lama, sama sekali tak ingin menengoknya lagi. Ketika kenangan itu datang, ada narasi yang berbisik di hati: Kok aku bodoh banget sih? Kok aku jelek? Kok aku memalukan? Kamu melabeli dirimu dengan banyak hal negatif.

3. Tak bisa menilai diri dengan objektif

Semakin banyak informasi buruk diterima, semakin sulit kamu menilai dirimu dengan objektif. Kamu menganggap kamulah yang paling bodoh, paling jelek, paling suram di dunia ini

Namun, seiring kamu kelak mengalami proses pemulihan dari Tuhan, Dia membukakan pandanganmu untuk melihat betapa kamu telah menolak dirimu sendiri. Di hadapan tuntutan tinggi yang diterapkan oleh orang tua, sekolah, dan lingkunganmu, kamu mungkin tak mampu mencapainya. Akibatnya, kamu menolak dirimu, membandingkan dengan orang lain, dan merasa buruk. Perasaan-perasaan ini menekanmu sampai Tuhan akhirnya memberimu kelegaan.

4. Ketahuilah nilai dirimu yang sejati di hadapan Tuhan

1 Korintus 6:20 berkata, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Kita adalah ciptaan-Nya yang berharga. Tuhan mengerti dan menguatkan kita. Ingatlah siapa kita di dalam-Nya.

5. Serahkanlah segala kepedihanmu kepada Tuhan

Kuatkanlah hatimu, berdamailah dengan dirimu sendiri, dan serahkanlah segala luka masa lalumu pada Tuhan yang akan menolongmu keluar dari kegelapan.

Luka Karena Patah Hati Adalah Sebuah Perjalanan yang Mendewasakanku

Oleh Senja*, Medan

Setelah lahir baru aku merasa mudah untuk mengampuni orang lain. Selalu kukatakan pada diriku sendiri bahwa pengampunan yang Tuhan berikan memampukanku untuk mengampuni orang lain. Namun, sepertinya itu hanya teori yang memenuhi kepalaku saja, tidak hatiku.

Tahun 2018 bagiku adalah tahun ketika Tuhan menjawab doa dan penantianku akan teman hidup. Aku sangat berharap bisa menikah di tahun itu. Aku mempunyai pacar yang menurutku sangat ideal dan sepadan denganku. Kami aktif melayani di gereja. Kedua keluarga kami pun cukup terbuka atas hubungan kami. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, orang tuanya menyambutku dengan hangat. Begitu juga ketika dia berkunjung ke rumahku, orang tuaku menanggapinya dengan senang. Bagi seorang wanita berusia 28 tahun, usia ini sudah tepat untuk menikah.

Namun, dalam perjalanannya, rencanaku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Benar kata firman Tuhan yang berkata bahwa rancangan Tuhan seringkali berbeda dengan rencana kita (Yesaya 58:8). Aku diputuskan oleh pacarku dengan alasan supaya aku dapat mencari yang lebih baik darinya, itu saja alasannya. Bagiku yang mendambakan pernikahan di usiaku yang sudah cukup matang itu, kabar ini mengguncangkan hati dan perasaanku. Keluarga kami sudah saling kenal, kami satu pelayanan, semua orang di gereja atau lingkungan tempat tinggal kami sudah mengetahui hubungan kami. Aku pun begitu bangga padanya.

Tuhan seolah menghancurkan segala mimpi dan harapanku seketika itu juga. Butuh waktu bagiku untuk dapat pulih dan mengampuninya. Aku merasa Tuhan sedang mengujiku, apakah benar pengampunan yang kualami dalam Kristus memampukanku untuk mengampuni dia yang telah menyakitiku?

Jujur bagiku, di awal cukup sulit. Aku memutuskan untuk rehat sejenak dari aktivitas pelayanan di pemuda waktu itu supaya aku tidak bertemu dengannya. Butuh kekuatan bagiku untuk berdiri tegak menghadapi setiap pertanyaan yang datang padaku dari orang-orang di sekitarku.

Aku pernah menangis sepanjang malam mengingat semua kisah itu dan berdoa hanya agar aku bisa tidur malam itu. Aku pernah melalui masa-masa sulit sekali untuk tidur, aku selalu terkenang bagaimana perjalanan yang telah dilalui dan harapan yang sirna.

Namun, syukur kepada Allah yang adalah sumber dari segala sesuatu yang telah mengampuniku ketika aku sangat berdosa. Dia mati bagiku sehingga aku memperoleh pengampunan dari-Nya.

Matius 6:12, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”

Ayat itu terngiang dalam benakku ketika aku mengikuti retret. Dalam sesi Alone with God (AWG), kami diminta untuk benar-benar berdoa atas siapa yang belum dapat kami ampuni. Seketika itu air mataku menetes dan aku merasa seperti dikuliti, bahwa setelah beberapa waktu pun ternyata aku masih belum pulih. Aku marah pada diriku sendiri, namun pertolongan Tuhan menguatkanku untuk dapat mengampuni.

Dalam salah satu buku yang kubaca, Prayer, Timothy Keller mengutip perkataan Calvin:

“Jika kita mempertahankan rasa benci di dalam hati, jika kita merencanakan balas dendam dan memikirkan waktu yang tepat untuk menyakiti, dan bahkan jika kita tidak berusaha mengingat kebaikan para musuh kita, beserta setiap jasa baik yang dilakukannya, serta menghargai mereka atas itu, maka lewat doa ini kita meminta dengan sangat kepada Allah supaya tidak mengampuni dosa-dosa kita sendiri.”

Sekeras itulah Calvin berbicara, melalui tulisan ini dan menegurku bagaimana aku seharusnya menghargai pengampunan dari Tuhan untuk aku dapat mengampuni sesamaku. Bukankah aku pun tak layak diampuni, namun Tuhan mengampuniku. Apakah aku lebih besar dari Penciptaku? Tentu tidak. Maka jejak Allah yang lebih dahulu mengampuniku mengajarkanku mengampuni sesamaku.

Saat ini relasi kami cukup baik sebagai sahabat di dalam Tuhan dan teman sepelayanan. Aku tidak menghindari pertemuan dengannya dan hubungan kami berjalan sealami mungkin. Saat ini bagiku luka karena patah hati adalah sebuah perjalanan yang mendewasakanku dan mengajarkanku bagaimana semestinya harus mengampuni.

Mari saling mengampunilah di dalam Tuhan, sebab Tuhan lebih dahulu mengampuni kita.

Kolose 3:13, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Dalam Penyesalan Sekalipun, Anugerah-Nya Memulihkan Kita

Mungkin pengalaman menyesal yang kualami tidak seberat apa yang raja Daud alami. Namun aku belajar bahwa penyesalan pun ternyata bisa dibawa kepada Tuhan dan hanya dalam anugerah Allah saja kita bisa diselamatkan dan terbebas dari belenggu rasa bersalah.

Dalam Penyesalan Sekalipun, Anugerah-Nya Memulihkan Kita

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Menjadi orang yang minder dan kurang percaya diri membuatku sering kesulitan saat membuat pilihan dalam hidup ini. Bukan hanya pilihan dalam ruang lingkup besar dan krusial, tapi juga pilihan ‘sepele’ dalam kehidupan sehari-hari. Semisal: aku harus pakai baju apa hari ini agar terlihat bagus? Aku harus naik transportasi apa supaya tidak terlambat sampai kantor dan tidak ditegur atasan? Jawaban apa yang harus kuberikan pada temanku yang sedang curhat tanpa harus menghakimi atau melukai hatinya?

Takut salah. Dua kata yang aku sadari benar-benar terjadi dalam membuat pilihan di hidupku sehari-hari. Aku takut salah mengambil langkah dan berujung pada kerugian, baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku takut menyesal. Bagiku, rasa penyesalan itu rasanya menyakitkan. Tidak enak.

Waktu SMA, aku pernah mengalami penyesalan dalam hal relasi pertemanan. Kondisinya saat itu kami sedang mengobrol biasa melalui pesan singkat, layaknya teman baik yang saling curhat terkait masalah masing-masing. Namun ada perkataan dariku—yang menurutku baik-baik saja—ternyata menyinggung perasaannya. Dia jadi salah paham dan akhirnya marah padaku. Komunikasi lewat pesan di layar ponsel merupakan bahasa yang tidak berbunyi, tidak menampilkan bahasa tubuh, tidak bisa mengekspresikan nada bicara yang sebenarnya sehingga sangat rentan untuk disalahartikan. Akibat tersinggung itu, dia menuliskan satu kata yang pada akhirnya membuatku juga ikutan tersinggung: munafik. Satu kata yang sungguh tajam melukai hatiku. Di situ aku bingung dan bertanya-tanya: Aku salah di mana, sih? Sejak saat itu pertemanan kami cukup merenggang. Kami tidak saling sapa lagi ketika bertemu di sekolah, bahkan sampai lulus SMA. Padahal sebelumnya kami adalah teman baik.

Masalah relasi tersebut akhirnya makin memperbesar rasa ‘takut salah’ itu sendiri. Aku makin kesulitan untuk bersikap dan berkata-kata pada orang lain. Aku terus-menerus bertanya pada diri sendiri: harus bersikap seperti apa? Kata-kata apa yang paling baik untuk diucapkan pada orang lain? Pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran ini pun pada saat yang sama memperbesar rasa minder dan kurang percaya diri itu sendiri. Bukan hanya dalam hal relasi, tapi dalam banyak aspek kehidupan. Aku jatuh pada penyesalan.

Lalu aku sempat berpikir: seandainya waktu dapat diulang kembali, aku akan memilih kata- kata lain yang lebih kecil kemungkinannya untuk menyinggung perasaannya. Di saat yang sama, dalam keegoisanku, aku sering juga membela diri dalam pembenaran: tapi aku kan tidak mengucapkan kata-kata kasar padanya. Kok dia tersinggung, sih? Sungguh pikiran yang kontradiktif karena aku pun bingung menentukan apakah yang kulakukan itu benar atau salah.

Dalam perenunganku menghadapi rasa sesal di masa lalu, di tengah penulisan ini aku diingatkan tentang penyesalan yang dialami raja Daud dalam Mazmur 32. Daud mengatakan:

“Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu! Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas. Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran- pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.”

Mungkin pengalaman menyesal yang kualami tidak seberat apa yang raja Daud alami. Namun aku belajar bahwa penyesalan pun ternyata bisa dibawa kepada Tuhan dan hanya dalam anugerah Allah saja kita bisa diselamatkan dan terbebas dari belenggu rasa bersalah. Aku sedih telah membuat teman baikku tersinggung dan sampai membuahkan relasi yang retak. Aku juga menyesal mengapa aku pada waktu itu tidak minta maaf duluan tanpa perlu membela diri melakukan pembenaran dengan alasan aku juga ikut tersinggung dengan kata-katanya. Namun, sepertinya dari peristiwa ini aku sedang diajari untuk tetap rendah hati, mau mengakui kesalahan, kelemahan dan kerentanan di hadapan Tuhan, dan menyerahkan relasi yang retak untuk Tuhan pulihkan. Aku juga belajar bahwa kedepannya, aku bisa meminta hikmat pada Tuhan dalam menentukan pilihan-pilihan yang bijaksana, termasuk pilihan dalam cara berkomunikasi atau menyampaikan pesan pada orang lain.

Cerita penyesalanku ini hanya satu dari sekian banyak penyesalan yang kualami akibat pilihan-pilihan bodoh yang kuambil di masa lalu. Namun aku juga ternyata punya pilihan untuk menjadikan masa laluku sebagai pengingat, bahwa Tuhan tak pernah tinggalkan aku dalam momen apapun; bahwa Tuhan tak pernah bosan untuk menungguku menyapa-Nya setiap hari dan menyerahkan segala masalah serta pergumulan dosaku pada-Nya; bahwa Tuhan memberikan kasih-Nya yang luar biasa dari atas kayu salib buatku supaya terbebas dari belenggu rasa bersalah; bahwa anugerah pengampunan-Nya benar-benar nyata dan terjadi.

Sekarang, dalam penyertaan Tuhan aku pelan-pelan belajar untuk mengikis rasa minder dan tidak percaya diri akibat rasa bersalah yang menghalangiku dalam membuat sebuah pilihan. Mengutip apa yang ditulis oleh David G. Benner dalam bukunya yang berjudul Surrender To Love bahwa “rasa bersalah selalu menghasilkan halangan bagi kasih” juga membuatku mengizinkan diriku untuk tenggelam dalam kasih karunia-Nya. Aku memberi diri untuk ditolong Tuhan dalam membereskan luka penyesalan di masa lalu supaya kini aku bisa melangkah maju ke depan bersama-Nya tanpa dibelenggu rasa penyesalan.

Grace alone. Hanya karena kasih karunia.

“Grace alone which God supplies

Strength unknown He will provide

Christ in us our corner stone

We will go forth in grace alone.”

(Grace Alone – Scott Wesley Brown, Jeff Nelson)

Baca Juga:

Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan?

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ditulis oleh Matthew Job Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Surviving Traumatic Brain Injury: From “Why Me” To “Why Not Me?”

Yeremia 29:11 berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sebagian besar orang Kristen mungkin pernah mendengar ayat Alkitab yang terkenal ini. Seperti yang mungkin pernah kita dengar, mengetahui dan mengalami merupakan dua hal yang berbeda. Jika suatu hal tidak dialami secara pribadi, ayat ini hanya akan menjadi kepercayaan yang abstrak.

Pencobaan

“Karena bukan dari debu timbul bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan.” (Ayub 5:6)

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Kala itu, aku sedang bertanding di babak semifinal pertandingan Judo—sedekat itulah aku dengan medali emas pertamaku—ketika aku mendarat dalam posisi yang salah saat menerima pukulan lawan. Kejadian ini membuatku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Akibat cedera itu, aku mengalami koma selama 2 bulan. Cedera otak itu turut menyebabkan kerusakan otot-ototku. Aku tidak mampu menjalankan aktivitas apapun. Aku memperoleh asupan gizi lewat infus (untuk minum) dan selang (untuk makan). Pasca koma, otot-ototku terlalu lemah untuk menahan kepala atau badanku pada posisi tegak. Berbicara dan bergerak adalah hal yang mustahil untuk kulakukan. Dalam sekejap mata, hidupku hancur berantakan.

Perjalananku untuk pulih dan kembali ke kehidupan normal dipenuhi dengan hambatan. Pada masa-masa awal, proses pemulihan fungsi-fungsi tubuhku bagaikan mimpi buruk. Aku tidak bisa berbicara maupun bergerak. Aku takut untuk bangun setiap pagi karena kondisi tubuhku yang rusak.

Satu tahun kemudian, aku kembali ke sekolah menengahku yang lama dengan kursi roda, yang membuatku menghadapi semakin banyak kesulitan. Selain harus menghadiri sesi terapi rawat jalan setiap minggunya, aku kesulitan untuk fokus dan mengikuti pelajaran karena stamina mental yang terbatas dan proses berpikir yang lambat. Saat itulah aku menyadari kerusakan yang ditimbulkan cedera otak pada sisi kognitifku.

Aku tidak lagi dapat mengejar ketertinggalan dari teman-temanku di sekolah sekalipun aku sudah mengurangi beberapa mata pelajaran. Aku hanya mengambil lima mata pelajaran, sementara teman-teman sekelasku mengambil sembilan. Dari kegagalan yang berulang kali terjadi saat ujian, terbukti bahwa aku bukan lagi peraih prestasi seperti dulu.
Pindah ke politeknik, aku tidak hanya terus bergumul di bidang akademik—aku juga harus berjuang agar bisa berbaur dengan baik. Proses berpikir yang lambat membuatku terus bersikap canggung. Sekalipun orang-orang di sekitarku menghiburku, aku tetap merasa sendirian dan mulai membenci diriku sendiri.

Kesulitan yang kualami membuatku mempertanyakan maksud Tuhan yang mengizinkan malapetaka ini menimpaku. Kalau rencana Tuhan dalam hidupku memang untuk memberikan damai sejahtera dan masa depan yang berpengharapan, aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan tidak menghentikan terjadinya kecelakaan itu.

“Apa aku telah berbuat dosa besar yang membuatku pantas dihukum seberat ini? Kenapa Dia masih membiarkanku hidup di sini untuk menderita? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja pada hari itu? Kenapa aku?” Itu adalah sederet pertanyaan yang menyeretku masuk dalam keputusasaan. Pada satu titik, aku bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Pencobaan yang kualami terlalu menyesakkan. Manusiawi jika aku memilih untuk menyerah.

Memahami “mengapa”

“Hidup dan kasih setia Kau karuniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.” (Ayub 10:12)

Ketidakpercayaanku akan rencana Tuhan yang sempurna tidak membuat-Nya berhenti mengasihiku. Melalui keluarga, guru, teman, mentor, dan bahkan orang yang tidak kukenal, Tuhan memberikan kekuatan, semangat, dan mukjizat yang memampukanku melewati masa-masa sulit itu. Saat aku menengok ke belakang, aku menyadari penyertaan-Nya dalam hidupku: hanya kasih karunia-Nya yang dapat menjaga dan memberiku kekuatan untuk memikul salibku.

Sekalipun sempat mengalami kegagalan saat kembali ke sekolah menengah, aku berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di politeknik berkat dukungan dari guru-guruku.

Dalam masa pemulihan, aku diperkenalkan pada pengobatan alternatif seperti akupuntur, terapi berenang, dan meditasi. Ditambah dengan olahraga yang intens setiap harinya, akhirnya setelah dua tahun aku bisa kembali berjalan. Bahkan, aku dapat menyelesaikan pertandingan lari jarak jauh, termasuk perlombaan maraton 10 kilometer di tahun 2016.

Walaupun diperhadapkan pada kenyataan bahwa aku tidak akan mampu bkerja di bidang pendidikan atau industri, aku diterima bekerja sebagai asisten terapis untuk terapi musik di sebuah panti jompo Kristen yang mau mempekerjakan dan memberi dukungan tanpa pamrih untukku.

Pekerjaanku membuatku berkembang, baik dalam pemulihanku maupun kompetensiku sebagai seorang profesional. Kompleks panti jompo yang besar mengharuskanku banyak menggerakkan kaki dan memberiku banyak kesempatan untuk latihan berjalan. Dengan bangga kukatakan bahwa kecepatan berjalanku sudah bertambah!

Aku tertantang untuk memikirkan cara supaya tugas yang diberikan kepadaku bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Jam klinik harian bersama para penghuni panti jompo juga membantuku mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Disiplin untuk mengerjakan semua kewajiban seperti persiapan, pelaksanaan, dan pembersihan untuk sesi individu maupun kelompok memberiku kesempatan untuk melatih kemampuan manajemen waktu. Terlepas dari keterampilan kerjaku yang bertambah baik, aku mulai mengerti sebagian kecil dari alasan mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami kejadian yang mengerikan itu.

Mengalami maksud penebusan Tuhan

Di tempat kerja, hari-hariku dilalui dengan berinteraksi dengan mereka yang sudah memasuki usia senja. Aku berjalan bersama mereka yang telah—entah secara perlahan maupun tiba-tiba—kehilangan kendali atas hidup mereka. Oleh karena itu, mereka hanya bisa bergantung pada orang-orang di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi mereka mencerminkan masa laluku.

Melalui musik, aku dapat membawa sukacita dan penghiburan bagi orang-orang yang mirip denganku. Tentu saja, kesakitan dan penderitaanku tidak dapat dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan. Tetapi aku percaya, Tuhan mengizinkanku merasakan kehilangan pengharapan dan ketidakberdayaan supaya aku bisa lebih berempati kepada para penghuni panti jompo ini.

Dengan empati yang aku miliki, aku menjadi lebih sabar dan peka dalam menjalani keseharianku bersama mereka. Aku bersikeras untuk terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka, sekalipun ada dari mereka yang sulit ditangani atau tidak responsif. Aku tahu betul bagaimana rasanya kesepian, dan inilah yang menggerakkanku untuk menjangkau dan mengunjungi penghuni panti setiap hari sekalipun saat itu bukan jadwal tugasku.

Tentu, dedikasiku padapekerjaan membuatku merasa lelah di ujung hari. Namun, aku bersukacita karena aku pulang ke rumah tanpa membawa penyesalan. Aku kagum akan kasih Tuhan untukku, karena melalui keadaan hidupku yang unik, yang dulu pernah kulalui, aku bisa memaknai pekerjaanku dan menemukan sukacitaku berlipat ganda.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami apa maksud Tuhan untuk hidupku. Tuhan tahu bahwa aku akan menderita, tetapi Dia memberiku kekuatan yang cukup untuk bertahan dari kecelakaan cedera otak dan mempersiapkanku untuk melakukan pekerjaan yang indah ini. Dengan kasih karunia Allah, aku berhasil membalikkan pencobaan terberatku menjadi hal terbaik yang mungkin dapat terjadi kepadaku.

Setelah mengalami kebenaran dan indahnya janji Tuhan, aku bisa memiliki harapan akan masa depanku. Jika saja dulu aku memutuskan untuk menyerah, aku tidak akan bisa melihat karya-Nya di hidupku dan menikmati perjalanan bersama Tuhan hari ini. Pertanyaan terbesarku “Mengapa aku?” sudah berganti menjadi “Mengapa bukan aku?”, dan hal ini dapat terjadi karena aku telah bertekun dalam penderitaanku yang bersifat sementara.

Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah, tapi sama seperti Ia menyertai orang Israel selama masa pengasingan, Ia juga berjanji tidak akan pernah meninggalkan atau membuang kita di tengah pencobaan dan penderitaan yang kita alami.

Rencana Tuhan kadangkala melibatkan rasa sakit dan penderitaan, namun Dia berjanji akan menyertai kita melewati semua itu (Yesaya 41:10). Apapun yang kamu sedang alami saat ini, aku mengajakmu untuk tetap bertahan. Sebab, saat kamu “membiarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang”, kamu akan menjadi “sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Pengharapan bahwa kita akan disempurnakan di dalam Dia akan memberikan kita pengharapan untuk masa depan kita. Amin.

Artikel ini diterjemahkan oleh Stephanie Yudith

Baca Juga:

Jangan Sekadar Mengeluh!

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat.”

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Oleh Lidia, Jakarta

Di bulan Maret 2010, aku pertama kali berpacaran dengan seorang pria. Dia adalah teman sekelasku di bangku kuliah. Dia tumbuh baik di keluarga Kristen dan kupikir karena kami adalah pasangan yang seiman, maka kami pasti mampu menghadapi badai apapun di depan kami. Jadi, saat itu aku pun berpikir kalau pacarku itu kelak akan menjadi calon suamiku. Namun, pada tahun 2010, aku dinyatakan memiliki tumor di kedua payudaraku. Waktu itu usiaku masih 20 tahun dan kenyataan ini membuatku sangat sedih. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus mengalami penyakit ini di saat aku bahkan belum lulus kuliah.

Aku menceritakan pergumulan ini dengan terbuka kepada pacarku. Dia mengatakan kalau dia menerima kondisiku. Namun, beberapa hari sebelum aku menjalani operasi pengangkatan tumor, pacarku meneleponku. Dia berkata kalau dia menceritakan keadaanku kepada ibunya, tapi ibunya merespons dengan meminta dia untuk segera memutuskan hubungan denganku. Ibunya khawatir apabila di kemudian hari jika aku menikah dengannya, aku terkena kanker dan akan menghabiskan uang putranya.

Mendengar hal itu, aku menangis dengan perasaan sangat sedih. Dalam hatiku juga timbul amarah karena aku tidak habis pikir mengapa ibunya dapat berpikir setega itu. Aku tidak berdebat dengan pacarku setelahnya. Tapi, pikiranku jadi sangat kacau, padahal seharusnya aku menyiapkan diriku untuk menjalani operasi. Aku menyimpan hal ini rapat-rapat. Aku tidak menceritakannya kepada siapapun, termasuk kedua orang tuaku.

Singkat cerita, Tuhan sangat baik, operasiku berjalan lancar. Tapi, pasca operasi saat aku sadarkan diri, aku menangis sangat keras. Aku masih teringat jelas kata-kata dari ibu pacarku itu. Pacarku masih menjengukku, namun di hari kedua setelah aku dioperasi, dia meneleponku dan berkata kalau dia tidak dapat lagi mengunjungiku di rumah sakit. Ibunya melarang dia untuk menemuiku.

Melanjutkan hubungan tanpa kepastian

Meski sudah dilarang oleh ibunya, kami masih sering bertemu. Aku tahu kalau hubungan ini bukanlah hubungan yang sehat. Tapi saat itu aku masih belum paham apa itu hubungan yang sehat. Selama tiga tahun kami berpacaran secara sembunyi-sembunyi.

Aku sadar bahwa hubungan kami ini tidak ada kepastian, tapi aku terjebak dalam dilema. Di satu sisi aku merasakan kepahitan, sakit hati akibat kata-kata dari ibu pacarku. Di sisi lainnya, aku takut kehilangan pacarku. Aku berpikir kalau aku putus dengannya, tidak mungkin ada orang lain yang mau menerima keadaan fisikku yang sudah dioperasi kedua payudaranya. Aku pun merasa tidak ingin bercerita kepada orang lain (saat teman-teman meledekku selalu makan makanan sehat) kalau aku pernah operasi tumor payudara. Aku merasa takut kalau orang lain pun mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti yang ibu pacarku ucapkan.

Pacarku pun diliputi perasaan bimbang. Dia bingung apakah harus memutuskan relasi ini atau tidak. Dia mengatakan bahwa apa yang ibunya katakan tidak sepenuhnya benar dan dia ingin melanjutkan relasi denganku. Tapi, di sisi lainnya, sebagai anak dia tidak dapat melawan orang tuanya. Akhirnya, aku pun menceritakan pergumulan ini kepada kedua orang tuaku. Mereka mengatakan apa yang dikatakan oleh ibu pacarku itu wajar, karena sebagai orang tua mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Lalu kedua orang tuaku pun menyarankanku lebih baik untuk putus.

Relasiku dengan Tuhan pun terasa semakin hambar. Hatiku jauh dari Tuhan dan aku merasa tidak ada lagi damai sejahtera. Meski aku masih berdoa, tapi aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan dalam hidupku. Ada dorongan dalam hatiku untuk berani mengambil keputusan, tetapi aku masih bersikukuh untuk bertahan dalam hubungan yang tidak jelas ini, sekalipun hubungan kami saat itu sudah dipenuhi dengan pertengkaran.

Berakhir dengan patah hati namun Tuhan memulihkanku

Sampai suatu ketika, pacarku memberitahuku kalau dia sudah memiliki teman perempuan lain, dan saat itu mereka sedang pergi berdua saja ke luar kota. Sejak dia mengatakan itu, maka hubungan kami pun berakhir. Aku menangis dan merasa terpuruk. Aku merasa tidak berharga dan kehilangan akal sehatku. Namun, aku teringat untuk menghubungi beberapa teman seimanku dan itulah kali pertama aku menceritakan masalahku kepada mereka. Dengan jujur aku bercerita kalau aku merasa sakit hati oleh perkataan ibu mantan pacarku, juga alasan mengapa aku tetap bertahan dalam hubungan yang tidak jelas karena aku khawatir apabila tidak ada orang lain yang mau menerimaku apa adanya. Malam itu, aku menangis di hadapan Tuhan dan aku benar-benar meminta pertolongan dari-Nya.

Kemudian aku teringat kembali akan sebuah ayat dari Mazmur 34:19, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Aku merasa Tuhan berbicara kepadaku melalui ayat ini. Kemudian, dalam hatiku aku mendengar Dia berkata, “Anak-Ku, tidak percayakah kamu dengan-Ku? Aku, Tuhan, Mahakuasa, berkuasa atas kehidupan ini.”

Sejujurnya, bisikan Tuhan dalam hatiku itu sudah sering kudengar dulu, tapi itu tidak membuatku merasa sukacita dan damai. Aku masih takut kehilangan pacarku dan sebagainya. Tapi, detik itu juga, ketika aku benar-benar berserah memohon pertolongan Tuhan, aku sadar bahwa di dunia ini semua orang bisa meninggalkan kita. Hanya ada satu Pribadi yang bisa kita percaya dan andalkan, Dialah Tuhan Yesus.

Selama seminggu setelahnya, aku bergumul untuk melanjutkan hidupku. Aku merasa broken bukan hanya karena putus, tetapi karena aku merasa diriku tidak berharga dan mungkin pria-pria lain akan takut dengan wanita sepertiku. Kata-kata dari ibu mantan pacarku masih bergema dalam diriku. Rasa sedih masih sering muncul dan saat aku sedang sendirian di kantor, aku pun menangis. Namun Tuhan kembali menguatkanku. Dia mengajakku untuk melepaskan kesedihanku, memaafkan mereka yang telah menyakitiku, dan percaya sepenuhnya kepada-Nya. Hari itu juga aku berkomitmen untuk move-on dan puji Tuhan, dalam hari-hariku setelahnya, Tuhan mengaruniakanku kedamaian dan sukacita. Hingga akhirnya, saat ini aku tidak lagi merasa kecewa ataupun terpuruk atas segala pengalaman yang telah kulalui tersebut.

Mengampuni memang bukan perkara yang mudah. Tapi ketika Tuhan berbicara kepadaku, aku sadar bahwa aku juga manusia yang pernah mengecewakan hati Tuhan. Tapi, Tuhan mau mati untukku di kayu salib untuk mengampuni dosa-dosaku. Lalu, siapakah aku yang tidak mau mengampuni orang lain?

Aku merasakan dan mengecap bahwa Tuhan itu teramat baik dalam kehidupanku. Bukan karena jalan hidupku selalu lancar, tetapi Tuhan selalu menolongku tepat pada waktu-Nya. Tuhan menolongku bukan hanya saat ketika aku bergumul dengan mantan pacarku, tetapi juga dalam studi S-2ku dan juga pekerjaan yang kutekuni sekarang.

Hal lainnya yang kupelajari adalah meskipun aku sempat menjauh dari Tuhan, tapi sesungguhnya Tuhan tidak pernah menjauh dariku (Ibrani 13:5). Tuhan tetap menerimaku ketika aku datang kepada-Nya. Di dalam doa, aku bisa menumpahkan semua yang kurasakan dan meminta ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosaku. Hanya dengan datang kembali pada Tuhanlah maka aku bisa kembali merasakan keintiman dengan-Nya.

Hanya Tuhan sajalah yang mampu memberikan sukacita yang sejati, bukan kesenangan semata yang ada hari ini dan besok hilang karena masalah lain; bukan pula euforia sementara yang ada di dalam hidup kita. Kawan, apapun pergumulanmu, datanglah pada Tuhan Yesus dan mulailah berdoa kepada-Nya sekarang. Percayakanlah masa depan dan harapanmu pada Tuhan Yesus. Andaikan semuanya tidak berjalan sesuai keinginan hatimu, jangan pernah berhenti berharap pada Tuhan Yesus, sebab Tuhan pasti memiliki rancangan yang indah untuk kita. Dan ketika kita bersama-Nya, kita tidak akan kekurangan.

Baca Juga:

Media Sosial Bukanlah Tempat Curhat Terbaik

Dulu, media sosial adalah tempat pertamaku untuk menceritakan segala keluh kesahku. Aku bisa curhat ataupun menyindir seseorang di sana. Tapi, melalui sebuah teguran, akhirnya aku sadar bahwa media sosial, meski aku bisa curhat di sana, itu bukanlah tempat curhat yang terbaik.

Ketika Tuhan Memulihkan Keluargaku yang Hancur

ketika-tuhan-memulihkan-keluargaku-yang-hancur

Aku dibesarkan di keluarga broken-home. Sejak aku masih kecil, aku sudah sering menyaksikan kebencian, kecemburuan, amarah, dan emosi-emosi negatif yang memperburuk keadaan keluargaku. Ayahku sering mengancam ibuku untuk bercerai, tapi karena usiaku dan saudara-saudaraku yang masih kecil, ibuku tidak setuju.

Ketika aku berusia 11 tahun, kakak lelaki dan perempuanku melarikan diri dari rumah karena tidak tahan lagi dengan masalah-masalah yang harus dihadapi. Waktu itu, keluargaku tidak tergabung ke dalam kelompok agama atau kepercayaan apapun, dan aku juga bukan orang percaya. Sekalipun aku memiliki banyak teman-teman yang Kristen, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Yesus.

Ketika aku duduk di bangku SMP, kedua orangtuaku kembali ingin bercerai. Aku begitu marah dan kecewa karena adik lelaki dan perempuanku menjadi korban dari kemarahan orangtuaku. Keadaan keluarga kami pun memburuk, sehingga adik perempuanku harus tinggal di rumah bibiku selama beberapa bulan. Bahkan, adik lelakiku hampir saja diadopsi oleh orang lain, tapi ibuku menolak. Akhirnya, pamanku memutuskan untuk mengasuh adikku untuk sementara supaya menghidarkannya dari hal-hal yang tak diinginkan. Tatkala kedua orangtuaku bertengkar, sesudahnya ibuku akan pergi menginap di rumah saudaranya selama beberapa hari. Di usiaku yang ke-13 tahun, aku pindah ke sebuah asrama yang jauh dari rumah. Tapi, aku selalu merasa pedih tiap kali berpikir tentang keluargaku. Aku merasa terjebak di dalam situasi tanpa harapan.

Suatu hari, aku pergi ke kamar temanku yang Kristen dan meminjam ponselnya untuk mendengarkan musik. Karena dia seorang Kristen dan melayani sebagai pemusik di gereja, jadi hampir seluruh lagu di ponselnya adalah lagu rohani. Ketika aku mendengar lagu Hillsong yang berjudul “Shout to the Lord”, aku merasa tenang dan nyaman. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang saat itu terjadi kepadaku, tapi aku merasa hatiku tersentuh dan air mataku mulai menetes. Sejak saat itu, aku sering meminjam ponsel temanku hanya untuk mendengarkan lagu-lagu rohani. Setiap kali aku mendengarnya, hatiku merasa terhibur dan tenang.

Di usiaku yang ke-14 tahun, untuk pertama kalinya aku pergi ke gereja. Waktu itu, pendeta di sana menyampaikan khotbah tentang harapan untuk umat manusia. Ketika dia berkata bahwa dia mau berdoa untuk orang-orang yang membutuhkan harapan, aku pun berdiri. Aku mencoba meniru temanku. Aku menutup mataku, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan karena aku tidak pernah berdoa dan tidak tahu caranya berdoa. Tatkala pendeta itu berdoa, tangisanku tak dapat kubendung lagi dan sesudahnya aku malah merasa lebih baik. Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi kepadaku, tapi aku tidak tahu itu apa.

Sejak saat itu, aku mulai rutin datang ke gereja untuk belajar lebih banyak tentang Yesus. Aku juga mengikuti sekolah Minggu untuk mendengarkan cerita-cerita tentang Yesus. Semakin aku belajar tentang Yesus, semakin aku yakin bahwa Dialah pengharapan yang aku cari selama bertahun-tahun ini. Aku menyadari bahwa Yesuslah satu-satunya harapan yang bisa mengubahkan hidupku hingga akhirnya aku memberi diriku dibaptis pada usia 15 tahun.

Sebagai orang percaya yang baru, ada tantangan yang harus kuhadapi. Ketika aku memberitahu kedua orangtuaku bahwa aku ingin dibaptis dan meminta ibuku menjadi saksinya, ayahku marah besar. Bahkan, dia tidak segan untuk mengusirku dari rumah jika aku menjadi orang Kristen. Aku coba menjelaskan pada mereka bahwa satu-satunya yang bisa memulihkan keluarga kami hanyalah nama Yesus, tapi ayahku malah menamparku. Aku tidak menyerah. Aku terus datang ke gereja secara rutin dan berdoa supaya keluargaku mau membuka hati mereka untuk menerima kebenaran firman Tuhan.

Suatu hari, aku bertanya pada ayahku tentang mana yang lebih dia pilih; Aku yang dahulu (mengonsumsi alkohol, suka merusak barang-barang, mencemarkan nama baik Ayah, dan selalu membalas perkataan orangtuaku), atau aku yang baru (rajin datang ke persekutuan doa, menanggalkan tabiat burukku, juga berhenti merokok dan minum alkohol). Aku berkata pada Ayah bahwa aku menghormatinya sebagai ayahku seperti Yesus telah mengajarkan kita untuk menghormati orangtua kita. Aku mengucap syukur karena akhirnya ayahku mau menerima imanku kepada Yesus dan mengizinkan ibuku menjadi saksi di hari aku dibaptiskan. Bermula sejak itu, aku terus membagikan harapan tentang Yesus kepada Ibu dan saudaraku. Aku berkata pada mereka bahwa keluarga kami bisa dipulihkan jika kami percaya dan berharap kepada-Nya. Saudara-saudaraku mulai datang ke gereja dan ibuku menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya tatkala dia melihat perubahan-perubahan terjadi di keluarga kami. Kami terus saling menguatkan dan mendoakan satu sama lain. Aku melihat perubahan besar terjadi dalam kehidupan keluargaku.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu dan aku dapat dengan yakin mengatakan bahwa keluargaku telah sepenuhnya dipulihkan oleh anugerah dan belas kasihan dari Tuhan Yesus. Ibuku sering berkata, “masa lalu sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Ayahku mulai datang ke gereja dan ibuku selalu mendoakannya. Ibuku sekarang melayani sebagai majelis di gereja, dan saudara-saudara perempuanku melayani di bidang musik dan kaum muda. Aku sendiri melayani sebagai pemimpin pujian, pemain musik, dan pernah juga menjabat sebagai ketua kelompok penjangkauan kaum muda.

Dulu, aku adalah seorang yang tak memiliki pengharapan, tapi telah kutemukan harapan itu di dalam Yesus yang menguatkanku. Kisah pertobatanku dimulai dari sebuah lagu “Shout to the Lord”; sekarang aku yakin sepenuhnya bahwa Yesus adalah kekuatanku, Tuhanku, Juruselamatku, dan harapanku yang kekal. Aku berharap kisah yang kubagikan ini boleh menjadi bukti akan betapa besarnya kuasa Tuhan. Tuhan mampu memulihkan kita terlepas dari apapun keadaan kita; Dia adalah harapan untuk mereka yang kehilangan pengharapan.

Jika saat ini kamu sedang menghadapi masalah atau merasa bahwa tidak ada harapan, percaya dan bersandarlah pada Yesus! Kamu akan menemukan bahwa Dialah harapan yang kamu cari.

Baca Juga:

Kematian Chester Bennington: Mengabaikan Rasa Sakit Bukanlah Cara untuk Pulih

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.