Posts

4 Hal yang Bisa Bikin Paskahmu Kali Ini Sia-sia

Paskah bukan sekadar hari raya, itulah peristiwa yang mengubahkan hidup umat manusia. Tapi, Paskah kita gak akan memberi kesan apa-apa kalau kita gak tahu dan gak menghayatinya.

Kebangkitan Yesus memberi kita hidup baru yang penuh pengharapan! Yuk kita tinggalkan cara hidup kita yang lama. Tinggallah di dalam-Nya dan bersama-Nya.

Selamat Paskah!


Artspace ini didesain oleh Gladys Ongiwarno @gladyong

Hati yang Membisikkan Pengampunan

Sebuah cerpen oleh Prilia

“Kalau diingat-ingat… ternyata out of the box ya jawaban Tuhan. Aku minta cowok ganteng, keren, dingin ala-ala novel atau kayak aplikasi orange, eh Tuhan kasih yang sebaliknya. Bener-bener di luar dugaanku. Hahaha…”

Suara tawa Siska segera mengisi kesunyian Kafe Ropita, disusul tawa Karen yang lebih lembut. Setelah sekian lama ditelan kesibukan masing-masing, akhirnya mereka menyempatkan bertemu sepulang dari ibadah Paskah. “Sekalian bertukar cerita tentang kelanjutan kisah asmara masing-masing,” ucap Siska. Duileh…

“Iya, emang gokil! Tapi ada yang lebih lucu sih. Kok bisa ya kamu tetep mau sama abang itu? Bukan tipemu banget padahal. Mana sekarang jadi bucin pula. Hahaha…” goda Karen.

Mendengar itu Siska langsung cemberut. Iya, sih… Bisa dibilang ia menjilat ludah sendiri, pacaran dengan laki-laki yang tak pernah dia sangka-sangka dan bukan tipe dia banget. Alias pendiam, kaku, dan garing.

“Ngeledek mulu nih kamu! Lagian ya, setelah kupikir-pikir, ada yang lebih penting daripada penampilan luar, yaitu… karakter. Abang tuh berkarisma, tahu. Dia punya prinsip, pekerja keras, superrr perhatian, dan bertanggung jawab,” ucap Siska dengan mata berbinar. “Apalagi penampilan bisa pudar seiring berlalunya waktu, tapi karakter semakin kokoh seiring berjalannya waktu dan pengalaman.”

“HOAAAA! KAPAN KAMU KETEMU MARIO TEGUH? KOK BISA SETEGUH ITU KATA-KATAMU!?”

Suara Karen seketika membuyarkan binar kagum dari mata Siska. Huh! Lagi asyik bayangin Abang, langsung bubar jalan disembur ucapan Karen ini. Asem memang bestieku ini! batin Siska.

“Kalau kamu, gimana dengan Dino?”

Karen langsung terdiam dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Ia tercenung dan menundukkan kepala, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. “Mmm… Bisa ganti topik aja nggak, Sis?”

Jawaban Karen seketika membuat Siska bertanya-tanya. “Karen, kamu gapapa?” ucapnya seraya menyentuh bahu gadis itu.

Karen semakin tertunduk dan bahunya mulai bergetar. Siska langsung meraih dan memeluknya.

“Aku… putus. Aku putus sama Dino, Sis.”

Dan ucapan itu pun seketika membuat Siska tercekat.

Putus?! Siska pasti salah dengar. Ini Karen dan Dino lho, couple goals yang selalu tampak mesra meski sudah empat tahun pacaran. Belum lagi Dino baru saja melamar Karen untuk menikah tahun depan! Lalu mengapa setelah jalan bareng sejauh ini, mereka tahu-tahu putus? Kapan?

“Tiga bulan yang lalu. Tepat seminggu setelah dia melamarku.” Suara Karen sarat dengan nada pilu yang menyesakkan dada. Karen, sahabat yang dikasihinya itu, ternyata memilih menyimpan luka ini untuk dirinya sendiri.

Karen merasakan tangan Siska semakin erat memeluknya sambil perlahan membelai punggungnya. Tangis yang sejak tadi ditahannya itu pun perlahan pecah. Ia tak pernah menyangka ia begitu membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini. Pelukan yang meneduhkan. Pelukan yang memberinya rasa aman. Pelukan yang entah kenapa membuat ia berani untuk sekali lagi menjenguk ingatan-ingatannya tentang… Dino.

Ia masih ingat benar hari itu, ketika Dino menembaknya menjadi pacar dengan cara yang sangat romantis. Dino, cinta pertamanya, yang selalu memberi Karen perayaan-perayaan anniversary yang sempurna. Dan yang termanis tapi sederhana, Dino selalu memperlakukan Karen dengan sangat lembut, bahkan hal sepele seperti memasang pengait helm pun dilakukannya untuk Karen.

Bukankah apa yang laki-laki itu lakukan selama ini menunjukkan Dino teramat menyayanginya? Bahkan caranya melamar Karen sungguh manis dan gentleman. Ia meminta izin lebih dulu kepada orangtua Karen dan diam-diam mengajak saudara-saudara Karen serta Siska untuk memberinya surprise lamaran. Bukankah itu artinya Dino sangat serius terhadapnya?

Perlahan, Karen melepaskan pelukannya. “Sebenarnya aku nggak mau cerita tentang hal ini ke siapa pun. Aku malu terlihat menyedihkan seperti ini, Sis. Aku nggak mau orang-orang mengasihani aku. Tapi … aku juga capek menyimpan ini sendiri.”

Siska menatap sahabatnya itu dengan lembut. “Ayo cerita, Ren, aku mendengarkan.”

Karen menghela napas dalam-dalam, tatapannya setengah menerawang. “Tepat seminggu setelah Dino melamarku, aku melihat dia bersama seorang perempuan di mall. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi ketika akan menghampiri mereka, aku… melihat gestur mereka seperti orang pacaran, Sis.

“Jadi, aku diam-diam memperhatikan mereka cukup lama. Ketika mereka semakin mesra, aku langsung menghampiri. Aku tahu Dino sama sekali tidak menyangka. Tapi bukannya mengenalkanku kepada perempuan itu, dia malah mengajakku menjauh dan bilang begini…” Karen berhenti sebentar, suaranya gemetar saat mengutip perkataan Dino, “’Aku bingung mau bilang dari mana. Tapi, maafin aku, Ren. Sungguh, maafin aku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf. Maaf banget, Ren. Aku bingung dan nggak tega memberitahumu. Tapi, daripada kita tetap melanjutkan hubungan ini dengan kebimbangan hatiku, lebih baik… kita putus.’

“Aku benar-benar kaget. Aku menahan diri supaya tidak menangis di depannya. Kutanya, kenapa dia baru memberitahuku setelah dia melamarku. Dan siapa perempuan di sampingnya itu? Tapi, jawabannya semakin menohok hatiku, Sis. Katanya, perempuan itu teman lama yang sempat dia sukai. Dan semenjak bertemu lagi dengan temannya itu, dia merasa perasaannya yang dulu kini kembali bersemi. Itu yang bikin dia bimbang dengan hubungan kami, Sis.”

Siska tercengang. “Trus, kamu apain dia, Ren? Kamu tampar nggak pipinya?”

“Nggaklah, Sis. Aku nggak mau. Putusnya aku sama Dino udah kayak cerita sinetron. Kalau kutampar pipinya, jadilah sinetron beneran. Malu aku.”

Siska mendengus dan memasang tampang cemberut. “Udahlah blokir aja kontak dan semua medsosnya. Aku yakin itu bisa bikin kamu move on.”

“Sis, saranmu sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu. Tapi, bukannya membuatku lupa, aku justru semakin ingat padanya. Aku merasa hancur, sampai-sampai aku nekat mencoba berbagai cara demi menyembuhkan hatiku. Aku bukan hanya memblokir semua medsosnya, aku bahkan membuang semua barang pemberiannya. Tapi itu pun nggak berhasil. Nggak ada yang berhasil. Sedikit pun hatiku nggak merasa lega, Sis. Hatiku panas. Kecewa. Marah, dan… aku pun mulai menyalahkan Tuhan. Aku bertanya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku? Dia kan tahu aku yakin Dino adalah yang terbaik untukku. Bahwa aku mencintainya amat sangat. Tapi, Sis, suatu hari aku tiba-tiba disadarkan bahwa ternyata aku melupakan satu hal.” Mata Karen yang kembali basah kini menyorotkan penyesalan.

“Tahu nggak? Tanpa kusadari, selama ini aku telah menjadikan Dino sebagai pusat hidupku. Menerima dia menjadi pacar memang keputusanku dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi, ketika aku semakin terlena oleh perhatiannya, aku pun semakin mencintainya, bahkan menjadikannya yang paling utama dalam hatiku. Perasaan cintaku kepada Dino perlahan tapi pasti menggeser posisi Tuhan di hatiku, Sis. Dan aku pun menomorsekiankan Tuhan. Melupakan-Nya. Dan aku menyesal.”

Tangis Karen pecah. Penyesalan yang dirasakannya begitu memilukan dan membuat hati Siska sedih.

“Melupakan Tuhan adalah pilihan terburuk dalam hidupku, Sis. Setelah aku sadar, aku pun memohon ampun sama Tuhan, membawa kehancuran dan penyesalan yang kurasakan. Dan setelahnya, aku cuma minta satu hal sama Tuhan. ‘Tuhan, tolong perbaiki hatiku.’ Udah, itu aja yang saat ini terus-terusan kuminta.“

Memperbaiki hati… itu hal tersulit yang takkan pernah sanggup dilakukan dengan kekuatan manusia. Hati adalah hal yang paling kuat sekaligus paling rapuh. Hati yang diciptakan oleh Tuhan, ditujukan untuk hal baik. Dan jika manusia menghancurkan hati itu, siapa yang bisa menyembuhkannya selain Penciptanya sendiri?

“Perlahan, dari sehari ke sehari, hatiku pun mulai dipulihkan. Namun, perbuatan Dino masih saja muncul dan mengusikku, seolah-olah menolak untuk dilupakan. Seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang belum … selesai. Lalu aku membaca sebuah kutipan yang menyadarkanku bahwa masih ada yang belum tuntas, yaitu … pengampunan.”

“Nothing in the Christian life is more important than forgiveness—our forgiveness of others and God’s forgiveness of us.”

“Kutipan itu benar-benar menohokku, Sis. Ternyata aku baru setengah jalan dalam proses pengampunanku sendiri, karena sesungguhnya pengampunan tidak selesai hanya dengan kita menerima pengampunan Allah. Kita juga perlu meneruskannya kepada sesama kita. Seperti aku yang telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi belum meneruskannya kepada Dino. Tidak heran hatiku terus bergejolak.” Karen diam sebentar dan menghela napas dalam-dalam. “Bukan itu saja. Aku akhirnya tahu, mengampuni bukanlah urusan mood, melainkan sepenuhnya adalah tentang … keputusan,” bisik Karen. Ditatapnya Siska dalam-dalam.

“Keputusan yang tidak mudah pastinya, bukan?” balas Siska.

Karen mengangguk. “Iya, tidak mudah dan pastinya tidak selesai dalam semalam. Proses pengampunanku sendiri terhadap Dino masih terus berlangsung, Sis, bahkan sampai sekarang. Kadang, kalau teringat aku masih merasa kecewa. Meski begitu, aku juga tahu, kekecewaanku tidak lagi sedalam dulu, Sis. Dan aku yakin suatu hari nanti, akhirnya perasaan kecewa itu akan hilang sepenuhnya, karena Tuhan terus bekerja dalam hatiku.”

Siska tersenyum, hatinya membuncah dan tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Karen.

“Ren, sesungguhnya aku bingung mau bilang apa… Tapi, makasih banget. Makasih kamu udah sharing ini kepadaku ya,” ucapnya tulus.

“Makasih juga karena kamu udah sabar mendengarkan ceritaku, Sis,” balas Karen seraya tersenyum.

“Dan aku akan terus berdoa agar kamu bisa segera pulih total dari patah hati itu sampai akhirnya kau dapat sepenuhnya memaafkan Dino dan melepaskan perasaan kecewamu. Aku sungguh bersyukur kamu segera berpaling kepada Tuhan yang memampukanmu untuk mengambil hikmah dari pengalaman pahit ini. Ingat ya, Ren, kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman cerita, aku siap menemanimu.”

Karen mengangguk dengan penuh rasa haru. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Siska dengan hangat.

Cerita Karen memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pacar atau siapa pun sosok yang kita kasihi dan kagumi di dunia ini, bukanlah sosok sempurna. Satu-satunya sosok yang dapat kita percaya untuk menaruh harapan, hanyalah Yesus.

Dosa Apa yang Paling Kamu Sesali?

Dari 11 orang yang kami ajak ngobrol soal dosa, tiap mereka punya cerita sendiri tentang dosa apa yang paling mereka sesalin. Ada yang inget banget sama kepahitan, pernah nyolong, atau karena merasa sudah sering banget bikin dosa, jadi bingung dosa apa yang memang bener-bener disesalin.

Namun, gak peduli seberapa dalam kita jatuh ke dalam kubangan dosa, Tuhan selalu membuka tangan-Nya untuk memberi pengampunan.

Hari ini, pada momen yang diperingati sebagai Rabu Abu, kita diajak untuk kembali hidup dalam pertobatan. Apa pun dosa yang mencengkeram hidupmu, anugerah-Nya selalu tersedia untuk memerdekakanmu. Dia senantiasa menantimu untuk kembali kepada-Nya.

Namun, maukah kamu datang kepada-Nya?

WarungSaTeKaMu © 2023

Ingatlah Yesus yang Pernah Menderita Bagi Kita – Artspace Jumat Agung

Apapun situasi yang kita alami saat ini, kita dapat yakin bahwa ada seseorang yang benar-benar tahu apa yang sedang kita hadapi. Karena Dia sendiri pernah melewati semua itu.

Jadi, kalau kamu mendapatkan diagnosa penyakit tertentu, ingatlah Yesus, yang hidup setiap hari dalam hidup-Nya dengan menyadari bahwa Dia akan mati dengan cara yang begitu kejam (Matius 16:21).

Jika kamu bergumul untuk menerima apa yang menjadi kehendak Tuhan (mungkin keadaan di rumah atau tempat kerjamu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan), ingatlah Yesus yang memohon kepada Allah Bapa di Taman Getsemani (Lukas 22:42).

Jika teman-temanmu telah mengkhianati atau meninggalkanmu, ingatlah Yesus, yang juga dikhianati oleh Yudas, murid-Nya (Lukas 22:3-6).

Jika kamu mendapatkan tuduhan yang salah, ingatlah Yesus, yang juga mendapatkan tuduhan yang salah di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:2, 10).

Jika kamu telah kehilangan semua yang kamu miliki, ingatlah Yesus, yang meninggalkan takhta-Nya di surga untuk datang ke dunia yang telah jatuh dalam dosa ini (Filipi 2:6-8).

Jika kamu tidak mendapatkan apa yang menjadi hakmu, ingatlah Yesus, yang tubuh-Nya didera bagi kita (Filipi 2:6-8).

Jika kamu sedang menghadapi sakit secara fisik, ingatlah Yesus yang tergantung di kayu salib (Yesaya 53:4-5).

Jika kamu merasa diabaikan oleh Allah, ingatlah Yesus, yang ditinggalkan Allah di atas kayu salib (Matius 27:46).

Ingatlah Yesus.

Ingatlah bahwa Dia telah mati untuk memberikan kita hidup.

Ingatlah juga bahwa Dia pernah hidup di dunia ini untuk menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup.

Kasih Tuhan di Masa Corona

Oleh Jefferson, Singapura

Memasuki bulan keempat di tahun 2020, aku tidak menyangka kalau wabah COVID-19 akan jadi separah ini. Situasi di Singapura sendiri bereskalasi dengan cepat selama beberapa minggu terakhir. Pengetatan berkala peraturan-peraturan social distancing pun mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan kebijakan “pemutus arus”—yang mirip dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta—hari Jumat minggu lalu. Salah satu upaya yang diperkenalkan untuk menghambat laju penyebaran coronavirus adalah menutup kantor-kantor dari berbagai sektor non-esensial selama satu bulan, dimulai dari Selasa kemarin. Kantorku yang bergerak di bidang konsultasi lingkungan pun terkena imbasnya.

Aku cukup terkejut ketika mendengar harus bekerja dari rumah selama sebulan, terutama karena perusahaanku belum pernah melakukannya sejak pandemi ini dimulai. Group chat kantor pun mulai ribut dalam keresahan, membuat aku yang tadinya tenang-tenang saja jadi ikutan panik.

Pada saat itulah aku mulai menyadari dan merasakan dampak dari wabah COVID-19 secara langsung. “Ketakutan dan penderitaan semakin nyata di mana-mana,” pikirku. Pengamatan ini kemudian berkembang menjadi pertanyaan, “Menghadapi situasi seperti ini, tanggapan seperti apa yang iman Kristen berikan? Dan apa bedanya dengan reaksi dari dunia?”

Di antara banyak tulisan dan opini yang disuarakan oleh berbagai kalangan, artikel karangan N. T. Wright menuntunku untuk merenungkan tentang hal ini lebih dalam dari yang kukira, di mana aku melihat keindahan dan keunikan dari jawaban Kekristenan untuk pandemi ini.

“Kekristenan tidak menawarkan jawaban apapun atas coronavirus

Artikel itu dibuka dengan pengamatan beliau terhadap suatu refleks—layaknya lutut yang diketuk palu karet—dari banyak kalangan untuk memberikan sebuah label kepada peristiwa ini, entah sebagai “hukuman”, “pertanda”, maupun “respons alam”. Teori-teori konspirasi pun menyebar secepat virus korona menular. Orang-orang ini dijuluki N. T. Wright sebagai “Rasionalis” karena menuntut penjelasan rasional atas segala kejadian. Berseberangan dengan mereka adalah kaum “Romantisis” yang sentimentalis, yang menuntut suatu “desahan lega“, kepastian instan bahwa pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.

Terhadap kedua reaksi tersebut, N. T. Wright memberikan alternatif respons yang iman Kristiani usung dalam bentuk ratapan, di mana kita mengakui dengan jujur kalau kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian maupun hasil akhirnya. Ratapan beliau jabarkan sebagai tindakan “bergerak keluar dari kecemasan kita terhadap dosa-dosa dan pergumulan pribadi yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”. Tradisi ratapan yang Alkitabiah mengajak kita untuk berempati dengan penderitaan mereka yang berhadapan dengan pandemi ini dalam kondisi yang jauh dari ideal, seperti di kamp pengungsi yang padat di Yordania dan daerah penuh kekerasan perang seperti Gaza.

Beliau kemudian mengajak kita untuk menilik isi dari sejumlah mazmur ratapan. Beberapa mazmur memang ditutup dengan pembaharuan keyakinan akan penyertaan dan pengharapan dari Tuhan di tengah permasalahan, namun ada juga mazmur-mazmur yang berakhir dalam kegelapan dan kekalutan (seperti Mazmur 88 dan 89). Dari kedua jenis mazmur ratapan ini, kita melihat bahwa praktik ratapan tidak selalu memberikan jawaban atas segala rasa duka dan frustrasi yang kita alami. Meskipun begitu, ratapan selalu menyingkapkan suatu misteri yang dinyatakan oleh Alkitab kepada para peratap: TUHAN sendiri pun meratap.

Ratapan Allah Tritunggal terekam jelas dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Ada banyak bagian yang mencatat hati Tuhan yang berduka, seperti ketika melihat keberdosaan dan kejahatan manusia (Kejadian 6:5-6) serta ketika bangsa Israel pilihan-Nya sendiri berpaling dari-Nya untuk menyembah berhala (Yesaya 63:10). Di sisi lain, dalam Perjanjian Baru kita melihat air mata sang Anak di makam Lazarus (Yohanes 11:35) dan ”erangan” Roh Kudus di dalam diri kita (Roma 8:26) sambil kita sendiri “mengerang” bersama seluruh ciptaan (Roma 8:23). [Terjemahan Bahasa Indonesia memakai kata “keluhan” untuk kata yang secara konsisten diterjemahkan sebagai “groan(-ings)” / “erangan” oleh terjemahan-terjemahan Bahasa Inggris.]

Dari semua pengamatan ini, N. T. Wright menyimpulkan bahwa orang Kristen tidak dipanggil untuk (mampu) menjelaskan apa yang sedang terjadi dan mengapa itu terjadi, melainkan untuk meratap. Bersama dengan Roh Tuhan yang meratap dalam diri kita, ratapan kita menjadikan kita bait-bait Allah yang menyatakan penyertaan dan kasih-Nya di tengah dunia yang sedang menderita karena wabah COVID-19.

Ikut meratap bersama Tuhan yang meratap

Walaupun tulisan yang kuringkas di atas memperluas wawasan dan mengajarkan sebuah cara bagaimana kita dapat merespons wabah COVID-19 dengan Alkitabiah dan bijak, aku merasa kurang puas dengan konklusi yang N. T. Wright ambil. Aku merasa masih ada kaitan yang lebih mendalam antara ratapan kita dengan ratapan Allah yang tidak dipaparkan oleh beliau. Dalam perenunganku tentang hal ini, sebuah frasa dari Yesaya 53:3 mendadak muncul dalam benakku: “man of sorrows”, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan”. Frasa ini digunakan dalam nubuatan nabi Yesaya tentang Hamba TUHAN yang menderita untuk memikul ganjaran dari dosa dan kejahatan yang sepatutnya kita terima (Yesaya 52:13–53:12), yang kemudian digenapkan oleh Yesus Kristus ketika Ia disesah, dihina, dan disalibkan sekitar 2000 tahun yang lalu.

Deskripsi Yesus sebagai man of sorrows inilah yang menggugah hatiku. Sebagai Tuhan atas seluruh ciptaan, Yesus Kristus adalah satu-satunya Pribadi di jagat raya yang memahami penderitaan secara penuh. Ia mampu melenyapkan kesengsaraan hanya dengan satu patah kata (bdk. Matius 26:53)! Yesus tidak perlu datang ke dunia, tapi Ia tetap mengambil rupa manusia dan mengalami penderitaan dengan sensasi panca indera yang sama dengan kita (Yesaya 53:7) hingga mati (53:8) sehingga “oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh” (53:5; bdk. 1 Petrus 2:24). Kurasa terjemahan Indonesianya tidak menggambarkan dengan penuh makna dari frasa ini. Bukan hanya “penuh kesengsaraan”, penderitaan yang Yesus alami pada Jumat Agung menjadikan-Nya “seorang sengsara”, kesengsaraan dalam wujud darah dan daging manusia.

Dalam perenungan inilah aku melihat hubungan antara ratapan kita dengan ratapan Tuhan: Yesus Kristus telah lebih dulu meratapi dan berempati dengan semua dosa dan penderitaan kita, bahkan mengalami sendiri segala penderitaan itu dan menanggungnya di atas kayu salib sampai mati, sehingga kita dapat “bergerak keluar dari kecemasan kita… yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”, meratapi dan berempati dengan penderitaan orang lain. Kebenaran ini digambarkan dengan indah oleh Paulus, “[Pribadi Allah Bapa] yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32)

Allah yang kita sembah, yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus, tidaklah jauh dari kita semua (bdk. Ibrani 4:15). Ia tidak tinggal diam ketika melihat ciptaan-Nya yang menurut hikmat mereka sendiri mencoba untuk merasionalisasi dan meromantisasi jawaban atas segala kejahatan dan penderitaan di dunia. Kepada kaum-kaum Rasionalis, Romantisis, dan semua pandangan manusiawi lainnya, Allah menjawab dengan memilih untuk datang sendiri ke dalam dunia, merasakan segala penderitaan itu dalam wujud dan indera yang sama dengan kita, meratap bersama kita, dan menebus upah dosa hingga tuntas di atas kayu salib.

Kurasa bertepatannya momen wabah COVID-19 ini dengan masa Lent atau prapaskah dan peringatan Jumat Agung dan Paskah bukanlah sebuah kebetulan. Mengapa begitu? Karena di tengah masa coronavirus yang gelap pekat, cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus (2 Korintus 4:4), terang kasih Tuhan yang terus menyertai kita, dapat terlihat bersinar lebih cemerlang.

Meratap di tengah kegelapan, berharap pada sang Terang kasih dunia

Jadi, bagaimana kita dapat melakukan praktik ratapan di masa kini? Yang jelas, ratapan tidak dilakukan dengan berusaha menemukan penjelasan di balik situasi COVID-19 yang kompleks seperti golongan Rasionalis, maupun mencari penghiburan instan seperti kaum Romantisis. Sebaliknya, kita meratap dengan melihat keluar dari diri kita untuk menolong dan berempati dengan penderitaan orang lain, seperti yang N. T. Wright usulkan dan, aku ingin menambahkan, mengarahkan orang lain untuk melihat dan percaya kepada Kristus yang meratap bersama kita dan menanggung semua penderitaan itu untuk kita.

Melalui doa-doa yang kita panjatkan, percakapan-percakapan online dengan teman dan kerabat kita, serta mencari tahu dan menolong mereka yang membutuhkan bantuan—baik secara dana, pangan, maupun emosi—untuk melewati pandemi ini, kita memberitakan Injil kasih keselamatan dalam Yesus Kristus. Teman-teman kosku membantu menajamkan langkah yang terakhir dengan mengingatkan bahwa bantuan yang dapat kita berikan kepada orang lain pun adalah berkat yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita terlebih dahulu. Dengan kata lain, pengucapan syukur yang tulus adalah bagian penting dari tindakan kita menyalurkan berkat Tuhan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Dengan segala waktu dan sumber daya tambahan yang kudapatkan dari keharusan untuk bekerja dari rumah selama sebulan ke depan, aku tahu apa yang akan kuaplikasikan dari perenungan ini: mengucap syukur setiap saat atas berkat-berkat yang Tuhan terus berikan, meratapi penderitaan demi penderitaan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, dan membantu mereka yang membutuhkan sejauh yang kubisa. Melalui semua tindakanku ini, aku berdoa agar dunia dapat mengenal dan berharap kepada Yesus Kristus yang meratap bersama kita dan telah memberi diri-Nya untuk menanggung segala penderitaan kita.

Maukah kamu ikut meratap bersamaku dan membagikan pengharapan ini sehingga realita kasih Tuhan di masa corona semakin nyata di tengah dunia yang terinfeksi oleh dosa?

Selamat Jumat Agung dan Paskah! Tuhan Yesus menyertai dan memberkati, soli Deo gloria.

P. S. Judul tulisan ini diadaptasi dari novel karangan Gabriel García Márquez yang berjudul Love in the Time of Cholera (“Kasih di Masa Kolera”)

Baca Juga:

Ketika Aku Divonis Sakit Oleh Pikiranku Sendiri

Tahun 2016 aku pernah menderita Pneumonia, lalu dinyatakan sembuh. Namun, berita-berita tentang virus yang kubaca membuatku cemas. Pikiran buruk pun menghantui, aku over-thinking.

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Oleh Jefferson, Singapura

Dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, aku sering melakukan kerja lapangan di berbagai habitat. Survei lingkungan ini umumnya dilakukan di siang hari, tapi baru-baru ini aku mendapat kesempatan untuk melakukan survei di malam hari.

Walaupun lingkup pekerjaan survei malam sama dengan survei siang—yaitu mengamati hewan dan tumbuhan apa saja yang ada di lokasi—perbedaan dalam hal pencahayaan memberikan kesan yang amat berbeda. Di siang hari, aku merasa jauh lebih aman karena dapat mengamati sekelilingku dengan jelas sehingga dapat mengantisipasi ancaman hewan liar, cuaca, maupun dahan jatuh dengan baik. Sebaliknya, di malam hari aku jauh lebih waswas, menyorotkan senter ke berbagai arah untuk mengamati berbagai spesies nokturnal sekaligus memastikan aku aman dari bahaya apa pun.

Namun bukan alam saja yang membuatku gelisah ketika melakukan survei malam.

Sambil berjalan menelusuri salah satu rute pengamatan, seorang kolega menanyakan kesanku mengikuti survei malam untuk pertama kalinya.

“Kamu takut gak, Jeff?” tanyanya.

Aku mengangguk singkat.

“Terhadap ancaman natural atau supernatural?”

Aku termenung sejenak sebelum menjawab dengan enggan, “Keduanya.”

“Apakah kamu takut kegelapan?”

Sebagai orang Indonesia, seharusnya aku cukup akrab dengan situasi mati lampu. Cahaya malam Singapura juga seharusnya cukup kuat untuk menerangi hampir seluruh pelosok negeri. Belum lagi identitasku sebagai pengikut Kristus, Tuhan atas segala ciptaan, baik yang natural maupun supernatural. Mengapa aku masih takut kegelapan?

Setelah mengamatinya dengan lebih saksama, kegelapan malam waktu itu tidak terasa biasa buatku karena:

  • Kami sedang berada di tengah-tengah hutan di salah satu pojok pulau;
  • Waktu tercepat untuk keluar situs dari lokasi kami adalah sekitar 20 menit;
  • Ada banyak babi hutan dan anjing liar yang berkeliaran di hutan itu, yang kami ketahui dari survei siang;
  • Semua senter sedang dimatikan dan kami sedang berdiri sediam mungkin karena ingin mengecek apakah ada kunang-kunang di sekitar tempat itu; dan
  • Walaupun cahaya malam Singapura membantu mata beradaptasi terhadap kegelapan di sekeliling, kami tetap tidak dapat melihat lingkungan sekitar dengan jelas.

Menghadapi situasi seperti itu, aku percaya sebagian besar dari kita akan secara alamiah merasakan rasa takut, sekecil apa ketakutan itu. Indera-indera kita serasa dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan keamanan diri ini.

Di tengah-tengah kegelapan yang mencekam, menariknya aku secara sadar mengamati dan merenungkan kondisi ini dan bagaimana aku bereaksi terhadapnya. Aku tidak yakin mengapa aku menanggapinya demikian, sampai aku menengadah ke langit dan melihat bulan yang bersinar terang di atas langit, yang kuabadikan berikut:

Saat itu juga aku memahami apa yang Tuhan sedang ingin sampaikan padaku dalam kaitannya dengan Paskah yang akan kita peringati beberapa hari lagi. Semuanya itu terangkum dalam satu ayat yang mendadak bergema keras dalam benakku:

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yesaya 9:1).

“Berjalan di dalam kegelapan”: pilihan Yehuda

Kamu mungkin heran dengan ayat yang kukutip di atas, yang umumnya lebih sering dibagikan dan dibahas di momen perayaan Natal. Tapi kalau kita mempertimbangkan latar belakang ayat ini dari perikop-perikop sebelumnya, kita dapat melihat jelas hubungan ayat ini dengan Paskah.

Di Yesaya 7, TUHAN memerintahkan Raja Ahas untuk meminta pertanda dari-Nya (7:11) setelah Ia menjanjikan akhir daripada musuh-musuh Yehuda—Kerajaan Aram dan Israel—yang menggetarkan hati seluruh rakyat Yehuda (7:2). Perintah ini Ia berikan untuk menguatkan iman Raja Ahas yang lemah, yang pada akhirnya benar-benar berpaling dari Tuhan dan bergantung pada Kerajaan Asyur untuk menghadapi ancaman Aram dan Israel (2 Raj. 16:1-9).

Namun, apa daya, Raja Ahas menolak belas kasihan Tuhan ini dengan menjawab, “Aku tidak mau meminta, aku tidak mau mencobai TUHAN” (ay. 12). Lelah terhadap ketidakpercayaan Raja Ahas (ay. 13), Yesaya menubuatkan kelahiran Imanuel sang Mesias yang akan terjadi setelah Aram dan Israel jatuh oleh tangan Asyur (ay. 14-16). Asyur sendiri akan menjadi ancaman yang lebih besar dari keduanya dan meruntuhkan Kerajaan Yehuda.

Pasal 8 menceritakan penggenapan nubuatan TUHAN ini: kelahiran Maher-Syalal Has-Bas anak Yesaya sebagai pertanda jangka pendek daripada akhir Aram dan Israel (ay. 1-4), Asyur yang akan datang menindas Yehuda (ay. 5-8), kemenangan sang Imanuel dan kehancuran musuh-musuh TUHAN di masa depan (ay. 9-10), dan panggilan kepada sisa Kerajaan Yehuda (ay. 16-18) untuk percaya dan bernaung di dalam TUHAN (ay. 11-15) di tengah-tengah kebobrokan bangsa yang meletakkan iman mereka pada roh-roh peramal dan orang-orang mati (ay. 19-20). Oleh karena pilihan mereka sendiri, bangsa pilihan Allah akan mengalami “kesesakan dan kegelapan”, di mana mereka akhirnya akan dibuang ke dalam kegelapan pekat (ay. 21-22).

Kalau pasal 8 berakhir di sana, siapa pun yang membaca pasti juga ikutan sesak menyaksikan nasib tragis Yehuda. Mereka yang adalah umat pilihan Allah berpaling dari-Nya dan memilih untuk percaya kepada ilah-ilah palsu. Di saat yang sama, TUHAN menjanjikan sisa orang-orang yang masih percaya kepada-Nya, tapi akankah mereka bertahan hingga kesudahannya di tengah dunia yang gelap?

Terang yang bersinar di tengah kegelapan

“Tetapi tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain” (Yesaya 8:23).

Ayat terakhir dari pasal 8 tersebut memberikan sebuah plot twist dan mempersiapkan kita yang membaca untuk melihat Terang harapan di tengah kegelapan kelam (9:1). Sisa umat yang masih percaya kepada-Nya dilipatgandakan Allah menjadi sekumpulan besar yang menaikkan sorak penuh sukacita seperti waktu panen (9:2), kuk, gandar, dan tongkat penindasan dipatahkan-Nya (9:3), dan semua musuh Ia umpankan ke dalam api (9:4) melalui tangan sang Raja Damai, Imanuel (9:5).

Pendengar-pendengar pertama dari nubuatan—yang ditulis kira-kira 2800 tahun yang lalu— tentunya sudah tiada ketika Tuhan Yesus datang, mati di atas kayu salib, dan bangkit, tapi mereka merasakan langsung apa yang dimaksud Firman Tuhan dengan “kesesakan dan kegelapan”. Sambil merenungkan Yesaya 9:1 ketika survei malam, aku membayangkan kondisi penduduk Yehuda di zaman itu, yang malam harinya hanya diterangi bulan, lilin, dan api unggun. Tidak hanya kegelapan secara fisik, secara rohani mereka sedang mengalami suatu krisis. Kerajaan Aram dan Israel sedang bersekongkol untuk menghabisi mereka. TUHAN telah berbicara melalui nabi-Nya Yesaya, tetapi Raja Ahas menolak-Nya mentah-mentah dan menyiapkan siasat perlawanan dengan bergantung pada Asyur. Rakyat pun diperhadapkan dengan pilihan untuk tetap setia kepada TUHAN atau mengikuti kebebalan Raja Ahas.

Perenungan tentang pilihan respons penduduk Yehuda di masa lampau ini lalu membawaku untuk merenungkan pilihan respons manusia di masa kini terhadap pesan yang Allah sampaikan dalam Firman-Nya yang melewati batasan ruang dan waktu. Kita mengetahui bahwa kira-kira 800 tahun setelah dinubuatkan, jauh setelah Aram dan Israel “ditinggalkan kosong” (7:16), pertanda yang ditolak oleh Raja Ahas benar-benar datang sebagai anak laki-laki dari seorang perawan (7:14). Terang ilahi itu sendiri, oleh karena kasih-Nya kepada umat ciptaan-Nya yang selama ini hilang dalam kegelapan, memutuskan untuk menjadi sama seperti kita dan tinggal di antara kita. Kegelapan yang telah menguasai bumi sejak lama pun berusaha melenyapkannya dengan menyalibkan-Nya di atas kayu salib, tetapi Ia bangkit tiga hari kemudian sebagai Raja Damai yang mengalahkan kegelapan. Dunia ini masih gelap, tetapi layaknya bulan yang bersinar terang dan memberikanku sedikit rasa aman di malam aku melakukan survei, Terang Kristus bersinar cemerlang dan menyatakan kebenaran yang memberi pengharapan: Realita sebenarnya adalah diri-Nya, bukan kegelapan. Walaupun sekeliling kita gelap dan membuat kita terdisorientasi dan takut, selama kita membuka mata lebar-lebar dan memfokuskan diri kepada Tuhan Yesus, kita dapat hidup di dalam damai sejahtera-Nya yang tidak akan berkesudahan (9:6).

Merangkul atau menjauhi Terang: pilihan kita(?)

Sebuah kutipan populer berbunyi demikian, “Terang bersinar paling cemerlang di tengah-tengah kegelapan yang paling pekat.” Di momen Paskah di atas kayu salib sekitar 2000 tahun yang lalu, kalimat itu mengambil wujud nyata dalam pribadi Kristus yang tergantung di atas kayu salib dan bangkit tiga hari kemudian untuk menyatakan kemuliaan Allah di tengah kegelapan dunia yang telah dicemarkan dosa.

Inilah Terang itu, Terang yang menghangatkan, memberi pengharapan, dan melenyapkan segala kegelapan di dalam dan di luar diri manusia. Terang itu selalu ada di sekeliling kita. Bahkan, di tengah-tengah wabah COVID-19 yang membuat kegelapan dunia terlihat lebih pekat, Terang itu terlihat bersinar lebih cemerlang. Tuhan Yesus bukanlah solusi langsung atas segala permasalahan yang kita hadapi, tetapi Ia “adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah” (2 Kor. 1:20). Melalui karya kematian dan kebangkitan-Nya, setiap janji Allah telah digenapi sehingga “segala sesuatu [termasuk wabah COVID-19 ini] mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28).

Pertanyaannya adalah, apakah kita mau membuka mata dan merangkul realita Terang itu, atau menjauhi-Nya seperti Raja Ahas? Apakah kita mengasihi Kristus sang Terang dan hidup dalam kepatuhan kepada-Nya sebagai Tuhan kita, atau menolak Kristus dan memilih untuk hidup dalam kegelapan, menyembah hal-hal yang bukan Allah seperti kebanyakan rakyat Yehuda di zaman Raja Ahas?

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Ketika peribadahan berubah menjadi online, muncul pro dan kontra. Namun, kiranya kita bisa melihat fenomena tak sebatas boleh dan tidak.

Yuk baca artikel ini.

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku
Mengikut Yesus keputusanku

Ku tak ingkar
Ku tak ingkar

Pernahkah kalian mendengar atau menyanyikan lagu di atas? Untuk teman-teman yang ibadah di gerejanya sering menggunakan kidung jemaat atau himne, lagu tersebut mungkin tidak asing didengar. Namun, tahukah kamu bahwa di balik sebuah lagu yang liriknya singkat dan sederhana itu, terdapat sebuah kisah yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah dalam perjalanan iman kita?

Di abad ke-19, terjadi sebuah kebangunan rohani di Wales yang menggugah banyak misionaris untuk pergi mewartakan Injil. Salah satu daerah yang dituju oleh para misionaris tersebut adalah Assam di timur laut India. Orang-orang di sana kala itu belum ada yang mengenal Tuhan Yesus, dan para misionaris rindu untuk membawa Kabar Baik ke tempat itu. Tapi, upaya tersebut disambut dengan penolakan dari orang-orang di sana.

Namun, di balik penolakan tersebut, ada benih firman Tuhan yang jatuh dan bertumbuh di hati seorang pria. Berdasarkan catatan Dr. P. Job, pria itu bernama Nokseng, seseorang dari suku Garo yang memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus dan mengikut-Nya. Tak hanya dirinya seorang, istri dan kedua anaknya pun mengikuti jejaknya.

Berita bahwa ada sebuah keluarga yang menerima iman Kristen membuat kepala desa marah. Dia memanggil semua warga dan menginterogasi mereka. Ketika didapatinya ada sebuah keluarga yang percaya kepada Yesus, kepala desa itu pun memaksa mereka untuk menanggalkan imannya. Ancaman ini tidak main-main. Nokseng diminta untuk menyangkal Yesus saat itu, jika tidak istrinya akan dibunuh.

Digerakkan oleh Roh Kudus, Nokseng menjawab, “Aku telah memutuskan untuk mengikut Yesus. Aku tidak ingkar.”

Jawaban ini membuat amarah kepala desa memuncak. Dia lalu mengambil kedua anak Nokseng dan mengancam akan membunuh mereka jika Nokseng tidak menyangkal imannya. Nokseng pun menjawab, “Sekalipun aku sendiri, aku tetap mengikut-Nya. Aku tidak ingkar.”

Kepala desa itu pun murka dan memerintahkan agar istri dan kedua anaknya dibunuh. Nokseng kini sendirian, dan sekali lagi kepala desa itu memintanya untuk menyangkal imannya atau mati. Di hadapan bayang-bayang maut, Nokseng kembali menjawab, “Salib di depanku, dunia di belakangku. Aku tidak ingkar.”

Kisah ini mungkin seharusnya berhenti di sini, ketika Nokseng dan keluarganya tewas terbunuh karena imannya. Namun, karya Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan. Kematian sebuah keluarga sebagai martir itu membuka jalan bagi tersiarnya Kabar Keselamatan bagi penduduk desa itu.

Sang kepala desa tak habis pikir, bagaimana bisa sebuah keluarga berani mati untuk Seseorang yang tidak pernah mereka temui. Secara mengejutkan, dia pun lalu tertarik untuk mengenal Siapa orang yang disebut oleh Nokseng dan keluarganya hingga akhirnya dia dan seluruh penduduk desa bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.

Kata-kata yang diucapkan oleh Nokseng sebelum dia dan keluarganya dieksekusi kemudian digubah menjadi sebuah himne oleh Sadhu Sundar Singh, seorang misionaris dari India. Liriknya menggunakan bahasa India dan mencantumkan Assam sebagai tempat asal lagu tersebut. Barulah pada tahun 1959, William Jensen Reynolds, seorang editor himne dari Amerika Serikat mengaransemen himne ini dan memasukkannya ke dalam buku kumpulan nyanyian. Versi inilah yang kemudian dikenal luas dan dinyanyikan oleh banyak orang percaya di berbagai belahan dunia.

Kisah di balik lagu ini mengingatkan kita kembali akan bagaimana pemeliharaan Allah memelihara perjalanan iman anak-anak-Nya. Rasul Paulus, dalam perjalanannya menjadi seorang Kristen juga mengalami banyak sekali penderitaan. Di suratnya kepada jemaat di Korintus, dia pun merinci tantangan dan marabahaya yang harus dia hadapi:

“Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali aku mengalami kapal karam, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu” (2 Korintus 11:24-26).

Secara manusia, penderitaan yang berat tersebut rasanya mustahil untuk ditanggung. Naluri manusia mungkin akan membawa Paulus, dan juga Nokseng untuk menyangkali iman mereka dan memilih kenyamanan duniawi. Tetapi, oleh pemeliharaan Allah, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, sebuah keputusan untuk menunjukkan imannya dan mengambil penderitaan yang tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak akan kita terima (Roma 8:18).

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun diperhadapkan dengan berbagai pilihan dan juga penderitaan, meskipun mungkin penderitaan itu tidak seberat apa yang dialami oleh Paulus maupun Nokseng. Tetapi, satu kebenaran yang dapat kita pegang adalah, di dalam Kristus, segala perkara dapat kita tanggung, sebab Dialah yang memberikan kekuatan bagi kita (Filipi 4:13).

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Baca Juga:

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak?

Lock Screen: 2 Korintus 5:15

Kristus menderita dan mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia.

Kita semua mungkin tidak asing dengan pernyataan seperti itu. Namun, sudahkah kita benar-benar memaknai pengorbanan Kristus tersebut?

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu!