Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

Bagikan Konten Ini
8 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari […]

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *