Posts

Epafroditus, Rekan Paulus yang Melengkapi Penderitaan Kristus

Oleh Jefferson

Memasuki minggu terakhir di masa pra-Paskah, mungkin kamu sering mendengar kata-kata berikut: Kristus, kehidupan, kematian, salib, kebangkitan, sengsara, penderitaan.

Penderitaan.

Aku tahu Tuhan Yesus mengalami berbagai macam penderitaan dan penganiayaan sebelum dan selama Ia disalib, tetapi kata-kata di atas, terutama yang terakhir, seringkali hanyalah kata-kata belaka yang tidak berarti apa pun bagiku. Latar belakang zaman yang menjunjung tinggi indera penglihatan—semua gawai sekarang punya fitur untuk membatasi waktu layar—membuat kita menuntut diberikan contoh nyata supaya bisa memahami suatu konsep atau kata yang abstrak. Aku pun tidak terkecuali. Sebagai contoh, aku pernah memakai Sisi Gelap dan Terang dari seri Star Wars sebagai analogi dari dua sisi realita pelayanan.

Dalam tulisanku kali ini, aku ingin menyajikan kepadamu respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus. Aku tak sedang mengacu kepada film “The Passion of the Christ atau sejenisnya yang mungkin gerejamu tayangkan selama masa Pra-Paskah (walaupun memang adegan-adegannya bisa membantu imajinasi kita). Beberapa bagian Alkitab mengarahkan kita kepada bukti penderitaan Kristus di masa kini, yang kutemukan secara iseng ketika mendengar khotbah John Piper.

Untuk menelusuri jejak bukti ini, kita perlu berkenalan dengan seorang tokoh Perjanjian Baru yang bernama Epafroditus.

Siapakah Epafroditus?

Di antara 31.171 ayat Alkitab, nama Epafroditus hanya disebut secara eksplisit dalam dua ayat dan praktis Paulus hanya membicarakannya sepanjang tujuh ayat. Jadi, di suratnya yang manakah Paulus menulis tentang Epafroditus?

25 Akan tetapi, aku berpikir perlu juga mengutus Epafroditus kepadamu. Ia adalah saudaraku, teman sepelayananku, teman seperjuanganku, dan juga orang yang membawa pesan kepadamu dan yang melayani kebutuhanku. 26 Sebab, ia sangat merindukan kamu semua dan sangat susah hatinya karena kamu mendengar bahwa ia sakit. 27 Memang, dahulu ia begitu sakit sampai hampir mati, tetapi Allah menunjukkan belas kasih kepadanya—dan bukan hanya kepada dia, melainkan juga kepada aku—supaya dukacitaku tidak bertumpuk-tumpuk. 28 Karena itu, aku jadi semakin ingin mengutusnya kembali kepadamu supaya kamu dapat bersukacita ketika melihatnya lagi, dan berkuranglah kekhawatiranku. 29 Sambutlah Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia 30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan bantuan yang tidak dapat kamu berikan kepadaku. (Filipi 2:25–30 AYT).

Ketika menulis surat ini, Paulus kemungkinan besar sedang dipenjara di kota Roma. Paulus memiliki hubungan yang spesial dengan jemaat Filipi sebab mereka adalah gereja pertama yang didirikannya selama melayani di Eropa (Kis. 16:6–40). Maka ketika mereka mendengar penawanan Paulus, mereka segera mengirimkan persembahan dengan Epafroditus sebagai utusan mereka (ay. 25, bdk. Flp. 4:18). Namun, apa daya, ia sakit keras dalam perjalanan ke Roma (yang berjarak sekitar 1.250 km dari Filipi dan membutuhkan waktu perjalanan enam minggu) dan sudah sekarat ketika tiba di sana (ay. 27). Syukurnya Tuhan menyembuhkan Epafroditus sehingga ia dapat melayani kebutuhan Paulus dan menyampaikan pesan dari jemaat Filipi (ay. 25). Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kekhawatiran jemaat Filipi terhadap Epafroditus dan melihat reaksi Epafroditus sendiri, Paulus berencana mengutusnya kembali supaya jemaat Filipi “dapat bersukacita ketika melihatnya lagi” dan Paulus sendiri bisa lega (ay. 28). Perikop ini diakhiri dengan instruksi Paulus kepada jemaat Filipi untuk menyambut kembali Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan menghormati orang-orang sepertinya yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pekerjaan Kristus (ay. 29–30).

Signifikansi Epafroditus bagi kita di masa kini

Sampai sejauh ini, kamu mungkin dapat menerka bahwa “respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus” adalah sesama pengikut Kristus yang menderita dan “hampir mati demi pekerjaan Kristus” (ay. 30). Tebakanmu benar. Aku tidak perlu menulis lebih lanjut lagi. Tulisan ini berhenti di sini. …

… Tapi, tahukah kamu bahwa kombinasi frasa dalam ayat 30 sebenarnya memiliki kembaran di surat Paulus yang lain, yang pemadanannya menyatakan prinsip Alkitab yang mendasari penderitaan orang percaya di masa kini sebagai saksi penderitaan Kristus di masa lampau?

Aku sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan atas hamba-Nya John Piper, yang 16 tahun lalu dalam khotbahnya menyatakan kemuliaan-Nya yang tersembunyi di dalam kedua teks berikut:

30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan [αναπληρωση / anaphlerohose] bantuan yang tidak dapat [υστερημα / husterema] kamu berikan kepadaku. (Flp. 2:30 AYT).

24 Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi [ανταναπληρω / antanaphleroho] apa yang kurang [υστερηματα / husteremata] dalam penderitaan Kristus, demi tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol. 1:24 AYT).

Di sini kita perlu mengklarifikasi bahwa ketika Paulus menulis penderitaannya “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol. 1:24), ia tidak sedang mengklaim bahwa salib Kristus tidak sepenuhnya menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Sebaliknya, dalam surat-suratnya yang lain (e.g., Roma 5, 1 Korintus 15, Efesus 2), Paulus menegaskan karya keselamatan Kristus lewat penderitaan-Nya di atas salib adalah sempurna dan cukup. Dalam kata-kata Piper, Keindahan, keajaiban, nilai, keagungan, dan kebaikan Kristus yang disalibkan untuk menutupi dosa adalah tak terhingga. Kamu tidak dapat menambahkan apa pun ke dalamnya. Tidak ada yang hilang darinya. Tidak ada kekurangan di dalamnya.

Jadi, apa maksud Paulus ketika menulis begitu? Di Filipi 2:30, kita menemukan penderitaan Epafroditus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan penderitaan Paulus di Kolose 1:24, yaitu “menggantikan bantuan yang tidak dapat [gereja di Filipi] berikan kepada[nya].” Kombinasi frasa “melengkapi” dan “apa yang kurang” dalam kedua ayat ini mengungkapkan jarak yang memisahkan kedua belah pihak, baik secara fisik maupun waktu. Jemaat Filipi mengasihi Paulus dan ingin melayaninya di Roma, tetapi karena tidak praktis bagi mereka semua untuk pergi ke Roma, mereka mengirim Epafroditus untuk menyatakan kasih mereka kepadanya. Siapa sangka kalau Epafroditus perlu “menderita” untuk melaksanakan misinya! Maka bukan kebetulan jika Paulus melihat kemiripan penderitaan pelayanannya bagi Kristus dengan apa yang menjadi pengalaman Epafroditus, sehingga ia memakai kombinasi frasa yang sama untuk menjelaskan kerelaannya hidup dihantui penderitaan (bdk. 2 Kor. 11:16–33), karena lewat semuanya itu ia sedang mempersaksikan Kristus yang menderita untuk gereja-Nya.

Penderitaan Epafroditus dan Paulus, keduanya murid Kristus, ialah bukti fisik bahwa Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya pernah menderita demi kebaikan jemaat dan orang-orang yang memusuhi-Nya. Dan penderitaan ini tidak sia-sia, sebab kita tahu pasti bahwa Kristus telah bangkit dan menang atas segala sengsara, dosa, dan maut (bdk. 1 Kor. 15).

Penderitaan Kristus yang tidak mungkin kita lihat karena sudah berlangsung lebih dari dua milenia yang lalu sekarang jadi nampak lewat Epafroditus-Epafroditus dan Paulus-Paulus di masa kini. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengasihi kita dengan berkorban buat kita, tapi lebih jelas lagi saudara-saudari seiman yang menderita karena iman mereka, baik yang kita kenal sendiri maupun jemaat Tuhan di berbagai belahan bumi yang lain.

Aplikasi dari teladan Epafroditus: berpartisipasi sebagai saksi (penderitaan) Kristus

Meskipun kita mungkin tidak mengalami penganiayaan karena iman kita, tetapi karena gereja Tuhan dipersatukan sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala (bdk. 1 Kor. 12), kita sepatutnya turut berbagian dalam mempersaksikan penderitaan Kristus kepada dunia. Kalau tangan kita tertusuk duri yang kecil saja, tidakkah satu tubuh kita akan merasa tidak nyaman sepanjang hari? Maka kita perlu mendukung saudara-saudari seiman kita yang dianiaya.

Ada banyak cara kita dapat menerapkan prinsip Firman Tuhan di atas.

Pertama, kita dapat mendoakan saudara-saudari seiman kita yang dianiaya karena iman mereka, baik lewat doa pribadi maupun komunal (e.g., di persekutuan doa atau ibadah). Selain teman atau kenalan yang kita kenal langsung, kita juga dapat mendoakan saudara-saudari seiman di belahan dunia lain. Kamu bisa mencari tahu lebih lanjut dari berbagai organisasi misi, terutama Open Doors International yang melayani orang-orang Kristen yang dianiaya di berbagai pelosok dunia. Open Doors setiap tahunnya merilis laporan World Watch List tentang 50 negara di mana para pengikut Kristus paling sulit mempraktikkan iman mereka.

Kedua, meneladani jemaat Filipi, kita bisa mengirim dana bantuan kepada anggota-anggota tubuh Kristus yang dianiaya lewat organisasi-organisasi misi yang melayani di area tersebut, seperti Open Doors, Wahana Visi Indonesia / World Vision, dan Compassion International. Sangat mungkin Allah akan mengirimkan para Epafroditus di masa kini untuk menyalurkan dana bantuan kita kepada umat-Nya yang membutuhkan sehingga kesaksian penderitaan Anak-Nya semakin luas diberitakan. Aku bersyukur atas kesempatan-kesempatan dari Allah selama ini, di mana aku bisa membantu saudara-saudarai seiman yang membutuhkan, termasuk dana bantuan kepada jemaat bawah tanah, mendukung pelayanan sosial di salah satu daerah paling terbelakang di Indonesia, dan menjadi sponsor adik asuh.

Terakhir, kita bisa mempersaksikan penderitaan Yesus Kristus lewat kehidupan kita sendiri. Pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah telah meneladani Paulus dengan memberikan diri mereka untuk memberitakan Injil dan menderita karenanya. Namun, lewat pengorbanan mereka, orang-orang yang mereka layani menerima pesan Injil secara utuh: bahwa Allah telah datang sebagai Yesus Kristus untuk menderita dan mati demi menyelamatkan umat manusia, telah bangkit dalam kemenangan atas dosa dan maut, dan sekarang mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan kedatangan-Nya yang kedua dan meneladani-Nya dengan mengasihi orang lain tanpa terkecuali, termasuk musuh-musuh mereka.

Kebanyakan dari kita dalam menjadi saksi Injil Kristus mungkin tidak akan pernah menderita seperti Epafroditus atau Paulus. Namun, Tuhan bisa memakai kita untuk mempersaksikan penderitaan Kristus dengan nyata bagi orang-orang yang kita temui. Salah satu peristiwa itu terjadi untukku beberapa tahun lalu. Aku memiliki hubungan yang praktis seperti saudara kandung dengan sepasang seniorku di gereja. Begitu seringnya aku mengunjungi mereka untuk membicarakan segala macam topik, bertukar kisah kehidupan, dan bermain dengan anak mereka, sampai-sampai sewaktu aku pulang dari rumah mereka, “keponakan”-ku akan menangis karena mau terus bermain dengan Paman Jeff. Suatu hari, “kakak perempuan”-ku sakit cukup parah sehingga harus diopname beberapa hari. Mendengar situasi mereka, aku langsung menawarkan diri untuk membantu sebisaku. Selama dua hari Sabtu berturut-turut, aku membantu mengasuh “keponakan”-ku sambil kakak rohaniku mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjenguk istri di rumah sakit. Aku baru tahu belakangan darinya bahwa aku termasuk dari segelintir jemaat yang menawarkan bantuan kepada mereka dan bahwa mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas uluran tangan, kehadiran, dan pengorbanan kami untuk mereka di tengah masa sulit.

Ketika mendengar kakak rohaniku berkata begitu, sejujurnya (dan sampai sekarang) aku tak merasa melakukan pengorbanan apa pun. Memang ada satu atau dua janji temu yang harus kuganti waktunya supaya aku bisa membantu mereka, tapi aku tak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku merasa terberkati karena bisa membantu mereka. Pada momen inilah aku memahami teladan Epafroditus dengan lebih utuh, konsep yang hanya aku mengerti dengan kepalaku sebelumnya sekarang telah kupraktikkan sendiri: adalah kasih Tuhan Yesus yang menopang Epafroditus melewati lembah maut ketika melayani Paulus mewakili jemaat Filipi, dan adalah kasih-Nya yang mendorongku untuk mengulurkan tangan kepada kakak-kakak rohaniku ketika mereka membutuhkannya.

Dan, lebih dalam dari tindakanku dan Epafroditus, adalah kasih-Nya yang menopang Kristus untuk patuh kepada Bapa-Nya di tengah cambukan, ludahan, dan cemoohan, bahkan patuh hingga mati digantung di kayu salib untuk semua orang berdosa yang percaya kepada-Nya, termasuk kita (Flp. 2:5–8). Tidakkah kematian dan kebangkitan Kristus mencengangkan bagi kamu? Apalagi untuk orang-orang yang menyaksikannya lewat kesaksian kita!

Mempersaksikan (penderitaan) Kristus hingga dunia mendengar dan percaya

Ada satu kisah menarik dalam bab 17 dari novel Life of Pi karangan Yann Martel. Pi adalah seorang Hindu yang pernah berinteraksi dengan seorang romo Katolik bernama Bapa Martin semasa remajanya. Dalam salah satu percakapan mereka, si romo bercerita tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pi bergumul keras dengan kisah ini. Ia tidak bisa menerima kisah Yesus Kristus sebagai kebenaran.

Di pertemuan berikutnya, Pi mencecar Bapa Martin,

… Tapi Allah yang pernah mati akan selalu pernah mati, bahkan kalau Ia bangkit sekalipun. Sang Anak tidak akan pernah bisa melupakan rasa dari kematian di mulut-Nya untuk selama-lamanya. Allah Tritunggal tidak akan berhenti dinodai kematian; pastinya ada bau busuk kematian di sebelah kanan Allah. Kengerian ini begitu nyata. Mengapa Ia menginginkan hal itu terjadi pada-Nya? Mengapa Ia tak membiarkan manusia mengalami kematian sendirian? Mengapa Ia mengotori apa yang indah, merusak apa yang sempurna?

Kamu tahu apa jawaban Bapa Martin?

Kasih.

Sepatah kata, tidak lebih, tidak kurang.

Pi menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan sambil terus membandingkan iman Kristen dengan iman Hindu, namun jawaban Bapa Martin tetap sama singkat, Kasih.”

Inilah Injil yang pengikut Kristus beritakan lewat penderitaan, pengorbanan, dan pergumulan mereka: Allah yang disalibkan, mati, dan bangkit, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi,… kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:23–24). Tidaklah heran kalau semua kasih yang sejati adalah bayang-bayang dari kasih Kristus, sebab hanya kepada nama-Nya sajalah “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi… bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:9–11).

Seperti Pi, dunia perlu mendengar dan dikagetkan dengan realita Allah yang menderita demi menyelamatkan manusia berdosa. Dan, seperti Epafroditus dan Paulus, Allah memanggil umat-Nya di masa kini untuk menderita bagi-Nya demi menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Anak-Nya dalam kesaksian tubuh-Nya, yaitu gereja (Kol. 1:24). Maka adalah misi kita sebagai anggota-anggota yang lain dari tubuh Kristus untuk memastikan bahwa dunia mendengar Kabar Baik ini, mengetahui penderitaan murid-murid Kristus karena iman mereka, dan, kalau Tuhan berkehendak, turut meneladani Epafroditus dan Paulus menjadi saksi (penderitaan) Kristus.

Puji Tuhan atas Epafroditus!

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, Soli Deo gloria!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kapan Terakhir Kali Kamu Ikut Menderita Bersama Kristus?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bulan Maret di tahun ini, kita, umat Kristen akan merayakan dua momen bersejarah dalam Alkitab, yaitu Jumat Agung dan Paskah. Sepanjang bulan ini kita telah membaca atau mendengar renungan, pujian, dan khotbah-khotbah yang mengangkat topik yang berkaitan dengan sengsara Kristus; tentang Via Dolorosa (Jalan Salib), Golgota, Kalvari, Tujuh Perkataan Salib, Kebangkitan Kristus, dan lain-lain. Bahkan, aku mengikuti proyek ketaatan dari gereja di mana aku beribadah untuk memakai Journey To The Cross-nya Paul David Trip sebagai bahan saat teduh khusus untuk merenungkan 40 hari penderitaan Kristus.

Salah satu momen sebelum Yesus disalibkan yang dicatat yaitu Perjamuan Terakhir, yang menceritakan tentang kebersamaan atau malam terakhir Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya yang dirayakan dengan roti dan anggur, dan yang ditutup dengan doa-Nya yang cukup panjang. Dan dalam Yohanes 17, untuk murid-murid-Nya saat itu, juga untuk kita yang percaya kepada-Nya dari pemberitaan mereka.

Lebih dari tiga tahun kita menyaksikan Yesus dan murid-murid-Nya melewati hari, bulan, dan tahun dengan perayaan demi perayaan, pelayanan demi pelayanan, menuju satu tempat ke tempat lainnya, menyaksikan mukjizat demi mukjizat, pemberitaan Injil bersama-sama kepada orang-orang dari latar belakang berbeda, dan lain-lain. Namun, nyatanya kedekatan mereka dengan Yesus secara personal tidak langsung membentuk satu keberanian yang kita saksikan ketika Yesus menempuh perjalanan menuju Kalvari hingga mati di kayu salib. Diawali dengan tiga murid terdekat Yesus yang memilih tidur ketika Yesus sedang bergumul di Getsemani, Yudas Iskariot yang menjual dan menyerahkan Tuhan Yesus demi 30 keping perak, dilanjutkan dengan Petrus yang begitu keras menyangkal Yesus di depan umum, dan sisanya ke mana? Selain sebelum Yesus menyerahkan nyawa-Nya, Yohanes ada di sana bersama Ibu Yesus, di Golgota, menyaksikan Yesus sampai mati. Alkitab tidak mencatat apa yang dilakukan murid-murid yang lain. Namun, di tengah cawan penderitaan yang Yesus terima,  dalam perjuangan dan rintihan-Nya menuju Kalvari, kita menyaksikan satu nama yang rasanya “tiba-tiba” muncul, yaitu Simon dari Kirene! Tiga kitab Injil mencatat hal ini:

Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Matius 27:32).

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Markus 15:21).

Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus. (Lukas 23:26)

Simon dari Kirene menilik ulang pemahamanku tentang apa itu mengikut Yesus; menata ulang pemahamanku tentang apa itu menyangkal diri; serta merangkai ulang pemahamanku tentang apa itu memikul salib.

Kita tahu bahwa jika penulis dalam Alkitab menyebut nama, tempat, peristiwa, dan lain-lain dengan begitu detail, berarti ada sesuatu yang sedang disampaikan dan perlu kita ketahui. Simon, tidak hanya disebut namanya, tetapi juga asalnya—dari Kirene. Bahkan di kitab Markus dicatat nama anak-anaknya, Aleksander dan Rufus. Dan, yang paling penting adalah apa yang dilakukan Simon dari Kirene pada momen paling bersejarah di saat-saat terakhir Yesus itu? Dipaksa memikul salib. Ya, memikul salib Yesus.

Lukas mencatat satu detail yang perlu menjadi perenungan kita,“lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (23:26). Simon memikul salib Yesus sambil berjalan di belakang-Nya, bukan di depan-Nya merupakan gambaran tentang kehidupan kita sebagai orang Kristen yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya, dengan mengatakan,”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Kita menyadari bahwa ada kalanya panggilan untuk ikut menderita bersama Kristus datang secara tiba-tiba, tanpa persiapan, dan tanpa antisipasi. Kita dituntut dengan segenap hati menyangkal diri. Simon dari Kirene yang memikul salib di belakang Yesus merupakan sikap yang indah sekaligus menyakitkan. Sebagai seorang murid, kapan terakhir kali kita ikut menderita bersama Kristus? Jika mengingat saat pertama kali menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku hampir 10 tahun yang lalu, aku menyadari bahwa dalam perjalanan imanku, tak jarang aku mengikut Dia pada syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu selama hal tersebut tidak “terlalu banyak” menuntut harga dan pengorbanan, tidak terlalu menguras waktu dan tenaga, dan lain-lain. Ya, aku masih “perhitungan” kepada Dia yang tidak memperhitungkan dosa-dosaku dan kesalahanku. Aku menyadari betapa hidupku masih jauh dari sikap untuk memberi diri seutuh-utuhnya dan setunduk-tunduknya seperti Simon dari Kirene.

“..ikutlah Aku..”, adalah panggilan-Nya untuk kita setiap hari, setiap saat. Sebuah panggilan untuk berfokus kepada Kristus. Sebuah panggilan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Sebuah panggilan untuk melepaskan kenyamanan-kenyamanan yang selama ini menghalangi kita untuk melayani Dia. Dan, kita tahu bahwa kesempatan untuk “dipanggil dan dipakai” oleh-Nya tidak selalu ada. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Simon dari Kirene yang hanya muncul sekilas itu bagai “alarm” yang berdentum hebat untuk membangunkan kita yang selama ini tidur terlalu lama.

”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Bersediakah kita merespons panggilan-Nya itu?

Biarlah dalam perjalanan iman kita dalam mengikuti-Nya ada seruan-seruan yang terus bergema dalam hati kita seperti perkataan seorang martir Sadhu Sundar Singh ini:

“The cross before me,

the world behind me.

No turning back,

no turning back…”

Selamat menyambut Jumat Agung dan Paskah!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kamu diundang datang ke perjamuan

Ketika dunia menyediakan tempat terbaik bagi mereka yang tampil dengan segala keindahan lahiriah—status, kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan sebagainya, Tuhan Yesus tidaklah demikian.

Yesus merangkul dan mengundang orang-orang yang dianggap rendah dalam masyarakat: janda-janda (Lukas 7:11-17), penderita kusta (ayat 19), wanita yang berbuat zinah (ayat 36-50), juga para pemungut cukai (Lukas 5:29-39).

Semua orang ini sama seperti kita, orang-orang berdosa yang membutuhkan kasih karunia Allah. Kita tidak dibuang, tetapi diundang Yesus untuk masuk ke dalam persekutuan bersama-Nya, menanggalkan manusia lama, dan beroleh hidup yang baru di dalam Roh.

Apa pun keadaanmu saat ini, maukah kamu menerima undangan Tuhan dan duduk dalam perjamuan-Nya?

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today dan dibuat oleh @rc.sketch.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

4 Hal yang Bisa Bikin Paskahmu Kali Ini Sia-sia

Paskah bukan sekadar hari raya, itulah peristiwa yang mengubahkan hidup umat manusia. Tapi, Paskah kita gak akan memberi kesan apa-apa kalau kita gak tahu dan gak menghayatinya.

Kebangkitan Yesus memberi kita hidup baru yang penuh pengharapan! Yuk kita tinggalkan cara hidup kita yang lama. Tinggallah di dalam-Nya dan bersama-Nya.

Selamat Paskah!


Artspace ini didesain oleh Gladys Ongiwarno @gladyong

Hati yang Membisikkan Pengampunan

Sebuah cerpen oleh Prilia

“Kalau diingat-ingat… ternyata out of the box ya jawaban Tuhan. Aku minta cowok ganteng, keren, dingin ala-ala novel atau kayak aplikasi orange, eh Tuhan kasih yang sebaliknya. Bener-bener di luar dugaanku. Hahaha…”

Suara tawa Siska segera mengisi kesunyian Kafe Ropita, disusul tawa Karen yang lebih lembut. Setelah sekian lama ditelan kesibukan masing-masing, akhirnya mereka menyempatkan bertemu sepulang dari ibadah Paskah. “Sekalian bertukar cerita tentang kelanjutan kisah asmara masing-masing,” ucap Siska. Duileh…

“Iya, emang gokil! Tapi ada yang lebih lucu sih. Kok bisa ya kamu tetep mau sama abang itu? Bukan tipemu banget padahal. Mana sekarang jadi bucin pula. Hahaha…” goda Karen.

Mendengar itu Siska langsung cemberut. Iya, sih… Bisa dibilang ia menjilat ludah sendiri, pacaran dengan laki-laki yang tak pernah dia sangka-sangka dan bukan tipe dia banget. Alias pendiam, kaku, dan garing.

“Ngeledek mulu nih kamu! Lagian ya, setelah kupikir-pikir, ada yang lebih penting daripada penampilan luar, yaitu… karakter. Abang tuh berkarisma, tahu. Dia punya prinsip, pekerja keras, superrr perhatian, dan bertanggung jawab,” ucap Siska dengan mata berbinar. “Apalagi penampilan bisa pudar seiring berlalunya waktu, tapi karakter semakin kokoh seiring berjalannya waktu dan pengalaman.”

“HOAAAA! KAPAN KAMU KETEMU MARIO TEGUH? KOK BISA SETEGUH ITU KATA-KATAMU!?”

Suara Karen seketika membuyarkan binar kagum dari mata Siska. Huh! Lagi asyik bayangin Abang, langsung bubar jalan disembur ucapan Karen ini. Asem memang bestieku ini! batin Siska.

“Kalau kamu, gimana dengan Dino?”

Karen langsung terdiam dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Ia tercenung dan menundukkan kepala, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. “Mmm… Bisa ganti topik aja nggak, Sis?”

Jawaban Karen seketika membuat Siska bertanya-tanya. “Karen, kamu gapapa?” ucapnya seraya menyentuh bahu gadis itu.

Karen semakin tertunduk dan bahunya mulai bergetar. Siska langsung meraih dan memeluknya.

“Aku… putus. Aku putus sama Dino, Sis.”

Dan ucapan itu pun seketika membuat Siska tercekat.

Putus?! Siska pasti salah dengar. Ini Karen dan Dino lho, couple goals yang selalu tampak mesra meski sudah empat tahun pacaran. Belum lagi Dino baru saja melamar Karen untuk menikah tahun depan! Lalu mengapa setelah jalan bareng sejauh ini, mereka tahu-tahu putus? Kapan?

“Tiga bulan yang lalu. Tepat seminggu setelah dia melamarku.” Suara Karen sarat dengan nada pilu yang menyesakkan dada. Karen, sahabat yang dikasihinya itu, ternyata memilih menyimpan luka ini untuk dirinya sendiri.

Karen merasakan tangan Siska semakin erat memeluknya sambil perlahan membelai punggungnya. Tangis yang sejak tadi ditahannya itu pun perlahan pecah. Ia tak pernah menyangka ia begitu membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini. Pelukan yang meneduhkan. Pelukan yang memberinya rasa aman. Pelukan yang entah kenapa membuat ia berani untuk sekali lagi menjenguk ingatan-ingatannya tentang… Dino.

Ia masih ingat benar hari itu, ketika Dino menembaknya menjadi pacar dengan cara yang sangat romantis. Dino, cinta pertamanya, yang selalu memberi Karen perayaan-perayaan anniversary yang sempurna. Dan yang termanis tapi sederhana, Dino selalu memperlakukan Karen dengan sangat lembut, bahkan hal sepele seperti memasang pengait helm pun dilakukannya untuk Karen.

Bukankah apa yang laki-laki itu lakukan selama ini menunjukkan Dino teramat menyayanginya? Bahkan caranya melamar Karen sungguh manis dan gentleman. Ia meminta izin lebih dulu kepada orangtua Karen dan diam-diam mengajak saudara-saudara Karen serta Siska untuk memberinya surprise lamaran. Bukankah itu artinya Dino sangat serius terhadapnya?

Perlahan, Karen melepaskan pelukannya. “Sebenarnya aku nggak mau cerita tentang hal ini ke siapa pun. Aku malu terlihat menyedihkan seperti ini, Sis. Aku nggak mau orang-orang mengasihani aku. Tapi … aku juga capek menyimpan ini sendiri.”

Siska menatap sahabatnya itu dengan lembut. “Ayo cerita, Ren, aku mendengarkan.”

Karen menghela napas dalam-dalam, tatapannya setengah menerawang. “Tepat seminggu setelah Dino melamarku, aku melihat dia bersama seorang perempuan di mall. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi ketika akan menghampiri mereka, aku… melihat gestur mereka seperti orang pacaran, Sis.

“Jadi, aku diam-diam memperhatikan mereka cukup lama. Ketika mereka semakin mesra, aku langsung menghampiri. Aku tahu Dino sama sekali tidak menyangka. Tapi bukannya mengenalkanku kepada perempuan itu, dia malah mengajakku menjauh dan bilang begini…” Karen berhenti sebentar, suaranya gemetar saat mengutip perkataan Dino, “’Aku bingung mau bilang dari mana. Tapi, maafin aku, Ren. Sungguh, maafin aku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf. Maaf banget, Ren. Aku bingung dan nggak tega memberitahumu. Tapi, daripada kita tetap melanjutkan hubungan ini dengan kebimbangan hatiku, lebih baik… kita putus.’

“Aku benar-benar kaget. Aku menahan diri supaya tidak menangis di depannya. Kutanya, kenapa dia baru memberitahuku setelah dia melamarku. Dan siapa perempuan di sampingnya itu? Tapi, jawabannya semakin menohok hatiku, Sis. Katanya, perempuan itu teman lama yang sempat dia sukai. Dan semenjak bertemu lagi dengan temannya itu, dia merasa perasaannya yang dulu kini kembali bersemi. Itu yang bikin dia bimbang dengan hubungan kami, Sis.”

Siska tercengang. “Trus, kamu apain dia, Ren? Kamu tampar nggak pipinya?”

“Nggaklah, Sis. Aku nggak mau. Putusnya aku sama Dino udah kayak cerita sinetron. Kalau kutampar pipinya, jadilah sinetron beneran. Malu aku.”

Siska mendengus dan memasang tampang cemberut. “Udahlah blokir aja kontak dan semua medsosnya. Aku yakin itu bisa bikin kamu move on.”

“Sis, saranmu sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu. Tapi, bukannya membuatku lupa, aku justru semakin ingat padanya. Aku merasa hancur, sampai-sampai aku nekat mencoba berbagai cara demi menyembuhkan hatiku. Aku bukan hanya memblokir semua medsosnya, aku bahkan membuang semua barang pemberiannya. Tapi itu pun nggak berhasil. Nggak ada yang berhasil. Sedikit pun hatiku nggak merasa lega, Sis. Hatiku panas. Kecewa. Marah, dan… aku pun mulai menyalahkan Tuhan. Aku bertanya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku? Dia kan tahu aku yakin Dino adalah yang terbaik untukku. Bahwa aku mencintainya amat sangat. Tapi, Sis, suatu hari aku tiba-tiba disadarkan bahwa ternyata aku melupakan satu hal.” Mata Karen yang kembali basah kini menyorotkan penyesalan.

“Tahu nggak? Tanpa kusadari, selama ini aku telah menjadikan Dino sebagai pusat hidupku. Menerima dia menjadi pacar memang keputusanku dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi, ketika aku semakin terlena oleh perhatiannya, aku pun semakin mencintainya, bahkan menjadikannya yang paling utama dalam hatiku. Perasaan cintaku kepada Dino perlahan tapi pasti menggeser posisi Tuhan di hatiku, Sis. Dan aku pun menomorsekiankan Tuhan. Melupakan-Nya. Dan aku menyesal.”

Tangis Karen pecah. Penyesalan yang dirasakannya begitu memilukan dan membuat hati Siska sedih.

“Melupakan Tuhan adalah pilihan terburuk dalam hidupku, Sis. Setelah aku sadar, aku pun memohon ampun sama Tuhan, membawa kehancuran dan penyesalan yang kurasakan. Dan setelahnya, aku cuma minta satu hal sama Tuhan. ‘Tuhan, tolong perbaiki hatiku.’ Udah, itu aja yang saat ini terus-terusan kuminta.“

Memperbaiki hati… itu hal tersulit yang takkan pernah sanggup dilakukan dengan kekuatan manusia. Hati adalah hal yang paling kuat sekaligus paling rapuh. Hati yang diciptakan oleh Tuhan, ditujukan untuk hal baik. Dan jika manusia menghancurkan hati itu, siapa yang bisa menyembuhkannya selain Penciptanya sendiri?

“Perlahan, dari sehari ke sehari, hatiku pun mulai dipulihkan. Namun, perbuatan Dino masih saja muncul dan mengusikku, seolah-olah menolak untuk dilupakan. Seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang belum … selesai. Lalu aku membaca sebuah kutipan yang menyadarkanku bahwa masih ada yang belum tuntas, yaitu … pengampunan.”

“Nothing in the Christian life is more important than forgiveness—our forgiveness of others and God’s forgiveness of us.”

“Kutipan itu benar-benar menohokku, Sis. Ternyata aku baru setengah jalan dalam proses pengampunanku sendiri, karena sesungguhnya pengampunan tidak selesai hanya dengan kita menerima pengampunan Allah. Kita juga perlu meneruskannya kepada sesama kita. Seperti aku yang telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi belum meneruskannya kepada Dino. Tidak heran hatiku terus bergejolak.” Karen diam sebentar dan menghela napas dalam-dalam. “Bukan itu saja. Aku akhirnya tahu, mengampuni bukanlah urusan mood, melainkan sepenuhnya adalah tentang … keputusan,” bisik Karen. Ditatapnya Siska dalam-dalam.

“Keputusan yang tidak mudah pastinya, bukan?” balas Siska.

Karen mengangguk. “Iya, tidak mudah dan pastinya tidak selesai dalam semalam. Proses pengampunanku sendiri terhadap Dino masih terus berlangsung, Sis, bahkan sampai sekarang. Kadang, kalau teringat aku masih merasa kecewa. Meski begitu, aku juga tahu, kekecewaanku tidak lagi sedalam dulu, Sis. Dan aku yakin suatu hari nanti, akhirnya perasaan kecewa itu akan hilang sepenuhnya, karena Tuhan terus bekerja dalam hatiku.”

Siska tersenyum, hatinya membuncah dan tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Karen.

“Ren, sesungguhnya aku bingung mau bilang apa… Tapi, makasih banget. Makasih kamu udah sharing ini kepadaku ya,” ucapnya tulus.

“Makasih juga karena kamu udah sabar mendengarkan ceritaku, Sis,” balas Karen seraya tersenyum.

“Dan aku akan terus berdoa agar kamu bisa segera pulih total dari patah hati itu sampai akhirnya kau dapat sepenuhnya memaafkan Dino dan melepaskan perasaan kecewamu. Aku sungguh bersyukur kamu segera berpaling kepada Tuhan yang memampukanmu untuk mengambil hikmah dari pengalaman pahit ini. Ingat ya, Ren, kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman cerita, aku siap menemanimu.”

Karen mengangguk dengan penuh rasa haru. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Siska dengan hangat.

Cerita Karen memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pacar atau siapa pun sosok yang kita kasihi dan kagumi di dunia ini, bukanlah sosok sempurna. Satu-satunya sosok yang dapat kita percaya untuk menaruh harapan, hanyalah Yesus.

Ingatlah Yesus yang Pernah Menderita Bagi Kita – Artspace Jumat Agung

Apapun situasi yang kita alami saat ini, kita dapat yakin bahwa ada seseorang yang benar-benar tahu apa yang sedang kita hadapi. Karena Dia sendiri pernah melewati semua itu.

Jadi, kalau kamu mendapatkan diagnosa penyakit tertentu, ingatlah Yesus, yang hidup setiap hari dalam hidup-Nya dengan menyadari bahwa Dia akan mati dengan cara yang begitu kejam (Matius 16:21).

Jika kamu bergumul untuk menerima apa yang menjadi kehendak Tuhan (mungkin keadaan di rumah atau tempat kerjamu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan), ingatlah Yesus yang memohon kepada Allah Bapa di Taman Getsemani (Lukas 22:42).

Jika teman-temanmu telah mengkhianati atau meninggalkanmu, ingatlah Yesus, yang juga dikhianati oleh Yudas, murid-Nya (Lukas 22:3-6).

Jika kamu mendapatkan tuduhan yang salah, ingatlah Yesus, yang juga mendapatkan tuduhan yang salah di hadapan Pilatus dan Herodes (Lukas 23:2, 10).

Jika kamu telah kehilangan semua yang kamu miliki, ingatlah Yesus, yang meninggalkan takhta-Nya di surga untuk datang ke dunia yang telah jatuh dalam dosa ini (Filipi 2:6-8).

Jika kamu tidak mendapatkan apa yang menjadi hakmu, ingatlah Yesus, yang tubuh-Nya didera bagi kita (Filipi 2:6-8).

Jika kamu sedang menghadapi sakit secara fisik, ingatlah Yesus yang tergantung di kayu salib (Yesaya 53:4-5).

Jika kamu merasa diabaikan oleh Allah, ingatlah Yesus, yang ditinggalkan Allah di atas kayu salib (Matius 27:46).

Ingatlah Yesus.

Ingatlah bahwa Dia telah mati untuk memberikan kita hidup.

Ingatlah juga bahwa Dia pernah hidup di dunia ini untuk menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup.

Kasih Tuhan di Masa Corona

Oleh Jefferson, Singapura

Memasuki bulan keempat di tahun 2020, aku tidak menyangka kalau wabah COVID-19 akan jadi separah ini. Situasi di Singapura sendiri bereskalasi dengan cepat selama beberapa minggu terakhir. Pengetatan berkala peraturan-peraturan social distancing pun mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan kebijakan “pemutus arus”—yang mirip dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta—hari Jumat minggu lalu. Salah satu upaya yang diperkenalkan untuk menghambat laju penyebaran coronavirus adalah menutup kantor-kantor dari berbagai sektor non-esensial selama satu bulan, dimulai dari Selasa kemarin. Kantorku yang bergerak di bidang konsultasi lingkungan pun terkena imbasnya.

Aku cukup terkejut ketika mendengar harus bekerja dari rumah selama sebulan, terutama karena perusahaanku belum pernah melakukannya sejak pandemi ini dimulai. Group chat kantor pun mulai ribut dalam keresahan, membuat aku yang tadinya tenang-tenang saja jadi ikutan panik.

Pada saat itulah aku mulai menyadari dan merasakan dampak dari wabah COVID-19 secara langsung. “Ketakutan dan penderitaan semakin nyata di mana-mana,” pikirku. Pengamatan ini kemudian berkembang menjadi pertanyaan, “Menghadapi situasi seperti ini, tanggapan seperti apa yang iman Kristen berikan? Dan apa bedanya dengan reaksi dari dunia?”

Di antara banyak tulisan dan opini yang disuarakan oleh berbagai kalangan, artikel karangan N. T. Wright menuntunku untuk merenungkan tentang hal ini lebih dalam dari yang kukira, di mana aku melihat keindahan dan keunikan dari jawaban Kekristenan untuk pandemi ini.

“Kekristenan tidak menawarkan jawaban apapun atas coronavirus

Artikel itu dibuka dengan pengamatan beliau terhadap suatu refleks—layaknya lutut yang diketuk palu karet—dari banyak kalangan untuk memberikan sebuah label kepada peristiwa ini, entah sebagai “hukuman”, “pertanda”, maupun “respons alam”. Teori-teori konspirasi pun menyebar secepat virus korona menular. Orang-orang ini dijuluki N. T. Wright sebagai “Rasionalis” karena menuntut penjelasan rasional atas segala kejadian. Berseberangan dengan mereka adalah kaum “Romantisis” yang sentimentalis, yang menuntut suatu “desahan lega“, kepastian instan bahwa pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.

Terhadap kedua reaksi tersebut, N. T. Wright memberikan alternatif respons yang iman Kristiani usung dalam bentuk ratapan, di mana kita mengakui dengan jujur kalau kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian maupun hasil akhirnya. Ratapan beliau jabarkan sebagai tindakan “bergerak keluar dari kecemasan kita terhadap dosa-dosa dan pergumulan pribadi yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”. Tradisi ratapan yang Alkitabiah mengajak kita untuk berempati dengan penderitaan mereka yang berhadapan dengan pandemi ini dalam kondisi yang jauh dari ideal, seperti di kamp pengungsi yang padat di Yordania dan daerah penuh kekerasan perang seperti Gaza.

Beliau kemudian mengajak kita untuk menilik isi dari sejumlah mazmur ratapan. Beberapa mazmur memang ditutup dengan pembaharuan keyakinan akan penyertaan dan pengharapan dari Tuhan di tengah permasalahan, namun ada juga mazmur-mazmur yang berakhir dalam kegelapan dan kekalutan (seperti Mazmur 88 dan 89). Dari kedua jenis mazmur ratapan ini, kita melihat bahwa praktik ratapan tidak selalu memberikan jawaban atas segala rasa duka dan frustrasi yang kita alami. Meskipun begitu, ratapan selalu menyingkapkan suatu misteri yang dinyatakan oleh Alkitab kepada para peratap: TUHAN sendiri pun meratap.

Ratapan Allah Tritunggal terekam jelas dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Ada banyak bagian yang mencatat hati Tuhan yang berduka, seperti ketika melihat keberdosaan dan kejahatan manusia (Kejadian 6:5-6) serta ketika bangsa Israel pilihan-Nya sendiri berpaling dari-Nya untuk menyembah berhala (Yesaya 63:10). Di sisi lain, dalam Perjanjian Baru kita melihat air mata sang Anak di makam Lazarus (Yohanes 11:35) dan ”erangan” Roh Kudus di dalam diri kita (Roma 8:26) sambil kita sendiri “mengerang” bersama seluruh ciptaan (Roma 8:23). [Terjemahan Bahasa Indonesia memakai kata “keluhan” untuk kata yang secara konsisten diterjemahkan sebagai “groan(-ings)” / “erangan” oleh terjemahan-terjemahan Bahasa Inggris.]

Dari semua pengamatan ini, N. T. Wright menyimpulkan bahwa orang Kristen tidak dipanggil untuk (mampu) menjelaskan apa yang sedang terjadi dan mengapa itu terjadi, melainkan untuk meratap. Bersama dengan Roh Tuhan yang meratap dalam diri kita, ratapan kita menjadikan kita bait-bait Allah yang menyatakan penyertaan dan kasih-Nya di tengah dunia yang sedang menderita karena wabah COVID-19.

Ikut meratap bersama Tuhan yang meratap

Walaupun tulisan yang kuringkas di atas memperluas wawasan dan mengajarkan sebuah cara bagaimana kita dapat merespons wabah COVID-19 dengan Alkitabiah dan bijak, aku merasa kurang puas dengan konklusi yang N. T. Wright ambil. Aku merasa masih ada kaitan yang lebih mendalam antara ratapan kita dengan ratapan Allah yang tidak dipaparkan oleh beliau. Dalam perenunganku tentang hal ini, sebuah frasa dari Yesaya 53:3 mendadak muncul dalam benakku: “man of sorrows”, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan”. Frasa ini digunakan dalam nubuatan nabi Yesaya tentang Hamba TUHAN yang menderita untuk memikul ganjaran dari dosa dan kejahatan yang sepatutnya kita terima (Yesaya 52:13–53:12), yang kemudian digenapkan oleh Yesus Kristus ketika Ia disesah, dihina, dan disalibkan sekitar 2000 tahun yang lalu.

Deskripsi Yesus sebagai man of sorrows inilah yang menggugah hatiku. Sebagai Tuhan atas seluruh ciptaan, Yesus Kristus adalah satu-satunya Pribadi di jagat raya yang memahami penderitaan secara penuh. Ia mampu melenyapkan kesengsaraan hanya dengan satu patah kata (bdk. Matius 26:53)! Yesus tidak perlu datang ke dunia, tapi Ia tetap mengambil rupa manusia dan mengalami penderitaan dengan sensasi panca indera yang sama dengan kita (Yesaya 53:7) hingga mati (53:8) sehingga “oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh” (53:5; bdk. 1 Petrus 2:24). Kurasa terjemahan Indonesianya tidak menggambarkan dengan penuh makna dari frasa ini. Bukan hanya “penuh kesengsaraan”, penderitaan yang Yesus alami pada Jumat Agung menjadikan-Nya “seorang sengsara”, kesengsaraan dalam wujud darah dan daging manusia.

Dalam perenungan inilah aku melihat hubungan antara ratapan kita dengan ratapan Tuhan: Yesus Kristus telah lebih dulu meratapi dan berempati dengan semua dosa dan penderitaan kita, bahkan mengalami sendiri segala penderitaan itu dan menanggungnya di atas kayu salib sampai mati, sehingga kita dapat “bergerak keluar dari kecemasan kita… yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”, meratapi dan berempati dengan penderitaan orang lain. Kebenaran ini digambarkan dengan indah oleh Paulus, “[Pribadi Allah Bapa] yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32)

Allah yang kita sembah, yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus, tidaklah jauh dari kita semua (bdk. Ibrani 4:15). Ia tidak tinggal diam ketika melihat ciptaan-Nya yang menurut hikmat mereka sendiri mencoba untuk merasionalisasi dan meromantisasi jawaban atas segala kejahatan dan penderitaan di dunia. Kepada kaum-kaum Rasionalis, Romantisis, dan semua pandangan manusiawi lainnya, Allah menjawab dengan memilih untuk datang sendiri ke dalam dunia, merasakan segala penderitaan itu dalam wujud dan indera yang sama dengan kita, meratap bersama kita, dan menebus upah dosa hingga tuntas di atas kayu salib.

Kurasa bertepatannya momen wabah COVID-19 ini dengan masa Lent atau prapaskah dan peringatan Jumat Agung dan Paskah bukanlah sebuah kebetulan. Mengapa begitu? Karena di tengah masa coronavirus yang gelap pekat, cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus (2 Korintus 4:4), terang kasih Tuhan yang terus menyertai kita, dapat terlihat bersinar lebih cemerlang.

Meratap di tengah kegelapan, berharap pada sang Terang kasih dunia

Jadi, bagaimana kita dapat melakukan praktik ratapan di masa kini? Yang jelas, ratapan tidak dilakukan dengan berusaha menemukan penjelasan di balik situasi COVID-19 yang kompleks seperti golongan Rasionalis, maupun mencari penghiburan instan seperti kaum Romantisis. Sebaliknya, kita meratap dengan melihat keluar dari diri kita untuk menolong dan berempati dengan penderitaan orang lain, seperti yang N. T. Wright usulkan dan, aku ingin menambahkan, mengarahkan orang lain untuk melihat dan percaya kepada Kristus yang meratap bersama kita dan menanggung semua penderitaan itu untuk kita.

Melalui doa-doa yang kita panjatkan, percakapan-percakapan online dengan teman dan kerabat kita, serta mencari tahu dan menolong mereka yang membutuhkan bantuan—baik secara dana, pangan, maupun emosi—untuk melewati pandemi ini, kita memberitakan Injil kasih keselamatan dalam Yesus Kristus. Teman-teman kosku membantu menajamkan langkah yang terakhir dengan mengingatkan bahwa bantuan yang dapat kita berikan kepada orang lain pun adalah berkat yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita terlebih dahulu. Dengan kata lain, pengucapan syukur yang tulus adalah bagian penting dari tindakan kita menyalurkan berkat Tuhan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Dengan segala waktu dan sumber daya tambahan yang kudapatkan dari keharusan untuk bekerja dari rumah selama sebulan ke depan, aku tahu apa yang akan kuaplikasikan dari perenungan ini: mengucap syukur setiap saat atas berkat-berkat yang Tuhan terus berikan, meratapi penderitaan demi penderitaan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, dan membantu mereka yang membutuhkan sejauh yang kubisa. Melalui semua tindakanku ini, aku berdoa agar dunia dapat mengenal dan berharap kepada Yesus Kristus yang meratap bersama kita dan telah memberi diri-Nya untuk menanggung segala penderitaan kita.

Maukah kamu ikut meratap bersamaku dan membagikan pengharapan ini sehingga realita kasih Tuhan di masa corona semakin nyata di tengah dunia yang terinfeksi oleh dosa?

Selamat Jumat Agung dan Paskah! Tuhan Yesus menyertai dan memberkati, soli Deo gloria.

P. S. Judul tulisan ini diadaptasi dari novel karangan Gabriel García Márquez yang berjudul Love in the Time of Cholera (“Kasih di Masa Kolera”)

Baca Juga:

Ketika Aku Divonis Sakit Oleh Pikiranku Sendiri

Tahun 2016 aku pernah menderita Pneumonia, lalu dinyatakan sembuh. Namun, berita-berita tentang virus yang kubaca membuatku cemas. Pikiran buruk pun menghantui, aku over-thinking.

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

Yesus Kristus dan Celana Kolor

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Judul di atas mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Ceritanya begini:

Beberapa waktu silam, saat jemaat di gereja kami sedang beribadah Jumat Agung, remaja kami menampilkan suatu drama Jalan Salib yang mengharukan.

Yesus Kristus diperankan dengan sangat hidup oleh Yordan, sang wakil ketua remaja, dan para pemeran prajurit Roma serta wanita-wanita yang menangisi kematian-Nya juga diperankan secara apik oleh anak-anak remaja belasan tahun itu.

Nah, puncak drama ini ada di adegan ketika Kristus disalibkan.

Tanpa sengaja, para “prajurit Roma” tadi melepaskan peniti di salah satu bagian jubah yang dikenakan oleh “Yesus Kristus”, yang mana peniti yang satu itu jangan sampai dilepas sebenarnya.

Yemima, pembina mereka yang menjadi sutradara drama ini, sudah mewanti-wanti mereka agar peniti yang satu itu jangan sampai dilepas.

Tetapi toh, para “prajurit Roma” itu lupa, atau mungkin karena terlalu menjiwai peran mereka, dengan semangat khas pasukan Roma, semua peniti di jubah “Yesus” itu pun dilepas.

Alhasil, seluruh kain atau jubah putih yang menutupi badan bagian atas dan bawah “Yesus” itu melorot semua.

Drama mengharukan yang mencapai puncaknya di penyaliban Sang Mesias itu mempertontonkan: Yesus Kristus yang disalibkan dengan celana kolor kotak-kotak.

Sebagian jemaat, termasuk paduan suara remaja yang sudah berbaris di depan, hampir tak bisa menahan tawa.

Namun tawa itu segera lari dari bibir kami sebab para pemain drama itu tidak menunjukkan mimik malu atau grogi sedikitpun akibat “kesalahan teknis” itu.

Bahkan mereka menganggap dilucutinya semua jubah Kristus itu adalah bagian dari skenario drama.

Semua pemeran berakting serius dan menghayati. Yordan, Daniel, Dylan, Adriel, Albert, Bhisma, dkk, yang berada di “Golgota” benar-benar tampil prima.

Mereka menjalankan detail instruksi sutradara dengan baik, kecuali urusan peniti tadi.

Melucuti jubah Yesus memang bagian dari skenario, tetapi tidak semua jubah perlu dilucuti, hanya yang bagian atas saja, yang bawah tidak perlu dilepas.

Namun, semua sudah terjadi. Peniti itu sudah tidak pada tempatnya, entah siapa yang mencabutnya. Celana kolor “Yesus” pun menjadi sorotan ratusan pasang mata yang memadati gereja kami.

Aku berdiri di belakang kamera milik Yordan. Tak kuhiraukan adegan ganjil itu. “Yang penting Yordan masih pakai kolor,” begitu pikirku.

Bayangkan jika tidak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya saat puncak drama ditampilkan?

Ahh, lebih baik jangan dibayangkan lah.. tak elok..

Aku teruskan tugasku memotret drama itu. Ironis memang karena ini seperti “senjata makan tuan”, kamera milik Yordan dipakai untuk memotret dia dan celana kolor kotak-kotak miliknya di puncak drama penyaliban Sang Juruselamat.

Tetapi Yordan memiliki hati yang luas dan mental yang matang, ia tetap bisa menguasai dirinya selama memerankan Yesus Kristus hingga akhir, sampai ia menjerit, “Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Salut kepada Yordan, ia sungguh berbakat sebagai aktor.

Celana kolor itu bukan alasan baginya untuk membuyarkan konsentrasi jemaat pada klimaks penyaliban Kristus.

Drama itu memang berlangsung tidak lebih dari 11 menit, tetapi drama itu takkan bisa dilupakan oleh jemaat.

Pesan sakral Jumat Agung yang terkandung drama remaja kemarin terasa lancar dan deras mengalir ke dalam sanubari kami.

Pikiranku pun terbang ke tanah Palestina dua puluh abad lampau.

Celana kolor yang dipakai “Yesus” di Golgota kemarin membuatku memikirkan lagi, “Bukankah Kristus sewaktu Ia disalibkan begitu menderita karena dosa-dosa kita?

Selain cambukan, hinaan, tonjokan, dan semua aksi memilukan itu, Kristus juga ditelanjangi.

Ya, Ia bukan hanya disalib, tetapi disalib dengan telanjang.

Mari kita perhatikan sejumlah nats berikut:

Matius 27:35,“Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi”; Markus 15:24, “Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing”;

Lukas 23:34b, “Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya”.

Tiga ayat ini menunjukkan bahwa pada saat Yesus disalibkan, para prajurit yang menyalibkan-Nya membagi-bagi pakaian-Nya.

Injil Yohanes malah menginformasikan ternyata yang diambil dan dibagi-bagi oleh para prajurit itu bukan hanya pakaian-Nya, tetapi dikatakan juga jubah-Nya (19:23).

Kata “jubah” berasal dari kata Yunani “khitona” yang artinya adalah pakaian dalam.

Alkitab NIV menulis, “When the soldiers crucified Jesus, they took his clothes (pakaian), dividing them into four shares, one for each of them, with the undergarment (pakaian dalam) remaining. This garment was seamless, woven in one piece from top to bottom” (Yohanes 19:23).

Di sini NIV menerjemahkan kata pertama dan kedua dengan tepat tetapi kata ketiga diterjemahkan ‘garment’ (pakaian), yang agak kurang cocok karena dalam bahasa Yunani kata kedua dan ketiga adalah sama.

Jadi, kata “garment” pun sebaiknya diterjemahkan sebagai pakaian dalam (yang ikut dilucuti).

Karena itu, dari nats ini dapat dipahami bahwa Yesus disalibkan dalam keadaan telanjang.

Ini jelas adalah sesuatu yang sangat memalukan. Ia ditelanjangi dan menjadi tontonan semua orang yang melihat-Nya.

Maka tak heranlah para wanita yang menjadi murid Kristus tidak berani berdiri dekat salib-Nya ketika mereka di Golgota, sangat mungkin karena mereka tidak tega melihat guru mereka dalam kondisi telanjang seperti itu.

Drama yang tanpa sengaja mempertontonkan celana kolor kotak-kotak itu mengingatkan aku dan kamu bahwa Tuhan Yesus disalibkan dengan telanjang bulat.

Penelanjangan Kristus ini menunjukkan betapa rusaknya manusia berdosa.

Seharusnya kita yang ditelanjangi, dipermalukan, disiksa, dan mengerang di neraka sebagai hukuman atas keberdosaan kita, namun itu semua dipikul oleh Yesus Kristus.

Ia memikul itu semua agar kita tidak menerima hukuman Allah.

Yesus Kristus adalah Allah, Ia rela dipermalukan dan ditelanjangi, supaya manusia bisa diselamatkan dari hukuman Allah.

Upah dosa adalah maut, dan kita semua telah berdosa, tidak seorangpun dari kita yang tidak berdosa.

Oleh sebab itu kita perlu datang kepada Dia yang tersalib dengan telanjang itu, agar kita beroleh keselamatan dan jubah kebenaran yang membuat kita tidak lagi telanjang di hadapan Allah dan tidak lagi malu ketika berjumpa muka dengan muka di hadapan-Nya.

Baca Juga:

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Lahir dan tinggal di Indonesia tentunya bukan sebuah kebetulan, memuliakan-Nya melalui panggilan kita masing-masing harus menjadi tujuan utama kita. Sudahkah kau temukan panggilanmu?