Posts

Hati yang Membisikkan Pengampunan

Sebuah cerpen oleh Prilia

“Kalau diingat-ingat… ternyata out of the box ya jawaban Tuhan. Aku minta cowok ganteng, keren, dingin ala-ala novel atau kayak aplikasi orange, eh Tuhan kasih yang sebaliknya. Bener-bener di luar dugaanku. Hahaha…”

Suara tawa Siska segera mengisi kesunyian Kafe Ropita, disusul tawa Karen yang lebih lembut. Setelah sekian lama ditelan kesibukan masing-masing, akhirnya mereka menyempatkan bertemu sepulang dari ibadah Paskah. “Sekalian bertukar cerita tentang kelanjutan kisah asmara masing-masing,” ucap Siska. Duileh…

“Iya, emang gokil! Tapi ada yang lebih lucu sih. Kok bisa ya kamu tetep mau sama abang itu? Bukan tipemu banget padahal. Mana sekarang jadi bucin pula. Hahaha…” goda Karen.

Mendengar itu Siska langsung cemberut. Iya, sih… Bisa dibilang ia menjilat ludah sendiri, pacaran dengan laki-laki yang tak pernah dia sangka-sangka dan bukan tipe dia banget. Alias pendiam, kaku, dan garing.

“Ngeledek mulu nih kamu! Lagian ya, setelah kupikir-pikir, ada yang lebih penting daripada penampilan luar, yaitu… karakter. Abang tuh berkarisma, tahu. Dia punya prinsip, pekerja keras, superrr perhatian, dan bertanggung jawab,” ucap Siska dengan mata berbinar. “Apalagi penampilan bisa pudar seiring berlalunya waktu, tapi karakter semakin kokoh seiring berjalannya waktu dan pengalaman.”

“HOAAAA! KAPAN KAMU KETEMU MARIO TEGUH? KOK BISA SETEGUH ITU KATA-KATAMU!?”

Suara Karen seketika membuyarkan binar kagum dari mata Siska. Huh! Lagi asyik bayangin Abang, langsung bubar jalan disembur ucapan Karen ini. Asem memang bestieku ini! batin Siska.

“Kalau kamu, gimana dengan Dino?”

Karen langsung terdiam dan raut wajahnya berubah 180 derajat. Ia tercenung dan menundukkan kepala, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. “Mmm… Bisa ganti topik aja nggak, Sis?”

Jawaban Karen seketika membuat Siska bertanya-tanya. “Karen, kamu gapapa?” ucapnya seraya menyentuh bahu gadis itu.

Karen semakin tertunduk dan bahunya mulai bergetar. Siska langsung meraih dan memeluknya.

“Aku… putus. Aku putus sama Dino, Sis.”

Dan ucapan itu pun seketika membuat Siska tercekat.

Putus?! Siska pasti salah dengar. Ini Karen dan Dino lho, couple goals yang selalu tampak mesra meski sudah empat tahun pacaran. Belum lagi Dino baru saja melamar Karen untuk menikah tahun depan! Lalu mengapa setelah jalan bareng sejauh ini, mereka tahu-tahu putus? Kapan?

“Tiga bulan yang lalu. Tepat seminggu setelah dia melamarku.” Suara Karen sarat dengan nada pilu yang menyesakkan dada. Karen, sahabat yang dikasihinya itu, ternyata memilih menyimpan luka ini untuk dirinya sendiri.

Karen merasakan tangan Siska semakin erat memeluknya sambil perlahan membelai punggungnya. Tangis yang sejak tadi ditahannya itu pun perlahan pecah. Ia tak pernah menyangka ia begitu membutuhkan pelukan seorang sahabat seperti ini. Pelukan yang meneduhkan. Pelukan yang memberinya rasa aman. Pelukan yang entah kenapa membuat ia berani untuk sekali lagi menjenguk ingatan-ingatannya tentang… Dino.

Ia masih ingat benar hari itu, ketika Dino menembaknya menjadi pacar dengan cara yang sangat romantis. Dino, cinta pertamanya, yang selalu memberi Karen perayaan-perayaan anniversary yang sempurna. Dan yang termanis tapi sederhana, Dino selalu memperlakukan Karen dengan sangat lembut, bahkan hal sepele seperti memasang pengait helm pun dilakukannya untuk Karen.

Bukankah apa yang laki-laki itu lakukan selama ini menunjukkan Dino teramat menyayanginya? Bahkan caranya melamar Karen sungguh manis dan gentleman. Ia meminta izin lebih dulu kepada orangtua Karen dan diam-diam mengajak saudara-saudara Karen serta Siska untuk memberinya surprise lamaran. Bukankah itu artinya Dino sangat serius terhadapnya?

Perlahan, Karen melepaskan pelukannya. “Sebenarnya aku nggak mau cerita tentang hal ini ke siapa pun. Aku malu terlihat menyedihkan seperti ini, Sis. Aku nggak mau orang-orang mengasihani aku. Tapi … aku juga capek menyimpan ini sendiri.”

Siska menatap sahabatnya itu dengan lembut. “Ayo cerita, Ren, aku mendengarkan.”

Karen menghela napas dalam-dalam, tatapannya setengah menerawang. “Tepat seminggu setelah Dino melamarku, aku melihat dia bersama seorang perempuan di mall. Saat itu aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi ketika akan menghampiri mereka, aku… melihat gestur mereka seperti orang pacaran, Sis.

“Jadi, aku diam-diam memperhatikan mereka cukup lama. Ketika mereka semakin mesra, aku langsung menghampiri. Aku tahu Dino sama sekali tidak menyangka. Tapi bukannya mengenalkanku kepada perempuan itu, dia malah mengajakku menjauh dan bilang begini…” Karen berhenti sebentar, suaranya gemetar saat mengutip perkataan Dino, “’Aku bingung mau bilang dari mana. Tapi, maafin aku, Ren. Sungguh, maafin aku. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku nggak bisa lanjut sama kamu. Maaf. Maaf banget, Ren. Aku bingung dan nggak tega memberitahumu. Tapi, daripada kita tetap melanjutkan hubungan ini dengan kebimbangan hatiku, lebih baik… kita putus.’

“Aku benar-benar kaget. Aku menahan diri supaya tidak menangis di depannya. Kutanya, kenapa dia baru memberitahuku setelah dia melamarku. Dan siapa perempuan di sampingnya itu? Tapi, jawabannya semakin menohok hatiku, Sis. Katanya, perempuan itu teman lama yang sempat dia sukai. Dan semenjak bertemu lagi dengan temannya itu, dia merasa perasaannya yang dulu kini kembali bersemi. Itu yang bikin dia bimbang dengan hubungan kami, Sis.”

Siska tercengang. “Trus, kamu apain dia, Ren? Kamu tampar nggak pipinya?”

“Nggaklah, Sis. Aku nggak mau. Putusnya aku sama Dino udah kayak cerita sinetron. Kalau kutampar pipinya, jadilah sinetron beneran. Malu aku.”

Siska mendengus dan memasang tampang cemberut. “Udahlah blokir aja kontak dan semua medsosnya. Aku yakin itu bisa bikin kamu move on.”

“Sis, saranmu sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu. Tapi, bukannya membuatku lupa, aku justru semakin ingat padanya. Aku merasa hancur, sampai-sampai aku nekat mencoba berbagai cara demi menyembuhkan hatiku. Aku bukan hanya memblokir semua medsosnya, aku bahkan membuang semua barang pemberiannya. Tapi itu pun nggak berhasil. Nggak ada yang berhasil. Sedikit pun hatiku nggak merasa lega, Sis. Hatiku panas. Kecewa. Marah, dan… aku pun mulai menyalahkan Tuhan. Aku bertanya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku? Dia kan tahu aku yakin Dino adalah yang terbaik untukku. Bahwa aku mencintainya amat sangat. Tapi, Sis, suatu hari aku tiba-tiba disadarkan bahwa ternyata aku melupakan satu hal.” Mata Karen yang kembali basah kini menyorotkan penyesalan.

“Tahu nggak? Tanpa kusadari, selama ini aku telah menjadikan Dino sebagai pusat hidupku. Menerima dia menjadi pacar memang keputusanku dan nggak ada yang salah dengan itu. Tapi, ketika aku semakin terlena oleh perhatiannya, aku pun semakin mencintainya, bahkan menjadikannya yang paling utama dalam hatiku. Perasaan cintaku kepada Dino perlahan tapi pasti menggeser posisi Tuhan di hatiku, Sis. Dan aku pun menomorsekiankan Tuhan. Melupakan-Nya. Dan aku menyesal.”

Tangis Karen pecah. Penyesalan yang dirasakannya begitu memilukan dan membuat hati Siska sedih.

“Melupakan Tuhan adalah pilihan terburuk dalam hidupku, Sis. Setelah aku sadar, aku pun memohon ampun sama Tuhan, membawa kehancuran dan penyesalan yang kurasakan. Dan setelahnya, aku cuma minta satu hal sama Tuhan. ‘Tuhan, tolong perbaiki hatiku.’ Udah, itu aja yang saat ini terus-terusan kuminta.“

Memperbaiki hati… itu hal tersulit yang takkan pernah sanggup dilakukan dengan kekuatan manusia. Hati adalah hal yang paling kuat sekaligus paling rapuh. Hati yang diciptakan oleh Tuhan, ditujukan untuk hal baik. Dan jika manusia menghancurkan hati itu, siapa yang bisa menyembuhkannya selain Penciptanya sendiri?

“Perlahan, dari sehari ke sehari, hatiku pun mulai dipulihkan. Namun, perbuatan Dino masih saja muncul dan mengusikku, seolah-olah menolak untuk dilupakan. Seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang belum … selesai. Lalu aku membaca sebuah kutipan yang menyadarkanku bahwa masih ada yang belum tuntas, yaitu … pengampunan.”

“Nothing in the Christian life is more important than forgiveness—our forgiveness of others and God’s forgiveness of us.”

“Kutipan itu benar-benar menohokku, Sis. Ternyata aku baru setengah jalan dalam proses pengampunanku sendiri, karena sesungguhnya pengampunan tidak selesai hanya dengan kita menerima pengampunan Allah. Kita juga perlu meneruskannya kepada sesama kita. Seperti aku yang telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi belum meneruskannya kepada Dino. Tidak heran hatiku terus bergejolak.” Karen diam sebentar dan menghela napas dalam-dalam. “Bukan itu saja. Aku akhirnya tahu, mengampuni bukanlah urusan mood, melainkan sepenuhnya adalah tentang … keputusan,” bisik Karen. Ditatapnya Siska dalam-dalam.

“Keputusan yang tidak mudah pastinya, bukan?” balas Siska.

Karen mengangguk. “Iya, tidak mudah dan pastinya tidak selesai dalam semalam. Proses pengampunanku sendiri terhadap Dino masih terus berlangsung, Sis, bahkan sampai sekarang. Kadang, kalau teringat aku masih merasa kecewa. Meski begitu, aku juga tahu, kekecewaanku tidak lagi sedalam dulu, Sis. Dan aku yakin suatu hari nanti, akhirnya perasaan kecewa itu akan hilang sepenuhnya, karena Tuhan terus bekerja dalam hatiku.”

Siska tersenyum, hatinya membuncah dan tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Karen.

“Ren, sesungguhnya aku bingung mau bilang apa… Tapi, makasih banget. Makasih kamu udah sharing ini kepadaku ya,” ucapnya tulus.

“Makasih juga karena kamu udah sabar mendengarkan ceritaku, Sis,” balas Karen seraya tersenyum.

“Dan aku akan terus berdoa agar kamu bisa segera pulih total dari patah hati itu sampai akhirnya kau dapat sepenuhnya memaafkan Dino dan melepaskan perasaan kecewamu. Aku sungguh bersyukur kamu segera berpaling kepada Tuhan yang memampukanmu untuk mengambil hikmah dari pengalaman pahit ini. Ingat ya, Ren, kamu nggak sendiri. Kalau butuh teman cerita, aku siap menemanimu.”

Karen mengangguk dengan penuh rasa haru. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Siska dengan hangat.

Cerita Karen memang menyakitkan, tetapi bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Pacar atau siapa pun sosok yang kita kasihi dan kagumi di dunia ini, bukanlah sosok sempurna. Satu-satunya sosok yang dapat kita percaya untuk menaruh harapan, hanyalah Yesus.

Ketika Si Dia Kujadikan Berhala

Apa pun yang ada dalam hidup ini dapat menjadi berhala. Berhala bukan hanya patung atau gambar sesembahan, berhala juga bukan sekedar hal-hal buruk yang menjadi candu dalam kehidupan kita, namun berhala juga dapat berasal dari hal-hal baik dalam hidup ini yang lebih kita ingini daripada Allah.

Pasangan hidup juga dapat menjadi berhala, yaitu ketika gairah cinta dan semangat kita pada Tuhan mulai tergeser, beralih kepada orang yang kita cintai.

Hendaknya kita mengimani dan melakukan dengan sungguh, firman Tuhan Yesus untuk mencari, “dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu.”

Karena ketika yang terutama dalam hati kita adalah Yesus dan Kerajaan-Nya, kita akan memahami bagaimana cara mencari dan mencintai pasangan kita dengan pantas.

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata dan merupakan project kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dan Grace Alone Ministries @gracealoneministry

Luka Karena Patah Hati Adalah Sebuah Perjalanan yang Mendewasakanku

Oleh Senja*, Medan

Setelah lahir baru aku merasa mudah untuk mengampuni orang lain. Selalu kukatakan pada diriku sendiri bahwa pengampunan yang Tuhan berikan memampukanku untuk mengampuni orang lain. Namun, sepertinya itu hanya teori yang memenuhi kepalaku saja, tidak hatiku.

Tahun 2018 bagiku adalah tahun ketika Tuhan menjawab doa dan penantianku akan teman hidup. Aku sangat berharap bisa menikah di tahun itu. Aku mempunyai pacar yang menurutku sangat ideal dan sepadan denganku. Kami aktif melayani di gereja. Kedua keluarga kami pun cukup terbuka atas hubungan kami. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, orang tuanya menyambutku dengan hangat. Begitu juga ketika dia berkunjung ke rumahku, orang tuaku menanggapinya dengan senang. Bagi seorang wanita berusia 28 tahun, usia ini sudah tepat untuk menikah.

Namun, dalam perjalanannya, rencanaku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Benar kata firman Tuhan yang berkata bahwa rancangan Tuhan seringkali berbeda dengan rencana kita (Yesaya 58:8). Aku diputuskan oleh pacarku dengan alasan supaya aku dapat mencari yang lebih baik darinya, itu saja alasannya. Bagiku yang mendambakan pernikahan di usiaku yang sudah cukup matang itu, kabar ini mengguncangkan hati dan perasaanku. Keluarga kami sudah saling kenal, kami satu pelayanan, semua orang di gereja atau lingkungan tempat tinggal kami sudah mengetahui hubungan kami. Aku pun begitu bangga padanya.

Tuhan seolah menghancurkan segala mimpi dan harapanku seketika itu juga. Butuh waktu bagiku untuk dapat pulih dan mengampuninya. Aku merasa Tuhan sedang mengujiku, apakah benar pengampunan yang kualami dalam Kristus memampukanku untuk mengampuni dia yang telah menyakitiku?

Jujur bagiku, di awal cukup sulit. Aku memutuskan untuk rehat sejenak dari aktivitas pelayanan di pemuda waktu itu supaya aku tidak bertemu dengannya. Butuh kekuatan bagiku untuk berdiri tegak menghadapi setiap pertanyaan yang datang padaku dari orang-orang di sekitarku.

Aku pernah menangis sepanjang malam mengingat semua kisah itu dan berdoa hanya agar aku bisa tidur malam itu. Aku pernah melalui masa-masa sulit sekali untuk tidur, aku selalu terkenang bagaimana perjalanan yang telah dilalui dan harapan yang sirna.

Namun, syukur kepada Allah yang adalah sumber dari segala sesuatu yang telah mengampuniku ketika aku sangat berdosa. Dia mati bagiku sehingga aku memperoleh pengampunan dari-Nya.

Matius 6:12, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”

Ayat itu terngiang dalam benakku ketika aku mengikuti retret. Dalam sesi Alone with God (AWG), kami diminta untuk benar-benar berdoa atas siapa yang belum dapat kami ampuni. Seketika itu air mataku menetes dan aku merasa seperti dikuliti, bahwa setelah beberapa waktu pun ternyata aku masih belum pulih. Aku marah pada diriku sendiri, namun pertolongan Tuhan menguatkanku untuk dapat mengampuni.

Dalam salah satu buku yang kubaca, Prayer, Timothy Keller mengutip perkataan Calvin:

“Jika kita mempertahankan rasa benci di dalam hati, jika kita merencanakan balas dendam dan memikirkan waktu yang tepat untuk menyakiti, dan bahkan jika kita tidak berusaha mengingat kebaikan para musuh kita, beserta setiap jasa baik yang dilakukannya, serta menghargai mereka atas itu, maka lewat doa ini kita meminta dengan sangat kepada Allah supaya tidak mengampuni dosa-dosa kita sendiri.”

Sekeras itulah Calvin berbicara, melalui tulisan ini dan menegurku bagaimana aku seharusnya menghargai pengampunan dari Tuhan untuk aku dapat mengampuni sesamaku. Bukankah aku pun tak layak diampuni, namun Tuhan mengampuniku. Apakah aku lebih besar dari Penciptaku? Tentu tidak. Maka jejak Allah yang lebih dahulu mengampuniku mengajarkanku mengampuni sesamaku.

Saat ini relasi kami cukup baik sebagai sahabat di dalam Tuhan dan teman sepelayanan. Aku tidak menghindari pertemuan dengannya dan hubungan kami berjalan sealami mungkin. Saat ini bagiku luka karena patah hati adalah sebuah perjalanan yang mendewasakanku dan mengajarkanku bagaimana semestinya harus mengampuni.

Mari saling mengampunilah di dalam Tuhan, sebab Tuhan lebih dahulu mengampuni kita.

Kolose 3:13, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Dalam Penyesalan Sekalipun, Anugerah-Nya Memulihkan Kita

Mungkin pengalaman menyesal yang kualami tidak seberat apa yang raja Daud alami. Namun aku belajar bahwa penyesalan pun ternyata bisa dibawa kepada Tuhan dan hanya dalam anugerah Allah saja kita bisa diselamatkan dan terbebas dari belenggu rasa bersalah.

Patah Hati Membuatku Berbalik Pada Tuhan

Oleh Fenny Lusiana, Jakarta

Saat aku duduk di kelas 3 SMA, aku mempunyai seorang sahabat lak-laki. Ia orang yang mengerti aku, selalu ada di saat aku sedih, dan selalu siap untuk mendengar keluh kesahku. Kedekatan ini membuatku menyukainya selama satu tahun.

Setelah lulus SMA, kami pun berpacaran. Aku merasa sangat bahagia bisa berpacaran dengan sahabatku sendiri. Karena terlalu senang, aku tidak berdoa sebelum membuat keputusanku. Aku tidak peduli apakah hubungan ini dikehendaki Tuhan atau tidak. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri—aku senang dan cintaku terbalaskan.

Sebelum berpacaran, aku selalu memiliki waktu untuk berdoa di pagi dan malam hari. Namun setelah berpacaran, hubungan yang kujalani membuatku jauh dari Tuhan. Pacarku menjadi berhalaku, seluruh waktuku dipakai untuk berkomunikasi dengannya. Ketika bangun di pagi hari, hal pertama yang muncul di pikiranku bukanlah ungkapan syukur untuk hari yang baru dan perlindungan Tuhan, melainkan memberi kabar kepadanya bahwa aku sudah bangun tidur. Tidak berbeda dengan sebelum tidur, aku memilih untuk mengucapkan “good night” kepadanya melalui pesan singkat daripada berdoa. Lebih dari itu, aku bahkan mencuri-curi waktu untuk berkabar pada pacarku di tengah-tengah sesi khotbah di ibadah Minggu, agar ia tidak menunggu pesan dariku.

Hidupku adalah tentang pacarku. Aku lebih suka membangun komunikasi dengan dia dibandingkan berkomunikasi dengan Tuhan. Saat itu, aku belum memiliki relasi yang cukup dekat dengan Tuhan dan belum mengenal pentingnya bersaat teduh setiap hari. Menjalin relasi dengan Tuhan kuanggap cukup dengan melakukan kewajiban beribadah di gereja, pelayanan setiap hari Minggu, dan berdoa tiap pagi dan malam.

Pada tanggal 6 Agustus 2016—Beberapa hari sebelum, hari pertama masuk kuliah—aku putus dengan pacarku. Hubungan ini nyatanya tidak bertahan lama dan putus begitu saja karena faktor eksternal. Alasannya karena, orang tua nya tidak setuju dengan hubungan ini, dan memaksa kami untuk mengakhiri hubungan ini. Seminggu pertama setelah putus kuhabiskan dengan menangis setiap malam. Aku merasa hancur dan sangat kehilangan, duniaku seakan berakhir. Setiap pagi, mataku selalu bengkak karena menangis terlalu lama.

Kejadian yang menyakitkan ini sempat membuatku memutuskan untuk tidak berpacaran lagi, untuk menghindari perasaan sakit hati. Aku mengalami ketakutan jika suatu hari hal yang sama akan terjadi lagi padaku.

Namun, aku tersadar bahwa Tuhan menangkapku kembali melalui momen patah hati yang kualami. Tuhan mempertemukanku dengan kakak-kakak rohani di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampusku. Melalui PMK, kerohanianku mulai bertumbuh. Aku menyadari betapa pentingnya memiliki waktu teduh setiap harinya untuk semakin mengenal Tuhan.

Sekarangku memutuskan untuk tetap single selagi aku kuliah. Bukan karena aku takut sakit hati, tapi karena aku ingin memaksimalkan waktuku untuk studi. Hingga saat ini, aku sudah berstatus single selama tiga tahun. Status single membuatku memiliki lebih banyak waktu untuk mengenal Tuhan, terlibat aktif dalam pelayanan di gereja dan juga kegiatan-kegiatan kampus. Tuhan juga memberiku kepercayaan untuk memimpin sebuah kelompok kecil di kampus. Aku merasakan indahnya membangun relasi dengan Tuhan dan mengalami apa yang disebut dengan pertumbuhan rohani.

Tuhan begitu mengasihiku. Ia tetap setia meskipun aku tidak setia dan tidak taat. Ia memanggilku kembali sebelum aku terlalu jauh, dan Ia mengizinkanku mengalami patah hati untuk menyadarkanku bahwa hanya Ia satu-satunya Pribadi yang tidak akan pernah mengecewakanku. Ia tidak akan membiarkanku sendiri dan tidak akan pernah meninggalkanku.

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati” Ulangan 31: 8.

Pembelajaran yang aku ambil

Aku belajar untuk lebih melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang hendak kuambil, apalagi sebelum memulai hubungan dengan lawan jenis. Dulu, aku hanya mengutamakan perasaan senang semata dan tidak memedulikan kehendak Tuhan. Sekarang, aku selalu berusaha untuk bertanya pada Tuhan, “Apakah dia orang yang Tuhan kehendaki?”

Dalam masa penantian ini, aku selalu berdoa agar Tuhan mempertemukanku dengan orang yang dapat membawaku untuk semakin bertumbuh di dalam Tuhan. Kelak melalui hubungan yang dijalani, aku rindu agar aku dan pasanganku nanti dapat dipakai Tuhan untuk saling menguatkan di dalam iman. Aku yakin dan percaya Tuhan sudah mempersiapkan pasangan yang terbaik untukku, sebab di dalam-Nya selalu ada pengharapan yang tidak pernah mengecewakan. Haleluya.

Baca Juga:

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Sikap Cengeng

Mengikut Yesus sembari mendapatkan penolakan dari orang-orang di sekitarku rasanya adalah penderitaan yang berat buatku. Tapi, aku punya pilihan, apakah aku mau menghadapinya dengan sikap cengeng, atau tegar?

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.

Ketika aku akan makan, aku berdoa, “Tuhan, aku mau makan berkati makanan ini, amin.”

Ketika aku akan bepergian dan jika orang tuaku mengingatkan, maka aku akan berdoa dengan cepat, “Tuhan, aku mau pergi. Lindungi aku. Terima kasih. Amin.”

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada template-nya. Aku tidak perlu pusing merangkai kata dan secara otomatis kalimat singkat itu keluar dari mulutku. Aku hanya berpikir, “yang penting aku sudah laporan ke Tuhan dan orang tuaku tidak marah karena aku lupa berdoa”. Tapi, tanpa kusadari, cara doaku yang seperti itu lama-lama membuatku menganggap remeh doa itu sendiri. Bagiku, tanpa berdoa pun sebenarnya Tuhan sudah tahu dan Dia tidak akan marah padaku, sehingga inilah yang membuatku akhirnya acuh tak acuh dengan kehidupan doaku.

Hingga akhirnya, saat aku berumur 23 tahun aku dikecewakan oleh seseorang yang sangat berarti bagiku. Kejadian itu membuatku marah dan berujung menjadi dendam. Sulit rasanya untuk mengampuni saat itu. Selama satu tahun, aku tidak hidup dalam damai sejahtera. Aku tidak bisa tidur, menangis setiap hari, dan mencari pelarian lain sampai akhirnya aku merasa tidak berdaya.

Di tengah ketidakberdayaanku, rasanya aku ingin berdoa dan datang kepada Tuhan. Tapi, entah kenapa meski dulu aku bisa dengan mudah mengucap doa karena seperti ada template-nya, sekarang aku tidak bisa berdoa. Aku tidak tahu caranya berdoa. Bahkan untuk mengucapkan kata-katanya pun aku tidak mengerti. Rasanya asing untuk datang pada Tuhan Yesus.

Namun, kisahku tidak berhenti di situ. Tanpa aku sadari, Tuhan adalah Bapa yang baik, Bapa yang selalu menanti anak-Nya untuk kembali. Ketika aku merasa tidak mampu menghampiri-Nya, Tuhanlah yang terlebih dulu menghampiriku.

Tuhan memakai seorang sahabatku untuk mengingatkanku. Sahabatku berkata, “Yang kamu perlukan untuk berdoa hanyalah hatimu dan lututmu. Bahkan Tuhan menerima air matamu di hadapan-Nya.” Saat itu aku pun mencoba datang pada Tuhan.

Aku menangis sendirian di dalam kamar, menangis sampai rasanya aku tidak sanggup menahannya sendiri. Aku berlutut sambil melipat tanganku. Tidak ada yang aku tutupi di hadapan Tuhan. Selama beberapa saat aku tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Sampai akhirnya, ketika aku mulai berbicara, kalimat awal yang kuucapkan adalah, “Tuhan, aku mau mengampuni. Berikan aku hati untuk mengampuni, karena itu sulit dan menyakitkan.”

Saat itu, mengampuni dia yang telah menyakitiku adalah hal yang sulit untuk kulakukan. Namun, aku percaya jika aku mengizinkan Tuhan hadir dalam hidupku, maka aku dapat melakukannya. Kalimat doa itu aku ucapkan berkali-kali. Namun aku tidak merasa itu seperti sebuah template, aku merasa seperti sedang bercerita kepada Bapa, sampai aku lelah menangis dan akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Keadaan memang tidak berubah, tetapi ada damai sejahtera di dalam hatiku. Kesedihan yang semula memang masih ada, namun saat itu aku merasakan bahwa doa membuat hatiku tenang.

Doa yang sama kuucapkan, namun aku mengucapkannya dari hatiku. Aku rindu agar aku bisa mengampuni. Sampai akhirnya, saat aku berada di gereja, Tuhan berbicara padaku melalui firman-Nya dalam Yesaya 44:22 yang berkata, “Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!”

Aku percaya, kekuatan doa mampu mengubahkan segalanya. Bahkan ketika mengampuni kuanggap sebagai hal yang mustahil, nyatanya Tuhan memampukanku untuk melakukannya. Tak hanya itu, Tuhan pun menaruh kasih-Nya padaku agar aku pun dapat mengasihi orang lain.

Sahabatku, yang terpenting saat kita berdoa bukanlah kata-kata yang bagus, tetapi sikap hati yang benar dan murni untuk menghadap kepada-Nya. Jadilah diri sendiri di hadapan-Nya, tak usah ada satu pun hal yang ditutupi. Tuhan adalah Bapa dan sahabat bagi kita. Berbicaralah kepada-Nya selayaknya seorang anak kepada ayahnya, seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu ada dekat dengan kita.

Baca Juga:

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Mengasihi musuh adalah perintah Yesus buat kita. Namun, kuakui melakukannya tak semudah mempraktikkannya. Meski begitu, melalui Injil Lukas, aku diingatkan bahwa itu bukan hal yang mustahil. Aku bisa mengikuti teladan Yesus tersebut.

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Oleh Hilary Charlet, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways To Navigate A Painful Break-up

Patah hati. Air mata. Hubungan yang tak pernah kamu pikirkan untuk berakhir pun kandas.

Apakah kamu masih ingat momen itu? Saat-saat di mana hatimu seolah pecah berkeping-keping? Tempat di mana hubunganmu itu berakhir? Jamnya? Cuacanya?

Rasanya lucu apabila kita masih bisa mengingat dengan amat jelas peristiwa itu.

Sebelum hubunganku kandas, aku sedang duduk di dalam mobil menanti ibuku yang sedang membeli kopi. Cuaca di luar sedang berawan, momen yang sempurna untuk menikmati kopi di tempat favoritku. Saat aku tengah menunggu, pacarku bertanya apakah dia bisa meneleponku. Aku baru saja berdiam di rumah selama lima jam setelah meluangkan akhir pekanku bersamanya. Aku tidak berpikir ada masalah apapun. Sampai akhirnya suara di ujung telepon berkata, “Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini,” katanya.

Tunggu. Apa?

Sepuluh menit lalu aku dalam keadaan yang baik-baik saja saat aku berbicara dengan ibuku. Namun ketika ibuku akhirnya datang, pikiranku kacau balau. Sikapku yang mendadak berubah membuatnya heran. Waw, seperti kejutan! Aku baru saja putus dari suatu hubungan yang kupikir tidak akan berakhir.

Putus dan patah hati bisa jadi hal sulit. Itu bisa mengacaukan. Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Aku tahu. Aku pernah mengalami itu. Hatimu pun terasa kosong.

Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, aku mendapatkan penghiburan dari Yeremia 31:4. Tuhan memberi tahu bangsa Israel, “Aku akan membangun engkau kembali, sehingga engkau dibangun, hai anak dara Israel!” Tuhan berjanji untuk membangun kembali Israel, memberinya petunjuk, harapan, damai, dan kasih. Aku percaya Tuhan pun akan memulihkanku. Meskipun aku merasa hancur dan kosong, Tuhan mampu mengisi kehampaan dalam ruang hatiku. Meskipun kepingan-kepingan hatiku berserakan di atas lantai, Tuhan dapat menyusunnya kembali menjadi sesuatu yang luar biasa. Aku tahu hal itu karena aku sudah pernah mengalaminya.

Namun, untuk menjadi pulih diperlukan waktu. Pemulihan tidak terjadi dalam semalam. Bagaimana caramu mengumpulkan kekuatan untuk menerima kenyataan dan melangkah maju setelahnya? Inilah empat hal yang menolongku:

1. Ketahuilah dirimu berharga

Kita diciptakan secara dahsyat dan ajaib. Tuhan menciptakan kita seturut gambaran-Nya, untuk suatu tujuan yang baik (Efesus 2:10). Meskipun orang-orang di sekitar kita mungkin tidak menghargai kita, kita tahu bahwa kita telah dibeli oleh darah Kristus. Adakah penghiburan lain yang lebih besar daripada mengetahui bahwa kita amat dicintai oleh Tuhan?

2. Nikmatilah sejenak kesendirianmu

Kamu tidak selalu harus meminta seseorang pergi menemanimu agar kamu bahagia. Luangkanlah waktu bersama dirimu sendiri, untuk lebih mengenal dirimu. Pergi jalan-jalan, minum kopi, membaca, menulis jurnal. Temukan apa yang menyemangatimu dan lakukanlah lebih dari tu.

Ada hal baik yang bisa kamu petik di masa-masa ketika kamu tidak terikat kepada seorang pun. Kamu memiliki waktu istimewa untuk bertumbuh sebagai seorang individu, dan yang paling penting adalah kamu juga bertumbuh dalam relasimu bersama Kristus. Mungkin akan ada waktu ketika kamu merasa kesepian dan rindu akan hubunganmu yang semula. Tapi ingatlah, Tuhan selalu ada, dan Dia dapat mengisi ruang hampa di hatimu dengan kasih yang jauh lebih besar dari kasih mana pun di dunia ini.

3. Lingkupilah dirimu dengan orang-orang yang benar

Ada pepatah yang berkata bahwa dengan siapa kita bergaul itulah yang menentukan diri kita. Apakah kamu bergaul dengan orang yang akan menanyakanmu pertanyaan yang benar, menyemangatimu dalam perjalananmu, dan mendukungmu saat kamu berjalan di jalan ini? Teman yang baik perlu tahu bagaimana bersenang-bersenang bersama (jalan-jalan, main game, dsb). Tapi, mereka pun perlu tahu bagaimana untuk saling mendukung satu sama lain agar bertumbuh. Pastikan kamu memperhatikan pergaulanmu dan bagaimana itu mempengaruhi hidupmu.

4. Ampuni dan carilah pengampunan

Apabila seseorang menyakitimu, membohongimu, ataupun mencurangimu, janganlah terlalu ambil pusing. Kamu diciptakan dahsyat dan ajaib. Tuhan punya sesuatu yang indah buatmu, tapi kamu tidak bisa melihat itu kalau kamu berfokus pada hal-hal buruk melulu. Jika kamu telah disakiti, mintalah kekuatan kepada Tuhan agar kamu bisa mengampuni dan move on.

Di sisi sebaliknya, bagaimana jika aku yang salah? Bagaimana jika aku berbohong, aku menyakiti orang lain yang sangat peduli kepadaku? Berdoalah dan memohon pengampunan dari Tuhan. Jika memungkinkan, meminta maaflah kepada orang yang telah kamu sakiti.

Patah hati itu sakit. Dan pemulihan membutuhkan waktu. Aku bahkan tidak akan mengatakan kepadamu berapa lama aku berproses sampai akhirnya aku dapat move-on karena kupikir prosesku itu terlalu lama. Namun, di balik proses pemulihan yang panjang itu, kita tahu bahwa Tuhan senantiasa membaharui kita hari demi hari (2 Korintus 4:16). Tuhan ada di sini. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan mengisi ruang di hati kita yang hanya mampu diisi oleh kasih-Nya yang tak bersyarat dan tak pernah berakhir.

Kasih Tuhan bagi kita itu jauh lebih baik daripada yang bisa kita bayangkan. Dia berjalan bersama kita seiring kita berproses untuk pulih. Kasih-Nya memenuhi kita, entah kita hidup sendiri atau menikah. Bersandar pada kasih, damai, dan jaminan-Nya itu jauh lebih indah daripada segala imajinasi yang digambarkan dalam film-film.

Pasca patah hati, aku juga bergumul dengan rasa sakit, kekhawatiran, dan ketidakpercayan. Namun, Tuhan juga mengajariku untuk bersandar dan bergantung kepada-Nya secara penuh. Tuhan berjanji bahwa Dia itu baik dan Dia bekerja di balik segala sesuatu untuk kebaikanku, terlepas dari bagaimana kacaunya keadaan yang kualami dulu (Roma 8:28).

Jika kamu pernah mengalami atau mungkin sedang patah hati, aku berdoa kiranya penghiburan dan pemulihan Tuhan hadir dalam hidupmu. Aku tahu hari-harimu menjadi sulit, tapi Tuhan ada bersamamu. Aku berdoa, sama seperti, kiranya peristiwa ini dapat mengajarimu untuk mengalami betapa kita dicinta oleh Tuhan, yang mati lalu bangkit agar kita dapat hidup. Dan, itulah kasih yang tak dapat tergantikan.

Baca Juga:

Ketika Orang Tuaku Tidak Menyetujui Hubungan Kami

Satu tahun lalu, aku dan pacarku memutuskan untuk menjalin relasi pacaran. Namun, perjalanan hubungan kami di masa-masa awal tidaklah mudah. Kedua orang tuaku menolak pacarku karena dia berasal dari suku yang berbeda dengan keluargaku.

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Oleh Lidia, Jakarta

Di bulan Maret 2010, aku pertama kali berpacaran dengan seorang pria. Dia adalah teman sekelasku di bangku kuliah. Dia tumbuh baik di keluarga Kristen dan kupikir karena kami adalah pasangan yang seiman, maka kami pasti mampu menghadapi badai apapun di depan kami. Jadi, saat itu aku pun berpikir kalau pacarku itu kelak akan menjadi calon suamiku. Namun, pada tahun 2010, aku dinyatakan memiliki tumor di kedua payudaraku. Waktu itu usiaku masih 20 tahun dan kenyataan ini membuatku sangat sedih. Aku bertanya-tanya mengapa aku harus mengalami penyakit ini di saat aku bahkan belum lulus kuliah.

Aku menceritakan pergumulan ini dengan terbuka kepada pacarku. Dia mengatakan kalau dia menerima kondisiku. Namun, beberapa hari sebelum aku menjalani operasi pengangkatan tumor, pacarku meneleponku. Dia berkata kalau dia menceritakan keadaanku kepada ibunya, tapi ibunya merespons dengan meminta dia untuk segera memutuskan hubungan denganku. Ibunya khawatir apabila di kemudian hari jika aku menikah dengannya, aku terkena kanker dan akan menghabiskan uang putranya.

Mendengar hal itu, aku menangis dengan perasaan sangat sedih. Dalam hatiku juga timbul amarah karena aku tidak habis pikir mengapa ibunya dapat berpikir setega itu. Aku tidak berdebat dengan pacarku setelahnya. Tapi, pikiranku jadi sangat kacau, padahal seharusnya aku menyiapkan diriku untuk menjalani operasi. Aku menyimpan hal ini rapat-rapat. Aku tidak menceritakannya kepada siapapun, termasuk kedua orang tuaku.

Singkat cerita, Tuhan sangat baik, operasiku berjalan lancar. Tapi, pasca operasi saat aku sadarkan diri, aku menangis sangat keras. Aku masih teringat jelas kata-kata dari ibu pacarku itu. Pacarku masih menjengukku, namun di hari kedua setelah aku dioperasi, dia meneleponku dan berkata kalau dia tidak dapat lagi mengunjungiku di rumah sakit. Ibunya melarang dia untuk menemuiku.

Melanjutkan hubungan tanpa kepastian

Meski sudah dilarang oleh ibunya, kami masih sering bertemu. Aku tahu kalau hubungan ini bukanlah hubungan yang sehat. Tapi saat itu aku masih belum paham apa itu hubungan yang sehat. Selama tiga tahun kami berpacaran secara sembunyi-sembunyi.

Aku sadar bahwa hubungan kami ini tidak ada kepastian, tapi aku terjebak dalam dilema. Di satu sisi aku merasakan kepahitan, sakit hati akibat kata-kata dari ibu pacarku. Di sisi lainnya, aku takut kehilangan pacarku. Aku berpikir kalau aku putus dengannya, tidak mungkin ada orang lain yang mau menerima keadaan fisikku yang sudah dioperasi kedua payudaranya. Aku pun merasa tidak ingin bercerita kepada orang lain (saat teman-teman meledekku selalu makan makanan sehat) kalau aku pernah operasi tumor payudara. Aku merasa takut kalau orang lain pun mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti yang ibu pacarku ucapkan.

Pacarku pun diliputi perasaan bimbang. Dia bingung apakah harus memutuskan relasi ini atau tidak. Dia mengatakan bahwa apa yang ibunya katakan tidak sepenuhnya benar dan dia ingin melanjutkan relasi denganku. Tapi, di sisi lainnya, sebagai anak dia tidak dapat melawan orang tuanya. Akhirnya, aku pun menceritakan pergumulan ini kepada kedua orang tuaku. Mereka mengatakan apa yang dikatakan oleh ibu pacarku itu wajar, karena sebagai orang tua mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Lalu kedua orang tuaku pun menyarankanku lebih baik untuk putus.

Relasiku dengan Tuhan pun terasa semakin hambar. Hatiku jauh dari Tuhan dan aku merasa tidak ada lagi damai sejahtera. Meski aku masih berdoa, tapi aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan dalam hidupku. Ada dorongan dalam hatiku untuk berani mengambil keputusan, tetapi aku masih bersikukuh untuk bertahan dalam hubungan yang tidak jelas ini, sekalipun hubungan kami saat itu sudah dipenuhi dengan pertengkaran.

Berakhir dengan patah hati namun Tuhan memulihkanku

Sampai suatu ketika, pacarku memberitahuku kalau dia sudah memiliki teman perempuan lain, dan saat itu mereka sedang pergi berdua saja ke luar kota. Sejak dia mengatakan itu, maka hubungan kami pun berakhir. Aku menangis dan merasa terpuruk. Aku merasa tidak berharga dan kehilangan akal sehatku. Namun, aku teringat untuk menghubungi beberapa teman seimanku dan itulah kali pertama aku menceritakan masalahku kepada mereka. Dengan jujur aku bercerita kalau aku merasa sakit hati oleh perkataan ibu mantan pacarku, juga alasan mengapa aku tetap bertahan dalam hubungan yang tidak jelas karena aku khawatir apabila tidak ada orang lain yang mau menerimaku apa adanya. Malam itu, aku menangis di hadapan Tuhan dan aku benar-benar meminta pertolongan dari-Nya.

Kemudian aku teringat kembali akan sebuah ayat dari Mazmur 34:19, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Aku merasa Tuhan berbicara kepadaku melalui ayat ini. Kemudian, dalam hatiku aku mendengar Dia berkata, “Anak-Ku, tidak percayakah kamu dengan-Ku? Aku, Tuhan, Mahakuasa, berkuasa atas kehidupan ini.”

Sejujurnya, bisikan Tuhan dalam hatiku itu sudah sering kudengar dulu, tapi itu tidak membuatku merasa sukacita dan damai. Aku masih takut kehilangan pacarku dan sebagainya. Tapi, detik itu juga, ketika aku benar-benar berserah memohon pertolongan Tuhan, aku sadar bahwa di dunia ini semua orang bisa meninggalkan kita. Hanya ada satu Pribadi yang bisa kita percaya dan andalkan, Dialah Tuhan Yesus.

Selama seminggu setelahnya, aku bergumul untuk melanjutkan hidupku. Aku merasa broken bukan hanya karena putus, tetapi karena aku merasa diriku tidak berharga dan mungkin pria-pria lain akan takut dengan wanita sepertiku. Kata-kata dari ibu mantan pacarku masih bergema dalam diriku. Rasa sedih masih sering muncul dan saat aku sedang sendirian di kantor, aku pun menangis. Namun Tuhan kembali menguatkanku. Dia mengajakku untuk melepaskan kesedihanku, memaafkan mereka yang telah menyakitiku, dan percaya sepenuhnya kepada-Nya. Hari itu juga aku berkomitmen untuk move-on dan puji Tuhan, dalam hari-hariku setelahnya, Tuhan mengaruniakanku kedamaian dan sukacita. Hingga akhirnya, saat ini aku tidak lagi merasa kecewa ataupun terpuruk atas segala pengalaman yang telah kulalui tersebut.

Mengampuni memang bukan perkara yang mudah. Tapi ketika Tuhan berbicara kepadaku, aku sadar bahwa aku juga manusia yang pernah mengecewakan hati Tuhan. Tapi, Tuhan mau mati untukku di kayu salib untuk mengampuni dosa-dosaku. Lalu, siapakah aku yang tidak mau mengampuni orang lain?

Aku merasakan dan mengecap bahwa Tuhan itu teramat baik dalam kehidupanku. Bukan karena jalan hidupku selalu lancar, tetapi Tuhan selalu menolongku tepat pada waktu-Nya. Tuhan menolongku bukan hanya saat ketika aku bergumul dengan mantan pacarku, tetapi juga dalam studi S-2ku dan juga pekerjaan yang kutekuni sekarang.

Hal lainnya yang kupelajari adalah meskipun aku sempat menjauh dari Tuhan, tapi sesungguhnya Tuhan tidak pernah menjauh dariku (Ibrani 13:5). Tuhan tetap menerimaku ketika aku datang kepada-Nya. Di dalam doa, aku bisa menumpahkan semua yang kurasakan dan meminta ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosaku. Hanya dengan datang kembali pada Tuhanlah maka aku bisa kembali merasakan keintiman dengan-Nya.

Hanya Tuhan sajalah yang mampu memberikan sukacita yang sejati, bukan kesenangan semata yang ada hari ini dan besok hilang karena masalah lain; bukan pula euforia sementara yang ada di dalam hidup kita. Kawan, apapun pergumulanmu, datanglah pada Tuhan Yesus dan mulailah berdoa kepada-Nya sekarang. Percayakanlah masa depan dan harapanmu pada Tuhan Yesus. Andaikan semuanya tidak berjalan sesuai keinginan hatimu, jangan pernah berhenti berharap pada Tuhan Yesus, sebab Tuhan pasti memiliki rancangan yang indah untuk kita. Dan ketika kita bersama-Nya, kita tidak akan kekurangan.

Baca Juga:

Media Sosial Bukanlah Tempat Curhat Terbaik

Dulu, media sosial adalah tempat pertamaku untuk menceritakan segala keluh kesahku. Aku bisa curhat ataupun menyindir seseorang di sana. Tapi, melalui sebuah teguran, akhirnya aku sadar bahwa media sosial, meski aku bisa curhat di sana, itu bukanlah tempat curhat yang terbaik.

Saat Tuhan Berkata Wanita Itu Bukan Untukku

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

Di dalam kehidupan ini, tidak semua hal bisa terjadi sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Demikian juga dengan halnya pasangan hidup. Apa yang kita anggap terbaik bagi kita, belum tentu memang yang terbaik dari Tuhan. Inilah sekelumit kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.

Sewaktu kuliah dulu, aku tertarik dengan seorang perempuan bernama Rosa*. Kami bertemu pertama kali di sebuah persekutuan perdana yang diselenggarakan untuk mahasiswa baru. Di pertemuan itu, setelah kami berkenalan, aku merasa ada sesuatu yang membuat Rosa begitu spesial. Dia adalah tipe wanita yang sangat pas dengan kriteriaku! Rambutnya panjang, kepribadiannya melankolis, nada bicaranya tenang, dan selalu mampu berpikiran optimis. Sejak saat itu, aku pun berusaha mendekatinya.

Memasuki semester kedua kuliah, karena sering bertemu dan sama-sama melayani di persekutuan, kami pun jadi bersahabat. Di saat libur aku sering berkunjung ke rumahnya hingga aku pun mengenal keluarganya dengan erat. Seiring waktu, bermula dari persahabatan itu, rasa tertarikku kepadanya pun mulai tumbuh menjadi rasa cinta, dan aku ingin sekali mengakui perasaanku padanya. Tapi, aku menundanya dan menyimpan rasa ini dalam-dalam karena Rosa pernah bersaksi di persekutuan bahwa dia berkomitmen tidak ingin berpacaran selama kuliah.

Di tahun 2016 lalu, kuliahku sudah menginjak semester 8 dan dalam hitungan bulan aku akan segera lulus. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan. Aku takut apabila sudah lulus nanti, aku akan bekerja ke luar kota sehingga tidak akan bertemu dengan Rosa lagi. Jadi, dengan gemetar dan penuh persiapan (sebelumnya aku belum pernah berpacaran), aku pun memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku pada Rosa. Dalam hati aku merasa takut apabila keputusan ini akan mempengaruhi hubungan persahabatan kami. Tapi, aku tetap memutuskan untuk melakukan ini dengan asumsi lebih baik berkata jujur sebelum kesempatan untuk bertemu tatap muka hilang.

Setelah mendengarkan curahan perasaanku, Rosa tidak marah, malah dia merasa terharu. Tapi, dia mengatakan bahwa dia belum siap untuk membina relasi pacaran. Jadi, dia memintaku untuk menunggu hingga tiba waktunya dia siap membuka hatinya.

Di bulan November 2016, aku pun lulus dan diwisuda. Satu minggu setelah wisuda itu, aku pindah ke Jakarta untuk bekerja dan meninggalkan Rosa yang masih berkutat dengan skripsi di kota Jogja. Walaupun telah terpisah secara jarak, tapi aku selalu menyebut nama Rosa di dalam doaku. Sesekali, aku selalu menyempatkan diri untuk bertukar pesan ataupun meneleponnya. Dan, dia pun meresponsku dengan baik selayaknya sahabat.

Setelah tiga bulan bekerja, aku merasa bahwa aku harus membuat Rosa yakin bahwa aku adalah pasangan yang tepat untuknya. Jadi, setiap akhir bulan aku selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Rosa di kampung halamannya di Jawa Tengah. Jumat malam aku berangkat menaiki kereta api kelas ekonomi, dan kembali ke Jakarta di Minggu malam. Seharusnya aku merasa lelah karena satu kali perjalanan ke rumahnya itu membutuhkan waktu sekitar 10 jam, bahkan lebih. Belum lagi ongkos yang harus kukeluarkan. Tapi, atas nama cinta, semua perjuangan ini tak terasa berat untukku.

Hingga akhirnya, di bulan Agustus 2017, aku memberanikan diri kembali untuk bertanya pada Rosa perihal ungkapan perasaan yang pernah kuungkapkan 18 bulan sebelumnya. Aku bertanya apakah di masa depan nanti Rosa mau membuka hatinya untukku atau tidak. Jika tidak, dengan senang hati aku akan mundur dari mengejarnya. Jika ya, maka aku mengajaknya untuk mulai sama-sama mendoakan perihal ini dan lebih intens membangun komunikasi. Secara mengejutkan, Rosa menjawab “ya”. Aku merasa begitu senang, dan kupikir ini adalah hal yang terbaik dari Tuhan.

Tapi, kebahagiaan yang kualami itu tidak berlangsung lama. Apa yang terucap di mulut Rosa rupanya bukan sesuatu yang berasal dari hatinya. Dua hari setelah pertemuan itu, Rosa ‘menghilang’. Dia berusaha menghindariku. Ketika aku meneleponnya, dia tidak menjawab. Atau, ketika aku mengiriminya pesan singkat, dia pun hanya membacanya tanpa membalas. Aku berusaha berpikir positif, tetapi sangat sulit. Aku sedih, juga galau. Pekerjaanku jadi kacau karena terus menerus memikirkannya. Belakangan, melalui orang terdekatnya aku tahu bahwa walaupun Rosa mengagumi perjuangan dan kebaikanku, dia tidak tertarik kepadaku. Dan, karena dia tidak ingin menyakiti hatiku yang telah bersusah payah mengujunginya di kampung halamannya, saat itu dia pun berkata “ya”.

Di tengah kondisi seperti ini, sangat sulit untukku berpikir positif. Aku merasa cintaku bertepuk sebelah tangan dan ingin sekali aku merasa marah terhadap Rosa yang seolah mempermainkan perasaanku. Tapi, aku berusaha untuk tidak menghakimi Rosa, karena mungkin saja ada pergumulan pribadinya yang tidak kuketahui. Selama beberapa bulan, aku terjebak dalam kondisi perih hati dan keheranan. Mengapa orang yang sudah kuperjuangkan selama bertahun-tahun ini malah mengecewakanku dan menghilang tiba-tiba? Aku merasa tidak terima pada Tuhan dan menganggap bahwa Tuhan yang salah.

Namun, di tengah rasa frustrasi itu, aku menemukan sebuah artikel yang isinya sangat menyentakku. Melalui artikel itu, aku jadi bertanya kepada diriku sendiri: mengapa aku ingin berpacaran? Dan mengapa aku begitu yakin bahwa si dia adalah orang yang terbaik untukku?

Aku mengambil waktu pribadi sejenak dan merenung. Menjawab pertanyaan pertama, aku mendapati bahwa selama ini motivasiku untuk berpacaran masih sangat bersifat egois. Harus kuakui bahwa seringkali aku merasa kesepian. Di saat teman-teman sebayaku sudah memiliki gandengan tangannya dan aku masih single, aku merasa minder. Belum lagi ejekan “jomblo akut” yang sering disematkan kepadaku oleh teman-temanku membuatku makin merasa bahwa hidupku itu kurang lengkap tanpa kehadiran seorang pacar. Berangkat dari pemikiran inilah akhirnya aku mulai menyelipkan modus di tengah persahabatanku dengan Rosa. Alih-alih bersahabat dengan tulus, aku malah mengharapkan ada timbal balik dari setiap pemberian dan usaha yang kulakukan untuk Rosa supaya kelak dia mau menerimaku sebagai pacarnya.

Dan, tanpa kusadari, dalam doa-doaku kepada Tuhan, aku jadi tidak lagi meminta-Nya untuk menguji dan membentuk hatiku. Malah, aku mengatur Tuhan dengan meminta-Nya supaya Rosa membuka hatinya untukku, supaya setiap usahaku mampu membukakan pintu hatinya. Secara tidak sadar, aku menciptakan sugesti dalam diriku bahwa Rosa adalah yang terbaik untukku. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya yang paling tahu tentang kebutuhanku, termasuk soal pasangan hidup, adalah sang Penciptaku sendiri, yaitu Tuhan.

Sampai di titik ini, aku sadar bahwa kebenaran yang harus aku pegang sebagai seorang pemuda Kristen adalah sebuah iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan itu selalu cukup buatku. Artinya, dengan ataupun tanpa pasangan, itu tidak mengurangi harga diriku di hadapan Allah. Firman-Nya berkata bahwa Allah mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yeremia 31:3). Jadi, walaupun teman-teman sering mengejekku “jomblo akut”, aku tetap berharga di mata-Nya dan dikasihi-Nya. Kasih Allah kepadaku tidak ditentukan dari apakah aku memiliki pasangan atau tidak. Yang perlu kulakukan saat ini adalah mengucap syukur dan memaksimalkan masa single yang sekarang ini kualami.

Kebenaran ini pada akhirnya memampukanku untuk memiliki paradigma baru tentang pasangan hidup. Bahwa apa yang menurutku terbaik buatku, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan dan tidak semua hal di dunia ini dapat terjadi seturut dengan keinginanku. Tuhan memiliki cara kerja-Nya sendiri yang tentu jauh di luar jangkauan pemikiran manusia, namun sudah pasti yang terbaik untukku.

Saat ini, aku tidak lagi malu menjalani kehidupanku sebagai seorang pemuda single. Malah, aku bersyukur bahwa masa single yang kualami ini bisa menjadi kesempatan untuk berkarya lebih. Aku memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan talenta dan pekerjaan yang saat ini dipercayakan kepadaku. Aku memiliki kesempatan untuk bergaul dengan lebih banyak orang melalui komunitas-komunitas yang aku ikuti. Semua ini adalah kesempatan berharga yang diberikan-Nya untuk melayani-Nya.

Masa single adalah masa yang indah, karena di masa inilah Tuhan sedang membentuk diriku untuk setia dan mengucap syukur dengan apa yang Dia berikan kepadaku. Ketika aku setia, kelak saat memiliki pasangan, tentu aku akan melihat dengan jelas bahwa belajar mengasihi Tuhan dan sesamaku semasa single akan menolongku untuk mengasihi pasanganku kelak setelah aku menikah.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan” (Amsal 3:5-7)

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ketika Pacarku Menjeratku ke dalam Dosa Percabulan

Aku adalah mahasiswi berusia 21 tahun. Kisah ini bermula 3 tahun lalu saat aku berkenalan dengan seorang pria di semester kedua kuliahku yang ternyata menjeratku ke dalam dosa percabulan.

5 Ayat Alkitab yang Menguatkanmu Saat Kamu Merasa “Patah Hati”

Kehidupan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kita menghadapi tantangan dan badai hidup yang dapat menggoyahkan iman kita. Tetapi semua itu dapat menjadi sebuah jalan agar kita makin berakar dan bertumbuh di dalam Tuhan. Saat melewati hari-hari yang sulit itu, membaca firman Tuhan dapat menguatkan kita untuk terus berjuang di dalam Dia. Mari terus berharap pada kekuatan dan penghiburan dari-Nya.

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-01

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-02

“Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka.” (Mazmur 147:3)

Minggu terakhir di semester terakhir sekolah jurnalisme adalah minggu yang sangat menyakitkan. Pacarku memutuskan hubungan dengan cara yang sangat tidak enak. Mengapa ia tega melakukannya? Apa salahku?
Baca kesaksian selengkapnya di sini

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-03

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau ; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ulangan 31:8)

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku itu, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, setelah tahun-tahun berlalu, aku terus menerus mengajukan proposal itu tanpa memohon persetujuan-Nya. Akhirnya tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai dengan rencanaku. Aku pun menjadi kecewa ketika ternyata Tuhan tidak mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.
Baca selengkapnya di sini

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-04

“TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mazmur 34:19)

Pada tahun 2010, aku dinyatakan memiliki tumor di kedua payudaraku. Waktu itu usiaku masih 20 tahun dan kenyataan ini membuatku sangat sedih.
Aku menceritakan pergumulan ini dengan terbuka kepada pacarku. Dia mengatakan kalau dia menerima kondisiku. Namun, beberapa hari sebelum aku menjalani operasi pengangkatan tumor, pacarku meneleponku. Ibunya meminta dia untuk segera memutuskan hubungan denganku.
Apa yang terjadi selanjutnya pada Lidia? Baca selengkapnya di sini

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-05

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11)

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah. Baca selengkapnya di sini

1-5 Ayat Alkitab-patah-hati-06

“Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” (Mazmur 73:26)

Pada akhir tahun lalu, aku putus dengan pacarku. Saat itu, aku merasa berada di titik terendah dalam hidupku. Di saat itulah, Tuhan kembali mengingatkanku melalui sebuah khotbah di gereja. Baca selengkapnya di sini

Jadilah yang pertama menemukan artikel terbaru dari WarungSaTeKaMu.org. Add akun LINE kami dengan klik di sini atau cari melalui ID @warungsatekamu

Add Friend