Setelah lahir baru aku merasa mudah untuk mengampuni orang lain. Selalu kukatakan pada diriku sendiri bahwa pengampunan yang Tuhan berikan memampukanku untuk mengampuni orang lain. Namun, sepertinya itu hanya teori yang memenuhi kepalaku saja, tidak hatiku.
Saat aku duduk di kelas 3 SMA, aku mempunyai seorang sahabat lak-laki. Ia orang yang mengerti aku, selalu ada di saat aku sedih, dan selalu siap untuk mendengar keluh kesahku. Kedekatan ini membuatku menyukainya selama satu tahun.
Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.
Di bulan Maret 2010, aku pertama kali berpacaran dengan seorang pria. Dia adalah teman sekelasku di bangku kuliah. Dia tumbuh baik di keluarga Kristen dan kupikir karena kami adalah pasangan yang seiman, maka kami pasti mampu menghadapi badai apapun di depan kami.
Di dalam kehidupan ini, tidak semua hal bisa terjadi sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Demikian juga dengan halnya pasangan hidup. Apa yang kita anggap terbaik bagi kita, belum tentu memang yang terbaik dari Tuhan. Inilah sekelumit kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.
Aku begitu bahagia ketika akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih dekat teman lelaki yang selama ini aku sukai. Dia adalah anak yang populer di sekolah karena sering mendapatkan juara baik di bidang akademis maupun non-akademis. Kesempatanku untuk mengenalnya lebih dekat datang secara tidak sengaja.
Sakit. Sedih. Kecewa. Itulah yang kurasakan ketika aku akhirnya putus dari pacarku setelah kami menjalin hubungan selama 3 tahun 7 bulan. Di saat aku telah mendoakan hubungan ini dan membayangkan akan menikah dengannya, ternyata hubungan kami harus kandas di tengah jalan. “Aku rasa aku tidak sungguh-sungguh mencintaimu,” begitulah alasan yang diucapkannya ketika memintaku untuk putus.