Self-love yang Selfless untuk Mengasihi Sesama

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak tahun 2020 lalu memberiku kesempatan untuk belajar banyak tentang bagaimana mengasihi diri sendiri. Semua berawal dari konflik-konflik relasi yang terjadi antara aku dan keluarga, serta aku dan teman-teman dekatku. Awalnya konflik tersebut membuatku sangat minder dan tidak berharga karena merasa paling bersalah. Bahkan aku juga sering menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab dari munculnya konflik-konflik tersebut. Namun, seiring dengan proses-proses pemulihan yang Tuhan anugerahkan, aku mendapat kesimpulan bahwa ternyata aku juga perlu belajar mengenal diriku sendiri lebih baik; memahami identitas diriku yang sebenarnya bukan terletak pada apa yang ada di dunia ini (ciptaan), melainkan pada gambar Sang Pencipta itu sendiri (Kejadian 1:27).

Ketika belajar mengenal diri sendiri, aku pun mendapati ada satu konsep atau istilah baru yang ternyata banyak digaungkan di berbagai media sosial selama masa pandemi: self-love. Mengutip dari situs alodokter.com, self-love artinya mencintai diri sendiri, tetapi bukan berarti memenuhi diri dengan segala keinginan. Self-love mengharuskan kita untuk memperlakukan dan menerima diri sendiri dengan baik dan apa adanya. Konsep self-love atau konsep penerimaan diri yang baik ini juga terbilang penting karena berpengaruh pada kesehatan mental. Apalagi, penelusuran informasi tentang isu kesehatan mental di mesin pencari Google mengalami peningkatan sejak tahun 2020 kemarin. Artinya, bisa dibilang sudah banyak orang yang mulai memerhatikan kesehatan mentalnya sendiri.

Kemudian aku sempat terpikir hal yang lain: jika self-love merupakan sebuah konsep untuk menerima diri sendiri, apakah kecenderungan untuk egois (selfish) bisa terjadi? Jawabannya: tentu saja bisa, bergantung pada di mana fokus kita ketika sedang menerapkan self-love. Psikolog Felicia Maukar memaparkan bahwa konsep self-love bukanlah sesuatu hal yang negatif karena motivasinya dilakukan untuk kebaikan banyak orang. Ketika kita mencintai diri sendiri, kita akan mampu mencintai orang lain juga. Sedangkan konsep egois didasari pada mencintai diri sendiri secara berlebihan; fokusnya lebih banyak memikirkan perasaan diri sendiri dan apapun yang dimilikinya dijadikan bahan pamer dengan tujuan membuat orang lain iri (dikutip dari berita suara.com yang tayang pada Rabu, 6 November 2019).

Firman Tuhan pun sebenarnya sudah mencatat konsep self-love yang tertulis dalam Matius 22:39 “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Aku pernah salah mengartikan bagian kebenaran Firman ini. Aku memahaminya sebagai: aku harus terus mengasihi orang lain, dan tidak perlu mempedulikan diri sendiri. Namun pada ayat itu tertulis jelas “…seperti dirimu sendiri”. Sehingga, konsep mengasihi diri pun memang bukanlah hal yang salah atau berkesan negatif. Bahkan Allah saja melihat diri kita berharga (Yesaya 43:4), masa kita tidak mau menghargai hidup dan diri kita sendiri sebagaimana Allah telah melakukan hal yang sama kepada kita?

Memahami hal ini sebagai bentuk pembelajaranku secara pribadi, aku mendoakan pada Tuhan untuk dimampukan menerapkan self-love yang selfless. Aku ingin belajar bagaimana menerapkan kasih pada diriku sendiri (dengan cara menjaga kesehatan fisik, mental, jiwa, pikiran, emosi, dan seluruh aspek hidupku dengan takaran yang sewajarnya atau tidak berlebihan), sambil di saat yang sama aku juga bisa mengasihi orang lain dengan hati yang tulus.

Aku + Kamu = Kita

Mengapa harus ada “kita”?

Bukankah hidup ini segalanya tentang “aku”?

Jika dilihat dari sisi egoisme akibat keberdosaan kita sebagai manusia, jawabannya pasti “ya”. Namun, Tuhan tidak menghendakinya demikian. Sejak awal manusia dijadikan, Tuhan membuat manusia menjadi makhluk sosial. “Tidak baik kalau manusia itu sendiri saja…” (Kejadian 2:18). Kehadiran Adam dan Hawa menjadi cikal bakal keluarga, pertemanan, komunitas, hingga terbentuknya bangsa yang menetap dan menyebar di seluruh pelosok bumi hingga kini.

Dalam buku “How’s Your Soul: Why Is Everything That Matters Starts With The Inside You”, Judah Smith menuliskan bahwa salah satu lingkungan sehat untuk jiwa kita adalah Relationship (Relasi). Secara alamiah, kita semua adalah makhluk sosial. Kita diciptakan untuk berelasi dan berkomunitas. Bahkan untuk orang dengan kepribadian paling introver sekalipun tetap membutuhkan interaksi dengan sesama manusia yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan, perkembangan, dan rasa semangat dalam jiwa. Tanpa adanya relasi, jiwa kita menjadi terisolasi dan ini merupakan kondisi yang tidak sehat.

Dalam realitasnya, mungkin kita berharap relasi yang terjalin antara kita dengan sesama akan berjalan mulus dan serba baik-baik saja. Aku pun juga berharap demikian. Namun, sayangnya dosa membuat kondisi ideal tersebut hancur berantakan. Kita berseteru. Berkonflik. Sering mengedepankan ego pribadi dan lupa caranya mengasihi. Maka dari itu, tentu mengandalkan Allah yang adalah Kasih menjadi satu-satunya cara agar kita bisa terus-menerus belajar mengasihi sesama dengan hati yang tulus.

Di bulan ini aku mengajak kita semua untuk sama-sama belajar dan merenungkan bagaimana berelasi dengan sesama seharusnya tidak dilihat sebagai sesuatu yang diterima begitu saja (taken for granted). Relasi dengan sesama sepatutnya kita lihat sebagai anugerah Tuhan bagi kesehatan, sukacita, dan juga kesejahteraan jiwa kita; baik itu relasi dengan keluarga, teman kampus, rekan kantor, tetangga, bahkan mungkin orang asing yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita.

Baca Juga:

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng, demikian pula dalam halnya ucapan syukur. Apa yang mendasari kita untuk mengucap syukur?

Bagikan Konten Ini
8 replies
  1. Tety Vera hayati br.ginting
    Tety Vera hayati br.ginting says:

    amin🙏
    dari artikel ini aku dapat berkat pengajaran karena ,menjalani hidup ini harus dulu mengasihi diri sendiri baru kasihi sesama mu ,bersyukur udah di ingat kan atas berkat Tuhan,karena kita juga perlu mengasihi 🙏

  2. Ms Melani
    Ms Melani says:

    Berjuang bgt utk bisa sampai Selflove, karena ketika kita sdh bisa mencintai diri sendiri, maka kita bisa mencintai & mengerti org lain 🤗

  3. Epafras
    Epafras says:

    cara mencintai diri sendiri salah satunya yaitu dengan tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain

  4. Meista Yuki Crisinta
    Meista Yuki Crisinta says:

    Halo, Kak @Santoso Kurniawan 🙂 Jadi begini, dulu aku sering banget menghina diri sendiri, seperti: aku jelek, enggak cantik, enggak pantas berteman dengan siapapun, talenta2 yg kumiliki engga ada gunanya, dan hal-hal lainnya yang disebabkan oleh melihat pribadi/hidup orang lain lebih baik dari aku (dari sudut pandangku), lebih cantik, lebih kaya, dan sebagainya.

    Disebut iri hati, iya. Minder, iya. Rendah diri, iya. Tapi lama2 aku belajar aku enggak perlu seperti itu. Aku belajar untuk makin melihat bahwa diriku diciptakan di bumi ini ada tujuannya. Jadi, dengan proses dan progress yang masih berlangsung hingga kini, aku belajar untuk menerima diriku dan sayang sama diriku apa adanya, sambil terus mengembangkan potensi & talenta yg udah Tuhan kasih ke aku agar bisa jadi berkat untuk orang-orang sekelilingku, siapapun itu.

    Kurang lebih seperti itu, Kak, arti “mengasihi diri sendiri” yang aku tuliskan pada artikel ini 🙂 Terima kasiiih ^_^

  5. Valen Ginting
    Valen Ginting says:

    Love others the way love yourself! ketika kita menerima diri kita, kita sadari bahwa Tuhan telah mengasihi kita, kita akan mampu untuk mengasihi orang lain.

  6. Helena
    Helena says:

    Benar-benar suatu anugerah yang luar biasa ketika saya menemukan artikel ini dan mengetahui ada orang yang mengalami hal yang persis sama dengan yang saya alami dan mampu mengutarakannya dengan bahasa yang benar dan konteks yang positif dan membangun seperti ini. Mulai dari semuanya yang berawal dengan banyaknya konflik dengan keluarga dan teman-teman saya, konflik yang membuat minder dan sering menyalahkan diri sendiri, depresi dan menjauhkan diri dari lingkungan sosial, sampai putus asa karena tidak menemukan solusi untuk kembali ke kehidupan normal saya, akhirnya menyadari bahwa saya harus terlebih dulu menerima dan mengasihi diri saya sendiri untuk saya dapat terbuka dengan orang lain dan mengasihi mereka dengan cara yang benar. Rasanya tulisan kakak seperti sedang menceritakan apa yang saya alami dan menjelaskan perasaan saya yang saya sendiri tidak bisa jelaskan dengan kata-kata. Terimakasih banyak telah menulis pengalaman untuk menjadi bahan renungan ini kak. Mengingatkan saya bahwa hal yang saya alami juga dialami oleh orang lain dan ternyata kita sudah menemukan solusinya dan penting bagi kita untuk membagikan pengalaman kita ke orang lain.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *