Posts

Mengapa Harus Menegur Jika Bisa Membiarkan?

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

“Duuuh! Kamu gimana, sih. Harusnya nggak kaya gini…”

Mungkin beberapa dari kita ada yang menegur seperti itu ketika seseorang melakukan kesalahan atau ada juga yang memilih untuk mendiamkannya (tidak menegur). Padahal kita tahu kalau seseorang salah, kita punya kewajiban untuk mengingatkannya. Tapi, bagaimanakah cara kita menegur? Apakah teguran dapat menyadarkan dan memperbaiki kesalahan? Atau malah membuat seseorang itu jadi cuek terhadap kita (tidak peduli, sakit hati lalu pergi, dan semacamnya)?

Semua orang tak luput dari kesalahan atau melakukan dosa, tetapi tidak semua kesalahan dapat disadari. Oleh karena itu terkadang kita butuh bantuan orang lain untuk melihat kesalahan-kesalahan yang kita sendiri tidak menyadarinya.

Tapi, menegur memang bukan perkara mudah. Dari dulu sampai sekarang, aku kurang berani menegur orang sekalipun aku yakin teguranku itu benar. Aku khawatir akan respons orang tersebut setelah aku menegurnya, apakah mereka akan menerima teguran itu atau malah membenciku. Ditambah lagi, aku itu orangnya gak enakan. Padahal aku tahu bahwa ketika menegur, perasaan tidaklah jadi indikator utama.

Asumsi-asumsi itu menciptakan berbagai pertanyaan dalam benakku. Bagaimana cara menyampaikan teguran agar bisa diterima dengan baik? Kenapa harus aku yang terbeban melihat kesalahannya? Kenapa aku tidak bisa merasa “bodo amat” terhadap urusan orang lain? Sebagai orang Kristen, apakah menegur itu perlu?

Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab lewat bacaan buku dan refleksi pribadi. Secara sederhana, teguran adalah bukti kasih kita kepada sesama karena setiap orang memiliki blind spot yang bisa menyeret seseorang ke dalam dosa. Tidak salah untuk menegur orang lain karena ini adalah tanggung jawab orang Kristen untuk saling menjaga. Sebaliknya, tidak menegur berarti mengabaikan tanggung jawab moral yang Allah berikan sebagai saudara seiman. 2 Timotius 4:2 “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”

Melalui ayat di atas, kita juga diingatkan bahwa menegur bukan berarti menjatuhkan, melainkan membantu orang lain menyadari kesalahannya, memperbaikinya, kemudian menjadi lebih baik dan serupa dengan Kristus.

Amsal 27:17 mengatakan “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”

Ayat ini mungkin sudah sangat familiar bagi orang Kristen. Jika membaca ayat ini, yang terlintas dalam benakku adalah konflik. Kenapa konflik? Tidak dipungkiri, teguran kadang mengantar kita pada konflik. Tetapi, konflik bukanlah hal yang tabu. Melalui konflik kita dapat saling menajamkan karakter dan hati sesama, tetapi tergantung bagaimana kita meresponi suatu konflik, apakah dengan berhikmat atau tidak. Amsal 10:13 “Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi.”

Oleh karena itu, ketika terjadi konflik, kita harus mengembangkan sikap hati yang peduli. Saling menegur adalah salah satu kunci untuk membentuk relasi yang sehat dan bertumbuh dalam Tuhan. Tapi kenyataannya, masih banyak dari kita yang memilih tidak menegur atau mungkin kita sudah menegur, tapi tidak diterima dengan baik. Meskipun ketika kita sudah menegur dengan baik tetapi teguran itu dimaknai lain, kita tidak boleh kecewa. Menegur adalah perbuatan baik dan harus dilakukan (Yakobus 4:17). Diterima atau tidaknya teguran merupakan campur tangan Allah. Bagian kita adalah memilih untuk menegur dalam kasih serta mendoakannya.

Dalam menegur, hal utama yang dibutuhkan adakah kasih, diikuti kedewasaan rohani (kebijaksanaan & hikmat) serta rasa tanggung jawab membimbing seseorang yang berbuat salah untuk memperbaiki kesalahannya dan menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, bukan berarti si penegur tidak bisa kebal dari kesalahan. Paulus pun mengingatkan hal itu dalam Galatia 6:1 yang berkata:

“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”

Setiap teguran yang hendak kita lontarkan harus didahului dengan tiga hal, yaitu fakta, firman Tuhan, dan doa.

Sebelum menegur seseorang, kita harus mengetahui dengan jelas dan rinci apa yang sebenarnya terjadi. Akan lebih baik jika kita tanya sudut pandangnya (ini membuktikan bahwa kita menghargai orang tersebut). Jika terbukti salah, kita dapat menegurnya di waktu yang tepat (Amsal 25:11) dan tentu saja dengan penuh kasih. Selain itu, usahakanlah untuk menegurnya secara pribadi, bukan di depan orang lain (Matius 18:15).

Aku teringat akan pembuatan sebuah pedang yang prosesnya panjang. Besi harus ditempa, dibentuk, dan dibakar hingga menghasilkan sebuah pedang tajam dan siap pakai. Demikian juga manusia, untuk menjadi seperti pedang yang tajam dan berguna, kita akan melalui proses panjang dan berat. Setiap teguran dan konflik adalah cara-cara Tuhan untuk membentuk kita agar kita siap dipakai dalam pekerjaan-Nya.

Ingatlah selalu, bahwa tujuan kita menegur seseorang bukan untuk menjatuhkan atau melampiaskan kekesalan kita atas perbuatannya, tapi karena kita mengasihinya dan kita rindu untuk sama-sama bertumbuh dalam Kristus.

Efesus 4:15 “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.”

*Tulisan ini dibuat terinspirasi dari Buku yang ditulis oleh Sen Sendjaya “Jadilah Pemimpin Demi Kristus” dalam topik Seni Menegur Pemimpin.

Teguran: Tidak Semanis Pujian, Tapi Kita Butuhkan

Oleh Olyvia Hulda S, Sidoarjo

Ditegur, kita semua pernah mengalaminya. Ketika ditegur, kita mungkin merasa kaget, malu, sedih, menyesal, atau bahkan marah. Bila tegurannya disampaikan dengan sopan dan pengertian, mungkin kita merasa dikasihi. Namun, bila teguran yang dilayangkan ditambah dengan intonasi tinggi dan kata-kata pedas, bukan tidak mungkin akan muncul rasa tersinggung dan sakit hati yang berkepanjangan.

Terlepas dari bagaimana cara teguran itu disampaikan, kita tentu sepakat bahwa teguran sejatinya punya maksud baik. Seseorang biasanya ditegur jika dia melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang disepakati. Sehingga, tujuan dari teguran adalah agar seseorang kembali bertindak benar, tidak melenceng dari nilai dan norma yang ada.

Namun, meskipun teguran punya tujuan yang baik, banyak dari kita tidak suka bila ditegur. Jika boleh memilih, mungkin kita lebih suka dipuji. Ketika pujian memberikan apresiasi atas diri atau prestasi kita, teguran mengganggu naluri ke-aku-an kita.

Alkitab memberi kita dua contoh yang menarik mengenai teguran. Pertama, kisah tentang Raja Uzia. Dalam 2 Tawarikh 26:16-21, dikisahkan Raja Uzia telah berubah menjadi tinggi hati dan tidak setia. Suatu ketika, dia masuk ke bait Allah untuk membakar ukupan di atas mezbah. Tugas tersebut seharusnya hanya dilakukan oleh imam, sehingga atas perbuatannya, Uzia pun mendapatkan teguran keras dari Imam Azarya. “Hai, Uzia, engkau tidak berhak membakar ukupan kepada TUHAN, hanyalah imam-imam keturunan Harun yang telah dikuduskan yang berhak membakar ukupan! Keluarlah dari tempat kudus ini, karena engkau telah berubah setia! Engkau tidak akan memperoleh kehormatan dari TUHAN Allah karena hal ini” (ayat 18). Apa yang terjadi selanjutnya? Teguran itu tidak diindahkan. Uzia malah menjadi marah dan diluapkannya amarah itu kepada para imam. Allah lantas menimpakan tulah kepada Uzia berupa sakit kusta sampai kepada hari kematiannya.

Kisah kedua mari kita lihat dari Daud. Dalam 2 Samuel 12, dikisahkan Allah mengutus Natan datang kepada Daud sebagai respons atas perbuatan keji Daud mengambil Batsyeba, istri dari Uria. Natan lalu menceritakan sebuah perumpamaan kepada Daud tentang seorang kaya yang mengambil kepunyaan dari seorang miskin. Mendengar perumpamaan itu, Daud menjadi marah dan mengatakan seharusnya orang kaya yang berbuat semena-mena itu dihukum mati. Daud tidak sadar kalau perumpamaan itu bukan sekadar cerita, itu adalah teguran terselubung baginya. Ketika Daud tidak menyadari kalau sosok orang kaya di perumpamaan itu adalah gambaran dirinya, Natan merespons Daud dengan keras, “Engkaulah orang itu!….Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya?” (ayat 7 dan 9).

Berbeda dengan Uzia yang merespons teguran dengan amarah yang meletup-letup, teguran keras dari Natan seketika menghantam hati Daud hingga melalui mulutnya dia mengakui, “Aku sudah berdosa kepada TUHAN” (ayat 12). Natan menjawab, “TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati. Walaupun demikian karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista TUHAN, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati” (ayat 13-14). Daud berbalik dari dosanya dan mendapatkan pengampunan Allah meskipun konsekuensi dari dosa tersebut tetap harus ditanggungnya.

Dari dua kisah tentang dua raja Israel yang memerintah pada masa Perjanjian Lama, kita melihat bahwa teguran yang Allah sampaikan melalui perantaraan imam dan nabi bernada keras. Tetapi, Uzia dan Daud menunjukkan respons hati yang berbeda. Respons hati inilah yang menentukan kelanjutan kisah mereka: Daud memperoleh pengampunan dan berbalik pada Allah, hingga dia pun tercatat sebagai seorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22) , sedangkan Uzia mendapatkan tulah hingga pada hari meninggalnya.

Teguran seringkali datang pada kita secara tidak terduga dan pada keadaan yang tidak kita harapkan. Tetapi, hal ini tentulah wajar karena sebagai manusia biasa, kita tidak pernah luput dari perbuatan salah. Yang paling penting ketika sebuah teguran datang kepada kita ialah kita belajar seperti Daud, dengan rendah hati menerima teguran tersebut, mengintrospeksi diri, dan memperbaiki perbuatan kita di masa mendatang. Dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima setiap teguran yang ada. Ketika teguran yang disampaikan seolah tidak selaras dengan realita yang sebenarnya, alih-alih segera emosi kita dapat berdiskusi dan mencoba memahami maksud dari si penegur, bukan hanya fokus pada nada atau kata-kata teguran yang disampaikan. Dengan kita memahami maksud utama dari suatu teguran, itu dapat menolong kita mengurangi prasangka negatif terhadap orang yang memberi teguran itu serta menghindari kita dari kemungkinan merasa sakit hati. Dan, satu hal yang terpenting lainnya ialah jika kita merasa teguran yang disampaikan terlalu berat untuk kita cerna, adalah baik untuk bersikap tenang sejenak sebelum kita merespons.

Ada sebuah ayat yang mendorongku untuk tidak berpikir negatif terhadap mereka yang pernah menegurku, yakni Mazmur 141:5, “Biarlah orang benar memalu dan menghukum aku, itulah kasih”.

Aku percaya bahwa teguran-teguran yang disampaikan padaku memiliki maksud yang baik, terlepas dari kemasannya yang baik maupun tidak. Teguran itu mengingatkanku agar aku tidak merasa nyaman dengan pelanggaran dan kesalahan, serta bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Teguran-teguran dari orang-orang di sekeliling kita bisa menjadi sarana dari Allah untuk membuat kita terhindar dari jalan yang jahat. Memang teguran tidak semanis pujian, tetapi pada momen-momen tertentu dalam hidup kita, kita sungguh membutuhkan teguran.

Adakah di antaramu yang masih kepahitan dengan mereka yang menegurmu? Aku berdoa agar Tuhan menyembuhkan lukamu, serta memberikan hikmat dan pemahaman untuk menyadari kesalahan yang diperbuat, dan kembali bertindak benar. Percayalah, mereka yang menegur kita, apapun ‘kemasannya’, mereka adalah orang yang mengasihi dan peduli dengan hidup kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Coklat, sekuntum bunga, atau kata-kata manis, seringkali kita berikan sebagai ungkapan atas rasa cinta. Dan, cinta seringkali diidentikkan dengan perasan atau suasana romantis. Tapi, hari ini, yuk kita telusuri kembali apa sesungguhnya makna cinta atau kasih itu.

Menghadapi Konflik dengan Cara yang Sehat

Kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Amy Domingo (@amy_domingo).

Bayangkan hidup tanpa adanya konflik, perbedaan pendapat, dan rasa sakit. Atau bayangkanlah jika salah satunya muncul, kita dapat menghapuskannya dan sepakat untuk tidak sepakat. Betapa bahagia dan menyenangkannya hidup kita!

Sayangnya, karena kita semua adalah makhluk berdosa dan hidup dalam dunia yang kelam, konflik pasti akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun konflik selalu membuat hati tidak nyaman, ia dapat membantu kita tumbuh dan menjadi dewasa seperti Kristus jika kita menghadapinya dengan cara yang sehat dan alkitabiah.

Jadi, bagaimana kita dapat merespon konflik tanpa menjelek-jelekkan, memusuhi, atau bersikap pasif-agresif?

Sesulit kedengarannya, kita seharusnya merespon dengan kasih, yang berarti tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5). Firman Allah juga mengingatkan kita untuk menjadi ramah, murah hati, sabar terhadap satu sama lain dan saling mengampuni (Kolose 3:13).

Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan dan hindari ketika konflik terjadi:

Terkadang lebih mudah untuk menghindar daripada menatap muka mereka yang pernah menyakiti kita. Akibatnya, kita menjauh dari kehidupan mereka dan emosi kita mudah tersulut secara pribadi.

Meskipun sebenarnya tak masalah mengambil waktu sejenak untuk memulihkan luka kita, berlarut-larut dalam kemarahan yang tak terselesaikan ataupun memilih untuk tidak mengampuni dapat merugikan kita. Akibatnya, kita mengikis hubungan yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Kejadian apa pun yang menimpa kita, Firman Allah mengatakan pengampunan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Mungkin sulit (dan hampir tak adil) untuk mengampuni orang yang melukai kita, namun kita harus mengampuni seperti Kristus telah mengampuni kita terlebih dahulu (Efesus 4:32). Dan jika kita melukai seseorang, carilah mereka untuk meminta pengampunan (Matius 5:23-24).

Luka yang mereka tanamkan pada kita sangat dalam. Kemarahan dan kesedihan dalam diri kita meningkat tiap kali mengingat insiden tersebut. Dan sekarang mereka mencoba berbicara dengan kita? Beraninya! Acuhkan saja mereka, biar tahu rasa!

Stonewalling atau mengacuhkan dan menolak berkomunikasi dengan seseorang dapat memberikan kita ilusi sebagai pemegang kontrol. Namun, hal ini tidak meredakan kemarahan dalam hati kita, maupun membiarkan orang lain menjelaskan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk minta maaf.

Jika berbicara dengan mereka dalam suasana panasnya konflik sangat sulit, kita dapat dengan sopan memberitahu mereka bahwa kita sedang tidak mood untuk membahas konflik ini sekarang. Namun pastikan pada mereka bahwa kamu akan meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini ketika kamu siap. Bagaimana pun, Firman Allah berkata jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah (Amsal 15:1). Jadi akan lebih bijak bagimu untuk membiarkan amarahmu reda terlebih dahulu sebelum berekonsialisasi.

Masalah lain biasanya datang ketika kita bersikukuh mempertahankan kehendak kita; kita tak bersedia mendengarkan pendapat orang lain.

Memaksakan kehendak kita dalam konflik merupakan hal yang sangat buruk. Kita melalaikan orang lain, seakan akan apa yang mereka katakan tak pantas untuk kita pertimbangkan.

Untuk menghindari perilaku seperti ini, kita dapat merefleksikan mengapa kita begitu kukuh untuk melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak kita. Apakah itu ego kita? Roma 12:16 memerintahkan kita untuk sehati dan sepikir dalam hidup bersama dan jangan menganggap diri kita pandai. Kita dapat meminta Tuhan untuk menyingkirkan ego kita dan memberikan kita kerendahan hati yang dibutuhkan untuk menangani masalah dengan rahmat.

Kita mungkin tak sengaja bercanda melewati batas dan menyinggung seorang teman dekat atau teman kerja. Kita berharap mereka dapat menganggap hal tersebut sebagai candaan belaka, namun ternyata mereka mengonfrontasikan hal tersebut sebagai masalah dan kita menjadi defensif. “Itu hanya candaan, tidak perlulah marah karena hal itu,” gerutu kita.

Meskipun dalam hati kita tahu kita salah, kita membuat berbagai alasan untuk menyelamatkan harga diri kita dan malah menuduh mereka terlalu serius.

Memang tidak mengenakkan ditegur jika kita berbuat salah, namun Amsal 28:13 memberanikan kita untuk mengakui dosa kita untuk memperoleh belas kasihan. Misalnya, mencoba melihat dari perspektif mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan meminta maaf.

Kita tak dapat mempercayai apa yang baru saja mereka katakan pada kita. “Betapa tidak sopannya mereka menuduh kita melakukan hal-hal seperti itu!” pikir kita. Maka dari itu, kita mencaci-maki balik mereka, balik menggunakan kata-kata yang pedas, dengki nan jahat, memberikan mereka mencicipi pahitnya pembalasan.

Kedagingan kita mungkin merasa bahagia untuk beberapa waktu, namun kedengkian yang kita keluarkan dapat memicu argumen panas atau menjadi racun bagi relasi kita dengan mereka.

Amsal 18:21 mengatakan hidup dan mati dikuasai lidah, dan meski kadang mencaci maki sangat mudah dilakukan di tengah konflik, kita dapat berdoa meminta Tuhan menuntun lidah kita dan kita untuk berbicara dengan anggun (dan bukan dengki) saat kita marah.

Oh wow. Seseorang baru saja melakukan sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak bisa dibenarkan terhadap kita, dan kita terguncang dalam syok, kemarahan dan pengkhianatan. Dan sekarang kita sangat ingin memberitahu yang lain mengenai apa yang terjadi.

Meskipun tidak baik untuk menumpuk perasaan kesal kita, dan mengomel membantu kita menjernihkan pikiran, mari kita lebih berhati-hati dengan perkataan yang keluar dari mulut kita agar kita tidak menyesali perkataan kita di kemudian hari.

Amsal 19:20 memberanikan kita untuk mendengarkan nasihat yang bijak (Amsal 19:20), maka mari bagikan situasi kita (ketika kita sudah tenang dan berefleksi atas situasinya) dengan sekelompok teman dekat yang kita percaya. Hal ini memungkinkan masalah kita untuk tak terdengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui kita secara baik dan juga melindungi reputasi orang lain.

Sebuah perdebatan hebat telah mengungkit kesalahan masa lalu satu sama lain, demi menjadi pemenang. “Ingatkah kamu terakhir kali kamu lakukan ini dan itu?” teriakmu.

Melemparkan kesalahan satu sama lain, khususnya untuk melawan mereka, dapat membuat kita merasa superior—untuk sementara. Namun seringkali, kita berakhir menyesali perkataan kita. Saat itu, semuanya sudah terlalu terlambat dan kita tak dapat menariknya kembali.

Mari ingat bahwa kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5), dan kehancuran hanyalah seujung lidah, karena “lidah adalah api…. Ia mengambil tempat di anggota-anggota tubuh” (Yakobus 3:6). Daripada mencari-cari kesalahan masa lalu, kita dapat mencoba menutup mulut kita dan tidak menjadi hambar, berkata dengan rahmat (Kolose 4:6).

“Hai Anon, tak bisa kupercaya kamu mengatakan…..,” dalam momen kemarahan, kita mengetik dan mengunggah pesan kemarahan dalam sosial media untuk mempermalukan orang yang telah menyakiti kita. Dan sekarang, kita menunggu balasan-balasan penuh simpati datang kepada kita.

Ah, pembalasan dendam yang indah! Kedagingan kita mungkin merasa senang selama beberapa waktu atas mengungkapkan kejahatan seseorang yang telah menyakiti kita, namun siapa yang tahu kalau hal ini akan berakibat pada relasi yang tak dapat diperbaiki!

Seperti yang 1 Korintus 13:5 ingatkan kita, kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:5). Jadi, daripada secara terbuka mempermalukan orang yang telah menyakiti kita, mengapa tidak melakukannya dengan menuliskannya di buku harian, atau bahkan menuliskan surat mengenai apa yang kalian pikirkan terhadap mereka (yang dapat kita sobek setelahnya) jika hal ini dapat melepaskan amarah kita?

Perkataan tak berperasaan mereka telah melukai kita, tapi daripada berkata jujur dengan mereka, kita memutuskan untuk bersikap pasif agresif. “Kamu harusnnya tahu bagaimana perasaanku,” ketika ditanya bagaimana perasaan kita.

Kita berpikir mereka seharusnya tahu bagaimana perasaan kita. Bagaimana pun, merekalah yang mengejek kita! Tapi kebanyakan orang tidak dapat membaca pikiran kita. Dan mengirimkan pesan penuh teka-teki atau bermain mind games berpotensi untuk membawa lebih banyak kesalahpahaman bahkan menimbulkan kebencian atas satu sama lain.

Amsal 24:26 mengatakan perkataan yang tepat adalah tanda persahabatan. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita memberitahu mereka secara jujur (namun bijaksana) mengenai bagaimana mereka melukai kita, daripada berharap mungkin mereka dapat membaca pikiran kita dan mengetahui apa yang mengganggu kita.

Tentu saja, memang lebih mudah untuk membaca mengenai bagaimana menyelesaikan masalah daripada benar-benar menyelesaikannya.

Namun, untungnya kita tidak perlu bergantung pada kekuatan kita sendiri. Tuhan akan memberikan kita hikmat (Yakobus 1:5) untuk menangani situasi ini, dan jika kita terluka, mintalah pada-Nya untuk memulihkan kita. Kita juga dapat meminta Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa konflik bukan selalu situasi “aku melawan mereka”, namun dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan masalah bersama, dan menghasilkan relasi yang lebih kuat.

Jadi, di lain kali kamu menemukan dirimu menghadapi suatu masalah untuk diselesaikan, janganlah bereaksi dengan meledak-ledak, namun pertimbangkan bagaimana merespons situasi ini dengan cara Tuhan!

Yang Kuinginkan Untuk Natal Hanyalah…

Oleh Jefferson, Singapura

Gambar meme “Namaku Jeff” yang menyembul di antara tumpukan kado seolah-olah memang diletakkan demikian untuk menarik perhatianku. Di komisi remaja, kami memang sedang mengadakan pertukaran kado untuk merayakan Natal, tapi tidak kusangka pemberi kadoku memutuskan untuk mengemas hadiahnya sejelas itu. Melirik ke para remaja yang kumuridkan dan pemuda-pemudi lain yang melayani di komisi remaja, daftar tersangka pemberi kadoku langsung mengerucut ke beberapa nama.

Waktu membuka kado pun tiba. Jantungku berdebar penuh antusiasme. Si pemberi kado dengan cerdik membungkus kadonya dengan beberapa lapis koran. Rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Ia pasti memilih kado yang sangat cocok untukku! Lapisan demi lapisan kertas bungkusan kubuka hingga tiba pada isi kadonya.

Seketika aku tertegun.

Aku memelototi benda yang seharusnya adalah hadiah untukku. Dan, bukan hanya aku saja, satu ruangan nampaknya ikutan sunyi senyap, menunggu dan memperhatikan dengan saksama apa yang akan menjadi reaksiku terhadap “kado” yang kupegang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku seperti menemukan granat tangan yang setelah kuperiksa lebih lanjut, ternyata sudah kehilangan pin pengamannya. Tentu saja bom itu meledak beberapa detik kemudian. Tapi bukan hadiahnya; aku yang meledak dalam murka putih-panas.

“APA-APAAN INI?! MEMANGNYA INI SEBUAH LELUCON?!”

Seperti korban ledakan bom yang setengah sadar setelah bom itu meledak, aku hanya dapat mengingat sekelebat dari apa yang terjadi setelahnya. Aku berusaha mengendalikan amarah semampuku sambil meletakkan “hadiah” itu sejauh mungkin dariku. Beberapa orang mencoba menghibur. Aku mengingat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya mendapatkan hadiah yang layak. Wajah mereka terlihat gembira sementara aku hanya duduk di bangku, memasang senyuman terpaksa di tengah-tengah badai yang berkecamuk hebat di dalam hatiku.

Sambil menyaksikan yang lain membuka kado, mendadak ada suara yang berbisik dalam hatiku, “Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Pertanyaan itu mengusikku selama beberapa waktu, bahkan setelah pemberi kadoku yang usil meminta maaf kepadaku dengan sungguh-sungguh, bahkan setelah aku mengampuninya dengan penuh, bahkan setelah aku menerima kado pengganti darinya, bahkan setelah aku melewati beberapa acara tukar kado berikutnya. Usikan itu baru berhenti ketika aku menemukan jawabannya dari tempat yang paling tidak kuduga: acara Natal Sekolah Minggu yang turut kupersiapkan sebagai salah satu panitia.

“Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Di tahun-tahun sebelumnya, adalah drama yang diperankan oleh guru-guru yang membedakan acara Natal Sekolah Minggu dengan pelajaran biasa, entah dalam bentuk cerita kelahiran Yesus, adaptasi buku cerita anak, atau percakapan dengan seorang anak gembala. Tapi, tidak ada drama tahun ini. Oleh karena keterbatasan waktu dan pelayan, panitia memutuskan untuk mengadakan acara Natal yang sederhana namun bermakna. Berangkat dari senandung lagu “All I Want for Christmas is You” setelah sekitar dua jam mendiskusikan tema tanpa hasil, kami di tim panitia menyadari bahwa judul lagu itu dapat menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anak.

“Apa yang kamu inginkan untuk Natal?” Dunia mengajarkan anak-anak (dan juga kita) untuk mengharapkan hadiah yang bagus, santapan yang mewah, serta perjalanan liburan yang menyenangkan untuk Natal. Semuanya itu baik, tapi tidak menggambarkan makna Natal dengan utuh. Di balik segala gemerlap gemilang Natal adalah kedatangan pertama yang sederhana daripada Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, untuk memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban penebusan atas manusia berdosa. Dibandingkan dengan Tuhan Yesus, kado, makanan, maupun liburan kehilangan daya tariknya. Tidak ada hadiah yang lebih baik dan berharga daripada Tuhan Yesus. Berangkat dari perenungan ini, kami di tim panitia ingin anak-anak Sekolah Minggu pertama-tama dan terutama menginginkan sang Pemberi dan Sumber dari segala berkat yang mereka akan terima di masa Natal ini.

Di saat yang sama, kami memahami konteks Singapura, “kota ke mana [kami Tuhan] buang” (Yeremia 29:7) yang aman dan nyaman serta dapat membatasi pemahaman anak-anak terhadap tema di atas. Bagaimana mereka dapat mengerti betapa berharga dan menakjubkannya kedatangan pertama Tuhan Yesus kalau mereka terus diimingi-imingi dengan hal lain sebagai makna utama dari Natal? Dalam rahmat Tuhan, kami mengantisipasinya dengan menunjukkan kepada anak-anak realita penganiayaan terhadap orang Kristen di belahan bumi lain di mana Injil Kristus dilarang dibagikan. Anggota-anggota tubuh Kristus yang lain ini memahami dengan jelas (dan sangat mungkin lebih dalam dari kita) signifikansi dari kedatangan Tuhan Yesus yang pertama. Begitu besar dampak dari makna sesungguhnya Natal bagi kehidupan mereka sehingga mereka terus bertekun dalam iman dan membagikan Injil di tengah-tengah penganiayaan dan penderitaan. Harapan kami adalah anak-anak bisa belajar dari dan meneladani saudara-saudari kita ini. Puji Tuhan, kami menemukan sebuah video yang menyampaikan pesan ini dengan baik.

Dua bulan berikutnya kami gunakan semaksimal mungkin untuk mempersiapkan acara Natal di minggu kedua bulan Desember. Kulalui rapat-rapat lanjutan, latihan ibadah, pembuatan properti pendukung acara, serta pemanjatan doa kepada Tuhan agar Ia sendiri yang beracara dan berbicara kepada setiap pribadi yang menghadiri acara Natal Sekolah Minggu.

Doaku pun dijawab oleh Tuhan. Di tengah-tengah perayaan Natal, setelah mengikuti ibadah dan mendengarkan Firman Tuhan disampaikan oleh guru injil, dan sambil mengawasi proses berjalannya keseluruhan acara, tiba-tiba aku teringat acara tukar kado di komisi remaja minggu sebelumnya. Dalam retrospeksiku, aku menyadari reaksiku agak terlalu berlebihan dan pada level yang fundamental merupakan reaksi yang keliru. Sebagai salah satu panitia yang merumuskan tema di atas, seharusnya aku sendiri telah memahami dengan baik kebenaran tentang apa yang harusnya kuinginkan untuk Natal: Tuhan Yesus. Namun, dalam naturku sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang berdosa, tanpa sadar aku telah menginginkan hal-hal lain di luar Kristus sebagai yang terutama untuk Natal tahun ini. Aku jatuh ke dalam godaan untuk mengutamakan diri sendiri di atas Tuhan dan sesama sehingga ketika mendapatkan “hadiah” tersebut, aku langsung emosi dan merasa egoku telah dilukai.

Di satu sisi, kasih antara saudara seiman sepatutnya dinyatakan dengan cara yang tepat dan memikirkan perasaan pribadi si penerima, tidak seperti “hadiah” yang kuterima waktu itu. Di sisi yang lain, ketika kita sudah menerima Kristus yang adalah hadiah yang terbaik dan berharga melebihi segalanya, kita seharusnya menjadi lebih sulit tersinggung karena kita memiliki sukacita dan damai sejahtera Kristus yang tidak dapat digoncangkan oleh suatu hal apa pun (Yohanes 14:27). Kita juga jadi lebih memahami dan dimampukan untuk melakukan perintah Tuhan dalam Efesus 4:32, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Syukur kepada Allah Tritunggal atas pembelajaran yang memperkaya pengenalanku akan dan memperdalam kasihku kepada diri-Nya dan sesama.

Sebuah ajakan untuk Natal 2019

Awalnya aku tidak berencana untuk menulis bulan ini, tetapi ketika Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang kuceritakan di atas terjadi, aku tahu aku tidak bisa tidak membagikannya dalam tulisan. Aku berharap Tuhan dapat memberkatimu lewat pengalamanku tersebut. Melaluinya juga aku ingin mengajakmu melakukan beberapa tindakan di bawah untuk Natal di tahun 2019 ini:

  • Memeriksa diri akan kesalahan-kesalahan kita, mengakui dosa-dosa kita, dan meminta pengampunan kepada Tuhan dan pihak yang telah kita lukai;
  • Mengampuni kesalahan-kesalahan orang lain terhadap diri kita, mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dulu mengampuni kita di dalam Kristus;
  • Mendoakan, menghubungi, dan membagikan Kabar Baik akan kesukaan yang besar (Lukas 2:10) kepada satu teman/kerabat yang belum percaya; dan
  • Ketika mengikuti acara tukar kado, memikirkan dengan baik apakah hadiah yang akan diberikan dapat semakin membangun si penerima kado dalam kasih dan sukacita di dalam Kristus Yesus.

Mungkin kita biasanya menghindari melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas, tapi ketika momen tahunan untuk memperingati kedatangan Tuhan Yesus yang pertama tiba, kita memiliki dua pilihan: terus berusaha menghindar, atau menghadap takhta Kristus dengan seluruh keberadaan kita sehingga kasih-Nya mengalir dan melimpah dalam hidup kita. Pilihan manakah yang akan kamu ambil?

Baca Juga:

Sebuah Salib yang Menegurku

““Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil.”

Bertobat dari Kemalasan

Oleh Michael*

Dua tahun lalu setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku tidak bekerja ke kota besar seperti yang teman-temanku lakukan, sebab sepeninggal papaku, mamaku tinggal seorang diri di rumah sementara kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Aku dan mamaku menjalankan usaha toko kelontong yang sekarang kami kelola berdua. Karena usia mama semakin lanjut, dia memintaku untuk mengelola toko ini. Tapi, aku menolaknya dengan alasan aku belum siap, toh mamaku masih sanggup untuk mengelolanya sendiri.

Aktivitas yang kulakukan sehari-hari adalah bermalas-malasan. Pagi dan siang aku bermain game dan nonton YouTube, sore-sore aku bersepeda, dan malamnya kuhabiskan menonton tv. Tak ada satu pun kegiatanku membantu mamaku di toko.

Teguran

Pada tanggal 28 Oktober 2019, ketika mamaku sedang menjaga toko, dia merasakan sakit di dada. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, dan dia pun muntah. Aku panik dan segera membawa mamaku ke rumah sakit dan memberitahu kakak-kakakku.

Di rumah sakit, mamaku segera mendapat pertolongan pertama dan harus dirawat inap. Kakakku yang pertama segera menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia memintaku untuk pulang saja ke rumah dan membuka toko sementara dia yang akan mendampingi mama sampai diperbolehkan pulang. Aku berdalih, kupikir biarkan saja tokoku tutup yang penting aku bisa menjaga mamaku. Namun, kemudian aku teringat, bagaimana pun juga pengobatan di rumah sakit membutuhkan biaya. Dari mana lagi kami mendapatkan uang jika tidak menjalankan usaha toko kelontong.

Pikiranku kalut. Aku seperti menghadapi dua dilema. Aku pun merasa ini seperti teguran dari Tuhan atas kemalasan yang selama ini kupelihara. Aku ingat petikan ayat Alkitab yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah” (Wahyu 3:19).

Aku masih belum beranjak dari ranjang yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba, ada semut yang menggigit lenganku. Aku tak tahu dari mana datangnya semut itu, tapi seketika itu juga aku ingat lagi petikan ayat Alkitab, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?” (Amsal 6:6-9).

Dua ayat yang terlintas di benakku membuatku merasa malu pada diriku sendiri, bersalah kepada mamaku, dan aku menyesal. Tetapi, aku juga seperti diteguhkan bahwa ini dapat menjadi titik balik hidupku.

Buah teguran adalah perubahan

Aku mulai membenahi hidupku. Aku tidak lagi bangun dengan malas-malasan. Aku bangun di pagi hari dan segera menyiapkan tokoku untuk melayani pembeli. Siang hari yang biasanya kuisi dengan main game atau menonton YouTube, sekarang kugunakan untuk mencatat stok-stok barang, menghitung penghasilan, juga menolong pelayanan publikasi di gerejaku. Sore hari yang biasanya kugunakan untuk bersepeda, kini kugunakan untuk menemani mamaku seraya aku melayani pembeli di toko. Dan, malam hari yang biasanya kuisi menonton tv, kini menjadi waktu pribadiku untuk bersaat teduh.

Aku percaya, peristiwa mamaku jatuh sakit bukan karena Tuhan ingin menghukumku, tetapi Tuhan mengasihi mamaku. Tuhan mengizinkan sakit itu terjadi agar aku dan mamaku dapat melihat kasih dan penyertaan-Nya yang sempurna, dan peristiwa ini juga jadi momen untukku menyadari bahwa cara hidupku yang bermalas-malasan adalah cara hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mampu menolong kita keluar dari jerat kemalasan, tetapi kita sendirilah yang memutuskan untuk keluar dari jerat itu atau berkubang di dalamnya. Segala dorongan dari luar tidak akan banyak menolong bila kita tidak punya niatan yang sungguh.

Teman-teman yang terkasih yang membaca tulisan ini, apabila kalian sedang terjerat oleh rupa-rupa kemalasan, aku berdoa kiranya kamu punya tekad yang kuat untuk melepaskannya. Aku juga memohon doa darimu juga untuk kesembuhan mamaku.

“Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi” (Amsal 3:11-12).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Ketika seorang tokoh publik menjadi Kristen, bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?

Menegur dengan Maksud Baik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu menjadi pengurus di bagian acara persekutuan kampus kami di Pekanbaru, Johan rekan sepelayananku di bidang acara menunjuk Sari* untuk menjadi singer dalam Kebaktian Awal Tahun Akademik (KATA). Sari adalah adik tingkat kami yang telah mengikuti pembinaan. Kami menilai Sari punya relasi yang baik dengan Tuhan.

Atas pertimbangan relasi pribadinya yang erat dengan Tuhan, juga kedekatan kami dengannya, Johan pun menunjuk Sari sebagai singer di ibadah tersebut. Supaya ibadah bisa berlangsung baik, bisanya kami mengadakan latihan tiga sampai empat kali.

Ketika hari pertama latihan, aku dan seluruh rekan pengurus, termasuk Johan, menyadari bahwa Sari rupanya tidak punya talenta dalam menyanyi. Johan sendiri tidak memastikan apa talenta Sari sebelumnya. Karena takut melukai perasaan Sari, Johan tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Sari. Pun kami sebagai rekan pelayanan tidak berupaya untuk mendorong dan menegur Johan supaya dia berkata jujur pada Sari. Kami tidak ingin dianggap mengambil alih tanggung jawab Johan.

Ibadah KATA pun berlangsung. Sari menyanyikan lagu pengantar saat teduh secara solo. Menyadari hal yang sama dengan para pengurus, jemaat yang harusnya mengambil sikap teduh jadi tidak kondusif. Sari pun menyadari respons jemaat, dia menjadi sangat sedih dan malu. Kejadian ini lalu membuat kami merasa sangat bersalah karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan menegur Johan.

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Atas dasar relasi yang baik, kita tidak siap dengan risiko atau dampak yang akan dihasilkan, baik sebagai orang yang menyatakan atau menerima kebenaran itu sendiri. Sebagai orang yang akan menyatakan kebenaran kita takut orang yang menerimanya akan terluka, tidak terima dan dapat merusak relasi kita dengannya. Sedangkan sebagai orang yang menerima, kita tidak siap untuk rendah hati menerima teguran atau kebenaran.

Salomo dalam Amsal 27:5-6 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Ayat ini mengajarkan kita untuk menyatakan kebenaran dan teguran secara nyata sebagai bentuk kasih. Kita diajarkan bahwa kebenaran ataupun teguran meskipun sakit dan tidak mengenakkan di awal apabila didasarkan dengan kasih dan maksud baik akan mendatangkan kebaikan bagi kita dan setiap orang yang mendengar dan menerimanya.

Salomo juga di dalam kitab Amsal menyatakan beberapa manfaat teguran. Teguran mendidik kita untuk tetap berada di jalan yang seharusnya (Amsal 6:23), membawa kita kepada kehidupan (Amsal 15:31), memperoleh akal budi (Amsal 15:32) dan mendatangkan hikmat (Amsal 29:15).

Mengasihi orang lain, berarti kita bersedia untuk terus mendorong dan membantu orang yang kita kasihi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dengan mengungkapkan kebenaran dan teguran yang membangun bagi mereka. Dengan teguran yang dilandaskan kasih, kita mengingatkan orang yang kita kasihi agar tetap berada atau berbalik kepada kebenaran. Kita juga dapat menghindarkan mereka dari kejatuhan ataupun kesalahan yang terlalu dalam. Serta membantu mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal yang sama juga berlaku dengan kita. Ketika kita menerima kebenaran dan teguran dari orang yang mengasihi kita, kita harus melihatnya sebagai bentuk kasih untuk kita dan kerinduan yang mendatangkan kebaikan buat kita. Kita harus merespons teguran dengan sikap terbuka dan merefleksikan diri hingga kita dapat melihat manfaat dan tujuan teguran tersebut sebagai sesuatu yang membangun.

Dalam Wahyu 3:19 dikatakan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”

Tuhan sendiri pun mengingatkan kita bahwa teguran adalah salah satu bentuk kasih. Justru ketika dalam kesalahan dan kejatuhan kita tidak ditegur atau menegur itu tanda bahwa kita tidak peduli dan dipedulikan. Pukulan dengan maksud baik akan membangun sedangkan pujian yang palsu akan menjatuhkan.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu.

Beberapa minggu ini, aku merasa gelisah dengan postingan temanku di media sosial. Aku merasa risih dengan konten yang dia unggah. Bukan aku saja yang merasa begitu, teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama. Tapi, tidak ada satu pun dari kami yang berani menegurnya.

Suatu malam, temanku itu meng-update status di media sosialnya yang menurutku kurang bijak. Dia mengumbar masalah yang sedang dia hadapi dengan pacarnya. Aku memutuskan untuk bertanya alasan mengapa ia sering mengunggah konten seperti itu. Sebagai sahabatnya, aku tidak ingin kalau karena postingannya itu, orang lain jadi salah persepsi terhadapnya.

Tapi, temanku malah berbeda pendapat denganku. Dia merasa tidak ada yang salah dengan semua postingannya. Ia justru berkata bahwa dengan aku menegurnya seperti itu, aku telah melukai hatinya. Dia tidak menerima teguranku dan sebaliknya malah jadi marah padaku.

Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Aku berdoa pada Tuhan, meminta ampun apabila tindakanku telah menyakiti hatinya—terlebih lagi jika melukai hati Tuhan. Aku berdoa agar Tuhan yang menyempurnakan teguran itu kepadanya, dan memulihkan hati kami berdua.

Di tengah rasa khawatirku itu, aku merasa sangat diteguhkan ketika Tuhan mengingatkanku pada Amsal 27:6 yang berkata:

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.”

Apa yang kulakukan terhadap temanku mungkin dimaknainya sebagai tindakan yang tidak menyenangkannya, tetapi sesungguhnya sebagai seorang teman, teguranku adalah untuk kebaikannya.

Dua hari kemudian, sesuatu yang tidak kuduga pun terjadi. Aku menerima pesan WhatsApp darinya.

“Novita, apa yang sudah pernah terjadi jangan sampai merusak relasi kita, ya.”

Pesan itu mungkin singkat, tapi, sungguh aku sangat senang ketika membaca pesan tersebut. Aku lalu kembali menegaskan padanya bahwa teguran yang kuberikan padanya adalah karena aku menganggapnya sebagai sahabatku. Aku tahu apa yang dia lakukan itu salah, dan sudah tugasku untuk memberitahunya.

Aku merasakan bagaimana Tuhan turut campur tangan dalam menyampaikan teguran itu kepada temanku. Tuhan juga yang menolongku meredakan ketegangan dalam hubunganku dengan dia. Setelah dua minggu berlalu, aku tidak lagi melihat temanku itu memposting hal-hal yang biasanya dia posting dahulu.

Lewat peristiwa ini, aku diingatkan bahwa kita tidak perlu takut untuk menegur orang lain ketika tindakan orang itu memang tidak baik. Kita hanya perlu sungguh-sungguh memohon pada Tuhan untuk memampukan kita menyampaikan teguran tersebut dengan cara, sikap, dan kata-kata yang tepat. Dengan begitu, tidak ada yang sedih ataupun tersakiti oleh teguran kita. Tuhan mampu menyempurnakan semua kekurangan dalam perbuatan baik yang hendak kita lakukan.

Selamat menegur sesama kita dengan penuh kasih. Jangan lupa, kita juga harus siap menerima teguran dari orang lain dengan penuh kasih pula. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Pelajaran dari Sebuah “Doa yang Menghentikan Hujan”

Suatu kali, temanku memposting pengalaman luar biasanya bersama dengan anak-anak rohaninya yang berdoa supaya hujan reda. Awal cerita, temanku merasa kasihan melihat anak-anak rohaninya yang tidak bisa pulang ke rumah karena hujan deras. Temanku lalu berdoa secara pribadi, tapi hujan tidak kunjung reda. Kemudian ia melihat hujan malah semakin deras, menggerakkannya untuk keluar ruangan dan berdoa kembali mengharap hujan reda. Saat ia selesai berdoa, hujan tidak reda dalam sekejap.

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku

Oleh Cana

“Oh hari ini sudah hari Senin dan aku harus masuk kerja lagi. Oh Tuhan, kapan hari Sabtu dan Minggu ya? Rasanya menyebalkan dan tidak semangat.”

Itulah sekelumit gambaran perasaanku setiap kali aku harus berangkat kerja di hari Senin. Aku baru bekerja di tempat yang baru selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang diterima di sini. Bagaimana tidak, di sini aku mendapatkan gaji yang cukup baik dan posisi yang kuharapkan, yaitu sebagai dosen. Dan, terlebih lagi adalah aku bisa bekerja satu kota dengan suamiku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi yang awalnya kudapatkan sebagai dosen ternyata hanyalah sebuah status yang tertera di name tag. Ada miskomunikasi saat proses perekrutan dulu. Pihak HRD kala itu menyampaikan padaku bahwa mereka membutuhkan dosen dan nantinya jika aku diterima, mereka juga memintaku untuk menolong bidang promosi di fakultas. Aku mengiyakan tawaran itu karena kupikir porsi pekerjaan utamaku adalah menjadi dosen. Namun, setelah aku bekerja di sana, rupanya bidang yang sangat mereka butuhkan adalah marketing, bukan dosen.

Para pimpinan pun menghampiriku satu per satu dan menjelaskan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat yang jadi latar belakang studiku kurang sesuai dengan Fakultas Kedokteran di mana aku berada. Dan, kalau aku tetap diizinkan mengajar, maka yang terjadi adalah beberapa dosen lain akan merasa tidak adil. Mereka mungkin akan keluar dan tidak mau mengajar lagi. Intinya, aku tidak bisa mengajar sebagai dosen dan mereka menyarankanku untuk mempertimbangkan ulang bidang marketing atau bagian lain yang mengurus administrasi.

Aku merasa jadi seseorang yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tertolak. Pertanyaan besar pun menggantung di benakku, “Lalu, aku bekerja di sini sebagai apa? Mengapa aku tidak layak mendapatkan posisi dosen di sini? Apakah aku tidak baik? Apakah aku bodoh? Apakah status lulusan S-2ku tidak ada artinya?”

Saat itu aku merasa stres dan ingin keluar, tapi aku sendiri membutuhkan pekerjaan. Jadi, aku coba bertahan. Namun, hari-hariku dipenuhi kebingungan, kekecewaan, dan rasa marah. Aku tidak punya jobdesc yang jelas dan karenanya aku juga tidak memiliki teman dekat. Aku sering menyendiri, diam, dan tidak berani bergaul. Bahkan, aku tidak berani memakai name tag dosen yang seharusnya kupakai setiap kerja. Aku selalu membaliknya sehingga orang tidak tahu aku bekerja di posisi apa.

Aku memendam semua perasaan ini, hingga akhirnya aku merasa tidak sanggup lagi. Aku menangis dan terus menangis di depan suamiku. Kala itu, karena aku merasa tidak dibutuhkan dan tidak berguna, aku berpikir bahwa solusi yang paling tepat adalah bunuh diri. Suamiku terkejut. Dia memelukku dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini. Dia berusaha menenangkanku.

Saat aku lebih tenang, suamiku lalu menunjukkan foto-foto tentang kebersamaan kami yang di dalamnya juga tertulis ayat-ayat Alkitab. Aku berhenti menangis. Foto-foto itu membuatku mengingat kembali dan tersadar akan perjalanan yang telah kami berdua lalui. Tuhan telah begitu baik, Dia menyertai kami berdua di dalam setiap pergumulan studi hingga hubungan yang kami jalani.

Satu teguran yang mengubahku

Beberapa hari kemudian, aku membaca cerita tentang perumpamaan anak yang hilang yang diambil dari Lukas 15:11-32. Dalam cerita itu, si anak bungsu pergi meninggalkan rumah dan menghabiskan semua uang yang diberikan oleh bapanya. Ketika uangnya habis, si bungsu hidup menderita. Hingga suatu ketika, dia teringat akan kehidupannya semula bersama sang bapa. Dia lalu memberanikan diri untuk pulang.

Cerita itu membuatku berpikir. Betapa si anak bungsu yang memiliki sikap buruk ini punya keberanian untuk menghadap bapanya. Dia bisa saja merasa takut dan bersalah hingga pergi semakin jauh. Tapi, dia berani datang kepada bapanya seburuk apapun kondisinya, semalu dan sehancur apapun perasannya. Kupikir, si bungsu berani melakukan itu karena dia yakin bahwa bapanya tidak akan menolaknya. Dan, pada akhirnya, sang bapa pun menerimanya dengan tangan terbuka.

Aku tertegur. Selama ini, aku takut datang kepada Bapa karena kupikir kondisiku terlalu buruk dan hatiku sangat hancur. Aku menyembunyikan segala pergumulan itu dalam hatiku dan mencari-cari jalan keluar sendiri. Padahal, seperti anak bungsu yang disambut oleh bapanya, Tuhan tentu akan menerimaku dengan tangan terbuka. Aku pun meminta ampun kepada Tuhan, juga kepada suamiku karena aku telah berpikir buruk, bahkan hingga ingin mengakhiri hidupku.

Sejak saat itu, aku memohon pertolongan Tuhan untukku melalui hari-hariku. Aku mungkin belum sepenuhnya pulih dari perasaan kecewaku, tetapi sekarang aku tahu aku harus berlari ke mana dan kepada Siapa. Tuhan adalah Bapa yang menerima setiap hati yang hancur. Tak peduli apapun kondisiku, Dia selalu menerimaku. Hari-hariku kemudian menjadi momen pembelajaranku bahwa yang terpenting adalah identitasku sebagai anak-Nya, yang dikasihi dan diterima-Nya.

Aku belajar untuk memandang pekerjaanku bukan sebagai tempatku mencari nafkah semata, tetapi sebagai tempat di mana aku berproses. Meskipun terasa pahit, sakit, dan rasanya tidak sesuai dengan keinginanku, namun aku mau belajar yakin bahwa Tuhan merancangkan kebaikan di balik segala hal yang kualami.

Hingga kini memang aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengajar, namun sekarang aku mulai dapat mengecap sedikit demi sedikit pengalaman baru yang kudapatkan dari bidang pekerjaan yang kutekuni. Aku berusaha melakukan setiap tugas yang diberikan oleh atasanku dengan baik. Aku percaya bahwa Tuhan mengetahui apa yang jadi keinginan hatiku. Pun Tuhan lebih tahu di mana tempat yang tepat untuk memprosesku, apapun jabatan yang diberikan kepadaku saat ini.

Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah,” Mazmur 51:19b.

Baca Juga:

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Tapi, mengapa aku dan mungkin juga kamu dapat terjebak di dalamnya?

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Aku adalah mahasiswi program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Tahun ini adalah semester terakhirku sebelum nantinya aku meraih gelar master. Setelah berjibaku dengan proses penelitianku, sekarang aku telah menyelesaikan analisis dan sedikit lagi tesisku dapat selesai.

Proses pengerjaan tesis ini berjalan lancar. Hingga suatu ketika, pada hari Jumat 9 November 2018 pukul 00:48, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Di laptopku, aku membuka dua dokumen yang berbeda. Satu adalah tesisku, dan satunya lagi adalah catatan tambahan. Saat itu aku bersiap untuk tidur, jadi aku save dokumen tersebut dengan mengklik Ctrl + S seperti biasa. Aku yakin bahwa proses penyimpanan dokumen itu tidak bermasalah. Aku lalu tidur dengan tenang karena aku merasa pencapaianku hari itu sudah maksimal.

Namun, ketenangan yang semalam kurasakan berubah menjadi kekhawatiran. Sekitar pukul 12:50, aku berniat melanjutkan kembali penulisan tesisku. Ketika aku mengklik dokumen yang semalam telah kusimpan, betapa kagetnya aku mendapati bahwa semua tulisan yang sudah kutulis hilang. Aku cermati detail dokumen tesisku, dari yang semula sebesar 3.328 KB ternyata sekarang menjadi 0 KB. Kucoba membuka satu dokumen lainnya yang berisi catatan tambahan, ternyata dokumen ini tidak bermasalah.

Aku gelisah. Aku coba berbagai cara supaya dokumen tesisku bisa dipulihkan. Aku menghubungi beberapa temanku yang kuanggap ahli, tapi mereka tidak bisa menolongku. Kata salah satu temanku, drive di laptopku eror, jadi saat aku mengklik save, dokumen tesisku tidak tersimpan dan hilang. Malangnya, momen eror itu terjadi saat aku mengklik “save” pada dokumen tesisku, bukan pada dokumen catatan tambahan.

Aku coba mengendalikan diri untuk tetap tenang. Kucoba usaha lain. Aku menghubungi salah satu staf dari layanan penyimpanan dokumen Dropbox yang biasa kugunakan. Setelah dicek pada database mereka, cadangan dokumen tesisku tidak ditemukan. Aku menangis dan berteriak pada Tuhan. “Kenapa semua ini terjadi ya Bapa? Ampuni aku kalau aku bersalah kepada-Mu.”

Setelah beberapa waktu bergumul untuk menenangkan diri, aku merasa lebih tenang. Hati kecilku berbisik, “Kamu masih punya cadangan tesismu yang tanggal 7 November, Vin. Bersyukurlah.” Aku sadar bahwa dokumen tesisku yang aku simpan tanggal 9 November tidak akan pernah kembali. Tiada jalan lain selain aku mengulang kembali penulisan tesisku. Prosesnya berat. Aku harus mengingat-ingat lagi tesis sebanyak 10 lembar dan menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Dari kehilangan, aku mendapatkan

Di tengah stres yang kurasakan, seorang sahabatku yang bernama Okta datang menghiburku. Dia lalu meminjamiku sebuah buku yang berjudul “Go and Do”. Salah satu bagian buku itu mengatakan bahwa iman haruslah dihidupi secara nyata. Aku merasa Tuhan seolah menyentilku dengan pernyataan itu. Aku lalu teringat ayat dari Yakobus 2:17 yang berbunyi: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Bagian lain dari buku ini juga menegurku, bahwa di dunia yang membutuhkan garam dan terang ini, aku perlu memiliki waktu untuk berdiam diri bersama Allah. Aku lalu menyadari bahwa belakangan ini aku sudah tidak pernah lagi memiliki waktu untuk berdiam dan berlutut kepada Tuhan. Aku hanya saat teduh sekadarnya, padahal biasanya aku selalu menikmati satu pujian dalam setiap saat teduhku. Ini semua terjadi karena selama ini tesisku berjalan baik. Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin menyelesaikan tesisku dengan cepat. Namun, tanpa kusadari aku pun jadi mengabaikan relasiku dengan Tuhan. Saat teduh yang seharusnya menjadi momen intimku dengan-Nya, menjadi sekadar rutinitas biasa yang kulakukan.

Ketika obsesiku untuk menyelesaikan tesisku lebih besar dibandingkan keberserahanku kepada Tuhan, di sanalah aku membiarkan watak lamaku yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan diriku. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang kemudian meliputi diriku. Namun, syukur kepada Tuhan, karena anugerah-Nya memampukanku untuk bertumbuh di tengah peristiwa buruk yang kualami.

Aku berkomitmen untuk membangun dan mendapatkan kembali relasi yang erat dengan Tuhan. Aku tidak hanya membaca firman Tuhan sambil lalu, tapi aku merenungkannya, menyanyikan satu buah pujian sebagai respons syukurku kepada-Nya, dan membagikan berkat yang kudapat hari itu kepada teman-temanku.

Aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah setia mendoakanku. Aku yakin aku bisa mengalami pemulihan ini juga semua karena dukungan doa. Kiranya seperti apa yang tertulis dalam renungan saat teduh Santapan Rohani di tanggal 12 November 2018, “Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan”, aku dapat mengimaninya dalam proses penyelesaian tesisku dan hidupku ke depannya.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Galatia 5:25.

Baca Juga:

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Aku tidak terlahir di keluarga Kristen. Ketika aku memutuskan untuk percaya pada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku sempat menolakku. Namun, kisah itu tidak berhenti di situ, Tuhan terus melanjutkan karya-Nya.