Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Sisi Lain Film Jesus Revolution

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta 

Bayangkanlah ini: pada suatu ibadah, ribuan orang tersentuh hatinya dan secara serentak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Mungkin momen ini akan jadi momen yang mengharukan, penuh semangat, dan memorable!

Pertobatan ribuan orang secara serentak pernah terjadi juga pada masa gereja perdana seperti tertulis dalam kitab Kisah Para Rasul. Namun, pertanyaan yang mungkin menggantung buat kita yang hidup di zaman sekarang: apakah peristiwa seperti ini akan dan bisa terulang lagi?

Kejadian semacam ini pernah terjadi pada awal 1970-an di California, Amerika Serikat dan inilah yang menjadi inspirasi dari film yang beberapa waktu lalu sempat hits di kalangan orang Kristen di Indonesia. Film “Jesus Revolution” menceritakan kisah nyata ini dengan baik. Alkisah sekelompok anak muda yang dikenal sebagai kaum Hippies mencari makna serta tujuan hidup, dan mereka menemukannya di dalam Yesus Kristus.

Hippies adalah budaya yang muncul di Amerika Serikat pada medio 1960-an. Mereka berpenampilan nyentrik. Umumnya pria dan wanita Hippie berambut panjang dan dibiarkan kusut. Penampilan ini hendak menunjukkan akan konsep kesederhanaan hidup. Mereka juga biasanya hidup nomaden dan tinggal di dalam mobil.

Singkat cerita, film “Jesus Revolution” menceritakan tentang gerakan yang menjangkau para pemuda Hippies. Tapi, sebagian umat di gereja merasa tidak nyaman terhadap kehadiran kaum Hippies yang datang ke rumah ibadah mereka. Tampaknya ini pula yang menjadi salah satu kekuatan film yang disutradarai oleh Jon Erwin dan Brent McCorkle itu. Duet sutradara mempertontonkan realitas yang ada dalam gereja waktu itu dalam menyikapi kebangunan rohani di antara kaum muda yang “dipandang sebelah mata.”

Meski fokus film ini pada kekuatan transformasi rohani secara masif di California, tetapi kedua sutradara tidak menyembunyikan karakter-karakter tertentu dalam jemaat yang tidak “welcome” atau tidak bisa menerima kehadiran saudara-saudari mereka yang baru dalam Kristus. Mereka yang merasa tertarik mengenal Yesus sebagai Tuhan dan nilai-nilai Kristiani justru “ditolak” oleh sebagian anggota jemaat yang sudah “mapan.” Tentu, sikap semacam ini tidak elok.

Favoritisme dalam Gereja

Yakobus pernah mengatakan, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (2:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut Kristus untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sayangnya, praktik “memandang muka” atau yang biasa disebut sebagai “favoritisme” tampak menjadi dosa yang dengan mudah merasuk ke dalam kehidupan kita sebagai umat Kristiani.

Favoritisme merupakan kecenderungan memperlakuan khusus atau keberpihakan kepada kelompok atau orang tertentu karena kekayaan atau status mereka, dan tidak melihat semua orang secara setara sebagai anak-anak Allah. Sepertinya realitas ini yang ingin ditunjukkan oleh duet sutradara film “Jesus Revolution” ketika sebagian umat “tidak suka” pada kehadiran kaum Hippies yang Tuhan kirim ke gereja mereka.

Tentu, praktik favoritisme tidak selaras dengan sabda Tuhan yang mengajak kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pada saat yang sama, favoritisme merupakan bentuk diskriminasi yang merusak citra umat Allah, yang adalah satu tubuh di dalam Kristus (1 Korintus 12:12). Ketika kita menunjukkan sikap favoritisme, kita tidak mencerminkan karakter Allah sebagai Tuhan adil dan menerima semua orang. Dalam film “Jesus Revolution,” konsekuensi dari sikap favoritisme menyebabkan diskriminasi di antara anak Tuhan. Namun, sang pendeta menunjukkan keberaniannya membela kaum Hippies yang “ditolak” sebagian umat, meski mereka ada yang sering menyumbang dana di gereja tersebut. 

Mengatasi Sikap Favoritisme

Dalam ancaman virus favoritisme yang bisa menginfeksi umat Kristiani, kita diajak menyadari kembali bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:26), dan berharga di mata-Nya (Yesaya 43:4). Kita diundang untuk memperlakukan semua orang dengan hormat dan kebaikan, tanpa memandang latar belakang atau penampilan mereka, tidak menilai orang berdasarkan faktor eksternal, seperti kekayaan atau status.

Hidup menggereja adalah kesempatan bagi kita untuk berusaha melihat orang lain dari sudut pandang Tuhan. Seperti lirik sebuah tembang, “B’rikanku hati s’perti hati-Mu yang penuh dengan belas kasihan.” Mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri dapat terwujud dalam sikap melayani dan terbuka pada orang lain tanpa diskriminasi.

“Jesus Revolution” adalah film yang kuat dan secara efektif menceritakan ulang gerakan transformasi secara masif yang pernah terjadi di California. Allah sanggup melawat banyak orang lewat kuasa Roh-Nya yang ajaib. Mari kita berdoa, agar pada masa sekarang ini Allah berkenan kembali melawat banyak orang. Kiranya Dia menggunakan kita untuk mewartakan Kabar Baik kepada insan-insan yang kehilangan arah dan tujuan. Mari kita doakan, agar semakin banyak orang dari segala bangsa mengalami persekutuan pribadi dengan Kristus, bertumbuh semakin menyerupai Dia, dan melayani di jemaat lokal yang merupakan anggota keluarga-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seratus Delapan Puluh Derajat

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Kak Rere!” Suara berat khas remaja tanggung itu menyapaku, begitu aku memasuki ruangan bercat putih itu. Dia tampak sangat antusias dan seperti sudah lama menungguku.

“Hei, Niko!” balasku sambil tersenyum lebar, dan berjalan mendekatinya. 

Selalu begitu. Niko ini memang tipe anak yang sangat antusias belajar, banyak bertanya dan penuh dengan rasa penasaran. Walaupun aku adalah guru les Matematikanya, tak jarang aku mendapat pertanyaan-pertanyaan dari seluruh bidang ilmu darinya. Dia memang tipe pemerhati yang suka berpikir akan banyak hal, dan aku hampir tidak pernah melihatnya malas belajar. Untuk anak remaja seusia dia aku cukup salut.

Pernah suatu ketika, aku izin terlambat buat mengajarnya hari itu. Begitu tiba di rumahnya, dia langsung mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Hari itu aku memang sedang ada jadwal pelayanan kunjungan ke panti asuhan, dan aku memang sering menceritakan soal kegiatan pelayananku padanya. Dan dia tampak tertarik. Lalu tiba-tiba saja dia menanyakan sesuatu yang cukup membuatku berpikir, 

“Kak, apa sih yang dimaksud dengan bertobat? Teman-teman di sekolah kalau berbuat salah sering bilang: Aku mau bertobat, aku menyesalbegitu, tapi dia tetap saja berbuat salah lagi,” katanya dengan wajah bingung.

Aku berpikir menjawabnya bukan karena tidak tahu menjelaskannya, tapi lebih ke berpikir bagaimana menjelaskannya dengan sederhana. Selain itu aku juga terkesan dengan pertanyaan itu. Jadi aku menghembuskan napas pelan, berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya.

“Bertobat itu… seperti berbalik arah. Berubah seratus delapan puluh derajat. Kamu tahu kan gimana sudut 180°?” tanyaku, dan dia langsung mengangguk. Tentu saja dia tahu. “Bertobat itu artinya berbalik dan meninggalkan dosa, Nik, kemudian taat kepada Tuhan Yesus saja,” sambungku, lalu menunggu tanggapannya.

“Maksudnya kita nggak berbuat dosa lagi, begitu Kak?”

“Bukan. Tapi, kita tidak hidup untuk dosa lagi dan kita berubah secara menyeluruh,” kataku dengan lambat dan santai. Berusaha membuatnya tidak begitu berpikir keras. 

“Misalnya nih kita bilang kita bertobat, tapi kita milih-milih bertobat dalam hal apa. Kalau di gereja, kita bertobat, di rumah bertobat, tapi di sekolah atau di tempat lain tidak. Itu bukan bertobat. Bertobat itu.. menyeluruh, bukan pilih-pilih gitu,” jelasku lagi, dan dia seperti biasa tampak memproses setiap kata yang kusampaikan.

“Memangnya bisa kita hidup tanpa melakukan dosa lagi dimanapun, Kak?” tanyanya lagi.

Aku tampak berpikir beberapa detik lalu menjawab, “Sebagai manusia sih, kita pasti akan berbuat dosa lagi, Nik. Soalnya kita bisa aja jatuh dan nggak taat sama Tuhan, kan? Tapi, kita tidak bermain-main lagi sama dosa dan harusnya kita akan merasa sedih jika melakukan dosa. Terus, ada tindakan di hati kita untuk tidak mengulanginya lagi.” 

Dia tampak mengangguk-angguk pelan.

Kemudian seperti baru teringat sesuatu, dia bertanya lagi, “Kemarin waktu aku browsing, ada kalimat: Bertobat itu artinya Lahir Baru, maksudnya gimana Kak?” 

Aku tersenyum dalam hati. Seketika teringat cerita Alkitab tentang Nikodemus yang menanyakan hal yang sama pada Yesus. Dan oh, nama mereka pun sama! Lalu aku mulai berpikir lagi apa yang harus kukatakan pada anak remaja yang sedang sangat penuh dengan rasa ingin tahu ini. Dalam hati aku sambil berdoa minta pimpinan Tuhan.

“Ehmm lahir baru itu, ketika kita menerima Yesus sebagai Juruselamat kita, Nik! Artinya kita percaya sepenuhnya sama Dia yang memberi kita keselamatan dan kita hanya mengandalkan Dia aja. Jadi kita nggak boleh mengandalkan diri kita sendiri lagi untuk hidup kita, atau untuk keselamatan kita,” jawabku dengan pelan tapi tegas.

Dia kembali mengangguk-angguk, semoga karena dia mengerti. Tapi untuk pelajar seperti dia, aku sudah cukup terkesan dengan keingintahuannya. 

“Kalau begitu aku mau bertobat, Kak. Aku mau percaya sepenuhnya sama Yesus.”

Aku menoleh dan menatap matanya yang menyiratkan tekad dan ketulusan. Aku terharu, bahkan orang dewasa sering sekali masih “mikir-mikir” untuk mengambil keputusan itu, tapi Niko, remaja ini dengan mantap mengatakannya. Aku tersenyum hangat, betapa Tuhan telah berbuat sesuatu

Aku bahkan hampir saja meneteskan airmata saat membimbingnya berdoa waktu itu.

“Kak, jadi gimana nih ngerjain soal Matematikanya?” Suara Niko menyadarkanku dari lamunan, aku tertawa kecil, buru-buru memperhatikan soal yang disodorkannya. Niko besok ada ulangan Matematika, tapi guru lesnya malah asyik melamun. Untung saja segera kembali ke dunia nyata, kalau tidak kayaknya besok nggak akan diminta datang lagi alias dipecat. Hehe..

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

“A Man Called Otto”, Film yang Mengajak Kita untuk Memperhatikan Sekitar Kita

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya
Sumber gambar: IMDB

A Man Called Otto adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor papan atas Tom Hanks. Film ini bercerita tentang seorang kakek bernama Otto yang merasa kehilangan warna dalam hidupnya setelah istrinya meninggal. Dia berubah menjadi seorang yang pemarah dan tertutup pada orang sekitarnya karena dia merasa tidak ada orang yang sebaik istrinya. Bergulat dengan kesepian dan rasa kosong, dia pun berniat mengakhiri hidup. Namun, takdir malah membawanya bertemu dengan tetangga baru yang cerewet dan peduli padanya. Melalui tetangga barunya itu, perlahan Otto kembali melihat warna dalam hidupnya.

Kesepian dan merasa hampa seperti yang dialami Otto, mungkin juga pernah kita alami. Ketika kita kehilangan seseorang, harta benda yang kita punya, kemampuan yang kita andalkan, atau hal-hal lain yang kita pegang erat akan membuat kita merasa kecewa dengan dunia. Rasanya seakan tak ada lagi yang bisa mengisi rasa kesepian dan kekosongan di hati kita.

Nilai-nilai dunia seringkali mengajar kita bahwa nilai diri dan kebahagiaan kita terletak pada sesuatu atau seseorang yang kita pegang erat. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Apa yang kita kagumi dan pegang erat, bisa saja mengecewakan, menyakiti, bahkan meninggalkan kita. Namun, satu hal yang aku sendiri telah merasakannya, bahwa yang kekal, kasih yang dapat mengisi kekosongan, yang tidak pernah mengecewakan, dan yang dapat mengusir kesepian hatiku adalah TUHAN. Mazmur 147:3 mengatakan, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka”, dan Mazmur 34:19 juga mengatakan, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Perasaan frustrasi yang dialami oleh Otto memang belum pernah aku rasakan, namun aku pernah merasakan kekecewaan, kekosongan, dan kesepian ketika aku memegang erat hal yang aku pikir bisa andalkan dan bukan mengandalkan Tuhan. Namun, ketika Tuhan menegur aku yang tidak mengandalkan Dia, aku menjadi sadar bahwa apa yang aku andalkan selama ini tidak benar. Setelah aku memutuskan untuk bertobat dan mengandalkan Dia, aku menemukan kepuasan di dalam-Nya. Perasaan negatif itu memang terkadang masih muncul, namun ketika aku berlari kembali kepada Tuhan, kepuasan di dalam Tuhan itu selalu dapat aku temukan dan dapat aku rasakan.

Salah satu di antara para tokoh Alkitab yang juga pernah mengalami perasaan ini adalah Ayub. Bayangkan betapa kecewanya Ayub melihat apa yang dia punya habis dengan cepat. Betapa kesepiannya dia tidak dihibur oleh istrinya dan teman-temannya. Dia tidak punya apa-apa lagi yang bisa diandalkannya, namun akhir kisah Ayub seperti yang kita tahu, dia tetap percaya kepada Tuhan dan tetap mengandalkan-Nya, hingga pada akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya.

Teman-teman, mungkin sekarang kita sama seperti Otto yang menutup diri dari dunia karena takut dikecewakan dan disakiti. Dalam kesempatan ini, aku mau mengajak kita untuk kembali datang dan mengandalkan Tuhan, Sang Kasih Sejati dan Penyembuh patah hati kita yang sesungguhnya dekat dengan kita (Mazmur 34:19). Mari kita perhatikan sekitar, siapa tahu tanpa kita sadari selama ini ada orang-orang yang benar-benar tulus mengasihi kita dan mengajak kita untuk melihat dan merasakan kasih Tuhan sehingga kita dapat dengan yakin menyerukan “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka dan TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Kemudian, tidak berhenti di titik ini, setelah kita sadar dan merasakan kasih-Nya yang begitu besar, aku mau mengajak kita untuk melakukan perintah-Nya yang tertulis dalam Yohanes 15:12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Seperti tetangga Otto, mari kita mengasihi dan memperhatikan orang-orang sekitar kita, terlebih untuk orang-orang seperti Otto yang rindu merasakan kasih sejati dari Tuhan yang sedang mencari hal yang dapat memberikan warna dalam hidupnya. Agar seseorang yang tadinya sudah menyerah terhadap dunia, dapat menemukan pengharapan baru di dalam Tuhan, sehingga ia dapat bergantung pada Sang Kasih Sejati yang tidak pernah mengecewakan.

Membongkar Ulang Makna Sukses

Oleh Jovita Hutanto

Bulan Januari buatku adalah bulan yang terasa intens. Teman-teman di sekitarku sudah pasang ancang-ancang membuat ini itu untuk capai target sepanjang tahun. Seram rasanya buatku.

Tapi, kurasa tak cuma teman-temanku. Banyak dari kita pun mulai memikirkan goals dan resolusi supaya hidup kita makin dengan dengan kesuksesan. Atau, pada ekstrem yang lain, ada pula orang yang memosisikan diri di kubu ‘bohwat’. Istilah ini sering digunakan oleh teman-teman etnis Tionghoa yang berarti keadaan ketika seseorang sudah bingung mau berbuat apa lagi.

Terlepas dari di kubu mana kita berada, jika bicara soal sukses kurasa semua orang ingin sukses. Itu mimpi semua orang. Tapi, sebelum kita bergerak mengejar sukses, izinkan aku mengkaji ulang definisi dan standar dari sebuah kesuksesan.

Apa sih arti sukses buat kamu? Apakah itu banyak uang? Jadi terkenal? Punya gelar pendidikan tinggi? Punya usaha? Bisa mengubah dunia? Apa pun yang jadi dambaan kita, setiap kita punya standar hidup sukses yang berbeda. Namun, apakah kita bisa yakin bahwa yang kita inginkan itu adalah sukses yang sesungguhnya? Untuk menemukan jawaban yang benar, kita harus kembali pada Alkitab dan melakukan sedikit riset mengenai definisi sukses dari point of view Alkitab, alias dari sudut pandang Allah sendiri.

Aku mengambil satu contoh dari tokoh yang kisahnya pasti familiar kita dengar. Tokoh ini bernama Yusuf. Dalam Perjanjian Lama, dia dikisahkan menderita kemalangan bertubi-tubi. Dari seorang anak kesayangan ayahnya, dia dibuang dan dijual oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Tetapi, menariknya, pada teks Kejadian 39:2, tertulis demikian: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Jika kita tilik ayat ini dari terjemahan bahasa Inggris versi ESV, tertulis: “The LORD was with Joseph, and he became a succesful man…” Terjemahan ESV secara gamblang menggunakan kata success.

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa kalimat yang digunakan bukanlah kalimat sebab-akibat. Bukan “sebab Tuhan menyertai Yusuf”, akibatnya “ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa penyertaan Tuhan akan selalu diikuti oleh keberhasilan Yusuf. Penggunaan kata “tetapi” menjadi kalimat penghubung yang mengkontraskan kalimat sebelum dan sesudahnya.

Isi ayat sebelumnya berkata, “Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ” (Kejadian 39:1). Penggunaan kata “tetapi” pada ayat selanjutnya memperkuat konsep penyertaan Tuhan yang sifatnya independen (atau mandiri), tidak bergantung pada malangnya latar belakang hidup Yusuf dan Yusuf pun tetap berhasil dalam setiap pekerjaannya.

Ada hal lain lagi yang menarik buatku dari ayat ini, yaitu terdapat kata “selalu”. Tidak seperti manusia yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, dari kisah Yusuf kita yakin bahwa penyertaan Tuhanlah yang selalu mendatangkan kesuksesan. Inilah kunci keberhasilan yang paling jitu.

Nah, apa sih hidup yang disertai Tuhan?

Kata “serta” mengandung unsur partisipasi aktif dari pihak yang menyertai, yaitu “Tuhan”. Artinya, sebagai umat Kristen sudah sepatutnya kita melibatkan Dia dalam setiap langkah kita, bahkan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Tuhan. Cukup abstrak ya konsep melibatkan Tuhan ini kalau kita pikir-pikir. Tapi, yuk kita kembali lagi ke cerita Yusuf.

Di ayat-ayat berikutnya, saat Yusuf digodai untuk meniduri istri Potifar, Yusuf menolak. Yusuf mengatakan, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9).

Coba perhatikan. Yusuf tidak berkata bahwa dosa tersebut akan menjadi pertanggungjawaban dia terhadap Potifar, tetapi pada Allah. Yusuf menunjukkan jelas bahwa hidupnya tertuju pada Tuhan, meskipun konteksnya dia berada di Mesir dan di istana Potifar

Sampai di sini, kita bisa simpulkan bahwa hidup di dalam penyertaan Tuhan adalah hidup yang menjadikan Tuhan Yesus tuan atas setiap aspek hidup kita.

Lantas, apa sih indikator sukses itu?

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa kesuksesan Yusuf merupakan status dan harta yang diberikan Potifar kepadanya. Aku kira ini merupakan asumsi yang salah besar. Jangan kita salah kaprahkan ya bonus dari Tuhan dengan arti kesuksesan yang Tuhan maksud.

Coba kita baca baik-baik, pada Kejadian 39:2, yang tertulis adalah “berhasil dalam pekerjaannya”, bukan berhasil mendapatkan uang atau harta. “Berhasil dalam pekerjaannya” dalam pengertian lain adalah Yusuf telah menggenapi kehendak dan panggilan-Nya. Bahkan, Alkitab menyatakan bahwa Yusuf tetap berhasil saat dia dipenjarakan Potifar tanpa status dan harta (Kejadian 39:20-23). Dalam situasi apa pun kita ditempatkan, jika kita hidup dalam penyertaan Tuhan, maka Dia akan memberikan kebijaksanaan-Nya kepada kita agar kita dapat mensukses pekerjaan yang telah Dia titipkan. Status dan harta yang Yusuf terima pada akhirnya hanyalah bonus semata yang Tuhan berikan karena dia telah berhasil menggenapi pekerjaan Tuhan.

Jadi, cukuplah jelas di sini bahwa standar hidup sukses itu adalah pemenuhan target Tuhan, bukan target kita sendiri.

Hidup di dalam penyertaan Tuhan itu merupakan relasi dua arah, antara kita dengan Tuhan, dan titik fokusnya kepada Tuhan. Kalau bahasa yang lebih mendaratnya itu, berjalan dan berjuang bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Tapi, di sinilah pr beratnya buat kita. Tuhan tidak terlihat wujudnya, maka bentuk perjalan dan perjuangan bersama Tuhan itu memerlukan skill “melek jiwa”, atau bahasa kerennya “mindfulness”.

Penyertaan Tuhan itu senantiasa, tetapi seringkali kasusnya bukan Tuhan yang tidak mau menyertai, tetapi kitanya yang tidak mau disertai atau kerap kali kita malah melupakan Tuhan di dalam keseharian kita. Kalau mau dipikir-pikir, seberapa banyak dari kita yang melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang kita ambil? Seberapa sering kita menggumulkan firman-Nya? Memang terdengar klise dan mungkin sudah banyak dari kita yang rajin berdoa dan baca Alkitab. Tapi, jujur aja nih. Apakah kita memaknai aktivitas tersebut? Susah loh untuk membentuk sebuah habit yang penuh arti. Jujur, aku pun sering lupa kalau sudah doa makan atau belum saking aku sudah terbiasa dan kurang memaknai artinya lagi. Bahkan, kurasa kita ini sering loh seperti zombie, yang gak sadar hari-hari lewat begitu saja. (Hayoo, ngaku yang sering nanya hari ini hari apa, gak taunya sudah Jumat lagi aja.) Mungkin jika aku berimajinasi Tuhan itu seperti anak gaul, mungkin Dia akan berkata, “sadar woy, sadar.”

Tentunya skill mindfullness alias melek jiwa ini adalah proses yang panjang dan sulit karena dibutuhkan disiplin, konsistensi, dan anugerah Tuhan. Disiplin berdoa dan bergumul. Konsisten bertanya apakah aku melakukan ini untuk diriku atau Tuhanku; dan tidak lupa memohon anugerah Tuhan supaya kita sering-sering dibuat melek dan yang paling penting supaya kita bisa diatur karena kita sendiri adalah orang-orang keras kepala.

Tips jitu yang agak guyon dariku ialah kita bisa setting wallpaper HP kita diganti jadi kalimat yang mengingatkan kita sama Tuhan. Semisal kita tulis, “Inget Tuhan!” Setiap pagi kebanyakan kita mengawali aktivitas dengan…. Buka HP! Betul sekali! Jadi, pas pagi-pagi kita membuka HP dan lihat tulisan “inget Tuhan”, cepat-cepatlah kita berdoa. Kalau lagi kesel dan buka HP, lihat tulisan “inget Tuhan”, eits gak boleh marah-marah. Mesti sabar. Mau tidur, main HP dong pastinya, lihat lagi tulisan “inget Tuhan”, lalu coba refleksikan hari ini kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan.”

Capek tapi kan ya diingetin terus? Buatku ya capek sih. Tapi, kalau ingat inilah jurus jitu hidup sukses, harusnya kita nggak akan capek lagi dong ya hehehe.

Goals-goals yang kita bilang kesuksesan itu bukanlah tuntutan karena Tuhan sebenarnya tidak pernah menuntut kita untuk mencapai impian-impian tersebut. Kalau kita bilang itu tuntutan masyarakat, yuk kita sama-sama saling mengingatkan bahwa yang pegang kunci surga sudah pasti bukan teman atau keluarga kita hehe. Jangan salah pahamkan tuntutan yang kita buat sendiri dengan tuntutan yang memang dari Tuhan karena keduanya bagaikan langit dan bumi.

Ekspektasi sukses kita seringkali sifatnya fana dan tidak sesuai dengan maunya Tuhan. Ingat, Dia adalah Tuhan loh! Kalau Dia ingin berikan, maka sekejap maka saja kita akan mendapatkannya. Apa yang Tuhan utamakan adalah proses dan perjalanan keseharian kita bersama Dia.

Resolusiku di tahun ini sesuai dengan pesan yang sudah kusampaikan kepada kita semua, yaitu lebih setia, melek jiwa, dan berjalan bersama Tuhan. Bukan berarti kita hidup tanpa goals ya. Maksudku, kita tidak perlu menjadikan goals kita sebagai standar patokan arti kesuksesan.

Fokus kita hidup seharusnya tertuju pada proses kita berjalan dan berjuang dengan Tuhan Yesus setiap harinya, supaya bisa berhasil memenuhi panggilan-Nya. Kalau memang ternyata semua goals tercapai, aku menganggap semuanya itu bonus dari Tuhan.

Buat tim ‘bohwat’, gak ada salahnya kok dengan ide “just surviving”, yang penting ditambah jadi “just surviving with God.”

Tahun 2023 kita bisa fokuskan resolusi kita pada satu yang pokok: setia berjalan bersama Tuhan semaksimal mungkin.

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Banyak Cara untuk Mengembangkan Diri, tapi Perlu Hikmat untuk Menguji

Oleh Mary, Surabaya

Seiring dengan berkembangnya informasi di media sosial, isu soal self-care dan self-help menjadi bahasan yang cukup umum. Aku sebagai generasi milenial paham bahwa dua hal ini memang kubutuhkan, sebab di tengah tingkat stres dan tekanan hidup yang meningkat, aku harus tetap survive, terbuka pada hal-hal baru, sembari tetap mengusahakan untuk mencapai versi terbaik dari diriku. Namun, siapa sangka, aku hampir saja terkena bumerang oleh niat yang terkesan baik ini.

Self-help sendiri adalah sebuah konsep tentang tindakan individu untuk menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, sedangkan self-care bicara tentang kegiatan untuk menjaga kesehatan fisik, emosional, dan mental.

Ketertarikanku untuk mempelajari kedua hal ini bermula dari suatu buku tentang self-help yang ditulis oleh Marie Kondo, seorang wanita yang terkenal karena aktivitasnya beberes rumah. Tapi, Marie sebenarnya bukan sekadar bicara teknik beres-beres supaya rumah jadi nyaman. Lebih dari itu, dia mengajak pembacanya untuk mencapai kebahagiaan yang bisa diraih dengan beres-beres. Dibalut dengan desain sampul yang menarik, gaya penulisan yang enak dibaca, dan saran praktis yang berguna untuk diikuti, sungguh aku dibuat kagum oleh penulis hanya dalam beberapa lembar.

Melalui beberesnya, Marie mengajarkan hal-hal yang sebenarnya baik dan menarik. Contohnya, kita terbiasa dengan konsep “lebih banyak lebih baik”, tapi Marie malah menunjukkan cara hidup yang sebaliknya. Lalu, aktivitas decluttering menolong kita untuk menyederhanakan cara hidup yang akan bermanfaat baik buat kita. Membaca semua kisah dan tips dari Marie, rasanya baik-baik saja buatku. Beberapa idenya juga sempat kupraktikkan dalam hidupku. Namun, sampai pada suatu titik aku tidak merasa damai sejahtera untuk melanjutkan membaca buku ini.

Semakin kuteliti, buku dan konsep yang ditawarkan oleh Marie agaknya tidak selaras dengan iman Kristen yang kupegang. Becca Elhrich dalam blog Christian Minimalism memaparkan beberapa hal yang menyimpang dari minimalisme ala Marie. Ajakan dan seni beberes rumah yang ditunjukkannya adalah baik, dan tidak ada salahnya untuk mempraktikkan beres-beres. Tetapi, jika kita teliti lebih dalam, Marie melakukannya dilandasi kepercayaan Shinto. Dalam caranya beberes, Marie menyapa ruangan, benda-benda, dan berterima kasih pada benda-benda mati, juga mengetuk buku untuk “membangunkannya”. Salah satu metode lain yang ditunjukkan Marie adalah dia menyentuh sebuah benda untuk mengetahui apakah benda itu memunculkan kegembiraan atau tidak. Marie mengajak para pembaca dan penontonnya untuk ikut mengikuti metode-metode ini.

Konsep decluttering untuk memudahkan hidup pada dasarnya baik, tetapi cara-cara yang Marie tunjukkan jika kita tiru tidaklah selaras dengan Alkitab. Kita diajar untuk takut dan tunduk hanya pada Allah (Keluaran 20:3), bukan pada ilah-ilah lain. Dan, dalam mengambil keputusan pun kita tidak diajar untuk mengambilnya berdasarkan perasaan kita, tetapi dengan kebijaksanaan, hikmat, yang Tuhan karuniakan pada kita, juga melalui pertolongan Roh Kudus (Amsal 1:7; Yohanes 14:26). Dan yang lebih penting lagi, segala permasalahan hidup kita tidak akan hilang dengan sekejap hanya dengan melakukan decluttering, membuang lalu merapikan barang dan simsalabim kita mengalami perubahan besar. Sukacita kita terletak bukan pada benda-benda yang kita miliki dan pakai. Sukacita kita terletak pada Yesus (Filipi 4:4), sebuah sukacita yang teguh yang tak ditentukan oleh keadaan.

Aku yakin Roh Kudus saat itu menegurku untuk tidak menelan mentah-mentah semua saran informasi. 1 Tesalonika 5 : 21 itu muncul di benakku, ”Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”. Untuk menguji, adalah untuk selalu peka dan memiliki batasan terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan firman Tuhan, walau awalnya nampak tidak berbahaya dan netral. Kita perlu menyaring setiap input yang masuk, baik itu pemahaman, saran, motivasi, walau bersumber dari sosok terpercaya dan orang terdekat sekalipun, serta mengujinya apakah bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan, yakni Alkitab sendiri sebagai pedoman hidup. Di sinilah aku mensyukuri peranan Roh Kudus yang selalu membimbing kita setiap orang percaya dalam tiap pertimbangan.

Hal lain yang kutemukan saat dibentuk Tuhan dalam perjalananku mengembangkan diri adalah melalui tren afirmasi dan manifestasi positif yang sering dituang oleh seorang teman di Instagram story-nya sehari-hari. Aku ikut senang mengetahui temanku itu berusaha untuk lebih percaya diri sehabis melalui masa sulit, tapi satu hal yang mengganjal pikiranku adalah pernyataannya yang kerap berpusat pada ke“AKU”an: “Aku bisa…; Aku pasti…; Aku akan…” pada setiap niatan yang ingin dicapainya. Dan ketika hal tersebut tidak/belum tercapai, yang terjadi malah membuatnya menyalahkan dan membenci diri sendiri karena tidak cukup kompeten. Padahal, sebagai manusia, kita adalah sosok rapuh yang tidak bisa bersandar pada kekuatan sendiri dan tanpa Tuhan, ataupun berhak menggeser posisi Tuhan yang berdaulat mutlak atas jalan hidup kita. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:5-8 dengan tegas mengatakan “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN…”

Kawan, sejatinya tak ada salah untuk terus mengembangkan diri menjadi pribadi lebih baik dari kemarin. Tetapi, hendaknya kita minta pertolongan Tuhan untuk memberikan kita hikmat dan mawas diri selalu dalam berjalan sesuai kebenaran yang Alkitab ajarkan, dan mempercayakan perjalanan ini hanya kepada Tuhan untuk membentuk pribadi setiap kita menjadi suatu bejana yang indah bagi kemuliaan-Nya.

“Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yesaya 64:8).

Manisnya Kisah Hidup Maudy Ayunda: Jangan Lupa Kalau Hidupmu Juga Manis

Oleh Agustinus Ryanto

Warganet gempar. Bukan karena ada bencana atau peristiwa politik akbar, melainkan karena sosok selebriti tanah air, Maudy Ayunda, tahu-tahu menikah. Maudy secara tersirat sering dianggap sebagai role model kehidupan yang diidam-idamkan oleh banyak orang: berpenampilan menarik, wajah rupawan, seorang intelek, berbakat seni, dan yang teranyar dia menikahi seorang oppa.

Maudy yang lahir pada tahun 1994 memulai karier awalnya di dunia hiburan lewat film Untuk Rena pada tahun 2005. Setelahnya, Maudy tetap aktif membintangi sejumlah film sembari meneruskan studinya sampai lulus S-2 dari Universitas Stanford pada 2021. Di tahun yang sama, Maudy juga masuk ke dalam nominasi 30 orang di Asia yang berpengaruh di bawah usia 30 versi Forbes Asia.

Berita pernikahan Maudy yang bermula dari unggahan fotonya di Instagram dengan cepat menyulut skill investigasi netizen, terkhusus di Twitter. Maudy Ayunda segera menjadi trending topic dengan perhatian utama pada sosok siapa sebenarnya suami Maudy, bagaimana sepak terjangnya, agamanya, dan hal-hal personal lainnya. Tapi, tak sedikit pula yang mengungkapkan perbandingan: “Duh, enak banget ya jadi Maudy…”

Imaji kita akan sosok idaman nan ideal

Membanding-bandingkan diri adalah respons alamiah dari manusia. Setiap kita, secara sadar ataupun tidak, sering membanding-bandingkan diri. Meski komparasi pada level tertentu bisa mengubah cara pandang kita menjadi toxic, tetapi pada sisi lain perbandingan bisa mendorong kita berkompetisi atau meniru seseorang dengan tujuan meningkatkan kualitas diri.

Namun, kadang kita tak tahu atau tak sadar akan di titik mana perbandingan itu harus berhenti kita lakukan. Ketika membandingkan diri dengan seseorang, ada banyak sekali faktor yang menjadikan perbandingan kita tidak sepadan atau apple-to-apple. Sebagai contoh, jika kamu adalah seorang mahasiswa dengan uang saku kurang dari 1,5 juta setiap bulan, kuliah di kampus swasta biasa, menurut data dari Asian Development Bank mungkin kamu termasuk ke dalam kelompok penduduk kelas menengah yang secara posisi ada di tengah-tengah: tidak sekaya para pemilik modal, tetapi berkecukupan walau mungkin juga terasa banyak kurangnya. Imaji untuk membeli barang-barang mewah, studi di kampus beken luar negeri, sukses gemilang, dan hidup nyaman seperti para influencer, mungkin bisa juga terwujud dalam hidupmu, tetapi perlu effort yang besar (terlepas faktor hoki) yang belum tentu hasilnya akan sama dengan apa yang diidamkan.

Kita cenderung mengidolakan sosok yang menurut kita lebih daripada kita. Entah dalam hal karier, status sosial-ekonomi, atau bahkan kerohanian. Kecenderungan itu lantas membuat kita samar terhadap kelemahan yang juga dimiliki oleh sang idaman, yang jika kita tidak bijak bukannya membuat kita jadi terpacu semangatnya, malah jadi minder.

Membandingkan diri kita akan sosok lain yang menurut kita lebih ideal dan manis hidupnya bukanlah sebuah kesalahan, tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa sosok yang kita bandingkan pun adalah manusia berdosa, sama seperti kita. Setiap manusia di bawah kolong langit diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kejadian 1:26-27), namun kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan setiap orang kehilangan kemuliaan Allah dan menanggung banyak kelemahan. Hidup kita yang sekilas tidak seberuntung orang lain bukan berarti hidup kita penuh kepahitan. Kebenaran ini dapat menolong kita untuk melihat sosok idaman kita dari perspektif yang benar dan tidak mengagungkan mereka secara berlebihan.

Sukses kita adalah menggenapi panggilan-Nya

Lantas, jika hidup kita saat ini terasa biasa-biasa saja, apakah bisa menggapai yang namanya sukses?

Jawabannya: tergantung sukses seperti apa yang kita idamkan. Jika kita adalah seorang karyawan swasta dengan jabatan biasa tapi berambisi ingin jadi seperti influencer yang suka membikin es krim aneka rasa, yang kekayaannya sepertinya tak berseri, maka jawabannya: bisa-bisa saja! Tergantung usaha kita. Namun, ada pertanyaan yang lebih krusial daripada siapa dan seperti apa sukses yang ingin kita raih, yaitu: untuk apa segala kesuksesan itu nantinya jika berhasil kita raih?

Dalam Alkitab, kita mengenal kisah Musa yang diutus Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Ketika panggilan mulia ini datang, Musa menolak. “Ah, Tuhan. Aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10). Allah menjawab Musa dengan memberi pengertian bahwa Dialah yang berkuasa dalam melakukan perubahan. “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?” (ayat 11).

Musa merespons Allah dengan berkelit lagi, “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus” (ayat 12). Allah murka terhadapnya dan memberikan penegasan bahwa Dia “akan menyertai lidahmu [Musa] dan lidahnya dan mengajarkan kepada kamu apa yang harus kamu lakukan…” (ayat 13). Yang menarik dari kisah Musa adalah meskipun dia memang memiliki kekurangan dan minder, itu tidak menghalangi Allah dalam mengutusnya. Segala keterbatasan Musa bukanlah kesalahan Allah, tetapi dalam kelemahan Musa kuasa Allah pun dinyatakan. Kelemahan seseorang tidak menjadi penghalang bagi tergenapinya pekerjaan Tuhan. Nama Musa tetap dikenal sampai sekarang sebagai tokoh besar yang memimpin Israel keluar dari tanah Mesir.

Sebagai orang Kristen, panggilan kita adalah menerangi dunia dan memberi rasa di dalamnya, sebab kita adalah garam dan terang (Matius 5:16). Panggilan ini bisa kita wujudkan tanpa perlu menunggu saldo di rekening menjadi sekian digit, mendapatkan pasangan hidup yang rupawan dan hartawan, atau menunggu pengikut kita di Instagram jadi sekian ribu. Allah mungkin tidak berbicara secara langsung seperti Dia berkomunikasi dengan Musa, tetapi melalui Alkitab yang adalah firman-Nya, setiap kita dipanggil untuk menggenapi rencana-Nya dari aspek yang paling sederhana dalam hidup (Kolose 3:23). Dalam upaya dan panggilan tersebut, ada janji yang Tuhan pasti nyatakan bahwa kita dipelihara-Nya (Mazmur 23:1, Matius 6:34).

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Oleh Vika Vernanda

Hampir setiap platform media sosial mempunyai kolom komentar. Baik yang fungsinya untuk mengirim pesan, menuliskan cerita, atau mengunggah gambar, kolom komentar memberi kesempatan bagi pengguna media sosial untuk beropini terhadap suatu unggahan.

Aku mengamati komentar-komentar di media sosial. Pada unggahan seseorang terkait momen bahagia, banyak yang berkomentar “selamat ya”, pada unggahan sharing Firman Tuhan, banyak yang berkomentar “terima kasih atas sharingnya”, “sangat memberkati”, “God bless you”. Tidak jarang juga ada yang membuat komentar berisi promosi di setiap unggahan yang viral.

Nah, selain ketiga jenis komentar itu, ada satu lagi yang cukup menarik perhatianku, yaitu hate comment.

Berbeda dari komentar pada umumnya yang bernada positif, hate comment bertujuan menjatuhkan seseorang. Si pengunggah hate comment ingin agar penerima komentar maupun orang-orang yang membacanya jadi tersulut marah atau sedih.

Aku sering merasa kesal dan marah ketika melihat hate comment, baik pada unggahanku sendiri atau orang lain. Dalam hati aku mengumpat, “kok bodoh banget sih”. Mereka yang melontarkan komentar-komentar itu seolah tidak berpikir dengan benar sehingga dengan sadarnya menulis komentar-komentar jahat. Langkah berikutnya yang kulakukan adalah melakukan blokir pada akun sosial medianya, atau yang menurutku paling ekstrim adalah mengkonfrontasi langsung lewat DM. Intinya, aku marah, dan tidak ingin berinteraksi lagi dengan akun sosial media tersebut.

Namun hal tersebut bertentangan dengan apa yang kupelajari dari kisah Yunus.

Yunus adalah seorang nabi yang melarikan diri dari perintah Allah untuk memberitakan firman Tuhan ke Niniwe. Yunus lalu ditelan dalam perut ikan, setelah tiga hari dikeluarkan, dan melakukan perintah Allah. Masyarakat Niniwe menyadari kesalahannya dan mulai bertobat, namun Yunus malah marah.

Kitab Yunus pasal 4 menuliskan kemarahan Yunus; bahkan Yunus meminta Allah mencabut nyawanya (4:3). Pada kondisi Yunus yang seperti itu,

Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk menaunginya, agar ia terhibur. Yunus sangat bersukacita karenanya. Tetapi keesokan pagi ketika fajar menyingsing, Tuhan membuat seekor ulat menggerek pohon jarak itu sehingga layu. Sesudah matahari terbit, Allah membuat angin timur yang panas terik bertiup, sehingga menyakiti kepala Yunus, lalu ia rebah dan berharap supaya mati.
(Yunus 4 : 6-8 diparafrasekan)

Tuhan menjawab dengan

Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?
(Yunus 4 : 10 – 11)

Pada bagian firman itu, Allah bicara tentang orang Niniwe yang kafir dan kejam itu sebagai “manusia yang tak tahu membedakan tangan kanan dan kiri”.

Timothy Keller dalam bukunya The Prodigal Prophet menuliskan bahwa ini merupakan cara melihat Niniwe yang sangat murah hati! Pernyataan Allah itu merupakan bahasa kiasan yang berarti mereka [orang-orang Niniwe] buta secara rohani, telah tersesat, dan tidak tahu sumber masalah mereka atau apa yang harus diperbuat.

Dalam kondisi ini, bukannya menghukum mereka, Allah menunjukkan simpati dan sikap memahami yang luar biasa.

Media menjadi tempat banyak orang berekspresi secara bebas. Di antara “setiap orang” ini, terdapat juga orang-orang yang tersesat, tidak memiliki tuntunan untuk membedakan benar dan salah. Dalam benak “setiap orang” ini mungkin memang tidak terpikirkan dampak dari hate comment yang mereka sampaikan.

Pada kisah Yunus, Allah menunjukkan sikap simpati dan sikap memahami terhadap orang Niniwe. Bukannya marah karena hujatan mereka kepada-Nya, Ia malah menegur dengan belas kasih yang besar. Allah juga menunjukkan sikap yang sama pada Yunus; bukannya pergi atau memblokir relasinya dengan Yunus atau orang Niniwe, Ia malah hadir merengkuh mereka.

Aku tahu, hate comment seringkali memicu amarah dan bahkan menyakiti. Meski sulit, tapi mari kita belajar merengkuh mereka. Belajar seperti Allah dalam kisah ini, menyadari bahwa mereka tersesat dan tidak memiliki tuntunan.

Mari ambil waktu untuk berdoa. Berdoa meminta Allah menolong kita untuk mengampuni perbuatan mereka, serta juga secara pribadi mendoakan mereka agar mereka menyadari perbuatan tidak terpuji yang mereka lakukan dan bersedia untuk berubah.

Sulit memang. Tapi, yuk berjuang meneladani kasih Allah kepada orang yang sulit kita kasihi.

Baca Juga:

Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan

Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya.