“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Kalau kita bertanya ke beberapa orang Kristen “apa sih pelayanan?”, aku yakin kita akan mendapat jawaban yang beragam.

Jawaban yang paling umum adalah “sesuatu yang dilakukan buat Tuhan”. Kalau kita gali jawaban itu lebih jauh, kita akan menemukan bahwa seringkali yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam nuansa Kristen dan tidak dibayar (bukan berarti ini benar lho..). Ini artinya super luas!

Tetapi, kadang aku bertanya betulkah semua yang disebut “pelayanan” itu benar-benar pelayanan?

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Aku berikan beberapa contoh.

Contoh 1:
Sebuah gereja membentuk suatu tim yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelayanan di kota lain. Tim itu menerima laporan dari mereka yang melayani di kota itu, lalu memberi masukan, kritikan, bahkan mengambil keputusan. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya mengerti pelayanan di kota itu. Mereka juga bukan orang yang memiliki konsep teologis dan strategis yang kuat untuk itu. Seluruh anggota tim merasa sedang “melayani”. Tetapi, bagi orang-orang yang berada di garis depan pelayanan di kota itu, apa yang dilakukan tim itu sama sekali tidak menolong, malah sebaliknya menghambat. Maka, betulkah anggota tim itu sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 2:
Seorang ibu yang suaranya kurang enak didengar ingin “melayani” dengan menyanyi solo di kebaktian. Orang-orang berkata, “mau pelayanan kok dilarang?” Tetapi, kalau kebaktian adalah waktu di mana gereja mengajak semua yang hadir menyembah Tuhan dengan lebih baik, apakah dengan menyanyi solo dia membuat jemaat menyembah Tuhan dengan lebih sungguh? Maka, betulkah dia sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 3:
Sebuah kelompok musik tanjidor ingin “melayani” dengan mengiringi pujian di dalam kebaktian. Tetapi, ketika mereka mengiringi pujian, jemaat sulit untuk menyanyi dengan baik. Jemaat sulit berkonsentrasi menyembah Tuhan dengan diiringi orkestra Betawi itu. Tetapi, seluruh anggota kelompok musik itu merasa mereka sudah melayani Tuhan dengan talenta mereka. Betulkah mereka sedang mengerjakan pelayanan?

Aku bisa memberikan banyak contoh lain. Tetapi, kukira contoh-contoh di atas cukup untuk menjelaskan maksudku.

Bisakah kegiatan-kegiatan di atas disebut pelayanan? Karena aku tidak ingin menghakimi, anggaplah kegiatan-kegiatan di atas sebagai “pelayanan” yang kurang pas disebut pelayanan.

Di mana sebetulnya kesalahan “pelayanan” dalam contoh-contoh yang kusebutkan di atas? Pada contoh 1, kesalahannya mungkin adalah pengaturan struktur organisasi. Pada contoh 2, kesalahannya adalah talenta yang tidak cocok. Pada contoh 3, kesalahannya adalah tidak sesuai dengan kebutuhan.

Tetapi, kesamaannya adalah apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan. Mereka mungkin tulus, betul-betul mengerjakannya untuk Tuhan. Mereka mungkin juga memberi yang terbaik yang mereka bisa. Tetapi, apa yang mereka lakukan tidak efektif.

Aku tidak bermaksud mengatakan pelayanan selalu harus menghasilkan sesuatu yang jelas, kelihatan, dan terukur. Tidak. Banyak hal yang kita lakukan dalam kerajaan Tuhan sifatnya menanam dan tidak langsung terlihat hasilnya. Maka, kalau kita menanam dan tidak melihat hasilnya sampai puluhan tahun sekalipun, tidak masalah! (Asalkan motivasi dan caranya benar, benihnya benar, dan kita yakin Tuhan mau kita melakukan itu). Tetapi pertanyaannya, betulkah kita menanam? Jangan-jangan yang kita lakukan justru sedang menghambat, atau lebih parah lagi, merusak. Pelayanan tidak harus efisien (tidak memboroskan waktu, usaha, dan uang), tetapi harus efektif (mencapai hasil yang diinginkan, sekalipun lama sekali)!

Maka, jangan asalkan tidak dibayar dan dalam nuansa Kristen, lalu kita berkata, “Aku ini kan pelayanan!” Coba tanyakan kepada diri sendiri: “Betulkah yang aku lakukan ini menghasilkan kebaikan bagi kerajaan Tuhan? Dengan cara bagaimana?”

Pertanyaan lebih jauh adalah: “Apakah ini adalah yang terbaik yang bisa kulakukan untuk kerajaan Tuhan? Atau, aku bisa melakukan yang lain, yang lebih efektif, yang lebih berguna untuk kerajaan Tuhan, yang tidak aku lakukan karena ngotot dengan yang ini?”

Aku tahu tulisan ini menyederhanakan banyak hal.Kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Tapi, aku berharap kiranya tulisan ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam mengerjakan pelayanan.

Baca Juga:

Membaca Alkitab di Zaman yang Sibuk

Membaca Alkitab seringkali tidak semenarik menjelajah Instagram atau melihat-lihat flash sale. Kesibukan digital telah menepikan kerinduan untuk mencari Tuhan dan firman-Nya.

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. Chairani Manasye
    Chairani Manasye says:

    Saya cukup setuju dengan yg dijabarkan penulis. Pernah suatu ketika saya mendengar penjelasan mengenai Pelayanan. Yg harus kita utamakan/pikirankan sebelum menjawab “Panggilan” pelayanan adalah bagaimana dampak pelayanan pelayanan itu sendiri. Apakah kita memberitakan Kerajaan Allah melalui pelayanan yang kita lakukan? Atau malah menghambat dan jadi batu sandungan bagi jiwa-jiwa untuk mengerti/mendengar/merasakan Kerajaan Allah. Dari pergumulan dalam doa sebelum menjawab panggilan melayani itu, kita bisa memutuskan dan memikirkan kembali bagaimana dampak pelayanan kita dan bagaimana langkah selanjutnya. Itu pula gunanya kita melaksanakan evaluasi setelah pelayanan. Pelayanan juga bertujuan hanya untuk memberitakan Kerajaan Allah bukan untuk kesombongan diri/pujian, oleh karena itu kita juga perlu mengoreksi kembali diri kita. Yang mana yang lebih berdampak hasil dari pelayanan kita. Dan saat ada beberapa tempat dimana kita diterima melayani dan tidak memberatkan kita, sebaiknya kita pilih dimana kita lebih dibutuhkan, karna disitu mungkin kita dapat meberitakan Kerajaan Allah lebih baik.

    Saat sulit/penat, mungkin kita bisa mengingat bagaimana “Tuhan memanggil” kita untuk melayani dan meminta Tuhan menyegarkan kita kembali.
    Tuhan memberkati kita 😍

  2. Quixiang
    Quixiang says:

    Sama gw juga pernag mengalaminya sedari masih di Sekolah Minggu, remaja dan pemuda. Karena saya difabel Tunarungu dari sejak lahir, saya ga dianggap bisa melayani di depan banyak orang. Bahkan karena dianggap komunikasi susah. Diberi kesempatan untuk kepanitiaan jarang, apalagi kepengurusan yang kulakukan cuma sekali. Pernah banget merasa kecewa saat direndahkan sama pengerja gerejaku sendiri. Tapi, Tuhan tahu apa yang menjadi keinginanku untuk melayani bukan hanya sekadar mencari berkat melainkan memuliakan Tuhan. Walaupun mereka ada terkadang salah paham ttg kebutuhan / keinginanku melayani, menjadi seorang pemimpin Kristen Tunarungu yang baik bagaimana dan seperti apa di depan teman Dengar dan teman difabel lainnya. Semoga Tuhan membuka jalan untuk orang” gereja agar bisa menerima teman” difabel Tunarungu melayani di gereja, bantu sbg kepanitiaan dan kepengurusan. Harapan saya agar kesetaraan thdp disabilitas tetep dipertahankan bukan diruntuhkan begitu saja.

    Semoga melalui artikel yang telah saya baca bisa menjadi pengingat bagi banyak orang ya. Saya memohon doa dari temen” yang membaca artikel dan komentar dari saya bisa membuka mata lebar untuk turun tangan membantu difabel Tunarungu terjun ke pelayanan bukan sekadar menjadi jemaat.. amin. Tuhan Yesus memberkati

  3. Fandy
    Fandy says:

    Menarik dengan contoh no. 2 karena pernah saya alami juga di gereja saya persis seperti itu, dan reaksi jemaar beragam, ada yg menggerutu dan mengeluh karena suara ibu tersebut tapi ada juga yang bersyukur (termasuk saya) merasa ditegur bahwa ibu tersebut tidak malu dan dengan tulus Bernyanyi terlepas dari suaranya yang pas-pasan, seharusnya kita pun bisa melihat apa yg menjadi talenta kita dan tidak malu untuk memuji Tuhan.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *