Posts

Melayani yang Terkecil

Rabu, 24 April 2019

Melayani yang Terkecil

Baca: Lukas 14:15-23

14:15 Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang.

14:17 Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap.

14:18 Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan.

14:19 Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan.

14:20 Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.

14:21 Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh.

14:22 Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, tetapi sekalipun demikian masih ada tempat.

14:23 Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh.

Apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah. —1 Korintus 1:28

Melayani yang Terkecil

Sebuah video menunjukkan seorang laki-laki berlutut di tepi jalan raya yang ramai saat sedang terjadi kebakaran hutan yang hebat. Ia tampak bertepuk tangan dan memanggil-manggil dengan nada membujuk. Apakah yang dinantikannya? Seekor anjing? Sesaat kemudian seekor kelinci muncul. Laki-laki tersebut meraup kelinci yang ketakutan itu lalu berlari menuju tempat aman.

Bagaimana tindakan penyelamatan yang sepele seperti itu bisa menjadi berita besar? Karena belas kasihan yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak berdaya sungguh menyentuh hati kita. Dibutuhkan kebesaran hati untuk memberi tempat bagi makhluk yang terkecil.

Yesus berkata bahwa Kerajaan Allah itu seperti seorang tuan yang mengadakan perjamuan dan menyiapkan tempat bagi siapa saja yang mau datang. Tidak hanya pembesar dan berpengaruh, tetapi juga “orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh” (Luk. 14:21). Saya bersyukur Allah mencari mereka yang lemah dan sepertinya tak berarti, sebab jika tidak, saya tidak akan pernah diselamatkan. Paulus berkata, “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, . . . supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:27-29).

Alangkah luar biasanya kebesaran hati Allah hingga Dia mau menyelamatkan orang kecil seperti saya! Oleh karena itu, saya perlu bertanya, seberapa besar hati saya sudah bertumbuh? Saya hanya perlu melihat sejauh mana saya telah melayani mereka yang dipandang kurang berarti oleh masyarakat, bukan bagaimana saya berusaha menyenangkan mereka yang “terpandang”. —Mike Wittmer

WAWASAN

Alkitab menggunakan gambaran perjamuan atau pesta untuk melambangkan tawaran keselamatan Allah bagi dunia ini. Yesaya menyatakan bahwa “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan” (25:6). Lukas menggunakan kiasan seseorang yang mengundang banyak tamu ke “perjamuan besar” (14:16-17). Matius mengumpamakannya dengan “perjamuan kawin” anak raja yang berlangsung satu minggu penuh (22:2). Yohanes berbicara mengenai sebuah “perjamuan kawin Anak Domba” (Wahyu 19:9), di mana umat percaya dari segala bangsa berkumpul untuk merayakan keselamatan kekal Allah. Mereka akan datang “dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub” (Matius 8:11). “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah” (Lukas 14:15).—K.T. Sim

Orang-orang seperti apa yang sulit Anda hargai? Bagaimana cara Allah menolong Anda untuk mengubah sikap Anda tersebut?

Tuhan, tolonglah kami, pelayan-pelayan-Mu, menghargai orang lain seperti yang Kau lakukan, terlepas dari siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 19–20; Lukas 18:1-23

Handlettering oleh Agnes Paulina

Berkat Itu Pasti Datang

Senin, 25 Maret 2019

Berkat Itu Pasti Datang

Baca: Galatia 6:7-10

6:7 Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.

6:8 Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.

6:9 Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

6:10 Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. —Galatia 6:9

Daily Quotes ODB

Suatu hari, saya berjalan-jalan dengan seorang teman wanita yang membawa serta cucu-cucunya. Sambil mendorong kereta bayi, ia berkata kalau jalan paginya kali itu sia-sia—karena alat pelacak di pergelangan tangannya tidak menghitung hanya karena ia tidak mengayunkan lengan. Saya mengingatkan bahwa kegiatan pagi itu tidak akan sia-sia karena masih berguna bagi kesehatan tubuhnya. “Memang,” ia tertawa. “Tapi aku benar-benar ingin mendapat bintang emas dari alat pelacakku!”

Saya mengerti perasaannya! Mengerjakan sesuatu tanpa langsung mendapatkan hasilnya tentu terasa mengecewakan. Namun, suatu hasil tidak selalu langsung didapat atau terlihat.

Ketika itu terjadi, sering kali kita merasa bahwa hal-hal baik yang kita lakukan, seperti menolong teman atau bersikap baik kepada orang asing, ternyata tidak berguna. Paulus menjelaskan kepada jemaat di Galatia bahwa “apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7). Namun, jangan sampai kita “jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai” (ay.9). Kita berbuat baik bukan untuk memperoleh keselamatan, dan Alkitab tidak memperinci apakah upah itu kita tuai sekarang atau nanti di surga, tetapi kita dapat meyakini bahwa berkat pasti akan kita tuai.

Berbuat baik itu sulit, terutama ketika kita tidak melihat atau mengetahui apa yang akan kita tuai. Namun, seperti teman saya yang tetap memperoleh manfaat fisik dari berjalan kaki bersama cucu, kita patut terus berbuat baik karena berkat itu pasti datang! —Julie Schwab

Apakah kamu kecewa? Mintalah agar Tuhan menolongmu tetap setia menunaikan panggilanmu. Hal baik apa yang bisa kamu lakukan untuk orang lain hari ini?

Upah dan berkat kita tidak selalu langsung didapat atau terlihat.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 19-21; Lukas 2:25-52

Persembahan yang Hidup

Kamis, 21 Februari 2019

Persembahan yang Hidup

Baca: Roma 12:1-8

12:1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

12:3 Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.

12:4 Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,

12:5 demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.

12:6 Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.

12:7 Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar;

12:8 jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

Demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup. —Roma 12:1

Persembahan yang Hidup

Bibi buyut saya pernah memiliki pekerjaan yang bagus dalam bidang periklanan dan kerap bepergian antara kota Chicago dan New York. Namun, ia memilih untuk melepaskan karier itu demi kasihnya pada orangtuanya. Mereka tinggal di Minnesota dan perlu dirawat. Kedua saudaranya telah meninggal dengan tragis pada usia muda dan bibi buyut saya adalah satu-satunya anak yang masih hidup. Baginya, merawat orangtua merupakan perwujudan imannya.

Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma menasihatkan orang Kristen untuk menjadi “persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm. 12:1). Ia berharap mereka akan menerapkan kasih Kristus yang rela berkorban kepada satu sama lain. Ia juga meminta mereka untuk tidak menganggap diri lebih tinggi dari yang seharusnya (ay.3). Ketika mereka mengalami perselisihan dan perpecahan, Paulus mengingatkan mereka untuk mengesampingkan keangkuhan mereka, sebab “kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; . . . kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (ay.5). Paulus rindu agar mereka saling menunjukkan kasih yang rela berkorban.

Setiap hari, kita mendapat kesempatan untuk melayani orang lain. Misalnya, kita dapat mempersilakan orang lain mendahului kita di jalur antrean, atau memberi diri merawat orang sakit, seperti yang dilakukan bibi buyut saya. Kita juga bisa berbagi pengalaman, saran, dan nasihat kepada orang lain. Kita menghormati Allah dengan mempersembahkan diri kita sebagai korban yang hidup. —Amy Boucher Pye

Tuhan Yesus Kristus, Engkau telah merendahkan diri dan mengorbankan nyawa-Mu agar aku dapat hidup. Kiranya aku takkan pernah melupakan anugerah dan kasih yang paling berharga tersebut.

Kita menyenangkan Allah dengan melayani orang lain demi nama-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 1-3; Markus 3

Ke Mana Tujuanmu?

Minggu, 20 Januari 2019

Ke Mana Tujuanmu?

Baca: Mazmur 121

121:1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?

121:2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

121:3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

121:4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

121:5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

121:6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

121:7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

121:8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari Tuhan. —Mazmur 121:1-2

Ke Mana Tujuanmu?

Apa yang menentukan arah hidupmu? Suatu kali, saya mendengar jawabannya di tempat yang tak terduga, yaitu tempat kursus mengendarai motor. Saya dan sejumlah teman ingin mengendarai motor, jadi kami pun mendaftar kursus di sana. Salah satu materinya membahas tentang memusatkan perhatian.

Instruktur kami berkata, ”Sewaktu berkendara, kamu pasti akan menemui halangan yang tidak terduga di jalan. Kalau kamu memusatkan perhatian pada hal tersebut, kamu justru akan menabraknya. Namun, bila kamu mengalihkan fokus dan tetap memandang ke arah yang dituju, kamu akan dapat menghindarinya.” Ia menambahkan, “Ke mana kamu memandang, itulah arah yang kamu tuju.”

Prinsip sederhana nan bijak itu juga berlaku dalam kehidupan rohani. Saat mata kita terpaku pada rintangan—berfokus pada masalah atau pergumulan—hampir pasti kehidupan kita hanya berputar-putar di sana.

Namun, Alkitab menasihatkan kita untuk menatap jauh melampaui masalah dan memandang kepada Pribadi yang sanggup menolong kita menghadapinya. Dalam Mazmur 121:1 tertulis, “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” Jawabannya, “Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. . . . Tuhan akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay.2,8).

Kadang, rintangan yang kita hadapi tampak tak mungkin teratasi. Namun, Allah mengundang kita datang kepada-Nya agar kita ditolong untuk mampu memandang melampaui masalah yang ada dan tidak membiarkannya mendominasi pandangan kita. —Adam Holz

Bapa, tolong aku untuk tidak terpaku pada masalah, tetapi memandang-Mu kapan pun ada rintangan yang menakutkan dalam perjalananku mengikut Engkau.

Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. Mazmur 124:8

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 49-50; Matius 13:31-58

Ikuti Sang Pemimpin

Kamis, 20 Desember 2018

Ikuti Sang Pemimpin

Baca: Lukas 9:21-24

9:21 Lalu Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun.

9:22 Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”

9:23 Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.

9:24 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.

 

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. —Lukas 9:23

Ikuti Sang Pemimpin

Langit di atas rumah kami menderu dengan desingan tiga pesawat tempur yang membentuk formasi sedemikian dekat satu sama lain sehingga terlihat menyatu. Saya dan suami pun berdecak kagum. Kami tinggal di dekat pangkalan Angkatan Udara sehingga pemandangan itu tak lagi asing bagi kami.

Namun, setiap kali melihat pesawat-pesawat jet itu melintas, saya selalu bertanya-tanya: Bagaimana bisa mereka terbang begitu dekat tanpa kehilangan kendali? Ternyata, satu alasan yang jelas adalah kerendahan hati. Karena yakin bahwa pilot yang berperan sebagai pemimpin regu akan terbang persis dalam kecepatan dan lintasan yang seharusnya, para pilot pendamping di sisi kiri dan kanannya tidak akan mengambil arah yang berbeda atau mempertanyakan jalan yang ditunjukkan sang pimpinan. Sebaliknya, mereka mengikuti formasi yang ada dengan persis. Dengan demikian, mereka akan menjadi regu yang lebih kuat.

Demikian pula para pengikut Kristus. Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (luk. 9:23).

Jalan Yesus adalah penyangkalan diri dan penderitaan yang tak mudah diikuti. Namun, agar menjadi murid yang bertumbuh, kita harus mengesampingkan nafsu mementingkan diri sendiri dan rela memikul tanggung jawab rohani hari demi hari dalam mengikut Yesus—contohnya dengan mendahulukan kepentingan orang lain.

Betapa indahnya berjalan dalam kerendahan hati bersama Allah. Dengan mengikuti pimpinan-Nya dan melekat kepada-Nya, kita akan terlihat menyatu dengan Kristus, sehingga yang tampak bukan lagi kita, melainkan Dia. —Patricia Raybon

Tuhan, bawalah kami dekat pada-Mu. Penuhi kami dengan Roh-Mu yang membawa kasih, sukacita, dan damai sejahtera. Mampukan kami menjadi terang yang bersinar di dunia ini.

Hidup kita ibarat jendela—melaluinya, orang lain dapat melihat Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Mikha 1-3; Wahyu 11

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Serve With The Right Heart?
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Aku sangat sibuk, berpindah dari satu rapat ke rapat lainnya, berusaha menyelesaikan setumpuk tugas yang kumiliki. Dari luar, aku terlihat seperti orang yang sangat suci, tapi di dalam—dan di mata Tuhan—aku sesungguhnya berada di tempat yang paling jauh dari kesucian.

Aku takut menghadapi akhir pekan karena aku tahu kalau di sanalah aku harus menghadapi “serangan-serangan” berupa rapat, latihan, dan tugas. Aku menyeret badanku yang letih untuk datang ke rapat-rapat itu, dan menanti-nantikan kapan rapat itu selesai. Di dalam rapat-rapat itu, aku berdoa, tapi aku tidak mengerti dan mengimani apa yang kukatakan pada Tuhan.

Aku juga jadi orang yang tidak sabaran, dan kehilangan kasih dalam tindakan dan perkataanku. Ketika melihat orang lain, yang kulihat bukanlah bagaimana usaha mereka untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan, aku malah melihat kesalahan-kesalahan mereka. Hidupku terasa menyedihkan dan aku hidup di dalam dosa.

Perlahan tapi pasti, aku menyadari bahwa aku semakin menjauh dari Tuhan. Aku hanya membaca sekilas ayat-ayat Alkitab yang tertera di dalam renungan saat teduhku, tanpa berusaha untuk meresapi apa makna ayat-ayat itu buatku. Aku merasa malu untuk menghampiri Tuhan dalam kondisiku yang penuh dosa. Untuk menutupi rasa bersalahku, aku berkilah kalau aku tidak perlu lagi meluangkan waktu bersaat teduh bersama Tuhan, karena sudah berjam-jam waktuku kugunakan untuk pelayanan. Pada akhirnya, aku berhenti bersaat teduh sama sekali.

Kupikir, aku berada pada kondisi seperti ini karena aku terlalu banyak mengambil pelayanan, maka aku memutuskan untuk mengambil jeda istirahat sejenak dari semua komitmen pelayananku.

Sejujurnya, niatku untuk berhenti sejenak adalah supaya aku bisa beristirahat dan berhenti berurusan dengan orang-orang yang membuatku merasakan kepahitan. Tapi, Tuhan dengan lembut menggunakan waktu itu untuk kebaikanku. Dia bekerja di dalam hatiku. Selama waktu itu, aku menyadari bahwa selain menanyakan pertanyaan: “Apakah oke untuk berkata tidak pada pelayanan?” pertanyaan lain yang dapat kutanyakan adalah: “Bagaimana caranya agar aku bisa melayani dengan sikap hati yang benar?

Inilah empat poin yang membantuku mengarahkan kembali fokusku:

1. Ketahui batasan-batasanmu

Di dalam sebagian besar waktu-waktuku menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, aku merasakan sukacita dalam pelayanan. Tuhan selalu memberiku anugerah untuk melihat bahwa talenta apapun yang kupunya adalah milik-Nya. Bagiku, hari Minggu adalah hari terbaik dalam satu minggu. Aku merasa sangat gembira untuk berada di gereja setiap hari Minggu. Aku menikmati pelayananku untuk Tuhan, dan aku merasakan kehadiran-Nya bersamaku seiring aku melayani umat-Nya.

Tetapi, semua itu berubah ketika aku mengambil lebih banyak pelayanan. Aku harap aku memiliki hikmat untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk berkata tidak. Ketika orang-orang menemuiku dan mengajakku bergabung dalam upaya pelayanan mereka, aku menganggukkan kepalaku untuk menunjukkan seolah aku adalah orang Kristen yang “baik”. Padahal, aku tahu kalau jadwalku sudah penuh. Inilah yang kemudian mencuri sukacitaku dan membuatku semakin sulit menikmati pelayananku.

Menurutku, sukacita yang hilang itu merupakan peringatan bagi kita untuk kembali mengevaluasi dan mengarahkan kehidupan kita. Berbeda dengan rasa senang yang merupakan perasaan sementara yang bergantung pada keadaan, sukacita adalah rasa syukur dan nikmat yang Tuhan berikan, yang dapat kita rasakan bahkan dalam keadaan yang tidak menyenangkan sekalipun. Ketika kita memiliki sukacita, kita tetap dapat menikmati pelayanan meskipun itu membuat kita merasa lelah. Merasakan sukacita dalam pelayanan adalah berkat Tuhan bagi kita.

Sebelum kita setuju untuk menambah bidang pelayanan kita, adalah baik apabila kita memeriksa jadwal dan menguji kembali komitmen kita atas pelayanan-pelayanan yang sudah kita ikuti sebelumnya. Aku menyadari bahwa menjawab “ya” pada setiap ajakan pelayanan tidak hanya membahayakan efektivitasku pada komitmen pelayanan yang sedang kuikuti, tapi juga relasi pribadiku dengan Tuhan. Hal ini kelak hanya akan jadi pengorbanan yang melelahkan.

Tuhan jauh lebih menyukai hati yang penuh dengan kerelaan dan sukacita daripada kegiatan pelayanan yang didasari perasaan kewajiban semata. Jika dengan menambah tanggung jawabku di gereja bisa mengikis sukacita dan kehangatan relasiku dengan Tuhan, bisa jadi semua pelayananku jadi percuma.

2. Ketahuilah bahwa Tuhan memberi kita waktu istirahat

Aku pernah berpikir bahwa jika aku menyibukkan diriku dengan pelayanan, maka Tuhan akan lebih senang padaku. Maka, dengan asumsi tersebut, aku tidak pernah menolak setiap tawaran pelayanan yang diberikan kepadaku.

Tapi, ketika aku mengambil waktu untuk beristirahat dari pelayanan dan meluangkan lebih banyak waktuku dengan Tuhan, aku belajar bahwa beristirahat adalah hal yang sangat Alkitabiah. Nyatanya, Tuhan sendiri beristirahat pada hari Sabat setelah menciptakan alam semesta (Kejadian 2:2). Dengan melakukan hal itu, Tuhan memberi kita contoh yang sempurna untuk kita ikuti.

Kita beristirahat—secara jasmani dan rohani—setelah seharian bekerja. Aku diingatkan oleh Mazmur 127:1-2 bahwa “percuma” bekerja dengan “susah payah” dari pagi-pagi sampai jauh malam, karena Tuhan memberi anak-anak yang dikasihi-Nya pada waktu mereka beristirahat. Ayat-ayat ini tidak menuntun kita untuk berhenti bekerja, tetapi mengingatkan kita untuk memiliki sikap yang bergantung dan berserah pada Tuhan ketika kita bekerja.

Pada suatu malam, aku merenungkan kembali waktu-waktu yang dulu pernah kulalui dengan kerepotan karena tugas-tugas pelayananku, memastikan semuanya dikerjakan dengan sempurna, dan sekarang aku sangat sedih setelah menyadari bahwa fokusku sedang berada di tempat yang salah. Tentu tidak ada yang salah dengan mengejar hasil yang terbaik. Masalahnya muncul ketika pengejaran akan kesempurnaan ini adalah untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi obsesi yang tidak sehat, yang tentunya tidak menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi pekerja-pekerja yang sempurna, Dia memanggil kita untuk menjadi anak-anak-Nya yang menikmati kehadiran-Nya selagi kita melayani.

3. Ketahui alasan mengapa kamu melayani

Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa itu membuatmu terlihat suci atau lebih baik, sebaiknya jangan. Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa terhormat bahwa seseorang menawarimu kesempatan ini, sebaiknya jangan. Ironisnya, hal-hal tersebut adalah alasan utamaku yang membuatku berulang kali mengambil komitmen pelayanan baru.

Tentu alasan-alasan ini ditutupi oleh alasan-alasan klise pada umumnya yang terdengar Kristen, seperti untuk memuliakan Allah dengan talentaku, atau menggunakan waktuku dengan lebih bijak untuk Tuhan. Tapi, dengan motivasi tersembunyi yang salah dalam diriku, sulit untuk terus berjuang dalam pelayanan ketika aku merasa kelelahan dan hasil-hasil pelayananku mengecewakanku. Tentu, pujian dan perhatian dari orang-orang di gereja, dan dorongan tambahan dari “reputasi Kristen”ku membuatku merasa baik. Tapi, pada akhirnya, hal-hal itu tidak memberiku sukacita yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan.

Motivasi seperti keinginan untuk menggunakan talenta kita buat Tuhan, atau untuk melayani bersama komunitas orang percaya, adalah niatan baik yang bisa kita miliki. Tapi, adalah penting buat kita sungguh-sungguh memeriksa kembali apa yang menjadi motivasi utama kita ketika melayani. Jika niatan kita masih didasari oleh dosa, akan lebih bijak apabila kita menunggu dan memohon Tuhan untuk menyingkirkan setiap pikiran kita yang egois dan menggantinya dengan kerinduan akan diri-Nya. Ketika kita benar-benar didorong dengan tujuan melayani yang berasal dari Tuhan, kita akan melayani-Nya dengan sukacita dan kerelaan yang sejati.

4. Ketahui Siapa yang kamu layani

Meskipun dari luar aku terlihat sangat suci, aku tahu bahwa aku adalah orang yang munafik. Aku menyamarkan niat untuk melayani diri sendiri seolah-olah aku ini sedang melayani Tuhan. Aku melayani hatiku yang menuntut pujian dan perhatian dari orang-orang di sekitarku.

Dalam waktu istirahat yang kuambil, aku menyadari—pertama kalinya dalam 18 tahun selama aku berada di gerejaku—bahwa ada sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang setia, yang datang lebih pagi setiap hari Minggu untuk merebus air dalam panci besar untuk menyediakan kopi bagi jemaat. Orang-orang jarang berterima kasih pada mereka, dan mereka selalu “tidak terlihat”. Meski begitu, mereka melakukan pelayanan ini dengan setia dan tidak mengeluh.

Pengalaman itu membuatku bertanya, siapakah yang menjadi penontonku ketika aku pertama kali ingin bermain gitar dalam pelayanan? Jika sungguh-sungguh hanya Tuhan yang menjadi satu-satunya penontonku, apakah aku akan puas dan bersukacita jika aku bermain di belakang, di balik sebuah tirai penutup, tidak pernah dikenal atau bahkan menerima ucapan terima kasih dari jemaat? Apakah aku benar-benar memainkan gitar itu hanya untuk Tuhan?

Kita tidak memungkiri bahwa ada pelayanan-pelayanan yang lebih terlihat jika dibandingkan dengan pelayanan lainnya. Sebagai anak-anak-Nya yang melayani, kita mudah terperangkap dalam apresiasi dan pengakuan manusia. Kita melupakan Pribadi yang selalu memperhatikan kita setiap saat. Tetapi, pada kenyataannya, hati kita tidak akan pernah dipuaskan oleh pujian dari manusia. Kita butuh Tuhan sendiri yang berkenan pada kita agar kita bisa benar-benar menikmati melayani-Nya.

Aku mengambil waktu istirahat dari pelayananku selama enam bulan dan belajar untuk menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya lagi. Selama masa itu, Tuhan menyadarkanku dari niatan-niatan egoisku, hatiku yang mengeras, dan kurangnya kasihku kepada saudara-saudara seiman.

Teruntuk kalian yang sedang mempertimbangkan melayani untuk pertama kalinya, maupun mempertimbangkan untuk menerima pelayanan baru, aku sungguh-sungguh berdoa agar kalian tidak mengambil pelayanan ini untuk memuaskan diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini akan menuntun pada kesengsaraan, kepahitan, dan kepenatan yang serius—kenyataan pahit yang pernah kurasakan.

Tuhan tidak cuma melihat apa yang kita layani, Dia juga melihat hati kita ketika kita melayani-Nya.

Baca Juga:

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Di gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin gereja gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia kalau di dalamnya ada persaingan dan permusuhan?

Berbuat Semampu Kita

Jumat, 9 November 2018

Berbuat Semampu Kita

Baca: Filipi 2:1-11

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,

2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. —Filipi 2:5

Berbuat Semampu Kita

Meski hanya bisa berbaring di tempat tidur, Morrie Boogaart yang berusia 92 tahun tetap bekerja merajut topi untuk para tunawisma di Michigan. Kabarnya Boogaart berhasil membuat lebih dari 8.000 topi dalam waktu 15 tahun. Alih-alih memikirkan masalah kesehatan dan keterbatasannya, Boogaart berbuat semampunya untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas dirinya sendiri. Ia berkata bahwa pekerjaan itu membuatnya senang dan memberinya tujuan hidup. Ia berkata, “Saya akan terus melakukannya sampai saya pulang ke rumah Bapa”—dan Allah memanggilnya pulang pada Februari 2018. Meski sebagian besar penerima topi buatannya tidak tahu kisah hidup Boogaart atau pengorbanan yang ia berikan untuk merajut setiap topi, ketekunan kasihnya dalam perbuatan yang sederhana itu kini menginspirasi banyak orang di seluruh dunia.

Kita juga bisa mengesampingkan pergumulan kita, mengutamakan orang lain, dan meneladani Juruselamat kita yang penuh belas kasihan, Yesus Kristus (Flp. 2:1-5). Allah dalam daging—Raja atas segala raja—telah “mengambil rupa seorang hamba” dalam segala kerendahan hati (ay.6-7). Dengan memberikan nyawa-Nya—sebagai pengorbanan terbesar—Dia menggantikan tempat kita di kayu salib (ay.8). Yesus telah memberikan segalanya untuk kita . . . semuanya demi kemuliaan Allah Bapa (ay.9-11).

Sebagai orang percaya, kita mempunyai hak istimewa untuk menunjukkan kasih dan perhatian kepada orang lain melalui perbuatan baik kita. Sekalipun kita merasa tidak banyak hal yang bisa kita berikan, kita tetap bisa mengambil sikap sebagai hamba. Kita dapat aktif mencari kesempatan untuk membawa pengaruh dalam hidup orang lain dengan berbuat semampu kita dalam melayani mereka. —Xochitl Dixon

Kita dapat meneladani kasih Kristus dengan berbuat semampu kita dalam pelayanan kepada orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 46-47; Ibrani 6

Kebaikan yang Tak Terduga

Sabtu, 27 Oktober 2018

Kebaikan yang Tak Terduga

Baca: Efesus 2:1-10

2:1 Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.

2:2 Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.

2:3 Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.

2:4 Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita,

2:5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan—

2:6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga,

2:7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.

2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,

2:9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik. —Efesus 2:10

Kebaikan yang Tak Terduga

Teman saya sedang antre untuk membayar belanjaannya ketika pria di depannya berbalik dan memberinya kupon potongan harga sebesar £10 (sekitar Rp190.000). Karena kurang tidur, teman saya itu tiba-tiba menangis karena kebaikan pria itu; lalu mulai menertawakan dirinya sendiri karena tangisan tadi. Kebaikan yang tak terduga itu sungguh menyentuh hatinya dan memberinya pengharapan di tengah kelelahan yang dialaminya. Ia bersyukur untuk kebaikan Tuhan yang diteruskan kepadanya lewat orang lain.

Tema tentang memberi merupakan salah satu tema yang disinggung Paulus dalam suratnya kepada jemaat non-Yahudi di Efesus. Dia memanggil mereka untuk meninggalkan kehidupan lama dan menerapkan kehidupan yang baru, dengan mengatakan bahwa mereka sudah diselamatkan oleh kasih karunia. Ia menjelaskan bahwa dari kasih karunia keselamatan itu mengalirlah keinginan kita untuk “melakukan pekerjaan baik,” karena kita telah diciptakan menurut gambar Allah dan merupakan “buatan” tangan-Nya (2:10). Seperti pria di supermarket tadi, kita dapat menyebarkan kasih Allah melalui perilaku kita sehari-hari.

Tentu saja, membagikan anugerah Allah tidak perlu dengan memberikan materi; kita dapat menunjukkan kasih-Nya lewat banyak tindakan lainnya. Kita dapat meluangkan waktu untuk mendengarkan seseorang yang berbicara dengan kita. Kita dapat menanyakan kabar seseorang yang telah melayani kita. Kita dapat berhenti sejenak untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Sewaktu kita memberi kepada sesama, kita akan menerima sukacita sebagai balasannya (Kis. 20:35). —Amy Boucher Pye

Bapa terkasih, Engkau telah menciptakan kami menurut gambar-Mu, dan kami bersukacita dapat membagikan kasih dan hidup-Mu. Tolong kami agar melihat kesempatan-kesempatan untuk dapat memberi kepada orang lain hari ini.

Kita diciptakan untuk membagikan kasih Tuhan dengan meneruskan pemberian-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 12-14; 2 Timotius 1

Bawa Perahu kamu

Jumat, 19 Oktober 2018

Bawa Perahu kamu

Baca: Amsal 3:21-31

3:21 Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu,

3:22 maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu.

3:23 Maka engkau akan berjalan di jalanmu dengan aman, dan kakimu tidak akan terantuk.

3:24 Jikalau engkau berbaring, engkau tidak akan terkejut, tetapi engkau akan berbaring dan tidur nyenyak.

3:25 Janganlah takut kepada kekejutan yang tiba-tiba, atau kepada kebinasaan orang fasik, bila itu datang.

3:26 Karena Tuhanlah yang akan menjadi sandaranmu, dan akan menghindarkan kakimu dari jerat.

3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.

3:28 Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: “Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,” sedangkan yang diminta ada padamu.

3:29 Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau.

3:30 Janganlah bertengkar tidak semena-mena dengan seseorang, jikalau ia tidak berbuat jahat kepadamu.

3:31 Janganlah iri hati kepada orang yang melakukan kelaliman, dan janganlah memilih satupun dari jalannya,

Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. —Amsal 3:27

Bawa Perahu kamu

Pada tahun 2017, badai Harvey telah menyebabkan banjir besar di wilayah timur Texas. Guyuran hujan yang tiada henti telah membuat ribuan orang terjebak di dalam rumah mereka. Banyak warga sipil dari bagian lain di Texas atau wilayah lain di Amerika Serikat datang membawa perahu mereka guna membantu evakuasi para korban banjir. Karena bentuk pertolongan yang mereka berikan itu, mereka pun dijuluki “The Texas Navy” (Angkatan Laut Texas).

Tindakan orang-orang yang gagah berani dan murah hati itu mengingatkan kita pada dorongan yang tercantum dalam Amsal 3:27. Kita diperintahkan untuk menolong orang lain kapan pun kita sanggup melakukannya. Para warga sipil itu mempunyai kesanggupan untuk menolong para korban dengan perahu mereka, maka itulah yang mereka lakukan. Tindakan mereka menunjukkan adanya kerelaan untuk menggunakan sumber daya apa pun yang bisa mereka kerahkan demi kepentingan orang lain.

Mungkin kita tidak selalu merasa sanggup menjalankan tugas yang ada di depan kita; bahkan sering tak berdaya karena kita merasa tidak memiliki kecakapan, pengalaman, sumber daya, atau waktu untuk membantu orang lain. Perasaan itu membuat kita memandang rendah diri sendiri dan mengesampingkan apa yang sebenarnya kita miliki yang mungkin dapat membantu orang lain. The Texas Navy tidak dapat menghentikan luapan banjir atau mengatur bantuan pemerintah. Namun, mereka menggunakan apa yang mereka miliki dalam kesanggupan mereka—perahu mereka—untuk memenuhi kebutuhan yang sangat diperlukan oleh sesama mereka. Kiranya kita semua rela membawa “perahu” kita—apa pun itu—untuk membantu orang-orang di sekitar kita menuju ke tempat yang lebih baik. —Kirsten Holmberg

Ya Tuhan, semua yang kumiliki berasal dari-Mu. Tolonglah aku agar selalu memakai apa yang telah Engkau berikan kepadaku untuk menolong sesamaku.

Allah memelihara umat-Nya melalui kebaikan hati umat-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 56-58; 2 Tesalonika 2

Artikel Terkait:

Mengapa Harus Aku?