Posts

Aku tidak menginjili. Bukan dengan cara yang diinginkan gerejaku.

Berbagi Injil tak terbatas hanya dengan mengajak orang-orang untuk datang ke gereja. Lebih dari itu, kita harus menumbuhkan relasi yang baik dan memiliki hati yang peduli pada keadaan mereka.

Tak cukup dengan bilang “Tuhan Yesus baik, lho. Percaya deh” agar orang-orang percaya kepada-Nya. Sejatinya, Injil itu harus terlihat melalui diri kita: bagaimana kita hidup dan mengasihi sesama. Dengan begitu, teladan Yesus dapat dilihat melalui kita.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Eulogi untuk Tim Keller, Sang “Raksasa” Iman dari Abad 21

Oleh redaksi WarungSaTeKaMu
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways Tim Keller Challenged Us To Live Out Our Faith

Jumat, 19 Mei 2023 yang lalu, seorang pendeta, teolog, dan penulis dari banyak buku tutup usia pada umur 72 tahun setelah tiga tahun berjuang melawan kanker pankreas. Jika kita gemar membaca buku-buku Kristen atau mendengarkan khotbahnya, nama Tim Keller bukanlah sosok yang asing. Dia dikenal oleh banyak orang Kristen di seluruh dunia, terkhusus juga bagi jemaat lokal yang dia layani. 

Ketika kabar meninggalnya tersiar melalui media sosial, banyak orang mengungkapkan kehilangan dan bercerita akan dampak yang mereka alami dari hidup dan karya Tim. Bagi sebagian dari kita yang tumbuh dalam kekecewaan pada Tuhan atau yang merasa diasingkan oleh gereja karena keraguan dan pertanyaan kita tentang iman Kristen, pengajaran dari Tim Keller dan caranya menjelaskan tentang kekristenan sebagai iman yang kredibel dan memuaskan telah menolong kita menemukan kembali keindahan Injil dan menarik kita kembali pada dekapan Bapa Surgawi. 

Seiring kita mengenang karya Tim, kita pun berdoa agar Tuhan membangkitkan lebih banyak pemimpin Kristen seperti Keller yang mampu memberitakan Injil dengan fasih, berpikir dengan kasih karunia, dan hidup dengan integritas. 

Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari teladan hidup Tim Keller.

1. Dia melayani dan berinteraksi dengan lemah lembut dan hormat 

Tim Keller dikenal karena dia berani membahas isu-isu sensitif seperti seks, uang, atau kekuasaan—hal-hal yang dipakai dunia untuk mengukur kesuksesan kita—dengan lemah lembut dan hormat. Topik-topik ini seringkali sulit dibicarakan, atau jika pun dibahas seringkali sudut pandang yang diambil adalah “aku lebih suci dari kamu”, atau sosok yang terjerat dalam dosa tersebut merasa begitu “malu” tatkala mereka menghampiri mimbar. Namun, pada tulisan-tulisannya, Keller menceritakan kebenaran dengan cara yang lembut, dengan sabar menguraikan mitos dan kebohongan yang selama ini kita pegang, dan membawa kita pada Kristus yang selalu mencukupkan setiap kebutuhan kita. 

Peter Wehner dalam The Atlantic menuliskan demikian, “Kawanku, Tim Keller: “Gaya khotbah Tim bersifat intelektual, detail dalam budaya, mengalir dan tidak melukai.” [1] 

Cara Tim berkhotbah, menjawab pertanyaan dengan lembut tanpa bersikap defensif adalah contoh nyata dari Kolose 4:6 yang berkata, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Juga dari 1 Petrus 3:15, “Tetapi di dalam hatimu, hendaklah kalian memberikan kepada Kristus penghormatan yang khusus yang sesuai dengan kedudukan-Nya sebagai Tuhan. Dan hendaklah kalian selalu siap untuk memberikan jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki.”

Kita dapat belajar dari Tim Keller saat kita bercerita pada teman kita tentang Yesus. Kita tidak harus bersikap defensif dan mengubah diskusi hangat menjadi perdebatan, tetapi kita bisa mendengarkan cerita tentang apa yang teman kita percayai seperti kita juga menceritakan iman kita.

2. Tim memberitakan Injil ke mana pun Tuhan memanggilnya

Salah satu warisan yang Keller tinggalkan adalah dia memberikan kita visi tentang seperti apa menjangkau kota-kota dengan berita Injil. Pada tahun 1989, Keller dan istrinya, Kathy, memulai pelayanan gereja Redeemer Presbyterian, sebuah gereja dengan teologi yang solid di tengah kota Manhattan—kota yang tak pernah tidur, pesta pora setiap hari selalu ada, dosa dilihat sebagai kehidupan, dan…juga dihuni oleh orang-orang yang merasa telah ‘tercerahkan’.

Keller bercerita pada majalah New York bahwa dia merasa jadi ‘pengecut’ jika dia tidak pindah ke Manhattan. Bersama istrinya, mereka seperti mengalami perasaan “mual” di perut setiap hari. 

Namun demikian, keluarga Keller percaya bahwa cara terbaik untuk taat dalam iman kita adalah dengan mengasihi sesama dan pergi ke mana pun Tuhan memanggil kita—bahkan seperti yang Kathy katakan, jika harus pergi menjangkau “pelacur Babel yang jahat”. Di sanalah Tuhan mengajar mereka bahwa ketika kita melihat diri kita sebagai “pendosa yang diselamatkan anugerah”, itu akan membuat kita sulit untuk “mengabaikan orang lain, menjelekkan atau menghina atau merasa takut pada siapa pun.”[2]

Banyak dari kita tentu tidak dipanggil untuk menanam sebuah jemaat gereja di kota New York, tapi setiap kita dipanggil untuk menanam Injil pada “Babel” kita masing-masing. Entah itu di sekolah, kampus, dan tempat kerja—tempat-tempat sekuler di mana memegang teguh iman bisa berpotensi merugikan kita.

Namun, kita dapat mengambil banyak teladan dari kehidupan Keller yang dijalaninya dengan baik, dan mengetahui bahwa Injil melenyapkan “rasa takut”. Mungkin kita takut menceritakan Injil pada lingkungan yang asing dan menolak iman Kristen, tetapi seperti kata-kata Keller, “Meskipun kita harus peduli dan sebisa mungkin tidak menyinggung orang lain, tapi kepastian akan kasih dan penerimaan Tuhan seharusnya memberi kita keberanian untuk menghadapi kritik dan ketidaksetujuan.”[3]

3. Keller mengajari kita untuk menghadapi kematian dan penderitaan dengan baik

Mungkin salah satu dampak terbesar yang Keller berikan adalah bagaimana dia menghidupi iman Kristennya saat dia berjuang melawan kanker selama tiga tahun terakhir.

Tiga hari sebelum tutup usia, Keller mengucapkan kata-kata mengharukan ini dalam doanya: “Aku mengucap syukur atas keluargaku yang mengasihiku. Aku mengucap syukur atas waktu yang Tuhan berikan buatku. Tapi, aku telah siap bertemu Yesus. Aku tak sabar melihat Yesus. Bawalah aku pulang.”

Apa yang Keller katakan mungkin tampak wajar diucapkan seorang raksasa iman. Tapi dua tahun sebelumnya, Keller jujur mengakui dalam sebuah artikel bahwa dia bergumul menghadapi kematian setelah didiagnosis mengidap kanker pankreas: “Aku… melihat sekilas (buku yang sedang ditulisnya), “On Death”, di atas sebuah meja. Aku tidak berani membukanya untuk membaca apa yang aku tulis… Apa yang akan terjadi padaku? Aku merasa seperti ahli bedah yang tiba-tiba berada di meja operasi. Apakah aku dapat menerima saranku sendiri?”[4]

Seperti kita juga, Keller tahu bahwa mengetahui kebenaran adalah satu hal, dan mempercayai diri kita sendiri dengan menjalaninya adalah hal yang sama sekali berbeda. Kita mungkin tahu bahwa Tuhan berkata dalam firman-Nya, tapi ketika penderitaan dan kematian datang mendekat, kita masih merasa ngeri. Tapi… inlah yang Keller katakan:

Aku sadar bahwa kepercayaanku harus menjadi nyata di hatiku, atau aku sendiri takkan bisa melewati hari itu kelak. Gagasan teoritis tentang kasih Allah dan kebangkitan di masa depan harus menjadi kebenaran yang mengikat kuat, atau dibuang saja karena tidak berguna.[5]

Untuk membuat teori menjadi nyata, Keller mengajari kita untuk menyelaraskan kepala dengan hati, untuk menggunakan kemampuan penalaran dan perasaan kita; untuk mempelajari kembali dan melatih diri kita sendiri tentang siapa Tuhan itu, dan biarkan semuanya meresap ke dalam hati.

Pertama, untuk menolong kita menghadapi kenyataan akan penderitaan dan kematian, serta mendamaikannya dengan keberadaan Tuhan, Keller mengingatkan kita untuk memeriksa kembali dan mengoreksi apa yang kita yakini jauh di dalam lubuk hati kita. Kita hidup untuk Tuhan bukan sebaliknya. Tuhan tahu segalanya dan kita tidak. Tuhan memegang kendali dan kita tidak. Ketika kita benar-benar mempercayai semua ini, inilah yang membebaskan kita untuk membiarkan Tuhan sungguh berdaulat menjadi Tuhan atas kita. 

Kedua, bicaralah ke hati kita sendiri. Keller mengundang kita untuk merenungkan Mazmur yang memberi tahu kita siapakah Tuhan itu, dan supaya kita berbicara pada jiwa kita sendiri. Semisal: “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku?” atau “Pujilah TUHAN hai jiwaku” (Mazmur 42 dan 103). Keller mendorong kita untuk sungguh “melihat kepercayaan terdalam kita, cinta dan ketakutan terkuat kita, dan mendekatkan semuanya itu pada Allah”, dan mengucapkan kebenaran yang memberi penghiburan ini dalam doa-doa kita. Karena Yesus mati dan bangkit, kita juga akan mati dan bangkit seperti Dia. 

Terakhir, Keller membagikan pada kita bagaimana luar biasanya menikmati hidup di hadapan kematian ketika Tuhan begitu berkesan di hati kita. Keller berbicara tentang menemukan kedamaian yang melampaui pemahaman manusia ketika diaakan menjalani operasi besar.[6] Di hari-hari terakhirnya, Keller berbicara dengan tulus dan penuh percaya diri tentang kebahagiaan yang dirasakannya akhir-akhir ini, dan bagaimana kebahagiaan itu bisa hadir beriringan dengan kesedihan. Meskipun kita mungkin meneteskan banyak air mata, penghiburan dan sukacita Tuhan tetap mengalir di dalam diri kita dan akan menuntun kita sampai pada harinya Tuhan Yesus membawa kita pulang. 

Terima kasih, Tim Keller, karena telah menunjukkan pada kami seperti apa menghidupi hidup yang taat dan setia—dan bagaimana menyambut kepulangan pada Bapa dengan sukacita. Meskipun banyak dari kita meratap dari balik kekekalan yang engkau jalani, ribuan lain bersukacita denganmu seiring pertemuanmu dengan Tuhan yang tanpa keraguan memanggilmu “hamba yang baik dan setia” (Matius 25:23) dan dengan sukacita membawamu dalam kebahagiaan abadi selamanya.

[1] Peter Wehner. “My Friend, Tim Keller”.
[2] Timothy Keller & John Inazu, Uncommon Ground: Living Faithfully in a World of Difference, Nelson Books, 2020, pages 25-26.
[3] Ibid, p.30.
[4] Timothy Keller. “Growing My Faith in the Face of Death”.
[5] Ibid.
[6] Matt Smethurst. “Tim Keller Wants You to Suffer Well”.

 

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya. 

Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.

Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini. 

Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya. 

Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya

1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang

Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 

Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian. 

Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. 

Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.

2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya

Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).

Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total. 

Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.

Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari. 

Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.

Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.

Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi. 

Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

Oleh Olive Bendon

Hujan yang baru saja datang, memaksaku kembali duduk lesehan di teras gereja. Desember, bulan di penghujung tahun yang sering basah. Bulan sibuk bagi umat Kristiani menyambut Natal dengan beragam kegiatan yang sering jadi boomerang bagiku, kamu, dan dia yang kebersamaannya dengan orang–orang dekat tersita karena kegiatan bertumpuk–tumpuk yang mungkin (sengaja) diborong. Serupa malam itu, ketika keriuhan di gereja sendiri usai, kuikuti langkah kawan untuk melihat persiapan Natal di gerejanya. Tawaran secangkir teh panas dari ibu pengurus gereja untuk menghangatkan badan tentu saja tak kutampik.

Kami—aku dan Titi, serta beberapa pemuda di gereja tersebut—ngariung menghadap pohon pinus di samping gerbang gereja yang disulap menjadi pohon terang, dihiasi lampu berwarna–warni. Keberadaannya mengingatkanku pada satu hari menjelang Natal 13 tahun lalu, ketika ayah meminta kami, anak–anaknya untuk pulang dan merayakan Natal di rumah. Dua minggu sebelum Natal, ayah kena serangan jantung, dan harus “pulang” sebelum anak–anaknya pulang ke rumah. Saat berkumpul di hari Natal itu tak pernah mewujud, karena tenyata Tuhan telah menyiapkan hari berkumpul lebih awal dalam suasana yang berbeda. Keadaan yang dulu membuatku kesal kenapa Tuhan menjadikan hari berkabung di saat kami merencanakan hari sukacita?

Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon natal? Tanya Titi memecah senyap.

Pertanyaan sederhana yang memotong ingatanku pada hari yang telah mengubah pemahamanku akan arti kehadiran Tuhan di dalam kehidupan ini. Pertanyaan yang mengingatkanku pada benturan di grup WhatsApp paduan suara gereja beberapa hari lalu karena perkara foto diri seorang kawan untuk ID Card kegiatan Natal tak sesuai dengan keinginannya. Dia minta gambar dirinya diganti. Sayang, dirinya lupa, dia hanya fokus memandangi gambar dirinya sendiri. Sedangkan yang mengerjakan pemotretan, pengumpulan hingga editing gambar dirinya dan 50 orang lainnya; satu orang saja.

Meski menyebut diri pelayanan tapi kita sering lupa, sebenarnya pelayanan kita hanya sebatas sebagai aktifis BUKAN melayani. Pelayan itu berarti berada di posisi terendah, bahkan diinjak–injak! Namun, ego sering membuat kita lebih fokus mendandani diri kita sendiri secara fisik. Senangnya komplain dengan mengedepankan keinginan diri. Tidak mau berkorban dan mengambil tanggung jawab. Padahal, jika kita mau membaca dan memahami lebih dalam makna dari kelahiran Kristus, sejatinya Natal adalah pengorbanan!

Kok bisa? Pertanyaan yang sama terlintas di pikiranku ketika mendengar khotbah di satu ibadah sore menjelang Natal beberapa waktu lalu. Setidaknya 4 (empat) pribadi berikutlah yang berkorban untuk natal:

  1. Maria: ia rela dan siap untuk difitnah karena hamil di luar nikah, namun Tuhan menetapkannya menjadi perempuan terpilih untuk melahirkan Putra Tunggal-Nya [Lukas 1:38]
  2. Yusuf: ia mau bertanggung jawab meski anak yang dikandung Maria tunangannya, bukan dari benihnya [Matius 1:24-25]
  3. Tuhan: karena begitu besar kasih-Nya akan dunia yang penuh dosa DIA rela memberikan Putra Tunggal-Nya turun takhta, berdiam di antara manusia bahkan rela disiksa memberikan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa diselamatkan [Yohanes 3:16-17]
  4. Kita: siap atau tidak menerima segala konsekuensi menjadi anak Tuhan? [Efesus 5:1-2,8]

Selain pengorbanan, bagiku, Natal adalah pembaharuan! Saat komitmen kembali dieratkan, saat langkah tetap konsisten meski jalan yang dilalui tak selalu rata. Natal adalah saat pundak disorongkan menjadi sandaran bagi yang membutuhkan penyemangat, Natal adalah Kasih.

Sayangnya, sering kita terlalu sibuk dengan ini itu demi mempersiapkan hari untuk merayakan kelahiran-Nya lalu lupa menata hati juga melupakan yang utama, DIA yang lahir untuk kita. Kita terlalu sibuk mendekorasi pohon Natal, menghiasinya dengan lampu kelap–kelip. Lupa, lampu yang berkelap–kelip itu pun berkorban untuk menerangi kegelapan, bukan menerangi dirinya sendiri.

Sudahkah kita melakukan hal–hal baik yang Tuhan inginkan dalam hidup kita dan menjadi terang bagi sekeliling kita? Selamat Natal dan semangat menyongsong Tahun Baru.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Panggilan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Di dalam bukunya yang terkenal, “The Call”, Os Guinness membedakan dua macam panggilan di dalam hidup orang Kristen.

Panggilan yang pertama dan terutama adalah panggilan untuk mengikut Kristus. Panggilan ini adalah yang menyangkut seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Hidup kita, hati kita, jiwa dan raga kita, seluruhnya adalah untuk menyembah Dia. Tidak ada apapun yang boleh menyaingi panggilan yang terutama ini. Oswald Chambers pernah berkata, “Waspadalah atas segala sesuatu yang menyaingi kesetiaan kepada Yesus Kristus” dan “pesaing terbesar kesetiaan kepada Yesus adalah pelayanan bagi Dia”. Bagaimana bisa begitu? Karena, “tujuan panggilan Tuhan adalah kepuasan Tuhan, bukan untuk mengerjakan sesuatu bagi Dia.”

Kalimat Oswald Chambers itu perlu diperdengarkan lagi di telinga kita. “Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” seringkali menjadi konsep yang abstrak bagi kita. Jauh lebih mudah untuk membayangkan bentuk konkret yang harus dilakukan dalam rangka “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan”, atau dikenal juga dengan “pelayanan” (baik di gereja maupun melalui profesi). Tetapi, di dalam prosesnya, akhirnya kita mempersamakan keduanya. Maka perlahan-lahan, “pelayanan” menjadi sama dengan “penyembahan”. Kita merasa sudah “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” dengan melakukan “pelayanan”. Bisakah kita melihat masalahnya di sini?

Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” adalah soal hati, arah, tujuan, motivasi, yang mengarahkan apa yang kita lakukan. Sementara “apa yang kita lakukan”, arahnya, tujuannya, motivasinya, bisa untuk memuaskan Tuhan atau membesarkan diri. Ketika kita mempersamakan keduanya, pasti muncul masalah besar. Kita bisa berdalih bahwa “kita tidak mencari untung”, “kita sedang berusaha menggunakan karunia yang Tuhan berikan”, atau “kita ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan” melalui apa yang kita lakukan. Tetapi, pertanyaan yang terus menggantung adalah, apakah sungguh di dalam hati kita hanya-dan-hanya ingin mengikut Yesus? Apakah kita hanya-dan-hanya memuaskan Tuhan?

Panggilan yang kedua, menurut Os Guinnes, barulah yang lebih konkret, yaitu “dalam segala hal kita harus berpikir, berbicara, hidup, dan bertindak sepenuhnya bagi Dia”. Mungkin itu berarti pekerjaan, profesi, atau kehidupan sehari-hari, yang kita jalani sebagai respons atas arahan dan panggilan Tuhan. Tetapi, jangan menjadikan panggilan kedua ini sebagai yang pertama dan terutama.

Aku tertegur membaca kalimat Os Guinness di bawah ini:

Do we enjoy our work, love our work, virtually worship our work so that our devotion to Jesus is off-center? Do we put emphasis on service or usefulness, or being productive in working for God–at his expense? Do we strive to prove our own significance? To make difference in the world? To carve our names in marble in the monuments of time?

Apakah kita menikmati pekerjaan kita, mencintai pekerjaan kita, secara virtual menyembah pekerjaan kita sehingga kesetiaan kita kepada Yesus tergeser? Apakah kita menaruh penekanan pada pelayanan atau kegunaan, atau menjadi produktif dalam bekerja untuk Allah – dengan mengorbankan Dia? Apakah kita berjuang untuk membuktikan signifikansi diri kita? Untuk membuat perbedaan di dalam dunia? Untuk mengukir nama kita pada monumen-monumen waktu?

Siapa sih yang tidak ingin hidupnya berguna dan produktif? Siapa sih yang tidak senang berhasil membuat perbedaan di dalam dunia? Di dalam kelemahan, siapa sih yang tidak bangga membayangkan hidupnya signifikan dan dikenang? Tidak ada yang salah dengan hidup berguna, produktif, membuat perbedaan, signifikan dan dikenang. Tetapi, menjadi masalah dan salah besar ketika kita mengejar semua itu seakan-akan itulah pangilan kita yang pertama dan terutama.

Os Guinnes mengingatkan, panggilan kita yang pertama dan terutama bukanlah to do something tetapi we are called to Someone. Kunci untuk menjawab panggilan itu adalah untuk setia tidak kepada siapapun (termasuk diri kita) dan apapun selain kepada Allah.

Baca Juga:

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Di awal bulan September lalu, aku menerima pesan WhatsApp dari salah satu kakak yang aku belum pernah bertemu dan mengobrol dengannya. “Hai Novita, aku Maria. Apakah ada free time untuk aku izin sharing pelayanan samamu?”, begitulah isi pesan WhatsApp darinya.

Pesan tersebut aku balas keesokan harinya dan singkat cerita tibalah kami di topik pembicaraan sharing pelayanan apa yang dimaksud oleh kakak tersebut. Dia mengajakku berdoa untuk ambil bagian dalam pelayanan perayaan Natal sebagai sekretaris-bendahara. Pelayanan ini adalah pelayanan yang sudah kunikmati sejak aku berada di kampus.

“Aku doakan terlebih dahulu ya, kak”, jawabku.

“Apakah Senin ini boleh kutanyakan konfirmasinya dek?” tanyanya lagi.

Empat hari kemudian, tepat di hari Senin setelah aku mendoakannya, aku menjawab bersedia untuk menjadi sekretaris-bendahara dalam kepanitiaan Natal tersebut.

Akan tetapi, dua hari setelah aku menjawab bersedia menjadi sekretaris-bendahara, kakak tersebut menghubungiku kembali dan menyampaikan ingin mensharingkan sesuatu hal lagi. Pikirku pasti kakak itu ingin sharing hal-hal terkait dalam jobdesc-ku sebagai sekretaris-bendahara. Tetapi apa yang aku pikirkan tidak tepat, ternyata kakak tersebut ingin mengajakku berdoa kembali. Dia menawariku untuk menjadi ketua. Hal tersebut dikarenakan orang yang sudah disharingkan sebelumnya menjadi ketua belum bersedia karena beberapa hal. Akan tetapi walaupun begitu, dia tetap ambil bagian dalam kepanitiaan tetapi tidak sebagai ketua.

“Ha, kok aku sih kak? Aku baru loh disini, belum paham sepenuhnya”, jawabanku via telepon sambil refleks memukuli bantalku saat itu karena terkejut.

Setelah menjelaskan dan berbagi alasan mengapa kakak itu mengajakku mendoakan sebagai ketua serta meyakinkanku untuk ambil waktu dahulu sebelum memberi jawaban, akhirnya aku menjawab “Yaudah kak, kudoakanlah dulu ya”.

Aku teringat sebuah pesan dari seorang alumni. Ketika mendoakan pelayanan, bukan lagi mendoakan apakah pelayanan ini aku terima atau sebaliknya, melainkan memohon peneguhan dari-Nya untuk dimampukan mengerjakan pelayanan tersebut. Hal yang sama pulalah yang aku lakukan saat berdoa kepada Tuhan. Jika memang pelayanan ini harus kukerjakan, kiranya Dia meneguhkan aku dan memampukan untuk mengerjakannya. Tidak banyak waktuku saat itu untuk berdoa, karena aku harus segera memberi jawaban agar kami bisa memulai rapat perdana mengingat waktu yang tidak banyak lagi. Sewaktu bergumul dalam dua hari tersebut aku banyak diingatkan oleh Tuhan.

Pertama, aku mengingat kisah empat tahun yang lalu, aku juga diajak untuk berdoa sebagai koordinator pelayanan di kampusku. Jujur saja waktu itu aku mendoakan untuk ambil bagian dalam salah satu komisi yang sudah lama aku ingin ambil bagian di dalamnya, bahkan sejak periode awal aku menjadi pengurus di kampus. Tidak pernah aku berdoa bahkan berpikiran untuk menjadi koordinator, karena bagiku itu sangat berat. Tetapi setelah sharing dengan kakak kelompokku, teman-teman pelayanan dan alumni yang mendampingi saat itu, aku mencoba untuk mendoakannya dan saat itu meyakini Tuhan memanggilku untuk menjadi gembala di dalam kepengurusan pelayanan di kampus. Sebagai orang yang tidak terbiasa berbicara di depan orang banyak aku takut menghadapi karakter teman-teman pengurus lainnya, aku juga takut jika studiku nanti terkendala. Namun, oleh anugerah-Nya aku dimampukan untuk melewati itu semua dan menyelesaikan kepengurusan dengan banyak pembentukan yang Dia berikan yang membuat aku bertumbuh dalam banyak hal, terutama karakter.

Dan yang kedua, aku beserta adik-adik kelompok kecilku sedang membahas tentang topik “melayani” dari bahan PA yang kami gunakan. Kami sama-sama belajar, bahwa melayani merupakan hak istimewa yang dianugerahkan Allah kepada kita anak-ana-kNya, bahkan melayani merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur atas kasih Allah kepada kita. (Memulai Hidup Baru, hal 40).

Aku sungguh bersyukur ketika diingatkan akan kedua hal tersebut. Aku ditajamkan kembali bahwa ketika aku diberi kesempatan untuk melayani-Nya itu adalah hak yang sangat istimewa. Sebagaimana Dia telah menolongku empat tahun yang lalu, pastilah Dia yang kulayani yang akan kembali memampukanku. Tuhan tentu memampukanku untuk bayar harga di dalam banyak hal, misalnya waktu. Sebagai alumni yang bekerja dan kadangkala sesampainya di kos sudah lelah, weekend adalah momen yang tepat untuk istirahat tetapi mungkin ketika melayani weekend tersebut akan digunakan untuk mengerjakan pelayanan ini.

Setelah berdoa, aku kembali menghubungi kakak itu dan menyampaikan bahwa aku bersedia menerima pelayanan sebagai ketua. Sampai saat ini, aku masih takut dan tidak tahu pembentukan seperti apa yang akan terjadi dalam hidupku lewat kepanitiaan ini. Tetapi setiap mendoakannya, aku selalu diingatkan ketika aku bergantung dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan bahkan dalam hal sekecil apapun dalam kepanitiaan tersebut, Tuhan menyertai dan memampukan.

Persiapan Natal yang akan aku kerjakan bersama teman-temanku adalah persiapan menyambut Yesus, Sang Bayi Natal yang hadir ke dunia untuk melayaniku, melayani teman-teman panitia, melayanimu, dan melayani kita semua umat manusia. Haruskah kita masih sulit memberi diri dalam melayani Sang Juruselamat Dunia?.

Tuhan memberikan kita bermacam-macam sarana untuk bertumbuh salah satunya adalah Pelayanan (Eugene Peterson)

Baca Juga:

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Siapakah Aku Ini?

Minggu, 29 September 2019

Siapakah Aku Ini?

Baca: Keluaran 3:10-17

3:10 Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.”

3:11 Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?”

3:12 Lalu firman-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.”

3:13 Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? —apakah yang harus kujawab kepada mereka?”

3:14 Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.”

3:15 Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.

3:16 Pergilah, kumpulkanlah para tua-tua Israel dan katakanlah kepada mereka: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, telah menampakkan diri kepadaku, serta berfirman: Aku sudah mengindahkan kamu, juga apa yang dilakukan kepadamu di Mesir.

3:17 Jadi Aku telah berfirman: Aku akan menuntun kamu keluar dari kesengsaraan di Mesir menuju ke negeri orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.

AKU ADALAH AKU. —Keluaran 3:14

Siapakah Aku Ini?

Dave memang menikmati pekerjaannya, tetapi ia sudah lama tertarik untuk melakukan pekerjaan misi. Sekarang, ia akan melakukan apa yang telah lama ia impikan itu dengan menjadi misionaris. Namun, anehnya, ia mulai merasa ragu.

“Aku tidak layak menjadi misionaris,” katanya kepada seorang teman. “Lembaga misi itu tidak benar-benar mengenalku. Aku memang tidak cukup baik.”

Bukan cuma Dave yang merasa demikian. Mungkin kita mengenal Musa sebagai seorang pemimpin yang tangguh dan penerima Sepuluh Perintah dari Allah. Namun, kita cenderung lupa kalau Musa pernah kabur ke padang gurun setelah membunuh seseorang. Kita lupa bahwa ia pernah menjadi buronan selama empat puluh tahun. Kita mengabaikan sifatnya yang mudah marah dan keengganannya untuk menuruti perintah Allah.

Ketika Allah memerintahkannya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:1-10), Musa menolak dengan alasan ia tidak cukup baik untuk melakukan tugas itu. Ia bahkan berdebat panjang dengan Allah dan bertanya kepada-Nya: “Siapakah aku ini?” (ay.11). Lalu, Allah menyatakan kepada Musa siapa Dia: “Aku adalah Aku” (ay.14). Mustahil menjelaskan nama misterius itu karena Allah yang tidak terjelaskan itu sedang menjelaskan keberadaan-Nya yang kekal kepada Musa.

Menyadari kelemahan diri memang baik, tetapi apabila kita memakainya sebagai alasan agar Allah tidak memakai kita, sebenarnya kita sedang menghina Dia. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah tidak cukup baik bagi kita. Pertanyaannya bukanlah Siapakah aku ini?, melainkan Siapakah Sang Aku itu? —Tim Gustafson

WAWASAN
Ketika Musa bertanya, “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun?“ (Keluaran 3:11), Allah meyakinkannya akan hadirat-Nya. “Aku akan menyertai engkau” (ay.12) sesuai dengan pernyataan “AKU ADALAH AKU” (ay.14), yang menyatakan bahwa Allah sungguh ada. Allah menegaskannya lebih jauh ketika Dia menyebut Diri-Nya “TUHAN” (ay.15), dari kata Ibrani Yěhovah,yang berarti “keberadaan-Nya tidak bergantung pada keberadaan lain”. Apapun keterbatasan Musa, Sang Penopang alam semesta akan menyertainya. —Julie Schwab

Pernahkah kamu merasa bahwa kamu tidak cukup baik dan perasaan itu menghalangimu untuk melayani Allah? Bagaimana hal itu mendorongmu untuk melihat tokoh-tokoh Alkitab yang dipakai Allah meskipun mereka memiliki kekurangan?

Allah yang kekal, kami sering ragu bahwa Engkau dapat memakai orang-orang seperti kami. Namun, Engkau mengutus Anak-Mu untuk mati bagi orang-orang seperti kami, karena itu ampunilah keraguan kami. Tolonglah kami untuk berani menerima tantangan yang Engkau izinkan kami alami.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 7-8; Efesus 2