Posts

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

Oleh Olive Bendon

Hujan yang baru saja datang, memaksaku kembali duduk lesehan di teras gereja. Desember, bulan di penghujung tahun yang sering basah. Bulan sibuk bagi umat Kristiani menyambut Natal dengan beragam kegiatan yang sering jadi boomerang bagiku, kamu, dan dia yang kebersamaannya dengan orang–orang dekat tersita karena kegiatan bertumpuk–tumpuk yang mungkin (sengaja) diborong. Serupa malam itu, ketika keriuhan di gereja sendiri usai, kuikuti langkah kawan untuk melihat persiapan Natal di gerejanya. Tawaran secangkir teh panas dari ibu pengurus gereja untuk menghangatkan badan tentu saja tak kutampik.

Kami—aku dan Titi, serta beberapa pemuda di gereja tersebut—ngariung menghadap pohon pinus di samping gerbang gereja yang disulap menjadi pohon terang, dihiasi lampu berwarna–warni. Keberadaannya mengingatkanku pada satu hari menjelang Natal 13 tahun lalu, ketika ayah meminta kami, anak–anaknya untuk pulang dan merayakan Natal di rumah. Dua minggu sebelum Natal, ayah kena serangan jantung, dan harus “pulang” sebelum anak–anaknya pulang ke rumah. Saat berkumpul di hari Natal itu tak pernah mewujud, karena tenyata Tuhan telah menyiapkan hari berkumpul lebih awal dalam suasana yang berbeda. Keadaan yang dulu membuatku kesal kenapa Tuhan menjadikan hari berkabung di saat kami merencanakan hari sukacita?

Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon natal? Tanya Titi memecah senyap.

Pertanyaan sederhana yang memotong ingatanku pada hari yang telah mengubah pemahamanku akan arti kehadiran Tuhan di dalam kehidupan ini. Pertanyaan yang mengingatkanku pada benturan di grup WhatsApp paduan suara gereja beberapa hari lalu karena perkara foto diri seorang kawan untuk ID Card kegiatan Natal tak sesuai dengan keinginannya. Dia minta gambar dirinya diganti. Sayang, dirinya lupa, dia hanya fokus memandangi gambar dirinya sendiri. Sedangkan yang mengerjakan pemotretan, pengumpulan hingga editing gambar dirinya dan 50 orang lainnya; satu orang saja.

Meski menyebut diri pelayanan tapi kita sering lupa, sebenarnya pelayanan kita hanya sebatas sebagai aktifis BUKAN melayani. Pelayan itu berarti berada di posisi terendah, bahkan diinjak–injak! Namun, ego sering membuat kita lebih fokus mendandani diri kita sendiri secara fisik. Senangnya komplain dengan mengedepankan keinginan diri. Tidak mau berkorban dan mengambil tanggung jawab. Padahal, jika kita mau membaca dan memahami lebih dalam makna dari kelahiran Kristus, sejatinya Natal adalah pengorbanan!

Kok bisa? Pertanyaan yang sama terlintas di pikiranku ketika mendengar khotbah di satu ibadah sore menjelang Natal beberapa waktu lalu. Setidaknya 4 (empat) pribadi berikutlah yang berkorban untuk natal:

  1. Maria: ia rela dan siap untuk difitnah karena hamil di luar nikah, namun Tuhan menetapkannya menjadi perempuan terpilih untuk melahirkan Putra Tunggal-Nya [Lukas 1:38]
  2. Yusuf: ia mau bertanggung jawab meski anak yang dikandung Maria tunangannya, bukan dari benihnya [Matius 1:24-25]
  3. Tuhan: karena begitu besar kasih-Nya akan dunia yang penuh dosa DIA rela memberikan Putra Tunggal-Nya turun takhta, berdiam di antara manusia bahkan rela disiksa memberikan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa diselamatkan [Yohanes 3:16-17]
  4. Kita: siap atau tidak menerima segala konsekuensi menjadi anak Tuhan? [Efesus 5:1-2,8]

Selain pengorbanan, bagiku, Natal adalah pembaharuan! Saat komitmen kembali dieratkan, saat langkah tetap konsisten meski jalan yang dilalui tak selalu rata. Natal adalah saat pundak disorongkan menjadi sandaran bagi yang membutuhkan penyemangat, Natal adalah Kasih.

Sayangnya, sering kita terlalu sibuk dengan ini itu demi mempersiapkan hari untuk merayakan kelahiran-Nya lalu lupa menata hati juga melupakan yang utama, DIA yang lahir untuk kita. Kita terlalu sibuk mendekorasi pohon Natal, menghiasinya dengan lampu kelap–kelip. Lupa, lampu yang berkelap–kelip itu pun berkorban untuk menerangi kegelapan, bukan menerangi dirinya sendiri.

Sudahkah kita melakukan hal–hal baik yang Tuhan inginkan dalam hidup kita dan menjadi terang bagi sekeliling kita? Selamat Natal dan semangat menyongsong Tahun Baru.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Panggilan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Di dalam bukunya yang terkenal, “The Call”, Os Guinness membedakan dua macam panggilan di dalam hidup orang Kristen.

Panggilan yang pertama dan terutama adalah panggilan untuk mengikut Kristus. Panggilan ini adalah yang menyangkut seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Hidup kita, hati kita, jiwa dan raga kita, seluruhnya adalah untuk menyembah Dia. Tidak ada apapun yang boleh menyaingi panggilan yang terutama ini. Oswald Chambers pernah berkata, “Waspadalah atas segala sesuatu yang menyaingi kesetiaan kepada Yesus Kristus” dan “pesaing terbesar kesetiaan kepada Yesus adalah pelayanan bagi Dia”. Bagaimana bisa begitu? Karena, “tujuan panggilan Tuhan adalah kepuasan Tuhan, bukan untuk mengerjakan sesuatu bagi Dia.”

Kalimat Oswald Chambers itu perlu diperdengarkan lagi di telinga kita. “Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” seringkali menjadi konsep yang abstrak bagi kita. Jauh lebih mudah untuk membayangkan bentuk konkret yang harus dilakukan dalam rangka “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan”, atau dikenal juga dengan “pelayanan” (baik di gereja maupun melalui profesi). Tetapi, di dalam prosesnya, akhirnya kita mempersamakan keduanya. Maka perlahan-lahan, “pelayanan” menjadi sama dengan “penyembahan”. Kita merasa sudah “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” dengan melakukan “pelayanan”. Bisakah kita melihat masalahnya di sini?

Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” adalah soal hati, arah, tujuan, motivasi, yang mengarahkan apa yang kita lakukan. Sementara “apa yang kita lakukan”, arahnya, tujuannya, motivasinya, bisa untuk memuaskan Tuhan atau membesarkan diri. Ketika kita mempersamakan keduanya, pasti muncul masalah besar. Kita bisa berdalih bahwa “kita tidak mencari untung”, “kita sedang berusaha menggunakan karunia yang Tuhan berikan”, atau “kita ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan” melalui apa yang kita lakukan. Tetapi, pertanyaan yang terus menggantung adalah, apakah sungguh di dalam hati kita hanya-dan-hanya ingin mengikut Yesus? Apakah kita hanya-dan-hanya memuaskan Tuhan?

Panggilan yang kedua, menurut Os Guinnes, barulah yang lebih konkret, yaitu “dalam segala hal kita harus berpikir, berbicara, hidup, dan bertindak sepenuhnya bagi Dia”. Mungkin itu berarti pekerjaan, profesi, atau kehidupan sehari-hari, yang kita jalani sebagai respons atas arahan dan panggilan Tuhan. Tetapi, jangan menjadikan panggilan kedua ini sebagai yang pertama dan terutama.

Aku tertegur membaca kalimat Os Guinness di bawah ini:

Do we enjoy our work, love our work, virtually worship our work so that our devotion to Jesus is off-center? Do we put emphasis on service or usefulness, or being productive in working for God–at his expense? Do we strive to prove our own significance? To make difference in the world? To carve our names in marble in the monuments of time?

Apakah kita menikmati pekerjaan kita, mencintai pekerjaan kita, secara virtual menyembah pekerjaan kita sehingga kesetiaan kita kepada Yesus tergeser? Apakah kita menaruh penekanan pada pelayanan atau kegunaan, atau menjadi produktif dalam bekerja untuk Allah – dengan mengorbankan Dia? Apakah kita berjuang untuk membuktikan signifikansi diri kita? Untuk membuat perbedaan di dalam dunia? Untuk mengukir nama kita pada monumen-monumen waktu?

Siapa sih yang tidak ingin hidupnya berguna dan produktif? Siapa sih yang tidak senang berhasil membuat perbedaan di dalam dunia? Di dalam kelemahan, siapa sih yang tidak bangga membayangkan hidupnya signifikan dan dikenang? Tidak ada yang salah dengan hidup berguna, produktif, membuat perbedaan, signifikan dan dikenang. Tetapi, menjadi masalah dan salah besar ketika kita mengejar semua itu seakan-akan itulah pangilan kita yang pertama dan terutama.

Os Guinnes mengingatkan, panggilan kita yang pertama dan terutama bukanlah to do something tetapi we are called to Someone. Kunci untuk menjawab panggilan itu adalah untuk setia tidak kepada siapapun (termasuk diri kita) dan apapun selain kepada Allah.

Baca Juga:

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Di awal bulan September lalu, aku menerima pesan WhatsApp dari salah satu kakak yang aku belum pernah bertemu dan mengobrol dengannya. “Hai Novita, aku Maria. Apakah ada free time untuk aku izin sharing pelayanan samamu?”, begitulah isi pesan WhatsApp darinya.

Pesan tersebut aku balas keesokan harinya dan singkat cerita tibalah kami di topik pembicaraan sharing pelayanan apa yang dimaksud oleh kakak tersebut. Dia mengajakku berdoa untuk ambil bagian dalam pelayanan perayaan Natal sebagai sekretaris-bendahara. Pelayanan ini adalah pelayanan yang sudah kunikmati sejak aku berada di kampus.

“Aku doakan terlebih dahulu ya, kak”, jawabku.

“Apakah Senin ini boleh kutanyakan konfirmasinya dek?” tanyanya lagi.

Empat hari kemudian, tepat di hari Senin setelah aku mendoakannya, aku menjawab bersedia untuk menjadi sekretaris-bendahara dalam kepanitiaan Natal tersebut.

Akan tetapi, dua hari setelah aku menjawab bersedia menjadi sekretaris-bendahara, kakak tersebut menghubungiku kembali dan menyampaikan ingin mensharingkan sesuatu hal lagi. Pikirku pasti kakak itu ingin sharing hal-hal terkait dalam jobdesc-ku sebagai sekretaris-bendahara. Tetapi apa yang aku pikirkan tidak tepat, ternyata kakak tersebut ingin mengajakku berdoa kembali. Dia menawariku untuk menjadi ketua. Hal tersebut dikarenakan orang yang sudah disharingkan sebelumnya menjadi ketua belum bersedia karena beberapa hal. Akan tetapi walaupun begitu, dia tetap ambil bagian dalam kepanitiaan tetapi tidak sebagai ketua.

“Ha, kok aku sih kak? Aku baru loh disini, belum paham sepenuhnya”, jawabanku via telepon sambil refleks memukuli bantalku saat itu karena terkejut.

Setelah menjelaskan dan berbagi alasan mengapa kakak itu mengajakku mendoakan sebagai ketua serta meyakinkanku untuk ambil waktu dahulu sebelum memberi jawaban, akhirnya aku menjawab “Yaudah kak, kudoakanlah dulu ya”.

Aku teringat sebuah pesan dari seorang alumni. Ketika mendoakan pelayanan, bukan lagi mendoakan apakah pelayanan ini aku terima atau sebaliknya, melainkan memohon peneguhan dari-Nya untuk dimampukan mengerjakan pelayanan tersebut. Hal yang sama pulalah yang aku lakukan saat berdoa kepada Tuhan. Jika memang pelayanan ini harus kukerjakan, kiranya Dia meneguhkan aku dan memampukan untuk mengerjakannya. Tidak banyak waktuku saat itu untuk berdoa, karena aku harus segera memberi jawaban agar kami bisa memulai rapat perdana mengingat waktu yang tidak banyak lagi. Sewaktu bergumul dalam dua hari tersebut aku banyak diingatkan oleh Tuhan.

Pertama, aku mengingat kisah empat tahun yang lalu, aku juga diajak untuk berdoa sebagai koordinator pelayanan di kampusku. Jujur saja waktu itu aku mendoakan untuk ambil bagian dalam salah satu komisi yang sudah lama aku ingin ambil bagian di dalamnya, bahkan sejak periode awal aku menjadi pengurus di kampus. Tidak pernah aku berdoa bahkan berpikiran untuk menjadi koordinator, karena bagiku itu sangat berat. Tetapi setelah sharing dengan kakak kelompokku, teman-teman pelayanan dan alumni yang mendampingi saat itu, aku mencoba untuk mendoakannya dan saat itu meyakini Tuhan memanggilku untuk menjadi gembala di dalam kepengurusan pelayanan di kampus. Sebagai orang yang tidak terbiasa berbicara di depan orang banyak aku takut menghadapi karakter teman-teman pengurus lainnya, aku juga takut jika studiku nanti terkendala. Namun, oleh anugerah-Nya aku dimampukan untuk melewati itu semua dan menyelesaikan kepengurusan dengan banyak pembentukan yang Dia berikan yang membuat aku bertumbuh dalam banyak hal, terutama karakter.

Dan yang kedua, aku beserta adik-adik kelompok kecilku sedang membahas tentang topik “melayani” dari bahan PA yang kami gunakan. Kami sama-sama belajar, bahwa melayani merupakan hak istimewa yang dianugerahkan Allah kepada kita anak-ana-kNya, bahkan melayani merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur atas kasih Allah kepada kita. (Memulai Hidup Baru, hal 40).

Aku sungguh bersyukur ketika diingatkan akan kedua hal tersebut. Aku ditajamkan kembali bahwa ketika aku diberi kesempatan untuk melayani-Nya itu adalah hak yang sangat istimewa. Sebagaimana Dia telah menolongku empat tahun yang lalu, pastilah Dia yang kulayani yang akan kembali memampukanku. Tuhan tentu memampukanku untuk bayar harga di dalam banyak hal, misalnya waktu. Sebagai alumni yang bekerja dan kadangkala sesampainya di kos sudah lelah, weekend adalah momen yang tepat untuk istirahat tetapi mungkin ketika melayani weekend tersebut akan digunakan untuk mengerjakan pelayanan ini.

Setelah berdoa, aku kembali menghubungi kakak itu dan menyampaikan bahwa aku bersedia menerima pelayanan sebagai ketua. Sampai saat ini, aku masih takut dan tidak tahu pembentukan seperti apa yang akan terjadi dalam hidupku lewat kepanitiaan ini. Tetapi setiap mendoakannya, aku selalu diingatkan ketika aku bergantung dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan bahkan dalam hal sekecil apapun dalam kepanitiaan tersebut, Tuhan menyertai dan memampukan.

Persiapan Natal yang akan aku kerjakan bersama teman-temanku adalah persiapan menyambut Yesus, Sang Bayi Natal yang hadir ke dunia untuk melayaniku, melayani teman-teman panitia, melayanimu, dan melayani kita semua umat manusia. Haruskah kita masih sulit memberi diri dalam melayani Sang Juruselamat Dunia?.

Tuhan memberikan kita bermacam-macam sarana untuk bertumbuh salah satunya adalah Pelayanan (Eugene Peterson)

Baca Juga:

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Siapakah Aku Ini?

Minggu, 29 September 2019

Siapakah Aku Ini?

Baca: Keluaran 3:10-17

3:10 Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.”

3:11 Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?”

3:12 Lalu firman-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.”

3:13 Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? —apakah yang harus kujawab kepada mereka?”

3:14 Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.”

3:15 Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.

3:16 Pergilah, kumpulkanlah para tua-tua Israel dan katakanlah kepada mereka: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, telah menampakkan diri kepadaku, serta berfirman: Aku sudah mengindahkan kamu, juga apa yang dilakukan kepadamu di Mesir.

3:17 Jadi Aku telah berfirman: Aku akan menuntun kamu keluar dari kesengsaraan di Mesir menuju ke negeri orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.

AKU ADALAH AKU. —Keluaran 3:14

Siapakah Aku Ini?

Dave memang menikmati pekerjaannya, tetapi ia sudah lama tertarik untuk melakukan pekerjaan misi. Sekarang, ia akan melakukan apa yang telah lama ia impikan itu dengan menjadi misionaris. Namun, anehnya, ia mulai merasa ragu.

“Aku tidak layak menjadi misionaris,” katanya kepada seorang teman. “Lembaga misi itu tidak benar-benar mengenalku. Aku memang tidak cukup baik.”

Bukan cuma Dave yang merasa demikian. Mungkin kita mengenal Musa sebagai seorang pemimpin yang tangguh dan penerima Sepuluh Perintah dari Allah. Namun, kita cenderung lupa kalau Musa pernah kabur ke padang gurun setelah membunuh seseorang. Kita lupa bahwa ia pernah menjadi buronan selama empat puluh tahun. Kita mengabaikan sifatnya yang mudah marah dan keengganannya untuk menuruti perintah Allah.

Ketika Allah memerintahkannya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir (Kel. 3:1-10), Musa menolak dengan alasan ia tidak cukup baik untuk melakukan tugas itu. Ia bahkan berdebat panjang dengan Allah dan bertanya kepada-Nya: “Siapakah aku ini?” (ay.11). Lalu, Allah menyatakan kepada Musa siapa Dia: “Aku adalah Aku” (ay.14). Mustahil menjelaskan nama misterius itu karena Allah yang tidak terjelaskan itu sedang menjelaskan keberadaan-Nya yang kekal kepada Musa.

Menyadari kelemahan diri memang baik, tetapi apabila kita memakainya sebagai alasan agar Allah tidak memakai kita, sebenarnya kita sedang menghina Dia. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah tidak cukup baik bagi kita. Pertanyaannya bukanlah Siapakah aku ini?, melainkan Siapakah Sang Aku itu? —Tim Gustafson

WAWASAN
Ketika Musa bertanya, “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun?“ (Keluaran 3:11), Allah meyakinkannya akan hadirat-Nya. “Aku akan menyertai engkau” (ay.12) sesuai dengan pernyataan “AKU ADALAH AKU” (ay.14), yang menyatakan bahwa Allah sungguh ada. Allah menegaskannya lebih jauh ketika Dia menyebut Diri-Nya “TUHAN” (ay.15), dari kata Ibrani Yěhovah,yang berarti “keberadaan-Nya tidak bergantung pada keberadaan lain”. Apapun keterbatasan Musa, Sang Penopang alam semesta akan menyertainya. —Julie Schwab

Pernahkah kamu merasa bahwa kamu tidak cukup baik dan perasaan itu menghalangimu untuk melayani Allah? Bagaimana hal itu mendorongmu untuk melihat tokoh-tokoh Alkitab yang dipakai Allah meskipun mereka memiliki kekurangan?

Allah yang kekal, kami sering ragu bahwa Engkau dapat memakai orang-orang seperti kami. Namun, Engkau mengutus Anak-Mu untuk mati bagi orang-orang seperti kami, karena itu ampunilah keraguan kami. Tolonglah kami untuk berani menerima tantangan yang Engkau izinkan kami alami.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 7-8; Efesus 2

Hidup Menantikan Yesus Datang

Jumat, 27 September 2019

Hidup Menantikan Yesus Datang

Baca: Matius 25:1-13

25:1 “Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki.

25:2 Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana.

25:3 Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak,

25:4 sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka.

25:5 Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur.

25:6 Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!

25:7 Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka.

25:8 Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam.

25:9 Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ.

25:10 Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup.

25:11 Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu!

25:12 Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu.

25:13 Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.”

Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya. —Matius 25:13

Hidup Menantikan Yesus Datang

Saya terinspirasi oleh lagu Live Like You Were Dying (Hiduplah Seperti kamu Sedang Sekarat) yang dibawakan oleh penyanyi country Tim McGraw. Dalam lagu itu ia menyebutkan hal-hal yang ingin dilakukan seseorang setelah mendapatkan kabar yang tidak baik tentang kesehatannya. Ia juga memilih untuk lebih cepat mengasihi dan mengampuni orang lain—berbicara kepada mereka dengan lebih lembut. Lagu tersebut mengajak kita untuk hidup dengan sungguh-sungguh, seolah-olah tahu hidup kita sebentar lagi akan berakhir.

Lagu itu mengingatkan bahwa waktu kita terbatas. Penting bagi kita untuk tidak menunda hingga esok apa yang dapat kita lakukan hari ini, karena suatu saat nanti, tidak ada lagi hari esok. Hal ini sangat penting diingat oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, yang percaya bahwa Dia dapat kembali kapan saja (mungkin detik ini juga, saat kamu membaca kalimat ini!). Yesus mendesak agar kita siap sedia dan tidak hidup seperti lima gadis “bodoh” yang tidak siap ketika mempelai pria datang (Mat. 25:6-10).

Namun, lagu McGraw tidak bercerita secara lengkap. Selalu ada hari esok bagi kita yang mengasihi Yesus. Dia berfirman, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh. 11:25-26). Hidup kita di dalam Dia tidak akan pernah berakhir.

Karena itu, jangan hidup seolah-olah kamu sekarat, karena sesungguhnya kamu tidak akan mati selamanya. Hiduplah menantikan kedatangan Yesus, karena Dia benar-benar akan datang! —Mike Wittmer

WAWASAN
Apakah yang disebut “Kerajaan Sorga” dalam Matius 25:1? Frasa ini muncul tiga puluh empat kali dalam Injil Matius saja. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Yohanes Pembaptis: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat“ (3:2). Frasa itu adalah kata-kata pertama Yohanes ketika ia memulai pelayanannya, juga kata-kata pertama Kristus setelah Dia mulai melayani (4:17). Kebanyakan pakar Alkitab menganggap frasa itu sebagai istilah lain bagi kerajaan Allah. Baker Encyclopedia of the Bible mendefinisikan frasa itu sebagai “pemerintahan Allah yang berdaulat, dimulai oleh pelayanan Kristus di dunia dan disempurnakan ketika ‘pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya’ (Wahyu 11:15).” —Alyson Kieda

Bagaimana kamu akan menjalani hidup hari ini seolah-olah Yesus akan segera datang? Bagaimana pilihan-pilihan hidupmu dipengaruhi oleh kesadaran bahwa Dia bisa datang kembali sewaktu-waktu?

Tuhan Yesus, aku sangat menantikan hari kedatangan-Mu kembali. Kiranya aku dapat memakai waktu yang telah Engkau berikan untuk memuliakan-Mu dan melayani sesamaku dengan setia.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 3-4; Galatia 6

Handlettering oleh Novia Jonatan

Berkenan di Mata Allah

Selasa, 24 September 2019

Berkenan di Mata Allah

Baca: Kejadian 6:9-18

6:9 Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.

6:10 Nuh memperanakkan tiga orang laki-laki: Sem, Ham dan Yafet.

6:11 Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan.

6:12 Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.

6:13 Berfirmanlah Allah kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi.

6:14 Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam.

6:15 Beginilah engkau harus membuat bahtera itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta tingginya.

6:16 Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas.

6:17 Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa.

6:18 Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan isterimu dan isteri anak-anakmu.

Nuh itu hidup bergaul dengan Allah. —Kejadian 6:9

Berkenan di Mata Allah

Sebuah perusahaan konsultan teknologi mempekerjakan saya setelah lulus kuliah meskipun saya tidak bisa menulis kode komputer dan belum tahu banyak soal usaha teknologi informasi. Dalam proses wawancara untuk mengisi posisi pemula, saya baru tahu bahwa ternyata perusahaan ini tidak terlalu melihat pengalaman kerja. Sebaliknya, kualitas pribadi seseorang seperti kreativitas dalam menyelesaikan masalah, ketajaman dalam menilai sesuatu, dan kesanggupan bekerja sama dalam tim adalah hal-hal yang jauh lebih penting. Perusahaan menganggap bahwa para karyawan baru dapat diajari keterampilan yang dibutuhkan selama diri mereka memiliki kualitas sesuai dengan apa yang dicari oleh perusahaan.

Nuh tidak memiliki pengalaman atau kemampuan membangun bahtera—ia bukan pembuat kapal apalagi tukang kayu. Nuh adalah petani yang sehari-hari terbiasa mengolah tanah dengan bajaknya. Namun, ketika Allah memutuskan untuk bertindak mengatasi kejahatan manusia pada saat itu, Nuh didapati-Nya berbeda dari orang-orang lain karena “Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kej. 6:9). Allah menghargai kerendahan hati Nuh yang mau diajar—yaitu keteguhannya menolak kebobrokan di sekelilingnya dan kemauannya melakukan yang benar.

Saat terbuka kesempatan untuk melayani Allah, mungkin kita merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Syukurlah, Allah tidak terlalu memandang kemampuan kita. Dia menghargai karakter kita, kasih kita kepada-Nya, dan kerelaan kita untuk mempercayai-Nya. Ketika sifat-sifat tersebut ditumbuhkan oleh Roh Kudus di dalam diri kita, Dia dapat memakai kita dengan cara apa saja untuk menggenapi rencana-Nya di muka bumi. —Jennifer Benson Schuldt

WAWASAN
“Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kejadian 6:9). Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “hidup bergaul” (atau “berjalan bersama”) dipakai untuk menggambarkan gaya hidup atau perilaku seseorang. Dua kali dikatakan pula bahwa Henokh “hidup bergaul dengan Allah” (5:22,24). Dalam Kejadian 17:1, Abraham diperintahkan oleh Allah, “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela.” Menariknya, dalam Ibrani 11:5-8 dikatakan bahwa tiga orang tersebut, Henokh, Nuh, dan Abraham, dipuji karena iman mereka, iman sejati yang mendorong mereka untuk menjalani cara hidup yang menghormati Allah. —Arthur Jackson

Kualitas karakter apa yang perlu ditumbuhkan Allah dalam dirimu? Mintalah kepada-Nya untuk menolongmu.

Ya Allah, berikanku hati yang rela melayani-Mu dalam segala hal. Lengkapilah aku dalam bidang-bidang yang tidak kukuasai, dan penuhilah aku dengan Roh-Mu supaya aku dapat menghormati-Mu lewat hidupku.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 4-5; Galatia 3

Segala Sesuatu yang Kita Lakukan

Jumat, 13 September 2019

Segala Sesuatu yang Kita Lakukan

Baca: Amsal 16:1-9

16:1 Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN.

16:2 Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.

16:3 Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.

16:4 TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka.

16:5 Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman.

16:6 Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni, karena takut akan TUHAN orang menjauhi kejahatan.

16:7 Jikalau TUHAN berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itupun didamaikan-Nya dengan dia.

16:8 Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan.

16:9 Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.

Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu. —Amsal 16:3

Segala Sesuatu yang Kita Lakukan

Dalam buku Surprised by Joy, C. S. Lewis mengakui bahwa ia mengenal iman Kristen pada usia tiga puluh tiga tahun, tetapi dengan “meronta, melawan, dongkol, dan mencari-cari celah untuk melarikan diri.” Meskipun Lewis berusaha melawan, dan ia juga menghadapi banyak kendala serta kelemahan diri, Tuhan mengubahnya menjadi seorang pembela iman yang berani dan kreatif. Lewis menyerukan kebenaran dan kasih Allah lewat banyak karya esai dan novel luar biasa yang masih dibaca, dipelajari, dan dibagikan orang sampai sekarang, lebih dari lima puluh lima tahun setelah ia meninggal dunia. Hidupnya mencerminkan keyakinannya bahwa tidak ada orang yang “terlalu tua untuk menetapkan tujuan lain atau merajut impian baru.”

Ketika kita membuat rencana dan mengejar impian, Allah dapat memurnikan motivasi kita dan memampukan kita untuk menyerahkan segala sesuatu yang kita lakukan kepada-Nya (ams. 16:1-3). Dari tugas yang paling sederhana hingga tantangan yang terbesar, kita dapat hidup demi kemuliaan Pencipta kita yang Mahakuasa, yang “membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing” (ay.4). Setiap tindakan, kata, dan pemikiran dapat menjadi ungkapan penyembahan kita yang tulus, suatu persembahan untuk menghormati Allah yang memperhatikan kita (ay.7).

Allah tidak dapat dibatasi oleh keterbatasan, kekhawatiran, atau kecenderungan kita untuk cepat merasa puas dan berhenti bermimpi. Ketika kita memilih untuk hidup bagi Dia—mengabdikan diri dan bergantung kepada-Nya—Dia akan mewujudkan rencana-rencana-Nya atas kita. Apa pun yang kita lakukan dapat dilakukan bersama Dia, untuk Dia, dan hanya karena Dia. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Kitab Amsal menekankan agar kita menghormati Allah dalam segala sesuatu yang kita lakukan. Hal tersebut tampak lewat frasa “takut akan TUHAN” (16:6), yang berarti rasa segan dan hormat yang sangat besar kepada Allah. Kekaguman, hormat dan penundukan diri sepatutnya diberikan kepada-Nya sebagai Pencipta, Penopang, Penebus, dan Tuhan atas segalanya. Seluruh kitab Amsal menegaskan pentingnya memiliki sikap takut akan Allah, baik secara individu maupun komunal, yakni seluruh umat Allah. Takut akan TUHAN adalah dasar bagi hidup yang berhikmat (1:7; 9:10); takut akan TUHAN adalah pilihan kita (1:29), takut akan TUHAN memperpanjang umur (10:27); dan nilainya lebih besar daripada harta (15:16). Orang yang takut akan Tuhan terlindung dari kejahatan (16:6; 19:23) dan mempunyai segala sesuatu yang mereka butuhkan (10:3). —Arthur Jackson

Bagaimana Amsal 16:3 dapat membantu kamu lebih yakin dalam menggunakan karunia-karuniamu? Langkah-langkah apa yang dapat kamu ambil untuk memuliakan Allah dalam usaha mewujudkan mimpi yang Dia taruh dalam hatimu?

Ya Allah, terima kasih Kau ingatkan kami bahwa tidak ada pekerjaan yang terlalu kecil dan mimpi yang terlalu besar dalam Kerajaan-Mu yang agung.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 16-18; 2 Korintus 6

Saya Mau

Jumat, 6 September 2019

Saya Mau

Baca: Imamat 19:9-18

19:9 Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu.

19:10 Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah TUHAN, Allahmu.

19:11 Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya.

19:12 Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN.

19:13 Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya.

19:14 Janganlah kaukutuki orang tuli dan di depan orang buta janganlah kautaruh batu sandungan, tetapi engkau harus takut akan Allahmu; Akulah TUHAN.

19:15 Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran.

19:16 Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah TUHAN.

19:17 Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia.

19:18 Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. —Imamat 19:18

Saya Mau

Shirley baru saja duduk santai setelah melalui hari yang sangat padat. Lalu ia memandang ke luar jendela dan melihat sepasang orang lanjut usia sedang bersusah payah memindahkan sepotong pagar tua yang boleh diambil orang secara cuma-cuma. Shirley memanggil suaminya, lalu mereka keluar untuk membantu pasangan tua tersebut. Dengan susah payah, mereka berempat mengangkat potongan pagar tadi ke atas gerobak dan mendorongnya di jalan raya sampai tiba di rumah pasangan tersebut. Di sepanjang jalan mereka tertawa-tawa membayangkan bagaimana orang-orang pasti bingung melihat apa yang mereka lakukan. Ketika kembali untuk mengambil potongan lain dari pagar tersebut, si wanita bertanya kepada Shirley, “Mau jadi temanku?” “Ya, saya mau,” jawab Shirley. Ia kemudian mengetahui bahwa teman-teman barunya itu berasal dari Vietnam dan kurang lancar berbahasa Inggris. Pasangan itu merasa kesepian karena anak-anak mereka sudah dewasa dan pindah ke kota lain yang jauh dari situ.

Dalam kitab Imamat, Allah mengingatkan bangsa Israel bahwa mereka pernah mengalami hidup sebagai orang asing (19:34). Mereka juga tahu bagaimana harus memperlakukan sesamanya (ay.9-18). Allah telah memisahkan mereka untuk menjadi umat-Nya, dan sebagai balasannya mereka harus memberkati dan mengasihi “orang asing” sama seperti mengasihi diri mereka sendiri. Yesus, karunia terbesar Allah bagi segala bangsa, kembali menegaskan firman Bapa-Nya sehingga pesan-Nya juga berlaku bagi kita semua: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, . . . Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39).

Melalui Roh Kristus yang hidup di dalam kita, kita dapat mengasihi Allah dan sesama karena Dia lebih dahulu mengasihi kita (Gal. 5:22-23; 1Yoh. 4:19). Dapatkah kita berkata seperti Shirley, “Ya, saya mau”? —Anne Cetas

WAWASAN
Perintah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18) tertulis di dalam pasal yang berisi berbagai peraturan hidup saleh yang senada dengan Sepuluh Perintah Allah. Imamat 19:18—seperti halnya Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:17)—adalah mengenai tanggung jawab terhadap sesama. Namun, perintah itu lebih mendalam sifatnya dengan menyatakan bahwa tanggung jawab kita terhadap sesama ialah juga mengasihi, dan bukan hanya kepada anggota umat Allah, tetapi juga kepada “orang asing” (Imamat 19:34). Yesus mengutip hukum kasih itu sebagai tindak lanjut dari kasih kita kepada Allah: “Hukum yang terutama ialah . . . Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:29-31). —Alyson Kieda

Bagaimana kamu mengalami diperhatikan orang lain ketika kamu merasa kesepian? Dalam Minggu ini, kepada siapa kamu dapat menunjukkan kasih Yesus?

Allah Mahakasih, aku bersyukur untuk kasih yang Kau tunjukkan kepadaku. Ya, Roh Kudus, mampukan aku mengasihi sesama agar Engkau dimuliakan.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 148-150; 1 Korintus 15:29-58