Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Oleh Yunus Kurniawan, Jakarta

“Aku sih sudah tidak respek lagi dengan dia,” sahut seorang rekanku di gereja. Saat itu aku menyebut nama seorang rekan pelayanan lainnya. Namun, rupanya hubungan mereka sedang tidak baik. Rekanku menganggap bahwa orang yang namanya kusebut itu adalah seorang yang egois.

Secuplik peristiwa di atas adalah salah satu dari banyak hal yang kadang membuatku heran. Mengapa gereja, yang seharusnya menjadi tempat di mana komunitas orang percaya berkumpul, memuji Tuhan, saling peduli, dan menguatkan malah menjadi tempat di mana banyak konflik terjadi? Ada jemaat yang tidak suka dengan majelis di gerejanya, atau sebaliknya. Atau, ada pula sederet konflik lain yang terjadi di antar jemaat, antar panitia, bahkan juga antar pemimpin.

Pernah suatu kali aku bersaat teduh dan bacaan renungan hari itu membahas tentang gereja. Renungan itu mengatakan bahwa di dalam gereja orang-orang percaya memuji dan mengagungkan nama Tuhan, bertumbuh dan belajar tentang firman Tuhan, serta saling mengasihi satu sama lain. Gereja dengan keadaan seperti itu adalah wujud kecil dari gambaran surga yang kelak akan datang, atau dalam kata lain mungkin gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia. Kalau kita ingin melihat seperti apa relasi di surga kelak, seharusnya kita bisa melihatnya dari gambaran gereja kita.

Tapi, bacaan renungan itu membuatku mengernyit. Aku lalu mengingat bagaimana keadaan gerejaku. “Wah, gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin dikatakan seperti surga kalau di dalam gereja sendiri terdapat persaingan dan permusuhan?” gumamku dalam hati.

Aku pernah mengalami konflik di gerejaku sendiri. Aku menjabat sebagai pengurus di kebaktian umum kedua. Suatu ketika, terjadi macet parah di Jakarta. Dari dua singer yang seharusnya ikut latihan hari itu, hanya satu yang dapat ikut. Peraturan di gerejaku adalah tiap orang yang bertugas melayani harus ikut latihan dulu. Keesokan harinya, pengurus kebaktian pertama meminta tidak usah ada singer saja di kebaktian, karena jika cuma satu orang yang jadi singer, terasa timpang. Namun, usul ini ditolak oleh ketua pengurus kebaktian kedua. Katanya, tidak bagus apabila worship leader hanya melayani sendiri, singer yang tidak ikut latihan tetap harus maju ke depan. Mungkin karena nada bicara ketuaku yang tegas dan keras, terjadilah kesalahpahaman di situ. Rekan-rekan yang merasa tersinggung kemudian menyebarkan kabar tidak benar tentang aku dan rekan-rekan di pengurus kebaktian kedua.

Dampak dari kejadian itu adalah kepengurusan pelayanan kami menjadi tidak nyaman. Aku mengakui bahwa cara ketuaku berbicara mungkin telah melukai hati mereka. Tapi, kupikir itu bukan jadi alasan untuknya menjelek-jelekkan aku dan rekanku ke banyak orang lainnya, apalagi menyebarkan berita yang tidak benar. Aku pikir akan jauh lebih baik apabila dia menyelesaikannya secara empat mata denganku atau ketuaku. Aku pun kecewa dan bertanya-tanya. Gereja yang adalah komunitas Kristen yang harusnya saling membangun, kok malah menjatuhkan dari belakang?

Aku memandang rendah orang yang menyebarkan kabar bohong tentangku. Suasana hatiku tidak lagi nyaman untuk melayani. Aku tahu bahwa sikapku yang memandang rendah temanku itu adalah salah dan dalam hati aku pun bertanya, “Kenapa aku tidak dapat mengasihi teman seimanku? Tapi, tidak ada inisiatif baik dariku maupun rekanku untuk saling berdamai. Hingga suatu ketika, dalam sebuah rapat bersama, majelis gereja meminta kami untuk membahas masalah ini. Aku dan kubu seberang saling bersikeras bahwa kami adalah yang paling benar.

“Jangan saling menyalahkan, tapi belajar untuk mengakui kesalahan dan minta maaf,” majelis gereja menegur kami. Dari teguran itu, kami menyadari bahwa maksud kami untuk membolehkan atau tidak membolehkan singer melayani di mimbar punya tujuan yang baik. Seharusnya kami tidak saling menyerang. Akhirnya, timku dan tim rekanku sepakat untuk berdamai. Kami belajar merendahkan hati, saling memaafkan, dan mengakui bahwa selama ini sebagai pelayan Tuhan kami tidak fokus melayani-Nya, kami malah mencari-cari kesalahan orang lain, kami lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Sebagai satu tim pelayanan dalam gereja, seharusnya kami saling membangun, bukan malah menjatuhkan. Ketika kami sadar dan belajar tentang hal ini, kami merasa lega.

Dari peristiwa konflik yang kualami, aku sadari bahwa tidak ada gereja yang sempurna. Di dalam Alkitab, kita bisa mendapati kisah tentang konflik yang sempat mewarnai pelayanan Paulus dan Barnabas. Dalam Kisah Para Rasul 15:35-41 dituliskan bahwa Barnabas ingin membawa serta Yohanes yang disebut Markus untuk ikut melayani ke kota-kota di mana Injil telah diberitakan sebelumnya. Namun, Paulus menolaknya. Paulus merasa Markus bukanlah seorang yang bisa diajak bekerja sama karena sebelumnya Markus pernah meninggalkan pelayanannya. Alkitab lalu mencatat hal tersebut menimbulkan perselisihan yang tajam di antara Paulus dan Barnabas hingga mereka memutuskan berpisah jalan.

Dari peristiwa ini, kita dapat melihat bahwa antara Paulus dan Barnabas terjadi perbedaan pendapat. Kita pun mungkin pernah mengalaminya di gereja. Pola pikir, pandangan, ataupun cara kerja kita yang berbeda dengan yang lainnya bisa membuat kita berkonflik dengan jemaat lain. Tapi, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang wajar. Setiap orang dalam gereja, entah itu jemaat, pengurus, majelis, maupun pendeta tentu memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Namun, bagaimanapun kondisi dan latar belakangnya, orang percaya perlu belajar untuk memberikan respons yang benar. Kita tidak boleh mundur begitu saja ketika merasa kecewa. Kita bisa menyelidiki kembali hati kita, melihat kepada Siapa yang sesungguhnya kita layani. Inilah yang dapat menolong kita untuk bertahan dan juga memperoleh kekuatan untuk melewati konflik yang ada.

Kisah Paulus dan Barnabas tidak berakhir hanya di saat mereka memutuskan berpisah. Tuhan menggunakan pelayanan keduanya sebagai cara yang efektif untuk menyebarkan berita Injil. Paulus dan Barnabas pergi melayani di tempat yang berbeda, sehingga mereka pun dapat menjangkau jemaat yang berbeda pula.

Konflik tidak melulu dimulai oleh sesuatu yang besar. Bisa pula oleh hal-hal kecil yang ketika tidak diselesaikan dengan baik, akan menjadi konflik yang membesar. Kita mungkin pernah mengalami salah paham. Kita mungkin pernah tersinggung dan lalu sakit hati karena bercandaan seseorang. Atau bahkan, kita tersinggung karena perkataan dan teguran dari pemimpin kita di gereja hingga akhirnya kita berniat mengundurkan diri dari melayani. Namun, kala konflik terjadi dan kita terdorong untuk membenci orang-orang yang kita anggap sebagai lawan, kita perlu menyadari bahwa ada tujuan mulia dari orang-orang percaya yang berkumpul membentuk suatu komunitas, yaitu untuk menjangkau orang-orang di luar sana dengan membagikan kabar keselamatan tentang Tuhan Yesus. Bagaimana kita dapat menjangkau mereka apabila di dalam pelayanan kita sendiri kita malah saling menyimpan kebencian?

Ketika menyadari bahwa kita adalah orang yang tidak sempurna namun dilayakkan Tuhan untuk melayani-Nya, kita dapat membuka diri dengan saling mengampuni, sebagaimana yang Tuhan Yesus telah perintahkan kepada kita. Seperti konflik yang pernah kualami dulu, terkadang konflik itu bukan melulu bicara tentang siapa salah atau siapa benar, tetapi tentang siapa yang mau mendengar dan meminta maaf, hingga relasi itu dapat pulih kembali.

Tidak ada gereja yang sempurna. Aku yakin setiap gereja pasti pernah mengalami konflik. Hendaknya kita sebagai jemaat Tuhan mengingat bahwa gereja merupakan kumpulan orang-orang berdosa yang telah dipanggil ke dalam terang. Hendaknya kita saling mengasah satu sama lain, belajar rendah hati, memaafkan, dan saling menguatkan satu sama lain.

“Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1 Tesalonika 5:11).

Baca Juga:

4 Tindakan untuk Membuat Masa Kuliah Lebih Bermakna

Masa kuliah adalah masa yang singkat, tapi menentukan langkah hidup kita ke depannya. Buatmu yang sedang kuliah, inilah 4 cara yang kulakukan untuk membuat masa kuliahku lebih bermakna.

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Paulus
    Paulus says:

    Terimakasih untuk renungannya..benar2 persis seperti apa yg saya aalami saat ini,biarlah firman Tuhan yg memperbaharui hidup kita

  2. DipanggilnyaYunitaAja
    DipanggilnyaYunitaAja says:

    terimakasih buat warungsatekamu yg udh menjadi wadah buat penulis artikel ini mempublish artikelnya. aku juga mengalami hal yg kurang lebih sama. berkat renungan ini aku diberikan kekuatan untuk minta maaf duluan. tidak peduli siapa benar atau salah, mengasihi tetap jalan. Amanat dari Tuhan Yesus buat kita semua.

  3. Purba
    Purba says:

    Ketika pelayanan mulai terlihat “mudah & jadi kebiasaan” disitulah konflik muncul, yang satu bermaksud mengingatkan, yang lain beranggapan dia tau apa yang harus dilakukan. Menyiapkan hati memang sulit. Gbu

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *