Refleksi Diri Akhir Tahun: Apakah Aku Sudah Taat dan Setia?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

Percakapan di dapur pagi ini sangatlah menohok hatiku. Di tengah kegiatan potong-memotong dan goreng-menggoreng itu, tiba-tiba sepenggal kalimat dari seorang yang sudah kuanggap kakak di tempat ini membuatku menyadari sesuatu hal yang penting.

Katanya begini, “Dek, gimana perenunganmu akan mimpimu beberapa bulan lalu? Aku harap kamu masih terus menghidupi makna mimpi itu dan menjadikannya alasan untuk bisa terus semangat, ya.”

Aku hanya terdiam. Dalam hatiku, sepertinya, Tuhan sedang memakai dia buat bicara sama aku.

Aku rasa memang kata-kata itu yang sedang kubutuhkan. Belakangan, aku sedang merasa benar-benar burn out dengan segala kegiatanku dengan program kampus merdekaku.

Namaku Intan. Aku seorang mahasiswa yang tinggal ngekos dengan beberapa teman, jadi wajar sekali bagi kami untuk masak bersama sambil bercerita di dapur. Beberapa bulan lalu aku bermimpi, bukan impian ingin meraih sesuatu loh ya, tapi ini beneran mimpi saat tidur. Aku tipe orang yang tidak ambil pusing dengan mimpi-mimpi, apalagi percaya mitos tentang mimpi, tapi mimpi kali ini beda.

Di mimpi itu, aku sedang menaiki anak tangga, banyakkk sekalii! Aku begitu bersemangat menaikinya, tapi setelah banyak anak tangga kupijak, aku mulai merasa lelah. Aku bahkan bertemu dengan tangga yang lebar sehingga tidak bisa sekadar melangkahkan kaki, sampai-sampai aku harus berpegangan di pinggir dan ngesot sedikit untuk bisa menaikinya. Saat aku hampir berputus asa, di situ aku melihat ada Sosok yang berkata, “Tuhan selalu menyertaimu,” lalu kemudian Dia hilang. Karena rasanya mimpi itu begitu nyata, makanya saat bangun aku mengingat persis keseluruhannya. Aku ceritakan mimpi ini ke Kak Tesa, teman satu kosku. Dia bilang, sepertinya mimpi ini cara Tuhan berbicara sesuatu kepadaku, dan aku bisa mengingat pesan mimpi ini setiap kali aku merasa tidak baik-baik saja, karena memang sesungguhnya Tuhan selalu menyertaiku.

Hari di mana percakapan itu terjadi adalah hari yang menurutku menjadi sebuah titik balik, aku perlu merefleksikan banyak hal kembali dalam diriku.

Seperti biasa, pagi-pagi para wanita tangguh sudah berkumpul di dapur. Ada aku, Kak Tesa, dan Tias teman kos kami juga.

“Guys, besok lho udah Desember, apa kabar resolusi?” tanya Kak Tesa sambil tertawa. Dia sepertinya menertawakan resolusi-resolusi yang tidak tercapai.

Tias juga menambahkan, “Gak terasa banget, umur udah makin tuek, tapi doi belum kunjung datang memberikan kepastian.”

Pecahlah suasana pagi itu dimulai dengan tertawa lepas kami. Sampai akhirnya seperti biasa, Kak Tesa memulai obrolan seriusnya.

“Tapi, apakah kita menyadari bahwa semua yang boleh kita alami adalah anugerah? Apakah kita sudah menjadi pribadi yang taat sepanjang tahun ini?”

Kami hanya terdiam.

Tias langsung mengganti topik, “Trus liburan mau kemana? buatlah rencana, Healing healing kita coyy, bisa lah bisa 😄😄”

Begitulah percakapan receh gen Z yang tidak pernah lupa sama healinghealingnya.

***

Malam sudah tiba, aku terdiam di dalam kamarku.

1 Desember, tidak terasa, apakah aku sudah menjadi pribadi yang taat? Kurenungkan pertanyaan itu. Setelahnya aku berdoa, memuji dan menyembah Tuhan. Akhirnya aku membuat sebuah kesimpulan atas diriku.

Sepanjang tahun, aku banyak sekali gagal, melakukan kesalahan, banyak khawatir, banyak mengeluh, apalagi soal resolusi… Banyakan merahnya daripada hijaunya. Tapi jika dihitung, tetap saja lebih banyak sukacita dan berkat. Bahkan dalam dunia nyataku sampai alam bawah sadar pun, Yesus ada di sana. Dia berbicara lewat mimpiku, Dia selalu bersamaku. Dan yang pasti, aku belajar, aku berproses, aku dibentuk, aku naik kelas.

Aku tahu aku belum jadi pribadi yang benar-benar taat, tapi aku juga tahu bahwa Tuhan sangat menghargai setiap proses jatuh bangun dinamika rohaniku.

Dulu aku sering sekali membuat tolak ukur bahwa tidak pernah bolong bersaat teduh atau berdoa adalah patokan ketaatanku, tapi akhirnya aku menyadari, ketaatan bukan sekadar rutinitas ibadah, tapi juga bagaimana melakukan apa yang Dia mau. Antara mengerti dan mempraktikkan harus sinkron, dan bagian melakukan jauh lebih sulit daripada mendengarkan.

Setahun ini, terlalu banyak realita yang membuat imanku goyah dan membuatku kurang percaya. Tapi, aku sadari lagi ketaatan untuk mendengar Dia di dalam kepedihan-kepedihan yang terjadi adalah cara-Nya mengatakan bahwa berkat-Nya tidak selalu diukur hanya lewat sukacita. Seperti dalam lirik lagu berjudul “Blessing” karya Laura Story, yang berkata:

“What if trials of this life, are your mercies in disguise.” (Bagaimana jika cobaan dalam hidup ini adalah rahmat Tuhan yang terselubung).

Aku selalu merinding setiap memaknai lagi dan lagi lagu tersebut.

Semoga kita belajar memaknai bagaimana Tuhan sudah berkarya hebat di sepanjang tahun ini buat kita, dan menjadikan Dia alasan untuk kita semakin belajar soal ketaatan, memperbaiki ketaatan kita, dan menata ulang lagi rencana program ketaatan kita di tahun-tahun berikutnya.

Karena kita tahu ketaatan mendatangkan berkat, juga membuat pintu-pintu didepan semakin terlihat lebih jelas. Tuhan menyertai dan menolong kita selalu.

“TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.” (Ulangan 13:4).

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *