Posts

Makna Sebenarnya di Balik Bekerja untuk Tuhan

Oleh Gabrielle Meiscova, Bandung

Tahun 2023, sebuah babak baru dalam hidupku yang terukir dengan cerita yang begitu rumit. Atas permintaan atasan, aku memberanikan diri untuk pindah ke kantor pusat yang berlokasi di Bandung. Awalnya, sulit memahami rencana Tuhan di balik langkah ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dan karena pertolongan Tuhan, Ia mengijinkan aku untuk merantau.

Perjalanan jauh dari keluarga dan gereja tercinta membawa kejutan yang tak terduga. Saat jarak memisahkan aku dan komunitas yang sudah terbangun di lingkungan gereja, alih-alih merasa kesepian, justru malah ada komunikasi intim dengan Tuhan yang tumbuh begitu kuat. Bahkan menurutku hubungan dengan Tuhan di perantauan ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku percaya bahwa ini adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa meski keberadaan keluargaku jauh, Ia selalu ada untuk menjagaku.

Kehidupan yang terlihat sangat baru, kini bisa kujalani tanpa sendu. Aku bisa melewati hari-hari di lingkungan baru ini karena berkat dari Tuhan. Tidak ada rekan kerja yang toksik. Tidak ada drama di lingkungan kerja yang bikin pusing. Semuanya tampak normal seakan Tuhan menjawab doa-doa yang pernah kupanjatkan sebelumnya. Hingga tibalah sebuah masalah yang membuatku mempertanyakan, “Kenapa seperti ini ya, Tuhan?”

Suatu hari, aku mengetahui bahwa ada oknum yang menyalahgunakan uang perusahaan yang seharusnya menjadi bonus bagi karyawan yang telah menyelesaikan masa probation dan kontrak pertama. Bonus dan hak yang seharusnya milikku lenyap begitu saja. Kala itu, aku merasa sangat marah. Aku marah kepada Tuhan bukan hanya karena uang yang menjadi hakku lenyap begitu saja. Aku marah karena Ia tidak menjawab doaku yang selalu kuucapkan setiap hari tentang “jauhkanlah anak-Mu ini dari orang-orang yang menjatuhkan dan mereka yang tidak baik bagi kehidupan anak-Mu ini”. Aku marah kepada Tuhan karena permasalahan ini terjadi menjelang bulan Desember, momen di mana kerabat dan keluarga berkumpul, dan aku yang seorang anak sulung dari orang tua yang sudah tidak lagi bekerja, harus mengeluarkan banyak uang untuk persiapan menjelang Natal.

Sampailah aku di suatu masa ketika aku selalu menangis sepulang kerja. Sesampainya aku di kosan, aku menangis tak henti-hentinya. Di malam itu, dadaku terasa sesak. Di dalam hati, aku berteriak, “Ya Tuhan, kenapa hal ini terjadi padaku? Apa yang Kau inginkan? Tidakkah aku sudah menjadi anak yang taat kepadamu? Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu uang yang seharusnya aku pakai untuk kebutuhan keluargaku?”

Di malam itu, aku langsung membuka Alkitab. Aku membukanya secara random tanpa melihat buku renungan. Aku mencari ayat favoritku di Lukas 1:37 yang menyatakan “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil”. Lalu, aku pun membaca keseluruhan perikop di Lukas 1:26-38.

Di dalam perikop ini, Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk menjumpai Maria. Malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa Tuhan memilihnya untuk menjadi alat dalam rencana-Nya yang ajaib, yaitu mengandung dan melahirkan Yesus, Sang Juruselamat dunia. Namun, di ayat 34, Maria mengatakan, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”

Di ayat ke 38, aku membaca ayat ini sampai berkali-kali, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Kalau saat itu Maria berpikir sebagai manusia pada umumnya, ia bisa saja tidak percaya. Kalau kita berpikir secara manusiawi, bagaimana bisa seorang perempuan tidak bersuami bisa mengandung? Sekalipun hal itu terjadi, orang-orang pun tidak akan percaya jika mengetahui ada seorang perempuan yang hamil tanpa pernah melakukan perkawinan.

Saat itulah aku menyadari bahwa Maria memiliki kerendahan hati. Ia menyadari bahwa ia bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan. Maria sadar ia hanyalah hamba Tuhan. Ia hidup untuk Tuhan. Ia tahu bahwa Tuhan berhak memperlakukan dirinya sesuai kemauan-Nya. Sebagai hamba Tuhan yang taat, Maria percaya bahwa Tuhan pun tidak akan memberikan kecelakaan pada anak-anak-Nya, apalagi kepada mereka yang patuh dan setia kepada-Nya. Yeremia 29:11 juga mengatakan: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Cerita tentang Maria membuatku sadar. Hidupku ini adalah milik Tuhan. Di masa kehamilannya pun Maria pasti mendapat banyak hujatan. Tapi, karena Maria adalah anak Tuhan, ia tidak merasa khawatir dan senantiasa percaya kalau Tuhan akan terus menjaganya. 

Sebagai anak Tuhan, aku seharusnya sadar kalau Tuhan yang mencukupkan segala yang kubutuhkan. Bahkan hingga saat ini, Ia selalu memberikan berkat-Nya padaku. Aku bisa makan dan minum, itu karena berkat Tuhan. Aku bisa punya pakaian yang layak pakai, itu karena Tuhan. Aku bisa punya pekerjaan, itu karena Tuhan yang memberikannya untukku. Aku bisa menulis kesaksian ini, itu pun karena Tuhan mau agar aku terus memberitakan Injil kepada orang lain. Jika aku dan kamu diberikan tantangan hidup, ingatlah bahwa Tuhan akan memberikan kita kekuatan untuk bisa melewatinya. Jika ada permasalahan di kantor, di keluarga atau dalam pergaulan, ingatlah bahwa ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu memperhatikan kita. Terkadang, mungkin di tengah segala kesibukan duniawi, Ia juga mau kalau kita terus mengingatNya. Dalam suka dan duka, ingatlah untuk selalu libatkan Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan. Berkomunikasilah dengan Tuhan, bukan hanya saat kita sedang susah saja, tetapi juga saat kita sedang bersukacita.

Banyak dari kita yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Tapi, nyatanya, kita bekerja untuk Tuhan. Ia yang memberikan pekerjaan itu kepada kita. Melalui perjalanan ini, aku belajar bahwa ucapan syukur tidak hanya untuk kebahagiaan, tetapi juga sebagai cara mengungkapkan iman dalam segala situasi. Tuhan tidak hanya hadir di tengah upaya kita untuk meraih keberhasilan, tetapi juga di tengah kegagalan dan penderitaan.

Hidup yang kekal adalah hadiah yang akan Tuhan berikan pada aku dan kamu. Saat teringat dengan berbagai pergumulan hidup, ingatlah bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Pekerjaan yang kita miliki hanyalah sementara. Rumah yang kita tinggali pun hanyalah sementara. Kebahagiaan yang kamu peroleh pun hanyalah sementara. Dengan memiliki kerendahan hati seperti Maria, aku percaya bahwa Tuhan pun akan bekerja dengan cara yang luar biasa.

Maukah kita menjadi pribadi yang taat seperti Maria? Hingga saatnya tiba, ketika Tuhan memuliakan kita, ingatlah untuk selalu menjadi anak yang taat. Sehingga ketika kita diberkati, kita pun bisa memberkati orang lain, serta tentunya bisa memuliakan Bapa di Sorga.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah vs di Atas Matahari, Pergumulan Manusia Mencari Makna Hidup

Oleh Jessie

Semakin umurku bertambah, aku punya kebebasan untuk mengerjakan apa yang aku sukai. Jika dibandingkan masa-masa sekolah dulu, kupikir menjadi dewasa akan memudahkanku mencari makna hidup. Tapi, ternyata tidak juga. Menjadi dewasa tidak melepaskanku dari rutinitas yang lama-lama terasa membosankan.

Kebosanan cenderung membuat kita melihat hidup sebagai tak ada maknanya. Orang tuaku sering mengatakan, “beginilah hidup, banyak hal yang kita kerjakan berakhir sia-sia pada akhirnya.” Jadi, ngapain ya kita sebenarnya hidup kalau Raja Salomo yang paling bijaksana di muka bumi pun mengatakan, “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2b)?

Topik mengenai tujuan dan kesia-siaan hidup merupakan topik yang sangat-sangat aku telusuri dalam keseharianku. Bagaimana tidak, aku diresahkan dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang aku lakukan tidak akan aku bawa saat mati nanti. Dahulu, piagam dan sertifikat sekolah sangatlah berharga, tapi semakin berumur, secarik kertas bergambarkan wajah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta alias uang seratus ribu jauh lebih bernilai. Jika ditanyakan kepada orang tuaku, maka menurut mereka kesehatan adalah nomor satu. Sudah dipastikan betul apa yang dikatakan Raja Salomo, bahwa segala sesuatunya merupakan sebuah fase, dan fase tersebut memiliki masanya, sehingga semua yang kita kejar akan menjadi sebuah kesia-siaan saat fase tersebut berakhir. Kitab Pengkhotbah tidak bohong saat penulisnya menjelaskan betapa fananya hidup ini. Tentu sebagai pembaca, aku cukup merenungkan tujuan dari si penulis berkoar-koar akan kesia-siaan hidup, mengetahui bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan hidup yang sangat jelas. Di sinilah keindahan dari Kitab Pengkhotbah. Terdengarnya bertentangan, namun sebenarnya seluruh pernyataannya sangatlah masuk akal dan berkesinambungan.

“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pengkhotbah 1:2). Lalu di ayat berikutnya, dituliskan, “Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pengkhotbah 1:3).

Entah kenapa, meskipun sudah berkali-kali membaca kitab ini, aku melewatkan arti penting dari kata-kata “di bawah matahari”  (1:3b); karena sesungguhnya, “di bawah matahari” ini merupakan sebuah cerita dari hidup yang terpisah dari Tuhan (life apart from God). Waktu seorang ilmuwan Alkitab bernama Mike Mazzalongo menjelaskan arti sesungguhnya dari “di bawah matahari,” barulah aku paham adanya kesinambungan di antara kesia-siaan hidup yang terpisah dari Tuhan dengan tujuan hidupku yang sesungguhnya. Dari pasal 1 sampai pasal 6, Salomo menggunakan frasa “di bawah matahari” untuk menjelaskan fase-fase kehidupan duniawi yang lazim, serta kesia-siaannya jika manusia menjalaninya tanpa melibatkan Tuhan. Bahkan, raja yang sudah memiliki begitu banyak harta, istri, status, serta ilmu, akhirnya pun harus menyerah dan mengakui kekalahannya akan memaknai hidup di luar Tuhan.

Jika kita mencari makna hidup dari apa yang ada “di bawah matahari” merupakan sebuah kesia-siaan, maka harapan dan jawaban kita mungkin ada di atas matahari atau hal-hal yang sifatnya spiritual. C.S. Lewis dalam bukunya yang berjudul Surprised by Joy, menjelaskan bahwa sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu yang manusia butuhkan dan inginkan dapat dipuaskan dan dipenuhi, seperti contohnya adanya rasa lapar dapat dipuaskan oleh makanan yang kita makan. Maka, logisnya, jika kita memiliki hasrat untuk memaknai hidup kita, maka tentu hal itu pun bisa dipenuhi. Hanya saja jika hasrat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh apa yang ada “di bawah matahari” atau hal-hal yang duniawi, maka penjelasan yang paling mungkin adalah hasrat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh apa yang ada di luar matahari ini. Atau bahkan, adanya keinginan besar untuk memaknai hidup ini hanyalah sebuah bisikan kepada manusia untuk menyiratkan hal yang sesungguhnya, yaitu Tuhan itu sendiri.

Jika perkara “di bawah matahari” ini bukanlah jawaban dari makna hidup yang sesungguhnya, maka pencarian makna yang seperti apa yang ada di “atas” matahari? Jawabannya ada pada relasi kita dengan Tuhan. Apa kurang logis jika makna kehidupan manusia hanya dapat ditemukan saat mereka datang kepada penciptanya (Pengkhotbah 2:25)?

Makna hidup kita yang sesungguhnya bergantung penuh pada relasi dan ketaatan kita kepada Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan akan membawa kita kepada kepuasan yang sejati, dan dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan itu sendiri, barulah kita dapat memaknai hidup ini. Jadi jangan terbalik sumbernya ya! Bukan kepuasan yang ada “di bawah matahari” ini yang akan memberikan kita sebuah makna kehidupan, tetapi kepuasan sejati yang dari Kristuslah yang memampukan kita untuk dapat menikmati segala fase kehidupan yang sia-sia ini.

Tapi… Stop stop stop! Jangan lalu kita menjadikan kitab Pengkhotbah ini sebagai alasan kita tidak berbuat lebih, karena tidak ada salahnya melakukan semua aktivitas positif yang ada “di bawah matahari” ini; hanya saja, perkara yang “di bawah matahari” ini bukanlah sumber dari arti hidup seorang manusia, melainkan merupakan media respons hati kita untuk memuji keagungan Sang Pencipta.

Relasi dengan Tuhan ini memang ide yang cukup mengawang, tapi kalau aku boleh bantu jelaskan, relasi ini dapat diartikan juga sebagai pengalaman pribadi kita bersama Tuhan, di kala senang, susah, ataupun bosan menjalankan rutinitas kehidupan kita, kita selalu bergumul, berdoa, dan melibatkan Tuhan terus-menerus sampai instinct kita menyatu dengan apa yang Tuhan mau. Di saat kita berjuang melaksanakan apa yang Tuhan sudah titipkan dalam hati kita, dan berusaha taat kepada perintah-Nya, di situlah pengalaman pribadi kita bersama Kristus terbentuk. Pengalaman pribadi bersama Kristus inilah yang akan memberikan makna dan kepuasan dalam segala aspek kehidupan kita. Oleh sebab itu, esensi dari kesejahteraan seseorang (one’s well being) bergantung penuh dari relasinya bersama dengan Tuhan. Kalau hari ini kita dapat bersyukur, berbahagia, dan menikmati segala aspek kehidupan ini, itu merupakan anugerah semata, karena tidak semua orang dapat merasakannya. Memang ada orang non-Kristen diluar sana yang juga bisa menikmati hidupnya, tapi kepuasan itu tidak akan senikmat dan sepuas yang dimiliki orang-orang percaya yang mengenal baik penciptanya (Pengkhotbah 2:26).

Sebenarnya, untuk kesekian kalinya, banyak tema dari Alkitab selalu mengajarkan kita bahwa hidup ini pada hakekatnya merupakan perjalanan relasi kita bersama Tuhan, dan salah satu kitab yang bertemakan hal tersebut ya kitab Pengkhotbah ini. Karena kalau dipikir-pikir, benar juga; Tuhan itu Pencipta, lho! Semua terjadi atas kehendak-Nya. Kalau Dia mau memberi, maka sekejap saja Dia bisa berikan; kalau Dia tidak berkehendak, maka tidak ada satu doa manusia pun yang akan menggubris hati-Nya. Akan menjadi sebuah kesia-siaan jika kita menjalankan siklus kehidupan tanpa mengetahui apa mau-Nya, karena setiap pertarungan hidup adalah pertarungan Tuhan, kewajiban kita ya berjalan bersama-Nya dibawah tuntunan kehendak-Nya. 🙂

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Penjaga Jiwa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Khina melihatnya lebih dulu. Tepat ketika kakinya dan Erik menjejak di lantai empat, Rino tampak berdiri beberapa langkah di depan mereka. Kepalanya ditutup dengan kupluk abu-abu. Seutas tali rafiah yang ujungnya membentuk simpul digenggam dengan kedua tangannya, melingkar di lehernya. Satu ujung yang lain terikat pada tiang balkon. Sekali lompat… selesai. Rino yang tak menyangka kemunculan Khina dan Erik, menghentikan usahanya sejenak namun tangannya terkepal kuat-kuat menggenggam ujung tali di lehernya itu. Khina melirik Erik.

“Rik, buruan cari guru!” Suara Khina mendadak parau, napasnya memburu. Erik balik badan, bergegas turun. Khina mencoba berpikir cepat, kata-kata apa yang hendak dikeluarkannya untuk menenangkan Rino agar tak gegabah bertindak. Di hatinya, Khina terus merapalkan doa. Ia minta Roh Kudus yang tuntun setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Dadanya berdebar lebih cepat dan mendadak terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

“Rino, hidup kamu terlalu berharga untuk kamu selesaikan dengan cara begini.”

“Gak ada yang peduli sama aku, Khina…” suara Rino tercekat di tenggorokan. Ia buru-buru melempar pandangannya ketika bersirobok dengan mata Khina. Ada sesuatu di mata itu yang membuatnya kembali tunduk menyembunyikan wajahnya yang pias.

“Tuhan Yesus sayang kamu, Rino. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Erik mencari kamu karena sayang sama kamu.”

“Hitam. Pendek dan… kata-kata itu… yang selalu dilontarkan teman-teman untuk mengolok-olok kondisi fisikku. Itu menyakitkan, Khina. Selama ini aku berusaha meredam emosiku. Segala sesuatu ada batasnya kan, Khin? Aku… Aku… gak kuat… arrghhh…” Suara Rino tenggelam oleh tangisnya yang pecah.

“Rino, percayalah…” Khina bergeming beberapa detik. Di ingatannya muncul Roma 8:18, firman yang dibacanya beberapa hari kemarin. Pelan, kakinya mendekat dua langkah, “… Semua penderitaan yang kita alami sekarang, tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Khina tak berkedip memerhatikan tangan Rino yang perlahan melonggarkan ikatan tali rafiah di lehernya. Rino sesenggukan. Bahunya naik turun setiap kali air matanya jatuh. Di waktu yang bersamaan, Erik yang muncul dengan beberapa orang guru, mendekati dan merangkul Rino menjauh dari tali yang nyaris membuatnya kehilangan seorang kawan. “Hidupmu berharga, bro.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian di lantai empat itu, Khina merasa gagal mengerjakan tugasnya menjangkau jiwa-jiwa baru untuk diajak bergabung ke kelompok selnya. Padahal, tiap doa Khina telah sungguh-sungguh meminta Tuhan kirimkan jiwa. Ia juga telah melakukan promosi di tiap ibadah. Bukannya bertambah, malahan beberapa kawan komselnya tak bisa hadir di kegiatan mingguan mereka. Itu membuatnya sedih.

Rasa tak nyaman yang mengusik hati Khina dan Erik ketika menyadari Rino tak ada di kelas saat mereka hendak ulangan, adalah pekerjaan Roh Kudus. Bisa saja mereka mengabaikan rasa itu dan terus tinggal di dalam kelas hingga pelajaran selesai. Namun, ketidaknyamanan itu membuat mereka berinisiatif mencari Rino ke balkon lantai empat.

Lalu Tuhan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada tulang-tulang yang kering itu, “Aku Tuhan Yang Mahatinggi meniupkan napas ke dalam dirimu supaya kamu hidup kembali. Kutaruh urat dan daging padamu serta Kubalut kamu dengan kulit. Kamu akan Kuberi napas sehingga hidup. Maka tahulah kamu bahwa Akulah Tuhan.” (Yehezkiel 37:4-6 BIMK).

Kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mau pakai kita. Kejadian di sekolah siang itu menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi Khina. Karena lewat kejadian itu, Tuhan mengajarkannya tak sekadar meminta jiwa. Tapi, bagaimana menanggapi kegelisahan yang Tuhan taruh di hatinya untuk menjadi penjaga jiwa dan menyelamatkan jiwa rapuh yang Tuhan sudah berikan dan tempatkan di dekatnya.

Pernahkah kamu gelisah, jenuh, bahkan menjadi tak sabaran mengerjakan sesuatu yang hasilnya tak jua tampak dan rasanya jauh dari harapan?

Setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk mengerjakan tugas mulia yaitu, Amanat Agung (Matius 28:19-20). Sebuah tugas yang bukan sekadar menjangkau jiwa baru. Tetapi, bagaimana melatih diri sendiri menjadi murid yang mau buka hati, mau taat, mau dibentuk karakternya lewat masalah yang Tuhan izinkan terjadi di hidup kita; sebelum kita menyaksikan pekerjaan Tuhan di hidup kita kepada orang lain. Masalah akan terus datang! Berterima kasihlah pada masalahmu, sabar dan setialah berproses. Tuhan sudah menyiapkan master plan untuk hidup kita sampai kekekalan.

Yuk! Latih kuping rohani agar peka dengan suara Tuhan dengan tekun membaca firman. Karena cara pandang dan pikiran Tuhan, berbeda dengan manusia. Mari sama-sama belajar dari pengalaman spiritual Khina.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Cara Memuliakan Tuhan dengan Emosimu

Oleh Charmain Sim.

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways to Glorify God with Your Emotions.

Masa-masa menjadi ibu menunjukkanku bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang kalem seperti yang kukira dulu. Semenit pertama aku kesal karena anakku tidak membereskan mainannya. Menit kedua, aku tertawa melihat tingkahnya menepuk-nepuk krayon supaya krayon-krayon itu tidur. Sukacita, frustrasi, senang, lelah, empati, tergesa-gesa, antusias, dan kesedihan—semuanya adalah emosi yang hadir setiap hari seperti roller-coaster.

Hasilnya, saat ini aku mengerti lebih baik tentang volatilitas emosi. Artinya, emosi itu bisa berubah dengan sangat cepat, mendorong dan menarikku ke berbagai arah jika aku bertindak berdasarkan apa yang kurasakan pada suatu saat. Mengalami berbagai macam emosi setiap hari membuatku merenung: apakah ada cara yang lebih baik untuk menanggapi setiap perasaanku?

Tidaklah salah untuk merasakan sesuatu. Perasaan diciptakan oleh Allah. Perasaan bisa dan harus memuliakan Allah (1 Korintus 10:31). Alkitab selalu bicara tentang seseorang secara utuh, seperti yang Yesus sampaikan di Matius 22:37, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana? Apa artinya memuliakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud seperti perasaan?

Salah satu ayat favoritku mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Gambaran yang muncul ketika kita berpikir tentang “menjaga hati” adalah memasang pagar pengaman untuk menjaga hati kita dari segala sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi, supaya memastikan hati kita memancarkan kehidupan, kita harus melihat ke dalam pagar pengaman itu, untuk menyelidiki apa yang ada di dalamnya, yakni emosi kita. Apakah emosi kita berada di bawah naungan terang kebenaran ilahi supaya kita bisa menanggapi segala sesuatu dengan cara yang sesuai Alkitab?

Ini sama sekali bukan daftar lengkap tentang cara-cara menangani emosi kita, tetapi ada tiga kebenaran yang saat ini sedang kupelajari untuk kuterapkan pada emosiku, dalam upayaku untuk menjaga hatiku lebih baik.

1. Akui dan serahkan emosimu pada Allah

Akan lebih mudah untuk memuliakan Allah ketika kita sedang mengalami emosi yang positif. Dulu aku percaya bahwa merasa negatif itu tidak baik. Ketika aku sedih atau marah, aku memilih mengubur perasaan ini daripada mengutarakannya. Kecenderungan ini muncul karena watak alamiku, tetapi pengalamanku di masa lalu juga turut mempengaruhi bagaimana aku merespons. Namun, Alkitab menunjukkan sebaliknya, terkhusus di kitab Mazmur. Tidaklah salah untuk mengakui perasaan-perasaan kita. Faktanya, raja Daud datang kepada Allah membawa serta seluruh emosi negatifnya: ketakutan, kesedihan, kesepian, kemarahan, rasa sakit.

Tahun lalu aku bergumul dengan amarah. Dipicu hal kecil, awalnya aku berpikir untuk mengabaikan saja masalahnya. Tapi, semakin kuabaikan, semakin rasa marah itu tumbuh. Ketika aku jujur pada Tuhan, Dia membuka pandanganku untuk melihat bahwa kemarahanku lahir dari persepsiku bahwa aku gagal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Hanya ketika aku mengakui dan jujur, di situlah Tuhan menyentuh dan membebaskanku dari belenggu kemarahan.

Aku belajar apa yang selama ini Daud ketahui: mengakui perasaan kita kepada Tuhan bukanlah suatu kelemahan. Sebaliknya, ketika kita melakukannya, kita mengaku bahwa kita membutuhkan Dia dan kita siap mendengar apa yang Allah ingin katakan buat kita. Dengan mengakui, kita turut menyatakan bahwa Allah jauh lebih besar daripada emosi yang dapat mengendalikan kita. Saat kita menjadikan Allah sebagai kekuatan dalam kelemahan kita, kita memuliakan Dia. Inilah mengapa, apa pun yang terjadi Daud tetap dapat memuji Allah (Mazmur 43:5).

2. Bicarakan firman Allah kepada emosi yang kamu rasakan

Ada saat-saat ketika aku dicengkeram rasa takut. Aku takut orang yang kukasihi meninggal. Takut akan keamanan. Takut melukai bayiku. Takut kehilangan kewarasanku. Ketakutan itu datang dalam berbagai bentuk dan ukuran dan selalu mencengkeramku. 

Tapi, tiap kali merasa takut, kubuka Alkitabku. Ayat-ayat seperti Roma 8:15 atau 2 Timotius 1:7 yang menyatakan bahwa Allah memberikan kita bukan roh ketakutan, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan penguasaan diri, telah menolongku berjuang melawan rasa takut. Aku dikuatkan dan dibebaskan ketika menjadikan ayat tersebut doa buatku sendiri. Ketika firman itu kukatakan pada perasaanku, ketakutanku tidak langsung hilang. Namun, ketika aku terus melakukannya, pelan tapi pasti, rasa takut itu kehilangan daya cengkeramnya pada diriku.

Bukan berarti aku tidak lagi merasa takut, tapi sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik bagaimana perasaanku sendiri mengarahkanku. Ketika perasaanku mengalihkanku menjauh dari Tuhan, aku bisa melawannya dengan senjata yang Tuhan telah berikan. Ketika aku melakukan ini, aku sedang memuliakan Dia.

3. Ubah emosimu menjadi tindakan

Meskipun perasaan kita bisa jadi indikator akan kondisi batin kita, perasaan juga bisa jadi cara Tuhan menyatakan kerinduan-Nya bagi kita agar kita bisa berjalan menuju tujuan-Nya bagi kita.

Membaca berita tentang anak-anak yang diperjualbelikan membuat kita marah. Mendengar tentang kehilangan seorang teman membuat kita sedih. Menyaksikan masalah sosial di kota kita membuat kita putus asa. Daripada berkubang dalam perasaan-perasaan itu, membanya ke hadapan Tuhan akan menolong kita memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Yesus ingin pergi menyendiri, tetapi Dia tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang lapar sehingga Dia pun memilih melayani mereka (Markus 6:30-44). Setelah mendengar tentang reruntuhan Yerusalem, Nehemia mengubah kesedihannya menjadi tindakan nyata dengan memulai kembali pembangunan tembok kota (Nehemia 1).

Berjuang demi keadilan sosial, menghibur seorang teman, atau berlutut dalam doa syafaat—ada kalanya Roh Kudus mendorong kita untuk melakukan tindakan yang diarahkan Allah melalui emosi kita. Untuk memastikannya, kita perlu berhenti sejenak. Jika itu memang dari Roh Kudus, maka respons kita adalah taat. Itulah momen ketika letupan emosi kita bisa berubah menjadi tindakan yang memuliakan Allah.

***

Sejak aku berdamai dengan emosi-emosi dalam diriku, aku telah menemukan bahwa emosi adalah alat yang berguna untuk mengukur bagaimana kondisi batinku–dan aku ingin mengajakmu untuk melakukan yang sama. Saat kita memahami hati kita lebih baik, kita bisa mengambil langkah yang tepat untuk memuliakan Tuhan. Dari berserah kita jadi berdaya untuk taat. Perasaan kita bisa jadi sarana yang mendorong kita untuk memelihara “mata air” kehidupan dalam diri kita yang mengalirkan kasih, kebaikan, dan anugerah Tuhan.

Kiranya apa yang dituangkan keluar dari hati kita memuliakan Allah dalam segala hal.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

4 Makna di Balik Persembahan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Apa yang membuat seseorang tergerak hatinya untuk memberi persembahan?

Jika pertanyaan ini dilontarkan padaku, mungkin jawabanku adalah jika orang tersebut memiliki uang, entah banyak atau sedikit. Tapi, sekadar memiliki uang saja sebenarnya tidaklah cukup. Alkitab memberikan kita contoh yang jelas. Ketika Yesus mengamat-amati orang-orang yang memberikan persembahan di bait Allah, perhatiannya malah tertuju pada seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Yesus bahkan menyanjung si janda tersebut karena nominal yang diberikan adalah yang terkecil dari semua persembahan yang dimasukkan ke kotak, tetapi diberikan dengan sikap hati yang besar.

Kondisi finansial mungkin akan mempengaruhi nominal persembahan yang kita berikan, namun nominal bukanlah yang pertama dan terutama. Ada empat hal yang kupelajari mengapa persembahan kita, yang kita berikan dengan berbesar hati—seberapa pun nominalnya, berkenan buat Tuhan.

1. Memberi persembahan adalah ekspresi iman kita

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dalam segala hal, sebab Tuhan itu baik. Cara bersyukur pun beragam, tidak hanya  dengan ucapan tetapi juga dengan tindakan, seperti memberi persembahan. Dalam Yesus Kristus, kita mengimani bahwa berkat Tuhanlah yang menjadikan kita memiliki segalanya, bahkan hidup kekal dari anugerah-Nya.

Tuhanlah yang empunya segalanya. Persembahan yang kita berikan bukanlah untuk memperkaya-Nya, tetapi ekspresi iman kita, bahwa kita mengasihi Tuhan lebih daripada berkat-berkat-Nya, dan kita selalu dipelihara-Nya (Mazmur 96:8; Matius 6:26). Tuhan pasti selalu mencukupkan segala yang dibutuhkan terlepas penghasilan kita banyak atau sedikit.

2. Memberi persembahan berarti memberikan yang terbaik bagi Tuhan

Dalam perikop Markus 12:41-44, kisah janda miskin memberikan persembahannya mendapat sanjungan dari Yesus yang kala itu berada dalam Bait Allah sambil memperhatikan orang-orang yang datang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Dengan dua peser senilai uang satu duit, janda miskin tersebut telah memberi yang terbaik bagi Tuhan dibanding pemberian orang-orang kaya dari kelebihannya.

Apa yang terbaik yang bisa diberikan seseorang yang secara kasat mata tak punya apa-apa? Tokoh janda miskin menggambarkan situasi kehidupan yang serba kekurangan. Secara strata sosial, janda miskin berada di lapisan terendah. Hidupnya hanya bergantung pada penghasilan sendiri atau bahkan pemberian orang lain. Tentu ini adalah kondisi yang kontras dengan kebanyakan pemberi persembahan saat itu.

Dengan segala kekurangannya, janda miskin itu sungguh-sungguh menyerahkan seluruhnya untuk Tuhan. Persembahan dua peser dari janda miskin adalah pemberian yang kuantitasnya sangat kecil, tetapi nilai kualitasnya sangat besar di hadapan Yesus. Bagi-Nya, persembahan yang terbaik adalah bukan soal nominalnya, kuantitasnya, melainkan sikap hati, yaitu ketulusan dan kesungguhan memberi dengan tujuan yang murni untuk Tuhan.

Memberi persembahan bukanlah sebuah paksaan, tetapi pemberian yang didasari kasih dan sukacita kita kepada Tuhan, sehingga kita seharusnya memberikan yang terbaik. Jangan menunggu kaya, untuk mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Apakah finansial kita lebih, cukup atau kurang, yang terbaik di hadapan Tuhan adalah ketulusan dan motivasi kita dalam memberi.

3. Memberi persembahan adalah sebuah pengorbanan

Dua peser yang diberikan janda miskin bisa kita sebut sebagai persembahan kehidupan, sebab dia memberikan segala yang dia miliki. 

Teladan persembahan janda miskin ini memang sulit untuk kita lakukan. Aku pernah jadi orang yang pikir-pikir dulu sebelum memberi persembahan. “Aku butuh ini dan itu Tuhan. Bagaimana mungkin uangku ini kupersembahkan bagi-Mu?” Aku mencari pembelaan atas keenggananku memberi.

Aku juga pernah berharap dalam hati untuk mendapatkan imbalan ketika aku mengorbankan waktu dan tenagaku untuk melayani. Namun, puji Tuhan, teladan janda miskin menyadarkanku bahwa memberi persembahan adalah pengorbanan yang seharusnya aku tidak mengharapkan balasan.

Berbicara tentang persembahan yang kumaknai sebagai sebuah  pengorbanan, aku teringat pada pengorbanan Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa demi keselamatan hidup kita. Dia adalah Tuhan kita yang telah mempersembahkan diri-Nya untuk kebaikan kita, tidakkah kita juga harus  merespons kasih-Nya itu dengan memberi persembahan tanpa mengharapkan imbalan? (Matius 6:3-4; Kolose 3:23).

4. Mempersembahkan hidup adalah persembahan sejati

Ketika kita berbicara tentang persembahan kepada Tuhan, sejatinya bukan hanya soal uang atau harta lainnya. Lebih dari semuanya itu, sesungguhnya hidup dan seluruh kehidupan kita adalah persembahan sejati bagi Tuhan. Saat kita memberikan persembahan, apakah kita sudah mengasihi sesama?

Mengasihi Allah dengan memberikan persembahan bagi-Nya tidak bisa dipisahkan dari ekspresi ibadah kita yang horizontal, yakni mengasihi sesama kita. Persembahan kita akan berkenan dan berarti apabila itu selaras pula dengan perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita yang taat pada firman Allah.

Dalam Perjanjian Lama, para imam menguduskan diri terlebih dahulu sebelum mempersembahkan korban bakaran dari umat Israel. Di zaman Perjanjian Baru, Imam Agung kita, yaitu Yesus Kristus juga telah mempersembahkan diri-Nya  sebagai korban penebus dosa.

***

Kisah janda miskin dan orang kaya dalam memberi persembahan menjadi pengingat bagi kita bahwa memberi persembahan bukanlah ajang untuk mempertontonkan kekayaan dan kekuasaan, melainkan dengan rendah hati kita memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Mari merenungkan bahwa dua peser saja cukup dan dikenan Tuhan. Artinya dengan apa yang dimiliki untuk dipersembahkan dengan penuh iman dan ketulusan, Tuhan sanggup memakainya untuk menjadi berkat, terlebih menjadi hormat dan kemuliaan di hadapan Tuhan.

Kiranya Tuhan selalu berkenan untuk setiap persembahan yang kita beri, dan hidup kita  menjadi persembahan sejati bagi-Nya.

“Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan  diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5:2).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan yang Tidak Pernah Absen

Oleh Grace Angelique Natanael, Jakarta

Bagaimana rasanya kalau kita harus kehilangan sesuatu yang telah jadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kita? Sejak 2018, setiap hari Senin dan Kamis aku selalu mengisi kegiatanku dengan berlatih taekwondo. Meskipun waktu mulai dan lokasinya seringkali berubah, atau kadang pula muncul rasa malas dan lelah hingga aku memilih absen, rutinitas ini tetap berusaha kuikuti dengan setia.

Taekwondo adalah cabang latihan bela diri yang berasal dari Korea. Setiap kali sesi latihan durasinya bisa berjam-jam. Bahkan, kadang waktu istirahatnya hanya cukup buat minum saja. Pasca latihan, aku menderita kram otot kaki yang lazim terjadi di tengah tidur malamku. Akan tetapi, latihan yang kuanggap menyakitkan ini justru malah menjadi hal yang sangat aku rindukan.

Pada bulan Maret 2023, aku mengambil keputusan untuk keluar klub setelah menerima sabuk biru strip merahku, saat tinggal empat sabuk lagi menuju sabuk hitam. Alasannya? Bukan karena keluhan-keluhan tadi, melainkan penyakit yang entah dari mana muncul di hidupku semenjak pertengahan 2021, yaitu dermatitis, radang kulit yang disertai rasa gatal. Sakit yang luar biasa menjalar di hampir seluruh tubuhku dan luka-lukanya membuatku bahkan jijik melihat diriku sendiri. Dalam kurun waktu tertentu, dalam sehari aku bisa menangis setidaknya dua kali.

Kacau! Diriku di tahun-tahun itu sangat kacau. Aku coba berlari sejauh mungkin. Apa itu pakaian yang nyaman? Seluruh diriku harus tertutup. Masker untuk menangkal virus? Bukan! Masker itu untuk menutupi wajahku. Self-esteem-ku jatuh bebas di kala itu. Bahkan pernah, ketika aku membersihkan diri, aku terisak begitu kencang karena perihnya luka-luka di tubuhku itu. Namun di saat itu, Tuhan tidak diam. Tuhan hadir lewat Mama yang ternyata selama ini sangat perhatian dan menunjukkan kekhawatirannya. Mama membantu aku mengoleskan obat pada luka-lukaku. Sentuhannya menenangkanku, sehingga rasa sakitnya buyar begitu saja. Tuhan juga memenuhi halaman sosial mediaku dengan konten-konten positif. Ia mengingatkan aku berkali-kali bahwa begitu berharganya aku. Bukan hanya itu, Tuhan menempatkan aku di lingkungan yang sangat suportif. Di saat aku tak bisa melihat apa yang indah dari diriku, teman-temanku tak bosan-bosannya memujiku. Perlahan kuterima afirmasi positif itu, seiring itu aku pun sembuh.

Ada satu dokumentasi yang aku simpan pada 2022, video ketika aku sedang down. Awalnya tujuanku merekam hal ini semata-mata adalah untuk mengingat “perjuanganku” bertahan, tapi ujungnya justru malah mengalir begitu indah! Dokumentasi ini mengingatkanku terhadap karya Tuhan dalam hidupku selama ini. Keluhanku berubah menjadi rasa syukur seiring video berjalan. Malahan video itu diakhiri dengan doa yang sama sekali tak aku rencanakan.

Di dalam penderitaanku, Tuhan memang tidak memberikan yang aku mau. Aku ingin langsung sembuh, tetapi Tuhan menghadirkan orang-orang berharga dalam hidupku. Mereka menyadarkanku bahwa Tuhan menerima aku apa adanya. Tuhan bukan hanya berkenan menghampiri aku yang menderita, Dia juga membawa aku mendekat pada-Nya supaya penderitaan itu terhapus.

Keluarnya aku dari olahraga yang telah aku tekuni selama lima tahun, ternyata tidak seberat yang kubayangkan. Kini, Tuhan mengganti rutinitasku dengan hadirnya teman-teman les yang positif. Dalam setiap rasa sakit, Tuhan tak pernah meninggalkan aku. Selalu ada bahasa cinta Tuhan yang Ia sampaikan padaku. Dan lagi, Tuhan selalu menyediakan yang lebih baik dari yang aku sangka. Ia adalah Pendamping dan Penyedia yang kubutuhkan. Tuhan yang luar biasa menyertai aku. Sebagaimana yang ditulis dalam Ulangan 31:8, Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.”

Grace Angelique adalah siswa kelas X, salah satu peserta workshop menulis WarungSaTeKaMu pada 1 September 2023.

Ini adalah tulisan pertamanya di WarungSaTeKaMu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kasih Karunia Tuhan dalam Pencarian Pekerjaanku

Oleh Yosheph Yang

Kurang lebih enam bulan lalu, aku menulis tentang bagaimana pentingnya janji Tuhan, iman, dan kesabaran dalam penantian penggenapan janji-Nya. Ceritaku tentang ini bisa dibaca di sini. Dengan berpegang pada janji Tuhan dan melalui kasih karunia-Nya, aku diterima sebagai dosen tetap dengan jaminan pensiun di salah satu universitas negeri di Korea Selatan. Di artikel ini, aku akan menceritakan bagaimana Tuhan memimpin langkahku dalam menjadi dosen.

Di awal masa studi doktoralku, aku tidak terlalu berpikir untuk menjadi dosen setelah lulus. Aku lebih kepikiran untuk bekerja di institusi penilitian dan semacamnya dibandingkan dengan bekerja di bidang akademik. Menjelang akhir masa studi doktoralku, keinginan untuk menjadi dosen mulai muncul. Dikarenakan bidang penelitianku yang sangat terkait dengan rahasia negara, kemungkinan aku untuk diterima di lembaga penelitian di luar negeri sangat kecil. Mentor rohaniku di saat studi doktoralku juga menceritakan jika aku diterima sebagai dosen, aku akan memiliki banyak interaksi dengan mahasiswa sehingga dapat memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang membutuhkan. Pergumulanku menjelang kelulusan doktoralku juga dapat dibaca di sini.

Setelah lulus dari studi doktoralku, aku diterima sebagai dosen tanpa tenur (jaminan menjadi dosen tetap) di salah satu universitas swasta di Korea Selatan. Selama masa kerjaku di universitas tersebut, aku telah mengirimkan 9 aplikasi di dua tahun pertama. Tidak ada universitas yang mau menerima dikarenakan aku orang Indonesia. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pendanaan riset dari pemerintah Korea.

Mentor rohaniku mengatakan kepadaku bahwa Tuhan akan membukakan pintu buatku. Beliau menceritakan kisahnya sebagai satu-satunya pelamar untuk pekerjaan yang beliau daftar di masa lalu. Aku sedikit skeptik mendengar cerita tersebut. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya pelamar untuk pekerjaan sebagai dosen yang sangat banyak peminatnya? Bagaimana aku bisa bersaing dengan orang Korea lainnya?

Aku mengakui ketidakpercayaanku dan menuangkan segala permasalahanku kepada Tuhan. Kurang lebih isi doaku adalah seperti ini.

Tuhan, Engkau sangat mengerti situasi pekerjaanku sekarang. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai dosen dengan jaminan tenur. Di Indonesia sendiri, tidak banyak lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang penelitianku. Walaupun ada, aku harus mengorbankan gaji dan penelitianku jika pulang ke Indonesia. Apabila rencana Tuhan buatku adalah bekerja di Indonesia, tolong ubah hatiku dan bukakan jalanku. Bantu aku mempercayai-Mu sebagaimana Engkau telah membawa aku sejauh ini. Apabila rencana-Mu bagiku adalah bekerja di Korea, tolong pimpin jalanku. Jika rencana-Mu bagiku ada bekerja di Korea, tolong berikan aku pekerjaan sebagai dosen di universitas negeri yang tidak banyak memaksakan publikasi dan pendanaan riset sehingga aku bisa memiliki waktu yang lebih untuk pemuridan mahasiswa lainnya.

Di masa pencarian pekerjaan, aku memegang janji Tuhan di Yesaya 30:18, “Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”

Tuhan menantikan saat yang tepat untuk memberikan yang terbaik. Karena kita berharga bagi Kristus, Ia akan memberikan yang terbaik buat kita. Sering sekali Tuhan memakai masa penantian ini untuk membentuk karakter kita bertumbuh menyerupai Kristus.

Di awal bulan Mei 2023, tiba-tiba ada lowongan sebagai dosen dengan jaminan tenur di salah satu universitas negeri di Korea. Lebih spesifik lagi, lowongan ini hanya terbuka bagi warga negara asing atau orang Korea dengan multi-kewarganegaraan. Banyak dosen-dosen lain di sekitarku yang menyarankanku untuk mendaftar di posisi tersebut.

Setelah mengirimkan pendaftaranku, aku mendapatkan informasi bahwa aku lolos untuk wawancara departemen. Di masa wawancara tersebut, aku juga bertemu dengan orang asing lainnya. Beliau memiliki banyak pengalaman dibanding aku dan telah memiliki banyak publikasi. Salah satu hal yang aku cukup baik dibanding beliau adalah kemampuan bahasa Koreaku. Aku berdoa kepada Tuhan supaya aku tidak melihat situasi sekitarku dan bisa lebih fokus kepada pimpinan Tuhan.

Dikarenakan universitas yang aku daftar ini adalah universitas negeri, minimal satu orang akan dipanggil untuk wawancara terakhir dengan para petinggi universitas. Dan, rektor universitas yang aku daftar ini berasal dari jurusan yang aku daftar. Beliau telah mendengar tentang aku dari para dosen di jurusan ini. Wawancara terakhirku berlangsung hanya 5 menit. Melalui kasih karunia Tuhan, aku diterima di posisi ini.

Setelah diterima, aku menanyakan kepada kepala jurusan mengapa mereka membukakan lowongan untuk orang asing. Beliau mengatakan pada awalnya mereka pada awalnya menginginkan untuk menerima dosen Korea. Tetapi dikarenakan jumlah dosen Korea sudah banyak, pihak petinggi universitas hanya memperbolehkan menerima orang asing. Aku melihat ini semua sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan di dalam kehidupanku. Di saat aku memerlukan pekerjaan sebagai dosen tetap, Tuhan menggerakan hati para petinggi universitas yang hanya memperbolehkan untuk menerima orang asing.

Aku sangat berterima kasih buat pimpinan Tuhan di kehidupanku. Saat pertama kali aku datang ke Korea di tahun 2015, tidak pernah terpikir bagiku untuk menjadi dosen. Kadang-kadang aku merasakan aku kehilangan satu tahun di masa pembelajaran insentif bahasa Korea di tahun pertama masa studiku. Tetapi, Tuhan menggunakan waktu pembelajaran tersebut dan persekutuanku bersama gereja Navigators Korea untuk meningkatkan kemampuan bahasa Koreaku. Yesaya 55:8-9 berkata, Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”

Melihat Tuhan membukakan posisi di universitas negeri yang hanya menerima orang asing, aku mengalami bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Yeremia 32:27 juga berkata, Sesungguhnya, Akulah Tuhan, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk-Ku?” Hal penting yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita adalah mempercayai-Nya dan menantikan Dia bertindak dalam ketekunan dan ketaatan dalam iman.

Ibrani 10:35-36, Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya. Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥