Beberapa bulan terakhir rasanya seperti penuh badai bagiku. Di bulan Agustus, aku merasa Tuhan memintaku untuk menjadikan bulan Septemberku sebagai momen Sabat–waktu khusus untuk berhenti dan beristirahat. Aku terpikir untuk berhenti kerja, berhenti menyusun planning, agar aku bisa meluangkan waktu berkualitas dengan Tuhan tanpa gangguan apa pun.
Di pekerjaanku, aku bisa bekerja sampai 14 jam sehari. Keputusan berhenti ini mengubah jam kerjaku menjadi 0 jam sehari. Buatku yang workaholic, perubahan drastis ini akan menyulitkan dan mengejutkanku. Aku terus meminta petunjuk supaya aku yakin, seperti ketika Allah meyakinkan Sarah.
Di dalam Alkitab, ada pola tentang bagaimana Tuhan memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk “keluar” agar mereka fokus pada-Nya. Bangsa Israel berjalan di padang gurun selama 40 tahun, menjumpai Tuhan dan belajar menanggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa membahayakan mereka. Yesus pun secara teratur meluangkan waktunya dalam kesunyian dan berdoa bersama Bapa. Sepanjang waktu yang kutentukan sebagai Sabat, aku terpaku pada beberapa ayat di Yeremia 29, yang ditulis untuk umat Tuhan yang sedang ditawan.
“Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 29:12-14a)
Ungkapan “dengan segenap hati” itu selalu menyentakku setiap kali aku membacanya. Aku sungguh ahli jika mencari Tuhan dengan ‘sebagian’ hatiku, tetapi jika seluruhnya kuserahkan, itu jadi cerita yang berbeda. Aku tahu Tuhan memanggilku ‘keluar’ dari rutinitasku supaya aku bisa mencari Dia sepenuh hati, dan aku tahu aku harus membuat beberapa perubahan.
Memangkas Kebisingan
Salah satu perubahan yang kulakukan adalah: aku memutuskan berhenti jadi subscribers sejumlah podcast. Aku perlu mengendalikan suara-suara manakah yang kuizinkan masuk ke dalam pikiranku dan membentuk hidupku.
Selama bertahun-tahun, aku mendengar berbagai podcast soal politik dan aku sangat menikmatinya, tapi di sisi lain aku pun merasa muak. Seiring waktu, podcast yang awalnya seru dan mendidik berubah menjadi ajang saling menuding dan menjatuhkan pihak lain, sehingga jika kudengarkan lebih lanjut bisa berdampak negatif buatku.
Meskipun aku tahu podcast itu memberiku dampak negatif, berhenti jadi subscribersnya ternyata sulit. Sebagian diriku masih ingin terikat pada rutinitasku. Aku juga tidak ingin kehilangan suara-suara yang sudah akrab kudengar. Loyalitasku pada acara podcast ini mungkin jadi penyebab, tapi kusadari ada yang lebih dari itu:
Aku tidak ingin melepaskan sesuatu yang sudah kugenggam erat. Aku tidak ingin berkorban. Aku ingin lebih mengenal Tuhan lebih erat dan akrab, mendengar-Nya lebih jelas daripada sebelumnya. Tapi, aku tidak mau menciptakan ruang untuk mendengar suara-Nya. Aku ingin Dia bekerja, sedangkan aku cuma menerima.
Menjumpai yang Lebih Baik
Di bulan September, aku melakukan yang terbaik untuk bulan yang kuanggap Sabat. Aku belajar lebih bijak menggunakan uangku, tidak lagi boros untuk sekadar jajan. Aku memilih untuk percaya pada pemeliharaan-Nya daripada mengkhawatirkan diriku sendiri.
Kutunda dulu pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktuku supaya aku bisa bersandar pada firman-Nya. Aku belajar merasa cukup dengan kehadiran Tuhan saja, bukan semata mencari berkat-berkat-Nya. Aku harus menguji, apakah aku beriman dengan murni atau transaksional alias mengharapkan imbalan. Kusadari aku terlalu egois, yang kupikirkan cuma diriku sendiri.
Tuhan seperti memberiku cermin. Dia menunjukkanku area-area mana di hidupku di mana aku membiarkan rasa malu dan gila kerja menguasaiku, menaruh percayaku pada zona nyaman yang kubuat sendiri, yang kuyakini itulah yang berkenan buat Tuhan.
Sekarang, aku sadar bahwa tugasku adalah aku perlu percaya pada Tuhan melebihi aku percaya pada diriku sendiri. Aku memilih untuk berserah.
Bagi seorang workaholic yang terlalu berlebihan dalam bekerja, keputusan menikmati Sabat akhirnya menunjukkanku bahwa Tuhan jauh lebih hebat dari diriku sendiri. Segala upayaku dalam bekerja tidak memiliki makna jika aku tidak memiliki relasi dengan-Nya. Momen-momen ketika aku melepaskan diri dari apa yang menjeratku, jadi pembelajaran yang meneguhkanku bahwa identitasku datang dari apa yang Tuhan katakan tentangku, bukan dari apa yang aku lakukan. Tuhan telah menyingkap dan menyembuhkan bagian-bagian hatiku yang terluka, yang tidak percaya, yang keras. Aku telah mencari Dia, dan Dia pun selalu hadir.
Tuhan selalu bisa kita jumpai saat kita ingin berelasi dengan-Nya.
Apa yang Tuhan katakan padamu dalam situasimu yang sekarang? Apa yang telah Dia bisikkan ke hatimu? Aku berdoa agar kita bijak mengelola waktu kita, memangkas hal-hal apa yang membisingkan telinga dan hati kita, serta memberi ruang bagi-Nya untuk berbicara kepada kita.
Apa pun langkahmu selanjutnya, aku berdoa agar Dia memenuhimu dengan keteguhan hati dan kamu memutuskan untuk selalu mengikut dan taat pada rencana-Nya.
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/11/2022-11-14-keputusan.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2022-11-14 13:00:142022-11-14 13:16:22Demi Perubahan Hidup, Aku Berani Ambil Keputusan Besar
Memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan bukan sekadar berdoa seperlunya atau ibadah secukupnya, tapi kesungguhan kita untuk mau mengenal-Nya dan berusaha menumbuhkan hubungan dengan-Nya.
Artspace ini dibuat oleh @satria_why dan diterjemahkan dari @ymi_today
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/11/01.jpg10801080WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2022-11-03 10:29:312022-11-03 10:29:31Pupuk untuk Menumbuhkan Relasimu dengan Tuhan
Sebagian besar dari kita mungkin sudah menjadi Kristen sejak bayi (papa-mama, kakek-nenek, bahkan buyut kita sudah Kristen) sehingga ‘mau tidak mau’ kita menjadi orang Kristen warisan. Namun, mungkin ada sebagian dari kita yang mengenal dan memutuskan untuk percaya pada Kristus di usia-usia tertentu setelah mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Ini semua bukan berbicara mana yang lebih baik—Kristen warisan atau menjadi Kristen di usia tertentu. Aku sendiri jadi orang Kristen karena warisan, meskipun dulu mamaku sebelum menikah bukan orang yang percaya Tuhan.
Mamaku memutuskan untuk percaya dan menerima Yesus ketika akan menikah dengan papa. Ia beranggapan bahwa sudah seharusnya istri yang mengikut suami, bukan sebaliknya. Karena mama bukan dibesarkan dalam keluarga orang percaya, dan papa bukanlah orang yang aktif bergereja, aku pun kurang diajarkan bagaimana menghayati iman Kristen. Aku hanya diajarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Kristen. Selama ini orang tuaku hanya menyarankan untuk ke gereja, berdoa, aktif terlibat pelayanan, menanamkan pentingnya memberi persembahan tanpa ada paksaan sedikitpun—artinya, kalau aku tidak mau ke gereja karena malas, tidak ingin memberi persembahan, tidak mau terlibat pelayanan, mereka tidak ambil pusing. Menurut mereka, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan rohani adalah urusan pribadi, mereka tidak punya hak untuk memaksaku, karena mereka pun tidak disiplin dan menghayati berbagai kegiatan itu. Walaupun demikian, aku berusaha untuk terus taat mendengarkan yang mereka sarankan bagi pertumbuhan rohaniku. Tapi, ketika aku makin aktif terlibat pelayanan, dan menjalankan ‘rutinitas rohani’ yang diajarkan, aku makin merasa kering, bukannya bertumbuh.
‘Daripada malam mingguan ndak jelas di jalan, mending malam mingguan di gereja, beribadah dengan sesama orang Kristen’,
‘Daripada hari minggu bangun siang, mendingan bangun pagi untuk pergi ke gereja dan dengar firman’,
‘Daripada rebahan terus di rumah, mending aktif pelayanan’.
Kalimat mendang-mending inilah yang membuatku melakukan berbagai aktivitas rohani sebagai rutinitas saja. Aku menyadari kekeringan rohani ini semakin menjadi-jadi ketika aktif pelayanan, berdoa, memberi persembahan, dan rajin beribadah hanyalah sebagai ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang dilakukan untuk mengisi kegiatanku yang kosong. Lama kelamaan aku mengalami burn-out dan mulai mundur secara kerohanian, serta terbelenggu oleh dosa yang makin menjauhkan aku dari Tuhan. Aku merasa melayani Tuhan, membaca Alkitab, beribadah, dan berbagai kegiatan rohani lainnya sebagai beban yang memberatkanku, ditambah dengan sibuknya kegiatan OSIS waktu itu. Aku lebih sering berada di gereja ataupun sekolah daripada di rumah. Aku lelah secara fisik, kering secara rohani.
Ketika aku berada di titik terendahku, aku kembali kepada Tuhan dengan membaca Alkitab. Waktu itu yang aku lakukan hanyalah membuka Alkitab untuk menemukan ayat secara acak untuk aku baca. Hebatnya, Tuhan pakai itu sebagai titik balik kerohanianku. Aku makin mengimani Kekristenan (menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat) ketika mengalami perjumpaan dengan Firman. Efesus 2:8-10 menjadi ayat yang aku baca secara acak pada saat itu, dan terus mendorongku untuk haus akan firman hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke seminari. Jika sebelumnya, kerohanianku diwarnai dengan kekeringan dan sekadar melakukan tugas-tugas pelayanan dan rutinitas rohani belaka, di saat aku berusaha untuk berkomitmen mau membaca Firman dan merenungkannya Firman, maka Firman itu sungguh-sungguh hidup, menjadi relate, dan menguatkanku.
Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 15:4 untuk tinggal di dalam-Nya untuk bisa berbuah, maka ketika aku menjadikan aktivitas rohani sebagai kebutuhan rohani, aku selalu merasa kurang dan haus akan firman, selalu merasa rindu untuk mendengar Tuhan berbicara kepadaku melalui firman, dan ini membawa kepada pertumbuhan rohani. Ada gerakan yang membuatku gelisah ketika aku mulai jauh dari firman, mulai menjadikan doa sebagai rutinitas belaka. Aku yakin gerakan ini adalah dorongan Roh Kudus.
Bukan berarti aku menyalahkan didikan iman yang diberikan oleh orangtuaku, aku sungguh bersyukur terlahir dalam keluarga percaya yang menjadi jalan untukku menerima Tuhan bahkan melayani-Nya penuh waktu saat ini. Satu hal yang menurutku perlu untuk kita renungkan dan pikirkan secara pribadi: Sudahkah aku sungguh-sungguh menghidupi iman Kristen?
Menghidupi iman Kristen bukan berbicara soal rajin ke gereja dan baca firman saja, tetapi bagaimana kita punya relasi yang sungguh dengan Allah, memiliki kegairahan untuk mengenal Tuhan, sehingga kerohanian dan iman kita semakin bertumbuh. Timotius adalah seorang pelayan Tuhan yang masih sangat muda, dan imannya adalah warisan dari ibu dan neneknya (2 Tim 1:5). Namun, hal ini bukan membuat Timotius menjadi ‘orang Kristen Warisan’ yang lantas menjalani imannya tanpa sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan. Paulus mengingatkan agar Timotius tetap setia untuk menghidupi imannya, merasakan kasih karunia Tuhan, dan bersaksi tentang semua itu (2 Tim 6-8).
Secara pribadi ini mengingatkanku sebagai seorang Kristen dan pelayan Tuhan yang telah mewarisi iman dari generasi-generasi sebelumku, untuk sungguh-sungguh merasakan dan berjumpa dengan kasih karunia Tuhan sehingga menggerakkanku untuk bersaksi dan memberitakan Injil Tuhan kepada orang lain.
Bagiku, bagaimana aku mau bercerita kalau bakso A sungguh-sungguh enak, kalau aku belum pernah mencobanya? Bagaimana aku mau bersaksi tentang kasih dan kebaikan Tuhan, jika aku tidak pernah secara pribadi sungguh-sungguh bertemu dan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan terlebih dahulu?
Iman dan pengalaman pribadi bersama Tuhan harus kita wariskan dan teruskan kepada generasi-generasi setelah kita dan orang-orang di sekitar kita, tetapi penting untuk kita terlebih dahulu mengalami dan menghidupi iman Kristen. Aku yakin, jika kita sungguh-sungguh mengalami dan merasakan kasih karunia Tuhan, maka kita tidak akan tahan untuk tidak menceritakan pengalaman iman bersama Tuhan.
So, Jangan Berhenti di Kamu! Ceritakan tentang pengalaman imanmu dan perjumpaan pribadimu dengan-Nya kepada orang lain ya!
Aku bersyukur, Tuhan menyediakan tempat untukku bertumbuh. Sejak awal masa perkuliahan, aku bergabung dalam sebuah kelompok kecil. Di sana, aku ditolong untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Setiap semester, kakak rohaniku, Kak Ana, sering sekali membagikan buku-buku bacaan, yang dapat aku gunakan untuk membantuku mencerna materi kuliah. Teman-teman kelompok kecilku, Kristin, Wira, Rugun, Yohana, dan Ibeth, bersama mereka, aku bisa membagikan pergumulan dan bersama-sama mengikuti Persekutuan Mahasiswa Kristen.
Kelompok kecil juga menjadi teman yang mendampingi pertumbuhan rohaniku lewat pembacaan dan pendalaman Alkitab, padahal sebelumnya aku bukanlah orang yang gemar mendalami Alkitab. Kalaupun aku membukanya, Alkitab itu hanya kubaca. Di kelompok kecil inilah baru aku mendalami langkah-langkah praktis yang membuatku memahami firman Tuhan. Dari pemahaman yang baik, aku bisa lebih mudah untuk mengaplikasikannya.
Bertahun-tahun setelahnya, aku tidak menyangka kalau pengalamanku bertumbuh melalui pengenalan akan firman Tuhan menolongku untuk memperlengkapi orang lain, generasi yang lebih muda.
Aku bekerja sebagai seorang guru di sekolah yang dinaungi oleh sebuah yayasan Katolik. Meskipun peserta didikku berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, mereka mengikuti program belajar dan kegiatan siswa yang berlandaskan nilai-nilai iman Kristiani. Salah satunya adalah pada pagi hari jam 07.30 WIB, setiap kelas akan berkumpul di ruang virtual untuk membaca renungan harian. Sebelum pandemi, kami juga melakukannya sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, namun hanya dengan membaca buku renungan yang telah disediakan dari sekolah. Momen belajar daring yang dilakukan semenjak Maret 2020 ternyata memberikan kami kesempatan lebih.
Dibantu ketua kelas dan wakilnya, aku membuat jadwal, sehingga mereka dapat memimpin renungan harian secara bergantian. Pemimpin renungan bertugas membagikan tautan Zoom, sesaat sebelum renungan dimulai. Setelah berkumpul di ruang virtual, biasanya kami akan mendengarkan sebuah lagu pujian. Kemudian, pemimpin membacakan perikop dan renungan hari itu bagi kami semua. Setelah membaca perikop, kami dapat melakukan pendalaman Alkitab. Kebetulan, situs tersebut juga memuat pertanyaan, games, dan proyek ketaatan yang bisa digunakan untuk semakin memahami Firman Tuhan.
Misalnya, pada Renungan Harian 5 November 2021, saat itu perikop bacaan kami diambil dari Kejadian 18:16-33, tentang Abraham yang sedang tawar-menawar dengan Tuhan, agar Tuhan berbelas kasihan kepada Sodom dan Gomora.
Renungan hari itu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, seperti: Siapakah yang berjalan bersama dengan Abraham dalam bacaan hari ini? (Kejadian 18:1,16) Apa rencana Tuhan pada Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Mengapa Tuhan hendak menghancurkan Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Apakah Abraham diam saja mendengar rencana Tuhan itu? (Ayat 23-33). Pertanyaan yang dimuat juga disertai ayat yang dapat membantu untuk menjawab.
Aku mengira, anak-anak akan kebingungan, karena harus membaca kembali ayat-ayat penunjuk berulang kali, lalu menjawab pertanyaan. Sebaliknya, mereka cukup antusias.
Perikop tersebut menceritakan bagaimana Abraham berulang kali melakukan tawar-menawar dengan Tuhan, agar Sodom dan Gomora tidak dihukum. Beberapa dari mereka tampak penasaran dan heran, mengetahui bahwa Tuhan dapat sedekat itu dengan Abraham, bahkan Tuhan mau mengampuni Sodom dan Gomora, jika ada sejumlah kecil orang yang masih berbakti pada-Nya. Saat mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada, aku melihat mereka semakin memahami bahwa Tuhan dapat mengampuni, dan di saat yang sama, bersikap adil untuk mendidik manusia. Aku menyadari, saat itu Tuhan sedang bekerja bagi anak-anak peserta didikku. Dia sedang menyatakan diri-Nya, melalui pendalaman Alkitab yang kami lakukan.
Pada akhir bacaan, akan ada tugas atau proyek ketaatan. Hari itu, proyek ketaatan kami adalah mendoakan orang-orang di sekitar, agar tidak mendukakan hati Tuhan, tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti yang dilakukan oleh penduduk Sodom dan Gomora. Kebiasaan ini kami lakukan setiap hari Senin sampai Jumat, sebelum kegiatan belajar dimulai. Aku merasakan dampak dari pendalaman Alkitab secara langsung. Mereka jadi lebih aktif belajar dan tidak malu bertanya, karena sudah terbiasa dengan diskusi. Kemampuan mengobservasi informasi dan menginterpretasi pesan dari sebuah bacaan yang dimiliki anak-anak juga semakin meningkat. Mereka bertumbuh semakin cerdas dan cermat melalui pendalaman Alkitab.
Pengalamanku ini membuatku terkagum. Aku percaya kebiasaan menggali Alkitab ini dapat menjadi bekal terbaik bagi anak-anak untuk menyongsong masa depan. Sebab, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Korintus 3:16-17).
Dengan Firman Tuhan yang dibaca, dipahami, dan dilakukan, dapat memperlengkapi mereka dan juga aku dalam melakukan pekerjaan baik yang Tuhan percayakan.
Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu membaca, merenungkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai firman Tuhan dalam hidupmu?
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/11/2021-11-22-bekal.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-11-22 09:00:082021-11-12 11:12:04Bekal untuk Masa Depan
Doa ibarat nafas hidup bagi orang Kristen. Kalimat ini mungkin terdengar tidak asing di telinga kita, bahwa orang Kristen harus berdoa. Bahkan sejak kecil, pesan untuk berdoa sudah disampaikan, baik oleh orang tua maupun guru sekolah Minggu. Belum lagi para hamba Tuhan di gereja yang terus mengingatkan kita untuk berdoa.
Kita tahu berdoa itu penting, tetapi ada kalanya kita merasa jenuh untuk berdoa. Kita ingin berdoa, tapi kita bosan melakukannya. Salah satu sebabnya mungkin karena cara doa kita yang tidak pernah berubah. Kita selalu memakai cara yang sama sehingga berdoa hanyalah sebatas rutinitas saja.
Ada banyak cara berdoa yang bisa kita jelajahi, yang sudah dikenal dan mungkin paling sering kita lakukan adalah berdoa dengan berbicara langsung pada Tuhan. Kita memejamkan mata lalu mengucapkan doa dalam hati maupun bersuara. Cara lain adalah dengan menyanyikan doa seperti yang dilakukan para pemazmur, misalnya menaikkan lagu ‘Tuhan adalah Gembalaku’ dari Mazmur 23. Variasi cara lain adalah kita dapat bergabung dalam persekutuan doa sehingga kita dapat berdoa bersama teman-teman lain.
Nah, dari cara-cara itu, ada cara lain yang mungkin terdengar tidak biasa dan jarang dilakukan, yaitu menuliskan doa. Ada yang menyebut cara ini sebagai jurnal doa. Atau bisa juga disebut sebagai prayer diary, atau sebutan lainnya.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan jurnal doa itu?
Jika teman-teman pernah menuliskan jurnal harian, maka jurnal doa itu mirip-mirip kok. Biasanya dimulai dengan menulis tanggal lalu kita menulis isi doa kita.
Apa isi jurnal doa?
Isi jurnal doa boleh apa saja. Mulai dari mencurahkan perasaan yang sedang kita alami, permohonan kita, pengucapan syukur, memuji Tuhan, atau yang lainnya. Isi jurnal doa sama seperti ketika kita berdoa, hanya dituliskan saja. Misalnya:
12 Juli.
Tuhan yang baik (atau panggilan yang biasanya ditujukan kepada Tuhan)
Hari ini aku merasa sedih. Tadi pagi papa memarahiku karena aku terlambat bangun dari biasanya. Padahal hal itu disebabkan karena sepanjang malam aku harus menyelesaikan tugas kuliah. Tetapi papa tidak memberikan kesempatan bagiku untuk menjelaskannya. Tuhan, aku merasa kesal dan marah, sekaligus sedih. Tolong aku, Tuhan, untuk menjelaskan kepada papa apa yang terjadi. Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.
Berapa panjangnya?
Tidak ada ketentuan khusus untuk panjangnya tulisan dalam jurnal doa. Jika kita ingin menulis sepanjang satu halaman karena mungkin pada hari itu ada banyak hal yang ingin kita sampaikan kepada Tuhan, maka dipersilakan saja. Tetapi ada kalanya kita tidak tahu harus bicara apa kepada Tuhan karena kondisi atau suasana hati yang tidak enak, maka menulis hanya satu kalimat pun tidak masalah. Misalnya:
13 Juli
Tuhan, aku merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Amin.
Apakah harus menulis setiap hari?
Tidak harus, karena jurnal doa hanyalah salah satu cara kita berdoa kepada Tuhan, maka kita diberi kebebasan untuk melakukannya. Hanya, semakin sering kita menulis maka kita akan semakin terbiasa.
Jika tidak bisa menulis, bagaimana?
Salah satu keunikan sekaligus kesulitan dalam jurnal doa memang ada dalam hal menulis. Bagi teman-teman yang tidak terbiasa menulis, mungkin menulis jurnal doa adalah cara yang sulit dilakukan. Tetapi cara ini boleh tetap dicoba, karena sebenarnya mengasyikkan.
Ketika kita menulis, kita melatih otak kita untuk berpikir lebih terstruktur dan sistematis. Berbeda dengan bicara yang biasanya berlangsung spontan, menulis membutuhkan waktu lebih lama untuk berpikir, atau juga merenung.
Apa manfaatnya menulis jurnal doa?
Di zaman ketika kita lebih terbiasa menyaksikan tayangan audio-video, menulis bisa jadi terkesan kuno dan ribet. Tetapi, menulis jurnal doa bisa memberikan beberapa manfaat buat kita, seperti mengatasi kejenuhan kita dalam berdoa sekaligus juga mengasah kemampuan menulis kita.
Doa-doa yang kita tulis menolong kita untuk tidak lupa akan pergumulan yang sedang kita hadapi hari itu. Kelak di masa depan, saat kita melihat kembali jurnal itu, iman kita akan dikuatkan karena kita melihat pertolongan dan jawaban Tuhan atas doa-doa yang kita naikkan.
Menulisnya di mana?
Kita bisa menulis di mana saja yang kita suka. Di buku tulis biasa, maupun buku tulis khusus, atau pada aplikasi note yang tersedia di gawai kita masing-masing. Kita bebas memilih media yang paling nyaman untuk kita masing-masing.
Jadi, mengapa kita tidak mencoba untuk menuliskan doa? Yuk, kita mencobanya. Siapa tahu cara ini dapat menambah keasyikan kita untuk berdoa, dan membuat kita semakin dekat dengan Tuhan.
Jika ada doa yang dijawab dan tidak, lantas, bagaimana isi doa yang berkenan kepada Tuhan sehingga kita dapat selalu bersukacita di dalam-Nya walaupun Dia tidak menjawab doa-doa kita?
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/07/2021-07-19-jurnal-doa.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-07-19 12:00:372021-10-18 11:39:26Jurnal Doa
Akhir-akhir ini aku tengah menikmati sebuah lagu yang dibawakan oleh Arsy Widianto yang berjudul “Cerita Cinta”. Lagu ini dirilis tahun 2020 kemarin, namun lagu tersebut awalnya dipopulerkan oleh grup band Kahitna pada tahun 1994 dan diciptakan oleh Yovie Widianto, yang merupakan ayah dari Arsy Widianto.
Sama seperti lagu-lagu romantis pada umumnya, lagu ini pun menceritakan betapa romantisnya cerita cinta; betapa bahagianya mengalami perasaan mencintai dan dicintai. Tak hanya alunan melodinya yang menyenangkan dan menenangkan, lirik lagu yang diciptakan juga mampu membuat hati tersentuh.
Ketika tengah mendengarkan lagu ini di kantor, aku jadi teringat bagaimana aku juga secara pribadi menikmati perjalanan cerita cinta bersama Sang Pencipta dengan segala lika-liku yang menyertainya.
Saat Teduh: Dari Ritual Jadi Kerinduan
Pertama kali aku mengenal dan mengetahui istilah “saat teduh”, aku merasa tertekan. Mengapa? Waktu itu aku melihat aktivitas saat teduh sebagai suatu bentuk ritual ibadah tambahan yang menyita waktuku. Memang tidak cukup hanya beribadah setiap Minggu? Memang tidak cukup jika aku berdoa? Aku selalu berdoa kok; setiap sebelum makan dan sebelum tidur. Kenapa harus ditambah lagi dengan saat teduh setiap pagi? Kira-kira begitu isi pikiranku waktu itu.
Seiring berjalannya waktu, dalam anugerah-Nya aku mengerti bahwa saat teduh bukanlah salah satu dari rutinitas rohani yang harus kita lakukan karena paksaan kewajiban (mandatory). Saat teduh merupakan waktu yang kita siapkan secara pribadi untuk mendengarkan dan merenungkan apa yang mau Tuhan katakan melalui Firman-Nya untuk kita di hari itu. Namun dalam kasusku pribadi, cara Tuhan melatihku untuk disiplin ber-saat teduh sungguh unik:
Setiap kali aku menyukai seorang teman laki-laki, aku pasti berdoa tentang perasaanku, tentang teman yang tengah disukai, juga tentang kegalauanku. Semua hal ini aku doakan setiap aku saat teduh pagi hari. Tidak terluput satu hari pun. Harapannya, agar apa yang aku inginkan terkabul. Harapannya, agar si teman laki-laki pun membalas perasaanku. Singkat cerita, pengalaman menyukai teman laki-laki pada akhirnya seringkali berakhir gagal dan membawaku pada penyesalan serta sakit hati yang pemulihannya cukup memakan waktu lama. Awalnya aku berpikir bahwa aku sangat tidak pantas menjadi pacar siapapun sehingga semua teman laki-laki tidak ada yang menyukaiku. Awalnya. Namun, jika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa Tuhan ingin memberitahu aku bahwa:
Identitas dan penerimaan sejati dalam hidupku tidak terletak pada apakah aku disukai teman laki-laki atau tidak, melainkan pada Kristus, yang telah mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:7).
Saat teduh merupakan salah satu bentuk komunikasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Awalnya motivasiku memang hanya ingin curhat terkait perasaan dan kegalauanku ketika menyukai seseorang. Namun lambat laun Tuhan dengan lembut dan sabar mengubah motivasi hatiku yang tadinya hanya fokus ke perasaan dan kegalauan saja, kepada fokus hati yang rindu untuk selalu menyediakan waktu berkomunikasi dengan-Nya setiap hari melalui pembacaan dan perenungan Firman Tuhan.
Terpujilah Tuhan yang selalu sabar mengajar dan mengasihi aku, kini aku dapat menikmati waktu saat teduh pribadi terlepas dari apakah aku tengah menyukai seseorang atau tidak. Bersyukur kepada-Nya ketika aku menangkap pemahaman bahwa Allah rindu berelasi dengan kita umat-Nya. Aku tidak mengatakan bahwa kegalauan akan pasangan hidup tidak boleh dibawa dalam doa ya. Tentu sangat boleh. Ia Maha Mendengar dan Mengetahui. Namun dalam kasus pribadiku, Ia mengubah fokus hatiku sampai aku benar-benar menikmati relasi pribadi dengan-Nya, menikmati berkomunikasi secara khusus dan pribadi dengan-Nya, melalui sebuah aktivitas bernama: saat teduh.
Cerita Cinta-Nya Membuatku Menerima Diri Apa Adanya
Kisah tentang pengorbanan Yesus di kayu salib sudah aku dengar sejak lama. Namun beberapa waktu terakhir ini, terlebih ketika masa-masa Jumat Agung hingga Paskah kemarin, aku kembali merenungkan peristiwa agung tersebut. Bahkan terkadang, aku bertanya-tanya sendiri:
Kenapa sih Tuhan mau mengasihi aku dengan sebegitunya? Sampai harus merasakan jadi manusia dan segala penderitaannya. Bahkan harus sampai mati menanggung murka Allah akibat dosa-dosanya aku dan manusia-manusia lainnya. Kenapa?
Kenapa aku Engkau kasihi? Aku kan berdosa.
Kenapa aku Engkau layakkan menjadi anak dan murid-Mu yang dikasihi?
Sederetan perenungan pribadi ini dijawab oleh satu lagu yang berjudul: Why Have You Chosen Me. Rodger Strader selaku penulis lagu ini mengungkapkan:
I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess
Apa yang Allah telah perbuat untuk kita ternyata memang tidak dapat kita mengerti, tidak bisa kita pahami. Di sini aku makin menghayati arti dari anugerah dan kasih karunia; bahwa semuanya itu benar-benar hanya pemberian cuma-cuma. Bukan hasil dari sesuatu yang aku lakukan, bahkan bukan dari hasil ibadahku. Memahami dan menghayati hal ini kembali membuatku merasa terenyuh dan baper (bawa perasaan) terhadap kasih Allah yang luar biasa untuk aku. Karya salib Yesus menjadi cerita cinta terindah yang tidak bisa tergantikan dengan kisah cinta apapun yang aku impikan, harapkan, atau bayangkan.
Jika Allah saja menerima diriku yang berdosa ini apa adanya, maka aku pun mulai menerima diriku sendiri juga apa adanya. Aku menerima proses memelajari diriku sendiri; mengenal kelebihanku, kekuranganku, karakterku, serta emosiku. Dari proses mengenal diriku sendiri, aku pelan-pelan juga belajar bagaimana mengasihi dan mengenal orang lain dengan hati yang tulus di dalam keberdosaan dan keterbatasanku. Aku pernah menuliskan sedikit kisahku di awal-awal proses mengenal diri sendiri di sini.
* * *
Jika kasih Allah yang sebesar itu dianugerahkan kepada kita manusia berdosa secara cuma-cuma, aku rasa ungkapan romantis dalam bagian akhir lirik lagu “Cerita Cinta” yang ditulis Yovie Widianto pun pasti diungkapkan oleh Sang Pencipta:
Kita hidup di dunia yang jatuh ke dalam dosa, dan dosa itu pun mewujud dalam berbagai kejahatan. Tanpa kita sadari, ada satu kejahatan yang kerap tersembunyi dalam topeng rohani kita.
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/04/2021-04-16-cerita-cinta-kita.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-04-16 12:00:352021-10-19 09:13:58Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita
“Apakah halangan terbesarmu untuk berdisiplin rohani?”
Aku tidak tahu apa jawabanmu untuk pertanyaan di atas, tetapi kebanyakan responden dari surveiku menjawab “keterbatasan waktu” sebagai halangan terbesar mereka untuk rutin mempraktikkan disiplin rohani. Sambil merenungkan realita ini, kata-kata Paulus terngiang dalam benakku:
“Jadi, perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal,…” (Efesus 5:15).
Apa maksud di balik perkataan Paulus? Penggalian perikop besarnya menuntunku untuk melihat penatalayanan waktu sebagai salah satu disiplin rohani terpenting di zaman ini, “terlebih lagi karena kamu tahu bahwa Hari Tuhan sudah semakin dekat” (Ibr. 10:25; bdk. Mat. 24:42, 44).
Belajar Menebus Waktu dari Efesus 5:1–20
Latar belakang kitab Efesus sudah pernah kugali dalam satu tulisanku sebelumnya, jadi di sini kita langsung fokus pada perikopnya. Paulus memulai dengan satu perintah utama di ayat 1–2, di mana sekali lagi kita melihat sasaran daripada disiplin rohani, yaitu keserupaan dengan Yesus:
1) Sebab itu, jadilah peniru-peniru Allah sebagaimana anak-anak yang terkasih.
2) Hiduplah dalam kasih, sama seperti Kristus mengasihi kita dan memberikan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan kurban yang harum bagi Allah.
Tapi bagaimana cara kita dapat hidup serupa dengan Yesus? Paulus menjawab lewat 18 ayat berikutnya, yang ia kemas dalam tiga bagian (yang dibatasi oleh “Jadi” di ayat 7 dan 15) yang membandingkan antara kehidupan dalam kegelapan dunia dan dalam terang Kristus. Bagian pertama (ay. 3–6) mencatat berbagai larangan bagi jemaat Efesus (dan kita) agar tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Mengapa begitu? Alasannya ada di bagian kedua (ay. 7–14): karena kita adalah “anak-anak terang” (ay. 8) yang telah dibangkitkan oleh Allah dari kegelapan dosa dan maut (ay. 14) agar kita “mencari tahu apa yang menyenangkan Tuhan” (ay. 10). Paulus lalu menjelaskan hal-hal apa saja yang menyukakan Tuhan dalam bagian terakhir lewat empat pasang perintah–larangan (ay. 15–18), yang ia kemudian akhiri dengan beberapa perintah penutup (ay. 19–20):
Ayat
Perintah (+)
Larangan (–)
15
Jadi, perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup, …, jadilah bijak.
… jangan seperti orang bebal…
16
Pergunakanlah waktu yang ada dengan sebaik-baiknya …
… karena hari-hari ini adalah jahat.
17
Karena itu, …, tetapi mengertilah apa itu kehendak Tuhan.
… janganlah menjadi bodoh…
18
… sebaliknya penuhlah dengan Roh.
Jangan mabuk oleh anggur karena hal itu tidak pantas,…
Dari keempat ayat di atas, aku ingin menyorot dua kata yang makna aslinya dalam bahasa Yunani mungkin hilang dalam proses penerjemahan.
Pertama-tama, frasa “Pergunakanlah […] dengan sebaik-baiknya” di ayat 16 aslinya hanya satu kata, exagorazō, yang bisa berarti “dibeli” atau “ditebus”. Lewat pilihan kata ini, Paulus sedang mendorong jemaat Efesus (dan kita) untuk menebus waktu yang biasanya dipakai untuk “perbuatan kegelapan” (ay. 11) dengan hal-hal yang “menyenangkan Tuhan” (ay. 10) dan membuat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Di akhir hayat, banyak orang mengharapkan kesempatan kehidupan kedua, tetapi bagi kita yang telah ditebus Kristus, sekaranglah kesempatan kedua itu (bdk. 2 Kor. 5:17; Gal. 2:20), apalagi kita tidak tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 24:44).
Kata kedua yang ingin kusorot adalah “penuhlah” (plērousthe, ay. 18). Kata ini menurut tata bahasa Yunani mengambil bentuk tensa imperatif masa kini sehingga memiliki makna tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi terus-menerus. Pilihan gramatika ini menyatakan perintah Paulus dengan gamblang: janganlah hidup sembarangan menurut hawa nafsu kita layaknya orang mabuk, tetapi berikanlah hidup kita untuk terus-menerus dipenuhi oleh Roh (ay. 18) yang salah satu bentuk buah-Nya adalah penguasaan diri (Gal. 5:22–23; bdk. Mat 24:42). Lewat semuanya ini kita dimampukan untuk beribadah kepada Allah, baik secara pribadi maupun dengan sesama orang percaya (ay. 19), mengucapkan “syukur senantiasa atas segala sesuatu kepada Allah Bapa dalam nama Tuhan kita, Kristus Yesus” (ay. 20).
Dari penguraian di atas, jelaslah hubungan antara keserupaan dengan Kristus dan disiplin rohani menebus waktu: menjadi serupa dengan Yesus (ay. 1–2) berartimenjalani setiap detik kehidupan (ay. 8) yang telah ditebus oleh-Nya dari kegelapan dosa dan maut (ay. 14, 16) di dalam Roh Kudus (ay. 18) agar kita dapat memahami dan mengerjakan kehendak Allah dalam kehidupan kita (ay. 15, 17) demi kemuliaan-Nya dan sukacita kita (ay. 19–20).
7 Tindakan Menebus Waktu di Zaman Akhir
Ketika mengetahui berbagai tanggung jawabku di kantor maupun pelayanan, umumnya aku akan ditanya, “Bagaimana caranya kamu bisa mengerjakan semuanya itu?”
Setelah membaca dan merenungkan perikop di atas, tepatnya ayat 13–20, aku melihat paling tidak ada tujuh tindakanku yang lewatnya Tuhan memenuhiku dengan Roh-Nya (ay. 18) untuk menatalayani waktuku yang telah Ia tebus di zaman akhir ini.
#1. Mulailah hari dengan Firman Tuhan (ay. 13–14)
Bisa kamu tebak dari artikel yang kukutip di awal bahwa aku adalah pendukung garis keras saat teduh di pagi hari. Walaupun wajar-wajar saja kalau kita bersaat teduh di malam hari, menurutku melakukannya tepat setelah bangun tidur adalah praktik terbaik. Seperti matahari pagi yang membangunkan dunia dari kegelapan malam, begitu juga Firman Allah lewat saat teduh pagi “membangkitkan” kita untuk hidup dalam terang-Nya (ay. 13–14). Menjadikan persekutuan pribadi dengan Tuhan sebagai hal pertama yang kita lakukan di pagi hari mengingatkan bahwa Ialah pusat kehidupan kita yang mendikte tempo kita menjalani hari, bukan relasi maupun kesibukan kita. Saat teduh pagi layaknya briefing dari Tuhan yang mengarahkan bagaimana kita akan menjalankan aktivitas-aktivitas pada hari itu.
Tetapi bagaimana kalau jadwal kita mengharuskan kita untuk mulai beraktivitas sejak fajar? Usahakan untuk tidur dan bangun lebih awal. Sebagai seorang konsultan lingkungan hidup, tidak jarang aku sudah harus berada di lokasi survei supaya dapat mengamati satwa-satwa yang menjadi aktif bersamaan dengan terbitnya sang surya. Awalnya memang berat, tetapi lewat persekutuan dengan sang Firman sebelum masuk ke hutan, aku jadi lebih siap untuk menikmati kemuliaan-Nya lewat alam yang kujelajahi.
#2. Pastikan urutan prioritas-prioritas yang ada benar (ay. 15, 17)
Setelah menikmati hadirat Tuhan sebagai pusat kehidupan, kita perlu melakukan tindakan kedua ini. Mengapa begitu? Karena kita pasti selalu menyediakan waktu untuk hal-hal yang kita prioritaskan, sekecil apapun hal itu. Prioritas-prioritas inilah yang menyingkapkan siapa yang sebenarnya kita sembah dalam kehidupan. Oleh karena itu, mintalah hikmat dari Allah (Yak. 1:5) agar kita dapat mencari dahulu kerajaan dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33) dalam segala hal yang kita prioritaskan sehingga kita tidak hidup “seperti orang bebal” (ay. 15, 17).
Sebagai seorang perantau di Singapura, aku bisa saja memilih untuk bersantai tiap malam setelah seharian bekerja tanpa memperdulikan keluargaku di Indonesia maupun tanggung jawabku yang lain. Lagipula aku berhak beristirahat, bukan? Kalau urutan prioritasku begitu, kamu tidak akan sedang membaca tulisan ini. Puji Tuhan, aku tahu urutan prioritasku yang semestinya untuk bisa menjadi serupa dengan Kristus, bahkan di waktu malam yang sangat mudah disia-siakan. Perhatikan bahwa aku tidak sedang berdalih untuk menyibukkan diri setiap malam; ada waktu-waktu khusus yang kuprioritaskan untuk beristirahat, menonton serial drama, dan, tentu saja, menelpon keluargaku dan bersekutu dengan teman.
#3. Kenali serta kelola batasan-batasan dan pengalih perhatian yang ada (ay. 16, 18)
Selain mengenali bagaimana kita sebaiknya mengurutkan prioritas-prioritas kita, kita perlu mengenali dan mengelola hal-hal yang dapat mengancam susunan prioritas itu. Kita semua memang dianugerahkan Tuhan dengan jumlah waktu yang sama (24 jam), tetapi setiap kita memiliki batasan dan pengalih perhatian yang berbeda-beda. Sekali lagi, butuh hikmat dari Allah (Yak. 1:5) untuk dapat mengenali dan mengelola jenis-jenis anggur yang bisa memabukkan serta mengalihkan kita dari mengerjakan kehendak-Nya (ay. 18).
Batasan utamaku adalah tendensi untuk memikul tanggung jawab lebih dari yang bisa aku pikul. Di tahun-tahun awalku di Singapura, aku kesulitan dalam mengenali dan mengelola batasanku ini, tapi sekarang aku lebih mengenali diriku sendiri dan lebih bisa berkata tidak terhadap berbagai tawaran pekerjaan dan pelayanan yang ada. Hampir semua orang di sekelilingku bilang kalau aku sibuk, tapi nyatanya aku selalu punya waktu untuk bersekutu dengan dan mendengarkan mereka. Di sisi lain, pengalih perhatian utamaku adalah game; kalau ada di gadget, aku pasti kecanduan dan bermain setiap saat. Solusinya hanya satu: menghapus game dari gawai supaya bisa fokus pada prioritas-prioritasku.
#4. Buatlah jadwal dengan “spasi” (ay. 16)
Di minggu terakhir tahun 2020, aku bertemu dengan beberapa kelompok teman yang sudah lama tidak kujumpai karena kesibukan kami masing-masing. Sebagai seorang ekstrovert, aku seharusnya tidak mudah kelelahan ketika berinteraksi dengan banyak orang selama beberapa hari berturut-turut, walaupun beberapa di antaranya memang terjadi dadakan. Kamu bisa bayangkan betapa anehnya perasaanku ketika memutuskan untuk beristirahat di rumah di akhir minggu pertama tahun ini. Ayat 16 menyadarkanku bahwa waktu itu aku tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya karena tidak meluangkan “spasi” dalam jadwal lewat mana kasih karunia Tuhan dapat bekerja lewat rehat dan hal-hal dadakan.
Pembelajaran di akhir 2020 ini lalu aku praktikkan pada Jumat terakhir di bulan Januari, di mana aku sengaja mengambil cuti untuk mengerjakan seri tulisan ini. Apa daya, aku gagal memenuhi target untuk menyelesaikan dua artikel tetapi memiliki cukup waktu luang untuk sisa hari itu. Melihat “spasi” ini sebagai anugerah dari Tuhan, aku menggunakannya untuk mempersiapkan bahan kelompok pemuridan yang baru bertemu dua minggu kemudian supaya ke depannya ada waktu lebih untuk mengerjakan sisa tulisan dan kalau-kalau ada kebutuhan mendadak. Benar saja, minggu depannya satu lembaga misi memintaku untuk berkontribusi untuk satu tulisan singkat, yang kemudian dapat kuselesaikan karena ada sejumlah “spasi” dalam jadwalku. Begitulah pentingnya “spasi” dalam jadwal kita sehari-hari.
#5. Libatkan sesama untuk akuntabilitas (ay. 19)
Elemen komunitas tidak bisa dipungkiri dan hampir pasti muncul dalam setiap pembahasan tentang pelaksanaan disiplin rohani, termasuk penatalayanan waktu. Adalah seorang teman kos yang mengingatkanku bahwa masih ada hari esok ketika aku “hanya” menyelesaikan satu tulisan dalam kesaksianku di tindakan #4. Tidak heran kalau Paulus mendorong jemaat Efesus untuk berbicara “satu sama lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani” di ayat 19, karena lewat persekutuan dengan sesama anggota tubuh Kristuslah kita dapat memuji Tuhan “dengan segenap hati [kita]”.
#6. Naikkan syukur setiap saat kepada Allah dalam nama Tuhan Yesus (ay. 20)
Kata “setiap saat” (“senantiasa” menurut ayat 20) mungkin membingungkanmu. “Maksudnya bahkan ketika kita sedang mandi pun kita mengucapkan syukur kepada Tuhan? dan bahkan ketika kita sedang menghadapi situasi yang buruk?” Ya, kalau kamu melakukannya dalam nama Tuhan Yesus.
John Piper dalam salah satu podcast-nya menjelaskan bahwa kata “Teruslah” (adialeiptōs) di 1 Tesalonika 5:17 (“Teruslah berdoa!”) memiliki arti berulang kali dan sering, bukan setiap detik. Walaupun frasa “setiap saat” di Efesus 5:20 bukanlah adialeiptōs melainkan pantote, keduanya memiliki kemiripan sehingga konotasi “berulang kali dan sering” bisa dibilang berlaku untuk tindakan keenam ini. Dan ya, kita melakukannya atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Mengapa begitu? Karena pengucapan syukur “senantiasa atas segala sesuatu” menyelaraskan kita dengan kehendak Allah (ay. 10) untuk melihat bahwa Allah bekerja di dalam setiap momen kehidupan, baik yang baik maupun yang buruk, untuk kebaikan kita dan rencana-Nya untuk menjadikan kita serupa Anak-Nya (Rom. 8:28–29).
Tindakan ini mungkin adalah yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan yang lain. Selain doa pagi, makan, dan malam, aku biasanya memakai waktu commuting dari dan menuju kantor, sewaktu rehat dalam pekerjaan, dan bahkan ketika mandi untuk mengingat dan mengucapkan syukur atas setiap hal yang Tuhan biarkan terjadi sepanjang hari itu.
#7. Ingat: yang lalu tidak bisa kembali, tapi yang akan datang telah Yesus tebus (ay. 15–20)
Di akhir hari, kita mungkin menyesali keputusan dan tindakan yang kita ambil hari itu. “Coba tadi aku makan lebih cepat, pasti tidak akan telat untuk rapat dengan klien!” “Kenapa aku bisa lupa lihat jam, jadi kelamaan bersantai nonton drama Korea!” Oleh karena itu, sambil memejamkan mata sebelum tidur, kita perlu berpegang pada satu kebenaran penting, yang herannya kutemukan dalam baris-baris puisi mini drama AADC yang kemudian kugubah:
Adalah [Allah yang adalah Kasih] yang mengubah jalannya waktu.
Karena [Kasih], waktu terbagi dua:
[tanpa-Nya dan rindu akan hadirat-Nya]
Detik tidak pernah melangkah mundur
tapi [rahmat-Nya] selalu ada;
waktu tidak pernah berjalan mundur
dan hari tidak pernah terulang,
tetapi pagi selalu menawarkan cerita yang baru
untuk semua pertanyaan yang belum sempat terjawab (Rat. 3:22–23).
Ya, pada akhirnya bukanlah kita yang “mengubah jalannya waktu”, tetapi Tuhan (ay. 17–18, bdk. Kej. 50:20). Dalam keberdosaan kita, segala prioritas dan jadwal yang telah kita rencanakan lewat tindakan #1–6 mungkin malah akan kita gunakan untuk melawan Tuhan, secara sadar maupun tidak sadar. Meskipun begitu, di penghujung hari-hari yang jahat (ay. 16), kita bisa berserah kepada Allah dan tidur dengan nyenyak, mengetahui bahwa “Yesus Kristus tetap sama kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8). Lebih lagi, kita bisa terlelap dengan harapan bahwa Kristus akan membangunkan kita besok pagi dan mengaruniakan satu lagi hari untuk ditebus di dalam-Nya (bdk. Rat. 3:22–23; Flp. 3:13–14) “menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibr. 10:25 TB).
Meneladani Sang Penebus dalam Menebus Waktu
Sebagai penutup, sambil mengembangkan satu gagasan dalam tindakan #7, aku ingin mengarahkan pandanganmu kepada Tuhan Yesus sendiri. Perhatikan bahwa dalam setiap momen kehidupan-Nya, Yesus tidak pernah terburu-buru sama sekali. Dia selalu tahu waktu yang paling tepat untuk bertindak (e.g. peristiwa kebangkitan Lazarus di Yohanes 11:1–44, panggilan-Nya kepada Zakheus di Lukas 19:1–10) karena Ia menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Allah Bapa dan mencari kehendak-Nya walaupun Ia baru saja melayani seharian (Mrk. 1:35). Dan “[k]etika waktunya semakin dekat bagi Yesus untuk ditinggikan, Ia meneguhkan hati untuk pergi ke Yerusalem” (Luk. 9:51) untuk mati menebus umat-Nya.
Mengetahui bahwa Roh Kristus memenuhi diri kita (ay. 18), kita dapat berjuang untuk hidup dalam kasih karunia-Nya yang memampukan kita untuk “[menggunakan] waktu yang ada dengan sebaik-baiknya” (ay. 16), menatalayani setiap detik kesempatan kedua ini “dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7) sambil menyambut kedatangan Kristus yang kedua (Why. 22:20).
Seperti yang Anthony Hoekema katakan dalam The Bible and The Future, “Hiduplah seolah-olah Kristus baru mati kemarin, bangkit pagi ini, dan akan kembali lagi besok.”
Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.
Pertanyaan refleksi
Bagaimanakah kamu selama ini memahami dan menggunakan waktu yang ada?
Luangkan waktu ~10–15 menit untuk membaca Efesus 5:1–20. Apa saja yang kamu pelajari dari perikop ini, terutama tentang disiplin rohani menatalayani waktu?
Di antara ketujuh tindakan menebus waktu yang sudah dijelaskan, mana saja yang sudah dan/atau akan kamu mulai praktikkan?
Adakah peristiwa(-peristiwa) lain dalam kehidupan Tuhan Yesus yang dapat kamu teladani dalam menggunakan kesempatan kedua yang telah Ia anugerahkan dengan sebaik-baiknya?
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
Tulisan ini akan menjelaskan tiga prinsip yang menolong kita untuk mempraktikkan disiplin rohani dalam kesalehan Kristiani.
Yuk baca artikel kedua dari #SeriDisiplinRohani ini.
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/03/2021-03-24-Disiplin-Rohani-Menebus-Waktu.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-03-24 14:00:562021-10-19 09:28:17Sekaranglah Kesempatan Kedua Itu!: Disiplin Rohani Menebus Waktu
Bulan ketiga di tahun 2021 sudah hampir berlalu, adakah yang saat teduhnya masih konsisten dan tidak absen?
Menjaga kekonsistenan saat teduh kadang terasa sulit. Kadang kita terjebak dalam kesibukan, atau tak jarang juga rasa malas yang kita pelihara membuat kita jadi lupa dan enggan bersaat teduh. Yuk kita bangun kembali semangat untuk berelasi erat dengan Tuhan!
Apa saja tipsmu untuk tetap semangat bersaat teduh?
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/03/1.png10001000WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-03-21 07:00:572021-03-19 10:20:425 Tips Saat Teduh Anti Mager!
Dalam artikelku sebelumnya, aku telah membagikan kepadamu apa yang kupelajari selama 10 tahun terakhir tentang disiplin rohani: kaitannya dengan “kesalehan”, bagaimana definisi “kesalehan” menurut Kekristenan jauh berbeda dengan yang dunia pahami, serta berbagai bentuk praktik disiplin rohani menurut Firman Tuhan.
Melanjutkan pembahasan di atas, tulisan ini akan menjelaskan tiga prinsip yang menolong kita untuk mempraktikkan disiplin rohani dalam kesalehan Kristiani, sebelum mengarahkan kita kepada satu janji Allah yang menopang kita untuk terus melatih diri kita “untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b).
“Bagaimanakah seharusnya melakukan disiplin rohani?”
Inilah prinsip pelaksanaan disiplin rohani pertama dariku: kita “berlatih dalam kesalehan” lewat disiplin-disiplin rohani dalam Alkitab agar dapat semakin mengenal, mengasihi, dan menyerupai Kristus. Seperti yang telah dijelaskan dalam jawaban untuk pertanyaan pertama di artikel sebelumnya, sasaran inilah yang harus menjadi fokus kita, bukan praktik disiplin rohani itu sendiri. Kalau kita berfokus pada praktik dan kesalehan moral semata, antara kita akan larut dalam kegagalan berdisiplin karena natur dosa kita atau akan bermegah di luar Allah karena “kesuksesan” kita berdisiplin rohani. Jelas keduanya bukan hasil yang kita inginkan, apalagi Tuhan! Oleh karena itu, “berlari[lah] dengan tekun pada perlombaan yang disediakan di hadapan kita” dengan mata yang “tertuju pada Yesus, Sang Pencipta dan Penyempurna iman kita” (Ibr. 12:1–2).
Prinsip kedua kurumuskan berdasarkan satu kata kunci dalam ayat yang kukutip dalam pembuka tulisan ini, “latihlah dirimu untuk hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7b). Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “latihlah” adalah gymnaze. Terdengar familiar? Betul, ini adalah akar kata dari gymnasium, yang selama pandemi COVID-19 mungkin pindah ke ruang tamu atau kamar tidurmu dalam rangka menjaga kebugaran tatkala tidak bisa keluar rumah. Paulus memakai analogi perlombaan untuk menjelaskan proses pertumbuhan rohani dan kesalehan dalam beberapa suratnya karena analogi ini memang tepat: atlet-atlet berlatih menguasai diri dengan keras untuk mengejar mahkota kemenangan yang fana, tetapi pengikut-pengikut Kristus berlari untuk mendapatkan mahkota yang abadi (1 Kor. 9:25). Lebih lagi, dalam arena kehidupan di mana semua orang berlari menurut jalan pilihan masing-masing, hanya sedikit yang akan menemukan gerbang sempit yang menuju kepada kehidupan (Mat. 7:14, bdk. 1 Kor. 9:24), jadi kita perlu mempraktikkan disiplin rohani hari demi hari dengan intensional dan disiplin (1 Kor. 9:27). Berdisiplin rohani tanpa disiplin pada dasarnya adalah seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin (1 Kor. 9:26); kita tidak akan pernah mencapai sasaran daripada disiplin rohani, yaitu keserupaan dengan Kristus.
Terakhir, kita perlu melakukan disiplin rohani baik secara pribadi maupun secara komunal bersama saudara-saudari seiman. Senada dengan dorongan Paulus kepada Timotius untuk tidak hanya bertekun dalam Firman tetapi juga mengajarkannya kepada jemaat Efesus (1 Tim. 4:6–7), penulis surat Ibrani mendorong kita untuk “saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (10:24 TB). Bagaimana caranya? Lewat persekutuan dan pertemuan ibadah, di mana kita “saling menguatkan, terlebih lagi karena kamu tahu bahwa Hari Tuhan sudah semakin dekat” (Ibr. 10:25). Ya, karena kedatangan Tuhan Yesus yang kedua pasti segera terjadi, marilah kita semakin giat bertemu dan bersekutu dengan-Nya, baik secara pribadi maupun dengan orang-orang percaya lainnya.
Aku bersyukur kepada Tuhan atas saudara-saudari yang Ia telah tempatkan dalam hidupku untuk bersama-sama berdisiplin rohani. Lewat berbagai sharing dan diskusi, rencana baca Alkitab dan saat teduh tahunan yang biasanya kujalani sendiri jadi lebih berwarna dan berbobot. Melanjutkan analogi perlombaan, kehadiran rekan-rekan yang berlatih bersama kita pastinya akan meningkatkan semangat dan memperluas pemahaman kita sendiri.
Itulah ketiga prinsip yang kupelajari dan terapkan dalam sepuluh tahun terakhir. Di atas kertas kelihatannya mudah, namun ada kenyataan yang perlu kita sadari dan ingat agar dalam “berlatih dalam kesalehan” kita tidak menjadi tawar hati (bdk. 2 Kor. 4:16).
“Bukan sekarang, tapi 60 tahun lagi”
Kata-kata itu keluar dari mulut kakak pembina di persekutuan kampusku dulu dalam perjalanan kami kembali ke kantor masing-masing sehabis makan siang. Pertemuan ini kami adakan setelah sekitar 2 tahun tidak bertemu satu sama lain karena kesibukan kami masing-masing.
Aku sedang bersiap-siap turun di stasiun MRT berikutnya ketika beliau berkata kepadaku dengan setengah bercanda, “Jangan lupa keep in touch ya, jangan sampai ketika aku ketemu kamu lagi, kamu malah sudah punya anak.”
“Tenang saja Kak, aku akan kabari kalau sudah punya pasangan,” jawabku geli.
“Ya, ya,” balasnya. Ada keheningan selama beberapa detik sebelum beliau melanjutkan begini, “Ingat ya Jeff, aku tidak akan menilai kamu berdasarkan siapa kamu sekarang, tetapi siapa kamu 60 tahun lagi, itu yang menentukan.”
Kebingungan menerima kata-kata tersebut, aku bertanya, “Maksudnya gimana, Kak?”
“Iya, kerohanianmu dan semangatmu melayani saat ini mungkin baik, tapi siapa yang tahu hubunganmu dengan Tuhan 60 tahun lagi, apakah masih baik atau tidak? Di tengah dunia yang berdosa, kita hanya bisa berharap kepada Tuhan bahwa Dia akan terus menjaga iman kita sampai akhir.”
Bersamaan dengan balasan beliau, aku pun tiba di tempat tujuan. Setelah bertukar “Sampai jumpa” dengan kakak pembinaku, aku bergegas turun dari kereta. Sambil berjalan kembali ke kantor, aku larut dalam perenungan, memikirkan kata-katanya.
Perihal pembahasan kita dalam dua tulisan ke belakang, kurasa kata-kata kakak pembinaku sangatlah tepat. Berdisiplin rohani untuk hidup dalam kesalehan, dalam keserupaan dengan Yesus Kristus, terdengar mudah ketika dibaca di atas gadget. Namun pengalaman mengajarkanku bahwa disiplin dan kesetiaan kepada Tuhan tidak mungkin dilakukan secara konsisten oleh usaha manusia semata, apalagi di tengah-tengah dunia yang berdosa dan membenci Tuhan yang kita sembah (Yoh. 15:18). Berbagai perlawanan akan kita hadapi dalam mempraktikkan disiplin rohani, baik dari dalam diri kita sendiri (e.g. keengganan kita membaca Alkitab yang begitu tebal) maupun dari luar (e.g. daya tarik Netflix ketika kita seharusnya doa malam, sindiran teman ketika kita memilih untuk menghadiri persekutuan doa gereja ketimbang pergi hang out bersama mereka). Kata-kata tekad mudah diucapkan, tapi apakah kata-kata itu akan dipegang atau tidak sampai kita bertemu dengan Tuhan Yesus muka dengan muka, semuanya hanya bergantung pada kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan memampukan (1 Tim. 4:10).
Oleh karena itu, aku ingin mengarahkanmu kepada Filipi 1:6 yang memberikan kita pengharapan bahwa bukan kita yang memampukan diri kita untuk berdisiplin rohani untuk menjadi serupa Tuhan Yesus, melainkan Allah sendiri:
Aku sungguh yakin bahwa Ia yang telah memulai pekerjaan baik di antara kamu, Ia juga yang akan menyempurnakannya sampai hari Yesus Kristus.
Akhir kata, kejarlah Kristus, kejarlah Dia dengan penuh disiplin dan bersemangat, kejarlah Dia bersama saudara-saudari seiman lainnya hingga bertemu dengan-Nya muka dengan muka di akhir kehidupan kita di dunia ini.
Tuhan Yesus menyertai kamu dalam latihan “untuk hidup dalam kesalehan”, soli Deo Gloria.
Pertanyaan refleksi
Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? dengan mata tertuju pada usaha sendiri atau pada Tuhan Yesus (Ibr. 12:2)?
Bagaimanakah kamu berdisiplin rohani selama ini? seperti berlari tanpa tujuan dan meninju angin, atau “melatih tubuh[mu] dengan keras dan menguasainya” (1 Kor. 9:27)?
Bagaimanakah kamu dapat mulai berdisiplin rohani bersama dengan orang-orang percaya lainnya?
Catatan:
kecuali bagian-bagian yang memiliki singkatan TB / ESV, kutipan-kutipan Alkitab dalam tulisan ini memakai terjemahan Alkitab Yang Terbuka (AYT).
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
Disiplin rohani dan kesalehan, kita mungkin tidak asing dengan dua istilah ini, tapi sejauh mana kita memahami keduanya sebagai sebuah cara hidup orang Kristen? Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari #SeriDisiplinRohani ini.
https://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2021/03/2021-03-17-disiplin-rohani-2.jpg6131024WarungSateKamuhttps://www.warungsatekamu.org/wp-content/uploads/2022/12/logoxkecil.pngWarungSateKamu2021-03-17 12:00:242021-10-19 09:28:32Ketika Metode Bertemu Realita: Bagaimana Melakukan Disiplin Rohani