Posts

Catatan Kebaikan Tuhan di Antara Jayapura dan Jakarta

Oleh Still Ricardo Peea 

Tanggal 15 Agustus lalu, dilakukan pembukaan dan pengutusan satu sekolah baru yang dibuka oleh yayasan yang menaungi pelayananku dan rekan-rekan di pedalaman Papua. Tidak seperti sekolah pada umumnya, sekolah ini dibuka khusus untuk siswa-siswi pedalaman Papua yang melanjutkan SMP dan SMA mereka. Yayasan memberi nama sekolah ini “Bukit Moria”.

Keterlibatanku bersama rekan guru dan para senior perawatku dalam persiapan keberangkatan para siswa ke sekolah baru, mendorongku untuk berefleksi. Penamaan “Bukit Moria” mengacu pada tempat di mana ketaatan Abraham akan perintah Allah diuji. Abraham diminta mengurbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-19). Allah melihat ketaatan Abraham dan pada akhirnya memberikan seekor domba jantan sebagai ganti Ishak. Inilah peristiwa yang menunjukan pemeliharaan atau providensia dan kesetiaan Tuhan akan janji-Nya.

Ketaatan, tindakan ini menginspirasiku. Aku melihat para misionari, guru, dokter, perawat, tenaga pengajar, tenaga kesehatan lain yang memberi diri untuk menjadi utusan-Nya. Mereka menjadi teladanku untuk mengabdi sebagai pelayan masyarakat. Pada awalnya, melayani di tanah Papua tak mudah kujalani meskipun keputusan ini sudah kupikirkan jauh sebelum aku mengambil studi keperawatan dan sekarang menjadi perawat. 

Saat aku merespons panggilan Tuhan untuk menjadi perawat, aku dipenuhi keraguan. Aku memikirkan bagaimana nanti rekan sekerja dan komunitas tempatku tinggal, keluargaku yang jauh di daerah asalku, juga kesehatanku yang tidak tahan daerah dingin dan berdebu. Aku harus menghadapi pasien dengan watak dan budaya yang berbeda, dan menangani masalah kesehatan mereka yang tidak darurat maupun darurat yang memerlukan penanganan segera dengan segala keterbatasan yang ada. Sebagai contoh, ada momen ketika listrik kami yang mengandalkan genset juga internet kami bermasalah selama lebih dari sebulan; salah satu kader kami terjatuh dari ketinggian saat bekerja; rekan guru kami ada yang jatuh sakit; kami harus menangani pasien darurat yang oleh tetangganya dipotong di bagian pipi dan rongga mulut, leher dan punggung tangannya. Aku dan seniorku harus tetap tenang dan menenangkan keluarga juga pasien, lalu segera menangani pasien ini. 

Pertolongan-Nya yang kurasakan adalah ketika Tuhan merangkulku dan seniorku di tengah situasi yang tidak baik-baik saja untuk tenang, di tengah jeritan keluarga yang menangis dan menyerukan doa atas apa yang terjadi pada sanak saudaranya. Kadang aku maupun seniorku memutar lagu atau musik instrumental untuk menenangkan pasien, juga mengingatkan lagi diriku sendiri akan apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam perjalanan hidupku. Menghitung kembali semua berkat Tuhan, perlahan menenangkanku yang masih baru dalam dunia pelayanan ini. Dukungan dari tim dokter dan perawat klinik, komunitas asrama, dan juga masyarakat yang memberikan semangat dan dorongan, menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memampukanku untuk setia.

Hari-hari sebagai perawat di pedalaman tidaklah mudah. Tapi aku selalu ingat bahwa Tuhan telah membawa kita keluar dari kegelapan kepada terang, membebaskan kita dari belenggu dan menyediakan keselamatan bagi umat-Nya. Inilah yang menjadi penguatan, dan meneguhkan harapanku dalam menjalankan tugasku untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Bukan hanya untuk mengobati dan membantu pemulihan, namun yang terpenting adalah mencegah dan meningkatkan status kesehatan mereka. Bersama tim pelayananku, kami merangkul mereka untuk lebih sadar akan kesehatan mereka. 

Kembali ke kisah pembukaan sekolah di atas, para dokter, senior-seniorku dan aku sendiri bertugas mendampingi para siswa dalam persiapan berangkat bersama guru-guru mereka. Karena kami perawat dari pedalaman yang mendampingi sekolah asal mereka, kami mengetahui bagaimana latar belakang juga masalah kesehatan mereka. Kami mengobservasi kondisi mereka selama masa persiapan dan adaptasi sebelum berangkat, memastikan mereka siap untuk melanjutkan studi mereka di tempat baru yang jauh berbeda dengan daerah asal mereka. Supaya di perjalanan tidak ada kendala kesehatan, kami pun harus ikut berangkat. Kami mengarungi lautan di atas kapal selama tujuh hari tujuh malam—dari kota Jayapura ke Jakarta. Kami singgah di beberapa kota seperti Manokwari, Biak, Sorong, Bau-Bau, Makassar, dan Surabaya selama perjalanan.

Durasi yang cukup lama di atas kapal kami lewatkan dengan bermain bersama, mendengarkan firman Tuhan, berdoa, bernyanyi, menari, dan bersukacita. Pengalaman ini menjadi rhema tersendiri bagiku, sukacita yang menguatkanku, dan perenunganku akan kebaikan Tuhan. Siswa-siswi dari pedalaman mengalami hidup yang jauh berbeda dari segala kemudahan ala orang-orang kota, namun Tuhan mengasihi dan memperhatikan mereka. Jika aku adalah mereka, tentu tak mudah untuk keluar dari zona nyaman dengan pergi ke tempat yang benar-benar baru.

Aku terdorong untuk menulis tulisan ini sejak aku naik ke atas kapal. Bukit Moria dan anak-anak yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengenyam pendidikan ibarat perjalanan Abraham yang dibawa Tuhan keluar dari tanah asalnya. Tuhan berinisiatif dan Dia mengenalkan diri-Nya karena kita tidak mampu, begitu juga dengan anak-anak ini yang dibawa untuk berproses dan mengenal-Nya lewat pembelajaran mereka di sekolah nantinya. Tuhan membawa mereka keluar, ke tempat yang terdapat akses lebih akan pengetahuan dan pengenalan akan Dia. 

Keterbatasan dan kesulitan yang ada tidaklah lebih besar dari pertolongan yang Tuhan sediakan. Tangan-Nya tak akan terlambat dan akan menyediakan. Ia turun tangan memberikan pertolongan lewat kehadiran siapapun yang bisa dipakai-Nya untuk menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang, yang rindu untuk mengenal dan dekat dengan pribadi-Nya. Pertolongan-Nya bisa hadir lewat aku dan kamu karena Dia setia. 

Perenungan singkatku di atas kapal laut ini hanyalah sedikit sekali dari samudera berkat yang Tuhan sediakan bagi kita. Buat kamu yang membaca tulisan ini, aku meminta bantuanmu untuk membawa siswa-siswi yang kudampingi, untuk anak-anak Tuhan di mana pun, calon pemimpin yang akan menjadi duta Kristus di masa depan yang sedang berjuang, di dalam pokok doa kita. Doakan agar hidup mereka dipimpin Roh Kudus yang setia, sehingga mereka senantiasa dibentuk meneladani dan menyerupai Kristus, dan memuliakan Bapa kita.

Terima kasih, Imik Neyung Perob! (Tuhan Memberkati).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ritual: Bukan Cuma Tentang Praktik, tapi Juga Perspektif

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Teruntuk kita yang sering merasa iman saja sudah cukup, dan bagi mereka yang sering melontarkan kalimat seperti, “Ga perlu lah melakukan ritual dan sakramen gereja, karena Tuhan kan Mahatahu dan mengerti hati kita.” Ritual memang terdengar kuno dan terkesan tidak penting. Namun, apakah se-irelevan itu adanya konsep “ritual” di zaman ini? 

Bicara agama tidak bisa terlepas dari ritual. Jika kita menelisik kembali sejarah kekristenan, pada abad 16 terjadi peristiwa besar yang kita kenal sebagai Reformasi Protestan. Salah satu alasan lahirnya reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther adalah karena dia menentang praktik penjualan surat indulgensi. Umat kala itu dapat membeli koin-koin yang dipercaya dapat mengurangi waktu mereka di dalam masa-masa api penyucian atau purgatorium agar bisa cepat masuk ke surga. Seiring berlalunya waktu, reformasi Protestan pun menghasilkan dinamika baru dalam wajah kekristenan di dunia dengan pemahaman-pemahaman akan ritual yang dilandaskan pada Alkitab. 

Nah, kembali pada premis di paragraf pertama: Jadi, apakah ritual itu penting? Tidak kalah sering orang Kristen Protestan dijuluki sebagai agama yang kurang menerapkan ritual-ritualnya. Beberapa pandangan ekstrem malah menggunakan alasan para reformator untuk meremehkan semua ritual kekristenan. Katanya, “Keselamatan manusia tidak bergantung pada perbuatan atau ritual yang dilakukannya.” Pernyataan ini perlu kita cerna dengan cermat dan rendah hati. Ritual atau sakramen dalam kekristenan itu penting. James K.A. Smith, seorang filsuf dan teolog, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbentuk dari ritual-ritual yang dilakukannya. Setiap pagi, asal melek buka HP saja bisa menjadi sebuah ritual! Oleh sebab itu, ritual yang salah juga dapat merusak diri kita. 

Lalu, mengapa “ritual” itu penting? 

Pertama-tama, Smith menjabarkan konsep ritual itu sendiri dengan ritual dalam kehidupan keseharian kita. Anggap saja, kita ingin menjadi seorang pianis yang handal lalu kita latihan setiap hari. Entah kita latihan dengan hati terpaksa karena disuruh orang tua atau sepenuh hati, latihan demi latihan sedikit banyak akan membentuk keahlian kita dalam bermain piano. Seperti kata pepatah, “practice makes perfect.” Sama halnya dalam kehidupan spiritual kita, ritual (atau latihan) kerohanian yang kita lakukan pada akhirnya akan membentuk dan mengubahkan hati kita, secara sadar atau tidak sadar. Ritual kerohanian itu penting untuk melatih tubuh kita. Tuhan menciptakan manusia dengan wujud atau bentuk, di mana tubuh ini adalah wujudnya. Dengan adanya ritual konkrit (concrete practices) yang dialami oleh indera kita, tubuh ini menjadi media perantara ritual untuk menggerakkan hati atau pikiran kita. Seperti saat kita melakukan perjamuan kudus, saat kita makan roti dan minum anggur, seluruh indera dari fisik tubuh kita merasakan (memegang) langsung wujud ritual tersebut. Ini adalah ritual yang mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang menyerahkan diri-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Saat beberapa gereja mempraktikkan berlutut saat berdoa, secara tidak sadar ritual postur berlutut ini memberikan sinyal pada hati kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Banyak ritual-ritual kecil yang dilakukan setiap minggunya di gereja, yang secara tidak sadar, mengajarkan dan mengubahkan hati dan pikiran kita secara perlahan. Oleh sebab itu, perspektifnya harus dibalik. Harus dipahami bahwa Tuhan menetapkan adanya ritual kerohanian dikarenakan itu penting untuk kita, untuk melatih tubuh kita dan mengubah pikiran kita, bukan untuk diri-Nya.

Poin kedua. Letak perbedaan yang menjadikan ritual kerohanian orang Kristen itu penting ada pada penyertaan Roh Kudus. Ritual kerohanian kita disertai oleh kehadiran Roh Kudus. Craig Dykstra menggunakan istilah habitation of the Spirit”, di mana praktik yang konkrit (ritual/sakramen) ini menjadi saluran atau media kuasa Roh Kudus untuk mengulik dan mengubahkan kita. Seperti yang beberapa kali kusebutkan di poin sebelumnya, “secara tidak sadar” memang seringkali kita tidak lagi memaknai arti dari setiap ritual ini, namun bukan berarti Roh Kudus tidak bekerja. Adanya kehadiran kuasa Roh Kudus yang unik untuk momen ritual kerohanian yang dilakukan oleh orang percaya. 

Ada kutipan yang penting: 

“Historic Christian Devotion bequeaths to us rituals and rhythms and routines that are what Craig Dykstra calls “habitations of the Spirit” – concrete practices that are conduits of the power of the Spirit and the transformative grace of God.”

“Devosi Kristiani yang bersejarah mewariskan kepada kita ritual-ritual, ritme-ritme, dan rutinitas yang disebut oleh Craig Dykstra sebagai “habitations of the Spirit” – praktik-praktik konkrit yang menjadi saluran bagi kuasa Roh dan kasih karunia Allah yang transformatif.”

Lalu, bagaimana mendamaikan konsep “ritual” dan “anugerah keselamatan”?

Ritual atau sakramen yang kita lakukan merupakan respons dari anugerah keselamatan yang kita telah dapatkan. Jadi jangan dibalik ya. Bukan karena kita melakukan ritual, maka kita dapat diselamatkan oleh Tuhan; namun karena kita sudah diselamatkan, maka kita ingin melakukan ritual tersebut sebagai tanda ucapan syukur kita kepada Tuhan. Patut diingat bahwa tidak ada pekerjaan baik manusia yang dapat membawa kita ke surga, karena keselamatan yang kita terima murni dari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Jika kita mengerti arti ritual dari sudut pandang ini, maka sesungguhnya setiap ritual kerohanian kekristenan adalah reminder bagi orang percaya akan anugerah dan kasih setia Tuhan sepanjang masa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Aku, si Keong di Antara Macan

Minder, gak percaya diri… Mungkin kita pernah mengalaminya.

Melihat teman yang sudah mapan dalam banyak hal dan melihat diri sendiri yang rasanya “gitu-gitu aja”, seolah benar adanya kalau aku si keong di antara macan: aku berjalan lambat, sedangkan teman-temanku melaju cepat.

Sobat Muda, perjalanan hidup kita dengan orang lain pasti berbeda. Karena itu, hidup bukanlah tentang siapa yang paling cepat, melainkan suatu proses untuk kita belajar banyak hal dan menjalani hidup yang sesungguh-Nya di dalam Dia.

Jadi, jangan patah semangat yaa. Teruslah berproses. Tuhan melihat upayamu dan senantiasa menyertaimu 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu