Sepotong Brownies

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku mendaratkan diri di sofa café di seberang kosanku. Aku baru selesai kerja dan sengaja tidak langsung pulang ke kos. Tampaknya aku perlu secangkir kafein untuk hari yang mendung ini. Sejak pagi rasanya aku terus mengantuk.

Aku menguap, menatap ke jendela, ada titik-titik embun di sana. Mengaburkan barisan kaca-kaca panjang di salah satu sisi kafe ini. Dari sini harusnya kosanku terlihat jelas, bangunan tiga lantai dengan cat biru muda. Bangunan yang menjadi tempatku pulang sejak hampir tujuh tahun ini.

Aku perantau di kota ini. Sejak aku menempuh kuliah, kemudian terasa nyaman dan memutuskan untuk bekerja di kota ini. Dan hanya sesekali aku pulang ke rumah. Dua atau tiga kali dalam setahun.

Aku sih nggak mau merantau ya, apalagi beda provinsi seperti kamu Des, nanti lama-lama jadi terasa jauh sama orangtua sendiri,” kata seorang teman kerjaku saat suatu hari kami tidak sengaja ngobrolin tentang tempat tinggal sebelum memulai rapat.

Kalau aku sih kenapa nggak pengen merantau karena aku nggak bisa tinggal sendiri, nggak siap menjalani hidup sendiri, kayaknya bakal banyak masalah kalo tidak tinggal bersama orangtua,” sambung seorang temanku yang lain. Aku menggumam samar, saat itu tidak sempat menanggapi karena rapat akan segera dimulai.

Sekarang entah bagaimana aku tiba-tiba teringat akan percakapan itu. Berpikir.

Seorang pelayan café yang cukup mengenalku mendekat, membawa nampan di tangan kirinya dengan secangkir kopi latte, pesanan standarku setiap kesini. Aku tersenyum, lalu menyeruput isinya. Rasa hangat menjalar di tenggorokanku. Nyaman.

Aku kembali memikirkan hal tadi. Apakah sekarang aku dan orangtuaku jadi terasa jauh? Apakah selama ini aku mendapat banyak masalah selama tinggal jauh dari orangtua?

Pelayan café tadi terlihat kembali berjalan ke arahku, kemudian meletakkan sepotong brownies dalam piring kecil di samping cangkir kopiku. Aku memandang bingung, rasanya aku tidak memesan apapun yang lain. Dan bukannya café ini tidak menjual brownies?

“Ini menu baru café kami. Silakan dinikmati,” kata pelayan itu tersenyum ramah. Aku ikut tersenyum membalasnya, mengucapkan terimakasih.

Sepotong brownies coklat ini tampak cukup menggugah selera, pasangan yang pas untuk secangkir kopi hangat. Aku langsung menyendok dan menikmatinya. Beberapa detik aku hanyut dengan brownies itu, sampai aku merasa seperti sedang de javu. Aku merasa seperti di rumah. Seperti sedang menikmati brownies buatan Mama yang selalu dibuatnya saat aku pulang.

Aku memejamkan mata. Tiba-tiba teringat akan ayat SaTeku tadi pagi:

Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” (Mazmur 32:8).

Aku mengulang kata demi katanya dalam pikiranku.

Memang, aku sudah bertahun-tahun merantau ke kota ini. Aku jarang pulang ke rumah dan aku memang bukan tipe anak yang selalu menghubungi orangtuanya setiap hari. Orangtuaku mungkin tidak selalu tahu semua aktivitas yang kulakukan, tapi mereka selalu memastikan bahwa aku baik-baik saja. Masalah demi masalah ada-ada saja, tapi aku sesungguhnya tidak pernah mengatasinya sendirian. Dan, bukankah jauh ataupun dekat dari mereka, masalah bisa saja tetap ada? Yang penting adalah kita tetap saling terhubung.

Aku kemudian menyadari sesuatu. Untuk hubungan anak dan orangtua saja bisa begitu terasa, apalagi hubungan kita dengan Tuhan, ya? Tuhan pasti selalu ingin mengajar dan menunjukkan jalan yang harus kutempuh, oleh karena itu Dia ingin agar aku selalu dekat pada-Nya, selalu terhubung dengan-Nya. Meski dekat pada-Nya tidak berarti semua masalah yang ada akan sirna, tapi mengetahui bahwa aku selalu terhubung dengan-Nya membuatku tenang; bahwa aku tidak pernah ditinggalkan. Bahwa Dia selalu ingin memberi nasihat kepadaku. Bahwa mata-Nya tertuju kepadaku. Bahwa Dia tidak akan pernah jauh, bahkan saat aku sering menjauh.

Ponselku bergetar di atas meja, aku tersentak. Sebuah pesan di grup obrolan kelompok PA-ku.

Kak Lestari: Guys, besok kita PA-nya jam 7 aja yaa. Sepertinya kakak sedikit terlambat karena ada pelayanan di tempat kerja.

Perasaan bersyukur menjalari hatiku. Aku bersyukur untuk orang-orang yang Tuhan berikan untuk menolongku bertumbuh secara rohani selama ini. Orang-orang yang membimbing aku belajar Alkitab, belajar bercerita Alkitab, dan belajar untuk selalu terhubung dengan-Nya.

Sepotong brownies dapat membuat aku merasa sedang di rumah, merasa dekat dengan orangtuaku meski sedang jauh jaraknya. Tapi Yesus, Dia tidak hanya terasa dekat karena diingatkan oleh suatu kenangan apa pun. Dia memang benar dekat, dan selalu di sini.

Aku menghembuskan napas pelan, tersenyum sendiri. Menyadari betapa pentingnya untuk selalu terhubung dengan-Nya. 

Ponselku bergetar lagi, kali ini dari grup obrolan dengan nama “Elshaday”.

Mama: Lagi pada di mana anak-anak Mama? Udah pulang kerja?

Sekali lagi aku tersenyum, lalu mengetikkan balasan yang kemudian ditimpali oleh kakak dan adikku. Kemudian sebuah foto dikirim lagi, foto Bapak yang sedang menikmati sepotong brownies yang pasti adalah buatan Mama. Senyumku semakin mengembang; keluarga ini pun wujud kasihNya kepadaku. Bagaimana mungkin aku dapat menjauh dari-Mu ya Tuhan, kalau segala sesuatunya adalah anugerah-Mu?” bisikku pelan.

Aku meraih cangkir kopiku, mencoba menghirupnya, tapi ternyata sudah dingin. Kopinya dingin, cuacanya pun dingin, tapi suasananya entah mengapa hangat. Aku meneguk kopi dingin itu sampai tidak bersisa. Besok lusa aku akan menikmatinya lagi selagi hangat, kala itu pasti akan ditemani sepotong brownies lagi.

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.” (Mazmur 62:2).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
1 reply
  1. Mitha Eldyna
    Mitha Eldyna says:

    Puji Tuhan sangat terberkati, Allah selalu hadir dan dekat dengan kita, maka apalagi yg harus kita khawatirkan?

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *