Melihat dan Memahami Injil Natal Lewat Tokoh Manga

Oleh Jefferson

“Dasar lu wibu!” canda teman-temanku. 

“Huh? Apa tuh ‘wibu’?” aku bertanya, bingung.

“Jeff, lu baru aja jelasin plot satu manga, itu berarti lu wibu.”

Percakapan di atas kurang lebih merangkum kali pertama aku mendengar kata “wibu”. Maaf kalau aku terdengar ketinggalan zaman. Aku memang tak begitu aktif di media sosial, yang kupahami mempopulerkan istilah ini di antara orang Indonesia. Kalau kamu juga tidak tahu, “wibu” dipakai – kerap dengan konotasi ejekan – untuk mendeskripsikan orang-orang yang kelihatannya terobsesi dengan budaya pop dari Jepang dan bahkan menganggapnya lebih unggul dibandingkan budaya-budaya lain.

Aku bilang “kelihatannya” karena tidak semua orang yang disebut “wibu” memiliki persepsi maupun obsesi seperti di atas. Kami hanya menikmati manga dan anime sebagai hiburan, tidak lebih dari itu. Maafkan kalau terkadang aku membicarakan tentang serial manga yang kuikuti dengan terlalu antusias, tapi aku percaya kamu dapat berempati dengan gairahku ini. Lagi pula, bukankah wajar jika kita membagikan sukacita kita atas sesuatu dengan penuh semangat kepada orang lain agar mereka juga bisa menikmatinya?

Itulah yang akan kulakukan dalam tulisan ini: berbagi tentang seorang protagonis dari salah satu serial manga favoritku dan bagaimana aku berempati dengannya. Tapi kita tak berhenti di situ: aku akan menghubungkan perenunganku tentang karakter tersebut kembali kepada Tuhan Yesus. Lewat refleksi yang tidak biasa yang menghubungkan manga dengan Injil ini, aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa: (i) kita bisa mengikut Tuhan Yesus dengan penuh komitmen dan tetap menikmati bentuk-bentuk hiburan di dunia ini dan (ii) Ia dapat ditemukan di dalam semua ciptaan, termasuk ciptaan tangan kita, ketika kita mencari-Nya dengan segenap keberadaan kita (Kis. 17:27, bdk. Yes. 55:6–7).

Mari kuperkenalkan kamu dengan, dari serial manga My Hero Academia (MHA):

Izuku Midoriya, pewaris One for All

Untuk memahami apa itu “One for All” dan signfikansi Izuku sebagai pewarisnya, pertama-tama kita perlu menyelami latar – dan sedikit sejarah – dari jagat MHA.

Serial manga ini mengambil tempat di dunia di mana hanya sebagian kecil populasinya yang tidak memiliki “quirk” (istilah MHA untuk kekuatan super). Maka keberadaan pahlawan dan penjahat adalah lazim di masyarakat. Para penjahat dikepalai All For One (AFO), penjahat yang quirk-nya dengan nama yang sama memampukannya untuk mencuri dan memakai quirk orang lain. Yang memimpin perlawanan para pahlawan melawan penjahat adalah All Might, yang memiliki quirk One For All (OFA).

Lima tahun sebelum cerita utama MHA, All Might sukses mengalahkan AFO sehingga ia dijuki “Simbol Perdamaian”. Namun, ada harga yang harus dibayar All Might untuk kemenangannya: luka parah yang membatasi hari-harinya sebagai Simbol Perdamian. Mengetahui bahwa AFO suatu hari akan kembali untuk menghancurkan perdamaian yang ia perjuangkan dengan keras, All Might mulai mencari pewaris yang layak untuk OFA dan mampu menyelesaikan misinya untuk menghentikan AFO untuk selamanya. Setelah pulih dari luka-lukanya, All Might mulai mengajar di almamaternya SMA U.A.

Masuk: Izuku Midoriya. Seorang tipikal remaja kutu buku, Izuku bercita-cita untuk mendaftar masuk ke U.A. dan menjadi seorang pahlawan hebat seperti All Might. Tetapi Izuku terlahir tanpa quirk, jadi bagaimana dia bisa mewujudkan cita-citanya ini? Kamu pasti bisa menebak apa yang kemudian terjadi: Izuku secara tidak sengaja bertemu All Might dan terlibat dalam sebuah kejadian di mana ia menunjukkan kepahlawanannya walaupun tidak memiliki quirk. Setelah kejadian itu lewat, All Might mengungkapkan rahasianya kepada Izuku dan memilih Izuku sebagai pewaris OFA. Dengan quirk barunya, Izuku berhasil bergabung ke SMA U.A. dan mulai berlatih untuk pada akhirnya menjadi Simbol Perdamaian menggantikan All Might.

Dari sini alur cerita MHA berjalan dengan cukup standar hingga, seperti semua cerita bagus lainnya, sang protagonis harus mengalami masa nadir sebelum mencapai klimaks kejayaannya. Sembilan bulan setelah belajar di U.A., Izuku terlibat dalam operasi rahasia untuk menangkap pengikut AFO. Apa daya, mereka berhasil kabur dari sergapan para pahlawan dan membebaskan AFO dari penjara. Kembalinya AFO mengembalikan kondisi masyarakat kepada kekacauan seperti masa sebelum ia dikalahkan All Might. Menghadapi AFO yang aktif mengejarnya untuk merebut kembali OFA, Izuku memutuskan untuk kabur dari U.A. bersama All Might untuk melindungi teman-teman kelasnya. Sebelum pergi, Izuku meninggalkan mereka surat yang menjelaskan tentang OFA dan alasan kepergiannya. Maka dimulailah misinya untuk melacak dan menghadapi AFO.

Namun, setelah beberapa waktu mencari petunjuk dan mengalahkan penjahat kiriman AFO, Izuku masih tidak dapat menemukannya sama sekali. Rasa letih memperberat beban yang Izuku pikul sebagai penerus OFA. Izuku pada akhirnya menjauhkan diri dari sekutu-sekutu yang telah membantunya sejauh itu, termasuk All Might, dan beroperasi sendiri dengan alasan untuk melindungi mereka dari bahaya. Perjalanan Izuku akhirnya mencapai titik nadir ketika berhari-hari pencarian dan pertarungan yang melelahkan membuat penampilannya lebih mirip penjahat daripada pahlawan, seperti yang ditunjukkan pada gambar di sebelah kanan.

Melihat diriku dalam Izuku Midoriya

Setelah mengetahui lebih banyak tentang Izuku dan MHA, aku ingin berbagi bagaimana aku berempati dengannya.

Sebagaimana Izuku menerima OFA dari All Might pada usia 14 tahun, aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku sembilan hari sebelum ulang tahunku yang ke-15. Hidup kami tidak pernah sama lagi: Izuku mulai sekolah di U.A., berlatih untuk menghadapi AFO, dan tumbuh menjadi pahlawan yang cakap; Tuhan memanggilku untuk belajar tentang lingkungan hidup di Nanyang Technological University di Singapura, di mana aku menjadi mahasiswa dari Indonesia satu-satunya di angkatan pertama jurusan itu. Setelah “berlatih” selama 4 tahun dan bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama 3,5 tahun, Tuhan memberikanku afirmasi terhadap panggilan-Nya untukku di dunia kerja, terutama di bidang sustainability / keberlanjutan yang sedang berkembang.

Aku pun memutuskan untuk membekali diri lebih jauh dengan mengambil gelar S-2 dalam bidang sustainable finance di National University of Singapore. Herannya – atau harusnya bisa kuduga? – sekali lagi aku menjadi satu-satunya orang Indonesia di angkatan pertama program master itu. Sekarang aku bekerja di institut NUS yang menaungi jurusan masterku, di mana aku menyelidiki bagaimana sektor-sektor pasar bisa menginternalisasi eksternalitas lingkungan dan sosial mereka lewat sustainable finance sehingga kita bisa beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim dengan lebih baik. Selain pekerjaan, aku melayani di beberapa pelayanan seputar pengajaran dan pemuridan: memimpin kelompok kecil, mengembangkan kurikulum gereja, mengajar di ibadah remaja, dan menulis di WarungSaTeKaMu dan blog.

Seperti yang kamu lihat, kombinasi pekerjaan dan pelayananku, pemuridan dan sustainable finance, agak tidak biasa. Tergantung pada sudut pandangnya, kombinasi panggilanku bisa dipandang sebagai suatu kehormatan atau beban: kehormatan, karena tidak semua orang dipanggil oleh Allah untuk merintis dan menemukan pekerjaan kerajaan-Nya di bidang yang sedang berkembang dan semakin relevan; beban, karena trailblazing / perintisan berarti kita sering kali harus berjalan sendirian dan hanya segelintir yang bisa memahami apa yang kita lalui. Tambahkan ke dalam situasi ini latar geografisku, sebuah negara yang terkenal sibuk, maka kamu dapat melihat godaanku setiap harinya untuk memandang panggilanku sebagai beban. Sayangnya, aku lebih sering jatuh ke dalam godaan itu. Seperti Izuku, aku merasa terbebani oleh panggilanku sampai-sampai aku berulang kali berpikir, “Tidak ada yang dapat mengerti aku, tidak ada yang bisa memikul bebanku, aku harus berjuang sendirian!”

Sekarang kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana Izuku dan aku bangkit dari masa nadir. 

Kami tidak melewatinya sendiri.

Ada orang lain yang datang menyelamatkan kami.

Bagaimana Izuku melewati masa nadirnya

Bagi Izuku, adalah teman sekelasnya di U.A. yang menyelamatkannya. Setelah mengetahui beban yang dipikulnya, teman-teman Izuku mengonfrontasi dan memintanya untuk kembali ke U.A. sehingga mereka dapat bersiap menghadapi AFO bersama-sama. Izuku mencoba melawan, tetapi pewaris OFA kedelapan yang sedang keletihan tidak berdaya melawan 19 pahlawan dalam pelatihan. Menyadari kesalahan tindakannya, Izuku meminta maaf kepada teman-temannya dan kembali ke U.A. bersama mereka sehingga ia bisa mendapat istirahat dan dukungan yang cukup untuk pertempuran final melawan AFO dan kroni-kroninya.

Kesimpulan yang “gampangan” dari kisah ini adalah bahwa orang-orang terdekat kita dapat menyelamatkan kita dari titik nadir dan membantu kita bangkit kembali ketika kita sedang terpuruk. Namun, jauh di dalam lubuk hati kita tahu bahwa kenyataannya tidak semudah itu. Mengapa? Karena keluarga dan teman-teman kita tidak akan selalu bersama kita sepanjang kita hidup. Beberapa bahkan mungkin akan meninggalkan kita sendirian dalam pergumulan kita karena mereka sendiri tidak mampu menanggung beban-beban mereka pribadi.

Jadi, kepada siapa kita bisa meminta bantuan ketika kita berada di titik nadir?

Bagaimana kita dapat melewati masa nadir kita bersama Kristus

Membaca bagian cerita Izuku ini (bab 316–325, Izuku berhadapan dengan teman-temannya di bab 320–322) mengingatkanku pada satu sosok dalam sejarah yang dibawa ke titik nadir, seperti Izuku dan aku, dan berhasil melewatinya dengan pengharapan.

Inilah yang ia katakan tentang penderitaannya dan cara ia menyelesaikannya:

(16) Pada pembelaanku yang pertama, tidak ada seorang pun yang mendukung aku karena semua telah meninggalkan aku. Semoga hal ini tidak dibalaskan atas mereka. (17) Namun, Tuhan berdiri di sampingku dan menguatkanku sehingga Injil dapat diberitakan sepenuhnya melalui aku, dan semua orang bukan Yahudi dapat mendengarnya. Dengan demikian aku dilepaskan dari mulut singa. (18) Tuhan akan menyelamatkan aku dari setiap perbuatan jahat dan akan membawaku ke kerajaan surgawi-Nya dengan selamat. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin. (2 Tim. 4:16–18 AYT)

Rasul Paulus menulis teks di atas sebagai bagian dari suratnya yang kedua kepada anak didiknya Timotius sekaligus surat terakhirnya sebelum ia meninggal. Setelah dibebaskan dari penjara di Roma dalam Kisah Para Rasul 28, Paulus terus melayani dan membagikan Injil Yesus Kristus di Roma dan kota-kota lainnya. Pelayanan penginjilannya menyebabkan Paulus dipenjara lagi di kota yang sama beberapa tahun kemudian. Di sanalah kita melihat Paulus sedang menulis di sudut gelap sel penjara kepada Timotius, kemungkinan sambil menggigil karena musim dingin (ay. 13). Setelah rekan-rekannya meninggalkannya dalam pengadilan yang pertama (ay. 16), Paulus meminta Timotius untuk datang menemaninya (ay. 9) sambil menunggu pengadilan berikutnya, yang kemungkinan akan berakhir dengan kematiannya (ay. 6).

Kita tentu paham kalau Paulus mengakhiri suratnya dengan nada keputusasaan, tapi bukan itu yang dicatat setelah ayat 16. Apa yang terjadi? Kita melihat Tuhan Yesus mendampingi Paulus, meneguhkan panggilan-Nya kepadanya dan menguatkannya untuk melewati masa nadir ini (ay. 17). Mengapa kehadiran Tuhan Yesus cukup untuk menyanggupkan Paulus bertahan dalam pemenjaraannya dan bahkan memuji Dia (ayat 18)? Karena Paulus tahu bahwa Yesus pernah mengalami kesepian dan penderitaan yang lebih parah daripada yang ia alami, bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Paulus sendiri (Kis. 19:5). Dan, setelah menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, Paulus tahu pasti bahwa Yesus Kristus selalu bersamanya melalui Roh Kudus di dalam dirinya (Rom. 8:9–11). 

Aku pernah membaca perikop ini beberapa kali, namun aku tidak memahami signifikansi di balik kata-kata Paulus sampai aku melihat ilustrasi The Bible Project untuk ayat 17: Paulus di dalam sel penjara yang dingin, dengan Tuhan Yesus berdiri di sampingnya menghiburnya. 

Aku tidak bisa tidak memperhatikan kemiripan antara gambar 2 Tim. 4:17 ini dengan satu adegan di bab 321 MHA, di mana salah satu teman Izuku berhasil menggegam tangannya, melambangkan kesediaan mereka untuk mendukungnya dalam misinya mengalahkan AFO:

Aku langsung teringat nama lain Yesus: Imanuel, Allah beserta kita (Mat. 1:23, Yes. 7:14).

Nama ini memiliki implikasi pribadi dan kosmis. Inilah Injil, yang secara harfiah berarti Kabar Baik: kalau Allah beserta kita, tidak ada satu titik pun di alam semesta yang berada atau terjadi di luar kendali-Nya, termasuk penderitaan kita (Rom. 8:28, bdk. Mat. 6:25–30). Yesus sebagai Imanuel berarti Allah tidak akan membiarkan ataupun meninggalkan kita sendirian (Ul. 31:8). Kita punya jaminan untuk janji-Nya, jaminan terkuat di antara semua jaminan yang pernah dan mungkin ada. Di dalam pribadi Yesus, aku menemukan Izuku sejati yang menanggung beban seluruh dunia, ditinggalkan dan dikhianati oleh oleh orang-orang yang dikasihinya, namun bertahan sampai akhir tanpa kehilangan diri-Nya. Di mana? Di salib Romawi yang merupakan titik nadir Natal, Yesus berseru dengan keras, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34 TB).

Lihatlah Anak Allah, sang Penulis seluruh ciptaan (Kej.1:3; Yoh. 1:3), pewaris sejati Allah Bapa (Rom. 8:17), turun ke dunia mengambil bentuk ciptaan-Nya untuk menyertai kita dan mengalami nadir terburuk yang dapat dirasakan oleh manusia sendirian. Untuk apa? Supaya mereka yang percaya kepada-Nya tidak akan pernah lagi sendirian melainkan berada dalam hadirat-Nya yang setia dan kekal. Perlukah kita bukti lain bahwa inilah satu-satunya Allah yang patut kita sembah dan bisa andalkan setiap saat, terutama pada momen-momen kita paling membutuhkan-Nya? 

Kalau Yesus menyertai Paulus selama ia dipenjara, Ia pun pasti menyertai kita, sampai akhir zaman pada kedatangan-Nya yang kedua (Mat. 28:20).

Melihat Yesus Kristus dalam setiap kisah di dunia ini

Sangat mudah bagi kita untuk melupakan bahwa kita pun adalah orang berdosa yang tidak layak menerima keselamatan yang dikaruniakan Tuhan Yesus kepada kita, terutama jika kita melihat diri kita sebagai orang yang baik dan diberkati. Anugerah dan berkat yang kita miliki dapat menjadi menjadi kutukan dan beban yang membuat kita melupakan bahwa kita pun membutuhkan keselamatan dari Kristus. Izuku menderita amnesia ini, tapi teman-temannya mencari dan menyelamatkannya. Orang-orang terdekat kita mungkin melakukan hal yang sama kepada kita, namun pada akhirnya hanya Yesus yang bisa  menyelamatkan kita. Izuku dan teman-temannya masih perlu melawan AFO di pertempurang terakhir, namun Kristus telah memenangkan pertempuran tersebut bagi kita. Maka kita terus berjuang karena Dia telah menang telak atas dosa dan maut.

Ada banyak aplikasi yang bisa kita ambil dari renunganku, seperti berinisiatif untuk berbagi dengan orang-orang terdekat tentang kesulitan yang kita alami, seperti yang dilakukan Izuku dan Paulus dengan surat-surat mereka. Namun ada satu hal yang dapat kita lakukan untuk menangani amnesia kita sampai ke akarnya. Kuharap kamu setidaknya akan mengingat dan menerapkan aplikasi ini: ketika kelihatannya tidak ada jalan keluar dan kamu tidak merasa ingin datang kepada Allah sama sekali, biarlah Roh-Nya menggerakkanmu untuk mengingat kisah-kisah yang menggerakkanmu, lalu telusurilah jalur yang mereka tunjukkan kepadamu. Di sana, kamu akan menemukan sang Penulis Agung, Yesus Kristus, dan bersama-Nya segala hal (Rom. 8:32; 1 Kor. 3:21–23): kasih (Yoh. 15:9), kekuatan dan penyertaan (2 Tim. 4:17), ketenangan (Mat. 11:28–30), keberanian serta pengharapan (Mzm. 23:4, 6) untuk terus berjalan dalam panggilan-Nya bagimu.

Seperti yang ditulis almarhum Tim Keller dalam bab 2 bukunya The Hidden Christmas:

Jika Natal benar-benar terjadi, itu berarti seluruh umat manusia menderita amnesia, tetapi kisah-kisah yang paling kita sukai bukan sekadar pelarian yang menghibur. Karena Injil adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi, semua kisah-kisah terbaik akan terbukti benar pada hakikatnya.

Temukan kisah-Nya di balik semua kisah baik di dunia ini, maka kamu akan menemukan diri kamu tersembunyi di dalam-Nya (Kol. 3:3), tenang, tenteram, dan penuh harapan (Mzm. 131) di hadapan segala hal.

Di akhir tahun ini, semoga kamu menemukan Yesus Kristus selalu hadir, selalu dekat, selalu penuh kasih.

Selamat Natal, kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria!

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *