Refleksi Perjalanan Iman Maria

Oleh Ananda

Seringkali kita beranggapan bahwa memiliki pertanyaan menandakan ketidakpercayaan kita kepada Tuhan. Namun, kisah tentang Maria dalam Lukas 1, justru mengajarkan bahwa pertanyaan adalah bagian yang sudah seharusnya kita lalui dalam sebuah perjalanan iman. Melalui kisah ini, kita dapat melihat bahwa Maria sendiri pernah mempertanyakan apa makna sebenarnya dari salam Gabriel (ayat 29).

Semua bermula ketika malaikat Gabriel memberikan salam yang penuh makna kepada Maria di dalam Lukas 1:28.

“Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.”

Sekilas mungkin tidak terlihat adanya ‘semangat’ maupun ‘sukacita’ dalam respons Maria terhadap salam malaikat tersebut. Tidak terlihat juga tanda-tanda kekaguman dari respons Maria seperti:

“Wow, sungguh menakjubkan! Seorang malaikat datang dan berbicara kepadaku.”

Sebaliknya, Maria justru mengalami kurang lebih tiga tahap pergumulan iman, yakni: Bertanya, Menerima, dan Taat.

Pertanyaan Maria dalam Lukas 1:29 menggambarkan tentang keadaannya yang sedang mencoba menimbang-nimbang rasionalitasnya, merenungkan apakah Ia benar-benar melihat malaikat, atau dia hanya sedang berhalusinasi. Keraguannya pun terus berlanjut bahkan sampai setelah dia mendengar kabar mengenai kelahiran Yesus. Meski demikian, keraguan ini juga memperlihatkan sikap iman aktif yang ditunjukkan oleh setiap respons Maria kepada Gabriel.

”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (ayat 34).

Mungkin banyak dari kita, ketika membaca kisah-kisah masa lampau, cenderung mengaitkannya dengan adat istiadat atau kepercayaan setempat dan berasumsi bahwa banyak orang-orang terdahulu yang mudah percaya dengan hal-hal magis atau irasional. Namun, Maria tidak menunjukkan sikap yang demikian.

Sebaliknya, Maria justru menunjukkan sikap yang mungkin lazim dilakukan banyak orang pada zaman ini. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh latar belakang budaya Maria, yang merupakan seorang wanita Yahudi. Sejak kecil, Maria mungkin sudah dilatih untuk tidak percaya dengan hal-hal supranatural seperti doktrin bahwa Tuhan dapat hadir ke dunia dalam rupa manusia. Sehingga, Maria pun sempat mengalami pergumulan iman serupa seperti apa yang mungkin kita alami ketika mendengar berita yang sama.

Beberapa orang beranggapan bahwa iman merupakan sebuah hal mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Nyatanya, terdapat beberapa nuansa keraguan yang dibukakan di dalam Alkitab. Salah satu keraguan dengan nuansa berbeda dapat kita lihat dalam kisah Zakharia pada perikop sebelumnya. Keraguan yang dimiliki Zakharia lebih kepada sikap tertutup terhadap rancangan Allah dan secara tidak sadar dia juga menggunakan keraguannya sebagai cara untuk dapat mengendalikan hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Berbeda dengan Zakharia, dalam keraguannya Maria membuka hatinya untuk memahami lebih dalam tentang kabar yang disampaikan oleh Gabriel. Selanjutnya, respons yang diterimanya pun bukanlah sebuah teguran seperti yang dialami Zakharia, melainkan sebuah penguatan iman bagi Maria. Mengetahui bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, menuntunnya untuk menerima kebenaran tersebut dengan penuh ketundukan dan ketaatan.

Tentu saja, Maria sadar bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Dia bahkan tidak berkata bahwa dia telah mengerti atau memahami setiap jawaban yang diberikan oleh Gabriel. Dia juga tidak sontak langsung mengatakan bahwa dia bersukacita akan berita tersebut. Belum lagi ditambah dengan risiko-risiko besar yang mungkin akan ditemui, seperti dikucilkan oleh masyarakat karena mengandung sebelum menikah, serta resiko bahwa hubungannya dengan Yusuf mungkin akan terancam. Namun, di sinilah letak keberanian Maria. Dengan penuh ketaatan, dia tetap merespons panggilan Tuhan dan berkata, “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Iman Maria kemudian membawanya mengunjungi Elisabet sepupunya, yang oleh kuasa Roh Kudus juga merasakan kehadiran sang Mesias melalui Maria (ayat 41-45). Pengetahuan dan hikmat yang diterima Elisabet pun menuntun Maria untuk masuk ke dalam sukacita yang menyelimuti seluruh hati dan jiwanya. Kini, Maria tidak hanya taat dan tunduk kepada Allah, namun juga bersukacita dan memuji Allah karena segala perbuatan dan kasih setia-Nya (ayat 46-55).

Ketaatan Maria, seorang gadis biasa dari Nazareth, telah membawa dampak besar, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi seluruh dunia. Dengan rendah hati, dia mempertaruhkan kehormatannya dan berserah penuh kepada rancangan besar Allah terhadap dirinya. Lebih jauh lagi, dia melakukannya dengan sukarela meski pada akhirnya harus menderita karena harus melihat Putranya mati di kayu salib.

”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (ayat 38).

Dalam versi terjemahan King James (KJV), kalimat yang diucapkan Maria sangat mirip dengan apa yang juga diucapkan oleh Yesus di taman Getsemani.

“… tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”  (Lukas 22:42).

Maria memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, jauh sebelum dia mengetahui persis apa yang akan Kristus perbuat baginya dan bagi dunia. Tidak hanya itu, ketaatannya juga membawanya menjadi salah satu wanita besar yang dikenal sepanjang sejarah.

Sejatinya, Maria merupakan representasi setiap kita yang oleh karena kasih-Nya, telah dipilih menjadi anak-anak-Nya. Tim Keller dalam bukunya “Hidden Christmas: The Surprising Truth Behind the Birth of Christ” menegaskan bahwa ketika ditanya, “Apakah anda Kristen?”, kita seharusnya tidak berkata, “Tentu saja, Kristen memang sulit, tapi saya melakukannya!” Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa, “Ya, saya seorang Kristen, dan itu adalah mukjizat.” Kita dipilih oleh Tuhan bukan karena prestasi, ataupun reputasi yang kita punya, melainkan hanya karena kasih-Nya. Seperti Maria yang dipilih oleh Tuhan, Dia juga memilih untuk tinggal di dalam setiap kita yang merespons panggilan-Nya.

Kisah ini bukan sekedar tentang kelahiran Yesus melalui Maria, melainkan juga tentang Tuhan yang oleh karena kemurahan-Nya, mau tinggal dalam setiap kita yang percaya kepada-Nya.

Merenungkan kembali kisah Maria serta kisah kasih Kristus di kayu salib, bukankah seharusnya kita dapat lebih mudah untuk berserah terhadap rancangan-Nya dalam hidup kita? Sudahkah kita bersikap rendah hati dan terbuka dalam setiap keraguan kita kepada Tuhan? Atau sebaliknya, kita lebih sering bersikap arogan seperti Zakharia seolah kita lebih mengetahui segalanya?

Salam yang ditujukan Gabriel bukan hanya untuk Maria, tetapi juga untuk kita semua yang mau percaya kepada-Nya. Maukah kita menerima salam itu? Kiranya kita senantiasa dimampukan untuk terus taat dan bersukacita menyambut hadirnya Tuhan dalam hidup kita, seperti penggalan lirik lagu natal berikut:

“O holy child of Bethlehem, descend to us, we pray; cast out our sin, and enter in, be born in us today!” 

Reference:
Keller, T. (2018). Hidden christmas the surprising truth behind the birth of christ. Penguin Group USA.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *