Posts

Solusi Bagi yang Lemah Niat: Meminta Hati yang Baru

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Bulan Januari sudah habis dan sudah berapa banyak janji yang gagal kita tepati?

Hampir setiap awal tahun kita membuat resolusi tapi, banyak yang gagal melakukannya. Kita frustasi menghadapi diri kita yang lemah niat. Kita berusaha mencari jalan keluar dan pertolongan. Kita mencari tutorial, membaca tips-tips, termasuk mendengarkan kata-kata motivator.

Kebanyakan dari self-help tersebut mendorong kita untuk berjuang lebih keras. Pasang banyak strategi: pakai pengingat, tulis di catatan, cicil target, dan masih banyak lagi. Namun, entah kenapa masih banyak target yang meleset. Banyak yang mengusulkan untuk menemukan driving force. Namun, seperti apa wujud kekuatan tersebut? Bagaimana mendapatkannya?

Sewaktu aku melihat resolusi yang tersebar di sosial media, ada kesamaan dengan resolusi dengan yang kubuat. Aku mulai bertanya resolusi apa yang harus dibuat oleh orang percaya? Jangan-jangan resolusi yang kubuat tidak ada bedanya dengan apa yang dunia cari. Mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, menikah, mendapatkan pendapatan lebih banyak, mengurangi berat badan, tidak lagi mau datang terlambat, itu semua adalah hal baik hanya saja semua itu pun dicari juga oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Lantas bagaimana seharusnya orang percaya membuat resolusi?

Di tahun 2022 lalu ada sebuah kejadian viral, seorang nenek ditendang oleh anak-anak sekolah. Banyak pihak merespons ini, tapi ada satu komentar seorang podcaster yang menarik perhatianku. “Karena semakin banyak anak-anak kayak gitu, semakin kecil saingan kamu untuk menjadi orang sukses,” demikian komentarnya. Aku mulai berpikir, kalau seandainya menendang seorang nenek akan diganjar hadiah sebesar 1 milyar, akankah orang akan melakukannya? Apakah tidak menendang seorang nenek hanya agar menjadi orang sukses? Aku rasa ada alasan yang lebih baik daripada sekedar menjadi orang sukses.

Namun, sayangnya ketika kita membuat resolusi, kebanyakan dari kita membangun gambaran ideal serupa dunia. Banyak motivator yang mendorong kita untuk menjadi orang sukses, tapi itu bukan segalanya. Gambaran ideal yang kita kejar tersebut berasal dari keinginan hati kita. Keinginan inilah yang memberi kita motivasi untuk membuat resolusi dan mengerjakannya. Masalahnya adalah hati kita telah dinodai oleh dosa, sehingga perbuatan yang sekalipun terlihat baik dapat dimotivasi oleh keinginan egois. Lihat saja contoh di atas tadi. Mengapa tidak menendang seorang nenek? Karena tindakan seperti itu menghalangi saya menjadi orang sukses. Jadi sebenarnya yang dikejar adalah sebuah pamrih kesuksesan.

Jarang sekali kita memiliki resolusi untuk memiliki hati dan keinginan yang baru, keinginan yang telah dikuduskan Tuhan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak mau punya keinginan sama seperti yang Tuhan inginkan. Hati kita begitu lemah dan mandul untuk mengikuti keinginan hati Tuhan. Dosa telah melumpuhkannya. Oleh sebab itu Tuhan berjanji:

“Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19).

Ayat ini merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Hati yang baru bukanlah sebuah hal yang harus kita usahakan. Itu adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Tangan Tuhan sendiri yang akan mengusahakannya untuk kita. Kita dibentuk Tuhan menjadi manusia yang baru dengan keinginan-keinginan yang baru. Ini adalah identitas kita. Bagian kita adalah menghidupi manusia baru tersebut.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).

Jadi ketika kita menuliskan resolusi di tahun ini coba tanyakan sebagai seorang manusia baru, apa yang seharusnya aku inginkan? Apa yang seharusnya aku kejar? Apakah resolusi yang aku buat sesuai dengan gambaran manusia baru atau justru sama persis dengan yang dunia tawarkan?

Menuliskan resolusi bukan hanya sekadar menuliskan janji. Dari janji yang kita buat itulah kita bisa tau apa yang paling kita rindukan ada di dalam hidup kita. Apa yang paling kita cari dan berharga untuk hidup kita. Semoga kita bisa terus teliti memperhatikan isi hati kita dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Satu Hal yang Kuperlukan, Itu Kado dari Tuhan Buatku

Oleh Mary, Surabaya

“Dor! Pyar-Pyar! “

Bak memecah keheningan malam, kembang api cantik yang hanya muncul setahun sekali itu mewarnai gelapnya malam pergantian tahun dan membuatku tersenyum lega. Siapa sangka, peristiwa kecil sekadar melihat kembang api tanpa hujan di awal tahun ini seperti menerima kado yang menyerukan pesan penting dari Tuhan. Prediksi itu meleset. Kota Surabaya yang tadinya diperkirakan pasti akan diwarnai hujan lebat dan cuaca ekstrem, nyatanya malah cerah dan teduh. Setidaknya dari area timur dan tengah kota sampai menuju rumah sepulangku ibadah tutup tahun di gereja.

Seketika, aku pun teringat ayat alkitab di Amsal 16:9 yang berbunyi, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” Ayat ini menyadarkanku bahwa manusia benar-benar tidak punya kendali yang absolut atas apapun yang terjadi pada hidup. Ada kalanya hal yang kita sangka buruk nyatanya malah baik ataupun sebaliknya. Apapun itu, semua di bawah kedaulatan Tuhan semata dan memiliki tujuan sesuai kehendak-Nya.

Jujur saja, memikirkan kilas balik 2022, sungguh merupakan tahun yang berat untukku setelah mengecap berbagai pergumulan baru yang belum pernah kujumpai di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat kontras dengan beberapa teman di medsos kerap memposting story ataupun IG reels dengan backsound viral “Dear 2022.. Thanks for the memories”. Seakan 2022 telah mereka lalui dengan banyak kenangan indah dan telah menggapai pencapaian-pencapaian yang memuaskan.

Menilik diriku sendiri, aku tidak punya keberanian melakukan hal yang sama, bahkan untuk menuliskan daftar tersebut dalam diary personalku sekalipun. Terlalu sedih rasanya mengingat kilas balik akan beberapa resolusi yang kuharapkan tidak terjadi maupun dengan adanya persoalan-persoalan berat yang tetap akan menjadi pergumulan yang berlanjut di tahun 2023 ini. Mulai dari kesehatan beberapa anggota keluarga yang menurun bersamaan, persoalan hubungan emosional yang renggang, dan banyak persoalan pribadi lainnya.

Jika hidup diibaratkan game, kondisiku saat di akhir tahun kemarin seakan bersiap memasuki level baru dengan tantangan serba baru dan lebih berat tetapi dengan kondisi lakon utama yang babak belur dan energi yang tidak seberapa. Seperti itulah aku sebenarnya. Lelah dan tidak percaya diri akan esok hari. Namun, semakin pikiran mengasihani diri berkecamuk, justru Tuhan menyadarkanku dengan lembut dalam hati bahwa pemegang kontrol utama dalam hidupku bukan ada dalam kendaliku melainkan ada pada Tuhan. Semua yang terjadi sepanjang tahun telah terlewati, tak ada guna juga menyesalinya. Toh, apa pun itu, tak ada alasan bagiku untuk menolak melangkah maju bersama Tuhan. Satu ayat lagi dari Amsal menjadi pengingat penting, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.” (Amsal 27:1).

Dari sini, Tuhan memberiku perenungan bahwa ayat tersebut berbicara soal tidak baik untuk menyombongkan diri akan hari esok seakan kita yakin dan mampu bahwa masa depan pastilah terjadi mulus sesuai rencana-rencana kita. Tapi di sisi lain, tidak baik juga jika kita bertahan dalam sifat pesimis dan memiliki pandangan bahwa tidak akan ada terobosan baru. Mukjizat ataupun masa depan baik yang sudah disediakan Tuhan yang pantas kita dapatkan. Berdiam diri dalam perasaan pesimis dan suram sama halnya dengan menyombongkan diri akan hari esok. Tuhan telah merancangkan masa depan bagi kebaikan kita untuk kemuliaan-Nya semata.

Sungguh, bila aku bisa kembali ke awal tahun 2022 dan memberi pesan kepada diriku sendiri dengan perspektif berbeda seperti yang Amsal katakan tadi, aku pun akan mengakui bahwa benar di sepanjang tahun ada hal-hal yang berat tanpa disangka terjadi, namun sepanjang 2022 pun hanya Tuhan lah satu-satu-Nya yang bisa kuandalkan melewati semua.

Aku merasakan betapa nyatanya perlindungan dan kemurahan kasih karunia-Nya hingga aku bisa berdiri sampai di tahun 2023 ini. Aku tanpa Tuhan adalah lemah. Betapa beruntungnya aku karena aku memiliki satu yang kuperlu, yaitu berpegang teguh pada pribadi Yesus yang bisa kuandalkan dalam segala situasi apapun dan pemegang hari esokku.

Kawan, jika kamu memulai awal tahun ini dengan berat hati seperti yang kurasakan, berbagai pergumulan seolah membuatmu patah semangat, ingatlah untuk tidak terburu-buru melangkah dengan mengandalkan kekuatan diri kita sendiri. Masih ada satu Pribadi yang memegang kontrol akan segala sesuatu dan berjalan bersama kita selalu, Dialah Yesus.

“Sungguh, kamu tidak akan buru-buru keluar dan tidak akan lari-lari berjalan, sebab TUHAN akan berjalan di depanmu, dan Allah Israel akan menjadi penutup barisanmu.” (Yesaya 52 :12).

Rahmat-Nya Tak Pernah Absen di Hidup Kita

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Sebelum tahun yang baru ini kita masuki, kata beberapa orang ini akan jadi tahun yang gelap. Iya, gelap. Akan ada banyak krisis yang merugikan manusia. Juga katanya ada 2,45 juta anak remaja Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental dalam dua tahun terakhir, entah itu gangguan kecemasan, depresi dan sebagainya.

Tak perlu kusebut lebih banyak lagi, kita mungkin telah terbiasa terpapar dengan beragam prediksi maupun kabar-kabar buruk yang menjadikan dunia dan masa depan terasa suram. Namun, apakah ini artinya tidak ada lagi kesempatan untuk berharap? Atau, apakah harapan akan sesuatu yang lebih baik hanyalah sebuah impian, omong kosong belaka?

Memang tidak mudah berharap di tengah masa-masa suram, ibarat seorang pendaki yang tersesat di antah berantah mengharapkan datangnya pertolongan yang entah kapan dan dari mana datangnya. Kesuraman ini pernah juga dialami oleh bangsa Israel, yakni saat mereka berada di padang gurun (Keluaran 16-17) maupun saat para raja memerintah setelah zaman raja Yosia (2 Raja-raja 23-25), ketika mereka mulai dikuasai oleh negara Babel. Perasaan takut, khawatir, bahkan bimbang menguasai bangsa Israel dalam menghadapi tekanan-tekanan yang ada, baik tekanan dari luar maupun dari dalam. Sebagai bangsa terjajah, hidup mereka amat bergantung pada penjajahnya. Harapan untuk terbebas dan hidup sebagai bangsa merdeka pun seolah padam.

Walau demikian, saat kucermati perjalanan Israel dari yang Alkitab tuliskan, aku melihat ada satu hal yang tak pernah berubah. Telah berbagai tempat, pemerintahan, dan situasi mereka hadapi, tetapi satu hal yang teguh dan pasti adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah tekanan dan krisis itu. Tuhan tidak absen, Dia hadir melalui nabi-nabi dan orang-orang yang Dia izinkan memegang posisi penting di sana seperti Nehemia, Daniel, Ester, Nabi Yehezkiel dan Nabi Yeremia. Tentu saja, mereka ikut merasakan tekanan yang sama karena mereka juga tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Bahkan, Nabi Yeremia pun menumpahkan rasa sedih dan tertekannya selama pembuangan berlangsung dalam kitab Ratapan.

Namun, aku melihat hal yang berbeda. Mereka yang dipilih dan diutus Tuhan punya respons yang kontras di tengah kesuraman, khususnya respon dari nabi Yeremia yang menggelitik hatiku. Dalam Ratapan 3, Nabi Yeremia memang mengakui bahwa ia terluka—bahkan terluka karena Allah (Ratapan 3:1-20). Dalam ayat 1 misalnya, dia berseru “Akulah orang yang melihat sengsara…” Tetapi, menariknya sekalipun nabi Yeremia menyadari akan lukanya, dia justru memilih untuk memperhatikan hal yang penting, melebihi hal yang dialaminya. Di tengah ratapannya, dia yakin teguh bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi” (ay. 23-24).

Nabi Yeremia adalah salah satu nabi yang dapat mengajarkan kita akan pentingnya “mengakui diri bahwa kita terluka” di hadapan Tuhan, lalu memilih untuk memfokuskan dirinya akan pribadi Tuhan yang dikenalnya. Yeremia tahu bahwa kasih-Nya tak berkesudahan, Tuhan tidak selamanya menghukum namun juga membalut luka (Ratapan 3:31-38). Yeremia benar-benar jujur dengan dirinya sendiri; tak malu mengakui dirinya dalam keadaan terpuruk di hadapan Allah; dan dengan rendah hati menerima keadaannya seperti tertulis di Ratapan 3 tersebut.

Tak berhenti sampai di situ. Nabi Yeremia pun “memilih” untuk memperhatikan hal yang lebih penting, dibalik perasaannya itu! Ia tetap mempercayai Tuhan, dan tetap yakin bahwa Tuhan masih menyayangi dirinya dan juga bangsa Israel, bila bangsa Israel bertobat dengan sungguh-sungguh. Dan kisah Nabi Yeremia pun merujuk pada Tuhan Yesus, yang memilih untuk memperhatikan hal yang lebih penting dibandingkan dengan rasa sakit dan lukanya akibat dicambuk, dipukul dan dipaku di kayu salib: menyelamatkan hidup kita.

Jujur pada diri sendiri adalah langkah awal bagi kita untuk mengenal diri kita sendiri, serta mengurangi beban hidup kita. Menurut konselor yang kutemui, salah satu faktor depresi adalah sulitnya seseorang untuk jujur dengan diri sendiri; cenderung gengsi/enggan mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, takut, dan memendamnya, atau bahkan menutupinya dengan mencari kesenangan yang tidak wajar (ketagihan bermain game, pornografi, miras, dsb).

Mungkin sebagian besar orang, termasuk aku, adalah orang yang paling tidak suka untuk merasakan perasaan tersebut. Rasanya ingin sekali membuang perasaan sedih, marah, kecewa, dsb, apalagi saat menghadapi sesuatu yang tidak sesuai harapan. Tetapi setelah melihat Nabi Yeremia, dan juga Yesus Kristus, yang tetap “menelan” dan (terkesan) “menikmati” penderitaan/tekanan/krisis tanpa harus malu dan kabur mencari kesenangan lain, aku belajar untuk tidak mengakui emosi yang dirasakan, dan tidak kabur untuk mencari kesenangan demi menghilangkan emosi negatifku, emosi yang tidak kuharapkan.

Namun, tak berhenti sampai di situ. Kita perlu melakukan hal yang lebih penting setelahnya: “memilih” untuk yakin dan beriman, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih, yang tidak akan selamanya “tega” dengan kita, selama kita hidup sesuai kehendak dan perintah-Nya dalam Alkitab. Sebenarnya tak hanya Nabi Yeremia saja, tokoh-tokoh Alkitab di masa lampau seperti Daud, memilih untuk menguatkan hatinya pada Tuhan, di tengah-tengah krisis yang dialaminya, seperti tulisan dalam Mazmur 27:14.

Di tahun 2023 ini, mungkin kita akan mengalami banyak hal, entah itu baik maupun buruk. Dan, hal itu bisa jadi dapat mengguncang perasaan kita. Namun satu kebenaran yang dapat kita percayai, sama seperti Nabi Yeremia percayai: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:22-23).

Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah seizin Tuhan, serta masuk dalam kedaulatan-Nya. Meskipun dunia yang kita tinggali saat ini “gelap”, aku berdoa agar kasih Tuhan senantiasa menerangi hati kita senantiasa, sehingga kita mampu menguatkan hati kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Amin.

Nantikanlah TUHAN! Kuatkan dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mazmur 27:14)

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Kekuatan Kita Sendiri Tidak Akan Mampu Mengubah Kita

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“New year, new me.”

Istilah ini banyak disebut orang dalam menyambut tahun baru, biasanya muncul berbagai postingan media sosial. Begitu pun aku, rasanya kurang afdol kalau tidak ikutan tren juga. Kuperhatikan foto yang ingin kuposting. Tanda “kirim” belum juga aku klik. Entah mengapa, aku merasa kalau postingan itu kukirim, aku seakan membohongi diriku sendiri.

Sembari jariku masih memegang HP, aku menatap lekat foto itu dan bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar sudah menjadi new me di tahun ini?”

Sulitnya menjadi “New Me”

Banyak orang berlomba-lomba menyebutkan berbagai resolusinya di awal tahun untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menjadi pribadi yang baru, namun resolusi tersebut tampak semakin hilang di bulan-bulan berikutnya dan akhirnya resolusi yang direncanakan sedemikian rupa di awal tahun pun gagal dilakukan. Tak dapat ditampik, namun kebanyakan orang Kristen juga mengalami hal yang sama. Ketika mengawali tahun yang baru dengan semangat resolusi yang menggebu-gebu namun akhirnya gagal untuk dilakukan. Mengapa? Kurasa alasan terbesarnya adalah karena kita tidak memiliki kekuatan untuk menggenapinya.

Tidak berbeda denganku yang juga mengalami hal yang sama. Salah satu resolusi yang ingin kulakukan bahkan dari tahun-tahun yang lalu yaitu ingin bisa menyelesaikan membaca seluruh pasal di Alkitab. Harusnya ini bisa dilakukan dengan mudah, hanya membaca tidak butuh waktu yang lama bukan? Namun, mengapa rasanya sangat sulit untuk dilakukan? Bahkan hingga sekarang aku sudah menginjak tahun yang baru, aku belum juga bisa menyelesaikan hingga Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin aku bisa mengirim postingan dengan caption, “New Year New Me?

Cara menjadi “New Me”

Jika ditanya apakah aku tidak berkomitmen sehingga aku gagal menyelesaikan resolusiku, tentu aku memiliki komitmen. Bahkan komitmen itu sudah kubangun sejak aku menetapkan resolusiku. Tetapi benar kata orang, mengucapkan memang mudah, tetapi bertahan untuk melakukan komitmen itulah yang sulit.

Saat pertama kali menetapkan resolusi, aku selalu membuat notes kecil untuk mengingatkanku setiap hari untuk membaca satu per satu ayat di Alkitab. Namun, kesibukan kuliah membuatku perlahan melupakan resolusiku dan tidak lagi melakukannya. Ini menunjukkan bahwa ternyata komitmen saja belum tentu membuat kita berhasil melaksanakan resolusi kita. Satu hal yang akhirnya kusadari, selama ini aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri dan melupakan bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mampu membantu dan memberi kekuatan pada kita. Mungkin terlihat sederhana, namun hal yang kita pikir kecil itu pun akan sulit kita lakukan seandainya kita tidak bersandar dan menyerahkannya kepada Tuhan.

Kisah perubahan hidup yang dialami Daud adalah contoh yang baik untuk kita terapkan. Kita tahu bahwa Daud pernah berdosa di hadapan Tuhan dengan melakukan zinah. Atas perbuatannya itu, Daud pun lantas menyesal. Dalam Mazmur 51:12 dia berseru, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”.

Ada sesuatu yang menarik yang bisa kita gali dari seruan Daud. Perhatikan, dalam seruan itu Daud tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Yang Daud lakukan adalah berbalik pada Tuhan dan belas kasih-Nya. Daud secara lugas meminta Tuhan untuk memperbaharui hatinya, menjadikannya pribadi yang baru. Tuhan tak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mengubahkan hati seseorang menjadi murni. Daud mungkin akan terus gagal dalam upayanya berbalik dari dosa jika dia hanya bersandar hanya pada kekuatannya sendiri.

Lebih lanjut, Filipi 4:13 yang ditulis oleh Paulus pun meneguhkan kita bahwa segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada kita.

Kekuatan untuk menjadi “New Me” hanya didapat dari Allah saja. Resolusi kita bisa berhasil hanya jika kita mengandalkan Allah dan berkomitmen total untuk melakukannya.

Aku sangat menyesali tindakanku yang karena kesibukan kuliah akhirnya aku mengabaikan apa yang sudah aku tekadkan dari awal, bahkan aku melupakan untuk meminta pertolongan dari Tuhan dan terus mengandalkan diri sendiri sehingga resolusi yang kubangun sejak awal berakhir gagal.

Namun sekarang, setelah sekian menit berlalu dengan memandangi handphone yang saat ini kupegang, akhirnya dengan penuh berani aku menekan tombol “kirim” dan postinganku dengan caption “New Year New Me” pun terunggah. Aku memutuskan, jika di tahun 2022 aku belum berhasil menyelesaikan membaca Alkitab hingga akhir, maka di tahun 2023 ini aku akan menyelesaikannya. Begitu pun dengan resolusiku yang lainnya. Tidak lupa aku juga menyerahkan keputusanku ini kepada Tuhan, memohon agar Dia memperbaharui hatiku. Aku percaya, Tuhan pasti akan membantuku. Walaupun akan ada hambatan menanti yang kita tidak tahu itu apa, namun selagi kita selalu bersandar pada Tuhan, maka Tuhan akan membantu menggapai apa yang kita inginkan.

Bagaimana denganmu? Apa resolusimu tahun ini? Apapun itu, mulailah tahun ini dengan kebiasaan baru sebagai “Pribadi yang baru” di dalam Tuhan. Hanya dalam Tuhan sajalah kita mampu mewujudkan segala resolusi yang kita inginkan dan menjadi seseorang yang baru, seperti istilah “New year new me”.

Sedikit Lagi, dan Lihat Apa yang Dia Lakukan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianey, Medan

Aku melirik jam di komputer di meja kerjaku, beberapa menit lagi waktu kerja berakhir. Aku mengecek ulang laporan yang sudah kubuat sejak kemarin, baru satu jam lalu aku menyelesaikannya. Kugulir kursor beberapa kali untuk memastikannya sekali lagi. Setelah yakin, kuklik send, dan aku menghembuskan napas berat.

Hari ini hari terakhir kerja di tahun ini, seminggu lagi tahun baru dan aku sudah mengajukan cuti untuk 10 hari ke depan. Kuhembuskan napas sekali lagi, aku berdiri, kuregangkan otot-otot yang mulai kaku karena minim pergerakan sepanjang hari ini. Lalu bersiap-siap mengemas barang-barangku untuk meluncur pulang. Layar ponselku menyala, sebuah notifikasi muncul. Kulirik sesaat, tapi bukan pada notifikasi itu fokusku. Kuraih ponsel itu dan kunyalakan kembali layarnya. Aku memandangi wallpaper home-screen-ku lekat-lekat. Itu daftar resolusi yang kubuat tahun lalu, untuk dicapai di tahun ini.

Mungkin tepat satu tahun lalu aku menyusun daftar resolusi itu. Itu adalah daftar panjang yang kususun sedemikian rupa dan sengaja kujadikan sebagai wallpaper untuk mengingatkanku setiap waktu aku membuka ponsel. Kupandangi satu per satu daftar itu, kubaca setiap nomor, setiap kata demi kata. Aku tersenyum pada diri sendiri. Banyak yang sudah kuberi checklist, tapi lebih banyak yang belum. Otakku langsung memutar hari demi hari di sepanjang tahun ini. Bagaikan film yang diputar mundur, momen demi momen bermunculan. Perpisahan dan pertemuan, saat-saat penuh tawa dan masa-masa penuh haru bangga, kehilangan dan mendapatkan, menangis, kecewa, patah hati, pencapaian, perjuangan, berdiam diri, dll.

Aku kembali duduk di kursi kerjaku, menatap kosong ke layar komputer yang sudah mati, pikiran jauh melayang ke hari-hari di tahun ini. Aku mengingat-ingat lagi apa saja usaha yang sudah kulakukan sepanjang tahun ini. Malam-malam begadang, weekend-weekend produktif di berbagai tempat, kegiatan-kegiatan di pelayanan, dan semua kesibukanku hampir sepanjang tahun. Tapi.. mengapa masih ada resolusi yang belum tercapai? Apakah aku masih kurang berusaha? Atau aku masih kurang serius dalam mewujudkannya? Apa aku masih kurang nge-push diriku sendiri?

“Kamu serius? … Wahh selamat yaa! Aku senang banget mendengarnya… Iya.. pasti… Good luck ya! okee.. bye!” Suara Mbak Ayu terdengar dari balik meja kerjanya di seberang ruangan, baru selesai teleponan dengan seseorang tampaknya. Aku yang sempat melamun mau tidak mau menoleh juga padanya, lalu melihat sekeliling ruangan, hanya tersisa kami berdua ternyata.

“Din, kamu ingat sepupuku yang aku ceritain batal nikah tahun lalu?” tanyanya padaku dengan mata berbinar.

Aku mengangguk samar, “Yang batal karena calon suaminya dapat beasiswa lanjut studi di luar negeri itu, Mbak?”

“Iya, kamu ingat kan? Tahun lalu mereka udah mantap banget buat menikah, itu kayak resolusi terbesar mereka deh tahun lalu dan it’s too close to happened kan? Soalnya dia itu awalnya udah hopeless banget sama aplikasi beasiswanya itu, dia pikir udah pasti nggak disetujuilah soalnya dia apply tahun lalu dan lama banget nggak ada kabar. Eh ternyata sebulan sebelum nikah malah datang approvement letter-nya.”

“Kalau aja dia diterima setelah mereka menikah pasti bakal beda cerita ya, Mbak,” komentarku.
“Bakal beda cerita banget, Din. Soalnya persyaratan beasiswanya itu tidak boleh yang sudah menikah dan tidak boleh menikah selama menempuh pendidikan. Makanya kemarin mesti ngomong lagi antar keluarga, karena keduanya sama-sama penting kan, dan memang harus ada yang mengalah, bersabar sedikit lagi. Mereka benar-benar mempertimbangkan banget waktu itu, berdoa, berpuasa, sampai akhirnya mengambil keputusan itu.”

Aku hanya menggumamkan sesuatu, ikut berpikir.

“Oh jadi lupa tadi aku mau cerita apa” seru Mbak Ayu tiba-tiba, “Jadi, tadi itu dia ngabarin kalau si calon suaminya itu bakal lulus awal tahun depan dan sudah langsung dapat pekerjaan di sana. Jadi mereka bakal tinggal di sana deh. Aku terharu aja dengarnya, Din, kesabaran yang membuahkan hasil yang lebih baik dari yang direncanakan sebelumnya.” lanjut Mbak Ayu mengakhiri.

Aku mengangguk-angguk, tiba-tiba mulai memikirkan hal-hal lain.

“Aku ingat banget waktu itu kami lagi pulang ibadah bareng sebelum mereka mengambil keputusan, orangtuanya bilang gini, Nggak semua resolusi harus tercapai di waktu yang sesuai dengan ekspektasi kita, kadang Tuhan memilih waktu yang lain dan justru memberikan sesuatu yang bahkan tidak ada dalam daftar kita. Tidak mencapai salah satu dari daftar itu bukan berarti kita gagal, tapi mungkin Tuhan meminta kita bersabar sedikit lebih lama karena ada hal lain yang lebih kita butuhkan. Yang penting kita tetap merencanakan yang terbaik, dan berusaha melakukan yang terbaik. Untuk Tuhan.”

Mbak Ayu mengucapkan kata-kata itu seperti itu memang ditujukan padaku, seolah-olah Tuhan sedang berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaanku beberapa saat lalu. Aku tertawa kecil, menyadari betapa indah Tuhan memperhatikan aku dengan begitu detail. Aku hampir saja menjatuhkan air mata karena merasa Tuhan sedang melihat aku dan tahu apa yang paling aku butuhkan. Sekali lagi kubaca daftar resolusiku itu, aku terlalu fokus dengan tanda check-list di daftar itu dan melupakan bahwa ada banyak hal hebat lain yang Tuhan lakukan untukku sepanjang tahun ini yang tidak ada dalam daftar ini. Betapa aku sudah salah fokus dari kedaulatan Tuhan menjadi pembuktian diri sendiri.

“Din!” seru Mbak Ayu, tiba-tiba dia sudah berdiri di dekat pintu, “Ayo pulang! Kamu mau di sini sampai tahun baru?”
Aku tertawa lagi, buru-buru menyusulnya.

Memang baik jika kita membuat daftar resolusi tahunan untuk menolong kita menjadi lebih baik dan fokus pada tujuan kita kan, tapi jangan sampai kita salah fokus untuk SIAPA sesungguhnya kita melakukan dan mencapai itu semua.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

5 Kunci Bikin Resolusi Jadi Terwujud

Oleh Jenni, Bandung

Seperti kebanyakan orang, aku memiliki resolusi dan pengharapan untuk kukejar sepanjang tahun ini. Namun, aku sadar bahwa untuk mencapai sebuah target diperlukan langkah-langkah disertai strategi yang tepat. Setelah berkaca dari pengalamanku sendiri dan upayaku mempelajari firman-Nya, inilah cara-cara yang kudapatkan untuk menetapkan target dan mewujudkannya:

1. Semua dimulai dengan menyiapkan diri terlebih dulu

Pada Lukas 14:28 tertulis, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” Secara keseluruhan, konteks dari ayat tersebut adalah Yesus mengajar bahwa siapapun yang hendak mengikut dan menjadi murid-Nya harus memutuskan lebih dulu apakah mereka telah siap untuk membayar harga, yakni menyerahkan segala yang kita miliki untuk melayani Kristus.

Ikut Tuhan Yesus tidak main-main dan tidak cuma butuh persiapan, tapi pengorbanan. Dari ayat ini aku belajar bahwa kita perlu menyiapkan waktu khusus untuk memikirkan baik-baik target yang ingin kita capai.

Hal yang sering terlewat olehku adalah menanyakan pada diriku sendiri: ingin menjadi orang seperti apakah aku? Kualitas seperti apa yang ingin aku miliki?

Dua pertanyaan ini akan menuntun kita menetapkan dasar dari usaha-usaha yang akan kita lakukan di langkah berikutnya.

2. Target tidak dibuat setara, tetapi bisa disusun berdasar prioritas

Dalam bekerja, aku belajar bahwa mengetahui mana pekerjaan yang prioritas sangatlah berguna. Saat tahu apa saja kriteria prioritas, aku jadi tahu hal spesifik apa yang perlu dicapai dan dilakukan. Hal ini sangat membantu dalam menentukan tenggat waktu mengerjakan.

Dalam membuat target, mengurutkan prioritas bisa dimulai dengan mengutamakan berdasarkan tanggung jawab dan disusul oleh cita-cita. Mana yang bisa aku lakukan? Inikah yang aku inginkan? Apa langkah pertama yang harus aku fokuskan? Setelah menentukan prioritas, kita bisa fokus untuk mengerahkan tenaga dan waktu yang terbatas.

3. Target perlu dikejar, tapi kita tidak hidup hanya untuk mengejar target

Berkaca pada pengalamanku beberapa tahun silam, ada masanya di mana aku begitu asyik dengan jadwalku yang padat demi mengejar targetku. Aku mengabaikan waktu istirahat dan orang-orang di sekitarku. Seiring waktu, aku sadar bahwa hidupku bukan milikku seorang. Di rumah ada keluarga yang perlu aku kenali lebih dekat, perhatikan, bantu dan dukung. Ada teman yang hubungannya perlu aku rawat dan perhatikan. Ada diri sendiri yang perlu kukenali dan gali lebih dalam.

Aku lupa bahwa hidup bukan hanya sekedar mengejar pencapaian. Istirahat, olahraga, dan bersosialisasi adalah bagian dari kehidupan. Terutama, merawat hubungan dengan Tuhan. Sudahkah aku berusaha mengenal pribadi-Nya? Bisakah aku duduk diam mendengar-Nya? Bagiku mengabaikan Tuhan bagaikan lari ke hutan dan mencari jalan keluar sendiri.

Markus 8:36 berbunyi, “apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.” Hidup bukan hanya tentang mengejar, tetapi juga tentang menikmati kebaikan Tuhan dan berbagi dengan menjadi buah untuk sekitar kita.

4. Manajemen diri adalah koentji

Kembali berkaca dari pengalaman bekerja, terkadang ada tugas mendadak yang membutuhkan energi ekstra. Dengan waktu yang sempit dan pekerjaan yang menumpuk, tekanan bekerja menjadi tinggi dan membuatku kewalahan. Hal itu menyadarkanku bahwa aku perlu menyusun strategi agar kejadian serupa tidak terulang.

Jauh-jauh hari, sebelum tugas mendadak itu muncul (yang entah kapan), aku memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dengan mencicil secara berkala dengan disiplin. Pekerjaan besar itu kubagi hingga menjadi pekerjaan yang bisa kukerjakan dalam waktu kurang dari sehari. Dengan cara itu pekerjaan yang tadinya berat jadi terasa ringan karena dikerjakan sedikit demi sedikit setiap harinya.

Amsal 30:25 berbunyi, “semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas.” Ayat ini berbicara tentang mempersiapkan diri. Ayat tersebut dan pengalaman mengajarkanku bahwa untuk mencapai sebuah target yang besar kita perlu menyiasatinya dengan langkah kecil setiap harinya. Buatlah satu target tahunan menjadi bulanan. Uraikan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut hingga menjadi tugas yang bisa dilakukan dalam hitungan hari. Lalu, tetapkan tenggat waktu untuk menyelesaikan tugas itu. Sedikit demi sedikit menjadi bukit, percayalah pada proses.

5. Last but not least: ikut tuntunan Tuhan, serahkan segala rencana kita pada-Nya

Kedua orang tuaku berpesan untukku agar selalu berdoa sebelum melakukan perjalanan. Alasannya, meskipun aku sering melewati rute yang sama dan menganggap diriku sudah menguasai medan jalannya, tetap saja ada banyak hal yang bisa terjadi di luar kendaliku. Aku tetap tak tahu apa yang akan terjadi.

Seperti halnya membuat resolusi. Kita punya planning yang baik, tetapi kita sendiri punya keterbatasan. Kita tidak bisa melihat masa depan seperti tertulis, “… Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yakobus 4:15). Kendati demikian, kita bisa menyiapkan masa depan kita, namun yang paling penting ialah kita menyertakan Tuhan dalam setiap rencana kita, selalu berusaha, dan bisa bersikap luwes.

Tuhan tahu yang terbaik dari setiap kita, sehingga sudah sepantasnya kita datang membawa rencana kita pada-Nya. Tuhanlah pemilik masa depan yang berdaulat.

Itulah tips sekaligus sharing untuk menentukan dan menyusun strategi meraih target. Semoga bisa membantu teman-teman dalam menyusun targetnya! Mari kita melakukan yang terbaik dan berdoa senantiasa.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Seperti Tuhan Menyertai Yosua, Dia juga Menyertai Kita

Oleh Jenni, Bandung

Tahun 2022 telah berakhir! Sepanjang tahun kemarin pastilah banyak yang terjadi. Mungkin ada teman-teman yang merasakan transisi belajar atau bekerja dari online ke offline. Mungkin juga ada yang menemukan hal baru atau mengalami kehilangan. Tahun 2022 tidaklah mudah, tapi tahun 2023 pun tidak ada jaminan jadi lebih mudah. Malahan banyak prediksi mengatakan tahun ini akan diwarnai kesuraman dan ketakutan.

Belum lama ini aku mendapat kabar mengejutkan. Ayahku harus menjalani operasi pengangkatan kanker yang kedua kalinya. Operasi ini sebenarnya dihindari dokter onkologi karena berisiko tinggi, sehingga pengobatan yang disarankan adalah lewat metode terapi. Namun, kenyataannya terapi dinilai kurang maksimal. Mau tidak mau, pengangkatanlah yang jadi jadi solusi.

Jujur, hatiku ciut. Aku takut kehilangan ayahku. Jeda antara waktu pemberitahuan sampai tanggal operasi dilakukan hanyalah satu bulan. Di waktu yang singkat itu aku cuma bisa berdoa. Saat itu aku tidak bisa memperlihatkan ketakutanku pada keluargaku karena mereka pun butuh dukungan. Hanya pada Tuhanlah aku mengadu.

Pelan-pelan tetapi pasti Tuhan menolongku mengubah ketakutan jadi kekuatan. Walaupun aku gentar, tapi aku sanggup mengendalikan pikiran dan bekerja seperti biasa. Aku juga mampu memberi dukungan pada ayah dan ibuku. Aku percaya kekuatan ini berasal dari Tuhan yang selalu mendengar seruanku.

Pengalamanku ini lantas mengingatkanku akan peristiwa ketika Tuhan menuntun dan menyertai bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Kisah ini pastilah sudah sering kita dengar sejak dari sekolah Minggu dulu. Buatku sendiri, kisah ini menyajikan pertanyaan menggantung: kenapa ya Tuhan malah membuat bangsa Israel mengitari padang gurun selama 40 tahun lebih?

Kubaca kembali Alkitabku dan kutemukan bahwa saat berada di Mesir dan ditindas, orang-orang Israel mengerang pada Tuhan dan seruan itu didengar-Nya. Tuhan mengingat janji-Nya pada Abraham dan Dia pun menuntun mereka keluar dari perbudakan. Tapi, jalan untuk sampai ke sana tidak mudah. Ada orang-orang Kanaan yang harus mereka perangi. Sebenarnya, mungkin jika mereka siap bertempur, mereka bisa saja tiba di Kanaan lebih cepat. Namun, ada pertimbangan lain: apakah bangsa yang baru keluar dari perbudakan ini mampu bertempur? Jangan-jangan nanti mereka malah memilih kembali ke Mesir.

Kita yang hidup di masa kini bisa dengan mudah memahami maksud dan rencana Tuhan bagi Israel dari teks yang kita baca. Tetapi, bagaimana jika kita adalah salah satu dari orang Israel pada masa pengembaraan itu? Mungkin kita juga akan merasa sulit memahami apa maksud dan rencana Tuhan. Dalam hidupku pun aku merasa sulit menemukan jawaban akan apa yang sebenarnya jadi tujuan Tuhan buatku. Aku tetap berdoa meskipun bingung dan setelah beberapa tahun aku mengalami bahwa Tuhan memanglah mendengar doa-doaku.

Dari situlah muncul keingintahuan untuk membaca Alkitab dari awal. Perlahan-lahan aku mulai melihat Pribadi Tuhan secara lebih utuh. Upayaku untuk mengenal dan menjalani ajaran Tuhan tidak hanya memperbaiki cara hidupku, tapi juga membantuku mengenal diri dan tujuan hidupku.

Kembali pada kisah bangsa Israel, ada satu momen ketika mereka menolak masuk Kanaan karena tidak percaya Tuhan akan sungguh-sungguh melaksanakan janji-Nya (Bilangan 13:1-33). Dalam benak mereka, bagaimana mereka bisa menang dari orang-orang Kanaan? Karena satu ketakutan, mereka lupa bahwa mereka telah menyeberangi Laut Teberau yang terbelah oleh kuasa Tuhan. Mereka juga sudah meminum air di Mara yang tadinya pahit tetapi diubah Tuhan menjadi manis. Masih banyak bukti penyertaan Tuhan yang ajaib, tetapi bangsa Israel mengabaikan semuanya dan terus melukai hati Tuhan dengan tidak mempercayai-Nya.

Sepanjang tahun kemarin, aku memiliki sejumlah pokok doa tentang masa depanku yang belum terjawab. Ketika aku mulai ragu, aku akan mengingat kembali kisah penyertaan Tuhan bagi bangsa Israel. Pada kitab Yosua pasal 1 dituliskan bahwa setelah Musa meninggal, Yosua dipilih untuk jadi pemimpin. Tugas ini tidak mudah dan Tuhan menguatkan Yosua dengan tiga kali berfirman:

“Bukankah telah kuperintahkan kepadamu: kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9).

Kisah perjalanan bangsa Israel menuju tanah Kanaan memberikan gambaran mengenai siapa Tuhan kita. Dia Tuhan yang setia, baik, juga pemerhati. Seperti bangsa Israel yang harus menghadapi prajurit-prajurit Kanaan yang perkasa, mungkin kita pun akan menghadapi kesukaran di tahun 2023. Kesukaran itu bisa saja berbentuk ketidakpastian, ketakutan, dan krisis. Akan tetapi, teman-teman, kita tak perlu merasa tak berdaya. Kita punya Tuhan yang hebat dan bisa dipercaya. Mari kita lakukan bagian kita dan berjalan bersama Tuhan.

Tuhan Bukan Kepo, Tapi Dia Mau Kepo-in Kamu

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sebagai seorang pecinta kopi, aku cukup sering memesan kopi. Apalagi kalau otakku sudah buntu dan mulai mumet dengan pekerjaan yang harus diselesaikan, aku mendengar sanubariku berteriak: “Aku butuh kopi!” Segera saja aku menjelajahi aplikasi pemesanan makanan untuk mencari restoran favoritku. Aku sudah beberapa kali memesan makanan dan minuman dari restoran ini, tapi kali ini aku menemukan sesuatu yang berbeda di kemasan pembungkusnya. 

Di kantong plastik yang diantarkan oleh kurir berhelm hijau itu, ada sebuah kartu yang diselipkan di antara es kopi susu dan camilan yang aku pesan. Kartu itu tampak mencolok, warnanya kuning. Aku penasaran dengan isinya. Saat kubuka,  kulihat isi pesan yang ditulis oleh si penjual yang mengucapkan terima kasih disertai sebuah ayat yang sudah tidak asing lagi.

Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. (1 Korintus 10:31). 

Ayat firman Tuhan itu bisa jadi terdengar klise. Namun, bagiku yang sedang mencurahkan isi otakku dengan mencoret-coret di atas kertas kosong, aku disadarkan bahwa ada Tuhan yang rindu menuntun aku dalam segala urusan dan perencanaan hidup. Tuhan menunjukkan bahwa Dia mau “kepoin” aktivitas sehari-hariku yang rutin dan sepele sekali pun, agar aku bisa memuliakan-Nya bahkan melalui makanan dan minuman yang aku santap. Kalau begitu, bukankah Tuhan juga pasti mau memimpinku untuk merencanakan dan mengerjakan hal-hal besar, agar melalui hidupku, kemuliaan-Nya dapat dinyatakan? 

Sampai sini, aku menyadari kalau ternyata selama ini aku gagal paham dengan kerinduan Tuhan yang ingin terlibat dalam setiap agenda kehidupan anak-anak-Nya. Kawan, mungkin kamu juga baru menyadari hal ini. Dan dari kejadian ini, aku membagikan tiga refleksiku:

1. Tuhan mau terlibat dalam segala rancangan kita, baik yang sederhana maupun kompleks

Sering kali, kita hanya melibatkan Tuhan dalam membuat rencana besar yang membutuhkan pemikiran dan pertimbangan matang. Seperti saat kita mempersiapkan studi lanjutan, pernikahan, pekerjaan baru, perpindahan ke rumah baru, atau pengobatan untuk penyakit kronis. Kita akan berdoa dengan sungguh-sungguh akan hal-hal itu, bahkan berdiskusi dengan hamba Tuhan atau kakak rohani di gereja untuk mencari tahu kehendak-Nya. Namun, kita cenderung mengabaikan tahapan bergumul dan bertanya kepada Tuhan ketika kita merencanakan hal-hal simpel dalam hidup. 

Aku terkesima dengan kesaksian dari seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya selalu berdoa sebelum memasak. Singkatnya, ia menyerahkan seluruh proses dalam mengolah makanan pada hari itu kepada Tuhan, dan memohon pimpinan Tuhan agar ia bisa menghidangkan makanan yang lezat dan sehat bagi suami dan anak-anaknya.

Kita terkadang berpikir bahwa Tuhan tidak tertarik untuk tahu dan mengurusi hal-hal remeh. Padahal, sebenarnya kita salah besar. Rasul Paulus menuliskan:Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28).

2. Tuhan rindu hadir di tengah-tengah kehidupan kita karena Dia adalah Imanuel

Imanuel atau Allah menyertai kita bukan hanya suatu sebutan untuk Sang Mesias yang telah dinubuatkan kelahiran-Nya oleh nabi Yesaya (Yesaya 7:14). Inkarnasi Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus adalah bukti bahwa Sang Mesias itu telah hadir di tengah-tengah umat-Nya.

Yesus Kristus telah menyelesaikan misi-Nya di dunia, dan Dia telah kembali ke kerajaan-Nya. Tetapi, Dia meninggalkan sebuah janji, yaitu akan menyertai umat-Nya sampai kepada akhir zaman  (Matius 28:20). Janji ini pun telah digenapi ketika Roh Kudus dicurahkan kepada setiap orang percaya. Inilah bukti bahwa Allah hadir di dalam kehidupan anak-anak-Nya. 

Namun, nama Imanuel biasanya hanya menjadi sebuah sebutan pada masa menjelang Natal. Begitu bulan Desember berlalu, sebutan Imanuel itu pun sirna. Padahal, janji penyertaan Tuhan adalah kekal sampai kepada akhir zaman.

Ketika menyusun resolusi untuk tahun baru, kita meminta hikmat dan pimpinan Tuhan. Namun, di tahun yang baru, ketika tiba gilirannya untuk mengerjakan satu per satu perencanaan yang sudah tersusun dengan apik itu, kita mengeksekusinya tanpa melibatkan Tuhan yang sebenarnya senantiasa hadir. Seruan minta tolong kepada Tuhan barulah muncul lagi ketika rencana itu terhambat atau gagal. 

Aku teringat dengan nyanyian Daud di Mazmur 23. Daud melantunkan bahwa Tuhan adalah Gembala yang baik. Sebagai Sang Gembala, Tuhan selalu berjalan bersama dengan domba-domba-Nya, baik di padang rumput hijau maupun lembah kekelaman. Jikalau demikian, sebenarnya kita tidak perlu takut untuk menjalani tahun yang baru dan mengerjakan seluruh perencanaan kita. Asalkan, kita mau berjalan seturut dengan tuntunan Sang Imanuel..

Ketika kita mengalami kondisi yang baik dan lancar, ingatlah Dia ada bersama kita. Ketika kita berada dalam situasi terpuruk dan dihantam oleh kegagalan, ingatlah juga bahwa Dia pun hadir untuk menghibur dan menguatkan kita.  

3. Tuhan ingin agar kita hanya mengandalkan Dia saja

Dalam suratnya, Yakobus mengilustrasikan tentang seorang pedagang yang menyombongkan diri karena kemampuannya mempersiapkan sebuah rancangan bisnis yang hebat. Dengan sistematis, dia telah memperkirakan kalau dalam jangka waktu tertentu, dia akan mampu untuk mengekspansi usahanya ke kota tertentu, dan mendapat keuntungan besar. Padahal, si pedagang sendiri tidak tahu tentang apa yang akan dialami esok harinya (Yakobus 4:13-17). 

Dari kisah ini, aku belajar bahwa si pedagang tidak salah ketika menyusun rencana bisnis. Dalam Alkitab pun, kita menemukan bahwa Tuhan juga memiliki rencana bagi dunia ini dari awal hingga akhir. Si pedagang juga tidak salah akan kalkulasi ekonomi, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan. Namun, teguran Yakobus ditujukan kepada kecongkakan si pedagang yang besar kepala ketika rencananya telah rampung, dan ia merasa bahwa ia tidak lagi membutuhkan Tuhan, baik di dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. 

Kita juga rentan untuk jatuh ke lubang dosa kesombongan yang sama ketika kita membuat rencana demi rencana. Kita membuat rencana ini dan itu berdasarkan kemauan kita, tanpa bertanya apa maunya Tuhan dalam hidup kita. Kita merasa diri kita mampu untuk mengerjakan segala sesuatu, hingga kita lupa dengan Tuhan yang berkuasa atas kehidupan manusia. Padahal, untuk bisa hidup satu hari lagi saja, kita membutuhkan anugerah Tuhan.

Kawan, di akhir refleksiku aku sempat bertanya, apakah kalau Tuhan mau campur tangan untuk segala urusan dalam hidupku itu menandakan kalau Tuhan sebenarnya kepo? Dan aku menemukan kalau Tuhan itu bukan kepo, tetapi Dia mau kepoin hidup kita karena Dia ingin yang terbaik untuk kita. Karena hidup kita telah ditebus oleh Kristus dan kita adalah milik Kristus, ciptaan baru yang diciptakan bagi kemuliaan Allah.

Tuhan mau menuntun aku dan kamu dalam perencanaan besar maupun kecil di hidup kita, karena Dia rindu aku dan kamu bisa hidup bagi kemuliaan-Nya.