Posts

Saat Mengabdi, Ingatlah Selalu Kebaikan Tuhan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Akhir dan awal tahun identik dengan dua hal: kaleidoskop dan resolusi. Jika resolusi bicara soal komitmen masa depan, kaleidoskop bicara masa lalu. Aku sendiri termasuk orang yang suka membuat keduanya, bagaimana denganmu?

Tahun ini aku merencanakan beberapa komitmen seperti target skripsi, liburan, menulis, dan rencana lainnya. Tetapi, aku kemudian menyadari bahwa di antara komitmen-komitmen yang aku buat ternyata aku melewatkan sebuah komitmen penting, yaitu menjadi abdi Allah. Komitmen ini muncul pertama kali di tahun 2019. Kala itu aku ingin menjadi abdi Allah yang taat dan setia. Namun, semakin bertambah tahun ternyata mempertahankan komitmen ini tidak semudah mengucapkannya. Berulang kali aku lupa bahwa menjadi abdi Allah berarti seluruh hidupku adalah untuk Allah, bukan untuk kenikmatan dunia.

Kamu mungkin bingung, dari sekian banyaknya komitmen yang bisa dijabarkan dengan sederhana, mengapa aku memilih komit untuk menjadi abdi Allah? Aku mengajakmu untuk melihat kembali pada Ibrani 11. Dalam satu pasal itu, Paulus menceritakan tokoh-tokoh di masa Perjanjian Lama yang melaluinya kita dituntun untuk melihat penyertaan Tuhan kepada para abdi-Nya. Meskipun para tokoh itu mengalami banyak pencobaan, mereka tidak menyerah. Inilah yang hendak disampaikan oleh penulis kitab Ibrani agar para pembacanya tetap berkomitmen menjadi abdi Allah. Tidak hanya penulis kitab Ibrani, beberapa pemazmur termasuk Daud juga menyampaikan yang sama. Ketika mereka mengingat kasih setia Allah yang tetap di tengah ketidaksetiaan Israel, hati mereka pun penuh ucapan syukur.

Abdi bisa dipahami juga sebagai hamba. Dalam Perjanjian Lama, kata Ibraninya adalah eyed’, merujuk pada budak, hamba, atau pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Pada masa kuno, menjadi hamba berarti hidup mati dimiliki oleh tuannya. Tugas hamba hanyalah satu: melaksanakan apa mau tuannya. Ketika Kristus datang ke dunia, Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani kita agar kita semua beroleh penebusan (Markus 10:45). Panggilan untuk menjadi hamba telah diteladankan oleh Allah sendiri dan ini bukanlah panggilan atau status yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Kita semua dipanggil-Nya untuk menjadi hamba yang bekerja bagi kerajaan-Nya (2 Timotius 4:1-5). Salah satu peristiwa dalam Alkitab yang menunjukkan bagaimana respons seorang hamba adalah ketika Maria didatangi Roh Kudus. Maria lalu menjawab, “Aku ini hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Menjadi abdi atau hamba Tuhan, berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk tunduk pada kehendak Allah. Bukan agar kita hidup sengsara, tetapi agar kita hidup dalam jalan dan ketetapan-Nya (Matius 11:29-30).  Kuakui tidak selalu mudah untuk melakukan ini. Salah satu yang kulakukan untuk setia mengabdi adalah dengan membuat kaleidoskop. Kuingat dan kusadari kembali kehadiran Tuhan dalam perjalanan hidupku. Tak hanya di tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya. Semua ingatan akan kebaikan-Nya itulah yang menolongku semakin semangat untuk hidup dalam komitmen karena aku telah melihat bagaimana kasih Tuhan terus menyertaiku menghadapi tantangan sehingga aku bisa ada sampai hari ini semua karena anugerah Tuhan.

Teman-teman, kita yang telah percaya kepada Kristus telah dipilih-Nya menjadi abdi Allah yang melayani Dia dan sesama kita, juga hidup bagi Dia. Abdi Allah adalah panggilan istimewa yang diberikan bagi kita, jangan sampai kita sia-siakan kepercayaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Akan ada momen ketika kita tergoda untuk melupakan status kita sebagai abdi Allah, tetapi ketika momen itu terjadi mari kita kembali mengingat masa ketika kita pertama kali berkomitmen—apa yang memotivasi kita menjadi abdi Allah? Karena kita telah merasakan kasih Allah bukan?

Ada cara sederhana untuk memelihara komitmen. Cobalah buka galeri hp kita untuk membuat kaleidoskop. Kita juga bisa membuka notes kita untuk mengecek kembali komitmen-komitmen yang sudah kita buat. Aku rindu setelah kita sama-sama membuat kaleidoskop dan resolusi, kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa kasih setia Tuhan selalu ada bersama kita dan kiranya setiap kita dapat mengatakan: Aku ini abdi Allah? Ya, aku abdi Allah dan aku tidak menyesal dengan keputusanku! Aku akan berkomitmen untuk menjadi abdi Allah seumur hidupku. Kiranya Tuhan menolongku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cek Ulang: Di Mana Peran Tuhan dalam Resolusimu?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT 

Hey pembaca setia WarungSaTeKaMu! Selamat tahun baru semuanya! Tidak terasa setahun berlalu begitu cepat dan kita sudah memasuki tahun yang baru lagi. Pastinya, kita memiliki harapan baru untuk kita wujudkan dalam tahun ini, atau biasa kita sebut “resolusi”.

Ngomongin soal resolusi dan harapan, ada yang menuliskannya, ada yang tidak; ada yang mempublikasikannya, diceritakan, tapi ada juga yang tidak. Namun, aku yakin jauh di dalam lubuk hati masing-masing, kita semua berharap hal-hal baiklah yang akan terjadi sepanjang setahun ke depan.

Untuk Dia, dan bersama Dia

Tahun lalu banyak gagalnya deh…

Ini harapan tahun lalu, masukin lagi deh di tahun ini…

Ada banyak banget suara dalam pikiranku. Ketika aku membuat resolusi, aku bertanya-tanya: bagaimana selama ini aku memandang Tuhan? Apakah Tuhan ikut hadir di sana? Apakah aku berjalan bersama-Nya, atau hanya mengharap Dia mengabulkan keperluan dan keinginanku?

Jujur, saat menulis ini, aku sendiri sedang mempertanyakan semua hal di atas kepada diriku sendiri sambil kucoba menjawabnya dengan terus terang.

Tahun 2023 lalu terkadang hubunganku dengan Tuhan sepertinya terasa transaksional. Aku menjadikan Tuhan seakan-akan sebagai menteri kesehatan, keuangan, dan pertahananku. Aku berelasi dengan-Nya, menjadikan persekutuanku sebagai cara ‘memaksa’-Nya untuk ikut apa mauku… dan kulupakan apa yang jadi kerinduan-Nya buatku.

Disiplin rohani yang kulakukan pelan-pelan menjadi kendor karena alasan yang kubuat sendiri. Di tengah kesibukan, kupakai waktu bermain hp terlalu lama hingga larut malam. Karena mengantuk, saat teduh pun “besok saja deh.” Ini hanyalah salah satu contoh ketidaktaatan yang seringkali menutup pintu-pintu berkat, yang membuatku gagal dalam merealisasikan setiap harapan yang seharusnya bisa kuraih. Kok bisa begitu? Sederhananya, ketidaktaatan membuat kita tidak lagi fokus kepada tujuan awal. Keberadaan Tuhan pun kita jadikan samar dalam proses hidup kita, sampai akhirnya kita hilangkan peran-Nya. Kadang juga saat hidup kita baik-baik saja, kita mulai membangun kerajaan kita sendiri. Kita ambil alih peran Tuhan sehingga hasilnya pun berantakan.

Kalau teman-teman pernah membaca artikel berjudul “Tuhan Utus, Tuhan Urus“, itu adalah artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu. Kala itu aku baru dua minggu tinggal di desa terpencil di provinsi NTT sebagai guru pedalaman. Aku begitu bersemangat, dan kini sudah dua tahun aku menjalani panggilanku. Sebagai kesaksianku, sekalipun aku tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupku, tapi ada masa-masa di mana aku merasa sangat menderita—ingin pulang, bahkan berkali-kali aku menanyakan apakah memang di sini panggilanku, dan wadahnya melalui pekerjaanku saat ini sudah tepat? Kondisi di pedalaman yang tidak seperti diharapkan membuatku memikirkan keraguan ini. Entah karena lingkungannya, anak-anak yang kulayani, atau rekan kerja yang kadang sangat menjengkelkan.

Sampai akhirnya aku sadar satu hal… Hanya ketika kita taat dan fokus pada Tuhan, kita akan menemukan damai sejahtera. Damai yang tidak bisa ditemukan di dunia ini, hanya ada di dalam Dia. Damai yang bukan tergantung kondisi, tapi bagaimana kita tetap beriman kepada-Nya yang membuat kita memperoleh sukacita itu.

“Kalau kita tahu kita menderita karena kebenaran, tidak apa-apa. Jangan sampai sudah menderita, tapi tidak di dalam Tuhan pula.”

Kutemukan kalimat ini yang pesannya benar-benar menamparku. Betapa pentingnya hubungan di dalam Tuhan itu. Hubungan menentukan pengenalan, dan pengenalan kepada Kristus menentukan kenyamanan menjalani hidup serta pola pikir yang berubah.

Teman-teman, tahun ini mungkin banyak sekali resolusi yang sudah kita buat. Sekalipun demikian, kita tetap saja tidak tahu apakah akan lebih banyak berkat daripada cobaan; sukacita daripada dukacita; tawa daripada tangis; pertemuan daripada perpisahan; mendapat daripada melepaskan, dan begitu banyak hal lainnya.

Satu hal yang pasti, Dia, Kristus tidak akan meninggalkan kita berjalan sendirian. Bisakah Tuhan memberikan yang baik saja? Sebenarnya bisa saja, tapi hal itu tidak akan pernah membuat kita belajar dan naik kelas. Maka, Dia akan selalu izinkan banyak hal yang tidak enak agar kita terus bergantung kepada-Nya, melihat kuasa-Nya, dan semakin menyatakan kemuliaan-Nya.

Jadi, yuk, kita cek ulang di mana kita meletakkan peran Tuhan? Sebaik apapun resolusi tanpa Dia, semua hanya akan jadi kesia-siaan.

Semoga bukan hanya tahun yang baru ya, tapi kita juga harus turut ikut baru. Percuma tahun baru kalau diri kita masih terus hidup dalam manusia lama kita. Hehehehe😊

Selamat menjalani hidup kita bersama Tuhan, setiap hari.

“Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih.” (2 Yohanes 1:3).

Refleksi Diri Akhir Tahun: Apakah Aku Sudah Taat dan Setia?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

Percakapan di dapur pagi ini sangatlah menohok hatiku. Di tengah kegiatan potong-memotong dan goreng-menggoreng itu, tiba-tiba sepenggal kalimat dari seorang yang sudah kuanggap kakak di tempat ini membuatku menyadari sesuatu hal yang penting.

Katanya begini, “Dek, gimana perenunganmu akan mimpimu beberapa bulan lalu? Aku harap kamu masih terus menghidupi makna mimpi itu dan menjadikannya alasan untuk bisa terus semangat, ya.”

Aku hanya terdiam. Dalam hatiku, sepertinya, Tuhan sedang memakai dia buat bicara sama aku.

Aku rasa memang kata-kata itu yang sedang kubutuhkan. Belakangan, aku sedang merasa benar-benar burn out dengan segala kegiatanku dengan program kampus merdekaku.

Namaku Intan. Aku seorang mahasiswa yang tinggal ngekos dengan beberapa teman, jadi wajar sekali bagi kami untuk masak bersama sambil bercerita di dapur. Beberapa bulan lalu aku bermimpi, bukan impian ingin meraih sesuatu loh ya, tapi ini beneran mimpi saat tidur. Aku tipe orang yang tidak ambil pusing dengan mimpi-mimpi, apalagi percaya mitos tentang mimpi, tapi mimpi kali ini beda.

Di mimpi itu, aku sedang menaiki anak tangga, banyakkk sekalii! Aku begitu bersemangat menaikinya, tapi setelah banyak anak tangga kupijak, aku mulai merasa lelah. Aku bahkan bertemu dengan tangga yang lebar sehingga tidak bisa sekadar melangkahkan kaki, sampai-sampai aku harus berpegangan di pinggir dan ngesot sedikit untuk bisa menaikinya. Saat aku hampir berputus asa, di situ aku melihat ada Sosok yang berkata, “Tuhan selalu menyertaimu,” lalu kemudian Dia hilang. Karena rasanya mimpi itu begitu nyata, makanya saat bangun aku mengingat persis keseluruhannya. Aku ceritakan mimpi ini ke Kak Tesa, teman satu kosku. Dia bilang, sepertinya mimpi ini cara Tuhan berbicara sesuatu kepadaku, dan aku bisa mengingat pesan mimpi ini setiap kali aku merasa tidak baik-baik saja, karena memang sesungguhnya Tuhan selalu menyertaiku.

Hari di mana percakapan itu terjadi adalah hari yang menurutku menjadi sebuah titik balik, aku perlu merefleksikan banyak hal kembali dalam diriku.

Seperti biasa, pagi-pagi para wanita tangguh sudah berkumpul di dapur. Ada aku, Kak Tesa, dan Tias teman kos kami juga.

“Guys, besok lho udah Desember, apa kabar resolusi?” tanya Kak Tesa sambil tertawa. Dia sepertinya menertawakan resolusi-resolusi yang tidak tercapai.

Tias juga menambahkan, “Gak terasa banget, umur udah makin tuek, tapi doi belum kunjung datang memberikan kepastian.”

Pecahlah suasana pagi itu dimulai dengan tertawa lepas kami. Sampai akhirnya seperti biasa, Kak Tesa memulai obrolan seriusnya.

“Tapi, apakah kita menyadari bahwa semua yang boleh kita alami adalah anugerah? Apakah kita sudah menjadi pribadi yang taat sepanjang tahun ini?”

Kami hanya terdiam.

Tias langsung mengganti topik, “Trus liburan mau kemana? buatlah rencana, Healing healing kita coyy, bisa lah bisa 😄😄”

Begitulah percakapan receh gen Z yang tidak pernah lupa sama healinghealingnya.

***

Malam sudah tiba, aku terdiam di dalam kamarku.

1 Desember, tidak terasa, apakah aku sudah menjadi pribadi yang taat? Kurenungkan pertanyaan itu. Setelahnya aku berdoa, memuji dan menyembah Tuhan. Akhirnya aku membuat sebuah kesimpulan atas diriku.

Sepanjang tahun, aku banyak sekali gagal, melakukan kesalahan, banyak khawatir, banyak mengeluh, apalagi soal resolusi… Banyakan merahnya daripada hijaunya. Tapi jika dihitung, tetap saja lebih banyak sukacita dan berkat. Bahkan dalam dunia nyataku sampai alam bawah sadar pun, Yesus ada di sana. Dia berbicara lewat mimpiku, Dia selalu bersamaku. Dan yang pasti, aku belajar, aku berproses, aku dibentuk, aku naik kelas.

Aku tahu aku belum jadi pribadi yang benar-benar taat, tapi aku juga tahu bahwa Tuhan sangat menghargai setiap proses jatuh bangun dinamika rohaniku.

Dulu aku sering sekali membuat tolak ukur bahwa tidak pernah bolong bersaat teduh atau berdoa adalah patokan ketaatanku, tapi akhirnya aku menyadari, ketaatan bukan sekadar rutinitas ibadah, tapi juga bagaimana melakukan apa yang Dia mau. Antara mengerti dan mempraktikkan harus sinkron, dan bagian melakukan jauh lebih sulit daripada mendengarkan.

Setahun ini, terlalu banyak realita yang membuat imanku goyah dan membuatku kurang percaya. Tapi, aku sadari lagi ketaatan untuk mendengar Dia di dalam kepedihan-kepedihan yang terjadi adalah cara-Nya mengatakan bahwa berkat-Nya tidak selalu diukur hanya lewat sukacita. Seperti dalam lirik lagu berjudul “Blessing” karya Laura Story, yang berkata:

“What if trials of this life, are your mercies in disguise.” (Bagaimana jika cobaan dalam hidup ini adalah rahmat Tuhan yang terselubung).

Aku selalu merinding setiap memaknai lagi dan lagi lagu tersebut.

Semoga kita belajar memaknai bagaimana Tuhan sudah berkarya hebat di sepanjang tahun ini buat kita, dan menjadikan Dia alasan untuk kita semakin belajar soal ketaatan, memperbaiki ketaatan kita, dan menata ulang lagi rencana program ketaatan kita di tahun-tahun berikutnya.

Karena kita tahu ketaatan mendatangkan berkat, juga membuat pintu-pintu didepan semakin terlihat lebih jelas. Tuhan menyertai dan menolong kita selalu.

“TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.” (Ulangan 13:4).

Solusi Bagi yang Lemah Niat: Meminta Hati yang Baru

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Bulan Januari sudah habis dan sudah berapa banyak janji yang gagal kita tepati?

Hampir setiap awal tahun kita membuat resolusi tapi, banyak yang gagal melakukannya. Kita frustasi menghadapi diri kita yang lemah niat. Kita berusaha mencari jalan keluar dan pertolongan. Kita mencari tutorial, membaca tips-tips, termasuk mendengarkan kata-kata motivator.

Kebanyakan dari self-help tersebut mendorong kita untuk berjuang lebih keras. Pasang banyak strategi: pakai pengingat, tulis di catatan, cicil target, dan masih banyak lagi. Namun, entah kenapa masih banyak target yang meleset. Banyak yang mengusulkan untuk menemukan driving force. Namun, seperti apa wujud kekuatan tersebut? Bagaimana mendapatkannya?

Sewaktu aku melihat resolusi yang tersebar di sosial media, ada kesamaan dengan resolusi dengan yang kubuat. Aku mulai bertanya resolusi apa yang harus dibuat oleh orang percaya? Jangan-jangan resolusi yang kubuat tidak ada bedanya dengan apa yang dunia cari. Mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, menikah, mendapatkan pendapatan lebih banyak, mengurangi berat badan, tidak lagi mau datang terlambat, itu semua adalah hal baik hanya saja semua itu pun dicari juga oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Lantas bagaimana seharusnya orang percaya membuat resolusi?

Di tahun 2022 lalu ada sebuah kejadian viral, seorang nenek ditendang oleh anak-anak sekolah. Banyak pihak merespons ini, tapi ada satu komentar seorang podcaster yang menarik perhatianku. “Karena semakin banyak anak-anak kayak gitu, semakin kecil saingan kamu untuk menjadi orang sukses,” demikian komentarnya. Aku mulai berpikir, kalau seandainya menendang seorang nenek akan diganjar hadiah sebesar 1 milyar, akankah orang akan melakukannya? Apakah tidak menendang seorang nenek hanya agar menjadi orang sukses? Aku rasa ada alasan yang lebih baik daripada sekedar menjadi orang sukses.

Namun, sayangnya ketika kita membuat resolusi, kebanyakan dari kita membangun gambaran ideal serupa dunia. Banyak motivator yang mendorong kita untuk menjadi orang sukses, tapi itu bukan segalanya. Gambaran ideal yang kita kejar tersebut berasal dari keinginan hati kita. Keinginan inilah yang memberi kita motivasi untuk membuat resolusi dan mengerjakannya. Masalahnya adalah hati kita telah dinodai oleh dosa, sehingga perbuatan yang sekalipun terlihat baik dapat dimotivasi oleh keinginan egois. Lihat saja contoh di atas tadi. Mengapa tidak menendang seorang nenek? Karena tindakan seperti itu menghalangi saya menjadi orang sukses. Jadi sebenarnya yang dikejar adalah sebuah pamrih kesuksesan.

Jarang sekali kita memiliki resolusi untuk memiliki hati dan keinginan yang baru, keinginan yang telah dikuduskan Tuhan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak mau punya keinginan sama seperti yang Tuhan inginkan. Hati kita begitu lemah dan mandul untuk mengikuti keinginan hati Tuhan. Dosa telah melumpuhkannya. Oleh sebab itu Tuhan berjanji:

“Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19).

Ayat ini merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Hati yang baru bukanlah sebuah hal yang harus kita usahakan. Itu adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Tangan Tuhan sendiri yang akan mengusahakannya untuk kita. Kita dibentuk Tuhan menjadi manusia yang baru dengan keinginan-keinginan yang baru. Ini adalah identitas kita. Bagian kita adalah menghidupi manusia baru tersebut.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).

Jadi ketika kita menuliskan resolusi di tahun ini coba tanyakan sebagai seorang manusia baru, apa yang seharusnya aku inginkan? Apa yang seharusnya aku kejar? Apakah resolusi yang aku buat sesuai dengan gambaran manusia baru atau justru sama persis dengan yang dunia tawarkan?

Menuliskan resolusi bukan hanya sekadar menuliskan janji. Dari janji yang kita buat itulah kita bisa tau apa yang paling kita rindukan ada di dalam hidup kita. Apa yang paling kita cari dan berharga untuk hidup kita. Semoga kita bisa terus teliti memperhatikan isi hati kita dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Satu Hal yang Kuperlukan, Itu Kado dari Tuhan Buatku

Oleh Mary, Surabaya

“Dor! Pyar-Pyar! “

Bak memecah keheningan malam, kembang api cantik yang hanya muncul setahun sekali itu mewarnai gelapnya malam pergantian tahun dan membuatku tersenyum lega. Siapa sangka, peristiwa kecil sekadar melihat kembang api tanpa hujan di awal tahun ini seperti menerima kado yang menyerukan pesan penting dari Tuhan. Prediksi itu meleset. Kota Surabaya yang tadinya diperkirakan pasti akan diwarnai hujan lebat dan cuaca ekstrem, nyatanya malah cerah dan teduh. Setidaknya dari area timur dan tengah kota sampai menuju rumah sepulangku ibadah tutup tahun di gereja.

Seketika, aku pun teringat ayat alkitab di Amsal 16:9 yang berbunyi, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” Ayat ini menyadarkanku bahwa manusia benar-benar tidak punya kendali yang absolut atas apapun yang terjadi pada hidup. Ada kalanya hal yang kita sangka buruk nyatanya malah baik ataupun sebaliknya. Apapun itu, semua di bawah kedaulatan Tuhan semata dan memiliki tujuan sesuai kehendak-Nya.

Jujur saja, memikirkan kilas balik 2022, sungguh merupakan tahun yang berat untukku setelah mengecap berbagai pergumulan baru yang belum pernah kujumpai di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat kontras dengan beberapa teman di medsos kerap memposting story ataupun IG reels dengan backsound viral “Dear 2022.. Thanks for the memories”. Seakan 2022 telah mereka lalui dengan banyak kenangan indah dan telah menggapai pencapaian-pencapaian yang memuaskan.

Menilik diriku sendiri, aku tidak punya keberanian melakukan hal yang sama, bahkan untuk menuliskan daftar tersebut dalam diary personalku sekalipun. Terlalu sedih rasanya mengingat kilas balik akan beberapa resolusi yang kuharapkan tidak terjadi maupun dengan adanya persoalan-persoalan berat yang tetap akan menjadi pergumulan yang berlanjut di tahun 2023 ini. Mulai dari kesehatan beberapa anggota keluarga yang menurun bersamaan, persoalan hubungan emosional yang renggang, dan banyak persoalan pribadi lainnya.

Jika hidup diibaratkan game, kondisiku saat di akhir tahun kemarin seakan bersiap memasuki level baru dengan tantangan serba baru dan lebih berat tetapi dengan kondisi lakon utama yang babak belur dan energi yang tidak seberapa. Seperti itulah aku sebenarnya. Lelah dan tidak percaya diri akan esok hari. Namun, semakin pikiran mengasihani diri berkecamuk, justru Tuhan menyadarkanku dengan lembut dalam hati bahwa pemegang kontrol utama dalam hidupku bukan ada dalam kendaliku melainkan ada pada Tuhan. Semua yang terjadi sepanjang tahun telah terlewati, tak ada guna juga menyesalinya. Toh, apa pun itu, tak ada alasan bagiku untuk menolak melangkah maju bersama Tuhan. Satu ayat lagi dari Amsal menjadi pengingat penting, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.” (Amsal 27:1).

Dari sini, Tuhan memberiku perenungan bahwa ayat tersebut berbicara soal tidak baik untuk menyombongkan diri akan hari esok seakan kita yakin dan mampu bahwa masa depan pastilah terjadi mulus sesuai rencana-rencana kita. Tapi di sisi lain, tidak baik juga jika kita bertahan dalam sifat pesimis dan memiliki pandangan bahwa tidak akan ada terobosan baru. Mukjizat ataupun masa depan baik yang sudah disediakan Tuhan yang pantas kita dapatkan. Berdiam diri dalam perasaan pesimis dan suram sama halnya dengan menyombongkan diri akan hari esok. Tuhan telah merancangkan masa depan bagi kebaikan kita untuk kemuliaan-Nya semata.

Sungguh, bila aku bisa kembali ke awal tahun 2022 dan memberi pesan kepada diriku sendiri dengan perspektif berbeda seperti yang Amsal katakan tadi, aku pun akan mengakui bahwa benar di sepanjang tahun ada hal-hal yang berat tanpa disangka terjadi, namun sepanjang 2022 pun hanya Tuhan lah satu-satu-Nya yang bisa kuandalkan melewati semua.

Aku merasakan betapa nyatanya perlindungan dan kemurahan kasih karunia-Nya hingga aku bisa berdiri sampai di tahun 2023 ini. Aku tanpa Tuhan adalah lemah. Betapa beruntungnya aku karena aku memiliki satu yang kuperlu, yaitu berpegang teguh pada pribadi Yesus yang bisa kuandalkan dalam segala situasi apapun dan pemegang hari esokku.

Kawan, jika kamu memulai awal tahun ini dengan berat hati seperti yang kurasakan, berbagai pergumulan seolah membuatmu patah semangat, ingatlah untuk tidak terburu-buru melangkah dengan mengandalkan kekuatan diri kita sendiri. Masih ada satu Pribadi yang memegang kontrol akan segala sesuatu dan berjalan bersama kita selalu, Dialah Yesus.

“Sungguh, kamu tidak akan buru-buru keluar dan tidak akan lari-lari berjalan, sebab TUHAN akan berjalan di depanmu, dan Allah Israel akan menjadi penutup barisanmu.” (Yesaya 52 :12).

Rahmat-Nya Tak Pernah Absen di Hidup Kita

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Sebelum tahun yang baru ini kita masuki, kata beberapa orang ini akan jadi tahun yang gelap. Iya, gelap. Akan ada banyak krisis yang merugikan manusia. Juga katanya ada 2,45 juta anak remaja Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental dalam dua tahun terakhir, entah itu gangguan kecemasan, depresi dan sebagainya.

Tak perlu kusebut lebih banyak lagi, kita mungkin telah terbiasa terpapar dengan beragam prediksi maupun kabar-kabar buruk yang menjadikan dunia dan masa depan terasa suram. Namun, apakah ini artinya tidak ada lagi kesempatan untuk berharap? Atau, apakah harapan akan sesuatu yang lebih baik hanyalah sebuah impian, omong kosong belaka?

Memang tidak mudah berharap di tengah masa-masa suram, ibarat seorang pendaki yang tersesat di antah berantah mengharapkan datangnya pertolongan yang entah kapan dan dari mana datangnya. Kesuraman ini pernah juga dialami oleh bangsa Israel, yakni saat mereka berada di padang gurun (Keluaran 16-17) maupun saat para raja memerintah setelah zaman raja Yosia (2 Raja-raja 23-25), ketika mereka mulai dikuasai oleh negara Babel. Perasaan takut, khawatir, bahkan bimbang menguasai bangsa Israel dalam menghadapi tekanan-tekanan yang ada, baik tekanan dari luar maupun dari dalam. Sebagai bangsa terjajah, hidup mereka amat bergantung pada penjajahnya. Harapan untuk terbebas dan hidup sebagai bangsa merdeka pun seolah padam.

Walau demikian, saat kucermati perjalanan Israel dari yang Alkitab tuliskan, aku melihat ada satu hal yang tak pernah berubah. Telah berbagai tempat, pemerintahan, dan situasi mereka hadapi, tetapi satu hal yang teguh dan pasti adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah tekanan dan krisis itu. Tuhan tidak absen, Dia hadir melalui nabi-nabi dan orang-orang yang Dia izinkan memegang posisi penting di sana seperti Nehemia, Daniel, Ester, Nabi Yehezkiel dan Nabi Yeremia. Tentu saja, mereka ikut merasakan tekanan yang sama karena mereka juga tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Bahkan, Nabi Yeremia pun menumpahkan rasa sedih dan tertekannya selama pembuangan berlangsung dalam kitab Ratapan.

Namun, aku melihat hal yang berbeda. Mereka yang dipilih dan diutus Tuhan punya respons yang kontras di tengah kesuraman, khususnya respon dari nabi Yeremia yang menggelitik hatiku. Dalam Ratapan 3, Nabi Yeremia memang mengakui bahwa ia terluka—bahkan terluka karena Allah (Ratapan 3:1-20). Dalam ayat 1 misalnya, dia berseru “Akulah orang yang melihat sengsara…” Tetapi, menariknya sekalipun nabi Yeremia menyadari akan lukanya, dia justru memilih untuk memperhatikan hal yang penting, melebihi hal yang dialaminya. Di tengah ratapannya, dia yakin teguh bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi” (ay. 23-24).

Nabi Yeremia adalah salah satu nabi yang dapat mengajarkan kita akan pentingnya “mengakui diri bahwa kita terluka” di hadapan Tuhan, lalu memilih untuk memfokuskan dirinya akan pribadi Tuhan yang dikenalnya. Yeremia tahu bahwa kasih-Nya tak berkesudahan, Tuhan tidak selamanya menghukum namun juga membalut luka (Ratapan 3:31-38). Yeremia benar-benar jujur dengan dirinya sendiri; tak malu mengakui dirinya dalam keadaan terpuruk di hadapan Allah; dan dengan rendah hati menerima keadaannya seperti tertulis di Ratapan 3 tersebut.

Tak berhenti sampai di situ. Nabi Yeremia pun “memilih” untuk memperhatikan hal yang lebih penting, dibalik perasaannya itu! Ia tetap mempercayai Tuhan, dan tetap yakin bahwa Tuhan masih menyayangi dirinya dan juga bangsa Israel, bila bangsa Israel bertobat dengan sungguh-sungguh. Dan kisah Nabi Yeremia pun merujuk pada Tuhan Yesus, yang memilih untuk memperhatikan hal yang lebih penting dibandingkan dengan rasa sakit dan lukanya akibat dicambuk, dipukul dan dipaku di kayu salib: menyelamatkan hidup kita.

Jujur pada diri sendiri adalah langkah awal bagi kita untuk mengenal diri kita sendiri, serta mengurangi beban hidup kita. Menurut konselor yang kutemui, salah satu faktor depresi adalah sulitnya seseorang untuk jujur dengan diri sendiri; cenderung gengsi/enggan mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, takut, dan memendamnya, atau bahkan menutupinya dengan mencari kesenangan yang tidak wajar (ketagihan bermain game, pornografi, miras, dsb).

Mungkin sebagian besar orang, termasuk aku, adalah orang yang paling tidak suka untuk merasakan perasaan tersebut. Rasanya ingin sekali membuang perasaan sedih, marah, kecewa, dsb, apalagi saat menghadapi sesuatu yang tidak sesuai harapan. Tetapi setelah melihat Nabi Yeremia, dan juga Yesus Kristus, yang tetap “menelan” dan (terkesan) “menikmati” penderitaan/tekanan/krisis tanpa harus malu dan kabur mencari kesenangan lain, aku belajar untuk tidak mengakui emosi yang dirasakan, dan tidak kabur untuk mencari kesenangan demi menghilangkan emosi negatifku, emosi yang tidak kuharapkan.

Namun, tak berhenti sampai di situ. Kita perlu melakukan hal yang lebih penting setelahnya: “memilih” untuk yakin dan beriman, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih, yang tidak akan selamanya “tega” dengan kita, selama kita hidup sesuai kehendak dan perintah-Nya dalam Alkitab. Sebenarnya tak hanya Nabi Yeremia saja, tokoh-tokoh Alkitab di masa lampau seperti Daud, memilih untuk menguatkan hatinya pada Tuhan, di tengah-tengah krisis yang dialaminya, seperti tulisan dalam Mazmur 27:14.

Di tahun 2023 ini, mungkin kita akan mengalami banyak hal, entah itu baik maupun buruk. Dan, hal itu bisa jadi dapat mengguncang perasaan kita. Namun satu kebenaran yang dapat kita percayai, sama seperti Nabi Yeremia percayai: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:22-23).

Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah seizin Tuhan, serta masuk dalam kedaulatan-Nya. Meskipun dunia yang kita tinggali saat ini “gelap”, aku berdoa agar kasih Tuhan senantiasa menerangi hati kita senantiasa, sehingga kita mampu menguatkan hati kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Amin.

Nantikanlah TUHAN! Kuatkan dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mazmur 27:14)

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Kekuatan Kita Sendiri Tidak Akan Mampu Mengubah Kita

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“New year, new me.”

Istilah ini banyak disebut orang dalam menyambut tahun baru, biasanya muncul berbagai postingan media sosial. Begitu pun aku, rasanya kurang afdol kalau tidak ikutan tren juga. Kuperhatikan foto yang ingin kuposting. Tanda “kirim” belum juga aku klik. Entah mengapa, aku merasa kalau postingan itu kukirim, aku seakan membohongi diriku sendiri.

Sembari jariku masih memegang HP, aku menatap lekat foto itu dan bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar sudah menjadi new me di tahun ini?”

Sulitnya menjadi “New Me”

Banyak orang berlomba-lomba menyebutkan berbagai resolusinya di awal tahun untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menjadi pribadi yang baru, namun resolusi tersebut tampak semakin hilang di bulan-bulan berikutnya dan akhirnya resolusi yang direncanakan sedemikian rupa di awal tahun pun gagal dilakukan. Tak dapat ditampik, namun kebanyakan orang Kristen juga mengalami hal yang sama. Ketika mengawali tahun yang baru dengan semangat resolusi yang menggebu-gebu namun akhirnya gagal untuk dilakukan. Mengapa? Kurasa alasan terbesarnya adalah karena kita tidak memiliki kekuatan untuk menggenapinya.

Tidak berbeda denganku yang juga mengalami hal yang sama. Salah satu resolusi yang ingin kulakukan bahkan dari tahun-tahun yang lalu yaitu ingin bisa menyelesaikan membaca seluruh pasal di Alkitab. Harusnya ini bisa dilakukan dengan mudah, hanya membaca tidak butuh waktu yang lama bukan? Namun, mengapa rasanya sangat sulit untuk dilakukan? Bahkan hingga sekarang aku sudah menginjak tahun yang baru, aku belum juga bisa menyelesaikan hingga Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin aku bisa mengirim postingan dengan caption, “New Year New Me?

Cara menjadi “New Me”

Jika ditanya apakah aku tidak berkomitmen sehingga aku gagal menyelesaikan resolusiku, tentu aku memiliki komitmen. Bahkan komitmen itu sudah kubangun sejak aku menetapkan resolusiku. Tetapi benar kata orang, mengucapkan memang mudah, tetapi bertahan untuk melakukan komitmen itulah yang sulit.

Saat pertama kali menetapkan resolusi, aku selalu membuat notes kecil untuk mengingatkanku setiap hari untuk membaca satu per satu ayat di Alkitab. Namun, kesibukan kuliah membuatku perlahan melupakan resolusiku dan tidak lagi melakukannya. Ini menunjukkan bahwa ternyata komitmen saja belum tentu membuat kita berhasil melaksanakan resolusi kita. Satu hal yang akhirnya kusadari, selama ini aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri dan melupakan bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mampu membantu dan memberi kekuatan pada kita. Mungkin terlihat sederhana, namun hal yang kita pikir kecil itu pun akan sulit kita lakukan seandainya kita tidak bersandar dan menyerahkannya kepada Tuhan.

Kisah perubahan hidup yang dialami Daud adalah contoh yang baik untuk kita terapkan. Kita tahu bahwa Daud pernah berdosa di hadapan Tuhan dengan melakukan zinah. Atas perbuatannya itu, Daud pun lantas menyesal. Dalam Mazmur 51:12 dia berseru, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”.

Ada sesuatu yang menarik yang bisa kita gali dari seruan Daud. Perhatikan, dalam seruan itu Daud tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Yang Daud lakukan adalah berbalik pada Tuhan dan belas kasih-Nya. Daud secara lugas meminta Tuhan untuk memperbaharui hatinya, menjadikannya pribadi yang baru. Tuhan tak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mengubahkan hati seseorang menjadi murni. Daud mungkin akan terus gagal dalam upayanya berbalik dari dosa jika dia hanya bersandar hanya pada kekuatannya sendiri.

Lebih lanjut, Filipi 4:13 yang ditulis oleh Paulus pun meneguhkan kita bahwa segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada kita.

Kekuatan untuk menjadi “New Me” hanya didapat dari Allah saja. Resolusi kita bisa berhasil hanya jika kita mengandalkan Allah dan berkomitmen total untuk melakukannya.

Aku sangat menyesali tindakanku yang karena kesibukan kuliah akhirnya aku mengabaikan apa yang sudah aku tekadkan dari awal, bahkan aku melupakan untuk meminta pertolongan dari Tuhan dan terus mengandalkan diri sendiri sehingga resolusi yang kubangun sejak awal berakhir gagal.

Namun sekarang, setelah sekian menit berlalu dengan memandangi handphone yang saat ini kupegang, akhirnya dengan penuh berani aku menekan tombol “kirim” dan postinganku dengan caption “New Year New Me” pun terunggah. Aku memutuskan, jika di tahun 2022 aku belum berhasil menyelesaikan membaca Alkitab hingga akhir, maka di tahun 2023 ini aku akan menyelesaikannya. Begitu pun dengan resolusiku yang lainnya. Tidak lupa aku juga menyerahkan keputusanku ini kepada Tuhan, memohon agar Dia memperbaharui hatiku. Aku percaya, Tuhan pasti akan membantuku. Walaupun akan ada hambatan menanti yang kita tidak tahu itu apa, namun selagi kita selalu bersandar pada Tuhan, maka Tuhan akan membantu menggapai apa yang kita inginkan.

Bagaimana denganmu? Apa resolusimu tahun ini? Apapun itu, mulailah tahun ini dengan kebiasaan baru sebagai “Pribadi yang baru” di dalam Tuhan. Hanya dalam Tuhan sajalah kita mampu mewujudkan segala resolusi yang kita inginkan dan menjadi seseorang yang baru, seperti istilah “New year new me”.

Sedikit Lagi, dan Lihat Apa yang Dia Lakukan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianey, Medan

Aku melirik jam di komputer di meja kerjaku, beberapa menit lagi waktu kerja berakhir. Aku mengecek ulang laporan yang sudah kubuat sejak kemarin, baru satu jam lalu aku menyelesaikannya. Kugulir kursor beberapa kali untuk memastikannya sekali lagi. Setelah yakin, kuklik send, dan aku menghembuskan napas berat.

Hari ini hari terakhir kerja di tahun ini, seminggu lagi tahun baru dan aku sudah mengajukan cuti untuk 10 hari ke depan. Kuhembuskan napas sekali lagi, aku berdiri, kuregangkan otot-otot yang mulai kaku karena minim pergerakan sepanjang hari ini. Lalu bersiap-siap mengemas barang-barangku untuk meluncur pulang. Layar ponselku menyala, sebuah notifikasi muncul. Kulirik sesaat, tapi bukan pada notifikasi itu fokusku. Kuraih ponsel itu dan kunyalakan kembali layarnya. Aku memandangi wallpaper home-screen-ku lekat-lekat. Itu daftar resolusi yang kubuat tahun lalu, untuk dicapai di tahun ini.

Mungkin tepat satu tahun lalu aku menyusun daftar resolusi itu. Itu adalah daftar panjang yang kususun sedemikian rupa dan sengaja kujadikan sebagai wallpaper untuk mengingatkanku setiap waktu aku membuka ponsel. Kupandangi satu per satu daftar itu, kubaca setiap nomor, setiap kata demi kata. Aku tersenyum pada diri sendiri. Banyak yang sudah kuberi checklist, tapi lebih banyak yang belum. Otakku langsung memutar hari demi hari di sepanjang tahun ini. Bagaikan film yang diputar mundur, momen demi momen bermunculan. Perpisahan dan pertemuan, saat-saat penuh tawa dan masa-masa penuh haru bangga, kehilangan dan mendapatkan, menangis, kecewa, patah hati, pencapaian, perjuangan, berdiam diri, dll.

Aku kembali duduk di kursi kerjaku, menatap kosong ke layar komputer yang sudah mati, pikiran jauh melayang ke hari-hari di tahun ini. Aku mengingat-ingat lagi apa saja usaha yang sudah kulakukan sepanjang tahun ini. Malam-malam begadang, weekend-weekend produktif di berbagai tempat, kegiatan-kegiatan di pelayanan, dan semua kesibukanku hampir sepanjang tahun. Tapi.. mengapa masih ada resolusi yang belum tercapai? Apakah aku masih kurang berusaha? Atau aku masih kurang serius dalam mewujudkannya? Apa aku masih kurang nge-push diriku sendiri?

“Kamu serius? … Wahh selamat yaa! Aku senang banget mendengarnya… Iya.. pasti… Good luck ya! okee.. bye!” Suara Mbak Ayu terdengar dari balik meja kerjanya di seberang ruangan, baru selesai teleponan dengan seseorang tampaknya. Aku yang sempat melamun mau tidak mau menoleh juga padanya, lalu melihat sekeliling ruangan, hanya tersisa kami berdua ternyata.

“Din, kamu ingat sepupuku yang aku ceritain batal nikah tahun lalu?” tanyanya padaku dengan mata berbinar.

Aku mengangguk samar, “Yang batal karena calon suaminya dapat beasiswa lanjut studi di luar negeri itu, Mbak?”

“Iya, kamu ingat kan? Tahun lalu mereka udah mantap banget buat menikah, itu kayak resolusi terbesar mereka deh tahun lalu dan it’s too close to happened kan? Soalnya dia itu awalnya udah hopeless banget sama aplikasi beasiswanya itu, dia pikir udah pasti nggak disetujuilah soalnya dia apply tahun lalu dan lama banget nggak ada kabar. Eh ternyata sebulan sebelum nikah malah datang approvement letter-nya.”

“Kalau aja dia diterima setelah mereka menikah pasti bakal beda cerita ya, Mbak,” komentarku.
“Bakal beda cerita banget, Din. Soalnya persyaratan beasiswanya itu tidak boleh yang sudah menikah dan tidak boleh menikah selama menempuh pendidikan. Makanya kemarin mesti ngomong lagi antar keluarga, karena keduanya sama-sama penting kan, dan memang harus ada yang mengalah, bersabar sedikit lagi. Mereka benar-benar mempertimbangkan banget waktu itu, berdoa, berpuasa, sampai akhirnya mengambil keputusan itu.”

Aku hanya menggumamkan sesuatu, ikut berpikir.

“Oh jadi lupa tadi aku mau cerita apa” seru Mbak Ayu tiba-tiba, “Jadi, tadi itu dia ngabarin kalau si calon suaminya itu bakal lulus awal tahun depan dan sudah langsung dapat pekerjaan di sana. Jadi mereka bakal tinggal di sana deh. Aku terharu aja dengarnya, Din, kesabaran yang membuahkan hasil yang lebih baik dari yang direncanakan sebelumnya.” lanjut Mbak Ayu mengakhiri.

Aku mengangguk-angguk, tiba-tiba mulai memikirkan hal-hal lain.

“Aku ingat banget waktu itu kami lagi pulang ibadah bareng sebelum mereka mengambil keputusan, orangtuanya bilang gini, Nggak semua resolusi harus tercapai di waktu yang sesuai dengan ekspektasi kita, kadang Tuhan memilih waktu yang lain dan justru memberikan sesuatu yang bahkan tidak ada dalam daftar kita. Tidak mencapai salah satu dari daftar itu bukan berarti kita gagal, tapi mungkin Tuhan meminta kita bersabar sedikit lebih lama karena ada hal lain yang lebih kita butuhkan. Yang penting kita tetap merencanakan yang terbaik, dan berusaha melakukan yang terbaik. Untuk Tuhan.”

Mbak Ayu mengucapkan kata-kata itu seperti itu memang ditujukan padaku, seolah-olah Tuhan sedang berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaanku beberapa saat lalu. Aku tertawa kecil, menyadari betapa indah Tuhan memperhatikan aku dengan begitu detail. Aku hampir saja menjatuhkan air mata karena merasa Tuhan sedang melihat aku dan tahu apa yang paling aku butuhkan. Sekali lagi kubaca daftar resolusiku itu, aku terlalu fokus dengan tanda check-list di daftar itu dan melupakan bahwa ada banyak hal hebat lain yang Tuhan lakukan untukku sepanjang tahun ini yang tidak ada dalam daftar ini. Betapa aku sudah salah fokus dari kedaulatan Tuhan menjadi pembuktian diri sendiri.

“Din!” seru Mbak Ayu, tiba-tiba dia sudah berdiri di dekat pintu, “Ayo pulang! Kamu mau di sini sampai tahun baru?”
Aku tertawa lagi, buru-buru menyusulnya.

Memang baik jika kita membuat daftar resolusi tahunan untuk menolong kita menjadi lebih baik dan fokus pada tujuan kita kan, tapi jangan sampai kita salah fokus untuk SIAPA sesungguhnya kita melakukan dan mencapai itu semua.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).