Posts

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kataku vs Kata Tuhan

Apa yang kita pikirkan dan tanamkan dalam hati, lalu kita “luapkan”, dapat menggambarkan siapa kita bagi sesama, terlebih bagi Tuhan.

Yuk, sebelum bertutur kata maupun bertindak, selaraskan lebih dulu hati dan pikiran kita dengan firman Tuhan 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Rumah Bapa Adalah Rumah Pengampunan

Oleh Ernest Martono, Jakarta 

Dalam kurun waktu dua minggu, kami menyulap sebuah hotel menjadi ‘rumah’. Hotel itu berada di Jakarta Utara dan kami sewa untuk sebuah acara besar yang pesertanya berasal dari mancanegara. Ratusan kamar menampung tamu hampir seribu orang. Pengamanannya pun cukup ketat sebab setiap penghuni kamar diwajibkan memakai penanda identitas dan bagi yang tidak memakai akan ditanya-tanya oleh petugas. Tak ada tamu lain di hotel itu selain kami; para peserta, panitia, tim, pekerja hotel, dan relawan sepertiku. 

Aku dan tim relawan yang lain bertugas membantu kebutuhan setiap peserta. Kami mendengar, mengarahkan, menemani, dan melayani dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan sukacita kami untuk melayani teman-teman seiman dari berbagai macam suku, bangsa, dan negara. Kami saling bertukar cerita, bahasa, dan kebudayaan. Kebersamaan selama dua minggu itu segera menciptakan ikatan antar kami semua. Termasuk dengan pekerja hotel yang siap sedia menjawab kebutuhan kami akan makan dan tempat istirahat. Kami tidak pernah kekurangan makanan, bahkan seringkali bersisa. Setiap hari kamar kami dibersihkan. Bayangkan setiap malam ketika kami kembali ke kamar setelah sesi yang panjang, kami menemukan lantai kamar kami sudah bersih dan wangi. Selimut sudah terlipat baru dan siap dipakai. Salah seorang teman kami berkata, “sudah seperti pulang ke rumah,” ketika dia kembali ke hotel setelah sejenak berkunjung ke kantor. 

“Seperti pulang ke rumah…” 

Perkataannya mewakili perasaanku juga. Selama di hotel aku mengalami feels like home. Aku mulai menganalisa mengapa aku bisa merasa seperti itu meskipun aku tahu ini bukanlah rumahku. Kutemukan semua kenyamanan ini membuatku terlena dan kerasan alias betah. Di hotel, aku dimanjakan. Aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku tidak perlu memikirkan harus makan apa dan bagaimana mendapatkannya karena semua sudah ada yang memikirkan dan menyiapkannya. Aku tidak perlu merasa takut karena ada satpam hotel yang akan menjamin tidak akan ada orang asing yang masuk. Memang aku di situ hadir sebagai pelayan, tapi aku juga dilayani oleh pelayanan temanku di divisi lain. Kami saling melayani.

Jika memang semua itu membuatku merasa berada di rumah, bagaimana dengan Tuhan yang juga memberikan kepadaku hal yang sama? Aku mulai merenung apakah aku bisa menganggap Tuhan sebagai rumahku? Aku pun berpikir apakah aku kerasan dan terlena dengan semua kebaikan Tuhan? Bukankah Tuhan juga merawat, memelihara, melayani, dan memperhatikan setiap kebutuhan hidupku? Bahkan lebih dari itu Tuhan memberikan sesuatu lebih daripada sekedar kenyamanan yang dicari-cari manusia. 

Aku teringat sebuah kisah perumpamaan di dalam Alkitab. Kita sudah tahu kisahnya ketika anak bungsu memilih pergi dari rumah dan menghancurkan hidupnya sendiri. Di dalam perjuangannya mempertahankan hidup, satu hal yang dia ingat adalah rumah bapanya.

“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Lukas 15:17-19).

Anak bungsu yang kelaparan ini harus berebut makanan dengan babi. Tentu ini adalah kondisi yang jauh berbeda dengan diriku yang berada di hotel saat itu. Namun, satu hal yang aku pelajari, anak bungsu ini ingat bahwa di rumah bapanya makanan begitu berlimpah. Dia lantas kembali ke rumah bapanya untuk mendapatkan makanan dan sekadar mencari penghidupan yang sedikit lebih layak.

Namun, sesampainya di rumah, ternyata sang bapa memberikan hal yang jauh lebih baik dari yang bisa dia minta dan bayangkan. Sang anak bungsu diberikan sebuah pesta dan segala kebutuhannya dipulihkan. Satu hal yang tidak boleh luput dari mata, di balik semua sukacita itu, sang bapa telah memberikan pengampunan pada anak bungsu. 

Mengingat kisah ini, memang benar Tuhan, yang kita sapa sebagai Bapa, merawat dan memelihara hidup kita. Rumah Bapa penuh dengan segala bentuk pemeliharaan yang kita perlukan. Memikirkan itu saja sudah membuat sukacita. Apalagi ketika kita tahu bahwa di rumah Bapa ada pengampunan. Penuh dengan kasih Bapa yang mengampuni.

Kembali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Tuhan merupakan rumah untukku? Memang benar aku sebagai manusia berdosa bisa saja lari menjauh dari Tuhan. Aku bisa “pergi jauh” dan “keluar rumah” dalam waktu lama. Terkadang aku begitu enggan datang kembali kepada Tuhan sekalipun kondisi hidupku sudah sama seperti anak bungsu dalam perumpamaan. Sudah tidak karuan, tidak punya harapan, dan bisa saja pelan-pelan mati dalam kesengsaraan. Namun, kisah ini mengingatkanku  bahwa, “Di rumah Bapaku penuh dengan pengampunan.” 

Kisah ini mendorongku untuk terus kembali berani pulang ke rumah bapa sekalipun aku sudah pergi terlalu jauh. Sudah berdosa terlalu dalam. Sudah berkali-kali keluar masuk ke dalam rumah pengampunan itu. Oleh karena aku membutuhkan pengampunan itu jauh lebih daripada makanan yang berlimpah. Pertanyaan yang terus akan aku ulang dalam hatiku, apakah aku merasa Tuhan adalah rumah bagiku? Apakah aku feels like home ketika berada di sisi-Nya?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Persamaan antara Ishak yang (hampir) dikorbankan dengan pengorbanan Yesus

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, anaknya yang satu-satunya?

Mungkin kita berpikir bahwa kisah Abraham menunjukkan buruknya Abraham ketika dia menjadi ayah bagi Ishak, tentang bagaimana dia tidak ‘berjuang’ untuk mempertahankan anaknya. Namun, pada intinya, kisah Abraham sebenarnya adalah kisah tentang betapa baiknya Allah sebagai seorang Bapa bagi kita.

Di akhir Kejadian 22, Ishak diselamatkan, tetapi di akhir Injil, kematian Yesus menyelamatkan kita.

Lihatlah kesejajaran di antara kedua ayat ini supaya kita dapat melihat bagaimana Allah menggunakan Abraham dan Ishak untuk menunjukkan pada kita besarnya kerinduan-Nya untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Lewat Hal-hal Sederhana yang Sering Tak Kuhiraukan, Inilah Cara Tuhan Mengasihiku

Oleh Egaria Florenci, Tomohon

Aku sering bertanya, apakah aku dikasihi, apakah ada yang peduli padaku, adakah yang menyukaiku? Pertanyaan ini muncul, ketika sesuatu yang aku harapkan tidak sesuai dengan apa yang sedang terjadi. Sulit melihat bahwa segala peristiwa adalah cara Tuhan mengasihiku.

Suatu ketika, di ibadah pagi bersama siswa, kami mendengarkan salah satu lagu Kidung Jemaat yang berjudul “Seindah Siang Disinari Terang”. Berikut ini adalah lirik yang menggetarkan hatiku:

Seindah siang disinari terang

cara Tuhan mengasihiku;

seindah petang dengan angin sejuk

cara Tuhan mengasihiku.

Ketika menyanyikannya, menyadarkanku bahwa hal-hal sederhana yang setiap hari kulihat dan rasakan adalah cara Tuhan mengasihiku. Lalu, mengapa masih sering ragu dan bertanya-tanya? Sejak hari itu, aku mulai menghitung apa saja cara Tuhan mengasihiku setiap hari, dan ternyata tidak terhitung banyaknya. Namun, di bawah ini akan dipaparkan beberapa cara Tuhan yang membuat hatiku sangat takjub.

1. Keluargaku 

Tidak ada keluarga yang sempurna. Itu menjadi penguatan bagiku, ketika kondisi keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Orang tuaku bukan sosok orang tua yang memiliki cara parenting yang baik. Mereka hanya 2 orang lulusan SMA dan menikah di usia muda. Sangat banyak kekurangan, tetapi di dalam ketidaksempurnaan mereka, Tuhan telah beranugerah dengan luar biasa. Kesulitan demi kesulitan telah mereka lalui bersama. Sering merasa tidak cocok satu sama lain, tetapi kasih Tuhan yang tinggal dalam hati mereka terus menjadi kekuatan untuk bertahan dan menunjukkan kasih yang tulus kepadaku dan adik-adikku. Ketika sore hari yang melelahkan dan menekan, merekalah yang kucari. Tidak banyak nasihat dan penguatan yang bisa mereka berikan, tetapi bercerita dan mendengarkan lelucon mereka sudah cukup menghiburku. Aku percaya, merekalah perpanjangan tangan Tuhan bagiku, dan merekalah cara Tuhan mengasihiku. Tuhan sangat so sweet

2. Rekan Kerjaku

Aku bukanlah orang yang menyenangkan, aku juga bukan orang yang royal dan sangat sering bersikap egois dan apatis, terkadang juga sangat rendah diri. Rekan kerjaku sangat tahu karakterku yang buruk, tetapi mereka dengan setia menemaniku, menegurku dan meneguhkan hatiku ketika mulai goyah. Mereka menerimaku sebagaimana mestinya, tidak membiarkan aku menjadi orang yang buruk tetapi menolong menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari. Ada rekan yang berbagi video TikTok yang lucu setiap hari, ada rekan yang merekomendasikan buku-buku yang baik untuk dibaca, ada rekan yang sangat suka bercerita tentang pergumulannya dan mendengarkan pergumulanku. Masih banyak rekan lainnya dan itulah cara Tuhan mengasihiku, sekali lagi Tuhan sangat so sweet!

3. Pekerjaanku

Yakobus 3:1, “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” Pemahamanku mengenai bagian ini, bahwa seorang guru dituntut banyak, jangan begini, jangan begitu, harus jaga perilaku, karena kabarnya guru itu digugu dan ditiru. Ini menjadi penjaga bagiku untuk terus menjaga kekudusan dalam tindakan, pikiran, dan perkataan. Pekerjaanku sebagai guru menjadi cara Tuhan membentukku menjadi pribadi yang dapat diteladani. Lagi-lagi, sungguh manis cara Tuhan mengasihiku.

4. Siswa-siswaku

Siswa yang dipercayakan kepadaku sungguh unik dan luar biasa. Banyak cerita hidup mereka membuat terharu dan mengingatkan betapa besar kasih Tuhan bagi kami, manusia yang berdosa. Tertawa, marah, bermalas-malasan, tawar-menawar, dan menangis itu menjadi kebiasaan mereka di kelas. Kelihatannya tidak banyak yang menyenangkan, tetapi itu juga membentukku menjadi pribadi yang penuh kasih kepada setiap orang, baik atau tidak keadaannya. Ini cara Tuhan menyadarkanku, bahwa pribadiku juga tidak sempurna dan kadang menyebalkan, tetapi Tuhan mengasihi tanpa syarat. Wah, sungguh indah kasih Tuhan!

Jika aku lanjutkan daftarnya, sepertinya akan sangat panjang. Empat hal di atas hanya menjadi perwakilan saja. Memang ada orang-orang yang membuat hariku jadi tidak menyenangkan. Sering juga keluarga adalah orang yang kita hindari. Rekan kerja membuat suasana tempat kerja tidak menyenangkan dan pekerjaan menjadi sangat berat. Pekerjaan juga bukan hal yang menyenangkan, membuat kita stres dan putus asa. Apalagi siswa atau bagi orang yang bukan guru, mereka dianggap sebagai sekadar client. Mereka bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan dan merusak hari kita. Namun, ketika kita memandangnya dengan cara yang berbeda, ternyata mereka adalah cara Tuhan mengasihi kita. Kehadiran mereka membentuk dan mengajarkan kita tentang kasih yang tak bersyarat.

Setiap kita punya daftarnya masing-masing. Yang terpenting adalah cara kita memandang segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Menurutku, ketika kita menganggap itu sebagai beban, maka pasti itu akan membebani kita. Tetapi, ketika kita menganggapnya berkat, maka itu akan menjadi berkat bagi kita. Mari hitung cara Tuhan mengasihi kita setiap hari!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya. 

Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.

Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini. 

Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya. 

Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya

1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang

Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 

Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian. 

Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. 

Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.

2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya

Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).

Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total. 

Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.

Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari. 

Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.

Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.

Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi. 

Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ikut Maunya Tuhan: Susah tapi Selalu Worth-It!

Oleh Cristal Tarigan, Nusa Tenggara Timur

Quarter Life Crisis, istilah ini gak asing banget di kalangan anak muda. Istilah yang merujuk pada kondisi emosional yang biasanya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun berupa kekhawatiran, keraguan, terhadap kemampuan diri dan kebingungan menentukan arah hidup. Jadi sering kali anak muda mencoba banyak hal, atau berusaha membuktikan sesuatu demi mengenali si jati diri tersebut. Aku juga merasa turut mengalaminya dalam masa-masa kehidupan yang kujalani. Belum lagi, rupanya saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masa depan atau pilihan hidup ini, banyak pihak selain pikiran kita yang juga turut menyumbang andil bagaimana kita akan mengambil keputusan. Salah satu yang terbesar di antaranya adalah keluarga.

Dealing dengan Keluarga Tentang Pilihan Hidup

Jika sesuatu yang jadi kesukaan dan harapan kita juga menjadi harapan orang tua, maka tidak terjadi masalah. Tapi faktanya seringkali tidak demikian. Di kisahku beberapa tahun lalu pun sama. Di tengah aku sedang bergumul mencari tujuan hidupku, dan sampai menemukannya, aku sadar pada akhirnya pilihanku dan orang tuaku berbeda soal masa depanku. Beberapa tahun aku menggumulkan apa, dan melalui wadah apa aku berkarya buat Tuhan. Jawabannya menjadi guru pedalaman. Saat pertama kali memberitahukan keinginanku ini, kedua orangtuaku sangat tidak setuju, apalagi bapakku. Ada segudang pertanyaan yang ditanyakan, beberapa di antaranya adalah nanti bisa jadi PNS tidak? Bagaimana jenjang kariernya? Sebenarnya terasa normal pertanyaan ini bagi kita orang Indonesia seperti orangtuaku. Tapi dalam kisah ini, aku mau berbagi soal bagaimana memahamkan sesuatu yang rasanya tidak bisa dipahami dengan mudah oleh orang tuaku saat itu tentang visi hidup, dan bagaimana akhirnya mereka menerima keputusanku tersebut dengan hati yang lapang.

Aku mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana kepada mamak-ku saat itu. “Mak, coba lah mamak bayangkan kalau pulpen dipakai motong sayur, pasti gak bisa kan mak, sekalipun bisa pasti gak maksimal.” Itu perumpamaan yang pernah aku sampaikan kepadanya, sampai akhirnya aku mencoba menjelaskan visi pribadi itu. Visi pribadi itu adalah peran kita secara pribadi untuk memuliakan Tuhan lewat hidup kita. Ini bukan sekedar punya pekerjaan saja, tapi memang ada sebuah hasrat yang sangat besar yang lahir dari hati untuk melakukannya. Bisa saja pekerjaan kita sama dengan visi pribadi kita, bisa juga pekerjaan kita dan visi pribadi kita bidangnya berbeda. Bukan berarti mengerjakan visi pribadi lebih rohani dari sekedar bekerja karena sesungguhnya seluruh kehidupan kita ini gak boleh kita kotak-kotakkan, semuanya adalah persembahan yang hidup. Mengerjakan visi pribadi ini berbicara tentang kemaksimalan kita dalam berkarya buat Tuhan jika kita menghidupinya. Akhirnya beberapa bulan sebelum keberangkatanku, orangtuaku bisa menerima keputusanku tersebut. Sepenuhnya penerimaan dan kelembutan hati mereka pada akhirnya pun kusadari bukan karena pekerjaanku, semua semata-mata hanya karena Roh Kudus yang hadir memberikan pengertian kepada mereka. Dari kisah ini aku sadar bahwa Tuhan akan selalu buka jalan dan kita punya bagian yaitu terus taat, sabar dan rendah hati. Taat untuk tetap mengikuti Dia dalam panggilan-Nya, sabar menantikan waktu-Nya bekerja dan rendah hati dalam menyampaikan sesuatu. Orangtua manapun pasti berharap anaknya sukses, tapi orangtua manapun lebih ingin kalau anaknya bahagia. Sekeras-kerasnya hati orangtua kita, jika kita berbicara dengan rendah hati, tidak menang sendiri dan tidak terkesan lebih pintar tentang pengalaman hidup ini, akan terluluhkan juga. Hal ini tidak hanya berlaku dalam panggilan, tapi dalam banyak aspek hidup kita. Amsal 15:33: “Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hormat dan kerendahan hati mendahului kehormatan.”

Menghidupi Panggilan Ditengah Banyaknya Tawaran yang Lebih Menggoda

Menemukan panggilan bukan akhir dari perjalanan mencari arah atau tujuan hidup yang lebih baik. Justru itu barulah awal dari perjalanan yang selanjutnya akan kita tempuh. Menghidupi panggilan dan sekaligus menikmatinya apalagi, ini hanya akan bisa dilakukan jika kita terus tunduk, taat dan terus dengar-dengaran dengan-Nya. Setidaknya hal ini yang masih terus aku alami sampai hari ini. Ada saja cara Iblis mengalihkan pikiranku kepada tawaran-tawaran yang bisa aku dapat lebih dari apa yang aku kerjakan sekarang. Singkatnya mungkin panggilan yang kita kerjakan gak membuat kita kaya, gak membuat kita merasakan kenyamanan seperti yang kita harapkan, gak membuat kita semakin terkenal dan justru membuat kita selalu kurang diperhitungkan di mata manusia, tapi panggilan selalu membawa kita keluar dari yang namanya zona nyaman baik secara iman maupun karakter. Hasilnya adalah kita akan menjadi semakin serupa kepada Kristus. 

Sejak menjadi guru pedalaman, masih sering sekali orangtua dan semua keluarga besarku menawarkan pekerjaan yang lebih baik menurut mereka, masih sering membicarakan tes CPNS, masih banyak teman-temanku yang menyinggung pencapaianku yang gak signifikan, tidak jelas jenjang kariernya. Bahkan bukan oranglain, kadang aku sendiri pun mempertanyakan Tuhan ke mana rancangan masa depan akan membawaku. 

Tapi mengapa aku masih terus berkomitmen? Tidak bisa kudeskripsikan semuanya.

Aku hanya merasa kasihku semakin besar, pekaku terhadap orang lain semakin mudah bertumbuh dibanding hidupku yang dulu. Senyum di wajah anak-anak yang kuajari, perasaan senang adanya guru yang mengajar mereka, itu cukup mengobati setiap perasaan yang ingin lebih muncul, setiap hati yang kadang terluka karena tekanan dari orang terdekat. Menurutku, jika benar itu panggilan, maka harusnya membuat kasih kita semakin lebar, kapasitas kita mengasihi semakin diperluas dan hati kita jadi semakin besar. Tolak ukurnya bukan pada apa yang dunia ini tawarkan. Saat saat sedang jatuh, caraku paling ampuh untuk kembali bangkit adalah mengingat bagaimana dulu aku memulainya bersama Tuhan, mengingat bagaimana cintaku mula-mula bertumbuh dalam panggilan ini, dan itu selalu cukup menjadi reminder untuk kembali berlutut dan merendahkan diri lagi dan lagi. 

Jadi buat kita yang lagi berjuang mencari panggilan hidup, semangat ya, terus berdoa, dan menggumulkan. Ingat tolak ukurnya adalah jawaban Tuhan bukan manusia. Buat yang sudah menemukan, bidang apapun itu, tetap semangat berproses. Mengerjakan panggilan Tuhan memang berat, karena ini bukan tentang mau-ku tapi mau-Mu. Matius 16:24: “Tuhan Yesus berkata “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Ayat ini menjadi sebuah pengingat bagi kita, sesungguhnya ikut mau-Nya gak pernah berbicara tentang kenyamanan, ikut mau-Nya berarti berbicara tentang harus melalui jalan yang sempit dan bukan jalan yang lebar. Tapi itu adalah harga yang layak dibayar, karena dengan apakah kita bisa membandingkan kemuliaan yang kelak kita terima?

2 Timotius 4:8: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

Pikiran Jelek yang Menghakimi Dirimu Sendiri Bukanlah Suara Tuhan!

Oleh Jess McDonald Ragg
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Think It’s God Speaking, But It’s Actually Your Inner Critic

Beberapa tahun belakangan aku memandang Tuhan seperti aku memandang Simon Cowell, seorang juri yang biasanya mengomentari para kontestan di ajang pencarian bakat.

Caraku memandang Tuhan seperti itu kusadari ketika aku ikut kelas tentang formasi spiritual. Dosenku memberi tahu bahwa selama kelas itu kami akan menjelajahi dan mencari tahu seberapa jauh dan seperti apa pemahaman kami terhadap karakter Allah.

Dalam kasusku, aku menggambarkan Allah seperti seseorang yang duduk di kursi hitam berlapis kulit, menatapku dengan sinis, sementara aku sendiri berdiri dengan cemas di atas panggung setelah menyanyikan sebuah lagu. Aku hanya berdiri, was-was, dan menunggu kata-kata pedas-Nya.

Aku memandang Allah seperti juri di acara X-Factor yang menanti untuk mengkritik bahwa segala upaya yang kupikir mati-matian ternyata cuma “biasa-biasa” saja. Aku tidak sedang bicara soal dosa; aku bicara tentang keseharianku, seperti:

  • Kesuksesanku selama di kampus, caraku mengerjakan tugas, menjawab pertanyaan dosen;
  • Relasiku, apa pun “topeng” yang sedang kupakai, entah sebagai anak, teman, atau saudara;
  • Pekerjaanku dan segala kesalahan yang kuperbuat;
  • Pelayananku di tim musik, seberapa efektif performaku berdasarkan reaksi dari orang-orang.

Kurasa seringkali aku menetapkan ekspektasi tinggi atas diriku sendiri, dan aku pun merasa bersalah karena sering mengatakan hal-hal negatif buat diriku sendiri. Meskipun aku punya ayah yang selalu mendukungku, aku tidak ingat kalau ada guru sekolah Minggu yang memberitahuku bahwa Tuhan punya tongkat besar yang siap memukulku jika aku berpikir jelek dan mengatakan hal-hal buruk buat diriku sendiri. Kata-kata, ekspektasi, dan kekecewaan yang bergulir di benakku bukanlah suara Tuhan. Yang perlu kulakukan hanyalah mengarahkan semua itu pada-Nya.

Dalam bukunya yang berjudul Knowledge of the Holy, A.W Tozer berkata, “Ada semacam natur tersembunyi dalam jiwa kita yang membuat kita cenderung menciptakan sendiri definisi tentang Allah.”

Yang penulis maksudkan adalah kita membangun kehidupan kita berdasarkan siapa orang-orang yang menurut kita memiliki karakter seperti Tuhan—entah sebagai Bapa yang penuh kasih dan perhatian saat kita melakukan aktivitas sehari-hari, atau Yesus yang kelihatan gaul, pejuang keadilan sosial, atau kita melihat Roh Kudus sebagai sosok yang karakternya tak terduga yang harus dibujuk dahulu agar bertindak.

Bukankah Tuhan adalah hakim?

Jangan salah sangka, Tuhan adalah hakim agung seperti yang ayat-ayat ini tunjukkan:

“Sebab, TUHANlah Hakim kita, TUHANlah panglima kita; TUHANlah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita” (Yesaya 33:22).

“Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang mampu menyelamatkan dan membinasakan. Namun, siapakah engkau, sehingga engkau menghakimi sesamamu?” (Yakobus 4:12).

Namun, penghakiman Allah telah ditimpakan kepada Kristus dua ribu tahun silam, ketika Dia terpaku di kayu salib. Penghakiman berupa murka itu tidak lagi ditimpakan pada kita ketika kita memiliki Kristus dan menjadikan Dia Tuhan dan Juruselamat.

Salah satu cara paling cerdas yang musuh kita lihat untuk mengikis hubungan ktia dengan Allah adalah dengan membuat kita mempertanyakan identitas dan integritas firman-Nya. Aku ingat di Kejadian 3, ketika ular menggoda Hawa, “Memang sungguhan Tuhan bilang begitu?”, menggoda Hawa untuk meragukan natur dan maksud Allah.

Dalam kasusku, aku menghidupi gambaran Allah sebagai juri X-Factor sesederhana karena aku tidak selaras dengan firman-Nya yang berkata:

“TUHAN itu pengasih dan adil, Allah kita penyayang” (Mazmur 116:5).

“Dari jauh TUHAN menampkkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yeremia 31:3).

“Namun, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8).

Di sini aku mau membagikan dua petunjuk sederhana untuk membantumu menghadapi persoalan yang sama sepertiku. Yang pertama adalah bagaimana kita dapat memahami sifat sejati Allah, dan yang kedua adalah bagimana kita bisa menangani kegagalan dengan lebih baik.

1. Memahami natur sejati Allah

Cara paling efektif untuk menyelaraskan kembali pemahaman kita tentang natur Allah adalah dengan secara reguler mengenal firman-Nya dan peka terhadap karakter-karakter-Nya yang ditunjukkan dalam Alkitab. Buatku pribadi, titik berangkat yang indah adalah Injil yang menolong kita melihat sosok Yesus secara dekat.

Kutemukan ayat dari Matius 9:36, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak mempunyai gembala.”

Ayat itu membuatku kagum. Kurasakan perhatian dan kasih yang kuat dari pernyataan itu. Yesus memandang orang-orang yang berputus asa dengan berbelas kasihan. Buat orang sepertiku, yang berjuang untuk berbelas kasih buat diriku sendiri, fakta bahwa Tuhan berbelas kasihan terhadapku sungguh mengejutkan.

Aku tidak berkata bahwa aku telah tiba pada pemahaman sepenuhnya akan natur Allah, tapi aku tertantang untuk terus memurnikan pengetahuanku tentang-Nya. Aku dikuatkan juga lewat serial TV yang berjudul The Chosen yang menggambarkan hidup dan pelayanan Yesus selama di dunia.

Melihat kembali kisah-kisah Yesus yang sudah familiar diceritakan dengan cara baru menolongku memiliki pemahaman yang lebih baik tentang natur Allah terhadap kemanusiaan. Cara pandang ini juga mendorongku membaca ulang kisah-kisah Alkitab, memberiku pandangan baru tentang Yesus, terkhusus bagaimana Dia membangun relasi dengan para murid, juga ketika Dia menunjukkan belas kasihan terkhusus bagi mereka yang tersisih dan terlupakan.

Aku mendorongmu untuk pelan-pelan membaca Alkitabmu dan mencatat pernyataan-pernyataan ketika Allah menyingkapkan karakter-Nya, terkhusus dalam Perjanjian Lama–bukan karena Allah berbeda di Perjanjian Lama, tapi karena Perjanjian Baru adalah penggenapan dalam Kristus Yesus. Karena kita pun berada di dalam Yesus, Allah memandang kita lewat karya-Nya di kayu salib.

Meskipun Tuhan adalah Hakim, Dia juga adalah Bapa (Matius 6:9), Pencipta (Kolose 1:16), Juruselamat (Yesaya 12:2), Pembela (Mazmur 5:11), dan Kawan (Yohanes 15:15). Faktanya, Roma 2:4 berkata bahwa kebaikan-Nyalah yang membawa kita kepada pertobatan.

2. Mengatasi gagal dengan lebih baik

Gagal, hancur,dan kacau kadang tidak terhindarkan. Kita pernah mengalami hari-hari ketika kesulitan melanda dan kita bertanya-tanya bagaimana harus memprosesnya, bagaimana supaya kita tidak mengumpat dan menghujat kepada Tuhan yang baik.

Beberapa tahun yang lalu, aku membuat kesalahan dalam pekerjaanku yang membuatku membayar konsekuensi yang mahal. Aku pun merasa bodoh dan bersalah. Tapi, ayahku menguatkanku untuk selalu ingat bahwa Tuhan itu Mahakuasa dan selalu memegang kendali, sehingga aku tidak perlu stres terlalu berat.

Seiring waktu aku melihat bahwa kesalahanku itu menunjukkan ada proses yang seharusnya aku lakukan supaya aku bisa menjalankan tugasku lebih baik. Kita mungkin akan mendapat pelajaran berharga setelah proses berat itu, dan aku merasa tenang ketika tahu bahwa Tuhan selalu memegang kendali.

2 Korintus 12:9 selalu jadi pengingat yang baik bahwa anugerah Allah selalu cukup. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa kuasa Allah paling maksimal diwujudkan dalam kelemahan kita. Kita menjadi lebih terbiasa dengan kelemahan kita karena kita percaya bahwa Tuhan selalu hadir di segala musim.

Jadi, bagaimana kita mengatasi kegagalan dengan lebih baik? Kita menyerahkannya pada Allah, sembari tetap bergerak melakukan yang terbaik dengan apa yang kita punya, percaya bahwa Dia memegang kendali atas segala sesuatu.

Aku pribadi mengalami bahwa terkadang ada kegagalan yang harus kuterima begitu saja. Artinya, aku memilih untuk berkata buat diriku sendiri, “Aku harap itu nggak terjadi, dan mungkin aku bisa lebih baik kalau….. Tapi sekarang aku mau serahkan semua ke Tuhan” alih-alih merenungkan apa saja yang sudah, bisa, dan akan kulakukan, lalu menyalahkan diri sendiri, meratapi kesalahan dan berandai-andai semuanya tidak terjadi.

Aku mau bersikap jujur atas situasi yang kuhadapi dan memahami apa tindakanku yang membuatku tiba di sini, tapi aku juga mau memberi pengertian buat diriku sendiri sebagaimana Tuhan menunjukkanku kasih karunia dan sekali lagi, meyakinkan diriku bahwa Dia mengendalikan segala sesuatu.

Aku masih berjuang memiliki pemahaman tentang Allah yang tak sebatas seperti juri X-Factor, aku terus menutrisi pikiranku dengan firman-Nya supaya apa yang jadi gambaran yang salah tentang Allah dapat tergantikan oleh apa yang benar. Mengenal-Nya adalah sebuah perjalanan, dan pelan-pelan kita akan melihat, mengalami sendiri suara-Nya, kelembutan-Nya.

Mengetahui bahwa Tuhan melihatku, mengenalku dan bersukacita atasku, aku pun dimampukan untuk bersikap baik terhadap diriku sendiri dan bertumbuh dalam pemahamanku akan Bapa yang penuh kasih.

Kutipan Alkitab di artikel ini diambil dari Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB2)

Ketika Si Dia Kujadikan Berhala

Apa pun yang ada dalam hidup ini dapat menjadi berhala. Berhala bukan hanya patung atau gambar sesembahan, berhala juga bukan sekedar hal-hal buruk yang menjadi candu dalam kehidupan kita, namun berhala juga dapat berasal dari hal-hal baik dalam hidup ini yang lebih kita ingini daripada Allah.

Pasangan hidup juga dapat menjadi berhala, yaitu ketika gairah cinta dan semangat kita pada Tuhan mulai tergeser, beralih kepada orang yang kita cintai.

Hendaknya kita mengimani dan melakukan dengan sungguh, firman Tuhan Yesus untuk mencari, “dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu.”

Karena ketika yang terutama dalam hati kita adalah Yesus dan Kerajaan-Nya, kita akan memahami bagaimana cara mencari dan mencintai pasangan kita dengan pantas.

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata dan merupakan project kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dan Grace Alone Ministries @gracealoneministry