Posts

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dalam kehidupan pekerjaan profesional, tantangan tentu menjadi hal yang tidak mungkin kita hindari. Pergumulan terkait kecukupan gaji, nyaman-tidaknya lingkungan bekerja, tinggi-rendahnya tingkat stres dari pekerjaan yang kita lakukan, hingga apakah pekerjaan tersebut membawa pertumbuhan dan perkembangan pada diri kita tentu selalu ada. Dari beberapa tempat kerja yang memberiku banyak sekali pengalaman dan pelajaran, ada satu hal lainnya juga yang pasti akan kita temui ketika bekerja di manapun: berhadapan dengan karakter orang lain.

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Entah banyak, atau sedikit. Entah dengan usia yang lebih tua, atau lebih muda. Entah dengan perempuan, atau laki-laki. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Seperti relasi antar manusia pada umumnya (dengan keluarga, teman dekat, dan lain-lain), relasi dengan rekan kerja pun tentu akan mengalami dinamika. Ada masa di mana kita kompak dengan mereka ketika mengerjakan suatu pekerjaan, namun ada juga masa di mana kita harus berhadapan dengan karakter atau tingkah mereka yang menyebalkan dan tidak kita sukai. Meskipun indikator ‘menyebalkan’ dan ‘tidak suka’ antara satu orang dengan yang lain akan berbeda, namun fase ini tentu tidak terhindarkan. Ini hal yang wajar, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia unik dan berbeda satu sama lain (Efesus 4:7). Juga tidak boleh dilupakan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).

Lalu apa yang harus kita lakukan jika tengah berhadapan dengan rekan kerja yang menyebalkan, atau bahkan sampai muncul konflik yang tak terhindarkan?

1. Akui emosi hatimu pertama-tama pada Tuhan

Aku pernah memiliki rekan kerja yang tidak mau berbicara padaku gara-gara kami berdebat soal konten media sosial apa yang harus diprioritaskan untuk publikasi hari itu. Aku sedih karena dia mendiamkanku selama beberapa hari dan itu sangat mengganggu jalannya kinerja harian kami (kebetulan pekerjaan harianku selalu berkorelasi dengannya). Mudah bagiku untuk terus larut dalam emosi, berpikiran negatif, hingga berpengaruh pada pekerjaan. Namun, masih ada pilihan untuk berdoa dan mengakui apa yang kurasakan pada Tuhan. Awalnya aku gengsi, ingin berada di posisi yang paling benar, tapi lama-lama Tuhan tolong aku untuk melihat situasi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Dengan keberanian yang Tuhan anugerahkan, aku akhirnya meminta maaf duluan padanya meskipun dia tetap tidak membalas pesanku. Sedih dan sedikit kecewa, tapi setidaknya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.

Mengakui keadaan hati kita pada Tuhan mungkin tidak menolong konflik mereda seketika, tetapi itu akan memberikan damai sejahtera pada hati kita. Ketika hati kita lebih damai, kita lebih mampu untuk melihat lebih jelas dan luas konflik yang sedang kita alami.

2. Bicarakan pada pimpinan atau atasan jika sudah mengganggu profesionalitas kerja

Masih lanjutan dari cerita di atas, karena dia masih mendiamkanku, sedangkan urusan publikasi masih harus terus berlangsung setiap harinya, akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan atasan kami. Menjadi suatu berkat yang harus disyukuri ketika memiliki pimpinan yang mau peduli dengan masalah yang dialami anak buahnya. Singkat cerita, ia mengajak ngobrol rekan yang mendiamkanku itu, lalu tak berapa lama kemudian ia akhirnya membuka komunikasi denganku dan relasi kami kembali baik seperti semula.

Namun bagaimana jika atasan kita malah tidak mau ikut campur dengan konflik antar rekan kerja yang sedang terjadi?

Tetap tenangkan diri dan pikiran, lalu coba sampaikan pada atasan bahwa kita butuh pertolongan atau masukan atas pekerjaan yang terhambat akibat konflik tersebut. Usahakan kita tidak perlu fokus pada perilaku rekan kerja yang membuat kita marah, kesal hingga berkonflik, namun fokus pada mencari solusi dari masalah pekerjaan yang sedang dilakukan.

3. Belajar rendah hati untuk terus perbaiki diri

Meski rasanya kesal dan seringkali tidak mau berada di posisi salah, namun kita juga tetap rendah hati untuk terus belajar dalam memperbaiki diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Suzanne Stabile dalam bukunya yang berjudul The Path Between Us: “Sangatlah bagus jika Anda menghabiskan energi untuk mengobservasi dan memperbaiki diri sendiri ketimbang mengobservasi serta memperbaiki orang lain.”

Kesal dengan tingkah laku si rekan kerja tentu bukan berarti kita menjadi pihak yang paling berdosa. Bukan juga artinya dia yang paling berdosa. Namun, Firman dalam Efesus 4:2 mengatakan perintah yang jelas: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” Sulit? Tentu. Keberdosaan kita membuat kita ingin menjadi pihak yang selalu benar dan tidak ingin salah. Pada akhirnya, meminta tolong kerendahan hati untuk mau belajar pada Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.

4. Komunikasikan dengan baik ketidaksukaan kita dengan cara yang tidak menghakimi

Ada kalanya kita kesal dengan rekan kerja kita hanya karena tingkahnya yang memang tidak kita sukai, misalkan: si dia terlalu banyak bicara, si dia sok tahu, si dia memiliki kebiasaan menghentak-hentakkan kaki sehingga ruangan kantor jadi berisik, si dia tidak sabaran, si dia pemalas, si dia suka datang terlambat, dan lain-lain. Jika hal itu tidak mengganggu pekerjaan kita, tentu harusnya tidak ada masalah. Namun, jika sudah mengganggu, membuka komunikasi secara baik-baik menjadi cara yang layak dicoba.

Sewaktu bekerja di perusahaan media, salah satu rekanku sering sekali berbicara dengan nada menuntut dan cukup tinggi kepadaku. Konteksnya seperti ini: alur kerja kami memang dimulai dari aku dulu yang membuat konsep, kemudian dia yang membuatkan desain. Aku selalu berupaya untuk memberikan konsep tepat waktu, namun dalam beberapa kesempatan ia tetap marah-marah padaku. Emosinya membuatku merasa di posisi serba salah. Aku jadi kesal. Hingga pada suatu hari aku mencoba iseng mengungkapkan rasa kesal itu. Dimulai dengan berdoa singkat dalam hati meminta ketenangan, aku bertanya, “Woy, kamu kenapa sih? Lagi dikejar kereta api? Ngomong sama aku kok ngegas mulu gitu lho.” Lalu dia menjawab, “Hah? Aduh aku emang ngegas ya? Maaf, maaf.” Responnya dia ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia bahkan meminta maaf dan setelah itu menceritakan bahwa ada masalah yang tengah mengganggunya sehingga di saat itu ia sebenarnya tidak sedang berkonsentrasi bekerja.

Singkat cerita, hubungan kami malah jadi semakin dekat, dan ketika dia mulai berbicara dengan nada yang sama, aku tidak masukkan ke dalam perasaan lagi, selama memang pekerjaan kami sudah pada alur dan waktu yang tepat.

Jadi, belum tentu tingkah menyebalkan seseorang selalu tanpa alasan. Kadang mungkin saja ada permasalahan atau beban berat yang sedang mereka pikul namun enggan membicarakannya pada siapapun, sehingga membuat tingkahnya jadi menyebalkan untuk orang sekitar. Di sini, kita bisa meminta hikmat pada Tuhan untuk menjadi pendengar yang baik, atau bahkan kita bisa membantu dan menolongnya sesuai kapasitas yang Tuhan anugerahkan untuk kita.

5. Hindari membicarakan kelemahan atau keburukannya kepada orang lain

Aku menuliskan ini bukan berarti aku berhasil menghindarinya. Tidak. Membicarakan keanehan atau kelemahan orang lain yang tidak kita senangi rasanya menjadi makanan sehari-hari dan kita sadar-tidak sadar senang melakukannya. Aku pribadi mengakui bahwa masih sangat sulit untuk mengekang lidah dan sulit untuk menjaga hati agar tidak bergunjing, apalagi jika itu menyangkut orang yang menyebalkan bagiku.

Sayangnya, Tuhan tidak menghendaki demikian. Yakobus 1:26 secara jelas menyampaikan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Ketika ‘terjebak’ pada situasi bergosip yang sungguh menggoda, kita bisa minta tolong pada Allah dalam doa untuk menahan motivasi hati kita yang ingin ikut-ikutan membicarakannya. Aku sendiri beberapa kali lebih memilih diam atau bermain ponsel ketika topik tentang si orang-yang-menyebalkan mulai muncul dalam percakapanku bersama rekan-rekan kerjaku yang lain. Ada kalanya aku juga jatuh dan ikut tergoda membicarakannya. Minta tolong pada Allah menjadi cara terbaik yang bisa kita lakukan.

* * *

Beberapa pengalaman bekerja di ranah profesional sebelumnya mengajariku bahwa meskipun kita bisa memilih perusahaan, ladang, gaji, hingga jenis pekerjaan dan jabatan yang kita mau, kita tidak bisa memilih pemimpin, tim, serta rekan kerja yang akan bekerja bersama kita. Aku belajar bahwa jika pun aku memperoleh semua yang aku mau dalam pekerjaan tersebut, aku tidak bisa mengelak dari dinamika relasi yang terjadi antara aku dan rekan sekerjaku. Talenta yang kumiliki untuk berkontribusi dalam pekerjaan tersebut ternyata satu paket dengan bayar harga dan penderitaan di dalamnya, termasuk juga ketika menghadapi konflik dan masalah dengan sesama.

Pertanyaannya: apakah kita mau untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam pekerjaan hari ke hari, atau lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan sendiri?

Baca Juga:

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Berteman lama dan sangat dekat tidak jadi jaminan kalau pertemanan itu akan bebas dari konflik. Lalu, bagaimana caranya kita berekonsiliasi kala konflik terjadi dengan kawan dekat?

Self-love yang Selfless untuk Mengasihi Sesama

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak tahun 2020 lalu memberiku kesempatan untuk belajar banyak tentang bagaimana mengasihi diri sendiri. Semua berawal dari konflik-konflik relasi yang terjadi antara aku dan keluarga, serta aku dan teman-teman dekatku. Awalnya konflik tersebut membuatku sangat minder dan tidak berharga karena merasa paling bersalah. Bahkan aku juga sering menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab dari munculnya konflik-konflik tersebut. Namun, seiring dengan proses-proses pemulihan yang Tuhan anugerahkan, aku mendapat kesimpulan bahwa ternyata aku juga perlu belajar mengenal diriku sendiri lebih baik; memahami identitas diriku yang sebenarnya bukan terletak pada apa yang ada di dunia ini (ciptaan), melainkan pada gambar Sang Pencipta itu sendiri (Kejadian 1:27).

Ketika belajar mengenal diri sendiri, aku pun mendapati ada satu konsep atau istilah baru yang ternyata banyak digaungkan di berbagai media sosial selama masa pandemi: self-love. Mengutip dari situs alodokter.com, self-love artinya mencintai diri sendiri, tetapi bukan berarti memenuhi diri dengan segala keinginan. Self-love mengharuskan kita untuk memperlakukan dan menerima diri sendiri dengan baik dan apa adanya. Konsep self-love atau konsep penerimaan diri yang baik ini juga terbilang penting karena berpengaruh pada kesehatan mental. Apalagi, penelusuran informasi tentang isu kesehatan mental di mesin pencari Google mengalami peningkatan sejak tahun 2020 kemarin. Artinya, bisa dibilang sudah banyak orang yang mulai memerhatikan kesehatan mentalnya sendiri.

Kemudian aku sempat terpikir hal yang lain: jika self-love merupakan sebuah konsep untuk menerima diri sendiri, apakah kecenderungan untuk egois (selfish) bisa terjadi? Jawabannya: tentu saja bisa, bergantung pada di mana fokus kita ketika sedang menerapkan self-love. Psikolog Felicia Maukar memaparkan bahwa konsep self-love bukanlah sesuatu hal yang negatif karena motivasinya dilakukan untuk kebaikan banyak orang. Ketika kita mencintai diri sendiri, kita akan mampu mencintai orang lain juga. Sedangkan konsep egois didasari pada mencintai diri sendiri secara berlebihan; fokusnya lebih banyak memikirkan perasaan diri sendiri dan apapun yang dimilikinya dijadikan bahan pamer dengan tujuan membuat orang lain iri (dikutip dari berita suara.com yang tayang pada Rabu, 6 November 2019).

Firman Tuhan pun sebenarnya sudah mencatat konsep self-love yang tertulis dalam Matius 22:39 “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Aku pernah salah mengartikan bagian kebenaran Firman ini. Aku memahaminya sebagai: aku harus terus mengasihi orang lain, dan tidak perlu mempedulikan diri sendiri. Namun pada ayat itu tertulis jelas “…seperti dirimu sendiri”. Sehingga, konsep mengasihi diri pun memang bukanlah hal yang salah atau berkesan negatif. Bahkan Allah saja melihat diri kita berharga (Yesaya 43:4), masa kita tidak mau menghargai hidup dan diri kita sendiri sebagaimana Allah telah melakukan hal yang sama kepada kita?

Memahami hal ini sebagai bentuk pembelajaranku secara pribadi, aku mendoakan pada Tuhan untuk dimampukan menerapkan self-love yang selfless. Aku ingin belajar bagaimana menerapkan kasih pada diriku sendiri (dengan cara menjaga kesehatan fisik, mental, jiwa, pikiran, emosi, dan seluruh aspek hidupku dengan takaran yang sewajarnya atau tidak berlebihan), sambil di saat yang sama aku juga bisa mengasihi orang lain dengan hati yang tulus.

Aku + Kamu = Kita

Mengapa harus ada “kita”?

Bukankah hidup ini segalanya tentang “aku”?

Jika dilihat dari sisi egoisme akibat keberdosaan kita sebagai manusia, jawabannya pasti “ya”. Namun, Tuhan tidak menghendakinya demikian. Sejak awal manusia dijadikan, Tuhan membuat manusia menjadi makhluk sosial. “Tidak baik kalau manusia itu sendiri saja…” (Kejadian 2:18). Kehadiran Adam dan Hawa menjadi cikal bakal keluarga, pertemanan, komunitas, hingga terbentuknya bangsa yang menetap dan menyebar di seluruh pelosok bumi hingga kini.

Dalam buku “How’s Your Soul: Why Is Everything That Matters Starts With The Inside You”, Judah Smith menuliskan bahwa salah satu lingkungan sehat untuk jiwa kita adalah Relationship (Relasi). Secara alamiah, kita semua adalah makhluk sosial. Kita diciptakan untuk berelasi dan berkomunitas. Bahkan untuk orang dengan kepribadian paling introver sekalipun tetap membutuhkan interaksi dengan sesama manusia yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan, perkembangan, dan rasa semangat dalam jiwa. Tanpa adanya relasi, jiwa kita menjadi terisolasi dan ini merupakan kondisi yang tidak sehat.

Dalam realitasnya, mungkin kita berharap relasi yang terjalin antara kita dengan sesama akan berjalan mulus dan serba baik-baik saja. Aku pun juga berharap demikian. Namun, sayangnya dosa membuat kondisi ideal tersebut hancur berantakan. Kita berseteru. Berkonflik. Sering mengedepankan ego pribadi dan lupa caranya mengasihi. Maka dari itu, tentu mengandalkan Allah yang adalah Kasih menjadi satu-satunya cara agar kita bisa terus-menerus belajar mengasihi sesama dengan hati yang tulus.

Di bulan ini aku mengajak kita semua untuk sama-sama belajar dan merenungkan bagaimana berelasi dengan sesama seharusnya tidak dilihat sebagai sesuatu yang diterima begitu saja (taken for granted). Relasi dengan sesama sepatutnya kita lihat sebagai anugerah Tuhan bagi kesehatan, sukacita, dan juga kesejahteraan jiwa kita; baik itu relasi dengan keluarga, teman kampus, rekan kantor, tetangga, bahkan mungkin orang asing yang Tuhan hadirkan dalam hidup kita.

Baca Juga:

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng, demikian pula dalam halnya ucapan syukur. Apa yang mendasari kita untuk mengucap syukur?