Posts

Seiman Sih, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…

Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.

“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.

“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”

Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.

Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”

Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.

“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”

Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”

Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”

Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.

***

Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.

Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.

Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.

Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.

“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?

Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”

Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”

Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?

Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.

Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.

“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”

Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?

“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.

Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?

Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?

Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.

Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?

Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?

Tetapi…

Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.

Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?

Apakah iman kami sudah seimbang?

Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?

Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?

Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.

Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.

Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.

Aini menekan tombol kirim.

Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.

Aku tidak menginjili. Bukan dengan cara yang diinginkan gerejaku.

Berbagi Injil tak terbatas hanya dengan mengajak orang-orang untuk datang ke gereja. Lebih dari itu, kita harus menumbuhkan relasi yang baik dan memiliki hati yang peduli pada keadaan mereka.

Tak cukup dengan bilang “Tuhan Yesus baik, lho. Percaya deh” agar orang-orang percaya kepada-Nya. Sejatinya, Injil itu harus terlihat melalui diri kita: bagaimana kita hidup dan mengasihi sesama. Dengan begitu, teladan Yesus dapat dilihat melalui kita.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ritual: Bukan Cuma Tentang Praktik, tapi Juga Perspektif

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Teruntuk kita yang sering merasa iman saja sudah cukup, dan bagi mereka yang sering melontarkan kalimat seperti, “Ga perlu lah melakukan ritual dan sakramen gereja, karena Tuhan kan Mahatahu dan mengerti hati kita.” Ritual memang terdengar kuno dan terkesan tidak penting. Namun, apakah se-irelevan itu adanya konsep “ritual” di zaman ini? 

Bicara agama tidak bisa terlepas dari ritual. Jika kita menelisik kembali sejarah kekristenan, pada abad 16 terjadi peristiwa besar yang kita kenal sebagai Reformasi Protestan. Salah satu alasan lahirnya reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther adalah karena dia menentang praktik penjualan surat indulgensi. Umat kala itu dapat membeli koin-koin yang dipercaya dapat mengurangi waktu mereka di dalam masa-masa api penyucian atau purgatorium agar bisa cepat masuk ke surga. Seiring berlalunya waktu, reformasi Protestan pun menghasilkan dinamika baru dalam wajah kekristenan di dunia dengan pemahaman-pemahaman akan ritual yang dilandaskan pada Alkitab. 

Nah, kembali pada premis di paragraf pertama: Jadi, apakah ritual itu penting? Tidak kalah sering orang Kristen Protestan dijuluki sebagai agama yang kurang menerapkan ritual-ritualnya. Beberapa pandangan ekstrem malah menggunakan alasan para reformator untuk meremehkan semua ritual kekristenan. Katanya, “Keselamatan manusia tidak bergantung pada perbuatan atau ritual yang dilakukannya.” Pernyataan ini perlu kita cerna dengan cermat dan rendah hati. Ritual atau sakramen dalam kekristenan itu penting. James K.A. Smith, seorang filsuf dan teolog, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbentuk dari ritual-ritual yang dilakukannya. Setiap pagi, asal melek buka HP saja bisa menjadi sebuah ritual! Oleh sebab itu, ritual yang salah juga dapat merusak diri kita. 

Lalu, mengapa “ritual” itu penting? 

Pertama-tama, Smith menjabarkan konsep ritual itu sendiri dengan ritual dalam kehidupan keseharian kita. Anggap saja, kita ingin menjadi seorang pianis yang handal lalu kita latihan setiap hari. Entah kita latihan dengan hati terpaksa karena disuruh orang tua atau sepenuh hati, latihan demi latihan sedikit banyak akan membentuk keahlian kita dalam bermain piano. Seperti kata pepatah, “practice makes perfect.” Sama halnya dalam kehidupan spiritual kita, ritual (atau latihan) kerohanian yang kita lakukan pada akhirnya akan membentuk dan mengubahkan hati kita, secara sadar atau tidak sadar. Ritual kerohanian itu penting untuk melatih tubuh kita. Tuhan menciptakan manusia dengan wujud atau bentuk, di mana tubuh ini adalah wujudnya. Dengan adanya ritual konkrit (concrete practices) yang dialami oleh indera kita, tubuh ini menjadi media perantara ritual untuk menggerakkan hati atau pikiran kita. Seperti saat kita melakukan perjamuan kudus, saat kita makan roti dan minum anggur, seluruh indera dari fisik tubuh kita merasakan (memegang) langsung wujud ritual tersebut. Ini adalah ritual yang mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang menyerahkan diri-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Saat beberapa gereja mempraktikkan berlutut saat berdoa, secara tidak sadar ritual postur berlutut ini memberikan sinyal pada hati kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Banyak ritual-ritual kecil yang dilakukan setiap minggunya di gereja, yang secara tidak sadar, mengajarkan dan mengubahkan hati dan pikiran kita secara perlahan. Oleh sebab itu, perspektifnya harus dibalik. Harus dipahami bahwa Tuhan menetapkan adanya ritual kerohanian dikarenakan itu penting untuk kita, untuk melatih tubuh kita dan mengubah pikiran kita, bukan untuk diri-Nya.

Poin kedua. Letak perbedaan yang menjadikan ritual kerohanian orang Kristen itu penting ada pada penyertaan Roh Kudus. Ritual kerohanian kita disertai oleh kehadiran Roh Kudus. Craig Dykstra menggunakan istilah habitation of the Spirit”, di mana praktik yang konkrit (ritual/sakramen) ini menjadi saluran atau media kuasa Roh Kudus untuk mengulik dan mengubahkan kita. Seperti yang beberapa kali kusebutkan di poin sebelumnya, “secara tidak sadar” memang seringkali kita tidak lagi memaknai arti dari setiap ritual ini, namun bukan berarti Roh Kudus tidak bekerja. Adanya kehadiran kuasa Roh Kudus yang unik untuk momen ritual kerohanian yang dilakukan oleh orang percaya. 

Ada kutipan yang penting: 

“Historic Christian Devotion bequeaths to us rituals and rhythms and routines that are what Craig Dykstra calls “habitations of the Spirit” – concrete practices that are conduits of the power of the Spirit and the transformative grace of God.”

“Devosi Kristiani yang bersejarah mewariskan kepada kita ritual-ritual, ritme-ritme, dan rutinitas yang disebut oleh Craig Dykstra sebagai “habitations of the Spirit” – praktik-praktik konkrit yang menjadi saluran bagi kuasa Roh dan kasih karunia Allah yang transformatif.”

Lalu, bagaimana mendamaikan konsep “ritual” dan “anugerah keselamatan”?

Ritual atau sakramen yang kita lakukan merupakan respons dari anugerah keselamatan yang kita telah dapatkan. Jadi jangan dibalik ya. Bukan karena kita melakukan ritual, maka kita dapat diselamatkan oleh Tuhan; namun karena kita sudah diselamatkan, maka kita ingin melakukan ritual tersebut sebagai tanda ucapan syukur kita kepada Tuhan. Patut diingat bahwa tidak ada pekerjaan baik manusia yang dapat membawa kita ke surga, karena keselamatan yang kita terima murni dari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Jika kita mengerti arti ritual dari sudut pandang ini, maka sesungguhnya setiap ritual kerohanian kekristenan adalah reminder bagi orang percaya akan anugerah dan kasih setia Tuhan sepanjang masa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Julid vs Peduli (?)

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Oke, latihan hari ini kita selesaikan di sini ya!” seru kak Ary, pelatih koor kami.

Hampir semua dari kami berseru kegirangan, jarang-jarang jadwal latihan koor kami singkat begini. Biasanya malam Sabtu kami benar-benar kami habiskan di gereja, belum lagi kalau kedapatan jadwal jadi pemandu lagu di ibadah Minggunya. 

Jadi tentu saja kami senang, walau sedikit bertanya-tanya juga.

“Tumben banget ya, bisa selesai jam segini.” Keyla berjalan mendekat ke arahku, melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu gereja. Belum tepat pukul 8.

Aku mengedikkan bahu, “Iya ya, padahal Kak Ary si paling ketat soal jadwal latihan, hujan badai latihan tetap jalan.” Kami berjalan menuju pintu keluar.

“Hei, langsung pulang?” seseorang tiba-tiba menghampiri kami. “Makan es krim dulu yuk di depan.” Lanjutnya, lalu menyeret kami ke gerai es krim yang malam itu cukup sepi.

“Eh, pada tahu nggak, kenapa hari ini kita latihannya cuma sebentar?” tanya Eva ketika kami duduk menunggu pesanan. Dia memang selalu si paling tahu soal isu-isu yang berkembang. Aku dan Keyla hanya mengangkat bahu.

“Itu karena kak Ary harus buru-buru pulang, soalnya di rumahnya lagi ada keluarga dari calon istrinya.” Katanya memulai.

“Ooh, pernikahannya 2 minggu lagi kan ya!” sahutku.

“Iya, tapi kayaknya ada masalah deh,” kata Eva dengan yakin. Aku dan Keyla sontak menoleh.

Eva mengangguk lagi dengan yakin.

“Aku dengar-dengar, kayaknya orangtuanya kak Ary itu nggak setuju. Soalnya belakangan baru tahu kalo calon istrinya itu pernah punya masa lalu yang nggak baik gitu. Makanya keluarganya bertemu lagi untuk membicarakan soal ini.”

“Masa sih gitu, kayaknya orangtuanya kak Ary bukan tipe yang gitu deh.” Kata Keyla menanggapi, aku mengangguk menyetujui. 

“Lha kita manatahu. Orangtua kalo menyangkut anak bisa berubah kali, demi kebaikan anak sendiri.” Pesanan kami datang, tapi Eva tampak lebih bersemangat melanjutkan ceritanya daripada menikmati es krim kacang merah di hadapannya.

“Aku bukan julid nih ya, tapi aku juga kurang setuju sih sama calon istrinya kak Ary itu. Ingat nggak waktu pertama kali kak Ary kenalin dia di ibadah bulan lalu, cuek banget, nggak mau berbaur. Padahal kita udah ajakin foto juga. Tapi dia tetap aja cuma duduk di sebelah Kak Ary.” 

“Namanya juga masih baru kenal, ya wajarlah kalo dia masih segan. Justru aneh kali kalo baru pertama ketemu udah heboh foto-foto sama kita,” jawabku menanggapi.

“Ah kamu aja yang terlalu berpikir positif, Rib. Aku udah paham nih ya, kalo cewek kayak gitu nanti pasti posesif banget sama suaminya, entah nanti setelah menikah kak Ary nggak akan jadi pelatih kita lagi. Sekali lagi, aku bukan mau julid, aku ngomongin fakta,” lanjut Eva masih dengan berapi-api.

“Kamu ini udah kayak netizen di kolom komentar akun gosip tau nggak, Va!” kata Keyla sambil tertawa kecil. “Atau peramal. Nggak kenal, tapi bisa tau gimana orangnya hanya dengan sekali melihat.” Aku ikut tertawa kecil.

Eva menghembuskan napas keras. Lalu beberapa detik kemudian melanjutkan.

“Aku itu cuma peduli aja sama kak Ary, aku udah anggap dia kayak kakak aku banget, aku nggak mau kak Ary menikahi orang yang salah! Aku nggak mau kak Ary menikah dengan orang yang akan membuat dia jauh dari pelayanannya saat ini, jauh dari kita,” katanya dengan nada yang bercampur antara kesal, sedih, kecewa dan.. cemburu? Entahlah.

Aku dan Keyla bertatapan, saling mengerti. Kami memang cukup dekat dengan kak Ary, dia pelatih koor kami sejak lima tahun lalu, saat kami masih di awal masa kuliah. Aku akui banyak yang kagum dengan sosok kak Ary yang bukan hanya pelatih yang kompeten, tapi juga seorang yang peduli, pendengar yang baik, juga solutif. Yahh… Walaupun dia sangat strict soal jadwal latihan. Aku yakin di antara anggota koor, banyak yang menyukainya, sebagai laki-laki.

Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun, sehingga kami cukup shock ketika di suatu waktu latihan dia bilang akan menikah. Dan di ibadah minggu itu, kak Ary membawa calonnya itu dan mengenalkannya pada kami. Mungkin saja memang ada sedikit rasa kecewa di antara kami, karena kak Ary—yang sudah kami anggap seperti kakak sendiri itu—akan menikah dengan seseorang yang kami tidak kenal. Tapi, secara pribadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih. Mungkin itu yang dialami Eva.

Jadi aku mendekat, memegang bahu Eva dan berusaha memahaminya.

“Va, tapi itu bukan peduli namanya. Itu sudah mengarah ke membicarakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, yang bahkan kita tidak kenal dan tidak tahu kebenarannya. Bahkan sekalipun itu benar, kayaknya nggak tepat deh kalo kita menjadikannya sebagai bahan omongan,” kataku berusaha dengan suara selembut yang aku bisa. 

Eva terdiam sejenak, muncul kerutan kecil di keningnya.

“Lha, aku nggak ada maksud kayak gitu. Aku beneran cuma menunjukkan rasa peduli aja. Masa aku nggak boleh peduli sama kakak sendiri!” jawabnya defensif, sedikit tersinggung juga tampaknya.

“Iya, kita ngerti kok kalo kamu peduli. Tapi kayaknya ada cara lain yang lebih baik deh, Va, tanpa berpikiran negatif begitu,” tanggapku lembut.

“Aku bukan berpikiran negatif, aku hanya mengutarakan sesuai dengan apa yang aku lihat sendiri. Apa yang aku rasakan,” katanya lagi, tampak belum menerima sikapku dan Keyla.

“Va, tapi Ribka benar. Kayaknya itu bukan kepedulian kalau justru menimbulkan buruk sangka. Apalagi kita hanya berasumsi. Lagian kalo kita memang se-peduli itu sama kak Ary, justru kita akan doakan yang terbaik untuk pilihan yang ia sudah buat kan, bukannya membangun prasangka yang tidak baik tentang mereka. Walaupun mungkin saja memang ada perasaan kehilangan sosok kakak di hati kita.” Keyla ikut menambahkan.

Eva terdiam lagi. Tampak merenung. Semoga dia memang merenungi apa yang aku dan Keyla sampaikan, tanpa berpikir kalau kami sedang menyudutkannya.

Kami bertiga terdiam beberapa saat, aku dan Keyla menunggu responnya. Lalu kemudian Eva tersenyum, senyum mengerti. “Iya ya, itu bukan peduli ya namanya. Padahal aku memang benar-benar mempedulikannya.” 

Respons Eva di luar dugaan kami, tetapi kami percaya Roh Kudus ikut berperan melembutkan hatinya untuk bisa mencerna masukan kami tanpa berprasangka kalau kami sedang melawannya. 

Kali ini giliran Keyla yang menepuk pundaknya pelan, “Iya Va, kita paham kok perasaan kamu. Kadang-kadang perasaan tertentu memang bisa membuat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan, bersikap yang tidak seharusnya, pun mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan.”

Eva tersenyum lagi, kali ini tampaknya ia benar sudah menyadari dan memahaminya.

“Ternyata aku sudah salah memahami situasi ini ya. Padahal aktif melayani, rajin ikut persekutuan, tapi malah bisa punya pemikiran seperti itu. Julid sama kakak sendiri,” katanya pelan. Aku kembali mengusap bahunya lembut. 

“Udah udah… Kita belajar lagi supaya lebih bijak dalam berpikir dan berkata-kata ya, kan!” kata Keyla sambil tersenyum. Eva Kembali tersenyum.

“Sekarang habisin tuh es krim kamu yang udah jadi bubur kacang merah.” Kami pun tertawa menyadarinya.

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” (Efesus 4:29).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika yang Paling Melekat di Hatiku Bukanlah Tuhan

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Santi datang agak terlambat ke ibadah Minggu siang itu. Baru saja dia duduk, tiba-tiba dirinya berdiri lagi, Ada pokemon di belakang. Sebelum keduluan yang lain, aku ambil dulu,” bisiknya dengan senyum-senyum sambil berlalu ke deretan bangku belakang. Dia kembali ke bangku semula dengan tangan yang tetap asyik memainkan gawai saat pendeta mulai membagikan firman. Aku colek teman di sebelahnya untuk mengingatkan Santi fokus dulu ke ibadah, namun jawabannya membuat gemas. Katanya, dia bisa menyimak khotbah sembari bermain gim. 

Pokemon GO pernah menjadi permainan piranti bergerak yang fenomenal karena menarik minat masyarakat dunia untuk memainkannya. Gim yang diciptakan oleh Niantic dan dirilis di tiga negara pada 2016 itu, mengalahkan popularitas permainan sejenis di masanya; Candy Crush dan Angry Birds. Menariknya lagi, Pokemon Go yang menggunakan konsep augmented reality, teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam dunia nyata ini; menurut riset yang dilakukan oleh Clinic Compare, sebuah lembaga kesehatan swasta di Inggris, dapat membantu menguruskan badan! Kok bisa? Katanya, karena permainan Pokemon Go akan membawa penggunanya bergerak mencari pokemon ke luar ruangan…dan pada sisi ekstrem seperti Santi, termasuk berburu di dalam ruang ibadah!

Jawaban Santi yang terasa menggemaskan membuatku berefleksi. Ibadah sejatinya membangun hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi, kalau Tuhannya kita cuekin apakah Tuhan tidak tersinggung? 

Contoh sederhananya begini. Ketika kita ngobrol dengan teman dan dicuekin, bukankah kita akan menegur si teman agar menghargai kita, lawan bicaranya? Kalau teman yang terlihat saja tidak kita hargai, bagaimana mau fokus mendengar pesan Tuhan yang kita tidak lihat? Akan lebih menarik melihat gim bukan? 

Kemelekatan yang dalam terhadap sesuatu membuat seseorang susah untuk melepaskan diri. Fokusnya hanya kepada satu hal yang dia sukai. Hal-hal lain di sekitarnya tak lagi menarik minatnya, bahkan cenderung akan diabaikan. Santi yang awalnya hanya iseng bermain Pokemon ketika senggang, lama-lama jam ibadahnya pun terpakai untuk berburu monster-monster virtual dalam layar ponselnya. Responsnya yang berkata dia bisa fokus mendengar khotbah sembari bermain gim mungkin juga jadi sikap hati kita pada hal-hal yang kita lekatkan dalam hati. Mungkin bukan tentang gim, tapi tentang ambisi kita mengejar prestasi, terbuai hubungan romantis, dan sebagainya. 

Kembali pada cerita Santi, apakah benar dia bisa fokus ibadah sementara pikiran dan tangannya sibuk dengan permainan yang seru? 

Jawabannya kutemukan belakangan. Beberapa bulan ini, Santi merasakan kepalanya sering pusing dan bola matanya terasa menusuk-nusuk saat bangun tidur. Ia bahkan sempat masuk rumah sakit selama beberapa hari karena pusingnya itu, namun dokter mengatakan kondisi fisiknya baik-baik saja. Meski sudah diingatkan oleh teman dekatnya pusing itu pengaruh terlalu banyak memelototi layar gawai, Santi tak jua menghentikan kebiasaannya. Memang tidak mudah untuk menghentikan satu kebiasaan yang telah melekat dalam sekejap tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja diperlukan usaha keras yang harus datang dari dalam diri.

Mungkin saat ini Santi belum sepenuhnya memahami bahwa kesukaannya dengan permainan akan memberi dampak buruk buatnya di kemudian hari. Bila kamu atau temanmu mengalami keadaan serupa dengan Santi, ada empat hal yang bisa menolongmu untuk lepas dari kemelekatan:

1. Berani berkata TIDAK. Jika sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan, jangan coba-coba untuk mendekatinya meskipun rasa penasaran memuncak. Kenali kelemahan diri kita karena godaan itu akan selalu berulang di situ.

Keberanian dan konsistensi untuk berkata tidak sangat erat kaitannya dengan pengendalian diri. Pada praktiknya, menolak sesuatu tidak selalu mudah karena natur kita yang berdosa membuat kita lebih mudah tertarik oleh dosa. Oleh karenanya, kita butuh sesuatu yang ilahi, yang lebih kuat untuk mematahkan kedagingan kita. Kita dapat meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengaruniakan kita salah satu buah Roh, yakni pengendalian diri sebagai senjata untuk menahan langkah kita tidak terjatuh pada kubangan dosa.

2. Bangun kebiasaan yang sehat. Bergabunglah dengan komunitas yang di dalamnya kamu dapat bertumbuh secara rohani.

Addiction kita terhadap sesuatu muncul karena kita merasa itulah satu-satunya cara yang bisa membuat kita merasa puas. Pikiran kita pun menjadi sempit dan tertutup dari hal-hal lain yang bisa memberikan kepuasan atau manfaat lebih buat kita.

Kehadiran komunitas yang mendukung kita untuk menikmati hal yang lebih baik seperti persekutuan dan kebersamaan tentu akan menolong kita. Dan, apabila kita memiliki satu kawan yang bisa kita percayai, kita akan lebih leluasa berbagi proses jatuh bangun kita untuk didoakan bersama-sama.

3. Batasi waktu untuk berinteraksi dengan apapun itu yang akan membuatmu lupa dengan hal lain. Paulus pernah berpesan dalam 1 Korintus 6:12 bahwa “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Sebuah permainan diciptakan untuk membantu merangsang imajinasi, daya ingat, melatih gerak motorik, juga sarana refreshing bagi penggunanya. Namun, jika penggunaannya sudah tidak terkontrol sehingga menjadikan penggunanya melekat, akan berdampak ke kesehatan mental yang dikategorikan sebagai gangguan perilaku. 

Saat kita asyik menikmati gim atau apa pun yang membuat kita merasa sangat hidup, hendaklah kita selalu ingat untuk tidak menjadikan itu satu-satunya cara kita meraih kepuasan.

Olive Bendon senang bercerita dan mengurai kegelisahannya lewat tulisan. Mampirlah ke www.obendon.com untuk membaca ceritanya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kering, Namun Perlahan Disuburkan Kembali

Oleh Jesica Rundupadang, Toraja

Menjelang Natal tahun kemarin, aku ditunjuk menjadi salah satu tim kerja di persekutuan pemuda di gereja. Namun, pada saat yang sama aku kurang melibatkan diri dalam pelayanan, rasanya seperti ada sekat karena sebuah masalah yang pernah terjadi. Semakin hari aku semakin menjauh dari gereja. Saat diminta hadir dalam sebuah pertemuan atau ibadah, aku selalu mangkir dengan banyak alasan. Hal ini terjadi selama beberapa bulan dan tanpa kusadari mempengaruhi juga kehidupan rohaniku. Aku jadi jarang berdoa, atau hanya seperlunya saja. 

Hingga tibalah saat menjelang Paskah. Aku kembali diberi tanggung jawab. Aku mengatur siapa-siapa saja yang akan menjadi petugas ibadah. Ingin rasanya kutolak, tapi karena satu dan lain hal aku tidak bisa. Jadi, kuhubungi teman-teman yang kurasa bisa ambil bagian (liturgis, pemain musik, kantoria, dsb) di ibadah Paskah nanti. Ketika aku mulai mengajak teman-temanku, rupanya di sinilah Tuhan menegurku. 

“Sebenernya kan kalian bisa latihan tanpa saya. Lagipula kalian yang ambil bagian, masalah liturgi sudah beres. Jadi, untuk apa saya datang?” kalimat ini kuucapkan setelah dua hari para pelayan berlatih. 

“Cika,” jawab Chinjo, salah satu dari pelayan ibadah. “Tidak begitu. Ini tugasmu untuk terus pantau kami yang latihan. Ini seperti tugas Kak Ci di tahun-tahun yang lalu. Bukan sekadar mengingatkan, tapi kalau ada yang miss bisa diperhatikan. Jadi bukan karena liturginya beres, kamu menghilang. Btw, bisakah tiap latihan kita mulai dengan doa?” Teguran ini disampaikan Chinjo dengan muka bercanda, tetapi dia serius dengan pesannya.

Terus terang saja aku pun bergumul tentang doa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat jarang berdoa belakangan ini. Hari-hariku tak kuawali dan kuakhiri dengan doa. Aku terus berjalan dengan menganggap remeh doa itu, karena pikirku “aku doa dan tidak doa pun, Tuhan tetap kok nggak bakalan jawab doa sesuai keinginanku bahkan malah aku seperti ini karena Tuhan sendiri.”

Jika Paskah di gereja kemarin sempat ditegur dengan doa. Kembali lagi, saat akan dirayakan Paskah tingkat Klasis, yang kebetulan pemuda jemaat kami yang mengambil bagian lagi, beda lagi tegurannya. Di sini kami selalu pergi ke jemaat lain untuk latihan. Hari ganti hari kami semakin saling terbuka, apalagi setiba di lokasi di mana kami menginap serumah. Aku merasa terharu, ketika saat itu salah satu temanku memanggil “Cika, ayo saat teduh”. Hal yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut orang yang sama sekali juga tidak kusangka-sangka. Dia adalah temanku, yang dulunya bahkan menyepelekan kegiatan ibadah pemuda. Lalu kenapa Tuhan memakainya menegurku? Ada pertanyaan yang menggelitik pikiranku, “Tuhan, kok Engkau pakai orang ini?”

Kehadiran teman-temanku rupaya menjadi cara Tuhan untuk menegurku. Ketika aku mulai tidak peduli dengan kehidupan spiritualitasku seperti sebelumnya, Tuhan menegurku melalui mereka. Ketika aku tidak peduli dengan kondisi di sekitarku, Tuhan tetap memakai temanku untuk mengingatkanku pentingnya saling berbagi, sharing.

Ada begitu banyak cara Tuhan untuk membawa anaknya kembali dalam dekapannya. Pengalamanku ini salah satunya. Bagaimana aku yang jadi malas berdoa atau berdoa seperlunya saja, tidak lagi ikut komunitas, dan berhenti saat teduh, bisa ditegur perlahan melalui orang di persekutuan gerejaku. Jujur saja, menyepelekan hal seperti ini kadang mengganggu perasaanku. Selalu ada kata, “Kapan aku bisa kembali seperti dulu? Kapan aku mau kembali lagi?” Tapi seketika itu pun kadang kujawab “Ah bisalah nanti, bisalah besok, kapan-kapan aja”.

Tapi, sejak aku dapat teguran dari kedua temanku itu aku kembali berpikir. “Kamu diberi waktu 24 jam. Ini 24 jam lho. Terbuangkah waktumu percuma hanya untuk bicara sama Tuhanmu? Tuhan bahkan tidak meminta kamu harus tiap bangun doa paling kurang sejam. Tuhan hanya mau mendengar doamu secara langsung lebih intim. 

Kusadari bahwa ketika aku meremehkan hubunganku dengan Tuhan, aku akan tiba pada satu titik di mana aku merasa hampa meskipun semua yang kita butuhkan tersedia. Bisa saja, mungkin ada di antara kita yang saat ini merasa kering dan tidak diperhatikan Tuhan. Bisa saja, kita juga mulai surut untuk mengikuti kegiatan rohani di gereja. Namun, satu hal yang dapat kupercaya yaitu Tuhan mampu. Tuhan punya kuasa untuk menarik kita kembali bahkan melalui orang-orang yang tidak kita sangka.

Sejenak aku berpikir, “Kok Tuhan tidak marah? Kenapa malah semakin membuatku untuk mendekat?” Jawabannya baru kudapatkan saat ibadah bersama rekan-rekan di tempat kerjaku. 

Jawabannya, Tuhan adalah kasih. Seberapa jauh pun kita melangkah menghindari hadirat Tuhan, kasih-Nya tetap besar. Tuhan masih ingin kita menikmati waktu bersama-Nya. Akan ada suatu waktu, Tuhan membuatmu tertegur, tertegun, dan terbentuk. Kita bisa menikmati hadirat Tuhan salah satunya dengan persekutuan. Tak sedikit ada bentrokan dalam persekutuan, namun bukan artinya kita meninggalkan. Tetap taat hingga kita semua berbuah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu