Posts

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).

Perjumpaan yang Singkat Itu Mengingatkan Tugasku yang Belum Selesai

Oleh Syahniati Berutu

Hari ini, aku beribadah dengan adikku. Sepulang ibadah, kita memilih pulang berjalan kaki. Padahal, kami biasanya naik kendaraan umum, tapi hari ini entah apa yg membuat kami memutuskan jalan kaki.

Di perjalanan pulang, kami bertemu seorang nenek yang sedang kebingungan. Nenek itu memanggil kami dan bertanya, “Dek, kalian tahu di mana gereja GKII di sini?” Tapi, aku dan adikku tidak tahu letak gereja yang sedang dicari si nenek itu. Kami pun berusaha mencari tahu. Kita coba lihat dari Google Map. Tapi, tetap saja tidak ketemu tempatnya. Karena kata nenek itu, tempat itu masih baru, dan itu gedung yang disewa, jadi agak sulit untuk dicari. Sekitar setengah jam kita mencoba berjalan sambil bertanya ke orang-orang sekitar. Tapi, tetap saja tak kunjung ketemu. Aku dan adikku berusaha bertanya sama sang nenek, tempat apa dekat gereja yang nenek itu ingat. Tapi, nenek hanya ingat kalau di situ tempatnya banyak jualan, sehingga sangat sulit untuk kita bisa menemukan tempat yang dimaksud.

Singkat cerita, kita sudah mencoba berjalan lagi untuk mencari, tapi tidak ketemu. Nenek pun akhirnya berkata kepada kami, “Makasih ya, dek, kalian pulang aja. Nenek jalani aja lagi, siapa tau nanti ketemu. Kalau pun tidak ketemu, nanti nenek pulang aja. Walau sia-sialah kalau hari ini tidak jadi ibadah.” Tapi, aku dan adikku tidak mau balik. Kita tidak mau membiarkan si nenek mencari lagi sendirian. Aku pun bertanya ke nenek, apakah bersedia gereja di tempat lain hari ini. Kalau nenek mau, biar kita ke gereja yang terdekat dari sini, kataku. Nenek mau, tapi sedikit ragu, karena takut tidak ada yang dikenal dan bingung. Aku dan adikku memutuskan untuk menemani si nenek beribadah lagi, kalau kita tidak menemukan tempatnya yang memang dituju nenek.

Singkat cerita, kita berjalan ke arah gereja tempat kami beribadah tadi. Dalam hati, aku cuma berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, Engkau lihat kerinduan nenek ini. Engkau lihat imannya. Izinkan kami menemukan tempat yang nenek itu maksud.” Perjalanan kita saat itu lumayan jauh. Kita jalan, karena nenek tidak mau naik kendaraan umum, takut nanti tidak bisa memperhatikan gereja yang masih kita cari. Aku yang masih muda saja merasakan lelah. Tapi, aku bisa melihat nenek masih berharap menemukan tempat itu. Dalam hati, aku hanya terus berdoa, “Tuhan, lihat Iman nenek ini.”

Dan akhirnya, puji Tuhan, kita menemukan tempat yang nenek itu cari. Dan puji Tuhannya lagi, nenek itu belum terlambat. Setelah kita berpisah, aku meneteskan air mata. Bahagia, karena aku merasakan kebaikan Tuhan saat itu menolong kita. “Sungguh baik Engkau, Tuhan,” kataku dalam hati. Engkau melihat hati dari setiap anak-anak-Mu. Engkau melihat kerinduan nenek ini.

Perjumpaan yang singkat itu mengingatkanku beberapa hal hari ini:

1. Hati yang penuh kasih

Memiliki hati yang penuh kasih, yaitu hati yang tulus dan ikhlas untuk terus menabur kasih. Hati yang mau menolong dan mengasihi orang-orang. Mengulurkan tangan bagi mereka-mereka yang ada di sekeliling kita. Yohanes 15:12, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

2. Percaya sama Tuhan

Dalam hidup, kita sering berada di titik ketidakpastian. Tapi, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Percaya saja pada-Nya. Dia menuntun dan menyertai kita. Yesaya 41:10, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

3. Melayani dengan sungguh

Pelayanan tidak melulu harus dalam hal-hal besar. Tapi, hari ini aku diingatkan kembali, kalau hal kecil itu juga adalah bagian dari melayani. Tuhan kadang mengirim orang-orang ke sekeliling kita untuk kita layani. Jangan mengabaikannya.

Seperti nenek yang usianya sudah menua, dengan ingatan yang sudah berkurang, tapi masih punya kerinduan untuk datang beribadah. Walau pergi sendiri, dia tidak takut dan tidak merasa lelah. Semoga kita juga sampai masa tua setia mengikut Tuhan. Tugas kita belum selesai, sampai kita berakhir dari dunia ini. Teladan hidup yang Tuhan berikan saat Dia ada di dunia, kiranya menolong kita untuk melangkah, hari lepas hari. Hiduplah penuh dengan arti, menjalani hari dengan penuh sukacita dan penuh ucapan syukur. Jangan takut, Tuhan menyertai dan menuntun kita.

Tersesat di Antara Dua Dunia

Jika percaya Yesus tidak membuat hidupmu lebih baik sesuai dengan harapanmu… apakah itu artinya kamu tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kamu berusaha raih?

Allah menantimu untuk menerima-Nya, kerajaan-Nya. Namun, jika kamu hanya mencari apa keinginan hatimu, sulitlah bagimu untuk melihat berkat mulia yang menantimu.

Kerajaan Allah tidak sebanding dengan apa yang dunia tawarkan—sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang ada pada kita sekarang. Kebebasan dan kepunyaan kita di dunia adalah sementara dan tidak sempurna.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Jangan Berikan yang Minimal Pada Apa yang Bisa Kita Kerjakan dengan Maksimal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pernah mendengar istilah ‘mental minimal’?

Istilah ini kubuat untuk sikap hati yang menerima segala sesuatu dengan ala kadarnya, tanpa niatan hati untuk berjuang lebih baik. Contoh sederhana yang mungkin sering kita jumpai adalah aku sering mendapati para orang tua yang melihat anaknya mendapatkan nilai jelek di sekolah merespons begini, “yang penting dia naik kelas deh..” Tentu tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, tetapi proses yang terjadi di baliknyalah yang perlu kita telaah.

Dalam hidup ini kita memang harus mensyukuri apa saja yang kita miliki dan apa pun yang sudah kita capai. Tetapi, bersyukur atas pencapaian kita sama sekali bukanlah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Jika kita bisa mendapat nilai 1000 mengapa kita membuang kesempatan itu? Mengapa berpuas dengan nilai 600 lalu berupaya membenarkan kemalasan dan ketidakseriusan yang kita pupuk? Hal ini jugalah yang terjadi pada orang-orang Kristen dan kehidupan penyembahannya.

Sebagai pijakan awal, aku ingin menegaskan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi. Beberapa dari kita mungkin sudah terbiasa dengan pembagian “lagu pujian” dan “lagu penyembahan”, lalu mematenkan definisi sempit yang bisa saja menyesatkan kita. Menyanyikan lagu rohani di altar gereja hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyembahan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk membahas asal usul kata ini dalam bahasa kita dan bahasa asli Alkitab. Tetapi, dalam prinsip sederhananya, menyembah adalah memberikan segala yang terbaik yang ada pada kita untuk Allah dengan sukacita dan penuh rasa hormat untuk kemuliaan-Nya. Itu berarti kita dapat menyembah lewat cara lain selain menyanyi dan bahkan saat kita berada di sebuah tempat selain gereja. Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang penyembahan yang tidak dibatasi oleh tempat, yaitu penyembahan dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

Dari situ kita dapat melihat sebuah keindahan dan kemerdekaan yang ditawarkan dalam penyembahan kita. Tetapi, keindahan dan kemerdekaan semacam inilah yang sangat mudah diselewengkan.

Kita memang bisa menyembah Allah dengan banyak cara selain menyanyi. Kita bisa menyembah-Nya dengan cara berkhotbah, menginjili, dan mengajar anak sekolah minggu. Bahkan kita bisa menyembah dengan hal yang terlihat tidak rohani bagi sebagian orang, seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman, dan mencari nafkah. Sekali lagi, jika kita melakukan semuanya itu sebagai pemberian terbaik kita untuk hormat kemulian Allah, maka itu adalah penyembahan. Tetapi, berhati-hatilah dengan apa yang kita sebut sebagai pekerjaan. Kita tentu harus mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dibenarkan oleh Alkitab.

Selain itu, karena sebuah pekerjaan di luar gereja dapat menjadi bentuk penyembahan, bukan berarti kita boleh seenaknya menjauhkan diri dari pertemuan ibadah (Ibrani 10:25). Persekutuan orang percaya adalah keindahan yang tidak selalu bisa kita nikmati. Tengok saja apa yang terjadi di masa pandemi, ketika kita belum dimungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara langsung, begitu banyak orang berteriak frustasi karena merindukan persekutuan. Kita memang bisa menyembah dari rumah kita. Dengan kecanggihan yang kita miliki, kita dapat dengan mudah melihat saudara kita yang sedang berkhotbah di Swiss dari Pulau Siau. Beberapa temanku bahkan mengikuti kelas daring Teologi yang dipimpin oleh seorang doktor dengan hanya mengenakan celana pendek sembari tidur-tiduran di sofanya. Teknologi telah menolong kita, namun jika kita bisa saling bertatap muka dengan jarak 1,5 meter, berjabat tangan, merangkul, dan saling berpelukan, mengapa kita tidak mengambil kesempatan berharga itu?

Memberikan yang minimal padahal kita bisa memberi lebih adalah sebuah penghinaan. Lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukannya untuk Tuhan Yesus, yang telah memberikan segala yang terbaik bagi kita. Dia tidak mengerjakan karya penyelamatan di Golgota dengan setengah-setengah. Bagi kita, Dia mengerjakannya dengan tuntas dan sempurna. Dia memikul apa yang seharusnya terikat di pundak kita, tanpa bersungut-sungut.

Jika kita memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar lakukanlah dengan maksimal, jangan asal lulus, jadilah yang terbaik yang kita bisa, dan untuk hasilnya, biarlah Allah dimuliakan. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah seorang pengkhotbah, setiap kali diberi kesempatan untuk berkhotbah, berilah dirimu waktu untuk mempersiapkan khotbah terbaik, bahkan jika pendengarnya hanya 2 orang anak kecil, biarkan mereka mendengar suara Tuhan dari khotbahmu. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah chef, masaklah masakan terenak.

Jika kita adalah atlet lari, larilah sekencang-kencangnya.

Jika kita adalah pemimpin pujian, berikan suara paling merdu.

Jika kita adalah tukang Bangunan, buatlah rumah paling kokoh.

Jika kita adalah penulis, dunia sedang menunggu tulisan terindahmu.

Kita semua adalah anak-anak Allah. Jadilah maksimal untuk kemuliaan Bapa kita di sorga. Itulah penyembahan kita.

Ketika Hidup Ditilik oleh Firman: Perenunganku tentang Reformasi Gereja

Oleh Jefferson

503 tahun yang lalu, seorang biarawan mengirimkan setumpuk dokumen tebal kepada kepala-kepala gereja di kota Wittenberg, Jerman. Isinya adalah 95 tesis yang ditulis si biarawan untuk mengkritisi penjualan surat penebusan dosa oleh gereja saat itu untuk membiayai pembangunan Basilika Santo Petrus dan Kapel Sistina di Vatikan. Dari peristiwa ini, berkembanglah legenda tentang si biarawan, Martin Luther, yang konon memakukan 95 tesisnya di pintu gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517. Tanggal ini lalu dicatat sejarah sebagai Hari Reformasi Protestan.

Sebagaimana peristiwa aslinya tidak sedramatis legenda yang berkembang di kemudian hari, dampak yang Luther harapkan lewat 95 tesisnya pun tidak seimpresif yang kemudian terjadi. Beliau hanya ingin ajaran-ajaran dan praktik-praktik dalam gereja kembali bersumber pada kebenaran Alkitab; tidak lebih, tidak kurang. Luther tidak pernah menyangka bahwa tindakannya akan dipakai oleh Tuhan sebagai kepingan domino yang memicu Reformasi dan mengembalikan sentralitas Injil dan Alkitab dalam kehidupan iman Kristen.

Di antara banyaknya warisan Reformasi yang mempengaruhi Kekristenan masa kini, aku ingin membagikan perenunganku tentang satu konsep yang menurutku merupakan inti dari Reformasi: Sola Scriptura, “hanya oleh Firman Tuhan”.

Firman Tuhan yang menerangkan tentang Firman Tuhan

Perikop yang menuntunku kepada kesimpulan di atas ditulis oleh Paulus dalam 2 Korintus 4, khususnya ayat 4–6. Pasal ini dibuka dengan pernyataan Paulus bahwa ia beserta dengan rekan-rekannya tidak tawar hati dalam pelayanan mereka memberitakan Injil ke berbagai kota (ay. 1b) meskipun menghadapi rintangan dari berbagai pihak, terutama jemaat Korintus sendiri (pasal 1–3). Mereka menolak Paulus dengan keras dalam kunjungan sebelumnya (2:1) karena menganggap ia kalah pamor dibandingkan dengan mereka “yang menjual firman Allah” (2:17 AYT). Jemaat Korintus bahkan meminta surat rekomendasi sebagai bukti kerasulan Paulus, sebagaimana sering dipamerkan oleh pengajar-pengajar palsu di sana (3:1). Menghadapi rintangan seperti ini, bagaimana Paulus dapat tidak berkecil hati?

Pertama-tama, Paulus dan rekan-rekannya melihat pelayanan mereka sebagai bentuk kasih karunia yang Allah limpahkan kepada mereka (ay. 1a). Oleh karena itulah mereka menolak melakukan berbagai tipu muslihat dan pemalsuan yang dilakukan oleh para penjual Firman. Sebaliknya, mereka menyatakan pesan Injil Kristus secara gamblang dan apa adanya di hadapan Allah (ay. 2), yaitu “Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri [mereka] sebagai hamba [jemaat Korintus] karena kehendak Yesus” (ay. 5). Jika masih ada yang tidak memahami Kabar Baik ini setelah mendengar pemberitaannya, lanjut Paulus, itu karena “ilah dunia ini telah membutakan pikiran mereka yang tidak percaya sehingga mereka tidak dapat melihat terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” (ay. 4 AYT). Paulus mengakhiri dengan tegas, “Karena Allah, yang berfirman, ‘Biarlah terang bercahaya dari kegelapan,’ telah bercahaya dalam hati kita untuk memberi terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (ay. 6 AYT).

Aku pribadi tidak menemukan bagian lain di Alkitab yang menjelaskan Sola Scriptura sejelas perikop ini. Hanya lewat firman Tuhan sajalah kita dapat mengetahui dan mengenali Allah yang sejati yang menyatakan diri-Nya secara nyata dan utuh dalam pribadi Kristus Yesus. Meminjam istilah John Piper, inilah “a peculiar glory” (kemuliaan yang khas) yang dimiliki Injil sebagai inti dari keseluruhan Alkitab (bdk. Luk. 24:26–27): pribadi Allah yang kudus datang ke dalam dunia untuk memulihkan kemuliaan-Nya di dalam seluruh ciptaan yang telah rusak oleh karena dosa dan pemberontakan manusia.

Terang kemuliaan Firman yang menilik hati manusia

Teks-teks di Alkitab menjadi berharga karena Kabar Baik yang terkandung di dalamnya. Pikiran-pikiran yang selama ini dibutakan oleh ilah dunia (2 Kor. 4:4) tidak mampu dicelikkan hanya oleh sekedar untaian kata-kata manusia. Hanya Firman itu sendirilah yang berbicara kepada setiap pribadi di segala abad dan tempat lewat firman-Nya yang tertulis (2 Kor. 4:6; bdk. Yoh. 1:1–16) yang mampu membukakan mata manusia yang berdosa kepada terang kemuliaan Tuhan. Inilah mengapa Paulus tidak tawar hati dalam mengerjakan pelayanannya: ia sendiri telah mengalami perjumpaan dengan sang Firman secara pribadi dan melihat terang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus (Kis. 9:1–18). Paulus tidak lagi hidup di dalam kegelapan dosa, melainkan di bawah tilikan terang Kristus “yang mengasihi[nya] dan telah memberikan diri-Nya untuk[nya]” (Gal. 2:20; bdk. Mzm. 139:23–24).

“Terang kemuliaan Injil Kristus, yang adalah gambaran Allah” jugalah yang dilihat Luther sebagai solusi untuk pergumulan hebat yang dialaminya di bulan-bulan menjelang Oktober 1517. Dalam studinya tentang surat-surat rasul Paulus, Luther menemukan dua kebenaran yang begitu mengusik hatinya: bahwa pada dasarnya ia adalah orang berdosa, dan bahwa kekudusan Allah menuntut kebajikan darinya. Penemuan ini begitu mengusiknya hingga ada satu masa dalam hidup Luther di mana ia membenci Allah karena ketidakadilan-Nya dengan menuntut kebajikan yang mustahil dari manusia berdosa. Konflik internal dan kebenciannya berlangsung selama beberapa waktu sebelum akhirnya lenyap ketika ia membaca Roma 1:17. Setelah merenungkan ayat ini siang dan malam, Luther menulis:

Di [Roma 1:17] aku mulai memahami bahwa kebenaran Allah adalah sesuatu yang dihidupi orang benar oleh karunia Allah, yakni oleh iman. Dan inilah maksudnya: kebenaran Allah dinyatakan oleh Injil, yaitu kebajikan pasif dengan mana Allah yang penuh belas kasihan membenarkan kita oleh iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” Sampai di sini aku merasa sungguh-sungguh dilahirkan dan masuk lewat gerbang yang terbuka lebar ke dalam surga itu sendiri. … Dan aku menaikkan puji syukur kepada Allah dengan kata-kata termanis dan dengan kasih sehebat kebencian yang kumiliki sebelumnya terhadap frasa “kebenaran Allah”.

Perhatikan bahwa Luther mendeskripsikan kebajikan yang Allah tuntut dari kita sebagai sesuatu yang pasif. Apa signifikansinya? Kita tidak menjadi benar di hadapan Allah melalui usaha atau kebaikan kita sendiri, melainkan oleh kasih karunia Allah (Sola Gratia) melalui iman (Sola Fide) semata (Ef. 2:8–9). Kebajikan ini telah Kristus dapatkan untuk kita melalui kematian dan kebangkitan-Nya (Solus Christus; Kis. 4:12) sehingga hal sekecil apa pun kita lakukan hanya untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria; 1 Kor. 10:31). Hanya dari Alkitablah (Sola Scriptura) kita mempelajari semuanya ini.

Kelima Sola memang baru dirumuskan secara konkrit bertahun-tahun setelah Luther dan rekan-rekan Reformator lainnya sudah tiada, namun tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran mereka mengandung kelima intisari ini. Bagi kita yang hidup di abad ke-21, pencapaian tokoh-tokoh Reformasi yang mengguncangkan dunia merupakan sesuatu yang hebat dan kelihatannya berada di luar jangkauan kita. “Mungkinkah Allah bekerja melalui diriku di masa sekarang?” Kita harus mengingat bahwa pada dasarnya Luther dan rekan-rekannya adalah manusia-manusia berdosa yang memberi diri mereka untuk ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya yang tertulis di Alkitab. Di akhir hidupnya, jauh dari keluarga dan dalam kondisi kesakitan, tepat sebelum kembali ke hadirat Allah, Luther mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Kita semua adalah pengemis di hadapan Allah: itulah kebenarannya”

Sudahkah hidupmu ditilik oleh sang Firman?

Kita sudah melihat betapa dahsyat dan berdampak ketika hidup ditilik oleh sang Firman, dan betapa lebih hebat dan berkuasanya lagi sang Firman itu sendiri. Yang perlu kita renungkan setelah mengetahui semuanya ini adalah, “Apakah kita sendiri telah memberi diri untuk ditilik oleh sang Firman lewat firman-Nya yang tertulis?”

Apa itu Alkitab bagimu? Sebuah buku tebal kuno yang membosankan dan sulit dimengerti, yang jauh kalah menarik dibandingkan TikTok dan Netflix dan Mobile Legends, atau firman Allah yang hidup yang “memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16)? Bagi Paulus, Alkitab berisi Injil yang menyatakan “terang pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang ada pada wajah Kristus Yesus” (2 Kor. 4:6 AYT). Bagi Luther, Alkitab menyatakan kebenaran Allah “yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rom. 1:17) dan kasih kemurahan-Nya bagi manusia berdosa. Bagiku, Alkitab memberitahukan siapa Yesus Kristus dan siapa diriku di hadapan-Nya, mengingatkanku akan kasih Tuhan di tengah masa COVID-19, dan menuntunku untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagaimana denganmu? Bagaimanakah hidupmu selama ini telah ditilik oleh sang Firman melalui firman-Nya?

Ketika Firman yang asali berbicara kepada hati manusia lewat firman-Nya yang tertulis dan mengerjakan karya kelahiran baru di dalam orang itu, ia tidak dapat berpaling lagi. Kita yang dulu buta sekarang melihat, dan di dalam terang kemuliaan Kristus kita melihat segala hal yang lain (Mzm. 36:9). Seberapa besar pun usaha kita untuk menyembunyikan aspek-aspek kehidupan kita dari hadapan Tuhan, semuanya itu akan terlihat, entah sekarang atau pada akhirnya di Hari Penghakiman (Luk. 8:17). Baik sekarang maupun nanti, itu adalah pilihan kita. Maukah kamu menyerahkan diri saat ini juga untuk ditilik oleh sang Firman, mati dan bangkit setiap harinya bersama Tuhan Yesus?

Aku berdoa supaya setiap kita benar-benar hidup ditilik oleh sang Firman dan tiada satu iota maupun titik pun yang tidak ditilik dan dikuasai oleh Tuhan Yesus Kristus.

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Catatanku Menjadi Pengurus: 3 Kendala Pelayanan Pemuda di Gerejaku Sulit Berkembang

Oleh Raganata Bramantyo

Jika dilihat dari segi kuantitas, gerejaku tergolong cukup besar. Ada sekitar 400 jemaat aktif yang rajin beribadah setiap minggunya. Tapi, jika dilihat dari kategori usia, golongan pemuda dan remaja jadi yang paling sedikit. Dalam persekutuan pemuda atau remaja yang digelar tiap Sabtu, yang hadir hanya tiga orang: aku, temanku, dan satu temanku lagi yang merangkap menjadi pembicara sekaligus pemain musik.

Kondisi ini berlangsung selama beberapa tahun, sampai suatu ketika seorang temanku mengajakku dan beberapa orang lainnya untuk berdiskusi dan serius berdoa. “Aku sedih sama kondisi pemuda kita, mau gak kita sama-sama bangun pelayanan pemuda remaja di gereja kita? Kalau Tuhan berkehendak, pasti ada jalannya,” dia mengajak kami. Berangkat dari tiga orang, kami mulai serius berdoa, merancangkan strategi, lalu mengonsultasikannya ke pemimpin gereja. Singkat cerita, dalam kurun waktu satu tahun lebih, pelayanan pemuda di gereja kami menelurkan hasil. Juni 2011, untuk pertama kalinya kami kembali menggelar retreat setelah sepuluh tahun lebih tiada acara kebangunan rohani bagi kaum muda. Kami terharu karena Tuhan memberkati pelayanan tersebut. Dari mulanya hanya 3 pemuda yang datang di persekutuan, retreat tersebut dihadiri oleh 70 orang dan menjadi titik awal dari munculnya generasi muda yang setia melayani di gereja.

Retreat tersebut bukanlah akhir dari pelayanan kami. Pun jumlah yang hadir semata-mata adalah berkat dari Tuhan, bukan tolok ukur kesuksesan pelayanan pemuda yang kami lakukan. Aku melihat ada beberapa hal yang mengakibatkan pelayanan kepemudaan di gereja seringkali mandek:

1. Tidak ada teladan dari generasi sebelumnya

Di gerejaku pada masa itu terdapat gap atau jurang umur yang lumayan dalam. Secara garis besar, golongan jemaat di gereja terdiri dari: senior (lansia), dewasa (kaum ibu dan bapak), dewasa muda (kisaran usia 25-30 tahun), pemuda, dan remaja. Waktu itu usiaku dan teman-teman pengurus sekitar 18 dan 19 tahun. Mereka yang berada di golongan pemuda dan dewasa muda kebanyakan telah menghilang dari gerejaku.

Kami tak pernah melihat bagaimana kakak-kakak kami tersebut melayani sesama generasinya, atau melayani generasi kami. Yang sering kami dengar hanyalah jemaat-jemaat dewasa dan senior bertutur nostalgia pelayanan pemuda pada masa mereka, yang tentunya secara konteks sangat berbeda dengan masa kini.

Teladan lintas generasi dalam pelayanan Kristen telah ditunjukkan oleh Paulus ketika dia mempersiapkan Timotius, anak rohaninya untuk melayani. Dalam surat 2 Timotius 2:2, Paulus berkata, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” Sebagai “ayah rohani” atau mentor, Paulus tak cuma membekali Timotius dengan pengetahuan firman Tuhan, tetapi juga membentuknya untuk memiliki visi yang sama, yakni untuk “mengingatkan kamu mengenai jalan-jalanku [Paulus] dalam Kristus, seperti yang aku [Paulus] ajarkan di mana-mana, dalam setiap jemaat” (1 Korintus 4:17).

2. Terlalu fokus pada program atau acara

Setahun membangun pelayanan pemuda, kami mengalami banyak jatuh bangun. Salah satu kendala yang kami hadapi kala itu adalah kami terlalu berfokus memikirkan bagaimana caranya membuat acara yang seru supaya orang lain tertarik hadir. Meski menggagas acara yang fresh dan menarik bisa jadi sarana untuk mengembangkan pelayanan, tapi menjadikan itu sebagai fokus utama tidaklah tepat. Michael Bayne dalam artikelnya yang berjudul “Why Youth Ministry Is Important” mengatakan bahwa pelayanan pemuda adalah tentang pemuridan, bukan sekadar mengumpulkan massa, bukan pula bukan seperti kita sedang berjualan sesuatu supaya laku. Tujuan dari pelayanan tersebut adalah agar para pemuda dibentuk semakin menyerupai Kristus. Pembentukan itu dapat terjadi lewat pujian, pembelajaran firman Allah yang bisa dilakukan dalam kelompok kecil.

Paulus dalam 1 Korintus 3:6 berkata, “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan.” Kami menyadari, tak peduli semeriah dan sehebat apa pun acara yang kami gagas, jika Tuhan tidak berkenan memberi pertumbuhan, maka acara tersebut hanyalah jadi acara senang-senang belaka yang tidak memberikan pertumbuhan rohani kepada setiap yang hadir.

Dalam salah satu sesi doa bersama rekan-rekan pengurus, kami berdoa, mengutarakan pada Tuhan bahwa kami rindu melihat lebih banyak pemuda hadir dan melayani di gereja sebagai generasi penerus. Setelahnya, kami mencoba menggagas strategi dan acara yang lebih sederhana namun dengan persiapan yang matang. Tim musik bersama worship leader berlatih lagu dua kali dalam seminggu, pembicara menyiapkan hati dan pesan firman Tuhan yang hendak dibawakannya dengan sungguh, dan semua pengurus turut berdoa agar acara sederhana yang kami gagas berkenan pada Tuhan, dan Tuhan menjamah hati rekan-rekan yang hadir.

Tuhan pun membuat kami takjub. Pelan-pelan, kehadiran dalam persekutuan yang akhirnya kami gelar setiap dua minggu pun lebih meningkat. Beberapa dari mereka yang hadir kelak memberi diri untuk percaya pada Tuhan, dibaptis, dan setia melayani sampai hari ini.

3. Keretakan dalam tim pengurus yang sengaja dibiarkan

Konflik dan beda pendapat pasti tidak terhindarkan, tapi seharusnya bisa selalu diatasi. Suatu ketika, tim pengurus berbeda pendapat saat rapat. Perbedaan pendapat ini menjadi masalah panjang karena dibicarakan di belakang, yang berakibat saling sensi jika bertemu. Dalam sesi latihan atau rapat setelahnya, ketegangan jadi terasa. Kami tak merasa damai sejahtera.

Pembina kami lalu menggagas acara doa malam, di mana semua pengurus dikumpulkan dan berdoa bersama. Namun sebelumnya, dia rupanya telah mengajak diskusi secara terpisah dua orang yang terlibat konflik tersebut. Dalam sesi doa itu, Tuhan sungguh menegur setiap kami, bahwa cara kami menangani perbedaan pendapat itu salah. Rekan-rekanku yang terlibat konflik menangis dan saling meminta maaf serta berkomitmen untuk tidak membicarakan masalah-masalah ini di belakang.

Dalam bagian terakhir dari kitab Filipi, Paulus menggiring perhatian kita kepada sebuah situasi yang serupa ketika ia memohon dengan sangat pada dua orang wanita, Euodia dan Sintikhe, untuk menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Tidak banyak hal yang diketahui tentang kedua wanita ini. Tetapi dalam Filipi 4:3, Paulus berkata bahwa kedua wanita ini “berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” dan “yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan” bersama-sama dengan teman sekerja Paulus lainnya. Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa kedua wanita ini ada dalam satu pihak, bekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan mengarah ke satu tujuan akhir yang sama—surga.

Ketika kita berada di tengah-tengah konflik, seringkali lebih mudah bagi kita untuk menonjolkan perbedaan. Tetapi, menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Tuhan yang sama, rekan sekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan penduduk surga di masa depan akan membantu kita untuk tidak membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang sepele. Akan menjadi lebih baik bagi kita untuk memfokuskan diri pada hal yang benar-benar penting, yaitu apa yang mempersatukan kita di dalam Kristus.

Setiap pelayanan dan tentunya tiap gereja punya pergumulannya masing-masing, yang untuk mengatasinya tidak semudah hanya dengan memaparkan teori-teori yang ada. Namun, ingatlah bahwa Tuhanlah yang senantiasa memberi pertumbuhan dan bagi Dialah segala pelayanan yang kita lakukan.

Aku percaya, ketika kita berdoa dan berfokus pada-Nya, Tuhan berkenan memberkati pelayanan kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kamu Merasa Pelayananmu di Gereja Tidak “Sukses”?

Kamu mungkin merasa pelayananmu tak ada nilainya, tak pernah dapat pujian. Tapi, mungkin bagi satu atau dua orang yang kamu layani, kamulah rahmat Tuhan bagi mereka.

Apakah Kamu Merasa Pelayananmu di Gereja Tidak “Sukses”?

Oleh Leslie Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Are You “Unsuccessful” In Church?

Kamu aktif melayani di gereja. Kamu hadir setiap Minggu pagi, datang lebih awal untuk menata bangku dan menyiapkan peralatan kebaktian, atau kamu menjemput jemaat-jemaat yang renta dari rumah mereka, lalu mengantarnya hingga mereka duduk di tempat biasa mereka di ruang ibadah.

Atau, pelayanan yang kamu lakukan secara pribadi adalah mendengarkan curhatan para remaja atau menghibur para lansia. Jadi, setiap minggunya sehabis ibadah, kamu mengobrol dengan mereka sembari menyeruput segelas teh. Kamu mendengar keluh kesah mereka, lalu berdoa bersama mereka. Dan, selama bertahun-tahun, mereka selalu datang padamu, satu per satu, untuk mengucap terima kasih dan memberitahumu betapa kamu berarti buat mereka.

Tapi, tak ada seorang pun yang tahu pelayananmu ini. Namamu tidak muncul di daftar ucapan terima kasih di buletin gereja. Ketika gerejamu mengangkat diakon dan pemimpin baru, kamu tidak masuk di antaranya. Ketika gerejamu menyebutkan nama-nama orang yang telah berjasa, namamu tak muncul pula. Sedikit orang menyapamu dengan memanggil namamu. Entahlah, padahal hampir semua orang sebenarnya tahu siapa namamu.

“Nggak apa-apa,” kamu memberitahu dirimu sendiri. “Tuhan tahu. Aku tidak butuh untuk dikenal; adalah baik untuk tetap rendah hati.”

Namun, mungkin tak selamanya kamu kuat. Setiap orang agaknya membutuhkan sekadar tepukan di punggung mereka, entah sekarang atau nanti. Tak dipungkiri, tentu ada masa-masa ketika kamu lelah; kamu merasa seolah dianggap remeh, dan sedikit pujian atau ucapan terima kasih tentu tak akan menyakitimu. Kamu tidak cemburu karena orang lain yang mendapat pujian atau ketenaran (sungguh!), tapi kamu merasa cukup lelah karena melakukan segalanya tanpa ada sedikit pun apresiasi.

Hei, kita semua sebenarnya “sukses” dalam pelayanan kita di gereja (atau juga di pekerjaan kita). Tapi, sepertinya, cara “sukses” itu bukan sesuatu yang kita nikmati.

Alkisah ada seorang pria yang pergi ke pantai untuk mengambil bintang-bintang laut yang terdampar di pasir. Dia lalu melemparkan satu per satu bintang laut itu ke laut. Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana caranya kamu bisa menyelamatkan semua bintang laut ini? Terlalu banyak!” Dia menjawab, “Iya, susah tentunya, tapi aku memberi perbedaan untuk satu bintang laut ini.” Pelajaran umum yang bisa dipetik adalah: kita mungkin tidak mampu menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa menyelamatkan satu orang, pada satu waktu.

Bagus. Tapi, inilah masalahnya: Tahukah kamu nama pria itu?

Kamu tentu tidak tahu. Tidak ada satu orang pun yang tahu. Dia tidak disebutkan di buletin gereja atau dipuji dalam sesi pengumuman di ibadah Minggu. Pendeta di gerejanya bahkan tak tahu namanya. Tapi, bagi setiap bintang laut yang dia lemparkan kembali ke laut, dia adalah juruselamat sejati. Tiap bintang laut itu tentu tahu siapa dia. Siapakah dia? Dialah si Pemungut Bintang Laut!

Dan itulah siapa dirimu. Hanya mereka yang kamu tolong yang mengetahuimu. Seorang perempuan yang kamu hibur ketika hatinya remuk. Seorang pria tua yang kamu tolong menaiki tangga setiap minggu. Bagi mereka, kamu adalah dunianya, karena kamulah satu-satunya yang peduli. Orang banyak mungkin tak tahu namamu, tapi mereka tahu. Kamulah “pemungut bintang laut” bagi mereka.

“Tapi, aku cuma menolong lima orang saja,” katamu. Mungkin itulah yang membuatmu berpikir kenapa sedikit orang di gereja yang menyadari pelayananmu. Tetapi, tak peduli lima orang—dua, atau satu—orang yang kamu layani, kamu adalah rahmat dari Tuhan. Di malam hari mungkin mereka mengucap syukur pada Tuhan atas kehadiranmu dalam hidup mereka. Mengapa? Karena kamulah ‘pemungut bintang laut’nya Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Cukup lama Liverpool puasa gelar dan tak selalu aku menggemarinya. Padahal, aku mencap diriku sebagai fans Liverpool. Aku pun terpikir, bagaimana dengan mengikut Kristus? Apakah aku sekadar penggemar atau pengikut-Nya sejati?

Setelah Covid-19 Berakhir, Seperti Apa Gereja Kita Nanti?

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Buku The Trellis and The Vine baru-baru ini mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi.

Aku meringkasnya di bawah ini:

Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan.

Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi—tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apa pun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul.

Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan?

Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up?

Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat pria yang dewasa secara iman, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi.

Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid.

Ini pertanyaan yang menarik: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?

Kita memang berharap bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berlangsung sampai 18 bulan. Tetapi pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok kecil dengan Firman dan doa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid—mereka mengajar orang membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya—bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan Firman dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?

Aku percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Buku The Trellis and The Vine menggunakan perumpamaan pohon anggur dan terali untuk menggambarkan pekerjaan sesungguhnya dari gereja dan terali pendukungnya. Buku itu mengkritisi gereja karena membangun terlalu banyak terali pendukung sehingga tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur. Pekerjaan anggur bisa dengan sederhana dijelaskan sebagai pekerjaan dalam empat tahapan dengan tujuan masing-masing:

  • “mengajak orang”
  • “memberitakan Injil”
  • “mempertumbuhkan”
  • “memperlengkapi”

Di setiap tahap, kita melakukannya dengan Firman dan doa untuk mencapai tujuannya. Itulah pekerjaan anggur. Sementara itu, kalau program adalah terali, maka kita perlu mengevaluasi seluruh program yang dilakukan di gereja kita dengan dua cara:

Pertama, program apa yang menunjang untuk kita mengajak orang? Untuk kita memberitakan Injil? Untuk kita mempertumbuhkan? Untuk kita memperlengkapi? Tidak perlu banyak program untuk setiap tujuan itu. Program adalah terali penunjang yang jelas dibutuhkan tapi yang penting adalah pekerjaan anggurnya berjalan.

Kedua, seberapa efektif program itu untuk tujuan itu? Berikan skala 1-5. Kita sering berpikir program ini bagus, program itu ada gunanya, yang ini penting, kalau tidak ada yang itu nanti bagaimana, dst. Kita akan dengan cepat berargumen bahwa ini “program mengajak orang baru lho” atau ini “program doa kok.. pasti doa penting kan” atau yang lainnya. Tapi mari jujur mengevaluasi bahwa banyak program yang—walaupun bisa disebutkan gunanya—sebetulnya efektivitasnya rendah untuk tujuan itu. Kita hanya perlu mempertahankan program yang sangat efektif.

Tenaga, waktu, dan perhatian kita terbatas. Ada orang beranggapan bahwa lebih banyak program lebih baik. Kalau kurang hamba Tuhan ya dicari lagi. Kalau kurang pelayan ya dicari lagi dari jemaat. Tapi sebagai organisasi, ini bukan masalah kurang orang tapi masalah fokus. Semakin banyak hal yang dilakukan oleh sebuah organisasi, semakin dia tidak bisa fokus mengerjakan yang terpenting yang seharusnya dilakukan. Yang celaka, jemaat pun tidak bisa digerakkan sepenuhnya menuju ke arah tertentu karena terlalu banyak arah.

Sekali lagi kita berharap pandemi Covid-19 ini berakhir sebelum 18 bulan. Kondisi kita juga tidak persis sama seperti pandemi yang dibayangkan oleh buku itu. Tapi aku yakin kita perlu menggumuli jawaban atas pertanyaan yang menggelitik ini: Setelah Covid-19 berakhir, apa yang akan kita ubah? Seperti apa gereja kita nanti? Kalau gereja kita tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur, lalu nanti setelah Covid-19 tetap tidak ada yang berubah dan semua berjalan kembali persis seperti dulu, pasti ada yang salah.

Mari kita gelisah. Mari coba berpikir dan mau berubah. Perubahan pastilah tidak nyaman dan banyak orang yang akan menentang. Tapi kalau kita betul mengerjakan yang terpenting yang harus dilakukan—dengan tenaga, waktu dan perhatian yang terfokus, kita berada pada jalur yang tepat.

Ketidaknyamanan perubahan mungkin akan membuat sebagian orang meninggalkan kita (mungkin jumlah jemaat akan berkurang?), tetapi yang paling penting adalah kita mengerjakan tugas sesungguhnya dari gereja dengan setia. Tuhan pasti memberkati.

Baca Juga:

Belajar Menantikan Allah

Sebanyak 43 kali dalam Perjanjian lama, orang diperintahkan, “Nantikanlah. Nantikanlah Tuhan.” Lalu pertanyaannya, mengapa Allah membuat kita menunggu? Jika Dia dapat melakukan sesuatu, mengapa Dia tidak memberikan kelegaan dan jawaban sekarang?

Arti Sesungguhnya Mengasihi Seseorang

Hari ke-2 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:9-11

1:9 Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian,

1:10 sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus,

1:11 penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.

Beberapa waktu lalu, seorang temanku mengirimiku chat yang panjang, ia sedang merasa frustrasi. Aku tidak nyaman dengan konflik—terutama ketika kondisinya tidak melibatkanku. Maka meskipun aku tahu aku harus menolong temanku itu, aku tidak tahu bagaimana caranya.

Suamiku mendorongku untuk meneleponnya, namun aku tidak menyukai pembicaraan melalui telepon. Aku tergoda untuk membiarkan perasaanku mengalahkan kepedulianku terhadap temanku, dan mengabaikannya begitu saja.

Namun, jika aku benar-benar mengasihi saudariku dalam Kristus, aku seharusnya memilih untuk berada di sampingnya. Aku pun memberanikan diri untuk meneleponnya, ternyata itu berdampak positif bagi kami berdua.

Menyatakan kasih dalam puji-pujian di hari Minggu atau melalui hashtag di Instagram memang mudah. Tetapi, cara tersebut bisa menjadi cara yang dangkal jika tidak disertai dengan tindakan nyata dari kasih tersebut. Terkadang kita memiliki niat yang baik, tapi kita tidak tahu bagaimana cara menyatakannya itu melalui tindakan.

Untungnya, Paulus meneladankan aplikasi praktis dari kasih ini. Dalam suratnya, ia mengekspresikan rasa syukurnya atas jemaat Filipi, dan menjelaskan bagaimana ia seringkali berdoa untuk mereka. Paulus membagikan detail doanya dalam ayat 9-11.

Dua frasa yang sangat menonjol bagiku adalah “pengetahuan” dan “segala macam pengertian”. Kata pengetahuan yang digunakan disini bukan hanya sekadar kumpulan fakta-fakta. Bahasa Yunaninya, “epignosis”, memiliki arti jenis pengetahuan yang berdampak pada pikiran dan hati, yang menuntun pada aplikasi yang personal dan relasional. Paulus menggunakan kata ini setiap kali ia mendorong para pembacanya untuk mengetahui/mengenal Tuhan (Efesus 1:17; Kolose 1:9-10; Filemon 6).

Istilah yang kedua, segala macam pengertian, dapat diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan. Itu adalah kemampuan untuk melihat hal-hal yang benar-benar penting, dan mengetahui hal terbaik untuk dilakukan di setiap situasi.

Paulus mengatakan bahwa seiring kita mengenal Allah dengan lebih baik, kasih kita pada-Nya dan orang-orang lain akan semakin mendalam dengan sendirinya dan terwujudnyatakan dalam kehidupan. Kasih tersebut adalah kasih yang tanggap, dan sangat penting bagi perjalanan spiritual kita, hingga Paulus juga menyinggung perlunya bertumbuh dalam kasih ini dalam surat-suratnya yang lain (1 Tesalonika 3:12).

Kasih yang bijak tidak berhenti dalam pikiran. Kasih itu akan membentuk sikap dan perilaku kita. Kecenderungan alamiku adalah menjauh dari situasi yang sulit. Namun pengetahuanku akan perintah Kristus untuk mengasihi sebagaimana Ia mengasihi kita—dan mengetahui dengan jelas apa yang akan Kristus lakukan di dalam situasi tersebut—meyakinkanku untuk menelepon temanku.

Ketika kita mampu mengenali apa yang benar, kita akan mampu membuat keputusan yang “kudus dan tidak bercacat” yang sejalan dengan firman Tuhan dan sifat-Nya. Hidup seperti inilah yang akan menghasilkan buah-buah yang baik dan memuliakan Tuhan.

Aku lega karena mengetahui kitab Filipi menunjukkan pada kita bahwa ada cara untuk menumbuhkan kasih. Jika tidak, aku hanya akan mengandalkan pemahamanku sendiri tentang cara mengasihi—pemahaman yang aku tahu tidak cukup baik. Sebagai permulaan, kita dapat membudayakan kasih seperti yang Paulus tuliskan—kasih yang dibentuk melalui pengetahuan dan segala macam pengertian—dengan cara membaca dan merenungkan firman Tuhan, mengambil waktu untuk berdoa, belajar dari para mentor dan pemimpin, dan dengan menjadi pendengar dan pemerhati yang lebih baik bagi orang-orang di sekitar kita.

Mari izinkan diri kita untuk mengambil langkah untuk menumbuhkan kasih yang bijaksana. Mari kita berkomitmen untuk mengenal Tuhan lebih lagi, dan mengizinkan-Nya untuk mengubah kasih kita menjadi kasih yang tidak mudah digoyahkan oleh keadaan ataupun perasaan. Mari kita bertumbuh hari demi hari, bagi kemuliaan Allah.—Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikirkan sesorang yang kamu kenal yang bijak dan penuh kasih. Pernahkah kamu mendapat nasihat yang didasari oleh “kasih” dan “pengetahuan”?

2. Hal-hal apa yang biasanya kamu doakan? Apakah kamu berdoa untuk nilai, kondisi finansial, dan relasi yang baik—atau kamu berdoa agar bertumbuh dalam kasih, kearifan, dan sifat-sifat yang benar?

3. Bagaimana doa Paulus dalam surat ini menantang caramu melihat hal yang penting dalam hidupmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain menyuikai coklat, kue-kue, dan cerita-cerita luar biasa dari orang biasa. Charmain juga menyukai kejutan-kejutan kecil namun berarti yang Tuhan berikan untuknya setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi