Seiman Sih, Tapi…
Sebuah cerpen oleh Meili Ainun
Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…
Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.
“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.
“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”
Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.
Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”
Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.
“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”
Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”
Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”
Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.
***
Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.
Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.
Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.
Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.
“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?
Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”
Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”
Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?
Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.
Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.
“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”
Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?
“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.
Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?
Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?
Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.
Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?
Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?
Tetapi…
Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.
TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).
Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).
Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.
Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?
Apakah iman kami sudah seimbang?
Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?
Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?
Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.
Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.
Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.
Aini menekan tombol kirim.
Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.