Posts

Ritual: Bukan Cuma Tentang Praktik, tapi Juga Perspektif

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Teruntuk kita yang sering merasa iman saja sudah cukup, dan bagi mereka yang sering melontarkan kalimat seperti, “Ga perlu lah melakukan ritual dan sakramen gereja, karena Tuhan kan Mahatahu dan mengerti hati kita.” Ritual memang terdengar kuno dan terkesan tidak penting. Namun, apakah se-irelevan itu adanya konsep “ritual” di zaman ini? 

Bicara agama tidak bisa terlepas dari ritual. Jika kita menelisik kembali sejarah kekristenan, pada abad 16 terjadi peristiwa besar yang kita kenal sebagai Reformasi Protestan. Salah satu alasan lahirnya reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther adalah karena dia menentang praktik penjualan surat indulgensi. Umat kala itu dapat membeli koin-koin yang dipercaya dapat mengurangi waktu mereka di dalam masa-masa api penyucian atau purgatorium agar bisa cepat masuk ke surga. Seiring berlalunya waktu, reformasi Protestan pun menghasilkan dinamika baru dalam wajah kekristenan di dunia dengan pemahaman-pemahaman akan ritual yang dilandaskan pada Alkitab. 

Nah, kembali pada premis di paragraf pertama: Jadi, apakah ritual itu penting? Tidak kalah sering orang Kristen Protestan dijuluki sebagai agama yang kurang menerapkan ritual-ritualnya. Beberapa pandangan ekstrem malah menggunakan alasan para reformator untuk meremehkan semua ritual kekristenan. Katanya, “Keselamatan manusia tidak bergantung pada perbuatan atau ritual yang dilakukannya.” Pernyataan ini perlu kita cerna dengan cermat dan rendah hati. Ritual atau sakramen dalam kekristenan itu penting. James K.A. Smith, seorang filsuf dan teolog, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbentuk dari ritual-ritual yang dilakukannya. Setiap pagi, asal melek buka HP saja bisa menjadi sebuah ritual! Oleh sebab itu, ritual yang salah juga dapat merusak diri kita. 

Lalu, mengapa “ritual” itu penting? 

Pertama-tama, Smith menjabarkan konsep ritual itu sendiri dengan ritual dalam kehidupan keseharian kita. Anggap saja, kita ingin menjadi seorang pianis yang handal lalu kita latihan setiap hari. Entah kita latihan dengan hati terpaksa karena disuruh orang tua atau sepenuh hati, latihan demi latihan sedikit banyak akan membentuk keahlian kita dalam bermain piano. Seperti kata pepatah, “practice makes perfect.” Sama halnya dalam kehidupan spiritual kita, ritual (atau latihan) kerohanian yang kita lakukan pada akhirnya akan membentuk dan mengubahkan hati kita, secara sadar atau tidak sadar. Ritual kerohanian itu penting untuk melatih tubuh kita. Tuhan menciptakan manusia dengan wujud atau bentuk, di mana tubuh ini adalah wujudnya. Dengan adanya ritual konkrit (concrete practices) yang dialami oleh indera kita, tubuh ini menjadi media perantara ritual untuk menggerakkan hati atau pikiran kita. Seperti saat kita melakukan perjamuan kudus, saat kita makan roti dan minum anggur, seluruh indera dari fisik tubuh kita merasakan (memegang) langsung wujud ritual tersebut. Ini adalah ritual yang mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang menyerahkan diri-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Saat beberapa gereja mempraktikkan berlutut saat berdoa, secara tidak sadar ritual postur berlutut ini memberikan sinyal pada hati kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Banyak ritual-ritual kecil yang dilakukan setiap minggunya di gereja, yang secara tidak sadar, mengajarkan dan mengubahkan hati dan pikiran kita secara perlahan. Oleh sebab itu, perspektifnya harus dibalik. Harus dipahami bahwa Tuhan menetapkan adanya ritual kerohanian dikarenakan itu penting untuk kita, untuk melatih tubuh kita dan mengubah pikiran kita, bukan untuk diri-Nya.

Poin kedua. Letak perbedaan yang menjadikan ritual kerohanian orang Kristen itu penting ada pada penyertaan Roh Kudus. Ritual kerohanian kita disertai oleh kehadiran Roh Kudus. Craig Dykstra menggunakan istilah habitation of the Spirit”, di mana praktik yang konkrit (ritual/sakramen) ini menjadi saluran atau media kuasa Roh Kudus untuk mengulik dan mengubahkan kita. Seperti yang beberapa kali kusebutkan di poin sebelumnya, “secara tidak sadar” memang seringkali kita tidak lagi memaknai arti dari setiap ritual ini, namun bukan berarti Roh Kudus tidak bekerja. Adanya kehadiran kuasa Roh Kudus yang unik untuk momen ritual kerohanian yang dilakukan oleh orang percaya. 

Ada kutipan yang penting: 

“Historic Christian Devotion bequeaths to us rituals and rhythms and routines that are what Craig Dykstra calls “habitations of the Spirit” – concrete practices that are conduits of the power of the Spirit and the transformative grace of God.”

“Devosi Kristiani yang bersejarah mewariskan kepada kita ritual-ritual, ritme-ritme, dan rutinitas yang disebut oleh Craig Dykstra sebagai “habitations of the Spirit” – praktik-praktik konkrit yang menjadi saluran bagi kuasa Roh dan kasih karunia Allah yang transformatif.”

Lalu, bagaimana mendamaikan konsep “ritual” dan “anugerah keselamatan”?

Ritual atau sakramen yang kita lakukan merupakan respons dari anugerah keselamatan yang kita telah dapatkan. Jadi jangan dibalik ya. Bukan karena kita melakukan ritual, maka kita dapat diselamatkan oleh Tuhan; namun karena kita sudah diselamatkan, maka kita ingin melakukan ritual tersebut sebagai tanda ucapan syukur kita kepada Tuhan. Patut diingat bahwa tidak ada pekerjaan baik manusia yang dapat membawa kita ke surga, karena keselamatan yang kita terima murni dari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Jika kita mengerti arti ritual dari sudut pandang ini, maka sesungguhnya setiap ritual kerohanian kekristenan adalah reminder bagi orang percaya akan anugerah dan kasih setia Tuhan sepanjang masa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Julid vs Peduli (?)

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Oke, latihan hari ini kita selesaikan di sini ya!” seru kak Ary, pelatih koor kami.

Hampir semua dari kami berseru kegirangan, jarang-jarang jadwal latihan koor kami singkat begini. Biasanya malam Sabtu kami benar-benar kami habiskan di gereja, belum lagi kalau kedapatan jadwal jadi pemandu lagu di ibadah Minggunya. 

Jadi tentu saja kami senang, walau sedikit bertanya-tanya juga.

“Tumben banget ya, bisa selesai jam segini.” Keyla berjalan mendekat ke arahku, melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu gereja. Belum tepat pukul 8.

Aku mengedikkan bahu, “Iya ya, padahal Kak Ary si paling ketat soal jadwal latihan, hujan badai latihan tetap jalan.” Kami berjalan menuju pintu keluar.

“Hei, langsung pulang?” seseorang tiba-tiba menghampiri kami. “Makan es krim dulu yuk di depan.” Lanjutnya, lalu menyeret kami ke gerai es krim yang malam itu cukup sepi.

“Eh, pada tahu nggak, kenapa hari ini kita latihannya cuma sebentar?” tanya Eva ketika kami duduk menunggu pesanan. Dia memang selalu si paling tahu soal isu-isu yang berkembang. Aku dan Keyla hanya mengangkat bahu.

“Itu karena kak Ary harus buru-buru pulang, soalnya di rumahnya lagi ada keluarga dari calon istrinya.” Katanya memulai.

“Ooh, pernikahannya 2 minggu lagi kan ya!” sahutku.

“Iya, tapi kayaknya ada masalah deh,” kata Eva dengan yakin. Aku dan Keyla sontak menoleh.

Eva mengangguk lagi dengan yakin.

“Aku dengar-dengar, kayaknya orangtuanya kak Ary itu nggak setuju. Soalnya belakangan baru tahu kalo calon istrinya itu pernah punya masa lalu yang nggak baik gitu. Makanya keluarganya bertemu lagi untuk membicarakan soal ini.”

“Masa sih gitu, kayaknya orangtuanya kak Ary bukan tipe yang gitu deh.” Kata Keyla menanggapi, aku mengangguk menyetujui. 

“Lha kita manatahu. Orangtua kalo menyangkut anak bisa berubah kali, demi kebaikan anak sendiri.” Pesanan kami datang, tapi Eva tampak lebih bersemangat melanjutkan ceritanya daripada menikmati es krim kacang merah di hadapannya.

“Aku bukan julid nih ya, tapi aku juga kurang setuju sih sama calon istrinya kak Ary itu. Ingat nggak waktu pertama kali kak Ary kenalin dia di ibadah bulan lalu, cuek banget, nggak mau berbaur. Padahal kita udah ajakin foto juga. Tapi dia tetap aja cuma duduk di sebelah Kak Ary.” 

“Namanya juga masih baru kenal, ya wajarlah kalo dia masih segan. Justru aneh kali kalo baru pertama ketemu udah heboh foto-foto sama kita,” jawabku menanggapi.

“Ah kamu aja yang terlalu berpikir positif, Rib. Aku udah paham nih ya, kalo cewek kayak gitu nanti pasti posesif banget sama suaminya, entah nanti setelah menikah kak Ary nggak akan jadi pelatih kita lagi. Sekali lagi, aku bukan mau julid, aku ngomongin fakta,” lanjut Eva masih dengan berapi-api.

“Kamu ini udah kayak netizen di kolom komentar akun gosip tau nggak, Va!” kata Keyla sambil tertawa kecil. “Atau peramal. Nggak kenal, tapi bisa tau gimana orangnya hanya dengan sekali melihat.” Aku ikut tertawa kecil.

Eva menghembuskan napas keras. Lalu beberapa detik kemudian melanjutkan.

“Aku itu cuma peduli aja sama kak Ary, aku udah anggap dia kayak kakak aku banget, aku nggak mau kak Ary menikahi orang yang salah! Aku nggak mau kak Ary menikah dengan orang yang akan membuat dia jauh dari pelayanannya saat ini, jauh dari kita,” katanya dengan nada yang bercampur antara kesal, sedih, kecewa dan.. cemburu? Entahlah.

Aku dan Keyla bertatapan, saling mengerti. Kami memang cukup dekat dengan kak Ary, dia pelatih koor kami sejak lima tahun lalu, saat kami masih di awal masa kuliah. Aku akui banyak yang kagum dengan sosok kak Ary yang bukan hanya pelatih yang kompeten, tapi juga seorang yang peduli, pendengar yang baik, juga solutif. Yahh… Walaupun dia sangat strict soal jadwal latihan. Aku yakin di antara anggota koor, banyak yang menyukainya, sebagai laki-laki.

Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun, sehingga kami cukup shock ketika di suatu waktu latihan dia bilang akan menikah. Dan di ibadah minggu itu, kak Ary membawa calonnya itu dan mengenalkannya pada kami. Mungkin saja memang ada sedikit rasa kecewa di antara kami, karena kak Ary—yang sudah kami anggap seperti kakak sendiri itu—akan menikah dengan seseorang yang kami tidak kenal. Tapi, secara pribadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih. Mungkin itu yang dialami Eva.

Jadi aku mendekat, memegang bahu Eva dan berusaha memahaminya.

“Va, tapi itu bukan peduli namanya. Itu sudah mengarah ke membicarakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, yang bahkan kita tidak kenal dan tidak tahu kebenarannya. Bahkan sekalipun itu benar, kayaknya nggak tepat deh kalo kita menjadikannya sebagai bahan omongan,” kataku berusaha dengan suara selembut yang aku bisa. 

Eva terdiam sejenak, muncul kerutan kecil di keningnya.

“Lha, aku nggak ada maksud kayak gitu. Aku beneran cuma menunjukkan rasa peduli aja. Masa aku nggak boleh peduli sama kakak sendiri!” jawabnya defensif, sedikit tersinggung juga tampaknya.

“Iya, kita ngerti kok kalo kamu peduli. Tapi kayaknya ada cara lain yang lebih baik deh, Va, tanpa berpikiran negatif begitu,” tanggapku lembut.

“Aku bukan berpikiran negatif, aku hanya mengutarakan sesuai dengan apa yang aku lihat sendiri. Apa yang aku rasakan,” katanya lagi, tampak belum menerima sikapku dan Keyla.

“Va, tapi Ribka benar. Kayaknya itu bukan kepedulian kalau justru menimbulkan buruk sangka. Apalagi kita hanya berasumsi. Lagian kalo kita memang se-peduli itu sama kak Ary, justru kita akan doakan yang terbaik untuk pilihan yang ia sudah buat kan, bukannya membangun prasangka yang tidak baik tentang mereka. Walaupun mungkin saja memang ada perasaan kehilangan sosok kakak di hati kita.” Keyla ikut menambahkan.

Eva terdiam lagi. Tampak merenung. Semoga dia memang merenungi apa yang aku dan Keyla sampaikan, tanpa berpikir kalau kami sedang menyudutkannya.

Kami bertiga terdiam beberapa saat, aku dan Keyla menunggu responnya. Lalu kemudian Eva tersenyum, senyum mengerti. “Iya ya, itu bukan peduli ya namanya. Padahal aku memang benar-benar mempedulikannya.” 

Respons Eva di luar dugaan kami, tetapi kami percaya Roh Kudus ikut berperan melembutkan hatinya untuk bisa mencerna masukan kami tanpa berprasangka kalau kami sedang melawannya. 

Kali ini giliran Keyla yang menepuk pundaknya pelan, “Iya Va, kita paham kok perasaan kamu. Kadang-kadang perasaan tertentu memang bisa membuat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan, bersikap yang tidak seharusnya, pun mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan.”

Eva tersenyum lagi, kali ini tampaknya ia benar sudah menyadari dan memahaminya.

“Ternyata aku sudah salah memahami situasi ini ya. Padahal aktif melayani, rajin ikut persekutuan, tapi malah bisa punya pemikiran seperti itu. Julid sama kakak sendiri,” katanya pelan. Aku kembali mengusap bahunya lembut. 

“Udah udah… Kita belajar lagi supaya lebih bijak dalam berpikir dan berkata-kata ya, kan!” kata Keyla sambil tersenyum. Eva Kembali tersenyum.

“Sekarang habisin tuh es krim kamu yang udah jadi bubur kacang merah.” Kami pun tertawa menyadarinya.

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” (Efesus 4:29).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika yang Paling Melekat di Hatiku Bukanlah Tuhan

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Santi datang agak terlambat ke ibadah Minggu siang itu. Baru saja dia duduk, tiba-tiba dirinya berdiri lagi, Ada pokemon di belakang. Sebelum keduluan yang lain, aku ambil dulu,” bisiknya dengan senyum-senyum sambil berlalu ke deretan bangku belakang. Dia kembali ke bangku semula dengan tangan yang tetap asyik memainkan gawai saat pendeta mulai membagikan firman. Aku colek teman di sebelahnya untuk mengingatkan Santi fokus dulu ke ibadah, namun jawabannya membuat gemas. Katanya, dia bisa menyimak khotbah sembari bermain gim. 

Pokemon GO pernah menjadi permainan piranti bergerak yang fenomenal karena menarik minat masyarakat dunia untuk memainkannya. Gim yang diciptakan oleh Niantic dan dirilis di tiga negara pada 2016 itu, mengalahkan popularitas permainan sejenis di masanya; Candy Crush dan Angry Birds. Menariknya lagi, Pokemon Go yang menggunakan konsep augmented reality, teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam dunia nyata ini; menurut riset yang dilakukan oleh Clinic Compare, sebuah lembaga kesehatan swasta di Inggris, dapat membantu menguruskan badan! Kok bisa? Katanya, karena permainan Pokemon Go akan membawa penggunanya bergerak mencari pokemon ke luar ruangan…dan pada sisi ekstrem seperti Santi, termasuk berburu di dalam ruang ibadah!

Jawaban Santi yang terasa menggemaskan membuatku berefleksi. Ibadah sejatinya membangun hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi, kalau Tuhannya kita cuekin apakah Tuhan tidak tersinggung? 

Contoh sederhananya begini. Ketika kita ngobrol dengan teman dan dicuekin, bukankah kita akan menegur si teman agar menghargai kita, lawan bicaranya? Kalau teman yang terlihat saja tidak kita hargai, bagaimana mau fokus mendengar pesan Tuhan yang kita tidak lihat? Akan lebih menarik melihat gim bukan? 

Kemelekatan yang dalam terhadap sesuatu membuat seseorang susah untuk melepaskan diri. Fokusnya hanya kepada satu hal yang dia sukai. Hal-hal lain di sekitarnya tak lagi menarik minatnya, bahkan cenderung akan diabaikan. Santi yang awalnya hanya iseng bermain Pokemon ketika senggang, lama-lama jam ibadahnya pun terpakai untuk berburu monster-monster virtual dalam layar ponselnya. Responsnya yang berkata dia bisa fokus mendengar khotbah sembari bermain gim mungkin juga jadi sikap hati kita pada hal-hal yang kita lekatkan dalam hati. Mungkin bukan tentang gim, tapi tentang ambisi kita mengejar prestasi, terbuai hubungan romantis, dan sebagainya. 

Kembali pada cerita Santi, apakah benar dia bisa fokus ibadah sementara pikiran dan tangannya sibuk dengan permainan yang seru? 

Jawabannya kutemukan belakangan. Beberapa bulan ini, Santi merasakan kepalanya sering pusing dan bola matanya terasa menusuk-nusuk saat bangun tidur. Ia bahkan sempat masuk rumah sakit selama beberapa hari karena pusingnya itu, namun dokter mengatakan kondisi fisiknya baik-baik saja. Meski sudah diingatkan oleh teman dekatnya pusing itu pengaruh terlalu banyak memelototi layar gawai, Santi tak jua menghentikan kebiasaannya. Memang tidak mudah untuk menghentikan satu kebiasaan yang telah melekat dalam sekejap tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja diperlukan usaha keras yang harus datang dari dalam diri.

Mungkin saat ini Santi belum sepenuhnya memahami bahwa kesukaannya dengan permainan akan memberi dampak buruk buatnya di kemudian hari. Bila kamu atau temanmu mengalami keadaan serupa dengan Santi, ada empat hal yang bisa menolongmu untuk lepas dari kemelekatan:

1. Berani berkata TIDAK. Jika sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan, jangan coba-coba untuk mendekatinya meskipun rasa penasaran memuncak. Kenali kelemahan diri kita karena godaan itu akan selalu berulang di situ.

Keberanian dan konsistensi untuk berkata tidak sangat erat kaitannya dengan pengendalian diri. Pada praktiknya, menolak sesuatu tidak selalu mudah karena natur kita yang berdosa membuat kita lebih mudah tertarik oleh dosa. Oleh karenanya, kita butuh sesuatu yang ilahi, yang lebih kuat untuk mematahkan kedagingan kita. Kita dapat meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengaruniakan kita salah satu buah Roh, yakni pengendalian diri sebagai senjata untuk menahan langkah kita tidak terjatuh pada kubangan dosa.

2. Bangun kebiasaan yang sehat. Bergabunglah dengan komunitas yang di dalamnya kamu dapat bertumbuh secara rohani.

Addiction kita terhadap sesuatu muncul karena kita merasa itulah satu-satunya cara yang bisa membuat kita merasa puas. Pikiran kita pun menjadi sempit dan tertutup dari hal-hal lain yang bisa memberikan kepuasan atau manfaat lebih buat kita.

Kehadiran komunitas yang mendukung kita untuk menikmati hal yang lebih baik seperti persekutuan dan kebersamaan tentu akan menolong kita. Dan, apabila kita memiliki satu kawan yang bisa kita percayai, kita akan lebih leluasa berbagi proses jatuh bangun kita untuk didoakan bersama-sama.

3. Batasi waktu untuk berinteraksi dengan apapun itu yang akan membuatmu lupa dengan hal lain. Paulus pernah berpesan dalam 1 Korintus 6:12 bahwa “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Sebuah permainan diciptakan untuk membantu merangsang imajinasi, daya ingat, melatih gerak motorik, juga sarana refreshing bagi penggunanya. Namun, jika penggunaannya sudah tidak terkontrol sehingga menjadikan penggunanya melekat, akan berdampak ke kesehatan mental yang dikategorikan sebagai gangguan perilaku. 

Saat kita asyik menikmati gim atau apa pun yang membuat kita merasa sangat hidup, hendaklah kita selalu ingat untuk tidak menjadikan itu satu-satunya cara kita meraih kepuasan.

Olive Bendon senang bercerita dan mengurai kegelisahannya lewat tulisan. Mampirlah ke www.obendon.com untuk membaca ceritanya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kering, Namun Perlahan Disuburkan Kembali

Oleh Jesica Rundupadang, Toraja

Menjelang Natal tahun kemarin, aku ditunjuk menjadi salah satu tim kerja di persekutuan pemuda di gereja. Namun, pada saat yang sama aku kurang melibatkan diri dalam pelayanan, rasanya seperti ada sekat karena sebuah masalah yang pernah terjadi. Semakin hari aku semakin menjauh dari gereja. Saat diminta hadir dalam sebuah pertemuan atau ibadah, aku selalu mangkir dengan banyak alasan. Hal ini terjadi selama beberapa bulan dan tanpa kusadari mempengaruhi juga kehidupan rohaniku. Aku jadi jarang berdoa, atau hanya seperlunya saja. 

Hingga tibalah saat menjelang Paskah. Aku kembali diberi tanggung jawab. Aku mengatur siapa-siapa saja yang akan menjadi petugas ibadah. Ingin rasanya kutolak, tapi karena satu dan lain hal aku tidak bisa. Jadi, kuhubungi teman-teman yang kurasa bisa ambil bagian (liturgis, pemain musik, kantoria, dsb) di ibadah Paskah nanti. Ketika aku mulai mengajak teman-temanku, rupanya di sinilah Tuhan menegurku. 

“Sebenernya kan kalian bisa latihan tanpa saya. Lagipula kalian yang ambil bagian, masalah liturgi sudah beres. Jadi, untuk apa saya datang?” kalimat ini kuucapkan setelah dua hari para pelayan berlatih. 

“Cika,” jawab Chinjo, salah satu dari pelayan ibadah. “Tidak begitu. Ini tugasmu untuk terus pantau kami yang latihan. Ini seperti tugas Kak Ci di tahun-tahun yang lalu. Bukan sekadar mengingatkan, tapi kalau ada yang miss bisa diperhatikan. Jadi bukan karena liturginya beres, kamu menghilang. Btw, bisakah tiap latihan kita mulai dengan doa?” Teguran ini disampaikan Chinjo dengan muka bercanda, tetapi dia serius dengan pesannya.

Terus terang saja aku pun bergumul tentang doa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat jarang berdoa belakangan ini. Hari-hariku tak kuawali dan kuakhiri dengan doa. Aku terus berjalan dengan menganggap remeh doa itu, karena pikirku “aku doa dan tidak doa pun, Tuhan tetap kok nggak bakalan jawab doa sesuai keinginanku bahkan malah aku seperti ini karena Tuhan sendiri.”

Jika Paskah di gereja kemarin sempat ditegur dengan doa. Kembali lagi, saat akan dirayakan Paskah tingkat Klasis, yang kebetulan pemuda jemaat kami yang mengambil bagian lagi, beda lagi tegurannya. Di sini kami selalu pergi ke jemaat lain untuk latihan. Hari ganti hari kami semakin saling terbuka, apalagi setiba di lokasi di mana kami menginap serumah. Aku merasa terharu, ketika saat itu salah satu temanku memanggil “Cika, ayo saat teduh”. Hal yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut orang yang sama sekali juga tidak kusangka-sangka. Dia adalah temanku, yang dulunya bahkan menyepelekan kegiatan ibadah pemuda. Lalu kenapa Tuhan memakainya menegurku? Ada pertanyaan yang menggelitik pikiranku, “Tuhan, kok Engkau pakai orang ini?”

Kehadiran teman-temanku rupaya menjadi cara Tuhan untuk menegurku. Ketika aku mulai tidak peduli dengan kehidupan spiritualitasku seperti sebelumnya, Tuhan menegurku melalui mereka. Ketika aku tidak peduli dengan kondisi di sekitarku, Tuhan tetap memakai temanku untuk mengingatkanku pentingnya saling berbagi, sharing.

Ada begitu banyak cara Tuhan untuk membawa anaknya kembali dalam dekapannya. Pengalamanku ini salah satunya. Bagaimana aku yang jadi malas berdoa atau berdoa seperlunya saja, tidak lagi ikut komunitas, dan berhenti saat teduh, bisa ditegur perlahan melalui orang di persekutuan gerejaku. Jujur saja, menyepelekan hal seperti ini kadang mengganggu perasaanku. Selalu ada kata, “Kapan aku bisa kembali seperti dulu? Kapan aku mau kembali lagi?” Tapi seketika itu pun kadang kujawab “Ah bisalah nanti, bisalah besok, kapan-kapan aja”.

Tapi, sejak aku dapat teguran dari kedua temanku itu aku kembali berpikir. “Kamu diberi waktu 24 jam. Ini 24 jam lho. Terbuangkah waktumu percuma hanya untuk bicara sama Tuhanmu? Tuhan bahkan tidak meminta kamu harus tiap bangun doa paling kurang sejam. Tuhan hanya mau mendengar doamu secara langsung lebih intim. 

Kusadari bahwa ketika aku meremehkan hubunganku dengan Tuhan, aku akan tiba pada satu titik di mana aku merasa hampa meskipun semua yang kita butuhkan tersedia. Bisa saja, mungkin ada di antara kita yang saat ini merasa kering dan tidak diperhatikan Tuhan. Bisa saja, kita juga mulai surut untuk mengikuti kegiatan rohani di gereja. Namun, satu hal yang dapat kupercaya yaitu Tuhan mampu. Tuhan punya kuasa untuk menarik kita kembali bahkan melalui orang-orang yang tidak kita sangka.

Sejenak aku berpikir, “Kok Tuhan tidak marah? Kenapa malah semakin membuatku untuk mendekat?” Jawabannya baru kudapatkan saat ibadah bersama rekan-rekan di tempat kerjaku. 

Jawabannya, Tuhan adalah kasih. Seberapa jauh pun kita melangkah menghindari hadirat Tuhan, kasih-Nya tetap besar. Tuhan masih ingin kita menikmati waktu bersama-Nya. Akan ada suatu waktu, Tuhan membuatmu tertegur, tertegun, dan terbentuk. Kita bisa menikmati hadirat Tuhan salah satunya dengan persekutuan. Tak sedikit ada bentrokan dalam persekutuan, namun bukan artinya kita meninggalkan. Tetap taat hingga kita semua berbuah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cara Menjaga Kesehatan di Tengah Sibuknya Pelayanan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Habel adalah seorang anak remaja yang sangat aktif melayani di gereja. Hampir setiap harinya dia berada di gereja. Selalu saja ada alasannya, entah itu rapat pengurus komisi remaja, latihan untuk ibadah remaja, membantu membuatkan slide power point untuk ibadah umum hari Minggu, ataupun bermain badminton bersama teman-temannya di gereja. 

Kesibukan Habel di gereja membuat dia sering disambut omelan oleh ibunya ketika dia tiba di rumah. Bagaimana tidak, dia yang masih sekolah tapi sibuknya bukan main, sampai-sampai setiap hari baru sampai di rumah ketika langit sudah gelap. Tidak heran ibunya jadi sering mengomel, tapi meskipun dia sering diomeli, Habel tidak mengubah rutinitasnya itu karena menurutnya dia sedang mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Hingga suatu hari rutinitas yang disukainya itu terpaksa harus berhenti. 

Akibat dari banyaknya tugas sekolah dan pelayanan yang ia lakukan, Habel pun kelelahan. Kondisi fisik yang tidak prima inilah yang menjadi gerbang dari sakit tifus. Alhasil karena sakit ini dia tidak bisa bersekolah dan tidak bisa juga mengambil pelayanan di gereja.

Beberapa hari setelah ia sakit, pembina remajanya datang untuk menanyakan kabar sekaligus mendoakannya. Ketika ditanya kabarnya, Habel dengan wajah mengerut menjawab sedih karena saat ini dia tidak bisa produktif melayani Tuhan. Habel juga merasa bersalah karena seperti tidak mengerjakan panggilannya sebagai orang Kristen yaitu melayani Tuhan dan sesama. 

Mendengar hal itu, pembina remajanya tersenyum geli lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membacakan kepada Habel. 1 Korintus 10:31 “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” 

Ia kemudian memberi nasihat kepada Habel bahwa menjaga kesehatan penting dalam melayani Tuhan. Menjaga kesehatan juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, karena memuliakan Allah tidak hanya dengan melayani Tuhan saja tetapi semua hal yang Habel lakukan termasuk menjaga kesehatannya semuanya itu juga untuk memuliakan Allah. Jadi, tidak harus selalu mengambil banyak pelayanan di gereja untuk bisa memuliakan nama Tuhan, melainkan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berani menolak godaan dosa itu juga merupakan bentuk memuliakan nama Tuhan. Tapi, nasihat itu terasa membingungkan buat Habel. 

“Jadi, aku harus gimana kak? Kan pelayanan itu perlu?” Pertanyaan ini dilontarkan Habel karena dia tidak ingin menolak tiap kesempatan pelayanan yang diberikan buatnya. Tapi, kalau diterima semuanya, ujung-ujungnya bisa sakit lagi seperti ini. 

“Mungkin kamu bisa delegasikan tugasmu buat orang lain, kan pelayanan itu bicara juga soal teamwork,” jawab kakak pembina.

Pelan-pelan Habel mencerna solusi ini. Memang rasanya tidak enak jika kita menolak kesempatan pelayanan dari orang yang mempercayai kita. Bagi sebagian orang menolak ini seperti merusak kepercayaan. Juga, mungkin ada rasa tidak enak kalau bukan kita sendiri yang mengerjakan pelayanan itu. Namun, sesekali kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk juga melayani Tuhan karena setiap orang punya kesempatan yang sama, dan Bapa Surgawi juga berkenan menerima pelayanan dari orang lain. 

Solusi tersebut secara tidak langsung menegur Habel karena terkadang dia sebenarnya mengambil banyak pelayanan di gereja untuk mengisi waktu kosongnya dan bukan dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Dia senang jika orang-orang mengandalkan dia. Habel juga terkadang merasa dirinya hebat sehingga tidak suka jika ada orang lain yang menawarkan bantuan kepadanya. Sekarang dia mengerti. Merasa diandalkan dan hebat membuat Habel tidak mempedulikan kesehatannya tetapi justru memuaskan keinginannya, sehingga hal itu membuat dia jatuh sakit.

Obrolan hangat antara Habel dan kakak pembinanya menuntun Habel pada sebuah pemahaman baru antara iman, pelayanan, dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Habel kemudian mengakui dosa dan kelemahannya itu kepada pembinanya. Mendengar pengakuan Habel, pembinanya kemudian tersenyum, menepuk pundaknya, dan kemudian mendoakan dia.

“Habel, dosa-dosa kita sudah diampuni Tuhan. Tapi, itu bukan berarti kita terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama, ya,” sahut kakak pembina. 

Kalimat penutup ini disambut Habel dengan senyuman hangat dan semangat bahwa setelah sembuh dari tifus, dia akan memperbaiki prioritasnya.

***

Teman-teman, sebagai seorang Kristen yang sudah menerima keselamatan dari Kristus, pelayanan yang kita lakukan memang salah satu wujud syukur kita. Melayani Tuhan dan sesama tentunya berkenan bagi Allah. Akan tetapi, jika kita overload dalam mengambil pelayanan entah di gereja atau di organisasi Kristen, kecenderungannya adalah kita akan kehilangan sukacita karena energi kita terkuras habis. Belum lagi jika akhirnya pelayanan itu tercampur dengan motivasi pribadi, alih-alih menyenangkan Tuhan. 

Seperti cerita Habel di atas, mungkin ada di antara kita yang seperti itu. Kelelahan yang tidak diatasi akan membuat fisik kita pun ikut sakit. Maksud hati ingin jor-joran melayani, ujung-ujungnya malah tidak produktif. 

Teman-teman dalam surat 1 Korintus 10:31, Paulus mengatakan bahwa apa pun yang kita lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mari kita ubah konsep berpikir kita. Berikanlah kesempatan pelayanan kepada teman atau adik tingkat kita yang kita rasa mampu dan bisa dipercaya, dan ambilah waktu istirahat sejenak dari kesibukan pelayanan dengan tidak merasa bersalah. Menjaga kesehatan secara fisik maupun secara rohani menolong kita untuk terus merasakan sukacita dalam melayani Tuhan maupun dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya nama Tuhan dimuliakan tidak hanya melalui pelayanan kita tetapi juga dalam seluruh hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).