Posts

Setelah Covid-19 Berakhir, Seperti Apa Gereja Kita Nanti?

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Buku The Trellis and The Vine baru-baru ini mendapat perhatian khusus karena di bagian penutupnya, penulis buku itu membayangkan terjadinya pandemi.

Aku meringkasnya di bawah ini:

Bayangkan terjadi pandemi di seluruh bagian dunia anda dan pemerintah melarang orang berkumpul lebih dari tiga orang, untuk alasan kesehatan dan keamanan. Dan kondisi itu terjadi selama 18 bulan.

Kalau ada 120 jemaat di gereja anda, bayangkan bagaimana gereja tetap bisa berfungsi—tanpa ada pertemuan persekutuan rutin apa pun, dan tidak ada persekutuan rumah tangga, kecuali hanya tiga orang yang berkumpul.

Kalau anda adalah pendetanya, apa yang akan anda lakukan?

Mungkin anda bisa kirim email atau menelpon mereka, atau membuat rekaman audio. Tetapi bagaimana bisa tetap mengajar dan menggembalakan mereka? Bagaimana mendorong mereka untuk tetap mengasihi dan melakukan hal yang baik di tengah situasi ini? Dan bagaimana dengan penginjilan? Bagaimana menjangkau orang baru dan melakukan follow up?

Anda perlu bantuan. Anda harus mulai dengan 10 orang jemaat pria yang dewasa secara iman, lalu bertemu secara intensif dengan mereka, bergantian dua orang demi dua orang selama dua bulan. Anda harus melatih mereka bagaimana membaca Alkitab, bagaimana berdoa dengan satu atau dua orang lain, dan dengan anak-anak mereka. Maka ada dua tugas mereka: Pertama, menggembalakan keluarga mereka dengan secara rutin membaca Alkitab dan berdoa. Kedua, mencari orang lain untuk dilatih dan didorong melakukan yang sama. Maka dalam waktu beberapa bulan gerakan ini akan meluas dengan cepat. Tugas anda adalah memberikan support kepada mereka sambil mencari orang lain lagi.

Akan ada banyak sekali kontak pribadi dan pertemuan kelompok kecil yang harus dilakukan. Tetapi ingat bahwa tidak ada kebaktian yang harus dijalankan, tidak ada seminar, tidak ada kerja bakti, tidak ada persekutuan rumah tangga, tidak ada acara apapun untuk diorganisir. Semuanya hanyalah mengajar dan memuridkan secara pribadi dan melatih orang untuk menjadi pembuat murid.

Ini pertanyaan yang menarik: Setelah 18 bulan seperti itu, ketika larangan akhirnya dicabut dan kita bisa kembali berkumpul untuk ibadah, persekutuan, dan melakukan semua aktivitas lainnya, apa yang akan berubah? Bagaimana program, pelayanan, dll, akan berubah?

Kita memang berharap bahwa pandemi Covid-19 ini tidak berlangsung sampai 18 bulan. Tetapi pertanyaan terakhir itu sangat menggelitik. Kalau selama 18 bulan, kita memelihara kehidupan rohani jemaat melalui kelompok kecil dengan Firman dan doa. Lalu selama 18 bulan itu juga kita menghasilkan orang-orang yang terjun menjadi pembuat murid—mereka mengajar orang membaca Alkitab dan berdoa untuk orang-orang itu. Kemudian selama 18 bulan itu juga kita melihat buahnya—bahwa orang-orang ternyata bertumbuh dengan Firman dan doa. Setelah 18 bulan berlalu dan kita terbiasa mencurahkan energi dan waktu pada pelayanan yang satu itu dan kita melihat bahwa pertumbuhan terjadi tanpa semua kegiatan dan acara yang rutin dilakukan gereja, apakah tidak ada yang akan berubah ketika keadaan normal?

Aku percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Buku The Trellis and The Vine menggunakan perumpamaan pohon anggur dan terali untuk menggambarkan pekerjaan sesungguhnya dari gereja dan terali pendukungnya. Buku itu mengkritisi gereja karena membangun terlalu banyak terali pendukung sehingga tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur. Pekerjaan anggur bisa dengan sederhana dijelaskan sebagai pekerjaan dalam empat tahapan dengan tujuan masing-masing:

  • “mengajak orang”
  • “memberitakan Injil”
  • “mempertumbuhkan”
  • “memperlengkapi”

Di setiap tahap, kita melakukannya dengan Firman dan doa untuk mencapai tujuannya. Itulah pekerjaan anggur. Sementara itu, kalau program adalah terali, maka kita perlu mengevaluasi seluruh program yang dilakukan di gereja kita dengan dua cara:

Pertama, program apa yang menunjang untuk kita mengajak orang? Untuk kita memberitakan Injil? Untuk kita mempertumbuhkan? Untuk kita memperlengkapi? Tidak perlu banyak program untuk setiap tujuan itu. Program adalah terali penunjang yang jelas dibutuhkan tapi yang penting adalah pekerjaan anggurnya berjalan.

Kedua, seberapa efektif program itu untuk tujuan itu? Berikan skala 1-5. Kita sering berpikir program ini bagus, program itu ada gunanya, yang ini penting, kalau tidak ada yang itu nanti bagaimana, dst. Kita akan dengan cepat berargumen bahwa ini “program mengajak orang baru lho” atau ini “program doa kok.. pasti doa penting kan” atau yang lainnya. Tapi mari jujur mengevaluasi bahwa banyak program yang—walaupun bisa disebutkan gunanya—sebetulnya efektivitasnya rendah untuk tujuan itu. Kita hanya perlu mempertahankan program yang sangat efektif.

Tenaga, waktu, dan perhatian kita terbatas. Ada orang beranggapan bahwa lebih banyak program lebih baik. Kalau kurang hamba Tuhan ya dicari lagi. Kalau kurang pelayan ya dicari lagi dari jemaat. Tapi sebagai organisasi, ini bukan masalah kurang orang tapi masalah fokus. Semakin banyak hal yang dilakukan oleh sebuah organisasi, semakin dia tidak bisa fokus mengerjakan yang terpenting yang seharusnya dilakukan. Yang celaka, jemaat pun tidak bisa digerakkan sepenuhnya menuju ke arah tertentu karena terlalu banyak arah.

Sekali lagi kita berharap pandemi Covid-19 ini berakhir sebelum 18 bulan. Kondisi kita juga tidak persis sama seperti pandemi yang dibayangkan oleh buku itu. Tapi aku yakin kita perlu menggumuli jawaban atas pertanyaan yang menggelitik ini: Setelah Covid-19 berakhir, apa yang akan kita ubah? Seperti apa gereja kita nanti? Kalau gereja kita tidak fokus mengerjakan pekerjaan anggur, lalu nanti setelah Covid-19 tetap tidak ada yang berubah dan semua berjalan kembali persis seperti dulu, pasti ada yang salah.

Mari kita gelisah. Mari coba berpikir dan mau berubah. Perubahan pastilah tidak nyaman dan banyak orang yang akan menentang. Tapi kalau kita betul mengerjakan yang terpenting yang harus dilakukan—dengan tenaga, waktu dan perhatian yang terfokus, kita berada pada jalur yang tepat.

Ketidaknyamanan perubahan mungkin akan membuat sebagian orang meninggalkan kita (mungkin jumlah jemaat akan berkurang?), tetapi yang paling penting adalah kita mengerjakan tugas sesungguhnya dari gereja dengan setia. Tuhan pasti memberkati.

Baca Juga:

Belajar Menantikan Allah

Sebanyak 43 kali dalam Perjanjian lama, orang diperintahkan, “Nantikanlah. Nantikanlah Tuhan.” Lalu pertanyaannya, mengapa Allah membuat kita menunggu? Jika Dia dapat melakukan sesuatu, mengapa Dia tidak memberikan kelegaan dan jawaban sekarang?

Panggilan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Di dalam bukunya yang terkenal, “The Call”, Os Guinness membedakan dua macam panggilan di dalam hidup orang Kristen.

Panggilan yang pertama dan terutama adalah panggilan untuk mengikut Kristus. Panggilan ini adalah yang menyangkut seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Hidup kita, hati kita, jiwa dan raga kita, seluruhnya adalah untuk menyembah Dia. Tidak ada apapun yang boleh menyaingi panggilan yang terutama ini. Oswald Chambers pernah berkata, “Waspadalah atas segala sesuatu yang menyaingi kesetiaan kepada Yesus Kristus” dan “pesaing terbesar kesetiaan kepada Yesus adalah pelayanan bagi Dia”. Bagaimana bisa begitu? Karena, “tujuan panggilan Tuhan adalah kepuasan Tuhan, bukan untuk mengerjakan sesuatu bagi Dia.”

Kalimat Oswald Chambers itu perlu diperdengarkan lagi di telinga kita. “Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” seringkali menjadi konsep yang abstrak bagi kita. Jauh lebih mudah untuk membayangkan bentuk konkret yang harus dilakukan dalam rangka “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan”, atau dikenal juga dengan “pelayanan” (baik di gereja maupun melalui profesi). Tetapi, di dalam prosesnya, akhirnya kita mempersamakan keduanya. Maka perlahan-lahan, “pelayanan” menjadi sama dengan “penyembahan”. Kita merasa sudah “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” dengan melakukan “pelayanan”. Bisakah kita melihat masalahnya di sini?

Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” adalah soal hati, arah, tujuan, motivasi, yang mengarahkan apa yang kita lakukan. Sementara “apa yang kita lakukan”, arahnya, tujuannya, motivasinya, bisa untuk memuaskan Tuhan atau membesarkan diri. Ketika kita mempersamakan keduanya, pasti muncul masalah besar. Kita bisa berdalih bahwa “kita tidak mencari untung”, “kita sedang berusaha menggunakan karunia yang Tuhan berikan”, atau “kita ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan” melalui apa yang kita lakukan. Tetapi, pertanyaan yang terus menggantung adalah, apakah sungguh di dalam hati kita hanya-dan-hanya ingin mengikut Yesus? Apakah kita hanya-dan-hanya memuaskan Tuhan?

Panggilan yang kedua, menurut Os Guinnes, barulah yang lebih konkret, yaitu “dalam segala hal kita harus berpikir, berbicara, hidup, dan bertindak sepenuhnya bagi Dia”. Mungkin itu berarti pekerjaan, profesi, atau kehidupan sehari-hari, yang kita jalani sebagai respons atas arahan dan panggilan Tuhan. Tetapi, jangan menjadikan panggilan kedua ini sebagai yang pertama dan terutama.

Aku tertegur membaca kalimat Os Guinness di bawah ini:

Do we enjoy our work, love our work, virtually worship our work so that our devotion to Jesus is off-center? Do we put emphasis on service or usefulness, or being productive in working for God–at his expense? Do we strive to prove our own significance? To make difference in the world? To carve our names in marble in the monuments of time?

Apakah kita menikmati pekerjaan kita, mencintai pekerjaan kita, secara virtual menyembah pekerjaan kita sehingga kesetiaan kita kepada Yesus tergeser? Apakah kita menaruh penekanan pada pelayanan atau kegunaan, atau menjadi produktif dalam bekerja untuk Allah – dengan mengorbankan Dia? Apakah kita berjuang untuk membuktikan signifikansi diri kita? Untuk membuat perbedaan di dalam dunia? Untuk mengukir nama kita pada monumen-monumen waktu?

Siapa sih yang tidak ingin hidupnya berguna dan produktif? Siapa sih yang tidak senang berhasil membuat perbedaan di dalam dunia? Di dalam kelemahan, siapa sih yang tidak bangga membayangkan hidupnya signifikan dan dikenang? Tidak ada yang salah dengan hidup berguna, produktif, membuat perbedaan, signifikan dan dikenang. Tetapi, menjadi masalah dan salah besar ketika kita mengejar semua itu seakan-akan itulah pangilan kita yang pertama dan terutama.

Os Guinnes mengingatkan, panggilan kita yang pertama dan terutama bukanlah to do something tetapi we are called to Someone. Kunci untuk menjawab panggilan itu adalah untuk setia tidak kepada siapapun (termasuk diri kita) dan apapun selain kepada Allah.

Baca Juga:

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Kalau kita bertanya ke beberapa orang Kristen “apa sih pelayanan?”, aku yakin kita akan mendapat jawaban yang beragam.

Jawaban yang paling umum adalah “sesuatu yang dilakukan buat Tuhan”. Kalau kita gali jawaban itu lebih jauh, kita akan menemukan bahwa seringkali yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam nuansa Kristen dan tidak dibayar (bukan berarti ini benar lho..). Ini artinya super luas!

Tetapi, kadang aku bertanya betulkah semua yang disebut “pelayanan” itu benar-benar pelayanan?

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Aku berikan beberapa contoh.

Contoh 1:
Sebuah gereja membentuk suatu tim yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelayanan di kota lain. Tim itu menerima laporan dari mereka yang melayani di kota itu, lalu memberi masukan, kritikan, bahkan mengambil keputusan. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya mengerti pelayanan di kota itu. Mereka juga bukan orang yang memiliki konsep teologis dan strategis yang kuat untuk itu. Seluruh anggota tim merasa sedang “melayani”. Tetapi, bagi orang-orang yang berada di garis depan pelayanan di kota itu, apa yang dilakukan tim itu sama sekali tidak menolong, malah sebaliknya menghambat. Maka, betulkah anggota tim itu sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 2:
Seorang ibu yang suaranya kurang enak didengar ingin “melayani” dengan menyanyi solo di kebaktian. Orang-orang berkata, “mau pelayanan kok dilarang?” Tetapi, kalau kebaktian adalah waktu di mana gereja mengajak semua yang hadir menyembah Tuhan dengan lebih baik, apakah dengan menyanyi solo dia membuat jemaat menyembah Tuhan dengan lebih sungguh? Maka, betulkah dia sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 3:
Sebuah kelompok musik tanjidor ingin “melayani” dengan mengiringi pujian di dalam kebaktian. Tetapi, ketika mereka mengiringi pujian, jemaat sulit untuk menyanyi dengan baik. Jemaat sulit berkonsentrasi menyembah Tuhan dengan diiringi orkestra Betawi itu. Tetapi, seluruh anggota kelompok musik itu merasa mereka sudah melayani Tuhan dengan talenta mereka. Betulkah mereka sedang mengerjakan pelayanan?

Aku bisa memberikan banyak contoh lain. Tetapi, kukira contoh-contoh di atas cukup untuk menjelaskan maksudku.

Bisakah kegiatan-kegiatan di atas disebut pelayanan? Karena aku tidak ingin menghakimi, anggaplah kegiatan-kegiatan di atas sebagai “pelayanan” yang kurang pas disebut pelayanan.

Di mana sebetulnya kesalahan “pelayanan” dalam contoh-contoh yang kusebutkan di atas? Pada contoh 1, kesalahannya mungkin adalah pengaturan struktur organisasi. Pada contoh 2, kesalahannya adalah talenta yang tidak cocok. Pada contoh 3, kesalahannya adalah tidak sesuai dengan kebutuhan.

Tetapi, kesamaannya adalah apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan. Mereka mungkin tulus, betul-betul mengerjakannya untuk Tuhan. Mereka mungkin juga memberi yang terbaik yang mereka bisa. Tetapi, apa yang mereka lakukan tidak efektif.

Aku tidak bermaksud mengatakan pelayanan selalu harus menghasilkan sesuatu yang jelas, kelihatan, dan terukur. Tidak. Banyak hal yang kita lakukan dalam kerajaan Tuhan sifatnya menanam dan tidak langsung terlihat hasilnya. Maka, kalau kita menanam dan tidak melihat hasilnya sampai puluhan tahun sekalipun, tidak masalah! (Asalkan motivasi dan caranya benar, benihnya benar, dan kita yakin Tuhan mau kita melakukan itu). Tetapi pertanyaannya, betulkah kita menanam? Jangan-jangan yang kita lakukan justru sedang menghambat, atau lebih parah lagi, merusak. Pelayanan tidak harus efisien (tidak memboroskan waktu, usaha, dan uang), tetapi harus efektif (mencapai hasil yang diinginkan, sekalipun lama sekali)!

Maka, jangan asalkan tidak dibayar dan dalam nuansa Kristen, lalu kita berkata, “Aku ini kan pelayanan!” Coba tanyakan kepada diri sendiri: “Betulkah yang aku lakukan ini menghasilkan kebaikan bagi kerajaan Tuhan? Dengan cara bagaimana?”

Pertanyaan lebih jauh adalah: “Apakah ini adalah yang terbaik yang bisa kulakukan untuk kerajaan Tuhan? Atau, aku bisa melakukan yang lain, yang lebih efektif, yang lebih berguna untuk kerajaan Tuhan, yang tidak aku lakukan karena ngotot dengan yang ini?”

Aku tahu tulisan ini menyederhanakan banyak hal.Kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Tapi, aku berharap kiranya tulisan ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam mengerjakan pelayanan.

Baca Juga:

Membaca Alkitab di Zaman yang Sibuk

Membaca Alkitab seringkali tidak semenarik menjelajah Instagram atau melihat-lihat flash sale. Kesibukan digital telah menepikan kerinduan untuk mencari Tuhan dan firman-Nya.

Paradoks Doa

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Salah satu misteri besar dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen adalah bagaimana kita harus berdoa.

Di satu sisi, kita tahu bahwa kita tidak boleh khawatir karena kita harus percaya pada Allah yang memelihara. Kita juga tidak boleh takut karena kita harus percaya bahwa Allah itu baik. Kita juga harus yakin bahwa apapun yang terjadi tidak pernah lepas dari kontrol Allah. Kita tahu bahwa apapun yang Allah akan berikan, sekalipun awalnya terasa tidak enak bagi kita, bisa menjadi kebaikan bagi kita. Karena itu kita harus belajar mengatakan: “Jadilah kehendak-Mu”.

Tetapi, di sisi lain, bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berseru kepada-Nya siang dan malam? Kita harus terus menerus meminta kepada-Nya seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang hakim yang lalim (Lukas 18:1-7). Atau, seperti yang juga diajarkan oleh Yesus supaya kita terus meminta, mencari, mengetok pintu, sampai diberikan, ditemukan, dan dibukakan pintu (Lukas 11:5-10).

Kadang dengan mudah kita bisa berkata “jadilah kehendak-Mu” ketika permohonan doa itu tidak menyangkut diri kita tetapi orang lain, mungkin mereka yang sedang sakit atau kesusahan. Kita berkata “jadilah kehendak-Mu” karena mungkin di dalam hati kita tidak terlalu peduli dengan apapun yang akan terjadi! Tetapi ketika permohonan doa itu sangat menyangkut diri kita atau orang yang kita kasihi, masihkah kita berdoa dengan sikap “terserah Tuhan”?

Kita pasti akan memohon dengan sangat dan ngotot kepada Tuhan. Berkali-kali kita akan minta lagi dan minta lagi. Bahkan mungkin sambil menangis dan berduka. Tetapi di saat seperti itu, seringkali kita diingatkan, bukankah Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik?

Maka di satu sisi kita ingin ngotot, di sisi lain kita tahu bahwa harusnya kita berserah. Lalu bagaimana seharusnya kita berdoa? Itulah paradoks doa. Seperti Yesus berdoa di taman Getsemani. Dia tahu persis bahwa Dia harus minum cawan itu. Tapi Dia tetap berdoa dengan sungguh-sungguh, bukan sekali tapi tiga kali! Artinya, Dia berdoa terus, meminta, mencari, mengetok, dengan sungguh-sungguh. Tapi, setiap kali, Dia berdoa dengan sikap “jadilah kehendak-Mu”. Paradoks!

Paradoks doa ini yang harusnya kita alami dan lakukan waktu berdoa. Kita meminta dengan sungguh, terus menerus, memohon kepada Tuhan, dan sekaligus berserah kepada kehendak Tuhan. Kita tidak boleh hanya meminta dengan ngotot tanpa percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik dan kehendak Tuhan adalah yang terbaik. Kita juga tidak boleh hanya “berserah” tanpa meminta dengan sungguh-sungguh, karena mungkin itu hanya tanda ketidakpedulian kita. Meminta dengan sungguh-sungguh dan berserah. Sangat sulit!

Aku percaya bahwa kehidupan doa adalah bagian dari perjalanan iman kita. Seperti tidak ada orang yang sempurna imannya, demikian pula tidak ada orang yang sempurna dalam berdoa. Mari terus belajar berdoa, dengan sungguh dan berserah kepada Tuhan.

Baca Juga:

Mazmur di Tengah Masa-masa Jenuhku

Ketika kejenuhan melanda, aku mencoba satu hal baru: aku mencoba memosisikand iri seperti seorang pemazmur. Dan, puji Tuhan, Dia menolongku untuk keluar dari jerat kejenuhan.

Langkah-langkah Memulai Masa Pacaran

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Aku tidak bermaksud menuliskan text book tentang cara “pendekatan”. Tetapi, setelah mendengar berbagai cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, aku merasa ada yang kurang “pas”. Maka, aku berharap paling tidak tulisan pendek ini bisa sedikit menolong mereka yang sedang bergumul untuk bergumul dengan benar.

Apa itu “pacaran”? Sederhananya, pacaran adalah masa di mana seorang pria dan seorang wanita mengambil komitmen untuk lebih saling mengenal dan menjajaki menuju ke pernikahan.

Perhatikan definisi itu. Hanya seorang pria dan seorang wanita, tidak bisa “seorang” dengan “beberapa orang”. Lalu, ada “komitmen” di situ. Tetapi komitmennya bukan untuk “hidup bersama”. Komitmennya bukan “to stay together forever and ever”. Komitmennya bukan “you are mine and I am yours.” Tidak ada hal seperti itu dalam pacaran. Komitmennya hanyalah “lebih saling mengenal dan menjajaki menuju ke pernikahan.” Maka di dalam pacaran, SAMA SEKALI tidak boleh ada relasi yang sifatnya seksual. Relasi yang dijalin bukan bersifat fisik tetapi komunikasi—pemikiran, perasaan, pengalaman, nilai hidup, iman, dan seterusnya. Komitmennya hanyalah menjajaki apakah aku dan dia bisa hidup bersama seumur hidup nantinya.

Walaupun pacaran memang tidak ada komitmen seperti pernikahan, bukan berarti boleh dimulai dengan sembarangan. Bagaimanapun pacaran melibatkan emosi, waktu, dan tenaga dari dua pihak, yang sangat sayang untuk disia-siakan. Maka untuk mulai berpacaran harus ada “tingkat kepastian tertentu”—merasa suka, cocok, mau komitmen berelasi, barulah dimulai. Sehingga faktor “gambling” dan “sembarangan” diminimalisir. Di masa pacaran nanti, kedua belah pihak akan sama-sama menilai lagi dan berdoa apakah benar bisa dilanjutkan ke pernikahan. Artinya setelah ada “tingkat kepastian yang lebih tinggi” baru memberanikan diri masuk ke komitmen seumur hidup.

Untuk masuk ke masa pacaran, ada dua pertanyaan yang perlu ditanyakan terlebih dulu oleh setiap orang:

Pertama, apakah benar ada ketertarikan, ada perasaan suka, dan melihat ada kecocokan?
Tidak bisa tidak. Perlu waktu untuk menjawab ini.

Kedua, apakah benar mau berkomitmen memasuki masa pacaran? Memang bukan komitmen untuk menikah, namun komitmen untuk mengkhususkan waktu, emosi dan pikiran, untuk mengenal dan menguji kecocokan menuju pernikahan.

Pikirkan dan doakan untuk menjawab dua pertanyaan itu. Libatkanlah Tuhan di dalam pergumulan yang sangat penting ini.

Mulai dari yang pria, kalau memang jawaban untuk yang pertama dan kedua adalah “ya”, baru sesudah itu dia boleh menyatakan secara eksplisit ke pihak wanita. Ini penting! Hanya setelah yakin, barulah seseorang boleh menyatakannya. Lalu, tunggu jawaban apakah pihak wanita juga setuju untuk masuk ke dalam masa pacaran. Maka giliran si wanita untuk bertanya kepada diri sendiri dua pertanyaan di atas itu dan mendoakannya.

Urutan tersebut harus jelas.

Beberapa kesalahan yang biasa terjadi:

Pertama, terlalu cepat memasuki masa pacaran. Tanpa ada “tingkat kepastian tertentu”—hanya berdasarkan perasaan suka (yang mungkin sesaat), lalu berani masuk ke masa pacaran.

Emosi memang selalu melambung jauh lebih cepat dari akal sehat. Pada waktu emosi melambung, dengan cepat kita akan berkata “tertarik, suka, cocok, MAU!” Itu sebabnya, perlu waktu untuk membuat emosi “turun” dan stabil dulu, baru bisa berpikir jernih apakah memang tertarik, suka, cocok, dan mau pacaran. Jangan mengambil komitmen apapun dalam keadaan emosi yang sedang sangat melambung. Banyak orang yang nekat mengambil komitmen saat dia sedang “melayang-layang” dan kecewa setelah “layangan”-nya turun ke bumi.

Berikan waktu beberapa bulan untuk berteman saja (tanpa romantisme at all!) dan usahakan tidak pergi berduaan tetapi pergi bersama dengan teman-teman lain. Jika relasi disertai banyak romantisme—kata-kata mesra, kontak terus menerus, sering pergi berduaan, apalagi ada kontak fisik, maka tidak pernah akan ada kematangan dalam pergumulan. Romantisme dan kontak fisik sudah berjalan mendahului komitmen dan akal sehat akan jauh tertinggal di belakang.

Kesalahan kedua, berlawanan dengan yang pertama, yaitu terlalu lama mengambil keputusan. Pria memang harus bertanya kepada diri sendiri dua pertanyaan di atas dan mendoakannya. Tetapi jangan lupa, ini bukan mencari kepastian untuk “menikah” tapi untuk “memasuki masa penjajakan menuju pernikahan”. Jadi tidak bisa harus pasti dan yakin “she is the one” baru mau memasuki masa pacaran. Tidak akan pernah yakin! Keyakinan itu baru bisa didapat nanti di masa pacaran. Maka masa memikirkan dan mendoakan ini tidak perlu terlalu lama (walaupun bukan berarti terlalu cepat dan sembarangan).

Alasannya adalah: ketika seorang pria merasa suka, sadar atau tidak sadar dia akan banyak “mendekati” si wanita. Dia akan cukup sering mengontak, memberi perhatian, dan sebagainya. Kalau si wanita tidak suka dengannya, maka gampangnya, si wanita pasti akan menjauh. Tapi, kalau si wanita suka, maka dia akan kasihan sekali karena perasaannya terus diaduk-aduk. Di satu sisi dia merasa si pria mendekati dia (membuat dia berharap), tapi di sisi lain si pria tidak maju-maju. Jadi seperti digantung—friendzoned. Apalagi kalau kemudian setelah sekian lama, akhirnya si pria memutuskan untuk tidak mau memasuki masa pacaran. Sekian lama si wanita merasa didekati, diperhatikan, lalu si pria tiba-tiba menjauh. Itu sangat menyakitkan. Memang namanya juga sedang bergumul dan jawabannya bisa “tidak”, tapi justru itu sebabnya jangan terlalu lama.

Dengan alasan yang sama, setelah pria menyatakan, jangan yang pihak wanita kemudian mem-friendzone-kan dia. Memang pasti perlu waktu untuk berpikir dan berdoa, tidak ada juga patokan berapa lama waktu yang diperlukan. Namun waktu enam bulan lebih tentu terlalu lama.

Kesalahan ketiga, si pria yang sama sekali belum ada kepastian ini berkata kepada pihak wanita, “aku lagi mendoakan kamu”. Wohooo… bagi wanita (yang cenderung lebih emosional), informasi itu dapat saja diartikan seperti “sebuah pernyataan langsung”. Bagi dia, pernyataan itu dapat berarti bahwa si pria menyukainya. Dia akan sangat berharap dan bisa saja sakit hati ketika akhirnya “hasil doa” si pria adalah “tidak”. Maka aku tidak menganjurkan cara seperti itu.

Pria harus berpikir dan berdoa sendiri dulu, walaupun sambil mendekati–asal jangan berlama-lama. Setelah ada keputusan bahwa dia mau, barulah menyatakan. Barulah saat itu “bola”nya dilempar kepada si wanita untuk memutuskan. Jangan sampai setelah bola dilempar ke si wanita, dengan alasan “sama-sama mendoakan”, lalu si wanita memutuskan “mau” sementara si pria memutuskan “tidak”. Bukan begitu urutannya.

Kuharap tulisan singkat ini menolongmu untuk bergumul memasuki masa pacaran.

Selamat bergumul—bergumul dengan benar.

Baca Juga:

Apakah Mengikuti Kata Hati Bisa Membuat Kita Berbahagia?

“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berkali-kali. Untuk apapun keputusan yang ingin kita ambil, dan kalau kita ingin berbahagia, ikutilah kata hati kita sendiri. Tapi, apakah benar begitu?

Jangan Membuat Resolusi

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya.

Mengapa banyak orang yang membuat resolusi di tahun baru? Kukira ada dua alasan besar.

Pertama, pergantian tahun adalah “tonggak waktu” yang Tuhan berikan untuk menandai hidup kita. Bahwa “satu bab” sudah berlalu dan kita membuka “bab yang baru”. Maka pergantian tahun mendorong kita untuk mengingat “bab yang lalu”, mengevaluasinya, dan mengharapkan “bab yang baru”.

Kedua, kita sangat sadar bahwa hidup kita belum cukup baik di tahun yang lalu. Kita tahu segala kelemahan dan kegagalan kita. Berat badan yang tidak ideal. Kehidupan keluarga yang kurang harmonis. Pembagian waktu yang berantakan. Gaya hidup yang kurang baik. Maka, kita ingin berubah.

Tahun baru, resolusi baru. Kita berharap segalanya lebih baik. Kita bertekad menjadi lebih baik.

Tetapi, resolusi cenderung fokus pada hasil (tidak selalu, tapi biasanya begitu). Kita ingin menjadi orang yang lebih ramah. Kita ingin berat badan kita turun 8 kilogram. Kita ingin hidup sehat. Kita ingin berhasil dalam pekerjaan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Tetapi, tidak ada hasil tanpa proses! Kita sering membuat resolusi tanpa memikirkan bagaimana mencapainya. Maka tidak heran pada bulan Februari banyak orang yang meninggalkan resolusi yang dibuat pada bulan Januari.

Resolusi juga cenderung fokus pada kesimpulan tanpa memberikan detail apa yang dimaksudkan. Misalnya, “aku mau lebih banyak menolong orang” tidak akan berhasil tanpa diperjelas apa sebetulnya yang ingin kita lakukan. Untuk bisa lebih banyak menolong orang, perlu ada kebiasaan baru yang kita bentuk. Kebiasaan apa? Kapan? Apa komitmennya? Tanpa semua itu, resolusi akan percuma.

Maka menjelang akhir 2018, aku coba membuat aturan bagaimana aku ingin hidup di tahun 2019. Aturan itu seperti proses. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, walaupun seharusnya kalau prosesnya benar maka hasilnya pasti baik. Aku tidak ingin fokus hanya memimpikan hasil, tetapi aku ingin fokus mengerjakan proses.

Di akhir 2018 dan di awal 2019, aku membaca artikel tentang resolusi yang sangat baik dan menegaskan apa yang ingin kulakukan. Di artikel tersebut, penulis menyarankan untuk kita membuat aturan hidup yang mencakup lima wilayah kehidupan kita: (1) Relasi dengan Tuhan, (2) Kehidupan/kesehatan pribadi, (3) Relasi dengan orang di sekitar, (4) Gereja, (5), Pekerjaan.

Misalnya, kita bisa membuat aturan hidup:

1. Setiap hari Senin-Jumat aku akan bangun jam 05:15, olah raga selama 45 menit. Setelah sarapan, aku akan saat teduh selama 30 menit. Kemudian berangkat kerja.
2. Aku akan tidur paling lambat jam 22:30.
3. Setiap hari Minggu aku akan mengevaluasi kehidupanku selama seminggu ke belakang dan merencanakan hidupku seminggu yang akan datang.
4. Setiap Senin malam, aku akan membaca buku rohani selama 1.5 jam.
5. Setiap hari Minggu malam, aku akan mengajak orang tuaku makan bersama.
6. Setiap akhir bulan aku akan mengevaluasi kondisi keuanganku dan mendiskusikannya dengan pasanganku.
7. Selain perpuluhan yang kuberikan, aku akan menyisihkan 2% lagi dari pendapatanku untuk menolong orang yang membutuhkan.
8. Dan seterusnya…

Sebelum memulai itu semua, kita dapat memulai dengan berdoa bagian manakah dalam kehidupan kita yang harus berubah. Pikirkan baik-baik apa yang ingin kita capai di tahun ini. Kemudian, pikirkan juga bagaimana kita bisa mencapainya? Kebiasaan apa yang harus kita mulai? Komitmen apa yang harus kita jalani untuk membentuk kebiasaan itu?

Komitmen akan membentuk kebiasaan dan kebiasaan pasti akan mengubah. The power of commitment. The power of habits.

Selamat membuat aturan hidup dan membentuk kebiasaan yang baru.

Baca Juga:

Dari Kejadian Sampai Wahyu, Pengalamanku Membaca Habis Alkitab dalam Setahun

Apakah kamu sudah pernah selesai membaca habis seluruh Alkitab? Bagaimana caramu melakukannya? Melalui tulisan ini, aku hendak membagikan sekelumit pengalamanku membaca habis Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu.

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Aku menaruh buku The Imitation of Christ yang ditulis oleh Thomas A. Kempis di atas meja belajarku. Kadang aku mengambilnya, membaca satu bagian singkat, merenung sebentar, kemudian merasa disegarkan atau ditantang olehnya. Hari ini, aku membaca sebuah bagian berupa doa dari seorang murid Kristus. Doa tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Kalau aku terjemahkan secara bebas, kira-kira isinya seperti ini:

Tuhan, perkataan-Mu benar adanya. Pemeliharaan-Mu bagiku melebihi apa pun yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Karena barangsiapa yang tidak meletakkan segala kehawatirannya kepada-Mu, berdiri dengan sangat tidak aman. Kalau saja kehendakku tetap benar dan teguh terarah kepada-Mu, Tuhan, lakukanlah kepadaku apa pun yang menyukakan-Mu. Karena apa pun yang akan Kau lakukan kepadaku hanyalah kebaikan semata.

Jika Engkau menginginkanku berada dalam kegelapan, aku akan memuji-Mu. Dan, jika Engkau menginginkanku untuk berada dalam terang, juga aku akan memuji-Mu. Jika Engkau membungkuk untuk menghiburku, aku akan memuji-Mu, dan jika Engkau menginginkanku menderita kemalangan, aku akan memuji-Mu selamanya.

Aku membaca doa ini beberapa kali. Ada dua hal yang kemudian terpikir olehku: Pertama, menurutku apa yang penulis tuliskan dalam doa itu sangatlah tepat. Itulah doa seorang Kristen yang mencintai Tuhannya, doa seorang murid Kristus. Tetapi, yang kedua, aku ngeri untuk mengucapkannya dengan sungguh.

Sangat jarang sebetulnya kita berdoa kepada Tuhan dengan sikap hati yang berkata, “lakukanlah kepadaku apa pun juga.” Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow…

Kalau doa ini menyebutkan dua sisi: A dan B, senang dan susah, sehat dan sakit, kaya dan miskin, maka kita selalu minta yang A. Lebih celaka lagi, kalau sikap kita: “Berikan aku yang A, karena itu sudah seharusnya. Berikan aku yang B, maka aku marah.”

Kalau kita perhatikan, penulis berani berdoa seperti di paragraf kedua itu karena ada paragraf pertama. Dia berani berdoa meminta “apa pun juga” karena dia percaya kepada Tuhan. Dia percaya akan kasih dan pemeliharaan Tuhan. Dia percaya Tuhan mampu dan mau memelihara dia, bahkan lebih daripada dirinya sendiri. Apa pun yang baik yang dia inginkan bagi dirinya, Tuhan lebih ingin! Itu sebabnya, dia percaya apa pun yang dilakukan Tuhan kepadanya adalah kebaikan. Maka, “Bring it on, Lord! Lakukanlah kepadaku apa pun! Aku akan memuji-Mu!”

Aku jadi berpikir, betapa bedanya hidup rohani kita kalau kita sering berdoa seperti ini.

Betapa kita, termasuk aku, perlu terus belajar berdoa. Karena bagaimana kita berdoa—berbincang dengan Tuhan, akan menentukan kerohanian kita.

Baca Juga:

Sebuah Aib yang Diubah Allah Menjadi Berkat

Aku pernah dengar sebuah pernyataan berikut, “Orang yang belum melupakan kesalahan orang yang diampuninya belum sungguh-sungguh mengampuninya.” Meskipun tidak sepenuhnya, aku setuju dengan sebagian pernyataan itu.