Posts

Dalam Rasa Kesalmu, Janganlah Terbit Penghakiman

Sebuah cerpen oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Guys! Vika keterlaluan banget! Pasti dia lagi pergi ke Jakarta buat nonton konser oppa kesayangannya. Parah! Masa dia lebih milih oppa daripada Tuhan sih?” ucap Cika dengan tatapan tajam. Ia adalah pengurus di persekutuan pemuda gereja.  

Bukan tanpa alasan Cika kesal dengan Vika. Hari ini ada event spesial di persekutuan pemuda. Segala hal sudah disiapkan dengan matang dan persiapan-persiapan di awal pun berjalan lancar. Tapi, Vika—seorang yang harusnya punya peran penting—mendadak tidak hadir dan tidak memberikan alasan jelas. Akibatnya, event yang diharapkan berjalan sempurna pun jadi tidak berjalan maksimal. 

Mendengar luapan emosi Cika, teman-teman lain yang hadir saat itu pun ikut tersulut. Mendadak dan tanpa alasan jelas, dua poin ini yang menjadi bara panas di hati teman-teman persekutuan. “Iya betul!” tanggap Ape. “Dia mah bukan cuma suka doang sama K-pop, tapi udah kecanduan. Ini bukan sekali dua kali loh dia lebih bela oppa-nya itu daripada Tuhan!”

Sebenarnya semua orang di gereja tahu bahwa Vika memang pecinta segala hal yang berbau Korea. Dia mengoleksi souvenir, mulai dari poster, majalah, sampai sederet film-film dan lagu yang dia simpan di folder khusus di drive. Tak ada yang mempermasalahkan kesukaannya ini. Namun, ketika beberapa bulan terakhir dia mulai kurang aktif di persekutuan, teman-temannya pun berspekulasi apa gerangan yang menjauhkan Vika dari mereka. Mau dicari tahu sebabnya, tapi mereka memang jarang terlibat deep-talk dengannya. Dimulai dengan perasaan tidak tahu yang berevolusi menjadi kepo tapi tak menemukan fakta apa pun, terbitlah tudingan bahwa kesukaan Vika akan K-pop yang jadi biang keladinya. 

“Emang dia pernah berbuat apa aja sih sampai kalian bisa bilang kecanduan?” Uma berusaha menenangkan. Sebagai salah satu senior, dia peka menangkap bahwa diskusi ini tak lagi kondusif. Dia kesal juga dengan Vika, tapi tak ingin menyalahkannya sebelum tahu sebab yang benar.

“Dia pernah beli satu album lagu tuh. Kalau belinya satu sih ya gapapa. Tapi masalahnya, dia beli sampe satu dus! Alasannya? Supaya dia bisa menang undian tiket fan sign sama itu oppanya,” jawab Ape sambil pandangannya menatap satu per satu orang yang hadir, membuat mereka kaget mengetahui kalau Vika se-”addict” itu sama idolanya.

“Gak cuma itu!” Cika ikut menambahi. “Dia juga pernah datang ke persekutuan sambil matanya bengkak. Waktu aku tanya, dia bilangnya abis nangis semaleman gara-gara oppa-nya kalah di acara penghargaan.” 

Bagaikan api tersiram minyak, emosi kekesalan teman-teman terasa panas membara. Sebelum yang lain menimpali dengan rumor atau spekulasi yang mereka anggap fakta, Hela yang dari tadi diam mengangkat suaranya. “Kalian sudah coba bicara ke Kak Efa belum sih soal ini? Dia kan pembina pemuda, harusnya kalau kita share ini ke dia, dia bisa bantu tegur Vika.” 

“Sudah, Hel. Tapi ya gitu. Si Vika masih aja kecanduan. Gak berubah sama sekali,” jawab Cika. 

Diskusi evaluasi hari itu berjalan tanpa solusi selain menuding Vika sebagai penyebab tunggal tidak sempurnanya acara. Semenit dua menit ruangan menjadi hening. Rasa lelah ditambah kesal mau tak mau menguras energi semua orang  yang hadir. Tak lama kemudian, Kak Efa pun datang. Dia melihat suasana dan raut wajah adik-adik rohaninya yang muram. 

Kak Efa menorehkan segaris senyum di wajahnya, kemudian dia berdiri di sebelah Cika dan berkata, “Guys, good job buat hari ini. It’s okay kalau acaranya tidak 100% berhasil, yang penting pesan firman Tuhan yang mau kita sampaikan ke peserta yang hadir bisa mereka terima.”

Namun bukannya jadi lebih cair, suasana malah makin muram. Kak Efa tahu Vika tidak hadir, tapi belum ngeh kalau semua orang dongkol karena absennya dia. 

“Gara-gara Vika pokoknya kak!” celetuk Ape. 

“Loh…” Kak Efa mengernyitkan dahi. “Kenapa kalian jadi kesel banget sama Vika?” 

Pertanyaan ini ramai-ramai dijawab dengan segudang spekulasi dan tudingan tentang Vika. Kak Efa meminta mereka semua tenang dan cukup satu orang saja yang bicara. Cika pun ditunjuk untuk menjadi juru bicara.

“Vika gak berubah kak, malah tambah parah. Kalau pun kami yang tegur, pasti dia gak mau denger, malah bisa-bisa kami yang kena marah balik sama dia.” 

“Iyalah, namanya juga itu K-popnya udah jadi candu,” timpal Ape. “Pantesan aja dia sampe sekarang gak punya pacar. Gimana mau punya? Standarnya aja halu!” 

“Stop ya teman-teman…” Kak Efa menghela nafas. “Kalian ini kan lagi evaluasi pasca event, kenapa jadi gosipin orang ya?”

Semua yang hadir terdiam. “Vika yang hari ini gak hadir pasti membuat kita kesal, kakak paham. Dan kalau kalian bilang Vika tidak bisa dinasehati dan sebagainya, itu bukan artinya kita bebas menebar spekulasi tentang dia loh. Sekarang kakak tanya, ada gak dari antara kalian yang pernah sungguh-sungguh duduk dan dengerin cerita dari Vika?” 

Semuanya menggelengkan kepala. Di balik hobinya mengoleksi beragam album K-Pop, Kak Efa tahu Vika adalah sosok pemudi yang hangat. Dalam beberapa kesempatan setelah ibadah pemuda, Kak Efa pernah mengobrol dengan Vika, bahkan ada satu waktu ketika mereka akhirnya pergi makan malam berdua. Di situ Vika bercerita bahwa mengidolakan K-Pop hanyalah sekadar hiburan buatnya. Vika anak tunggal dalam keluarga. Ibunya telah tiada dan sehari-hari dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Menonton drama, mendengarkan lagu, dan kumpul dengan sesama fans adalah hal-hal yang membuat Vika tidak lagi merasa sepi. Di gereja Vika belum bisa terlalu dekat dengan yang lain karena dia merasa tak punya hobi yang sama. Hanya dia seorang yang begitu menyenangi Korea-koreaan.

Tak cuma di persekutuan pemuda, ketika orang-orang tergabung dalam satu komunitas, tumbuh pula rasa kebersamaan dan kesepakatan-kesepakatan tak tertulis. Semisal, ada agenda untuk pergi bersama, muncul julukan-julukan khusus buat seseorang, atau sesederhana muncul ikatan untuk selalu melakukan suatu acara bersama-sama. Ketika salah seorang anggota tiba-tiba mundur, atau tak sepakat dengan kebanyakan orang yang ada di sana, kecenderungan yang muncul ialah orang tersebut dianggap berbeda. Bahkan, pada beberapa kasus, bisa jadi dia dijadikan bahan omongan.

Jika sudah tiba pada tahapan itu, komunitas tak lagi jadi tempat yang aman untuk anggotanya menjadi diri sendiri. Membiarkan omongan negatif hingga spekulasi bertebaran akan menggerus kasih persaudaraan di dalamnya. 

Kak Efa pun melanjutkan narasinya. “Teman-teman semua, kakak tahu kita kesal. Tapi sekali lagi, kakak mohon kita ingat kalau kita adalah persekutuan anak-anak muda, orang-orang percaya. Membicarakan keburukan Vika gak akan membuat kita menemukan solusi untuk membuat teamwork kita lebih baik, ataupun membuat Vika jadi sadar. Yang ada malah membuat kita makin berjarak dengan dia.”

Statement Kak Efa rupanya ampuh memutus spekulasi panjang di ruangan itu. Mungkin mereka pun sudah kelelahan juga. “Malam ini kalian pulang, doakan Vika. Minta juga hikmat dari Tuhan untuk mengarahkan kita bagaimana nanti bisa menasihati Vika. Entah nanti Vika akan berubah atau tidak setelah mendengar nasihat kita, yang penting adalah kita menyampaikannya dengan baik dan tidak membicarakan keburukannya.” 

Ape, Cika, dan dua orang yang sedari tadi vokal membicarakan Vika pun mengangguk-ngangguk. “Iya kak, terima kasih sarannya. Kami akan ikuti,” jawab mereka kompak. 

Dalam hati Kak Efa bersyukur karena Roh Kudus memberkati ucapannya. Dalam perasaan kesal mudah sekali untuk berspekulasi dan berbicara keburukan orang lain, tetapi Alkitab mengingatkan kita agar janganlah kita buru-buru menghakimi (Matius 7:1).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jangan Ada Dosa di Balik Obrolan Serumu!

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Kalau dulu ada ungkapan yang bilang, suka ngomongin orang, kayak perempuan aja sih!” Sekarang agaknya itu tidak lagi berlaku. Gosip alias ngomongin orang sejatinya tidak melekat hanya kepada kaum perempuan saja. Manusia dengan natur kedagingannya mudah tergoda pada gosip.

Secara sederhana gosip bisa kudefinisikan sebagai kita membicarakan orang yang sama-sama kita kenal, tapi orangnya tidak di situ dan tidak tahu juga kalau sedang diomongin. Ketika menuliskan artikel ini aku pun bukan orang yang telah merdeka sempurna dari bergosip karena jelas-jelas ada salah satu grup WA-ku yang judulnya “Gossip Girls”. Parahnya, akulah yang memberi nama grup itu! Memang itu cuma sekadar nama karena intensi utama grup itu bukanlah menggosip, melainkan untuk mempererat relasi kami. Grup itu pun tidak terlalu aktif karena kami lebih sering bertemu langsung.

Para sosiolog mengakui bahwa gosip menjadi mekanisme terbentuknya kontrol sosial dalam bermasyarakat. Tentunya kita sering mendengar kalimat seperti ini, “Hati-hati lu, nanti malah digosipin!” Dengan adanya konsep “gosip”, kita diingatkan adanya konsekuensi sosial untuk setiap perbuatan kita, sehingga secara tidak langsung konsep “gosip menggosip” ini mendorong manusia agar bermoral baik, atau jaim (jaga image) supaya tidak dijadikan bahan pembicaraan orang lain. Pada sisi negatifnya, gosip dapat menimbulkan perpecahan dan ketegangan sosial. Alkitab sendiri menentang gosip (Roma 1:29), namun memuji diskusi yang sifatnya membangun. 

Nah, jadi pertanyaannya: apakah mungkin kita sharing tanpa harus ngejulid? Bagaimana agar pembicaraan kita tidak menjadi dosa dalam keseharian kita?

Gosip atau diskusi?

Gosip atau diskusi? Rumitnya di sini. 

Namanya mengobrol, pasti ada kalanya membicarakan orang-orang yang kita kenal. Karena standar gosip itu bervariasi, mari kita sepakati dahulu konsep gosip yang kumaksud di sini, yaitu membicarakan orang lain di mana aku dan lawan bicaraku sama-sama kenal namun orang yang kita bicarakan tidak hadir dalam pembicaraan. Dan, umumnya isu-isu yang dibahas bersifat negatif. 

Pada kebanyakan kasusnya, gosip sering diawali dengan kongko bareng tapi malah akhirnya menambahkan asumsi-asumsi kosong yang belum benar faktanya. Supaya terhindar dari jeratan ini, saat kita masuk ke dalam circle yang agendanya sedang membedah perilaku buruk orang lain, kita bisa tanyakan ke diri sendiri dulu: apa motivasiku ikut pembicaraan ini? Apa tujuanku? Apakah karena aku peduli terhadap orang lain? Atau hanya karena kepo?

Dari sini kita dapat melihat perbedaan yang jelas. Jika tujuan pembicaraannya didasari oleh kepedulian dan kasih kita terhadap si orang yang kita bicarakan, kita pasti berusaha untuk mengerti alasan di balik perilakunya, dan yang terpenting adalah kita mau menjangkau mereka, bukan malah mengucilkan mereka dengan asumsi-asumsi yang negatif. Yang diutamakan oleh tim yang menjunjung sharing atau diskusi produktif adalah mencari solusi untuk membantu si dia yang jadi topik pembicaraan.

Saat kita ikut-ikutan bergosip, ada kalanya kita jadi pendengar pasif, bukan si sumber berita ataupun pembawa acara. Namun, Alkitab tetap menyatakan bahwa kita juga sama berdosanya karena ikut mendengar walau tidak berpartisipasi (Amsal 17:4). Jika ini situasi yang kita hadapi, maka mungkin yang kita dapat lakukan adalah mengalihkan arah pembicaraan menjadi lebih positif dan konstruktif. Misalnya dengan bertanya, “Apakah kamu sudah berdiskusi dengan dia mengenai masalah ini?” Kita juga bisa memberikan rasa simpati terhadap mereka yang sedang dibicarakan. Anggaplah kita sedang membela teman baik atau saudara kita sendiri, kita pasti akan berusaha mendorong orang lain untuk berpikir objektif. 

Rasul Paulus mendefinisikan gosip sebagai dosa yang serius, dan mengaitkannya sebagai perbuatan dosa yang dilakukan dengan maksud jahat, rasa dengki/iri hati, berbohong (Roma 1:29; 2 Korintus 12:19). Tapi… ada tapinya nih man-teman… Tapi di sisi lain, Alkitab sendiri mendorong adanya diskusi yang terbuka (Kis 4: 14-15) atau community openness (1 Yoh 1:7 ; Gal 6:2). 

Apa itu community openness? Community openness depart diartikan sebagai komunitas yang saling terbuka. Terbuka di sini mengartikan sebuah kejujuran ya, bukan kebocoran. Menjaga kerahasiaan di antara anggota sebuah komunitas itu sangat penting, karena di situlah kita sebagai satu tubuh Kristus membangun kepercayaan dan keterbukaan. Sebagai orang Kristen, kita diajarkan untuk terbuka terhadap sesama kita, dan membudidayakan kepercayaaan terhadap saudara kita dalam Kristus. Di dalam komunitas inilah, kita dan anggota kita seharusnya merasa aman bercerita dan saling memberikan masukan yang positif tanpa menghakimi. Kalau gosip menciptakan lingkungan yang membuat anggotanya khawatir akan menjadi topik gosip berikutnya, community openness sebaliknya mewadahi kita sebuah komunitas yang anggotanya nyaman dan aman membagikan bebannya dan mendapatkan input yang membangun serta saling membantu. Kalau dipikir-pikir penerapan community openness ini memang jauh lebih sehat, karena meminimalisir yang namanya asumsi kosong atau negatif karena kita dapat mendengar dari berbagai belah pihak dan mungkin dari orangnya langsung.

Nah! Jadi good news-nya, buat kita yang super kepo ini, kita boleh lanjut kepo guys, asalkan penerapannya adalah community openness yang Alkitab sudah ajarkan ya gengs. Keponya tahu batas juga ya, dan harus didasari ketulusan hati. Mantap kan?!

Mungkin, nantinya akan ada kasus khusus di mana kita perlu menentukan seberapa besar anggota yang perlu mengetahui permasalahannya dan apa perlu mengikutsertakan seorang yang lebih senior dan bijak, itu semua tergantung pada isu dan permasalahanya. Apa yang aku sampaikan hanyalah ajaran secara garis besar dari para tokoh Alkitab.

Nah, sudah jelas dong bedanya gosip dan diskusi. Kalau sudah tahu, tinggal pilihannya di tangan kita; apakah kita mau membudidayakan komunikasi yang sifatnya membangun atau malah menjatuhkan orang lain? 

Sebagai orang Kristen, perbuatan yang paling benar jika kita masuk ke dalam aktivitas menggosip, kita membawa pembicaraan yang hawanya gosip menjadi obrolan yang membuahkan solusi bagaimana kita dapat merangkul sesama kita. Dan tentunya, seluruh pertanyaan dan pernyataan yang telah kutuliskan di atas juga berlaku untukku sendiri, si kepo yang juga member dari grup WA berjudul gossip girls, hahaha!

Ketika yang Paling Melekat di Hatiku Bukanlah Tuhan

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Santi datang agak terlambat ke ibadah Minggu siang itu. Baru saja dia duduk, tiba-tiba dirinya berdiri lagi, Ada pokemon di belakang. Sebelum keduluan yang lain, aku ambil dulu,” bisiknya dengan senyum-senyum sambil berlalu ke deretan bangku belakang. Dia kembali ke bangku semula dengan tangan yang tetap asyik memainkan gawai saat pendeta mulai membagikan firman. Aku colek teman di sebelahnya untuk mengingatkan Santi fokus dulu ke ibadah, namun jawabannya membuat gemas. Katanya, dia bisa menyimak khotbah sembari bermain gim. 

Pokemon GO pernah menjadi permainan piranti bergerak yang fenomenal karena menarik minat masyarakat dunia untuk memainkannya. Gim yang diciptakan oleh Niantic dan dirilis di tiga negara pada 2016 itu, mengalahkan popularitas permainan sejenis di masanya; Candy Crush dan Angry Birds. Menariknya lagi, Pokemon Go yang menggunakan konsep augmented reality, teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam dunia nyata ini; menurut riset yang dilakukan oleh Clinic Compare, sebuah lembaga kesehatan swasta di Inggris, dapat membantu menguruskan badan! Kok bisa? Katanya, karena permainan Pokemon Go akan membawa penggunanya bergerak mencari pokemon ke luar ruangan…dan pada sisi ekstrem seperti Santi, termasuk berburu di dalam ruang ibadah!

Jawaban Santi yang terasa menggemaskan membuatku berefleksi. Ibadah sejatinya membangun hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi, kalau Tuhannya kita cuekin apakah Tuhan tidak tersinggung? 

Contoh sederhananya begini. Ketika kita ngobrol dengan teman dan dicuekin, bukankah kita akan menegur si teman agar menghargai kita, lawan bicaranya? Kalau teman yang terlihat saja tidak kita hargai, bagaimana mau fokus mendengar pesan Tuhan yang kita tidak lihat? Akan lebih menarik melihat gim bukan? 

Kemelekatan yang dalam terhadap sesuatu membuat seseorang susah untuk melepaskan diri. Fokusnya hanya kepada satu hal yang dia sukai. Hal-hal lain di sekitarnya tak lagi menarik minatnya, bahkan cenderung akan diabaikan. Santi yang awalnya hanya iseng bermain Pokemon ketika senggang, lama-lama jam ibadahnya pun terpakai untuk berburu monster-monster virtual dalam layar ponselnya. Responsnya yang berkata dia bisa fokus mendengar khotbah sembari bermain gim mungkin juga jadi sikap hati kita pada hal-hal yang kita lekatkan dalam hati. Mungkin bukan tentang gim, tapi tentang ambisi kita mengejar prestasi, terbuai hubungan romantis, dan sebagainya. 

Kembali pada cerita Santi, apakah benar dia bisa fokus ibadah sementara pikiran dan tangannya sibuk dengan permainan yang seru? 

Jawabannya kutemukan belakangan. Beberapa bulan ini, Santi merasakan kepalanya sering pusing dan bola matanya terasa menusuk-nusuk saat bangun tidur. Ia bahkan sempat masuk rumah sakit selama beberapa hari karena pusingnya itu, namun dokter mengatakan kondisi fisiknya baik-baik saja. Meski sudah diingatkan oleh teman dekatnya pusing itu pengaruh terlalu banyak memelototi layar gawai, Santi tak jua menghentikan kebiasaannya. Memang tidak mudah untuk menghentikan satu kebiasaan yang telah melekat dalam sekejap tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja diperlukan usaha keras yang harus datang dari dalam diri.

Mungkin saat ini Santi belum sepenuhnya memahami bahwa kesukaannya dengan permainan akan memberi dampak buruk buatnya di kemudian hari. Bila kamu atau temanmu mengalami keadaan serupa dengan Santi, ada empat hal yang bisa menolongmu untuk lepas dari kemelekatan:

1. Berani berkata TIDAK. Jika sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan, jangan coba-coba untuk mendekatinya meskipun rasa penasaran memuncak. Kenali kelemahan diri kita karena godaan itu akan selalu berulang di situ.

Keberanian dan konsistensi untuk berkata tidak sangat erat kaitannya dengan pengendalian diri. Pada praktiknya, menolak sesuatu tidak selalu mudah karena natur kita yang berdosa membuat kita lebih mudah tertarik oleh dosa. Oleh karenanya, kita butuh sesuatu yang ilahi, yang lebih kuat untuk mematahkan kedagingan kita. Kita dapat meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengaruniakan kita salah satu buah Roh, yakni pengendalian diri sebagai senjata untuk menahan langkah kita tidak terjatuh pada kubangan dosa.

2. Bangun kebiasaan yang sehat. Bergabunglah dengan komunitas yang di dalamnya kamu dapat bertumbuh secara rohani.

Addiction kita terhadap sesuatu muncul karena kita merasa itulah satu-satunya cara yang bisa membuat kita merasa puas. Pikiran kita pun menjadi sempit dan tertutup dari hal-hal lain yang bisa memberikan kepuasan atau manfaat lebih buat kita.

Kehadiran komunitas yang mendukung kita untuk menikmati hal yang lebih baik seperti persekutuan dan kebersamaan tentu akan menolong kita. Dan, apabila kita memiliki satu kawan yang bisa kita percayai, kita akan lebih leluasa berbagi proses jatuh bangun kita untuk didoakan bersama-sama.

3. Batasi waktu untuk berinteraksi dengan apapun itu yang akan membuatmu lupa dengan hal lain. Paulus pernah berpesan dalam 1 Korintus 6:12 bahwa “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Sebuah permainan diciptakan untuk membantu merangsang imajinasi, daya ingat, melatih gerak motorik, juga sarana refreshing bagi penggunanya. Namun, jika penggunaannya sudah tidak terkontrol sehingga menjadikan penggunanya melekat, akan berdampak ke kesehatan mental yang dikategorikan sebagai gangguan perilaku. 

Saat kita asyik menikmati gim atau apa pun yang membuat kita merasa sangat hidup, hendaklah kita selalu ingat untuk tidak menjadikan itu satu-satunya cara kita meraih kepuasan.

Olive Bendon senang bercerita dan mengurai kegelisahannya lewat tulisan. Mampirlah ke www.obendon.com untuk membaca ceritanya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kering, Namun Perlahan Disuburkan Kembali

Oleh Jesica Rundupadang, Toraja

Menjelang Natal tahun kemarin, aku ditunjuk menjadi salah satu tim kerja di persekutuan pemuda di gereja. Namun, pada saat yang sama aku kurang melibatkan diri dalam pelayanan, rasanya seperti ada sekat karena sebuah masalah yang pernah terjadi. Semakin hari aku semakin menjauh dari gereja. Saat diminta hadir dalam sebuah pertemuan atau ibadah, aku selalu mangkir dengan banyak alasan. Hal ini terjadi selama beberapa bulan dan tanpa kusadari mempengaruhi juga kehidupan rohaniku. Aku jadi jarang berdoa, atau hanya seperlunya saja. 

Hingga tibalah saat menjelang Paskah. Aku kembali diberi tanggung jawab. Aku mengatur siapa-siapa saja yang akan menjadi petugas ibadah. Ingin rasanya kutolak, tapi karena satu dan lain hal aku tidak bisa. Jadi, kuhubungi teman-teman yang kurasa bisa ambil bagian (liturgis, pemain musik, kantoria, dsb) di ibadah Paskah nanti. Ketika aku mulai mengajak teman-temanku, rupanya di sinilah Tuhan menegurku. 

“Sebenernya kan kalian bisa latihan tanpa saya. Lagipula kalian yang ambil bagian, masalah liturgi sudah beres. Jadi, untuk apa saya datang?” kalimat ini kuucapkan setelah dua hari para pelayan berlatih. 

“Cika,” jawab Chinjo, salah satu dari pelayan ibadah. “Tidak begitu. Ini tugasmu untuk terus pantau kami yang latihan. Ini seperti tugas Kak Ci di tahun-tahun yang lalu. Bukan sekadar mengingatkan, tapi kalau ada yang miss bisa diperhatikan. Jadi bukan karena liturginya beres, kamu menghilang. Btw, bisakah tiap latihan kita mulai dengan doa?” Teguran ini disampaikan Chinjo dengan muka bercanda, tetapi dia serius dengan pesannya.

Terus terang saja aku pun bergumul tentang doa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat jarang berdoa belakangan ini. Hari-hariku tak kuawali dan kuakhiri dengan doa. Aku terus berjalan dengan menganggap remeh doa itu, karena pikirku “aku doa dan tidak doa pun, Tuhan tetap kok nggak bakalan jawab doa sesuai keinginanku bahkan malah aku seperti ini karena Tuhan sendiri.”

Jika Paskah di gereja kemarin sempat ditegur dengan doa. Kembali lagi, saat akan dirayakan Paskah tingkat Klasis, yang kebetulan pemuda jemaat kami yang mengambil bagian lagi, beda lagi tegurannya. Di sini kami selalu pergi ke jemaat lain untuk latihan. Hari ganti hari kami semakin saling terbuka, apalagi setiba di lokasi di mana kami menginap serumah. Aku merasa terharu, ketika saat itu salah satu temanku memanggil “Cika, ayo saat teduh”. Hal yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut orang yang sama sekali juga tidak kusangka-sangka. Dia adalah temanku, yang dulunya bahkan menyepelekan kegiatan ibadah pemuda. Lalu kenapa Tuhan memakainya menegurku? Ada pertanyaan yang menggelitik pikiranku, “Tuhan, kok Engkau pakai orang ini?”

Kehadiran teman-temanku rupaya menjadi cara Tuhan untuk menegurku. Ketika aku mulai tidak peduli dengan kehidupan spiritualitasku seperti sebelumnya, Tuhan menegurku melalui mereka. Ketika aku tidak peduli dengan kondisi di sekitarku, Tuhan tetap memakai temanku untuk mengingatkanku pentingnya saling berbagi, sharing.

Ada begitu banyak cara Tuhan untuk membawa anaknya kembali dalam dekapannya. Pengalamanku ini salah satunya. Bagaimana aku yang jadi malas berdoa atau berdoa seperlunya saja, tidak lagi ikut komunitas, dan berhenti saat teduh, bisa ditegur perlahan melalui orang di persekutuan gerejaku. Jujur saja, menyepelekan hal seperti ini kadang mengganggu perasaanku. Selalu ada kata, “Kapan aku bisa kembali seperti dulu? Kapan aku mau kembali lagi?” Tapi seketika itu pun kadang kujawab “Ah bisalah nanti, bisalah besok, kapan-kapan aja”.

Tapi, sejak aku dapat teguran dari kedua temanku itu aku kembali berpikir. “Kamu diberi waktu 24 jam. Ini 24 jam lho. Terbuangkah waktumu percuma hanya untuk bicara sama Tuhanmu? Tuhan bahkan tidak meminta kamu harus tiap bangun doa paling kurang sejam. Tuhan hanya mau mendengar doamu secara langsung lebih intim. 

Kusadari bahwa ketika aku meremehkan hubunganku dengan Tuhan, aku akan tiba pada satu titik di mana aku merasa hampa meskipun semua yang kita butuhkan tersedia. Bisa saja, mungkin ada di antara kita yang saat ini merasa kering dan tidak diperhatikan Tuhan. Bisa saja, kita juga mulai surut untuk mengikuti kegiatan rohani di gereja. Namun, satu hal yang dapat kupercaya yaitu Tuhan mampu. Tuhan punya kuasa untuk menarik kita kembali bahkan melalui orang-orang yang tidak kita sangka.

Sejenak aku berpikir, “Kok Tuhan tidak marah? Kenapa malah semakin membuatku untuk mendekat?” Jawabannya baru kudapatkan saat ibadah bersama rekan-rekan di tempat kerjaku. 

Jawabannya, Tuhan adalah kasih. Seberapa jauh pun kita melangkah menghindari hadirat Tuhan, kasih-Nya tetap besar. Tuhan masih ingin kita menikmati waktu bersama-Nya. Akan ada suatu waktu, Tuhan membuatmu tertegur, tertegun, dan terbentuk. Kita bisa menikmati hadirat Tuhan salah satunya dengan persekutuan. Tak sedikit ada bentrokan dalam persekutuan, namun bukan artinya kita meninggalkan. Tetap taat hingga kita semua berbuah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cara Menjaga Kesehatan di Tengah Sibuknya Pelayanan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Habel adalah seorang anak remaja yang sangat aktif melayani di gereja. Hampir setiap harinya dia berada di gereja. Selalu saja ada alasannya, entah itu rapat pengurus komisi remaja, latihan untuk ibadah remaja, membantu membuatkan slide power point untuk ibadah umum hari Minggu, ataupun bermain badminton bersama teman-temannya di gereja. 

Kesibukan Habel di gereja membuat dia sering disambut omelan oleh ibunya ketika dia tiba di rumah. Bagaimana tidak, dia yang masih sekolah tapi sibuknya bukan main, sampai-sampai setiap hari baru sampai di rumah ketika langit sudah gelap. Tidak heran ibunya jadi sering mengomel, tapi meskipun dia sering diomeli, Habel tidak mengubah rutinitasnya itu karena menurutnya dia sedang mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Hingga suatu hari rutinitas yang disukainya itu terpaksa harus berhenti. 

Akibat dari banyaknya tugas sekolah dan pelayanan yang ia lakukan, Habel pun kelelahan. Kondisi fisik yang tidak prima inilah yang menjadi gerbang dari sakit tifus. Alhasil karena sakit ini dia tidak bisa bersekolah dan tidak bisa juga mengambil pelayanan di gereja.

Beberapa hari setelah ia sakit, pembina remajanya datang untuk menanyakan kabar sekaligus mendoakannya. Ketika ditanya kabarnya, Habel dengan wajah mengerut menjawab sedih karena saat ini dia tidak bisa produktif melayani Tuhan. Habel juga merasa bersalah karena seperti tidak mengerjakan panggilannya sebagai orang Kristen yaitu melayani Tuhan dan sesama. 

Mendengar hal itu, pembina remajanya tersenyum geli lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membacakan kepada Habel. 1 Korintus 10:31 “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” 

Ia kemudian memberi nasihat kepada Habel bahwa menjaga kesehatan penting dalam melayani Tuhan. Menjaga kesehatan juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, karena memuliakan Allah tidak hanya dengan melayani Tuhan saja tetapi semua hal yang Habel lakukan termasuk menjaga kesehatannya semuanya itu juga untuk memuliakan Allah. Jadi, tidak harus selalu mengambil banyak pelayanan di gereja untuk bisa memuliakan nama Tuhan, melainkan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berani menolak godaan dosa itu juga merupakan bentuk memuliakan nama Tuhan. Tapi, nasihat itu terasa membingungkan buat Habel. 

“Jadi, aku harus gimana kak? Kan pelayanan itu perlu?” Pertanyaan ini dilontarkan Habel karena dia tidak ingin menolak tiap kesempatan pelayanan yang diberikan buatnya. Tapi, kalau diterima semuanya, ujung-ujungnya bisa sakit lagi seperti ini. 

“Mungkin kamu bisa delegasikan tugasmu buat orang lain, kan pelayanan itu bicara juga soal teamwork,” jawab kakak pembina.

Pelan-pelan Habel mencerna solusi ini. Memang rasanya tidak enak jika kita menolak kesempatan pelayanan dari orang yang mempercayai kita. Bagi sebagian orang menolak ini seperti merusak kepercayaan. Juga, mungkin ada rasa tidak enak kalau bukan kita sendiri yang mengerjakan pelayanan itu. Namun, sesekali kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk juga melayani Tuhan karena setiap orang punya kesempatan yang sama, dan Bapa Surgawi juga berkenan menerima pelayanan dari orang lain. 

Solusi tersebut secara tidak langsung menegur Habel karena terkadang dia sebenarnya mengambil banyak pelayanan di gereja untuk mengisi waktu kosongnya dan bukan dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Dia senang jika orang-orang mengandalkan dia. Habel juga terkadang merasa dirinya hebat sehingga tidak suka jika ada orang lain yang menawarkan bantuan kepadanya. Sekarang dia mengerti. Merasa diandalkan dan hebat membuat Habel tidak mempedulikan kesehatannya tetapi justru memuaskan keinginannya, sehingga hal itu membuat dia jatuh sakit.

Obrolan hangat antara Habel dan kakak pembinanya menuntun Habel pada sebuah pemahaman baru antara iman, pelayanan, dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Habel kemudian mengakui dosa dan kelemahannya itu kepada pembinanya. Mendengar pengakuan Habel, pembinanya kemudian tersenyum, menepuk pundaknya, dan kemudian mendoakan dia.

“Habel, dosa-dosa kita sudah diampuni Tuhan. Tapi, itu bukan berarti kita terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama, ya,” sahut kakak pembina. 

Kalimat penutup ini disambut Habel dengan senyuman hangat dan semangat bahwa setelah sembuh dari tifus, dia akan memperbaiki prioritasnya.

***

Teman-teman, sebagai seorang Kristen yang sudah menerima keselamatan dari Kristus, pelayanan yang kita lakukan memang salah satu wujud syukur kita. Melayani Tuhan dan sesama tentunya berkenan bagi Allah. Akan tetapi, jika kita overload dalam mengambil pelayanan entah di gereja atau di organisasi Kristen, kecenderungannya adalah kita akan kehilangan sukacita karena energi kita terkuras habis. Belum lagi jika akhirnya pelayanan itu tercampur dengan motivasi pribadi, alih-alih menyenangkan Tuhan. 

Seperti cerita Habel di atas, mungkin ada di antara kita yang seperti itu. Kelelahan yang tidak diatasi akan membuat fisik kita pun ikut sakit. Maksud hati ingin jor-joran melayani, ujung-ujungnya malah tidak produktif. 

Teman-teman dalam surat 1 Korintus 10:31, Paulus mengatakan bahwa apa pun yang kita lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mari kita ubah konsep berpikir kita. Berikanlah kesempatan pelayanan kepada teman atau adik tingkat kita yang kita rasa mampu dan bisa dipercaya, dan ambilah waktu istirahat sejenak dari kesibukan pelayanan dengan tidak merasa bersalah. Menjaga kesehatan secara fisik maupun secara rohani menolong kita untuk terus merasakan sukacita dalam melayani Tuhan maupun dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya nama Tuhan dimuliakan tidak hanya melalui pelayanan kita tetapi juga dalam seluruh hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Prison Playbook: Dua Hal yang Kupelajari Tentang Komunitas

Oleh Fernando Chandra

Aku bukanlah penggemar drama Korea karena menurutku untuk menghabiskan satu season-nya butuh waktu cukup lama sedangkan aku bukan tipe orang yang suka menonton serial secara putus-putus. Namun, karena melihat cuplikan-cuplikan di media sosial, aku memutuskan untuk menonton satu serial drakor berjudul Prison Playbook atau Wise Person Life.

Serial ini dirilis pada tahun 2017 dan mendapatkan tanggapan positif. Cerita utama yang diangkat adalah tentang Kim Je Hyeok, seorang atlet bisbol berprestasi yang hendak dikontrak oleh tim bisbol profesional dari Amerika. Tapi, sebelum kontrak ditandatangani, Je Hyeok malah tersandung kasus hukum saat hendak membela adiknya yang terancam pelecehan seksual oleh seorang pria. Selama berada di penjara, Je Hyeok beradaptasi dan berbagi hidup dengan para narapidana lain dari berbagai kasus.

Jika biasanya drama korea berkutat seputar romantisme, Prison Playbook banyak diisi dengan komedi. Namun, setelah menontonnya, kupikir film ini lebih dari sekadar komedi. Ada beberapa hal yang kudapatkan dan kurasa perlu kita renungkan lebih jauh.

Pertama, prasangka terhadap orang lain. Adegan penyiar radio mungkin jadi salah satu adegan yang kurang mendapat perhatian. Bahkan sampai episode terakhir, wajah dari penyiar radio tak juga diperlihatkan. Ada sepenggal perkataan dari si penyiar yang menarik perhatianku. Dia berkata bahwa hal yang tidak disukai orang-orang, termasuk para narapidana adalah prasangka. Ada narapidana yang kelihatannya melakukan kejahatan besar, tapi sebenarnya dia telah berubah. Sebaliknya, ada narapidana yang terlihat baik di awal, tetapi justru menjadi tokoh antagonis di akhir film ini.

Tidak semua orang hidup berdasarkan cerita yang kita dengar dari orang lain. Ada alasan (bukan pembenaran) mengapa seseorang melakukan suatu tindakan. Ketidaktahuan kita akan alasan inilah yang dapat mendorong kita untuk terjebak dalam prasangka, alias melabeli seseorang dengan asumsi kita sendiri yang belum tentu akurat. Sebelum memutuskan untuk menjauhi seseorang, kita dapat belajar untuk memahami dan mendengar lebih dulu kisahnya. Setiap orang perlu untuk dipahami dan didengar, tidak hanya dihakimi berdasarkan rumor yang tersebar di komunitas.

Kedua, tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kehidupan Kim Je Hyeok selama di penjara mempertemukannya dengan berbagai macam karakter orang. Tidak semua orang bersikap baik. Ada yang berusaha melukai dan berbuat jahat, tetapi ada juga orang-orang yang membantu, mendukungnya ketika dia ada dalam kondisi terpuruk. Mereka yang membantu bukanlah orang-orang sempurna. Status narapidana mereka adalah salah satu bukti dari fakta ini. Namun, bagian favoritku dalam film ini adalah ketika para orang tak sempurna ini rela saling tolong-menolong dalam kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.

Aku percaya, setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita bukanlah sebuah pertemuan yang hanya sekadar lalu. Mereka adalah orang-orang yang Tuhan letakkan dalam hidup kita. Mungkin mereka orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Mungkin juga mereka adalah orang-orang yang kelak akan membantu kita. Ada yang akan menolong kita dalam waktu yang lama, tetapi ada juga yang hanya sementara. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan bagi kita untuk menikmati kebersamaan yang ada. Pun kita bisa saja pernah mendengar hal buruk, namun sebelum menghakimi kita dapat memilih untuk mendengar dan memahami lebih dulu.

Komunitas ada bukan untuk menghakimi, tetapi membentuk seseorang. Penerimaan terhadap orang lain bukan berarti pembenaran atas sikap yang salah, melainkan jadi kesempatan bagi kita untuk membantu menyadari apa yang perlu diperbaiki.

Bersediakah kita membuka diri untuk orang lain?

Dilema Circle Pertemanan: Antara yang Menyenangkan dan yang Membangun

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Hei!” Elva berteriak pelan sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahku. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terkejut setengah mati.

“Udah ngantuk aja, neng, pagi-pagi gini! Tadi datang hampir telat pula.”

Aku hanya menguap menanggapinya, kemudian kembali berusaha konsentrasi dengan layar laptopku.

Elva geleng-geleng lalu berjalan melewati meja kerjaku. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dua gelas kopi dan meletakkan salah satunya di sebelah laptopku. Ia pun duduk di bangkunya. Tidak perlu waktu lama, aku langsung meraih gelas kopi itu.

“Aku cuma tidur dua jam tadi,” kataku dengan nada malas.

“Kok bisa? Emang semalam ngapain?”

“Ngerjain deadline.”

“Emang weekend ngapain? Kenapa baru kerjain tadi malam?”

Aku menghela napas. Enggan memberitahu, karena aku sudah tahu apa respons Elva nanti, namun akhirnya kujawab juga pertanyaannya.

“Sabtu kemarin aku staycation sama teman-teman. Baru pulang tadi malam.” Kujawab dengan nada yang kuusahakan santai.

“Sama circle-mu itu? Bukannya minggu lalu juga habis glamping bareng mereka?”

Aku tidak mengangguk atau menggeleng karena Elva pasti sudah tahu jelas jawabannya. Ya, aku memang pergi dengan mereka minggu lalu, dan minggu lalunya lagi. Namun aku memilih diam, enggan menjawab pertanyaannya.

“Bukannya kamu bilang ada jadwal pelayanan hari Minggu?” Elva menembakku pertanyaan lagi.

“Aku minta tolong tukeran sama yang lain.”

Elva diam mengamatiku yang menjawab pertanyaannya dengan santai. Sebenarnya, aku hanya berusaha untuk terlihat tidak terlalu merasa bersalah, sih. Namun, jawabanku itu malah membuat Elva tak berhenti menatapku. Lama-lama tak tahan juga aku dengan tatapannya.

Akhirnya kuhadapkan tubuhku ke depannya. “Ya gimana.. Kamu tahu aku segan banget buat nolak.” Elva masih dalam mode diamnya mengamatiku. “Mereka selalu pesan tempat duluan untuk aku, jadi nggak mungkin kan aku nggak ikutan?”

“Nad, seriously! Kamu benar-benar merasa tepat ada di circle itu?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari Elva. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar darinya. Huft..

“Udahlah, Va. Kita udah berulang kali membahas hal ini.”

Absolutely! Kita udah berulang kali membahas hal ini, tapi kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku itu kan?”

Aku hanya diam. Entah harus menjawab apa.

“Nad, aku memang bukan orang yang punya hak untuk melarangmu bergaul dengan siapa atau melakukan apapun.” Sekarang Elva sudah terlihat lebih tenang. Dia mulai menasihatiku dengan nada lembut. “Tapi, sebagai orang yang bertemu kamu setiap hari selama 5 tahun ini, dan yang menganggapmu sebagai sahabat, aku cuma pengen kamu pikirin ulang circle pertemananmu itu. Tanpa sama sekali bermaksud negatif, aku melihat sendiri apa saja hal yang selama ini sudah kamu abaikan dan kamu kesampingkan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Kita berdua tahu ini bukan soal pergi staycation atau pergi healing setiap Minggu atau bahkan setiap hari… Tapi Nad, kalau circle pertemananmu seperti itu dan malah membuatmu mengabaikan hal-hal penting lainnya, bahkan perasaanmu sendiri, bukankah seharusnya kita perlu memikirkan ulang tentang hal itu?”

Aku tercenung mencerna ucapan Elva. Samar-samar, kudengar seseorang memanggil Elva. Sebelum ia beranjak, ia menyempatkan diri berkata, “Aku tahu hal ini sudah sangat sering aku katakan, tapi tolong kamu pikirkan ulang ya..” Lalu Elva menyentuk bahuku dengan pelan dan memberi ucapan terakhir yang semakin menjadi perenunganku. “Apakah circle pertemananmu itu membuatmu merasa menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebaliknya?”

Setelah kepergiannya, aku menghembuskan napas kasar. Pandanganku masih lurus ke layar laptop, tapi pikiranku bekerja keras. Ucapan Elva benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

Sejujurnya, walau aku sering mengingkari ucapan Elva, aku tahu ucapannya benar. Elva berkali-kali memintaku untuk memikirkan ulang gaya pertemanan dalam circle itu, tapi aku selalu berusaha mencari pembenaran atau pembelaan karena aku suka berada di antara mereka. Menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan, seolah hanya ada tawa dan kesenangan saat bersama mereka. Kami melakukan banyak hal seru, bahkan sampai sering menghabiskan uang dalam jumlah banyak. Ya, kami tidak memikirkan apa-apa, seolah-olah kami hidup hanya untuk hari ini.

Namun tidak kupungkiri, bersama mereka rasanya aku tidak melangkah kemana-mana. Aku sudah menyadari hal ini sejak beberapa waktu lalu, tapi rasanya sulit untuk keluar. Aku seperti terjebak dalam hubungan pertemanan kami yang terasa menyenangkan.

Kami saling menerima satu sama lain, namun kami tidak saling mendorong untuk maju. Kami saling mengabaikan kesalahan masing-masing, sehingga tidak berusaha memperbaiki kesalahan atau mengubah kebiasaan buruk kami. Kami juga jarang membicarakan masalah yang sedang dialami, sehingga kami tidak belajar untuk mencari jalan keluar.

Intinya, kami hanya fokus pada pertemuan dan obrolan yang menyenangkan, dan berusaha menjaga keutuhan kelompok ini dengan menghindari kemungkinan adanya konflik. Padahal aku tahu, konflik dalam hubungan pertemanan merupakan salah satu aspek yang dapat membangun satu dengan lainnya. Namun selama ini, aku dan circle pertemananku itu tidak pernah menyelesaikan konflik, justru cenderung menghindarinya. Dan aku sadar, selama 6 tahun berteman dengan mereka, ternyata kami tidak melangkah kemana-mana.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Kali ini sambil kupijat keningku.

“Keras amat helaan napasnya, kayak mau dipaksa nikah buat lunasin hutang aja.” Elva meledekku sambil terkekeh. Sejak kapan dia kembali ke mejanya?

Aku pura-pura melotot, namun hal itu membuat Elva semakin tertawa. Lalu kupasang wajah serius dan kutatap matanya, seolah dari sana aku bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan yang sekarang ada di benakku.

“Va, kamu bantu aku ya…” Aku memulai dengan penuh harap. Elva mulai memfokuskan dirinya padaku dengan serius. “Aku rasa ucapanmu benar. Aku tidak merasa menjadi lebih baik dalam circle pertemananku itu, justru aku merasa apa yang sudah baik dalam diriku menjadi kendor… Aku mau coba untuk menjaga batas pertemanan dengan mereka. Aku mau belajar lebih tegas terhadap diriku sendiri. Kamu mau kan bantu dan ingetin aku?”

Setelah beberapa detik hanya menatapku, Elva tersenyum. “Tentu, Nadya. Tentu. Pelan-pelan aja.. Toh kamu bukan menghilang dan memutuskan hubungan dengan mereka, kan.. Kamu tetap berteman, hanya saja kali ini kamu akan belajar tegas dalam hubungan itu.” Lalu Elva menepuk bahuku dengan lembut. “Aku bangga sama keputusanmu. Apa yang pengen kamu lakuin itu pasti nggak akan mudah, Nad. Tapi, aku akan mendukungmu.”

Aku tersenyum tulus. Sungguh bersyukur memiliki Elva sebagai teman yang peduli akan kebaikanku dan berani menegurku dengan kasih. Dan sekarang aku sadar, betapa besarnya pengaruh seorang teman dalam menentukan akan melangkah kemana aku nanti.

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:20).

3 Perenungan Saat Aku Merasa Minder Karena Berbeda

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Aku bukan penonton drama Korea. Mungkin ketika membaca bagian ini saja, kalian berniat untuk skip tulisanku. Tapi coba tahan dulu hingga akhir.

Aku bukan penonton drama Korea, sedangkan hampir semua orang terdekatku menontonnya. Ketika dalam kelompok, tak jarang mereka membahas bias (artis) A atau drakor (drama Korea) B yang sepertinya seru, sedangkan aku cuma mengangguk atau ikut tertawa tanda upaya melibatkan diri. Kalau sekali dua kali, mungkin biasa saja. Namun hal ini seringkali terjadi di berbagai kelompok pertemananku.

Aku pernah berusaha memahami perbincangan mereka, namun aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka dalam hal K-Pop. Aku juga merasa sangat tertinggal untuk hal tersebut melihat bagaimana up to date-nya teman-temanku yang K-Popers. Bahkan, tak sedikit dari mereka bisa berbahasa Korea.

Karena perbedaan tersebut, beberapa kali aku sedih dan minder. Aku yang bukan penonton drama Korea terkadang merasa sendiri dan terasingkan dari teman-temanku yang lain. Aku merasa berbeda dan don’t belong dalam kelompok pertemananku.

Memang kita hidup dalam masyarakat yang heterogen. Perbedaan suku, agama, budaya, bahkan selera seni seperti hal di atas, ataupun hal lainnya adalah hal yang acap kali kita temui dan bahkan rasakan. Tak jarang perasaan berbeda ini membuat kita minder dan merasa tidak cocok dengan pertemanan yang ada. Mungkin wajar untuk merasakan hal itu, apalagi jika kita adalah sebagian kecil, atau bahkan satu-satunya dalam kelompok yang berbeda dari anggota yang lain.

Namun, ketika merasa minder karena berbeda, aku belajar untuk mengingat beberapa hal ini:

1. Kalau aku berada di tempat yang tepat, perbedaanku semestinya tidak menjauhkanku

Suatu ketika aku pernah sangat sedih karena merasa berbeda. Kali ini bukan karena drama Korea, tapi tentang latar belakang keluarga. Kondisi yang tidak ideal membuatku merasa berbeda dengan teman-teman yang keluarganya terlihat sempurna, sehingga aku merasa takut ditinggalkan oleh teman-temanku ini. Kemudian aku bercerita dengan salah seorang teman yang kebetulan keluarganya juga terlihat sempurna. Dia berkata seperti ini, “Orang-orang yang mau pergi karena tahu latar belakangmu, bukannya memang seharusnya tidak ada di hidupmu?”.

Aku menyetujui kalimat itu karena menyadari bahwa perbedaan yang ada seharusnya tidak menjauhkan ketika kita berada dalam kelompok pertemanan yang tepat. Lingkungan pertemanan yang tepat dan benar justru menerima suatu perbedaan dan mampu menghargainya, bahkan mau saling terbuka dan berbagi mengenai perbedaan tersebut. Hal ini membawaku kepada poin 2.

2. Dengan menjadi berbeda, aku dikasihi dan dimiliki

Hal paling indah yang bisa dirasakan setiap orang adalah tetap dikasihi meski banyak perbedaan.

Jika kembali melihat dua belas murid Yesus, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelayan, misionaris, bahkan seorang pemungut cukai. Namun mereka sama-sama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-Nya tanpa memedulikan latar belakang para murid. Bahkan kita mengenal kisah Tomas, yang seringkali disebut sang peragu, seakan menjadi sangat berbeda dari kehidupan murid Yesus yang harusnya percaya. Namun lagi-lagi, Yesus tidak pergi. Ia justru menunjukkan kehadiran-Nya kepada Tomas secara langsung (Yohanes 20:24-29).

Setiap pribadi dari dua belas murid itu berbeda, namun masing-masing menikmati kasih Kristus dan kasih dari sesamanya. Begitupun dengan kita. Ketika kita diterima walaupun kita berbeda, atau bahkan kita diterima karena perbedaan tersebut, di situlah kita menemukan kepemilikan sejati.

3. Allah mengasihiku tanpa syarat

Kasih Allah yang tanpa syarat sungguh nyata dalam hidup kita. Kasih tersebut adalah kasih yang telah menyelamatkan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib (Yohanes 3:16). Bukankah itu membuktikan bahwa kita sangat berharga di mata-Nya? Dia mengenal kita masing-masing secara pribadi dan mengasihi kita secara pribadi. Mengapa Tuhan mengasihi kita? Itu karena siapa Dia: “Tuhan adalah kasih.” (Yohanes 4 : 8, 16)

Pemahaman tentang hal ini menolongku ketika sedang berada dalam perasaan minder yang berlebihan. Tuhan mengasihiku tanpa syarat. Meski aku berbeda dari teman-temanku, Tuhan tetap mengasihiku. Jika teman-temanku juga adalah murid Kristus, aku juga percaya bahwa mereka tetap mengasihiku meski aku berbeda dari mereka.

Mengetahui hal itu tidak secara instan membuatku merasa aman dan tenang. Perasaan berbeda dan minder masih menghantuiku. Meski begitu, aku akan mengingat ketiga hal di atas yang mampu menguatkanku, dan aku akan berkata pada diri sendiri, “Tidak apa kok, Vik. Itu tidak membuatmu ditinggalkan oleh teman-temanmu yang sesungguhnya.”

Untukmu yang juga merasa berbeda sepertiku, entah karena tidak menonton drama Korea atau hal lainnya, kiranya ketiga hal tersebut juga bisa menolongmu untuk bisa berkata pada diri sendiri, bahwa berbeda itu tidak apa, karena aku dikasihi apa adanya.

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).