Posts

Prison Playbook: Dua Hal yang Kupelajari Tentang Komunitas

Oleh Fernando Chandra

Aku bukanlah penggemar drama Korea karena menurutku untuk menghabiskan satu season-nya butuh waktu cukup lama sedangkan aku bukan tipe orang yang suka menonton serial secara putus-putus. Namun, karena melihat cuplikan-cuplikan di media sosial, aku memutuskan untuk menonton satu serial drakor berjudul Prison Playbook atau Wise Person Life.

Serial ini dirilis pada tahun 2017 dan mendapatkan tanggapan positif. Cerita utama yang diangkat adalah tentang Kim Je Hyeok, seorang atlet bisbol berprestasi yang hendak dikontrak oleh tim bisbol profesional dari Amerika. Tapi, sebelum kontrak ditandatangani, Je Hyeok malah tersandung kasus hukum saat hendak membela adiknya yang terancam pelecehan seksual oleh seorang pria. Selama berada di penjara, Je Hyeok beradaptasi dan berbagi hidup dengan para narapidana lain dari berbagai kasus.

Jika biasanya drama korea berkutat seputar romantisme, Prison Playbook banyak diisi dengan komedi. Namun, setelah menontonnya, kupikir film ini lebih dari sekadar komedi. Ada beberapa hal yang kudapatkan dan kurasa perlu kita renungkan lebih jauh.

Pertama, prasangka terhadap orang lain. Adegan penyiar radio mungkin jadi salah satu adegan yang kurang mendapat perhatian. Bahkan sampai episode terakhir, wajah dari penyiar radio tak juga diperlihatkan. Ada sepenggal perkataan dari si penyiar yang menarik perhatianku. Dia berkata bahwa hal yang tidak disukai orang-orang, termasuk para narapidana adalah prasangka. Ada narapidana yang kelihatannya melakukan kejahatan besar, tapi sebenarnya dia telah berubah. Sebaliknya, ada narapidana yang terlihat baik di awal, tetapi justru menjadi tokoh antagonis di akhir film ini.

Tidak semua orang hidup berdasarkan cerita yang kita dengar dari orang lain. Ada alasan (bukan pembenaran) mengapa seseorang melakukan suatu tindakan. Ketidaktahuan kita akan alasan inilah yang dapat mendorong kita untuk terjebak dalam prasangka, alias melabeli seseorang dengan asumsi kita sendiri yang belum tentu akurat. Sebelum memutuskan untuk menjauhi seseorang, kita dapat belajar untuk memahami dan mendengar lebih dulu kisahnya. Setiap orang perlu untuk dipahami dan didengar, tidak hanya dihakimi berdasarkan rumor yang tersebar di komunitas.

Kedua, tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kehidupan Kim Je Hyeok selama di penjara mempertemukannya dengan berbagai macam karakter orang. Tidak semua orang bersikap baik. Ada yang berusaha melukai dan berbuat jahat, tetapi ada juga orang-orang yang membantu, mendukungnya ketika dia ada dalam kondisi terpuruk. Mereka yang membantu bukanlah orang-orang sempurna. Status narapidana mereka adalah salah satu bukti dari fakta ini. Namun, bagian favoritku dalam film ini adalah ketika para orang tak sempurna ini rela saling tolong-menolong dalam kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.

Aku percaya, setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita bukanlah sebuah pertemuan yang hanya sekadar lalu. Mereka adalah orang-orang yang Tuhan letakkan dalam hidup kita. Mungkin mereka orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Mungkin juga mereka adalah orang-orang yang kelak akan membantu kita. Ada yang akan menolong kita dalam waktu yang lama, tetapi ada juga yang hanya sementara. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan bagi kita untuk menikmati kebersamaan yang ada. Pun kita bisa saja pernah mendengar hal buruk, namun sebelum menghakimi kita dapat memilih untuk mendengar dan memahami lebih dulu.

Komunitas ada bukan untuk menghakimi, tetapi membentuk seseorang. Penerimaan terhadap orang lain bukan berarti pembenaran atas sikap yang salah, melainkan jadi kesempatan bagi kita untuk membantu menyadari apa yang perlu diperbaiki.

Bersediakah kita membuka diri untuk orang lain?

Dilema Circle Pertemanan: Antara yang Menyenangkan dan yang Membangun

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Hei!” Elva berteriak pelan sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahku. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terkejut setengah mati.

“Udah ngantuk aja, neng, pagi-pagi gini! Tadi datang hampir telat pula.”

Aku hanya menguap menanggapinya, kemudian kembali berusaha konsentrasi dengan layar laptopku.

Elva geleng-geleng lalu berjalan melewati meja kerjaku. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dua gelas kopi dan meletakkan salah satunya di sebelah laptopku. Ia pun duduk di bangkunya. Tidak perlu waktu lama, aku langsung meraih gelas kopi itu.

“Aku cuma tidur dua jam tadi,” kataku dengan nada malas.

“Kok bisa? Emang semalam ngapain?”

“Ngerjain deadline.”

“Emang weekend ngapain? Kenapa baru kerjain tadi malam?”

Aku menghela napas. Enggan memberitahu, karena aku sudah tahu apa respons Elva nanti, namun akhirnya kujawab juga pertanyaannya.

“Sabtu kemarin aku staycation sama teman-teman. Baru pulang tadi malam.” Kujawab dengan nada yang kuusahakan santai.

“Sama circle-mu itu? Bukannya minggu lalu juga habis glamping bareng mereka?”

Aku tidak mengangguk atau menggeleng karena Elva pasti sudah tahu jelas jawabannya. Ya, aku memang pergi dengan mereka minggu lalu, dan minggu lalunya lagi. Namun aku memilih diam, enggan menjawab pertanyaannya.

“Bukannya kamu bilang ada jadwal pelayanan hari Minggu?” Elva menembakku pertanyaan lagi.

“Aku minta tolong tukeran sama yang lain.”

Elva diam mengamatiku yang menjawab pertanyaannya dengan santai. Sebenarnya, aku hanya berusaha untuk terlihat tidak terlalu merasa bersalah, sih. Namun, jawabanku itu malah membuat Elva tak berhenti menatapku. Lama-lama tak tahan juga aku dengan tatapannya.

Akhirnya kuhadapkan tubuhku ke depannya. “Ya gimana.. Kamu tahu aku segan banget buat nolak.” Elva masih dalam mode diamnya mengamatiku. “Mereka selalu pesan tempat duluan untuk aku, jadi nggak mungkin kan aku nggak ikutan?”

“Nad, seriously! Kamu benar-benar merasa tepat ada di circle itu?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari Elva. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar darinya. Huft..

“Udahlah, Va. Kita udah berulang kali membahas hal ini.”

Absolutely! Kita udah berulang kali membahas hal ini, tapi kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku itu kan?”

Aku hanya diam. Entah harus menjawab apa.

“Nad, aku memang bukan orang yang punya hak untuk melarangmu bergaul dengan siapa atau melakukan apapun.” Sekarang Elva sudah terlihat lebih tenang. Dia mulai menasihatiku dengan nada lembut. “Tapi, sebagai orang yang bertemu kamu setiap hari selama 5 tahun ini, dan yang menganggapmu sebagai sahabat, aku cuma pengen kamu pikirin ulang circle pertemananmu itu. Tanpa sama sekali bermaksud negatif, aku melihat sendiri apa saja hal yang selama ini sudah kamu abaikan dan kamu kesampingkan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Kita berdua tahu ini bukan soal pergi staycation atau pergi healing setiap Minggu atau bahkan setiap hari… Tapi Nad, kalau circle pertemananmu seperti itu dan malah membuatmu mengabaikan hal-hal penting lainnya, bahkan perasaanmu sendiri, bukankah seharusnya kita perlu memikirkan ulang tentang hal itu?”

Aku tercenung mencerna ucapan Elva. Samar-samar, kudengar seseorang memanggil Elva. Sebelum ia beranjak, ia menyempatkan diri berkata, “Aku tahu hal ini sudah sangat sering aku katakan, tapi tolong kamu pikirkan ulang ya..” Lalu Elva menyentuk bahuku dengan pelan dan memberi ucapan terakhir yang semakin menjadi perenunganku. “Apakah circle pertemananmu itu membuatmu merasa menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebaliknya?”

Setelah kepergiannya, aku menghembuskan napas kasar. Pandanganku masih lurus ke layar laptop, tapi pikiranku bekerja keras. Ucapan Elva benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

Sejujurnya, walau aku sering mengingkari ucapan Elva, aku tahu ucapannya benar. Elva berkali-kali memintaku untuk memikirkan ulang gaya pertemanan dalam circle itu, tapi aku selalu berusaha mencari pembenaran atau pembelaan karena aku suka berada di antara mereka. Menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan, seolah hanya ada tawa dan kesenangan saat bersama mereka. Kami melakukan banyak hal seru, bahkan sampai sering menghabiskan uang dalam jumlah banyak. Ya, kami tidak memikirkan apa-apa, seolah-olah kami hidup hanya untuk hari ini.

Namun tidak kupungkiri, bersama mereka rasanya aku tidak melangkah kemana-mana. Aku sudah menyadari hal ini sejak beberapa waktu lalu, tapi rasanya sulit untuk keluar. Aku seperti terjebak dalam hubungan pertemanan kami yang terasa menyenangkan.

Kami saling menerima satu sama lain, namun kami tidak saling mendorong untuk maju. Kami saling mengabaikan kesalahan masing-masing, sehingga tidak berusaha memperbaiki kesalahan atau mengubah kebiasaan buruk kami. Kami juga jarang membicarakan masalah yang sedang dialami, sehingga kami tidak belajar untuk mencari jalan keluar.

Intinya, kami hanya fokus pada pertemuan dan obrolan yang menyenangkan, dan berusaha menjaga keutuhan kelompok ini dengan menghindari kemungkinan adanya konflik. Padahal aku tahu, konflik dalam hubungan pertemanan merupakan salah satu aspek yang dapat membangun satu dengan lainnya. Namun selama ini, aku dan circle pertemananku itu tidak pernah menyelesaikan konflik, justru cenderung menghindarinya. Dan aku sadar, selama 6 tahun berteman dengan mereka, ternyata kami tidak melangkah kemana-mana.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Kali ini sambil kupijat keningku.

“Keras amat helaan napasnya, kayak mau dipaksa nikah buat lunasin hutang aja.” Elva meledekku sambil terkekeh. Sejak kapan dia kembali ke mejanya?

Aku pura-pura melotot, namun hal itu membuat Elva semakin tertawa. Lalu kupasang wajah serius dan kutatap matanya, seolah dari sana aku bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan yang sekarang ada di benakku.

“Va, kamu bantu aku ya…” Aku memulai dengan penuh harap. Elva mulai memfokuskan dirinya padaku dengan serius. “Aku rasa ucapanmu benar. Aku tidak merasa menjadi lebih baik dalam circle pertemananku itu, justru aku merasa apa yang sudah baik dalam diriku menjadi kendor… Aku mau coba untuk menjaga batas pertemanan dengan mereka. Aku mau belajar lebih tegas terhadap diriku sendiri. Kamu mau kan bantu dan ingetin aku?”

Setelah beberapa detik hanya menatapku, Elva tersenyum. “Tentu, Nadya. Tentu. Pelan-pelan aja.. Toh kamu bukan menghilang dan memutuskan hubungan dengan mereka, kan.. Kamu tetap berteman, hanya saja kali ini kamu akan belajar tegas dalam hubungan itu.” Lalu Elva menepuk bahuku dengan lembut. “Aku bangga sama keputusanmu. Apa yang pengen kamu lakuin itu pasti nggak akan mudah, Nad. Tapi, aku akan mendukungmu.”

Aku tersenyum tulus. Sungguh bersyukur memiliki Elva sebagai teman yang peduli akan kebaikanku dan berani menegurku dengan kasih. Dan sekarang aku sadar, betapa besarnya pengaruh seorang teman dalam menentukan akan melangkah kemana aku nanti.

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:20).

3 Perenungan Saat Aku Merasa Minder Karena Berbeda

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Aku bukan penonton drama Korea. Mungkin ketika membaca bagian ini saja, kalian berniat untuk skip tulisanku. Tapi coba tahan dulu hingga akhir.

Aku bukan penonton drama Korea, sedangkan hampir semua orang terdekatku menontonnya. Ketika dalam kelompok, tak jarang mereka membahas bias (artis) A atau drakor (drama Korea) B yang sepertinya seru, sedangkan aku cuma mengangguk atau ikut tertawa tanda upaya melibatkan diri. Kalau sekali dua kali, mungkin biasa saja. Namun hal ini seringkali terjadi di berbagai kelompok pertemananku.

Aku pernah berusaha memahami perbincangan mereka, namun aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka dalam hal K-Pop. Aku juga merasa sangat tertinggal untuk hal tersebut melihat bagaimana up to date-nya teman-temanku yang K-Popers. Bahkan, tak sedikit dari mereka bisa berbahasa Korea.

Karena perbedaan tersebut, beberapa kali aku sedih dan minder. Aku yang bukan penonton drama Korea terkadang merasa sendiri dan terasingkan dari teman-temanku yang lain. Aku merasa berbeda dan don’t belong dalam kelompok pertemananku.

Memang kita hidup dalam masyarakat yang heterogen. Perbedaan suku, agama, budaya, bahkan selera seni seperti hal di atas, ataupun hal lainnya adalah hal yang acap kali kita temui dan bahkan rasakan. Tak jarang perasaan berbeda ini membuat kita minder dan merasa tidak cocok dengan pertemanan yang ada. Mungkin wajar untuk merasakan hal itu, apalagi jika kita adalah sebagian kecil, atau bahkan satu-satunya dalam kelompok yang berbeda dari anggota yang lain.

Namun, ketika merasa minder karena berbeda, aku belajar untuk mengingat beberapa hal ini:

1. Kalau aku berada di tempat yang tepat, perbedaanku semestinya tidak menjauhkanku

Suatu ketika aku pernah sangat sedih karena merasa berbeda. Kali ini bukan karena drama Korea, tapi tentang latar belakang keluarga. Kondisi yang tidak ideal membuatku merasa berbeda dengan teman-teman yang keluarganya terlihat sempurna, sehingga aku merasa takut ditinggalkan oleh teman-temanku ini. Kemudian aku bercerita dengan salah seorang teman yang kebetulan keluarganya juga terlihat sempurna. Dia berkata seperti ini, “Orang-orang yang mau pergi karena tahu latar belakangmu, bukannya memang seharusnya tidak ada di hidupmu?”.

Aku menyetujui kalimat itu karena menyadari bahwa perbedaan yang ada seharusnya tidak menjauhkan ketika kita berada dalam kelompok pertemanan yang tepat. Lingkungan pertemanan yang tepat dan benar justru menerima suatu perbedaan dan mampu menghargainya, bahkan mau saling terbuka dan berbagi mengenai perbedaan tersebut. Hal ini membawaku kepada poin 2.

2. Dengan menjadi berbeda, aku dikasihi dan dimiliki

Hal paling indah yang bisa dirasakan setiap orang adalah tetap dikasihi meski banyak perbedaan.

Jika kembali melihat dua belas murid Yesus, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelayan, misionaris, bahkan seorang pemungut cukai. Namun mereka sama-sama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-Nya tanpa memedulikan latar belakang para murid. Bahkan kita mengenal kisah Tomas, yang seringkali disebut sang peragu, seakan menjadi sangat berbeda dari kehidupan murid Yesus yang harusnya percaya. Namun lagi-lagi, Yesus tidak pergi. Ia justru menunjukkan kehadiran-Nya kepada Tomas secara langsung (Yohanes 20:24-29).

Setiap pribadi dari dua belas murid itu berbeda, namun masing-masing menikmati kasih Kristus dan kasih dari sesamanya. Begitupun dengan kita. Ketika kita diterima walaupun kita berbeda, atau bahkan kita diterima karena perbedaan tersebut, di situlah kita menemukan kepemilikan sejati.

3. Allah mengasihiku tanpa syarat

Kasih Allah yang tanpa syarat sungguh nyata dalam hidup kita. Kasih tersebut adalah kasih yang telah menyelamatkan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib (Yohanes 3:16). Bukankah itu membuktikan bahwa kita sangat berharga di mata-Nya? Dia mengenal kita masing-masing secara pribadi dan mengasihi kita secara pribadi. Mengapa Tuhan mengasihi kita? Itu karena siapa Dia: “Tuhan adalah kasih.” (Yohanes 4 : 8, 16)

Pemahaman tentang hal ini menolongku ketika sedang berada dalam perasaan minder yang berlebihan. Tuhan mengasihiku tanpa syarat. Meski aku berbeda dari teman-temanku, Tuhan tetap mengasihiku. Jika teman-temanku juga adalah murid Kristus, aku juga percaya bahwa mereka tetap mengasihiku meski aku berbeda dari mereka.

Mengetahui hal itu tidak secara instan membuatku merasa aman dan tenang. Perasaan berbeda dan minder masih menghantuiku. Meski begitu, aku akan mengingat ketiga hal di atas yang mampu menguatkanku, dan aku akan berkata pada diri sendiri, “Tidak apa kok, Vik. Itu tidak membuatmu ditinggalkan oleh teman-temanmu yang sesungguhnya.”

Untukmu yang juga merasa berbeda sepertiku, entah karena tidak menonton drama Korea atau hal lainnya, kiranya ketiga hal tersebut juga bisa menolongmu untuk bisa berkata pada diri sendiri, bahwa berbeda itu tidak apa, karena aku dikasihi apa adanya.

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).

Cerpen: Aku (Bukan) Si Pelit

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Bukan rahasia lagi kalau aku dikenal konservatif dalam berbagai hal terlebih untuk urusan berbagi sampai-sampai temanku sering menyebutku “Anggi si pelit”. Gelar baru itu kudapat sehubungan dengan kebiasaanku yang sangat berhati-hati dalam memberikan sesuatu baik barang atau jasa.

Semasa kecil, aku akan sangat mudah mengatakan “tidak” untuk teman-teman yang meminjam pulpen atau mainanku. “Nanti mamaku marah,” “Aku masih memakainya,” atau lebih ekstrem sampai berbohong, “Aku hanya punya satu.” Aku selalu mencari alasan agar apa yang ada padaku tidak dipakai atau diminta orang lain.

Beranjak remaja dan kuliah, berbagai kecenderungan egoisku semakin kentara. Aku terkesan tidak mau sharing apa yang sudah kuketahui, tapi sebaliknya aku akan sedikit memaksa teman-temanku menjelaskan hal-hal yang tidak kumengerti. Dalam hal keuangan, aku juga begitu. Saat ada kegiatan di luar kampus, aku kadang memilih menumpang pada teman jadi uang bensinnya tidak kutanggung sendiri. Aku juga sering keberatan saat kami harus mengumpulkan uang untuk merayakan ulang tahun dosen atau teman sekelas. Dulu aku mencoba berdalih kalau semua itu kulakukan hanya untuk menghemat dan bersikap bijaksana dengan uang atau barang-barang yang kumiliki. Belakangan, sepertinya teman-temanku tidak lagi mengenal karakterku yang lain, mereka hanya mengingatku sebagai pribadi yang susah berbagi.

Aku mengakui dalam beberapa sisi hidupku, julukan ini ada benarnya, namun aku tidak nyaman kalau pada akhirnya keseluruhan hidupku disimpulkan dengan satu label negatif tersebut. Teman-temanku seharusnya bisa melihat bagaimana aku selalu berusaha menepati hal-hal yang kujanjikan, aku juga bisa mengerjakan bagianku dengan bertanggung jawab. Untuk urusan keuangan, menurutku aku bisa mengendalikan diri untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Dalam hal berbagi, aku pun sudah mulai belajar. Di masa pandemi lalu beberapa kali aku mengirimkan sesuatu untuk teman dan saudara yang sedang melakukan isoman. Akhir-akhir ini aku bahkan memilih mengontrak bersama teman-teman kerjaku agar bisa berbagi pakai barang dengan mereka. Aku minta maaf jika ini terkesan sesumbar, tapi aku juga ingin mereka menyadari ada sisi baik dari diriku.

Aku yakin kalau aku bukan satu-satunya orang yang merasa terganggu dengan muatan identitas baik berupa label negatif atau positif. Tidak hanya dari orang lain, kita sendiri pun terkadang mau memberikan label tertentu pada diri kita. Mungkin kita adalah “Si A Ekstrovert”, selalu ceria dan dianggap aneh jika terlihat murung. Boleh jadi juga kita menamai diri sebagai “Si B Introvert” yang bisa menjaga rahasia, jadi teman-teman sering curhat padahal kita sedang tidak siap mendengar. Barangkali kita lebih mirip dengan julukan “Si C yang menyenangkan”, enggan menolak karena khawatir melukai perasaan orang lain. Atau justru kita “Si D” yang cenderung mengatakan pikiran kita terlebih saat tidak setuju
atau tidak suka dengan sesuatu sehingga dijuluki si pemarah dan sulit diajak kompromi.

Tidak hanya berisi kesan negatif, label yang melekat pada seseorang juga ternyata ada yang berdampak baik. Contohnya dalam penelitian “The Saints and the Roughnecks” yang dilakukan sosiolog J. Chambliss. Penelitian ini mengamati dua kelompok remaja, yang sering melakukan kenakalan seperti bolos sekolah, mengkonsumsi alkohol di sekolah, melakukan vandalisme dan mencuri. Meski sama-sama nakal, masyarakat sekitar mencoba memberikan label yang berbeda bagi keduanya, yang satu sebagai “The Saints” (Orang Baik) dan yang lain dengan julukan “The Roughnecks” (orang Kasar). Dari hasil observasinya selama dua tahun, ia menemukan bahwa 7 dari 8 remaja kelompok The Saints bisa berubah. Sebaliknya, anak-anak yang berada dalam kelompok The Roughnecks tetap hidup dengan kenakalan mereka. Hasil ini tampak sejalan dengan teori pelabelan di mana dikatakan pada dasarnya jika seseorang berulang kali diberitahu/dicap dengan “sesuatu yang negatif atau sesuatu yang positif,” maka pada akhirnya dia akan cenderung memenuhi label tersebut.

Dari Alkitab kita juga bisa belajar bahwa baik penyebutannya bernilai baik atau buruk, label apapun yang melekat pada diri seseorang tidak bisa dipakai untuk menggambarkan keseluruhan hidup seseorang. Akhir kisah Thomas pasti jauh berbeda seandainya Tuhan Yesus hanya memandangnya sebagai “Si tukang ragu-ragu” atau “Pribadi yang sulit percaya.” Sebaliknya, Ia memberi kesempatan pada Thomas untuk mengulurkan dan mencucukkan jarinya ke lambung-Nya (Yohanes 20:24-29). Atau seperti cerita Simon yang bertemu dengan Yesus dan dinamai Kefas yang artinya Petrus (Yohanes 1:40-42). Kefas adalah nama dalam Bahasa Aram untuk Yunani Petrus yang secara harfiah artinya “Batu” atau “Batu Karang”.

Kita pasti setuju sebutan “Batu Karang” menggambarkan stabilitas atau keteguhan. Namun, tampaknya penyebutan ini bertentangan tidak saja dengan kepribadiannya, tetapi juga dengan sejumlah peristiwa dalam kehidupan Petrus di hari-hari selanjutnya ia bersama Yesus. Dalam Lukas 5 kita bisa membaca bagaimana ia akhirnya menuruti perintah Yesus untuk kembali menyebarkan jala meskipun sempat mempertanyakannya. Di lain hari, dengan kuasa-Nya Petrus berhasil berjalan di atas air hingga keraguannya membuat ia mulai tenggelam. (Matius 14:22-33) Kita juga tidak asing dengan kisah sebelum ayam berkokok. Petrus, “Si Batu Karang yang Teguh” menyangkal bahwa dia mengenal Yesus (Lukas 22:54-62).

Tidak hanya berlaku bagi Simon dan Petrus. Entah diberikan atau kita sendiri yang menyematkannya, julukan tidak selalu mewakili keseluruhan hidup kita. Perjalanan, pengalaman membawa kita mengalami pasang surut, termasuk dalam kepribadian dan karakter. Lebih dari itu kita juga harus mengetahui—terlepas dari apa yang telah atau belum kita lakukan—kuasa Allah cukup besar untuk membantu kita berubah. Tidak ada kesalahan atau dosa yang terlalu fatal untuk diampuni oleh anugerah-Nya. Tak satupun kebiasaan yang terlalu melekat untuk diubahkan oleh kasih-Nya. Ia sanggup membantu kita menghancurkan label yang menyandera kehidupan kita selama ini. Identitas kita tidak ditentukan oleh label atau pengakuan lain sejenisnya.

Kendati aku juga masih berjuang untuk tidak terpengaruh dengan label dan julukan diriku, aku berdoa semoga kamu juga merasakan kasih karunia Allah untuk menyingkirkan apapun label kejam yang membebanimu. Entah kamu seorang yang dikenal sebagai pecandu dan bergumul menyingkirkan hal-hal yang mengikatmu. Kamu yang sedang belajar untuk makan dengan benar dan olahraga teratur karena terganggu dengan mereka yang memanggilmu “Si Gemuk.” Kamu yang terus berusaha menikmati pekerjaanmu kendati sebagian keluarga menganggap pilihan kariermu kurang pas. Bahkan kamu yang selalu memperjuangkan hal-hal yang dampaknya mungkin tak kasat mata atau tidak berwujud.

Semoga Allah senantiasa menolong kamu dan aku untuk semakin menemukan kemerdekaan dalam kasih-Nya dan berjalan mendekati visi-Nya bagi kita masing-masing (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria

“Aku Gak Suka Dipanggil Si Batak!” Sebuah Kisah tentang Streotip

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Aku tidak suka dipanggil “si Batak”, mamaku menamaiku Togar!” ucapnya kesal setiba di mes.

Aku kaget mendengar reaksinya itu, mengingat saat kejadian sebelumnya dia tidak berkomentar apapun.

“Si Batak tidak usah dikasih mic. Suaranya sudah besar kok sejak orok,” kata salah satu rekan kerja kami saat Togar diminta menyampaikan sambutan untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Hari ini ada acara berbuka bersama dengan teman-teman beragama Islam dari tempat kami bekerja.

Menganggap hal itu sebagai gurauan yang biasa saja, kami menyambutnya dengan gelak tawa. Sebaliknya, Togar ternyata merasakan hal berbeda.

Di kantor, Togar terkenal dengan logatnya yang khas serta bicaranya yang kuat. Pria bermarga yang lahir dan dibesarkan di Dolok Sanggul, Sumatera Utara ini, memang bersuku Batak Toba. Jadi, menurutku wajar saja kalau ia dipanggil “si Batak”. Lagipula selama ini kami tidak tahu kalau dia tidak nyaman dengan panggilan dan gurauan kami tentang ke-batakannya itu.

“Aku kan bicara keras tidak dibuat-buat, begitulah caraku ngomong. Janggal kali kurasa kalau pelan-pelan, macam berbisik,” terangnya tanpa kuminta.

“Tapi memang kamu kan orang Batak, mengapa kamu tidak nyaman dipanggil begitu?” tanyaku memberanikan diri.

“Jadi kalau kamu kupanggil Padang “si manusia pelit” mau?” balasnya seperti menyerangku balik.

Aku tertegun. Dalam diam aku memikirkan bagaimana hal yang terkesan sepele ini bisa menyulut emosi Togar. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tidak nyaman dengan stereotip yang kami anggap candaan itu, dan aku yakin rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadari hal itu.

Tidak hanya merusak relasi, dalam dampak yang lebih besar, pemberian stereotip juga bisa menimbulkan masalah. Seperti salah satu kasus yang terjadi di 2020 silam. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia, perhatian publik tertuju pada kematian pria kulit hitam, George Floyd. Hal ini bermula dari penangkapan dirinya oleh oknum polisi karena diduga melakukan transaksi dengan uang palsu. Derek Chauvin, polisi yang menangkapnya, memborgol kedua tangan Floyd dan menjatuhkannya ke aspal. Ia juga menekan leher Floyd dengan lututnya sampai lemas dan menyebabkan Floyd meninggal dunia di rumah sakit.

Peristiwa George Floyd tidak hanya menggugah kesadaran publik tentang stereotip yang berujung pada tindakan diskriminasi, namun kerusuhan atas aksi demonstran juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya stereotip tertentu pada kulit hitam, kejadian ini mengingatkan kita bagaimana pandangan atau stereotip terhadap kelompok tertentu sangat membahayakan. Dalam kejadian ini, seseorang sampai kehilangan nyawanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise. Lebih lanjut didefinisikan bahwa stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tetap. Stereotip tidak sesederhana pandangan positif maupun negatif pada kelompok tertentu. Penyematan label-label tertentu pada etnis atau ras, gender, kelas sosial, usia, warna kulit, kebangsaan hingga agama tersebut, lahir dari anggapan yang dapat menimbulkan prasangka hingga diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen di Indonesia yang sarat dengan perbedaan, beragam stereotip terhadap kelompok tertentu mungkin sudah sering kita dengar. Wajah ber-siku, mudah emosi, ngomong kasar, serta logat yang khas untuk suku batak Toba. Ada juga sebutan “si mata sipit dan kikir” pada etnis Tionghoa, “rambut keriting, kulit hitam” untuk teman-teman dari Timur, “Dang Jolma” (Batak Toba: tidak berkemanusiaan) bagi suku Nias, serta ragam penyebutan untuk suku dan ras lainnya. Di satu sisi penyebutan ini terkadang dianggap candaan, namun di sisi yang berbeda, hal ini juga bisa menimbulkan masalah dalam relasi.

Belajar dari hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang banyak sekat (Yohanes 4:9). Orang Yahudi memandang najis orang Samaria karena nenek moyang mereka yang melakukan kawin campur. Begitu juga orang Samaria menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah karena berkeyakinan bahwa Taurat dan syariat Yahudi berasal dari Tuhan.

Lebih lanjut, kita juga dapat membaca kisah Natanael dalam Yohanes 1:45-46. “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” tanya Natanael ragu saat Filipus mengaku bertemu dengan Mesias, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret. Tidak ada yang salah dengan Kota Nazaret, namun kota ini tidak pernah disebut sebagai kota asal sang Juru Selamat dalam nubuatan para nabi. Lain hal dengan Kota Betlehem, kota ini sudah dinubuatkan oleh Nabi Mikha bahwa akan bangkit seorang pemimpin bagi Israel (Mikha 5:1). Hal ini juga yang mungkin mendorong keraguan Natanael. Padahal Yesus lahir di kota Daud, Betlehem. Tetapi, demi penggenapan rancangan Allah, Yesus disebut orang Nazaret (Matius 2:23).

Tentang penggolongan, dalam pasalnya yang kedua dari ayat 1 sampai 4, Yakobus mengingatkan agar tidak ada pembedaan dalam hati yang membuat kita memperlakukan orang lain dengan berbeda. Yakobus memberikan nasihat agar tidak menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan penampilan atau kelas sosialnya.

Sama seperti pengalamanku dalam pertemananku dengan Togar, kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti bagaimana stereotip tertentu memberikan dampak bagi orang lain. Bagi sebagian orang, sebutan/panggilan tertentu mungkin terkesan biasa saja, namun untuk sebagian lainnya, penyebutan tersebut menyinggung atau mengganggu.

Yesus pun pernah menjadi korban dari prasangka. Ketika Dia menjumpai seorang perempuan Samaria di sumur Yakub, hal tersebut bukanlah tindakan lazim pada zaman itu, mengingat orang Yahudi tidak bergaul dengan perempuan Samaria. Komunikasi antara pria Yahudi dengan seorang perempuan Samaria tidaklah dibenarkan menurut budaya karena orang Samaria dianggap lebih rendah derajatnya. Belajar dari sikap Yesus yang mematahkan prasangka itu dengan hadir secara langsung dan bercakap dengan si perempuan Samaria, kita bisa memulai dengan belajar mengenal orang lain secara pribadi tanpa embel-embel stereotip tertentu.

Seperti keraguan Natanael yang terjawab setelah ia bertemu dengan Yesus, tentu saja pengenalan kita yang bersifat pribadi tidak boleh kita jadikan sebagai penilaian yang sama pada semua orang, meski mereka berasal dari daerah yang sama atau memiliki latar belakang yang mirip. Lebih dari itu, sebagai anak-anak Allah hendaknya kita juga terus belajar untuk mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37, 39) tanpa membeda-bedakan, sebab kita adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).

Soli Deo Gloria

Mengapa Harus Menegur Jika Bisa Membiarkan?

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

“Duuuh! Kamu gimana, sih. Harusnya nggak kaya gini…”

Mungkin beberapa dari kita ada yang menegur seperti itu ketika seseorang melakukan kesalahan atau ada juga yang memilih untuk mendiamkannya (tidak menegur). Padahal kita tahu kalau seseorang salah, kita punya kewajiban untuk mengingatkannya. Tapi, bagaimanakah cara kita menegur? Apakah teguran dapat menyadarkan dan memperbaiki kesalahan? Atau malah membuat seseorang itu jadi cuek terhadap kita (tidak peduli, sakit hati lalu pergi, dan semacamnya)?

Semua orang tak luput dari kesalahan atau melakukan dosa, tetapi tidak semua kesalahan dapat disadari. Oleh karena itu terkadang kita butuh bantuan orang lain untuk melihat kesalahan-kesalahan yang kita sendiri tidak menyadarinya.

Tapi, menegur memang bukan perkara mudah. Dari dulu sampai sekarang, aku kurang berani menegur orang sekalipun aku yakin teguranku itu benar. Aku khawatir akan respons orang tersebut setelah aku menegurnya, apakah mereka akan menerima teguran itu atau malah membenciku. Ditambah lagi, aku itu orangnya gak enakan. Padahal aku tahu bahwa ketika menegur, perasaan tidaklah jadi indikator utama.

Asumsi-asumsi itu menciptakan berbagai pertanyaan dalam benakku. Bagaimana cara menyampaikan teguran agar bisa diterima dengan baik? Kenapa harus aku yang terbeban melihat kesalahannya? Kenapa aku tidak bisa merasa “bodo amat” terhadap urusan orang lain? Sebagai orang Kristen, apakah menegur itu perlu?

Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab lewat bacaan buku dan refleksi pribadi. Secara sederhana, teguran adalah bukti kasih kita kepada sesama karena setiap orang memiliki blind spot yang bisa menyeret seseorang ke dalam dosa. Tidak salah untuk menegur orang lain karena ini adalah tanggung jawab orang Kristen untuk saling menjaga. Sebaliknya, tidak menegur berarti mengabaikan tanggung jawab moral yang Allah berikan sebagai saudara seiman. 2 Timotius 4:2 “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”

Melalui ayat di atas, kita juga diingatkan bahwa menegur bukan berarti menjatuhkan, melainkan membantu orang lain menyadari kesalahannya, memperbaikinya, kemudian menjadi lebih baik dan serupa dengan Kristus.

Amsal 27:17 mengatakan “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”

Ayat ini mungkin sudah sangat familiar bagi orang Kristen. Jika membaca ayat ini, yang terlintas dalam benakku adalah konflik. Kenapa konflik? Tidak dipungkiri, teguran kadang mengantar kita pada konflik. Tetapi, konflik bukanlah hal yang tabu. Melalui konflik kita dapat saling menajamkan karakter dan hati sesama, tetapi tergantung bagaimana kita meresponi suatu konflik, apakah dengan berhikmat atau tidak. Amsal 10:13 “Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi.”

Oleh karena itu, ketika terjadi konflik, kita harus mengembangkan sikap hati yang peduli. Saling menegur adalah salah satu kunci untuk membentuk relasi yang sehat dan bertumbuh dalam Tuhan. Tapi kenyataannya, masih banyak dari kita yang memilih tidak menegur atau mungkin kita sudah menegur, tapi tidak diterima dengan baik. Meskipun ketika kita sudah menegur dengan baik tetapi teguran itu dimaknai lain, kita tidak boleh kecewa. Menegur adalah perbuatan baik dan harus dilakukan (Yakobus 4:17). Diterima atau tidaknya teguran merupakan campur tangan Allah. Bagian kita adalah memilih untuk menegur dalam kasih serta mendoakannya.

Dalam menegur, hal utama yang dibutuhkan adakah kasih, diikuti kedewasaan rohani (kebijaksanaan & hikmat) serta rasa tanggung jawab membimbing seseorang yang berbuat salah untuk memperbaiki kesalahannya dan menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, bukan berarti si penegur tidak bisa kebal dari kesalahan. Paulus pun mengingatkan hal itu dalam Galatia 6:1 yang berkata:

“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”

Setiap teguran yang hendak kita lontarkan harus didahului dengan tiga hal, yaitu fakta, firman Tuhan, dan doa.

Sebelum menegur seseorang, kita harus mengetahui dengan jelas dan rinci apa yang sebenarnya terjadi. Akan lebih baik jika kita tanya sudut pandangnya (ini membuktikan bahwa kita menghargai orang tersebut). Jika terbukti salah, kita dapat menegurnya di waktu yang tepat (Amsal 25:11) dan tentu saja dengan penuh kasih. Selain itu, usahakanlah untuk menegurnya secara pribadi, bukan di depan orang lain (Matius 18:15).

Aku teringat akan pembuatan sebuah pedang yang prosesnya panjang. Besi harus ditempa, dibentuk, dan dibakar hingga menghasilkan sebuah pedang tajam dan siap pakai. Demikian juga manusia, untuk menjadi seperti pedang yang tajam dan berguna, kita akan melalui proses panjang dan berat. Setiap teguran dan konflik adalah cara-cara Tuhan untuk membentuk kita agar kita siap dipakai dalam pekerjaan-Nya.

Ingatlah selalu, bahwa tujuan kita menegur seseorang bukan untuk menjatuhkan atau melampiaskan kekesalan kita atas perbuatannya, tapi karena kita mengasihinya dan kita rindu untuk sama-sama bertumbuh dalam Kristus.

Efesus 4:15 “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.”

*Tulisan ini dibuat terinspirasi dari Buku yang ditulis oleh Sen Sendjaya “Jadilah Pemimpin Demi Kristus” dalam topik Seni Menegur Pemimpin.

Natal, Demensia, dan Bahagianya Jika Kita Diingat

Oleh Agustinus Ryanto

Hatiku was-was melihat langit Surabaya yang semakin mendung. Buru-buru kupacu motorku untuk tiba lebih dulu di toko buah-buahan sebelum kulanjutkan pergi ke rumah seorang lansia.

Lansia yang hendak kukunjungi ini bernama Opa Bhudi. Dia tinggal bersama istrinya yang juga usianya sudah sepuh. Tiga tahun lalu, tatkala aku melakukan perjalanan pelayanan di Surabaya, mereka menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggalku. Tidak sehari dua hari, tapi selama sembilan malam. Di hari pertama aku tinggal, suasana terasa kaku. Barulah setelah tiga hari, ketika kami mulai banyak mengobrol, kehangatan pun terbangun. Opa dan Oma dikaruniai empat orang anak dan banyak cucu, tapi semua anaknya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Tersisalah mereka berdua, merajut hari-hari di masa senja.

Kehadiranku selama sembilan malam itu rupanya menjadi simbiosis mutualisme. Opa dan Oma senang karena ada kawan yang bisa diajak mengobrol tentang banyak hal. Aku pun senang karena seolah menjumpai kembali kakek dan nenekku. Setelah dinas pelayananku usai, relasi kami tidak terputus. Dalam beberapa kesempatan saat aku ke Surabaya, aku selalu bertandang ke rumah mereka. Atau, jika aku tidak sempat ke sana, kukirimkan buah-buahan melalui toko daring.

Dihantam oleh demensia

Kira-kira lima bulan lalu, aku menghubungi Opa Bhudi lewat WhatsApp. Meski usianya sudah 86 tahun, Opa masih piawai menggunakan ponsel. Kalau membalas chatku, dia sering pakai sticker atau video-call. Dia pun masih aktif beraktivitas—menyetir mobil ke gereja, bahkan masih praktik sebagai dokter gigi!

Namun, hari itu tidak biasa. Buah dan pesan yang kukirim tidak direspons. Selama beberapa bulan aku kehilangan kontak mereka. Barulah setelah kucari informasi dari gereja tempat mereka berjemaat, aku tahu bagaimana keadaan mereka.

“Oh, Om Bhudi ya. Beberapa bulan lalu dia kena demensia dan stroke,” ketik seorang dari komisi pemuda.

“Waduh, terus gimana keadaannya?” tanyaku penasaran.

“Ya, sudah tidak bisa lagi aktivitas, tapi keadaannya ya bisa dikatakan stabil.”

Pesan itu membuatku tercenung. Seorang pria lansia yang biasanya aktif, kini harus tergolek lemah dan pelan-pelan kehilangan memorinya. Istrinya pun sudah sama rentanya, malah ada sakit punggung. Bagaimana mereka bisa saling merawat?

Sebulan setelahnya, aku pun menetapkan hati untuk pergi ke Surabaya. Kuingat-ingat kembali jalanan kota Surabaya yang lebar-lebar dan kadang bikin puyeng kepalaku. Kusinggah dahulu ke toko buah untuk membelikan mereka jeruk, apel, dan pir.

Rumah Opa Bhudi ada di tengah kota, tak jauh dari Stasiun Pasar Turi. Gerbangnya masih berwarna sama, tanpa ada pengecatan ulang. Yang jadi pembeda hanyalah tak lagi kulihat seekor kucing coklat yang biasanya menemani Opa di halaman.

Melihatku datang dengan menaiki sepeda motor dari Jakarta, istri dari Opa Bhudi menepuk kepalaku.

“Haduh! Kok nekat?!” katanya sembari memegang kedua bahuku, lalu mempersilakanku duduk sebentar.

“Opa sudah sakit. Stroke. Susah bangun. Ingatannya pudar,” tutur Oma. “Ayo sudah, sini kamu masuk ke kamar.”

Setahun kemarin saat aku singgah ke sini, badan Opa masih segar bugar terlepas usianya yang sudah lebih dari delapan dekade. Tapi, hari itu aku melihat rupa yang amat berbeda. Raga yang dahulu masih tegap, kini telah ringkih dan tak berdaya. Dia terbaring meringkuk di atas kasur. Urat-uratnya tampak jelas karena lapisan lemak telah susut dari balik kulitnya.

“Pah, coba ndelok, iki sopo sing teko?” Oma sambil menggoyang tubuh opa. “Coba lihat, siapa yang datang?” ujarnya.

Opa membuka matanya dan semenit lebih aku ditatap dalam diam. Matanya menyipit, dahinya mengernyit. Pelan-pelan dia coba membongkar kembali labirin otaknya yang rapuh dikikis oleh demensia.

“Lohhh! Kamu, kok baru ke siniii???”

“Lohh, Opa masih ingat nggak siapa aku?” aku balik bertanya.

“Ingat! Kamu Agus, dulu kamu sering main ke sini loh…” jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku senang bukan main. Di dalam memorinya yang kian pudar, rupanya masih terjaga ruang kenangan bersamaku. Selama satu jam kemudian, aku menemani opa berdua. Aku bercerita tentang serunya naik motor dari Jakarta sampai ke Surabaya, dan setelahnya gantian Opa bercerita tentang beratnya hari-hari yang dia lalui pasca terkena stroke. Klinik praktiknya telah dia hibahkan pada gereja. Kata Opa, kendati dia sakit dan kesepian, dia bilang ini sudah jalannya. “Tuhan tetep baik, aku ndak ditinggalno sendiri,” pungkasnya.

“Gus,” sahut Opa. Tangannya memegangku. “Aku seneng. Sungguh seneng dan merasa terhormat kamu masih ingat aku… Terima kasih ya.”

Kalimat itu menghangatkan hatiku. Karena tubuh Opa yang makin ringkih, aku izin pamit. Mengobrol terlalu lama dengannya bisa membuatnya makin lemah. Kulanjutkan kembali perjalananku ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Betapa sukacitanya ketika kita diingat

Kalimat terakhir Opa yang bilang bahwa dia senang karena aku masih mengingat dia menggemakan kembali dalam benakku surat-surat yang ditulis oleh Paulus.

Dalam surat Filipi 1:3, Paulus menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.”

Kalimat itu ditulis Paulus bukan sebagai bunga kata, tetapi menunjukkan sebuah kesan mendalam. Pada perikop lanjutan dari Filipi 1, dituliskan bahwa Paulus sedang dipenjara oleh karena pelayanannya memberitakan Injil. Penjara pada masa Romawi bukanlah penjara yang manusiawi seperti di negara-negara maju masa kini. Penjara itu terletak di bawah tanah, minim penerangan dan udara, serta dijaga oleh prajurit. Bisa kita bayangkan betapa beratnya hati Paulus menghadapi kekelaman itu. Dia sendirian, dia ketakutan, juga kesakitan.

Namun, surat Filipi menyingkapkan pada kita akan apa yang membuat Paulus tetap bertahan dan bersukacita. Paulus yakin bahwa Allah yang memulai pekerjaan baik akan tetap meneruskannya. Rekan-rekan pelayanan Paulus pun tidak meninggalkannya. Ayat 7-8 menuliskan bahwa “kamu [mereka] ada dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil…. Betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”

Di tengah kesukaran dan kesepian, betapa menghangatkannya mengetahui bahwa kita senantiasa diingat oleh orang-orang yang kita kasihi.

Allah pun mengingat kita setiap waktu. Dia ingat dan tahu setiap detail pergumulan yang kita satu per satu harus hadapi (Matius 10:30). Dan…karena Dia mengingat kita, Dia pun hadir bagi kita melalui Kristus, sang Putera yang lahir dari anak dara Maria.

David Gibb dalam tulisannya yang berjudul “What If There Were No Christ In Christmas” menuliskan: Allah yang Mahabesar hadir dalam cara yang menjungkirbalikkan logika manusia. Allah tidak hadir dalam sosok raja duniawi yang penuh kemewahan untuk membuat kita terkesan, tetapi Dia hadir dalam rupa seorang bayi mungil, untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dunia, di tengah kesendirian dan tangis kita, untuk menuntun kita kepada tempat teraman, untuk membawa kita kepada diri-Nya sendiri.

Ketika Allah mengingat kita, Dia pun hadir di tengah kita.

Pertanyaan bagi kita adalah: Siapakah orang-orang yang Tuhan letakkan namanya di hati kita? Jika kita mengingat mereka, maukah kita turut hadir bagi mereka?

Kehadiran kita mungkin tidak akan melenyapkan pergumulan mereka, tetapi seperti kehadiran para rekan sepelayanan Paulus, kehadiran itu dapat dipakai Allah untuk menguatkan dan menghangatkan seseorang dalam perjalanan hidupnya.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.