Posts

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Jangan Berikan yang Minimal Pada Apa yang Bisa Kita Kerjakan dengan Maksimal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pernah mendengar istilah ‘mental minimal’?

Istilah ini kubuat untuk sikap hati yang menerima segala sesuatu dengan ala kadarnya, tanpa niatan hati untuk berjuang lebih baik. Contoh sederhana yang mungkin sering kita jumpai adalah aku sering mendapati para orang tua yang melihat anaknya mendapatkan nilai jelek di sekolah merespons begini, “yang penting dia naik kelas deh..” Tentu tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, tetapi proses yang terjadi di baliknyalah yang perlu kita telaah.

Dalam hidup ini kita memang harus mensyukuri apa saja yang kita miliki dan apa pun yang sudah kita capai. Tetapi, bersyukur atas pencapaian kita sama sekali bukanlah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Jika kita bisa mendapat nilai 1000 mengapa kita membuang kesempatan itu? Mengapa berpuas dengan nilai 600 lalu berupaya membenarkan kemalasan dan ketidakseriusan yang kita pupuk? Hal ini jugalah yang terjadi pada orang-orang Kristen dan kehidupan penyembahannya.

Sebagai pijakan awal, aku ingin menegaskan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi. Beberapa dari kita mungkin sudah terbiasa dengan pembagian “lagu pujian” dan “lagu penyembahan”, lalu mematenkan definisi sempit yang bisa saja menyesatkan kita. Menyanyikan lagu rohani di altar gereja hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyembahan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk membahas asal usul kata ini dalam bahasa kita dan bahasa asli Alkitab. Tetapi, dalam prinsip sederhananya, menyembah adalah memberikan segala yang terbaik yang ada pada kita untuk Allah dengan sukacita dan penuh rasa hormat untuk kemuliaan-Nya. Itu berarti kita dapat menyembah lewat cara lain selain menyanyi dan bahkan saat kita berada di sebuah tempat selain gereja. Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang penyembahan yang tidak dibatasi oleh tempat, yaitu penyembahan dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

Dari situ kita dapat melihat sebuah keindahan dan kemerdekaan yang ditawarkan dalam penyembahan kita. Tetapi, keindahan dan kemerdekaan semacam inilah yang sangat mudah diselewengkan.

Kita memang bisa menyembah Allah dengan banyak cara selain menyanyi. Kita bisa menyembah-Nya dengan cara berkhotbah, menginjili, dan mengajar anak sekolah minggu. Bahkan kita bisa menyembah dengan hal yang terlihat tidak rohani bagi sebagian orang, seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman, dan mencari nafkah. Sekali lagi, jika kita melakukan semuanya itu sebagai pemberian terbaik kita untuk hormat kemulian Allah, maka itu adalah penyembahan. Tetapi, berhati-hatilah dengan apa yang kita sebut sebagai pekerjaan. Kita tentu harus mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dibenarkan oleh Alkitab.

Selain itu, karena sebuah pekerjaan di luar gereja dapat menjadi bentuk penyembahan, bukan berarti kita boleh seenaknya menjauhkan diri dari pertemuan ibadah (Ibrani 10:25). Persekutuan orang percaya adalah keindahan yang tidak selalu bisa kita nikmati. Tengok saja apa yang terjadi di masa pandemi, ketika kita belum dimungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara langsung, begitu banyak orang berteriak frustasi karena merindukan persekutuan. Kita memang bisa menyembah dari rumah kita. Dengan kecanggihan yang kita miliki, kita dapat dengan mudah melihat saudara kita yang sedang berkhotbah di Swiss dari Pulau Siau. Beberapa temanku bahkan mengikuti kelas daring Teologi yang dipimpin oleh seorang doktor dengan hanya mengenakan celana pendek sembari tidur-tiduran di sofanya. Teknologi telah menolong kita, namun jika kita bisa saling bertatap muka dengan jarak 1,5 meter, berjabat tangan, merangkul, dan saling berpelukan, mengapa kita tidak mengambil kesempatan berharga itu?

Memberikan yang minimal padahal kita bisa memberi lebih adalah sebuah penghinaan. Lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukannya untuk Tuhan Yesus, yang telah memberikan segala yang terbaik bagi kita. Dia tidak mengerjakan karya penyelamatan di Golgota dengan setengah-setengah. Bagi kita, Dia mengerjakannya dengan tuntas dan sempurna. Dia memikul apa yang seharusnya terikat di pundak kita, tanpa bersungut-sungut.

Jika kita memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar lakukanlah dengan maksimal, jangan asal lulus, jadilah yang terbaik yang kita bisa, dan untuk hasilnya, biarlah Allah dimuliakan. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah seorang pengkhotbah, setiap kali diberi kesempatan untuk berkhotbah, berilah dirimu waktu untuk mempersiapkan khotbah terbaik, bahkan jika pendengarnya hanya 2 orang anak kecil, biarkan mereka mendengar suara Tuhan dari khotbahmu. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah chef, masaklah masakan terenak.

Jika kita adalah atlet lari, larilah sekencang-kencangnya.

Jika kita adalah pemimpin pujian, berikan suara paling merdu.

Jika kita adalah tukang Bangunan, buatlah rumah paling kokoh.

Jika kita adalah penulis, dunia sedang menunggu tulisan terindahmu.

Kita semua adalah anak-anak Allah. Jadilah maksimal untuk kemuliaan Bapa kita di sorga. Itulah penyembahan kita.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Saat sedang menggulir laman sosial media, aku melihat kiriman video dari suatu akun komunitas Kristen untuk publikasi sebuah ibadah. Impresi pertama ku adalah kagum karena desainnya sangat menarik, namun setelah selesai melihatnya, aku tertegun dan teringat sesuatu. Komunitas ini adalah tempatku melayani hingga sekarang. Tapi tepat satu tahun lalu, aku hampir meninggalkannya.

Pelayanan di tempat ini awalnya berjalan baik, relasiku dengan anggota komunitas lainnya pun sudah sangat dekat. Hingga suatu saat ada hal yang seakan memaksaku untuk meninggalkan komunitas ini.

Berat sekali rasanya. Sungguh sangat berat.

Hari demi hari berganti. Doaku terus terisi dengan pertanyaan “kenapa ini harus terjadi?”.

Aku menjadi takut. Takut untuk tetap hadir di komunitas ini. Takut memberi pengaruh buruk kepada anggota lainnya. Takut kalau jangan-jangan motivasiku berada di tengah mereka bukan karena kerinduan agar setiap mereka menikmati Allah, melainkan hanya karena aku menikmati penerimaan dari mereka. Perasaan dan pemikiran itu kemudian membuatku mengingat dan merenungkan kembali kerinduan awal aku melayani di komunitas ini.

Singkat cerita, dalam masa perenunganku, aku menemukan bahwa kerinduan awalku melayani komunitas ini adalah setiap anggota menikmati Tuhan yang sungguh mengasihi mereka melebihi apapun. Kerinduanku adalah setiap anggota komunitas akhirnya mempersembahkan setiap hal dalam kehidupan mereka kepada Tuhan.

Menemukan hal ini mulai membuatku untuk mau berjuang tetap bertahan.

Tepat di hari yang sama, aku menghadiri sebuah ibadah. Firman saat itu adalah dari Kisah Para Rasul 21:1-14, tentang keadaan yang seakan memaksa Paulus untuk tidak pergi ke Yerusalem karena penglihatan bahwa Paulus akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain (Kis 21:11). Jawaban Paulus tertulis pada ayat 13 bagian ini yang berkata “Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.” Aku menangis. Ketika doa tutup firman aku berkomitmen untuk tetap bertahan melayani di komunitas ini.

Aku tahu ada sesuatu yang seakan memaksaku berhenti, tapi aku lebih tau ada Allah yang terus berjalan bersamaku.

Sungguh bersyukur kepada Allah, saat ini aku bisa menyaksikan bahwa Allah memberi pertumbuhan bagi komunitas ini. Meski masih terlibat melayani di komunitas ini, aku sudah tidak banyak ambil bagian dalam persiapan ibadah. Melihat video video publikasi tersebut, membuatku tidak bisa tidak bersyukur. Bersyukur karena pilihan untuk bertahan satu tahun yang lalu, ternyata membawaku menyaksikan pertumbuhan yang Allah anugerahkan.

Untukmu yang sedang bergumul untuk tetap bertahan di suatu kondisi tertentu; bertahan tetap melayani sesama meski harus terus memutar otak mencari cara yang efektif, bertahan untuk berjuang mengasihi anggota keluarga meski mungkin setiap hari ada saja cara mereka membuatmu kesal, atau bahkan bertahan menahan rindu berjumpa dengan teman-teman karena kebijakan PSBB saat ini; kiranya kita semua boleh menyadari bahwa mungkin saja keputusan yang paling baik dan paling bernilai adalah tetap bertahan, bahkan ketika berpaling atau berjalan menjauh akan menjadi keputusan yang lebih sederhana. Karena kesetiaan (faithfulness), yakni tetap bertahan di tempat kita berada, terkadang adalah tindakan terbesar dari iman (faith).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Catatanku Menjadi Pengurus: 3 Kendala Pelayanan Pemuda di Gerejaku Sulit Berkembang

Jumlah pemuda yang hadir di tiap persekutuan hanya tiga orang. Membangun pelayanan pemuda pun terasa sulit karena beberapa kendala.

Apakah Kamu Merasa Pelayananmu di Gereja Tidak “Sukses”?

Oleh Leslie Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Are You “Unsuccessful” In Church?

Kamu aktif melayani di gereja. Kamu hadir setiap Minggu pagi, datang lebih awal untuk menata bangku dan menyiapkan peralatan kebaktian, atau kamu menjemput jemaat-jemaat yang renta dari rumah mereka, lalu mengantarnya hingga mereka duduk di tempat biasa mereka di ruang ibadah.

Atau, pelayanan yang kamu lakukan secara pribadi adalah mendengarkan curhatan para remaja atau menghibur para lansia. Jadi, setiap minggunya sehabis ibadah, kamu mengobrol dengan mereka sembari menyeruput segelas teh. Kamu mendengar keluh kesah mereka, lalu berdoa bersama mereka. Dan, selama bertahun-tahun, mereka selalu datang padamu, satu per satu, untuk mengucap terima kasih dan memberitahumu betapa kamu berarti buat mereka.

Tapi, tak ada seorang pun yang tahu pelayananmu ini. Namamu tidak muncul di daftar ucapan terima kasih di buletin gereja. Ketika gerejamu mengangkat diakon dan pemimpin baru, kamu tidak masuk di antaranya. Ketika gerejamu menyebutkan nama-nama orang yang telah berjasa, namamu tak muncul pula. Sedikit orang menyapamu dengan memanggil namamu. Entahlah, padahal hampir semua orang sebenarnya tahu siapa namamu.

“Nggak apa-apa,” kamu memberitahu dirimu sendiri. “Tuhan tahu. Aku tidak butuh untuk dikenal; adalah baik untuk tetap rendah hati.”

Namun, mungkin tak selamanya kamu kuat. Setiap orang agaknya membutuhkan sekadar tepukan di punggung mereka, entah sekarang atau nanti. Tak dipungkiri, tentu ada masa-masa ketika kamu lelah; kamu merasa seolah dianggap remeh, dan sedikit pujian atau ucapan terima kasih tentu tak akan menyakitimu. Kamu tidak cemburu karena orang lain yang mendapat pujian atau ketenaran (sungguh!), tapi kamu merasa cukup lelah karena melakukan segalanya tanpa ada sedikit pun apresiasi.

Hei, kita semua sebenarnya “sukses” dalam pelayanan kita di gereja (atau juga di pekerjaan kita). Tapi, sepertinya, cara “sukses” itu bukan sesuatu yang kita nikmati.

Alkisah ada seorang pria yang pergi ke pantai untuk mengambil bintang-bintang laut yang terdampar di pasir. Dia lalu melemparkan satu per satu bintang laut itu ke laut. Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana caranya kamu bisa menyelamatkan semua bintang laut ini? Terlalu banyak!” Dia menjawab, “Iya, susah tentunya, tapi aku memberi perbedaan untuk satu bintang laut ini.” Pelajaran umum yang bisa dipetik adalah: kita mungkin tidak mampu menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa menyelamatkan satu orang, pada satu waktu.

Bagus. Tapi, inilah masalahnya: Tahukah kamu nama pria itu?

Kamu tentu tidak tahu. Tidak ada satu orang pun yang tahu. Dia tidak disebutkan di buletin gereja atau dipuji dalam sesi pengumuman di ibadah Minggu. Pendeta di gerejanya bahkan tak tahu namanya. Tapi, bagi setiap bintang laut yang dia lemparkan kembali ke laut, dia adalah juruselamat sejati. Tiap bintang laut itu tentu tahu siapa dia. Siapakah dia? Dialah si Pemungut Bintang Laut!

Dan itulah siapa dirimu. Hanya mereka yang kamu tolong yang mengetahuimu. Seorang perempuan yang kamu hibur ketika hatinya remuk. Seorang pria tua yang kamu tolong menaiki tangga setiap minggu. Bagi mereka, kamu adalah dunianya, karena kamulah satu-satunya yang peduli. Orang banyak mungkin tak tahu namamu, tapi mereka tahu. Kamulah “pemungut bintang laut” bagi mereka.

“Tapi, aku cuma menolong lima orang saja,” katamu. Mungkin itulah yang membuatmu berpikir kenapa sedikit orang di gereja yang menyadari pelayananmu. Tetapi, tak peduli lima orang—dua, atau satu—orang yang kamu layani, kamu adalah rahmat dari Tuhan. Di malam hari mungkin mereka mengucap syukur pada Tuhan atas kehadiranmu dalam hidup mereka. Mengapa? Karena kamulah ‘pemungut bintang laut’nya Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Kristus dan Liverpool: Pengikut Sejati atau Penggemar Belaka?

Cukup lama Liverpool puasa gelar dan tak selalu aku menggemarinya. Padahal, aku mencap diriku sebagai fans Liverpool. Aku pun terpikir, bagaimana dengan mengikut Kristus? Apakah aku sekadar penggemar atau pengikut-Nya sejati?

Berbuat atau Berbuah?

Oleh Ezra Abednego Hayvito, Tangerang Selatan

Jika kita sering ke gereja atau ikut persekutuan, judul artikel ini mungkin tak terasa asing. Kita, orang Kristen dipanggil untuk berbuah dalam hidup. Tapi, bagaimana sih caranya berbuah? Bukankah supaya bisa berbuah kita perlu berbuat sesuatu?

Berbuat dan berbuah. Dua kata ini cuma berbeda di satu huruf, namun perbedaan maknanya sangat menentukan perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Yesus. Aku berdoa agar tulisan ini bukan berasal dari aku, namun benar-benar berasal dari isi hati Bapa kita di Surga.

Selama masa pandemi, aku jadi terinspirasi untuk membaca. Sudah beberapa minggu terakhir aku membaca sebuah buku karya Chris Burns, Pioneers of His Presence. Secara garis besar, buku ini berbicara tentang pemulihan identitas anak-anak Tuhan sebagai bait Allah yang seharusnya juga menjadi pembawa hadirat Tuhan. Judul tulisan ini menjadi pertanyaan yang aku renungkan ketika aku membaca salah satu bab dalam buku ini yang mengatakan:

“Berbuah berbeda dengan melakukan pekerjaan baik. Jika pekerjaan baik disebut sebagai buah, kita bisa berbuah tanpa Yesus. Buah yang tetap adalah pekerjaan baik yang dilakukan bersama dengan Yesus, bukan tanpa Yesus.”

Aku mengambil beberapa saat untuk tenggelam dan merenungkan kata-kata ini. Selama ini, cukup sering aku berpikir berbuat baik itu cukup untuk menjadikanku seorang Kristen. Aku berusaha hidup lurus sesuai peraturan gereja, menjadi anak yang baik di keluarga, mengikuti norma yang ada di masyarakat. Tapi lama-lama aku menjadi lelah untuk melakukannya. Ada masa-masa ketika diriku sendiri enggan untuk melakukan perbuatan baik itu.

Untuk memahami paragraf di atas, izinkan aku menulis sebuah contoh yang mungkin pernah teman-teman alami. Begini skenarionya, kita baru saja tiba di kamar setelah perjalanan jauh dari luar kota. Tiba-tiba seorang teman menghubungi kita dan meminta bantuan kita untuk mengantarnya pergi ke stasiun karena ada urusan mendesak. Kita tahu bahwa menolong teman kita itu baik, tapi hati kita enggan menolongnya karena kita lebih ingin segera merebahkan diri di kasur. Pada momen-momen seperti ini, berupaya berbuat baik dengan mengandalkan kekuatan sendiri terasa berat.

Lalu aku teringat sebuah perikop dari Yohanes 15: tentang ranting dan pokok. Membandingkan ranting yang Yesus bicarakan di situ, beberapa pertanyaan mulai membuatku berpikir. Apakah ranting perlu memaksakan dirinya untuk berbuah? Bukankah buah yang dihasilkan ranting itu keluar karena ada suplai makanan yang lebih? Lantas, apakah selama ini aku sudah berbuah dengan alami?

Yesus mengatakan di luar Dia kita tidak dapat berbuah. Ini memunculkan pertanyaan lagi bagiku. Semua perbuatan baikku selama ini, apakah itu dapat disebut buah? Tunggu, kondisi “di luar Yesus” itu kondisi seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tertarik untuk menggali lebih dalam tentang berbuat dan berbuah. Dalam bukunya, Chris Burns juga mengatakan:

“Buah bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dimakan. Buah yang kita berikan dalam pelayananan kita, seharusnya memberikan kehidupan untuk orang lain. Tetapi tanpa menjalani hidup di dalam Tuhan, tidak mungkin kita memiliki buah kehidupan yang dapat diberikan untuk orang lain.”

Lagi-lagi pernyataan yang menarik dalam buku Pioneers of His Presence membuatku sadar bahwa sekadar berbuat tidak dapat memberikan kehidupan untuk orang lain karena itu dilakukan untuk diri sendiri, sedangkan berbuah pasti memberikan kehidupan karena dilakukan untuk orang lain. Inilah persimpangan antara berbuat atau berbuah, antara pamer atau mengalirkan vitalitas.

Jika kupadankan lagi ke contoh yang sebelumnya kutulis, bayangkanlah skenarionya begini: meski tubuh kita lelah dan ingin segera rebahan, kita tahu menolong teman kita adalah perbuatan yang sangat baik. Dari banyak orang yang dia kenal, dia memutuskan untuk menghubungi kita. Penjelasan yang dia berikan menunjukkan bahwa dia sangat membutuhkan pertolongan kita. Lantas, kita menjemputnya naik motor dan mengantarnya ke stasiun. Dia pun berterima kasih dan segera berlari ke dalam peron.

Mari mundur sedikit dan teliti bagaimana kita merespon. Apa motivasi yang akhirnya mendorong kita untuk memutuskan menolongnya? Apakah untuk pamer kesetiakawanan kita? Apakah untuk menunjukkan impresi baik kepada saudaranya yang mungkin sedang kita sukai? Atau justru kita menyadari kita yang sudah ‘diantar’ Tuhan dengan selamat sekarang diberi kesempatan untuk ‘mengantar’ teman kita? Ingatkah kita bahwa kita baru saja tiba dengan selamat sampai rumah dan disertai Tuhan sepanjang perjalanan? Sadarkah kita kalau sekarang Dia juga memberi kita kesempatan untuk bisa mengantar orang lain dengan selamat sampai ke stasiun?

Orang lain mungkin tidak tahu apa motivasi kita memutuskan untuk melakukan suatu perbuatan baik, tapi Tuhan tahu. Berusaha dari diri sendiri akan membuat kita merasa capek dan menganggap teman kita ini hanya menyusahkan saja. Tetapi ketika fokus kita bergeser, dari sekadar berbuat menjadi berbuah, tindakan sederhana kita itu mengalirkan vitalitas untuk teman kita ini.

Merasa belum puas dengan apa yang kudapat dari buku ini, aku penasaran dengan kebenaran apa yang tertulis dalam alkitab. Apa yang Yesus katakan tentang berbuat dan berbuah? Buah seperti apa yang seharusnya dihasilkan? Bagaimana buah itu bisa keluar alami?

Yesus adalah Pokok dan Kita Ranting

Aku menemukan jawaban tentang berbuat dan berbuah dalam Yohanes 15. Keseluruhan pasal ini sangat kaya dengan kebenaran yang perlu kita rengkuh mengenai apa kata Yesus tentang berbuah.

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:4).

Tanpa Yesus kita hanya bisa berbuat, tapi dengan Yesus kita bisa berbuah. Berbuat akan membuat kita lelah karena kita berusaha memberi dari diri kita sendiri, sedangkan berbuah tidak datang dari usaha kita, melainkan dari kelimpahan hidup yang kita terima sebagai ranting dari Yesus yang adalah pokok.

Aliran Air Hidup dan Buah Roh Kudus

Ranting yang tidak menyatu dengan pokok tidak mungkin berbuah karena ia tidak menerima aliran kehidupan dari pokoknya. Dalam Yohanes 7, Yesus mengatakan sesuatu yang menarik.

“Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.”
Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya. (Yohanes 7:38-39).

Aku percaya, aliran-aliran air hidup inilah yang kita perlukan untuk bisa berbuah. Seperti yang dikatakan dalam Galatia 5:22-24, Roh Kudus, yang kita terima sebagai orang yang percaya kepada Yesus, akan menjadi sumber air hidup agar ranting dapat berbuah. Aliran air hidup ini memberikan kehidupan, pertama bagi kita, lalu untuk orang di sekitar kita melalui buah yang kita hasilkan.

Tinggal dalam Kasih-Nya

Membutuhkan waktu cukup lama bagiku untuk merenungkan apa arti “tinggal di dalam Yesus”, atau apa makna “tinggal dalam kasih-Nya”. Akhirnya, aku membandingkan beberapa versi terjemahan dan aku mendapatkan makna yang saling melengkapi.

Yohanes 15:9 (TB)
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu;
tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

Yohanes 15:9 (TSI)
Seperti Bapa selalu mengasihi Aku, begitu juga Aku selalu mengasihi kamu.
Hendaklah kamu terus hidup sebagai orang yang Aku kasihi.

Yohanes 15:9 (BIMK)
Seperti Bapa mengasihi Aku, demikianlah Aku mengasihi kalian.
Hendaklah kalian tetap hidup sebagai orang yang Kukasihi.

Terjemahan Sederhana Indonesia (TSI) dan Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) menginterpretasikan “tinggal dalam kasih-Ku” sebagai “terus/tetap hidup sebagai orang yang Aku kasihi”. Ini sangat membukakan mataku!

Selama ini aku berbuat, berusaha melakukan perbuatan baik untuk dikasihi oleh Yesus, padahal Yesus sendiri menyuruhku untuk terus dan tetap hidup sebagai orang yang Dia kasihi agar dapat berbuah! Sungguh, ini dua perbedaan makna yang sangat mendasar dan sangat menentukan perjalanan kehidupanku sebagai pengikut Yesus.

Ini yang kulakukan sekarang: Ketika aku mulai merasa lelah, menghadapi argumen dengan teman, berkonflik dengan diriku sendiri, atau mungkin dimarahi karena kesalahan orang lain, aku akan mengembalikan pandanganku pada Yesus dan hidup sebagai orang yang Dia kasihi. Kesadaran ini membantuku melihat bahwa sebagai orang yang Dia kasihi, aku memiliki kasih-Nya yang tidak terbatas di dalamku, sehingga aku bisa mengasihi sesama dan berbuah bukan dengan kasihku sendiri, tapi dari kasih-Nya.

Ini yang menjadi imanku, sebagai orang yang percaya kepada Yesus, aku perlu terus menyadari dan menjalani hidup sebagai orang yang sudah, sedang, dan akan tetap dikasihi oleh Yesus. Bagiku, ini adalah kunci untuk berbuah, bukan berbuat.

Sekarang, judul tulisan ini datang kepadamu sebagai pertanyaan: Berbuat atau Berbuah?

Kalau kamu juga tertarik dengan hal ini, jangan berhenti di sini! Ayo renungkan kembali ayat-ayat yang kubagikan dan minta Roh Kudus untuk membukakan kebenaran untukmu secara pribadi. Haleluyah!

Immanuel, God with us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Hanya Sebuah Sepatu

“Nak, sepatu yang kamu pakai itu belinya di mana?”

“Kata ibu, ini belinya dari pasar, Pak”

“Kamu tahu harganya berapa?”

“Tiga ribu, Pak.” Kepalaku semakin menunduk. Aku tahu harganya sangat murah. Merek pun tak tertempel di sepatuku. Hanya berbahan kain berwarna abu-abu, yang tingginya tidak sampai mata kakiku. Betapa memalukan aku ini!

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

“If you are tired, learn to rest, not quit.”

Pesan di atas kuterima di bulan keenam tahun 2018 dari seorang teman dekat yang mengetahui keputusanku untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi pelayanan intern-kampus. Jenuh merupakan faktor utama yang mendorongku untuk memutuskan mundur dari koordinasi yang seharusnya kuselesaikan hingga bulan Desember di tahun yang sama.

Sebagai pengurus, aku dan kesembilan teman dalam koordinasi biasanya memiliki jadwal yang padat. Selain karena kami juga masih menjalani rutinitas kuliah, kegiatan di organisasi dengan visi pelayanan “murid yang memuridkan kembali” tersebut juga terbilang cukup padat. Kegiatan dalam Kelompok Kecil yang merupakan ujung tombak dari pelayanan tak boleh luput dari pantauan kami sebagai motor organisasi di tahun itu. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti persiapan ibadah yang biasanya dilakukan 2 kali sebulan, jam doa puasa, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan anggota organisasi yang masih mahasiswa hingga harus menjalin komunikasi dengan keseluruhan anggota baik alumni maupun mahasiswa melalui sharing ataupun via daring serta mengadakan pertemuan untuk regenerasi kepengurusan di tahun mendatang.

Hampir setiap malam kami harus bertemu di rumah sekretariat, terkadang kami juga harus sampai begadang karena susah mencocokkan jadwal kosong di siang atau sore hari. Aktivitas yang di awal membuatku bersemangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang berlalu tak berbekas ataupun bermakna. Di bulan keenam, kuberanikan diri bercerita dengan seorang teman yang juga pernah mengerjakan kepengurusan. Walau berbeda kampus namun aku percaya dia bisa jadi tempat berbagi.

“Mengapa kemarin mau menerima pelayanan itu?” Pertanyaan pertama darinya membuatku mengingat kembali momen ketika PKK-ku (Pemimpin Kelompok Kecil) secara khusus mengajakku membahas firman Tuhan dari Lukas 19:28-40 tentang bagaimana Yesus dielu-elukan di Yerusalem.

Di sana diceritakan bagaimana Yesus meminta murid-murid-Nya membawa keledai untuk-Nya yang akan ditunggangi-Nya menuju Yerusalem. Saat Yesus akan menaiki keledai, orang-orang menghamparkan pakaiannya dan membantu Yesus menaiki keledai itu.

“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Maha Tinggi”, kata semua murid yang mengiring Dia. Karena hal itu, orang Farisi menegur Yesus, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu”. Jawab Yesus, “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Ayat 40).

“Jangan mengeraskan hati dek, jika Tuhan mau, batu pun bisa dipakai-Nya untuk melayani Dia”, begitu kakak di kelompok kecil mengingatkanku di akhir pertemuan itu.

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku. Merasa lelah karena terlalu sering dipekerjakan merupakan salah satu penyebab kejenuhan. Walau tak selalu benar, kejenuhan bisa menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan hal itu lagi.

“If you tired, learn to rest, not quit”, kutipan di awal tulisan ini mengingatkanku untuk menyediakan waktu beristirahat alih-alih mundur dan mengingkari komitmen yang sudah diambil. Di dalam pelayanan-Nya, Yesus juga pernah mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat ketika mereka harus memberi makan lima ribu orang yang mengikuti mereka (Markus 6:31). Tentu beristirahat dan berhenti adalah dua hal yang berbeda. Secara perlahan dengan pertolongan-Nya, aku mengingat kembali kenapa aku mau menerima tanggung jawab itu. Dengan menyediakan waktu untuk beristirahat, itu berhasil membantuku memulihkan keadaanku saat itu.

Jenuh, jemu, bosan menggambarkan situasi emosional di mana kita sudah tidak suka dengan si objek yang bisa jadi dalam bentuk keadaan, pekerjaaan, lingkungan bahkan hubungan dengan seseorang. Ayah yang sudah bosan bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama; ibu yang jenuh dengan urusan dapur dan kegiatan beres-beres yang dilakukan setiap hari; anak yang jemu duduk berjam-jam di kelas ditambah dengan tugas sekolah; atau mungkin sepasang kekasih yang mulai bosan dengan dering telpon yang dipisahkan jarak; bahkan kita anak-anak Tuhan yang mungkin merasa jenuh menjalin persekutuan dengan-Nya.

Memasuki bulan keempat setelah aturan-aturan untuk menanggulangi pandemi virus corona digalakkan, beradaptasi untuk menghilangkan kejenuhan bukanlah perkara yang mudah. Berhenti beraktivitas dari rumah, pergi berkerumun, atau menolak anjuran pemerintah tentu memiliki konsekuensi tersendiri khususnya bagi kesehatan kita. Sebagai individu yang diciptakan berbeda-beda, tips treatment untuk kejenuhan orang yang satu bisa saja tidak mempan untuk yang lainnya. Pilihan untuk menikmati waktu dengan keluarga, mengubah situasi kamar atau rumah agar lebih nyaman untuk belajar dan bekerja dari rumah, hingga mencari kreativitas lain agar tetap waras selama #DiRumahaAja terdengar klise dan tak berpengaruh. Namun sebagai ciptaan-Nya kita perlu mengingat bahwa pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita (Matius 11:28).

Kiranya kita bisa memaknai setiap waktu atau kesempatan dengan bijaksana. Sama seperti Musa, biarlah kita tak bosan meminta kekuatan dari Tuhan untuk menyadari berharganya setiap waktu yang ada (Mazmur 90:12).

Dia akan menolong dan memulihkan semangat kita (Yesaya 40:29).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan.

Ketika Penolakan Menjadi Awal Baru Relasiku dengan Tuhan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Aku lahir bukan sebagai orang Kristen, setidaknya sampai aku berusia 6 tahun ketika ayahku menanyakan apakah aku bersedia mengikuti kepercayaannya. Di masa-masa setelahnya, sangat sulit untuk beradaptasi dengan identitas baruku itu karena budaya serta lingkungan sosial seakan-akan mencap aku ‘berbeda’. Beberapa konflik terjadi karena ‘perubahan’ ini, hingga akhirnya aku menyimpulkan bahwa diriku tidak berharga. Aku ditolak dan aku pantas untuk ditolak.

Pemikiran akan identitas tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan kehidupanku sehari-hari. Aku jadi serba takut untuk melakukan sesuatu karena takut salah, takut ditolak, takut orang membenciku karena aku melakukan ini dan itu, dan segala jenis takut lainnya terus menghantuiku sepanjang masa kecil hingga remaja. Aku tumbuh menjadi perempuan yang penakut.

Saat aku berada di universitas, aku dibina di persekutuan kampus. Masih menyandang identitas sebagai seorang ‘penakut’, aku menyadari bahwa perlahan-lahan Tuhan sedang membentuk dan mengajari aku melalui sebuah persekutuan. Dalam persekutuan tersebut, untuk pertama kalinya aku merasa diterima sebagai aku yang apa adanya. Tidak ada rasa penolakan, dan aku merasa sangat nyaman. Ditambah lagi dengan rasa sukacita karena aku ‘akhirnya’ diterima dalam sebuah lingkungan sosial yang menurutku sangat baik.

Saat lulus kuliah, aku pun tidak lepas dari kehidupan persekutuan. Meski tidak lagi di kampus, tapi aku mendapat kesempatan untuk bergabung lagi dengan sebuah persekutuan yang anggotanya lebih banyak dari kalangan alumni. Aku kembali merasa sangat senang karena aku tidak ditolak di sana. Awalnya aku merasa puas dengan fakta ini, sampai tiba pada masa Tuhan mengajak aku mengalami petualangan ‘ditolak’ yang cukup mengejutkanku.

Singkat cerita aku menyukai seorang partner pelayanan. Motivasi awalnya hanya karena aku melihat dia perlu ditolong. Jadilah aku sering mendoakan dia dan kehidupannya yang beberapa kali menjadi topik obrolan kami. Sayangnya, dalam hal ini aku sudah merasa cukup percaya diri bahwa dia akan menerimaku menjadi pacarnya. Sampai pada akhirnya ketika aku mulai merasa tidak nyaman dengan perasaanku sendiri, tidak nyaman dengan berbagai macam asumsi yang tidak terverifikasi, akhirnya aku nekat untuk menyatakan perasaanku padanya. Tujuannya memang supaya aku tidak penasaran lagi dengan segala asumsiku sendiri. Ternyata, aku ditolak. Aku tidak menanyakan apa pun, namun dengan pernyataan bahwa dia hanya menganggapku teman, itu sudah cukup menjelaskan bahwa dia menolakku untuk menjalin relasi yang lebih dari sekadar teman. Pada peristiwa inilah rasa takut yang sempat hilang itu muncul kembali. Segala ketakutan- ketakutan yang sempat hilang tiba-tiba muncul lagi. Sedih, kecewa, merasa tidak berharga, malu, bahkan aku sempat marah pada Tuhan karena mengalami penolakan lagi. Aku bertanya-tanya: apakah aku tidak berharga? Apakah hidupku hanya lelucon sehingga dunia menolakku?

Di tengah-tengah kekalutan pikiran dan emosi, Roh Kudus menolongku untuk bangkit perlahan-lahan. Salah satunya melalui media buku. Bertepatan dengan musim pandemi COVID-19 di Indonesia yang mengharuskan aku membatasi kegiatan di luar rumah, membaca buku akhirnya menjadi salah satu aktivitas pilihanku sembari work from home.

Sungguh tidak menyangka bahwa buku yang aku baca saat itu membawaku pada pengalaman rohani yang sangat menyegarkan. Judul bukunya “Surrender To Love” yang ditulis oleh David G. Benner. Dari buku tersebut aku belajar dan disadarkan kembali bahwa Allah benar-benar mengasihi aku dan Dia tidak bisa tidak mengasihi aku. Bahwa Allah sungguh-sungguh merindukan relasi dengan kita umat-Nya secara pribadi, bukan secara kewajiban agama semata. Dan kasih-Nya merupakan sebuah tawaran untuk kita supaya terbebas dari rasa takut.

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1 Yohanes 4:18 TB)

Hal inilah yang membuatku mau berserah dan dipulihkan oleh Tuhan dari rasa takut serta penolakan. Aku akhirnya menikmati fakta bahwa aku tidak akan pernah ditolak oleh Yesus, karena Dia adalah Kasih. Sekarang, ketika melihat ke belakang, aku sungguh bersyukur pernah mengalami berbagai macam penolakan. Sebab penolakan-penolakan tersebut membuatku makin mengenal diriku sendiri, terlebih belajar mengenal Allah Sang Pencipta dan mulai membuka diriku untuk berelasi dengan-Nya secara pribadi dari hati yang rindu, bukan lagi sekadar ‘rutinitas rohani’. Dari berbagai macam penolakan yang kualami, Tuhan lagi mengajari aku bahwa berharap diterima oleh manusia saja tidak cukup. Hanya Tuhan yang bisa memuaskan kebutuhan akan penerimaan ini.

Pelan-pelan, aku bisa berdamai dengan masa laluku, dan aku juga bisa berdamai dengan diriku sendiri yang memiliki banyak kelemahan ini. Rasa takut ditolak pun terkikis sedikit demi sedikit dan aku mulai memupuk keberanian dalam mengerjakan segala sesuatu atau ketika berelasi dengan siapapun—karena aku yakin aku berjalan bersama Tuhan.

Jika kita pernah atau sering merasa tertolak, tidak dianggap, tidak dihargai, hidup terasa tak berguna, mari sama-sama mengingat bahwa Allah tak pernah menolak kita. Kita selalu diterima oleh-Nya sekalipun dunia menolak kita.

Baca Juga:

Cerpen: Mamaku Terkena Stroke Tiba-tiba

Waktu mama divonis stroke, aku ingin menangis, tapi mamaku bilang, “Jangan nangis, Ka. Tuhan pasti akan memberi jalan.”

Aku memberikan sedikit kataku untuk menyemangati mama, “Ma, kami bertiga belum sukses, Ma. Masa mama sakit? Mama harus bisa sembuh. Apalagi kakak dan abang bentar lagi wisuda, Ma.”

Melihat Jelas Batas Antara Hidup dan Mati, Ini Kisahku Menjadi Perawat di Masa Pandemi Covid-19

Oleh Galang Siregar

Sudah enam tahun aku tinggal merantau jauh dari keluarga. Bersama tiga temanku, kami bekerja sebagai perawat di unit perawatan intesif (ICU) di sebuah rumah sakit swasta di Jawa Barat. Ketika virus corona mewabah di Tiongkok, aku tak berpikir kalau virus itu akan masuk ke Indonesia dan menjangkiti banyak orang. Namun, inilah kenyataannya sekarang. Kita sedang bertarung melawan virus-virus tak kasat mata.

Rumah sakit tempatku bekerja sebenarnya bukanlah rumah sakit rujukan untuk COVID-19, namun rumah sakit kami tetap berusaha menangani pasien ODP dan PDP sampai mereka mendapatkan fasilitas rujukan. Tapi, untuk mendapatkan fasilitas rujukan tidak mudah, apalagi jika keadaan pasien semakin memburuk. Pihak rumah sakit kami pun membentuk tim khusus penanganan COVID-19 untuk menangani pasien yang kondisinya memburuk dan tak mendapat rujukan.

Aku terpilih menjadi bagian dari tim tersebut. Tak lama setelah tim terbentuk, datang pasien PDP dengan kondisi sakit berat. Tim kami bertugas di ICU isolasi. Dalam sekali tugas, ada empat perawat yang bertugas dan dibagi menjadi 3 shift bergantian: pagi, siang, dan malam. Dalam setiap shift, satu perawat bertugas merawat dua pasien. Setiap kali melakukan handover dari shift sebelumnya ke shift kami, kami memulainya dengan berdoa.

Kami saling memeriksa apakah sudah aman untuk masuk menangani pasien. Pasien 1, Tn. G, usianya 51 tahun. Dia datang dari UGD dengan kondisi tidak sadar. Nafasnya sudah diintubasi, dibantu oleh mesin ventilator. Tn. G masuk dalam kategori pasien PDP karena berdasar hasil CT-scan terdapat pnemumonia di paru-parunya. Pasien juga sudah menjalani rapid test dan hasilnya reaktif, dan sekarang sedang menunggu giliran diambil sampel swab untuk menegaskan diagonosisnya. Kondisi Tn. G terus memburuk. Tensinya menurun dan harus mengonsumsi obat yang mendukung tensi darahnya. Keluarga sudah diberikan informasi mengenai consent, dan mereka memilih opsi DNR (do not resuscitation) atau tidak perlu diresusitasi untuk mencoba mengembalikan kesadaran. Keluarga menganggap risiko Tn. G untuk kembali sembuh kecil, dan jika opsi resusitasi dilakukan, risiko penularan virus ke petugas medis akan lebih besar.

Meski keadaan Tn. G bisa dikatakan amat buruk, kami tetap berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Kami selalu rutin membilas lambung Tn. G yang kotor dan mengobservasinya, supaya saat lambung itu telah bersih kami bisa memberinya nutrisi. Puji Tuhan! Mukjizat terjadi. Keadaan Tn. G perlahan membaik. Tensinya mulai naik dan Tn. G tidak lagi bergantung pada obat untuk menaikkan tensinya. Kemudian, kami mulai menyetop pemberian obat sedasi (obat penenang) untuk menilai sejauh mana kesadaran Tn. G.

Suatu ketika, aku membangunkan Tn. G dan dia membuka matanya. Kucoba berikan perintah untuk mengedipkan mata dan menggerakkan kaki serta tangan, dan Tn. G mampu melakukannya. Tn. G masih mengenakan ventilator sehingga dia tak dapat bicara. Saat itu aku yakin kesadaran Tn. G sudah membaik, hanya nafasnya saja masih harus dibantu oleh ventilator.

Aku berkata kepada Tn. G. “Bapak jangan khawatir.” Lalu kutanya, “Apakah bapak percaya Tuhan Yesus?” Dia mengedipkan matanya.

Kulanjutkan kalimatku bahwa Tuhan Yesus ada di sini, Tn. G tak perlu khawatir karena keluarganya mendoakan dia, dan aku pun senantiasa ada di dekatnya untuk melayaninya. Setiap kali aku memberikan makan dan obat, aku mengajak Tn. G untuk berdoa bersama. Hasil tes swab sudah diambil, semoga hasilnya baik. Saat ini Tn. G masih dalam perawatan.

Pasien kedua, Ny. P, usianya 77 tahun. Ny. P menjadi PDP karena memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri lalu mengalami gejala sesak. Ny. P dibawa dari UGD dalam keadaan sadar namun nafasnya berat. Timku yang terdiri empat perawat bersehati mendoakan Ny. P, merawatnya, sembari memotivasi Ny. P untuk juga berdoa dalam hatinya. Karena nafasnya semakin berat, kami menggunakan ventilator dan dua obat pendukung tensi. Puji Tuhan, keadaan Ny. P semakin membaik. Saat ini kondisi Ny. P tak lagi bergantung pada ventilator dan dia sudah bisa makan menggunakan mulutnya.

Cerita yang kutulis ini adalah sekelumit pengalamanku melayani sebagai petugas medis di garda terdepan. Jika kamu membaca kesaksianku ini, aku mohon kiranya kamu pun berdoa bagi setiap orang yang sakit tanpa melihat latar belakang orang tersebut.

Pandemi virus corona ini hadir secara nyata di tengah kita, namun kita pun yakin bahwa Tuhan Yesus berkarya di tengah-tengah pandemi ini. Dia sanggup menyembuhkan, memulihkan, menghibur, dan memberi kedamaian bagi setiap kita.

Baca Juga:

Menghadapi Disrupsi: Mencoba, atau Menyerah?

Disrupsi, artinya tercabut dari akar. Aktivitas yang dulu dengan mudah kita lakukan secara tatap muka, sekarang terpaksa dikurangi atau ditiadakan. Kita mengubah kebiasaan lama untuk menyesuaikan dengan pola baru. Bagaimana ke depannya?