Posts

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Kalau kita bertanya ke beberapa orang Kristen “apa sih pelayanan?”, aku yakin kita akan mendapat jawaban yang beragam.

Jawaban yang paling umum adalah “sesuatu yang dilakukan buat Tuhan”. Kalau kita gali jawaban itu lebih jauh, kita akan menemukan bahwa seringkali yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan dalam nuansa Kristen dan tidak dibayar (bukan berarti ini benar lho..). Ini artinya super luas!

Tetapi, kadang aku bertanya betulkah semua yang disebut “pelayanan” itu benar-benar pelayanan?

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Aku berikan beberapa contoh.

Contoh 1:
Sebuah gereja membentuk suatu tim yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelayanan di kota lain. Tim itu menerima laporan dari mereka yang melayani di kota itu, lalu memberi masukan, kritikan, bahkan mengambil keputusan. Tetapi, mereka tidak sepenuhnya mengerti pelayanan di kota itu. Mereka juga bukan orang yang memiliki konsep teologis dan strategis yang kuat untuk itu. Seluruh anggota tim merasa sedang “melayani”. Tetapi, bagi orang-orang yang berada di garis depan pelayanan di kota itu, apa yang dilakukan tim itu sama sekali tidak menolong, malah sebaliknya menghambat. Maka, betulkah anggota tim itu sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 2:
Seorang ibu yang suaranya kurang enak didengar ingin “melayani” dengan menyanyi solo di kebaktian. Orang-orang berkata, “mau pelayanan kok dilarang?” Tetapi, kalau kebaktian adalah waktu di mana gereja mengajak semua yang hadir menyembah Tuhan dengan lebih baik, apakah dengan menyanyi solo dia membuat jemaat menyembah Tuhan dengan lebih sungguh? Maka, betulkah dia sedang mengerjakan pelayanan?

Contoh 3:
Sebuah kelompok musik tanjidor ingin “melayani” dengan mengiringi pujian di dalam kebaktian. Tetapi, ketika mereka mengiringi pujian, jemaat sulit untuk menyanyi dengan baik. Jemaat sulit berkonsentrasi menyembah Tuhan dengan diiringi orkestra Betawi itu. Tetapi, seluruh anggota kelompok musik itu merasa mereka sudah melayani Tuhan dengan talenta mereka. Betulkah mereka sedang mengerjakan pelayanan?

Aku bisa memberikan banyak contoh lain. Tetapi, kukira contoh-contoh di atas cukup untuk menjelaskan maksudku.

Bisakah kegiatan-kegiatan di atas disebut pelayanan? Karena aku tidak ingin menghakimi, anggaplah kegiatan-kegiatan di atas sebagai “pelayanan” yang kurang pas disebut pelayanan.

Di mana sebetulnya kesalahan “pelayanan” dalam contoh-contoh yang kusebutkan di atas? Pada contoh 1, kesalahannya mungkin adalah pengaturan struktur organisasi. Pada contoh 2, kesalahannya adalah talenta yang tidak cocok. Pada contoh 3, kesalahannya adalah tidak sesuai dengan kebutuhan.

Tetapi, kesamaannya adalah apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan. Mereka mungkin tulus, betul-betul mengerjakannya untuk Tuhan. Mereka mungkin juga memberi yang terbaik yang mereka bisa. Tetapi, apa yang mereka lakukan tidak efektif.

Aku tidak bermaksud mengatakan pelayanan selalu harus menghasilkan sesuatu yang jelas, kelihatan, dan terukur. Tidak. Banyak hal yang kita lakukan dalam kerajaan Tuhan sifatnya menanam dan tidak langsung terlihat hasilnya. Maka, kalau kita menanam dan tidak melihat hasilnya sampai puluhan tahun sekalipun, tidak masalah! (Asalkan motivasi dan caranya benar, benihnya benar, dan kita yakin Tuhan mau kita melakukan itu). Tetapi pertanyaannya, betulkah kita menanam? Jangan-jangan yang kita lakukan justru sedang menghambat, atau lebih parah lagi, merusak. Pelayanan tidak harus efisien (tidak memboroskan waktu, usaha, dan uang), tetapi harus efektif (mencapai hasil yang diinginkan, sekalipun lama sekali)!

Maka, jangan asalkan tidak dibayar dan dalam nuansa Kristen, lalu kita berkata, “Aku ini kan pelayanan!” Coba tanyakan kepada diri sendiri: “Betulkah yang aku lakukan ini menghasilkan kebaikan bagi kerajaan Tuhan? Dengan cara bagaimana?”

Pertanyaan lebih jauh adalah: “Apakah ini adalah yang terbaik yang bisa kulakukan untuk kerajaan Tuhan? Atau, aku bisa melakukan yang lain, yang lebih efektif, yang lebih berguna untuk kerajaan Tuhan, yang tidak aku lakukan karena ngotot dengan yang ini?”

Aku tahu tulisan ini menyederhanakan banyak hal.Kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Tapi, aku berharap kiranya tulisan ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam mengerjakan pelayanan.

Baca Juga:

Membaca Alkitab di Zaman yang Sibuk

Membaca Alkitab seringkali tidak semenarik menjelajah Instagram atau melihat-lihat flash sale. Kesibukan digital telah menepikan kerinduan untuk mencari Tuhan dan firman-Nya.

Belajar dari Kisah Naaman: Menerima Saran Sebagai Cara untuk Memperbaiki Diri

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

“Baik, terima kasih. Saranmu akan aku perhatikan.”

“Terima kasih atas masukannya. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik.”

Pernahkah kamu mendengar dua ungkapan tersebut? Aku sering mendengarnya ketika seseorang memberikan saran terhadap suatu program tertentu, ataupun ketika sedang mengikuti pertemuan dan rapat. Biasanya perkataan tersebut merupakan “standar” jawaban ketika kritik, saran, ataupun masukan disampaikan. Namun, apakah ucapan “terima kasih atas saranmu dan kami akan memperbaikinya” hanyalah formalitas belaka? Ataukah seseorang benar-benar serius melakukan saran tersebut?

Aku pernah mengalami situasi seperti itu. Saat aku menjadi seorang pemimpin, aku pernah meminta saran dari rekan sekerjaku. Setelah saran-saran kuterima, aku pun mengucapkan kalimat-kalimat di atas sebagai formalitas belaka, yang berarti: kritik dan saran dari orang lain tidak akan sepenuhnya aku lakukan. Aku mengucapkan kalimat “terima kasih atas masukannya dan aku akan berusaha memperbaikinya” hanya supaya orang itu senang dan hubungan kami tetap baik. Tapi, sesungguhnya aku tidak pernah mendengarkan saran mereka dengan serius. Bagiku, aku telah memiliki prinsip, nilai, dan perencanaanku sendiri, sehingga saran dari orang lain tidak ada yang cocok. Aku mengabaikan kritik dan masukan dari orang lain tanpa bersedia berdiskusi dengan mereka. Dan, tanpa kusadari, di sinilah aku sedang terjebak dalam dosa kesombongan.

Lambat laun, ketidakseriusanku terhadap saran mereka pun terlihat. Sewaktu kami (aku beserta organisasi yang kupimpin) merencanakan sebuah acara perayaan ulang tahun sekaligus ibadah kebangunan rohani di komunitas pemudaku, seorang senior (sekaligus panitia acara) menegurku dengan nada yang kurang enak. Dia mengetikkan pesannya lewat chat dan memaksaku untuk segera mengganti konsep acara perayaan di dalam gereja menjadi kegiatan sosial di luar gereja. Saran darinya adalah akan lebih baik apabila acara perayaan ulang tahun gereja kali ini diisi dengan kegiatan sosial karena tahun-tahun sebelumnya acara hanya berpusat pada perayaan dalam gedung. Dia lalu memintaku untuk mengeksekusi saran itu dalam waktu dua minggu saja. Sebagai seorang pemimpin yang sudah punya perencanaan matang, aku tidak terima dengan saran itu. Mengapa aku harus menggantinya?

Tapi, saran itu kemudian membuatku bergumul: apakah aku tetap memegang prinsip dan perencanaanku, atau aku mau mengikuti saran dari kakak seniorku? Sebelum aku bertemu dengannya untuk membahas acara tersebut, aku berdoa agar Tuhan memberikanku jalan terbaik untuk melakasanakan acara ini. Dan, aku ingin agar semuanya untuk kemuliaan Tuhan saja.

Sewaku berdoa, Roh Kudus mengingatkanku akan kisah Naaman yang mau menerima saran yang diberikan oleh pelayannya (2 Raja-raja 5:1-27). Naaman adalah seorang panglima raja Aram. Dia terkena kusta dan hendak pergi ke Israel untuk mencari kesembuhan atas saran dari pelayan isterinya. Setelah dia tiba di Israel dan diarahkan untuk menemui Elisa, dia sempat kecewa. Naaman pikir Elisa akan menyembuhkannya dengan cara-cara yang spektakuler: Elisa menyentuh kulitnya lalu sembuh. Tapi, Elisa malah menyuruh Naaman mandi ke Sungai Yordan dan ini membuat hati Naaman panas. Tetapi, pegawai-pegawai Naaman datang dan memberikan saran kepada Naaman, “Seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir” (ayat 13). Naaman mengikuti saran itu dan sembuhlah ia.

Dari kisah ini, aku cukup kagum melihat Naaman, seorang panglima dari Aram yang mau menerima masukan dari isteri—yang telah dibisikkan pelayannya—untuk mencari kesembuhan di Israel, yang notabenenya adalah negara musuhnya sendiri (2 Raja-raja 6:8-23).

Naaman tak hanya mendengarkan saran dari pelayan itu, tetapi juga bersedia melakukannya. Bahkan ada tantangan yang dihadapinya dalam melaksanakan saran tersebut. Bila kuperinci, beberapa tantangan Naaman dalam melakukan saran dari pelayan Israel itu adalah sebagai berikut:

1. Naaman harus rela disembuhkan oleh nabi lain di luar negerinya, bahkan negeri musuhnya. Tak hanya itu, ia pun juga berurusan dengan Allah di Israel, Allah yang berbeda dengan yang ia sembah seperti di negeri asalnya. Hal tersebut terlihat pada ayat 15, di mana Naaman menunjukkan kekagumannya akan kedahsyatan kuasa Allah Israel, “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel”.

2. Naaman sempat dicurigai hendak mencari gara-gara oleh raja Israel (ayat 7).

3. Naaman ingin menemui nabi Elisa, tetapi Elisa malah menyuruh suruhannya untuk menemui Naaman, dan hanya memberikan perintah “Mandi tujuh kali di Sungai Yordan” tanpa basa-basi (ayat 9-11).

4. Naaman mendapatkan cara penyembuhan yang tidak seperti yang ia harapkan dari Elisa (ayat 12). Naaman berharap ia disembuhkan dengan cara Elisa menggerakkan tangannya ke kulitnya. Tapi, ternyata Elisa malah cuma menyuruhnya mandi.

5. Bagi Naaman, ada banyak sungai lain yang lebih baik daripada sungai Yordan, dan untuk apa pula ia jauh-jauh ke Israel hanya untuk mandi di sungai Yordan. “Bukankah Abama dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” (ayat 12).

Ada banyak tantangan yang dihadapi Naaman ketika ia ingin serius menjalankan saran yang diberikan pelayannya tersebut. Namun, di tengah tantangan yang dihadapi, Naaman tetap fokus dan serius melakukan saran tersebut meskipun ia sempat hampir menyerah. Naaman tak sekadar menerima saran dan masukan sebagai formalitas hubungan saja, tetapi ia sungguh-sungguh melakukan saran yang diterimanya.

Melalui kisah Naaman, ketika memberi diriku untuk menerima saran, aku belajar untuk menerima dan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan serius, khususnya dalam organisasi yang kupimpin. Memang tidak semua saran harus kuikuti, tetapi aku perlu menyaringnya dan tidak menganggap remeh saran-saran tersebut. Aku memerlukan pertolongan untuk memajukan organisasi yang kupimpin. Dan tentunya, saran dan kritikan dari senior, penatua atau gembala, maupun orang-orang yang mengasihiku adalah salah satu bentuk pertolongannya.

Sesungguhnya, menerima saran dan melakukannya dengan serius itu sangat sulit untuk dilakukan. Namun, bersyukur karena Roh Kudus memampukanku untuk melakukannya. Ketika kami berkumpul membahas konsep acara ulang tahun komunitas pemuda gerejaku, aku dapat menerima saran dari seniorku dan bersama-sama kami mempersiapkan acara tersebut. Memang ada banyak tantangan yang dihadapi: tempat yang dipilih, pembicara, penyesuaian hari dan jam kegiatan, transportasi, konsep acara, bantuan yang akan diberikan, dan sebagainya. Namun, puji Tuhan, Tuhan memampukan kami untuk melakukannya. Bahkan, acara tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat respons yang luar biasa, di luar dugaan kami.

Aku berharap kita semua dapat menganggap kritik dan saran sebagai sarana penolong bagi diri kita sendiri untuk bertumbuh lebih baik, juga untuk kemajuan organisasi yang kita terlibat di dalamnya. Biarlah kritik dan saran yang kita terima tidak hanya kita anggap sebagai formalitas belaka, tetapi jadi satu kesempatan buat kita belajar. Kritik dan saran tidak bukanlah halangan, itu bisa mendorong kita untuk lebih maju dan bertumbuh.

Baca Juga:

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Aku positif mengalami bipolar mood disorder dan aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus. Awalnya semua ini terasa mengerikan buatku, tapi melalui pertolongan Allah sajalah aku dapat berproses menuju pulih.