Sukacita dan Keadilan

Minggu, 5 November 2017

Sukacita dan Keadilan

Baca: Mazmur 67

67:1 Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi. Mazmur. Nyanyian.

67:2 Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, Sela

67:3 supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.

67:4 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.

67:5 Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. Sela

67:6 Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah, kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu.

67:7 Tanah telah memberi hasilnya; Allah, Allah kita, memberkati kita.

67:8 Allah memberkati kita; kiranya segala ujung bumi takut akan Dia!

Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi. —Mazmur 67:5

Sukacita dan Keadilan

Pada suatu pelayanan di Asia, saya terlibat dalam dua percakapan yang sungguh membuka wawasan saya dalam rentang beberapa jam. Pertama, seorang pendeta menuturkan bagaimana selama sebelas tahun ia dipenjara, sebelum akhirnya dibebaskan, karena kasus pembunuhan yang tidak dilakukannya. Lalu, sekelompok keluarga menceritakan bagaimana mereka telah menghabiskan banyak uang untuk meloloskan diri dari penganiayaan di tanah air mereka. Namun, mereka justru dikhianati oleh orang yang mereka andalkan. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun tinggal di pengungsian, mereka pun bertanya-tanya kapan mereka akan mendapatkan tempat tinggal yang tetap.

Dalam kedua kasus itu, keadaan pihak yang menjadi korban diperparah dengan tiadanya keadilan. Itulah salah satu bukti dari kebobrokan dunia ini. Namun, tiadanya keadilan bukanlah kondisi yang akan berlangsung selamanya.

Mazmur 67 menyerukan kepada umat Allah untuk memperkenalkan Allah pada dunia kita yang menderita. Usaha mereka akan membuahkan sukacita, yang tidak hanya muncul sebagai respons terhadap kasih Allah tetapi juga karena keadilan-Nya. “Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai, sebab Engkau memerintah bangsa-bangsa dengan adil, dan menuntun suku-suku bangsa di atas bumi” (ay.5).

Meskipun para penulis Alkitab memahami bahwa keadilan merupakan unsur kunci dari kasih Allah, mereka juga menyadari bahwa hal itu baru akan terwujud sempurna di masa mendatang. Sebelum masa itu tiba, di dunia yang marak dengan ketidakadilan ini, kita dapat menuntun orang lain untuk berharap pada keadilan Allah yang kudus. Kelak dalam kedatangan-Nya, Allah akan mewujudkan “keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir!” (Am. 5:24). —Bill Crowder

Allah Bapa, tolonglah kami untuk mengusahakan keadilan-Mu di mana pun kami berada, sembari menanti harinya kelak Engkau memulihkan segala sesuatu.

Usahakanlah keadilan dan mohonkanlah belas kasihan.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 34-36; Ibrani 2

Senyum yang Terkenal

Sabtu, 4 November 2017

Senyum yang Terkenal

Baca: Mazmur 28:6-9

28:6 Terpujilah TUHAN, karena Ia telah mendengar suara permohonanku.

28:7 TUHAN adalah kekuatanku dan perisaiku; kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab itu beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku aku bersyukur kepada-Nya.

28:8 TUHAN adalah kekuatan umat-Nya dan benteng keselamatan bagi orang yang diurapi-Nya!

28:9 Selamatkanlah kiranya umat-Mu dan berkatilah milik-Mu sendiri, gembalakanlah mereka dan dukunglah mereka untuk selama-lamanya.

Harapan orang benar akan menjadi sukacita. —Amsal 10:28

Senyum yang Terkenal

Setelah saya dan istri mendapat kesempatan istimewa untuk mengunjungi Museum Louvre di Paris, Prancis, saya menelepon Addie, cucu kami yang berumur sebelas tahun. Ketika saya bercerita bahwa saya sempat melihat lukisan Mona Lisa yang terkenal, Addie bertanya, “Apakah Mona Lisa tersenyum?”

Bukankah itu yang terus-menerus ditanyakan orang tentang lukisan tersebut? Lebih dari 600 tahun setelah sosok wanita itu dilukis Leonardo da Vinci dengan cat minyak, kita masih tidak tahu pasti apakah ia tersenyum atau tidak. Meski terpesona oleh keindahan lukisan tersebut, kita masih tidak yakin pada sikap yang ditunjukkan oleh Mona Lisa.

“Senyum” menjadi bagian dari lukisan Mona Lisa yang membuat penasaran banyak orang. Namun, sepenting apakah sebuah senyuman? Apakah “tersenyum” disebutkan dalam Alkitab? Sebenarnya, kata itu hanya muncul kurang dari lima kali di Alkitab, dan tidak sekali pun itu muncul sebagai perintah. Namun demikian, Alkitab memang mendorong kita untuk memiliki satu sikap yang dapat membawa senyuman kepada wajah kita—yaitu sukacita. Sekitar 250 kali kita membaca tentang sukacita dengan berbagai aspeknya: “Karena kuasa-Mulah raja bersukacita,” kata Daud ketika memikirkan tentang Tuhan (Mzm. 21:2). Kita diperintahkan untuk “[beribadah] kepada Tuhan dengan sukacita” (Mzm. 100:2); ketetapan-ketetapan Allah membuat kita “bersukacita” (Mzm. 119:117); dan kita “bersukacita” karena “Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita” (126:3).

Tentulah sukacita yang diberikan Allah lewat segala sesuatu yang telah diperbuat-Nya bagi kita akan memunculkan senyum pada wajah kita. —Dave Branon

Ya Allah, Engkaulah Bapa yang baik dan yang membuat kami tersenyum. Engkau memberikan sukacita yang jauh melebihi apa pun yang dapat ditawarkan dunia ini. Tolong kami menunjukkan sukacita-Mu itu lewat senyum pada wajah kami.

Pengharapan di dalam hati menghadirkan senyum pada wajah kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 32-33; Ibrani 1

3 Akibat yang Kurasakan Ketika Aku Terlalu Terobsesi dengan Drama Korea

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Jalan cerita yang menarik dan para pemainnya yang rupawan merupakan daya tarik tersendiri dari drama Korea. Aku suka drama Korea yang bergenre romantis dan komedi. Hingga saat ini, mungkin sudah ada puluhan drama Korea yang kutonton.

Kesukaanku pada drama Korea bermula ketika aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai sebuah drama berjudul “Dream High” yang bercerita tentang pencarian jati diri seorang remaja dan bagaimana dia meraih mimpinya. Drama ini membuatku jadi semangat untuk juga meraih mimpiku. Kemudian, aku mulai mengidolakan beberapa aktor Korea dan mendengarkan lagu yang mereka nyanyikan berulang-ulang. Terkadang, aku begitu tenggelam dalam chemistry yang diperankan oleh sepasang sejoli di drama tersebut dan mulai berkhayal bagaimana seandainya jika aku yang menjadi pemeran utama.

Setelah aku mengenal Kristus secara pribadi, aku masih menyempatkan diri untuk menonton drama Korea di waktu senggangku. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari ada beberapa hal tentang drama Korea yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku jika aku tidak bijak menyikapinya.

Inilah 3 dampak negatif drama Korea menurutku yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku:

1. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku tidak bijak menggunakan waktu

Jalan cerita dalam drama Korea sering membuatku penasaran. Akibatnya, aku ingin terus menerus menontonnya sampai tamat secepat mungkin. Drama Korea yang memiliki 16-20 episode itu biasanya dapat selesai kutonton selama 4-7 hari. Bahkan jika ditonton berturut-turut tanpa melakukan pekerjaan apapun, hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menuntaskan seluruh episodenya.

Secara tidak sadar, rasa penasaran akan kelanjutan cerita dalam drama Korea membuatku menggunakan sebagian besar waktuku hanya untuk menonton. Aku pernah ditegur oleh orangtuaku karena obsesiku yang berlebih terhadap drama Korea membuatku tidak membantu pekerjaan rumah. Ketika seluruh anggota keluarga sedang membersihkan rumah, aku malah asyik sendiri di depan laptop. Aku sadar aku telah bersalah karena tidak mempedulikan keadaan di sekitarku.

Bahkan di saat aku bersaat teduh, aku jadi tergoda dan terus memikirkan tentang bagaimana kelanjutan drama Korea yang aku tonton. Aku jadi tidak berkonsentrasi dalam membaca firman Tuhan dan terburu-buru karena tidak sabar untuk menonton drama Korea.

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Menonton drama Korea di waktu senggang sejatinya bukanlah masalah. Akan tetapi, apabila seluruh waktuku kugunakan untuk menonton dan mengabaikan tanggung jawabku, maka tindakan ini bukanlah sesuatu yang bijak.

Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan lebih bijak, tidak seluruh waktu luangku kuhabiskan dengan menonton drama Korea. Jika aku sedang di rumah dan kedua orangtuaku membutuhkan bantuan, maka aku akan membantu mereka lebih dahulu daripada menonton drama Korea.

2. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku memuja ilah romantisme

Ada banyak jenis berhala di dunia ini. Salah satunya adalah imaji akan cinta yang romantis. Dunia menanamkan nilai-nilai pada diri kita bahwa kita tidak akan bahagia jika tidak memiliki kisah cinta yang romantis. Kemudian, inilah yang dikejar oleh banyak orang, perasaan cinta yang menggebu-gebu atau mabuk kepayang.

Tanpa kusadari, dulu aku pernah mengingini cinta romantis seperti yang banyak diceritakan dalam drama Korea. Cinta yang terlihat begitu sempurna, padahal pada kenyataannya setiap hubungan dalam dunia tidak sepenuhnya romantis seperti diceritakan dalam drama Korea. Aku bersyukur karena di kemudian hari Tuhan menyadarkanku. Cinta romantis dalam suatu hubungan memang indah. Tapi, tanpa adanya Allah dalam hubungan itu, cinta romantis tidak akan bertahan lama, segera hilang.

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:9). Kasih Allah adalah satu-satunya kasih yang sejati. Dan, karena kasih Allah inilah kita dimampukan untuk mengasihi orang lain apa adanya, bukan karena penampilan orang itu yang menarik, ataupun karena kekayaannya. Kita mengasihi orang lain karena Allah telah mengasihi kita terlebih dahulu.

3. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku merasa rendah diri

Selain jalan ceritanya, hal lain yang paling menarik dari drama Korea adalah aktor dan aktris yang memainkannya. Semuanya terlihat tampan dan cantik. Aku pikir tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, seringkali kita malah jadi mulai membandingkan diri kita sendiri dengan mereka. Kita jadi mengasihani diri sendiri atau merasa tidak puas; Kenapa aku tidak sekurus itu? Mengapa kulitku hitam?

Aku pernah merasa frustrasi karena merasa berat badan dan warna kulitku tidak ideal. Namun, firman Tuhan dalam Yesaya 43:4 dengan jelas menyatakan bahwa di mata Tuhan aku begitu berharga dan Dia mengasihiku. Mengetahui kebenaran bahwa aku dikasihi oleh Sang Pencipta memulihkan caraku memandang diriku.

* * *

Sampai saat ini, drama Korea masih menyenangkan buatku dan aku menontonnya sebagai hiburan di sela-sela waktu senggangku. Hanya saja, sekarang aku jadi lebih bijaksana dalam menggunakan waktu. Bagaimana pun, hubungan dengan Allah harus menjadi prioritas utamaku. Aku juga belajar untuk bisa menyaring nilai-nilai apa yang seharusnya tidak kutanam dalam pikiranku dan kutiru. Mari kita berdoa supaya kita bisa bersikap bijaksana dalam mengisi waktu-waktu luang kita dan terus belajar untuk mengutamakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Secara tidak sengaja, teman dekatku menyinggungku. Karena kesal, aku membalasnya dengan berdiam diri dan menganggapnya seolah tak ada. Tapi, melalui sebuah peristiwa, aku sadar bahwa tindakanku itu bukanlah yang paling tepat dan Tuhan memprosesku untuk menundukkan rasa egoisku.

Bayi Mungil yang Dahsyat

Jumat, 3 November 2017

Bayi Mungil yang Dahsyat

Baca: Mazmur 13

13:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.

13:2 Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?

13:3 Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?

13:4 Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati,

13:5 supaya musuhku jangan berkata: “Aku telah mengalahkan dia,” dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah.

13:6 Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? . . . Tetapi aku, kepada kasih setiaMu aku percaya. —Mazmur 13:2,6a

Bayi Mungil yang Dahsyat

Pertama kali melihat bayi itu, saya menangis. Ia terlihat seperti bayi sempurna yang sedang terlelap. Namun, kami tahu ia takkan pernah bangun lagi. Ia telah kembali ke pangkuan Tuhan Yesus.

Bayi itu telah bertahan hidup beberapa bulan. Kemudian sang ibu menyampaikan kabar kematian bayinya kepada kami lewat sebuah e-mail yang sangat memilukan hati. Ia menulis bahwa ia mengalami “kepedihan yang besar di dalam batin.” Namun, ia juga berkata, “Betapa dalamnya Allah mengukir karya kasih-Nya di dalam hati kami melalui kehidupan bayi mungil kami! Alangkah dahsyat hidupnya!”

Bagaimana ia bisa berkata demikian?

Sang bayi yang begitu disayang keluarganya itu menunjukkan kepada mereka—dan kepada kita—betapa kita harus bergantung kepada Allah dalam segala hal, terutama pada saat segala sesuatu tidak berjalan sesuai kehendak kita! Ada satu kebenaran yang sulit dimengerti tetapi sanggup menghibur kita: Allah melawat kita di dalam penderitaan kita. Allah ikut merasakan pedihnya kematian seorang anak, karena Dia sendiri pernah mengalaminya.

Dalam penderitaan kita yang terdalam, kiranya kita terhibur oleh mazmur Daud yang ditulisnya ketika sedang berada dalam kepedihan yang besar. Ia bertanya, “Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?” (Mzm. 13:3). “Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati” (ay.4). Namun Daud menyerahkan keresahan hatinya yang terdalam kepada Allah. “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu” (ay.6a).

Hanya Allah yang sanggup memberi makna yang sesungguhnya dari peristiwa-peristiwa tragis yang kita alami. —Tim Gustafson

Ke mana kamu berpaling saat krisis menghantam? Pernahkah kamu marah kepada Allah saat mengalami kepedihan dan kehilangan? Takutkah kamu mengungkapkan emosimu sejujurnya kepada Allah? Pernahkah kamu memohon damai dari-Nya?

Allah sanggup melakukan yang besar dari apa yang kita pandang kecil.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 30-31; Filemon

Lock Screen: Mazmur 90:12

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12)

Hidup Tanpa Nama

Kamis, 2 November 2017

Hidup Tanpa Nama

Baca: Roma 12:1-13

12:1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

12:3 Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.

12:4 Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,

12:5 demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.

12:6 Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.

12:7 Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar;

12:8 jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

12:9 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.

12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.

12:11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.

12:12 Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!

12:13 Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!

Hendaklah saudara-saudara saling mengasihi satu sama lain dengan mesra seperti orang-orang yang bersaudara dalam satu keluarga. —Roma 12:10 BIS

Hidup Tanpa Nama

Saya sering membaca ulang esai berjudul “Working Up to Anon” (Berusaha Menjadi Anonim) karya penulis Jane Yolen, yang saya jadikan kliping dari majalah The Writer bertahun-tahun lalu. Jane berkata, “Penulis yang terbaik adalah mereka yang dari lubuk hatinya sungguh-sungguh ingin mencantumkan ‘anonim’ pada tulisan mereka. Bagi mereka, kisah yang dituliskan lebih penting daripada penulisnya.”

Sebagai orang percaya, kita menceritakan kisah tentang Yesus Kristus, Sang Juruselamat, yang menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Bersama orang percaya lainnya, kita menjalani hidup bagi-Nya dan menyebarluaskan kasih-Nya kepada sesama.

Roma 12:3-21 menjabarkan sikap rendah hati dan kasih yang harus meresap ke dalam hubungan kita sebagai sesama pengikut Yesus. “Janganlah merasa diri lebih tinggi dari yang sebenarnya. Hendaknya kalian menilai keadaan dirimu dengan rendah hati; masing-masing menilai dirinya menurut kemampuan yang diberikan Allah kepadanya oleh karena ia percaya kepada Yesus. . . . Hendaklah Saudara-saudara saling mengasihi satu sama lain dengan mesra seperti orang-orang yang bersaudara dalam satu keluarga, dan hendaknya kalian saling mendahului memberi hormat” (ay.3,10 BIS).

Kebanggaan atas prestasi yang pernah kita capai pada masa lalu dapat membuat kita buta terhadap karunia-karunia yang dimiliki orang lain. Kesombongan dapat meracuni masa depan kita semua.

Sebagai pembuka jalan bagi Yesus, Yohanes Pembaptis berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).

Sungguh itu prinsip yang baik untuk kita teladani. —anonim

Tuhan, aku mengakui bahwa aku perlu banyak belajar untuk bersikap rendah hati. Tolonglah aku untuk melihat siapa diri-Mu yang sesungguhnya agar aku dapat menempatkan Engkau dan sesamaku pada tempat yang sepatutnya dalam hidupku.

Rendahkanlah dirimu selalu di hadapan Allah dan jadikanlah Dia segala-galanya bagimu. —Oswald Chambers

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 27-29; Titus 3

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Oleh Gracella Sofia Mingkid, Surabaya

Ketika sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota, aku bersama teman-temanku membahas sebuah topik perbincangan. Saat obrolan berlangsung, aku sempat tidak berkonsentrasi dan memberikan respons yang tidak sesuai dengan perbincangan. Akibatnya, beberapa percakapan jadi tidak nyambung. Saat itu, salah satu teman dekatku melontarkan kata-kata yang cukup menohok buatku dan dia melakukannya di depan teman-temanku yang lain. Akibatnya, aku merasa malu tak karuan dan kesal. Apalagi karena aku tipe orang yang melankolis, kata-kata temanku itu langsung membuatku kepikiran.

Aku menunjukkan rasa kesalku dengan berdiam. Aku sengaja melakukannya supaya temanku itu sadar bahwa aku tidak suka jika dia berkata seperti itu. Teman-temanku yang lain tidak menyadari perubahan sikapku, namun beberapa menit berselang, teman yang menyinggungku itu tampaknya mulai sadar kalau ada yang tidak biasa dari sikapku. Dia pun mencoba memulai pembicaraan denganku. Tapi, aku tidak menanggapinya dengan hangat. Sampai kami kembali ke kediaman masing-masing pun sikapku masih dingin terhadapnya. Bahkan di grup chat juga aku tidak begitu menanggapi setiap kicauannya. Aku seolah tidak menganggap dia ada. Hal ini terus berlangsung selama beberapa hari, dan aku hampir melupakannya karena kami tak bertemu.

Beberapa hari kemudian, seusai latihan di gereja, seorang rekanku bercerita tentang apa yang dia alami. Seorang rekan kerjanya melontarkan kata-kata kasar, bahkan juga kutukan terhadapnya, padahal masalahnya hanya sederhana. Rekan gerejaku ini bertanya mengapa harga barang yang dijual oleh rekan kerjanya itu malah lebih mahal dibandingkan yang lain. Menurutnya, pertanyaan ini wajar ditanyakan oleh seorang calon konsumen kepada penjualnya. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban yang baik, respons yang diterimanya malah kata-kata kasar, bahkan kutukan. Rekan gerejaku itu bercerita bahwa secara manusia dia tidak bisa menerima perlakuan ini. Rasa-rasanya dia ingin membalas kata-kata itu. Tapi, dia berusaha menahan diri.

Kasih Tuhan menahannya untuk tidak membalas kata-kata tersebut. Dia menahan diri sejenak dan malah berdoa untuk rekannya itu. Tak hanya itu, keesokan harinya, rekan gerejaku itu juga menemui rekannya, berusaha meminta penjelasan mengapa dia berkata-kata kasar, dan akhirnya meminta maaf terlebih dulu. Semua proses itu diceritakan kepadaku sambil dia terus mengucap syukur pada Tuhan karena dia tak sampai membalas kata-kata kasar dan kutukan itu dengan emosi.

Aku mendengarkan rekanku itu dengan saksama, kemudian aku teringat akan kondisiku sendiri. Hmmm. Kejadian yang dialami rekanku ini mirip-mirip dengan apa yang kualami—sama-sama mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman. Tapi, jika rekanku berusaha mencari solusi dan berdamai, aku malah mendiamkan teman dekatku yang telah menyinggungku itu. Sebenarnya maksud dari diamku itu adalah supaya dia menyadari sendiri kesalahannya dan menyesal. Aku sendiri memang tidak ada niat untuk membalas kata-katanya secara verbal. Tapi, setelah kupikir-pikir, dengan mendiamkannya dan tidak menganggap kehadirannya, aku sama saja sudah membalas dendam, bahkan seharusnya hal itu lebih kejam.

Cerita dari rekan gerejaku membuatku merasa ditegur. Aku sadar apa yang kulakukan itu salah. Aku pun menceritakan kondisiku kepada rekan gerejaku. Dia menyarankanku agar aku minta maaf pada temanku karena aku sudah mendiamkan dan menganggapnya tidak ada selama berhari-hari. Lebih baik aku menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Teladan yang diperbuat oleh rekan gerejaku itu telah menginspirasiku. Dengan lapang dada dia sudi meminta maaf terlebih dulu walaupun sejatinya dia tidak bersalah. Alih-alih merasa sakit hati, yang dia rasakan justru sukacita dan damai sejahtera. Lalu, pada akhirnya relasi pertemanan mereka pun kembali terjalin karena masalah yang bisa diselesaikan dengan baik. Butuh kebesaran hati memang untuk berani melakukan hal ini.

Aku merasa bahwa pilihanku untuk berdiam diri bukanlah pilihan yang paling tepat. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau mengorbankan harga diriku untuk meminta maaf duluan. Butuh proses untukku mau menundukkan rasa egoisku.

Setelah sharing itu berakhir, aku seolah disadarkan oleh Tuhan dengan perlahan. Kalau aku hanya diam, aku sama saja sedang membiarkan benih kebencian untuk tumbuh secara perlahan. Dan lagi, teman yang menyinggungku adalah teman dekatku. Masakan aku senang membiarkannya merasa menyesal berkepanjangan? Kalau begitu, aku sama saja tidak mengasihi dia.

Akhirnya, aku memantapkan hatiku untuk meminta maaf terlebih dahulu melalui chat. Sebelumnya, aku berdoa, memohon supaya Tuhan memberikan keberanian dan hikmat untukku. Di dalam pesanku, aku meminta maaf apabila belakangan ini aku sering tidak menganggapnya. Aku juga bilang kalau aku merasa kesal karena kata-katanya yang menohokku dalam perjalanan itu. Secara rinci, kucoba menjelaskan semuanya, dan pada akhirnya dia pun meminta maaf juga kepadaku. Dia mengatakan bahwa dirinya menyesal telah mengucapkan kata-kata yang demikian. Bahkan, dia juga memintaku untuk tidak segan menegurnya jika kata-katanya salah.

Selepas chatting itu aku benar-benar merasa lega. Saat itu, tanganku lemas dan aku hanya bisa duduk sambil air mata perlahan mengalir. Aku menangis bukan karena menyesali tindakanku, tapi aku bersyukur karena Tuhan mengajarkanku satu hal, yakni inisiatif. Aku harus berani mengambil tindakan yang tepat, tidak memupuk keegoisanku, meskipun itu tampaknya seperti aku harus merendahkan harga diriku.

Jika aku menilik diriku lebih dalam, sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah melepaskan rasa ego dan gengsiku. Ketika aku bisa meminta maaf duluan, aku percaya semua ini adalah karya dari Roh Kudus yang melembutkan hatiku supaya relasiku dengan temanku itu dapat pulih. Aku juga percaya bahwa bukan suatu kebetulan apabila rekan gerejaku mengalami hal yang mirip denganku terlebih dahulu. Aku yakin bahwa inilah salah satu maksud Tuhan supaya aku bisa belajar darinya.

Berkaca dari pengalamanku dan cerita rekan gerejaku, sebenarnya kami punya dua pilihan saat itu: membiarkan masalah, memupuk rasa sakit hati serta mengasihani diri, atau melangkah maju dan memulihkan relasi. Di sinilah pelajaran yang Tuhan Yesus ajarkan untukku.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Allah adalah Allah yang bertakhta dan berkuasa, dan tentunya tidak bersalah apalagi memiliki dosa. Namun, Dia berinisiatif untuk datang ke dunia dengan maksud memulihkan relasi manusia dengan Bapa yang telah rusak karena dosa. Karena inisiatif inilah, kita bisa hidup dalam anugerah-Nya setiap hari. Bukan karena kebaikan kita, tetapi karena Allah yang mengasihi kita dan berinisiatif memulihkan relasi yang rusak.

Apa yang menjadi respons kita atas inisiatif Allah tersebut? Tinggal diam dan memupuk dosa, ataukah datang dan memilih hidup baru bagi Allah? Jika kita memilih pilihan yang kedua, biarlah itu juga terpancar dari bagaimana cara kita menanggapi setiap keadaan di sekitar kita.

“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matius 5:23-24).

Baca Juga:

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti Hingga Hari Ini

Tepat hari ini kita memperingati 500 tahun peristiwa Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.

Sharing: Pelajaran Berharga Apa yang Tuhan Pernah Berikan Kepadamu?

Pelajaran berharga apa yang Tuhan pernah berikan kepadamu?
Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.

Siapa Gerangan Orang Ini?

Rabu, 1 November 2017

Siapa Gerangan Orang Ini?

Baca: Markus 4:35-41

4:35 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.”

4:36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia.

4:37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.

4:38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”

4:39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.

4:40 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”

4:41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”

Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” —Markus 4:41

Siapa Gerangan Orang Ini?

“Simpan semua benda yang ada di atas meja kalian. Siapkan selembar kertas dan pensil.” Dahulu ketika saya masih menjadi murid sekolah, kata-kata yang menakutkan itu menunjukkan bahwa ujian segera dimulai.

Di Markus 4, Yesus memulai hari dengan mengajar di tepi danau (ay.1) dan mengakhirinya dengan sebuah ujian yang berlangsung di tengah danau (ay.35). Perahu yang semula merupakan sarana mengajar telah dibuat menjadi sarana transportasi oleh Yesus dan para pengikut-Nya untuk menyeberangi danau. Di dalam perjalanan itu (sementara Yesus yang kelelahan tertidur di buritan), mereka didera angin topan yang sangat dahsyat (ay.37). Murid-murid yang kewalahan membangunkan Yesus dengan berkata: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”(ay.38). Lalu terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Pribadi yang pernah berseru kepada orang banyak, “Dengarlah!” di awal hari itu (ay.3), kini mengucapkan perintah singkat yang penuh kuasa kepada angin, “Diam! Tenanglah!” (ay.39).

Angin pun taat dan para murid yang ketakutan itu terheran-heran. Keheranan mereka terungkap dalam pertanyaan, “Siapa gerangan orang ini?” (ay.41). Pertanyaan itu tidak salah, tetapi baru di kemudian hari para murid menyadari dan yakin sepenuhnya bahwa Yesus adalah Anak Allah. Ketika seseorang mengajukan pertanyaan tersebut dengan jujur, tulus, dan hati yang terbuka, ia dapat tiba pada kesimpulan yang sama: Yesus bukan sekadar guru yang harus didengarkan, melainkan Allah yang layak disembah. —Arthur Jackson

Bapa, terima kasih atas firman-Mu yang menolong kami untuk melihat Yesus sebagai Anak Allah yang hidup. Tolonglah kami untuk mendengarkan-Mu dan percaya bahwa Engkaulah yang memegang kendali atas segala sesuatu.

“Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” —Matius 8:19

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 24-26; Titus 2