Demi Cinta, Aku Akhirnya Berserah, Menyerah, dan Terserah

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Sudah, kamu berserah sama Tuhan saja, ikut saja apa maunya Tuhan!” Itulah yang selalu aku dengar dari pacarku setiap kali aku menceritakan pergumulan berat yang sedang aku hadapi. Dan tiap kali juga, aku merespons pacarku dengan pernyataan: “Aku tahu kok, dan aku sudah berserah. Ya sudah, aku ikut saja dengan yang Tuhan mau.”

Aku mencoba untuk berdamai dengan kondisi yang ada. Aku memaksakan diri untuk mengerjakan “apa yang Tuhan mau.” Namun, aku sendiri tidak menikmati hari-hariku. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menceritakan lagi segala keluh kesahku, dan pacarku kembali mengulangi kata-kata yang sama. Aku pun membalasnya lagi dengan jawaban yang sama. Selama lebih kurang enam bulan, pergumulan ini sering mewarnai pembicaraan kami. Gara-gara isu ini, perbincangan kami memanas dan memicu pertengkaran.

Sampai suatu kali, di sebuah acara makan malam pernikahan, aku bertemu dan duduk semeja dengan seorang saudara di gereja. Di sela-sela percakapan, dia bertanya: “Bro, kamu tahu gak apa yang membuat aku akhirnya bisa keluar dari masalah-masalah hidupku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Tatapan mataku langsung terfokus kepadanya. Aku sangat menantikan sebuah jawaban yang tidak biasa. Aku berharap bisa segera keluar dari rentetan panjang problema hidupku yang sudah membuat aku lelah.

“Berserah sama Tuhan saja. Aku rasanya plong dan lega banget ketika aku berserah sama Tuhan. Terserah Tuhan mau ngapain!” Sambil tersenyum, saudara itu berkata-kata dengan santai. Kemudian, dia pun melanjutkan kisah hidupnya tentang bagaimana Tuhan memampukan dia untuk mengatasi perkara-perkara yang sulit ketika dia menyerah dan membiarkan Tuhan yang mengerjakan apa yang dipandang baik oleh-Nya.

Kawan, aku percaya kalau kamu ada di posisiku saat itu, kamu juga pasti akan kesal dengan jawaban yang itu-itu lagi. Awalnya aku juga tidak puas hati, sampai suatu hal membuka hati dan pikiranku.

Singkat cerita, seperti biasa, aku dan pacarku pasti selalu mengobrol sembari menanti jam tidur. Aku kembali mengangkat isu tentang masalahku yang belum selesai. Pacarku tampaknya sudah kehabisan akal untuk menasihatiku. Dia terdiam sejenak. Aku pun terdiam karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.

Dalam keheningan itu, ada satu kata yang terlintas dalam pikirkanku: pride (kesombongan). Sel-sel di otakku memberikan respons yang cepat terhadap kata itu. Tidak lama kemudian, aku melanjutkan obrolan dengan pacarku: “Jangan-jangan, selama ini aku sombong dengan kemampuan diriku. Aku bilang aku cinta Tuhan. Aku mau mengasihi Tuhan. Aku bilang berserah sama Tuhan. Tapi, aku tidak mau menyerah pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Aku justru mau bangun pride dalam diriku, bukan mau terserah sama maunya Tuhan.”

Kawan, malam itu aku disadarkan oleh Tuhan, kalau selama ini cintaku kepada Tuhan masih lemah dan rapuh. Dengan gampangnya, aku sanggup menghafalkan hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Namun, ketika Tuhan memintaku untuk mempercayakan seluruh hidupku kepada rencana baik-Nya, aku masih enggan.

Aku teringat dengan kisah seorang murid Yesus, Simon Petrus, yang dicatat di Injil Yohanes pasal 21. Pengalaman iman dari Petrus ini terjadi pasca kebangkitan Yesus. Pada saat itu, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya untuk di pantai danau Tiberias. Dari kisah ini, aku merefleksikan tiga hal:

1. Berserah kepada Sang Cinta

Petrus dan beberapa murid Yesus yang lain pergi ke tengah danau untuk menangkap ikan. Sudah semalaman mereka menjala, tetapi pulang dengan tangan kosong. Yesus datang dan meminta mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika Petrus menyadari bahwa Pribadi yang menyapa mereka adalah Yesus yang dikasihinya, dia dan teman-temannya kembali ke danau untuk sekali lagi menebarkan jala. Mirip dengan peristiwa yang terjadi kira-kira tiga tahun silam, ketika Petrus dan teman-temannya dipanggil untuk mengikuti Yesus, mereka mendarat dengan sejumlah banyak ikan.

Petrus juga pernah “ngotot” pada Yesus saat mereka makan malam bersama sebelum Yesus disalibkan. Yesus mengingatkannya untuk waspada karena iman mereka akan digoyahkan pada malam itu. Dengan lantang dan sombong, Petrus menjamin bahwa kasihnya kepada Sang Cinta, Yesus, tidak mungkin tergantikan. Namun, nyatanya itu hanya sekadar ucapan. Demi menjaga keselamatan dirinya, Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali dengan berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus.

Petrus amat kecewa dengan dirinya yang gagal menyatakan kasih kepada Sang Cinta. Karena itu, Petrus memastikan dirinya untuk tidak lagi mengecewakan Yesus. Petrus berserah pada apa yang diminta oleh Sang Guru yang dicintainya. Dia mengikuti arahan Yesus untuk menebarkan jala di sebelah kanan, dan dia berhasil menangkap 153 ekor ikan yang besar. Jala yang dipakainya pun tidak koyak sama sekali (Yohanes 21: 11). Ketika Petrus berserah dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Cinta, dia menemukan bahwa kehendak Sang Cinta adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Menyerah demi Sang Cinta

Tiga tahun yang lalu, Petrus diminta Yesus untuk meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Karena itu, Petrus tidak lagi berurusan dengan bidang perikanan. Yesus memanggil Petrus untuk mengemban tugas yang lebih besar: tidak lagi menjala ikan, tapi menjala manusia bagi kerajaan Allah.

Namun, bingung dan sedih dirasakan Petrus dan rekan-rekannya karena kematian Yesus di kayu salib. Mereka tidak mengerti bahwa memang inilah rancangan Allah sejak semula untuk memberikan anugerah keselamatan kepada manusia berdosa. Yesus telah menang terhadap kuasa dosa dan bangkit dari kematian. Walaupun Yesus sudah bangkit dan pernah menampakkan diri kepada para murid-Nya, Petrus masih ragu. Dalam pikiran Petrus, terbesit ide untuk kembali menaiki kapal dan pergi menangkap ikan (Yohanes 21:1-3).

Yesus menghampiri Petrus untuk mengonfirmasi seberapa serius Petrus mengasihi-Nya. Tiga kali berturut-turut, Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus memberikan respons yang sama: “Aku mengasihi Engkau.” Jikalau demikian, Petrus perlu menyerah pada dirinya demi Sang Cinta. Petrus bukan hanya berserah untuk siap mengerjakan perintah Sang Cinta, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh komitmen demi Sang Cinta. Sang Cinta memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

3. Terserah kepada Sang Cinta

Di akhir percakapan dengan Petrus, Yesus menunjukkan kepadanya sebuah konsekuensi dari berserah demi cinta dan menyerah kepada cinta. Yesus memberikan sebuah penggambaran yang mengenaskan tentang akhir hidup Petrus. Ketika Petrus sudah menjadi tua, dia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki olehnya (Yohanes 21:18-19). Para penafsir Alkitab meyakini bahwa ilustrasi ini berkaitan dengan kematian Petrus yang juga dalam kondisi tersalib. Bahkan, Petrus sendiri merasa ia tidak layak tersalib sebagaimana Yesus tersalib, sehingga ia meminta untuk disalib secara terbalik.

Setelah itu, Petrus melihat seorang murid yang dikasihi oleh Yesus. Orang tersebut adalah Yohanes, sang penulis Injil. Petrus mempertanyakan akhir hidup dari saudaranya ini kepada Yesus. Yesus menjawab Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yohanes 21:22). Tampaknya, nasib Yohanes ini jauh lebih baik dari Petrus. Para pakar sejarah Alkitab mencatat bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang usia hidupnya paling panjang.

Di tahap akhir ini, ketika Petrus sudah bisa berserah kepada Sang Cinta dan menyerah demi Sang Cinta, dia sudah tidak lagi mempermasalahkan bagaimana Sang Cinta merancang hidupnya. Petrus sudah belajar untuk berkata, “Terserah pada Sang Cinta saja!” Sebab, dia meyakini bahwa Sang Cinta memiliki rencana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kitab Kisah Para Rasul menarasikan antusiasme dan kegigihan dari Petrus yang dipenuhi oleh kasih dari Sang Cinta untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Petrus tidak pantang menyerah untuk mewartakan nama Yesus walaupun dia diperhadapkan dengan tantangan dan masalah yang datang silih berganti. Sampai pada akhirnya, oleh karena Sang Cinta, dia harus mengorbankan nyawanya.

***

Dari kisah Simon Petrus di Yohanes 21, aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk menemukan solusi dan jalan keluar yang permanen terhadap masalah hidupku dikarenakan ketidakmauanku untuk melepaskan diriku dan menuruti kehendak-Nya. Aku mempertahankan ego dan kesombonganku untuk menyelesaikan masalahku. Selama ini, aku hanya mengaku di bibir saja kalau aku mau mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi; tetapi pada praktiknya, aku justru mau Tuhan yang mengikuti pikiran dan rancanganku sebagai pilihan yang terbaik. Padahal, Yesus sendiri menawarkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kawan, aku telah menemukan jawaban yang telah kucari-cari selama ini.
Ternyata, hal yang membuatku berat dalam menjalani pergumulanku adalah egoku sendiri. Aku mengerti kalau untuk berserah kepada Sang Cinta, menyerah demi Sang Cinta, dan terserah kepada Sang Cinta memang tidak mudah. Namun, aku sadar, justru Sang Cinta itu sendirilah yang menarikku untuk bisa mengalami cinta-Nya ketika aku bersedia menyerahkan keegoisan dan kesombonganku.

Lagipula, aku percaya jikalau Tuhan mengizinkan masalah dan pergumulan terjadi dalam hidup kita, Tuhan tidak pernah tinggal diam karena Dia sendiri yang berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

Berhadapan dengan Rekan Kerja yang Menyebalkan

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Dalam kehidupan pekerjaan profesional, tantangan tentu menjadi hal yang tidak mungkin kita hindari. Pergumulan terkait kecukupan gaji, nyaman-tidaknya lingkungan bekerja, tinggi-rendahnya tingkat stres dari pekerjaan yang kita lakukan, hingga apakah pekerjaan tersebut membawa pertumbuhan dan perkembangan pada diri kita tentu selalu ada. Dari beberapa tempat kerja yang memberiku banyak sekali pengalaman dan pelajaran, ada satu hal lainnya juga yang pasti akan kita temui ketika bekerja di manapun: berhadapan dengan karakter orang lain.

Ketika bekerja, kita pasti akan berurusan dengan orang lain. Entah banyak, atau sedikit. Entah dengan usia yang lebih tua, atau lebih muda. Entah dengan perempuan, atau laki-laki. Senyaman apapun lingkungan kerja kita, sebesar apapun nominal gaji kita, semudah apapun jobdesc kita, kita tidak bisa menghindar dari urusan relasi ini.

Seperti relasi antar manusia pada umumnya (dengan keluarga, teman dekat, dan lain-lain), relasi dengan rekan kerja pun tentu akan mengalami dinamika. Ada masa di mana kita kompak dengan mereka ketika mengerjakan suatu pekerjaan, namun ada juga masa di mana kita harus berhadapan dengan karakter atau tingkah mereka yang menyebalkan dan tidak kita sukai. Meskipun indikator ‘menyebalkan’ dan ‘tidak suka’ antara satu orang dengan yang lain akan berbeda, namun fase ini tentu tidak terhindarkan. Ini hal yang wajar, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia unik dan berbeda satu sama lain (Efesus 4:7). Juga tidak boleh dilupakan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).

Lalu apa yang harus kita lakukan jika tengah berhadapan dengan rekan kerja yang menyebalkan, atau bahkan sampai muncul konflik yang tak terhindarkan?

1. Akui emosi hatimu pertama-tama pada Tuhan

Aku pernah memiliki rekan kerja yang tidak mau berbicara padaku gara-gara kami berdebat soal konten media sosial apa yang harus diprioritaskan untuk publikasi hari itu. Aku sedih karena dia mendiamkanku selama beberapa hari dan itu sangat mengganggu jalannya kinerja harian kami (kebetulan pekerjaan harianku selalu berkorelasi dengannya). Mudah bagiku untuk terus larut dalam emosi, berpikiran negatif, hingga berpengaruh pada pekerjaan. Namun, masih ada pilihan untuk berdoa dan mengakui apa yang kurasakan pada Tuhan. Awalnya aku gengsi, ingin berada di posisi yang paling benar, tapi lama-lama Tuhan tolong aku untuk melihat situasi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih. Dengan keberanian yang Tuhan anugerahkan, aku akhirnya meminta maaf duluan padanya meskipun dia tetap tidak membalas pesanku. Sedih dan sedikit kecewa, tapi setidaknya itu hal terbaik yang bisa kulakukan.

Mengakui keadaan hati kita pada Tuhan mungkin tidak menolong konflik mereda seketika, tetapi itu akan memberikan damai sejahtera pada hati kita. Ketika hati kita lebih damai, kita lebih mampu untuk melihat lebih jelas dan luas konflik yang sedang kita alami.

2. Bicarakan pada pimpinan atau atasan jika sudah mengganggu profesionalitas kerja

Masih lanjutan dari cerita di atas, karena dia masih mendiamkanku, sedangkan urusan publikasi masih harus terus berlangsung setiap harinya, akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan atasan kami. Menjadi suatu berkat yang harus disyukuri ketika memiliki pimpinan yang mau peduli dengan masalah yang dialami anak buahnya. Singkat cerita, ia mengajak ngobrol rekan yang mendiamkanku itu, lalu tak berapa lama kemudian ia akhirnya membuka komunikasi denganku dan relasi kami kembali baik seperti semula.

Namun bagaimana jika atasan kita malah tidak mau ikut campur dengan konflik antar rekan kerja yang sedang terjadi?

Tetap tenangkan diri dan pikiran, lalu coba sampaikan pada atasan bahwa kita butuh pertolongan atau masukan atas pekerjaan yang terhambat akibat konflik tersebut. Usahakan kita tidak perlu fokus pada perilaku rekan kerja yang membuat kita marah, kesal hingga berkonflik, namun fokus pada mencari solusi dari masalah pekerjaan yang sedang dilakukan.

3. Belajar rendah hati untuk terus perbaiki diri

Meski rasanya kesal dan seringkali tidak mau berada di posisi salah, namun kita juga tetap rendah hati untuk terus belajar dalam memperbaiki diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Suzanne Stabile dalam bukunya yang berjudul The Path Between Us: “Sangatlah bagus jika Anda menghabiskan energi untuk mengobservasi dan memperbaiki diri sendiri ketimbang mengobservasi serta memperbaiki orang lain.”

Kesal dengan tingkah laku si rekan kerja tentu bukan berarti kita menjadi pihak yang paling berdosa. Bukan juga artinya dia yang paling berdosa. Namun, Firman dalam Efesus 4:2 mengatakan perintah yang jelas: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” Sulit? Tentu. Keberdosaan kita membuat kita ingin menjadi pihak yang selalu benar dan tidak ingin salah. Pada akhirnya, meminta tolong kerendahan hati untuk mau belajar pada Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.

4. Komunikasikan dengan baik ketidaksukaan kita dengan cara yang tidak menghakimi

Ada kalanya kita kesal dengan rekan kerja kita hanya karena tingkahnya yang memang tidak kita sukai, misalkan: si dia terlalu banyak bicara, si dia sok tahu, si dia memiliki kebiasaan menghentak-hentakkan kaki sehingga ruangan kantor jadi berisik, si dia tidak sabaran, si dia pemalas, si dia suka datang terlambat, dan lain-lain. Jika hal itu tidak mengganggu pekerjaan kita, tentu harusnya tidak ada masalah. Namun, jika sudah mengganggu, membuka komunikasi secara baik-baik menjadi cara yang layak dicoba.

Sewaktu bekerja di perusahaan media, salah satu rekanku sering sekali berbicara dengan nada menuntut dan cukup tinggi kepadaku. Konteksnya seperti ini: alur kerja kami memang dimulai dari aku dulu yang membuat konsep, kemudian dia yang membuatkan desain. Aku selalu berupaya untuk memberikan konsep tepat waktu, namun dalam beberapa kesempatan ia tetap marah-marah padaku. Emosinya membuatku merasa di posisi serba salah. Aku jadi kesal. Hingga pada suatu hari aku mencoba iseng mengungkapkan rasa kesal itu. Dimulai dengan berdoa singkat dalam hati meminta ketenangan, aku bertanya, “Woy, kamu kenapa sih? Lagi dikejar kereta api? Ngomong sama aku kok ngegas mulu gitu lho.” Lalu dia menjawab, “Hah? Aduh aku emang ngegas ya? Maaf, maaf.” Responnya dia ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia bahkan meminta maaf dan setelah itu menceritakan bahwa ada masalah yang tengah mengganggunya sehingga di saat itu ia sebenarnya tidak sedang berkonsentrasi bekerja.

Singkat cerita, hubungan kami malah jadi semakin dekat, dan ketika dia mulai berbicara dengan nada yang sama, aku tidak masukkan ke dalam perasaan lagi, selama memang pekerjaan kami sudah pada alur dan waktu yang tepat.

Jadi, belum tentu tingkah menyebalkan seseorang selalu tanpa alasan. Kadang mungkin saja ada permasalahan atau beban berat yang sedang mereka pikul namun enggan membicarakannya pada siapapun, sehingga membuat tingkahnya jadi menyebalkan untuk orang sekitar. Di sini, kita bisa meminta hikmat pada Tuhan untuk menjadi pendengar yang baik, atau bahkan kita bisa membantu dan menolongnya sesuai kapasitas yang Tuhan anugerahkan untuk kita.

5. Hindari membicarakan kelemahan atau keburukannya kepada orang lain

Aku menuliskan ini bukan berarti aku berhasil menghindarinya. Tidak. Membicarakan keanehan atau kelemahan orang lain yang tidak kita senangi rasanya menjadi makanan sehari-hari dan kita sadar-tidak sadar senang melakukannya. Aku pribadi mengakui bahwa masih sangat sulit untuk mengekang lidah dan sulit untuk menjaga hati agar tidak bergunjing, apalagi jika itu menyangkut orang yang menyebalkan bagiku.

Sayangnya, Tuhan tidak menghendaki demikian. Yakobus 1:26 secara jelas menyampaikan: “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Ketika ‘terjebak’ pada situasi bergosip yang sungguh menggoda, kita bisa minta tolong pada Allah dalam doa untuk menahan motivasi hati kita yang ingin ikut-ikutan membicarakannya. Aku sendiri beberapa kali lebih memilih diam atau bermain ponsel ketika topik tentang si orang-yang-menyebalkan mulai muncul dalam percakapanku bersama rekan-rekan kerjaku yang lain. Ada kalanya aku juga jatuh dan ikut tergoda membicarakannya. Minta tolong pada Allah menjadi cara terbaik yang bisa kita lakukan.

* * *

Beberapa pengalaman bekerja di ranah profesional sebelumnya mengajariku bahwa meskipun kita bisa memilih perusahaan, ladang, gaji, hingga jenis pekerjaan dan jabatan yang kita mau, kita tidak bisa memilih pemimpin, tim, serta rekan kerja yang akan bekerja bersama kita. Aku belajar bahwa jika pun aku memperoleh semua yang aku mau dalam pekerjaan tersebut, aku tidak bisa mengelak dari dinamika relasi yang terjadi antara aku dan rekan sekerjaku. Talenta yang kumiliki untuk berkontribusi dalam pekerjaan tersebut ternyata satu paket dengan bayar harga dan penderitaan di dalamnya, termasuk juga ketika menghadapi konflik dan masalah dengan sesama.

Pertanyaannya: apakah kita mau untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam pekerjaan hari ke hari, atau lebih memilih untuk mengandalkan kekuatan sendiri?

Baca Juga:

7 Langkah Berdamai Saat Berkonflik dengan Teman Dekat

Berteman lama dan sangat dekat tidak jadi jaminan kalau pertemanan itu akan bebas dari konflik. Lalu, bagaimana caranya kita berekonsiliasi kala konflik terjadi dengan kawan dekat?

Menjaga Toleransi di Tengah-Tengah Masyarakat yang Majemuk

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

Aku sangat bersyukur sekaligus bangga diciptakan Tuhan sebagai orang Indonesia, bangsa yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam membuatku belajar untuk memahami bahwa pola pikir setiap orang berbeda-beda karena terbentuk dari latar belakang yang berbeda pula. Indahnya hidup toleransi di tengah keberagaman ini kurasakan ketika memasuki dunia perkuliahan.

Merantau ke kota Bandung, aku bertemu dengan teman-teman baru yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia, tentunya dengan latar belakang mereka yang beragam. Pengalaman ini terbilang baru bagiku karena selama bersekolah di Sumatera Utara, hampir semua teman-temanku memiliki latar belakang budaya dan agama yang sama denganku. Dalam lingkungan pergaulanku yang dilingkupi sikap toleransi, aku belum pernah menemui masalah yang berarti meskipun aku tergolong minoritas. Kami saling membantu dalam menyelesaikan tanggung jawab perkuliahan sampai akhirnya berhasil lulus bersama-sama. Perbedaan tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin persahabatan yang saling membangun.

Ayat Alkitab yang selalu menjadi peganganku untuk menjalani kehidupan yang toleran adalah Matius 22:37-39, yaitu tentang kasih.

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Ayat ini mengingatkanku bahwa mengasihi sesama manusia sama nilainya dengan mengasihi Tuhan Allah. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi yang akan memampukan kita untuk mengasihi sesama. Jika kita mengasihi Tuhan, kita pasti ingin menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya dan meneladani kebaikan-Nya. Sama seperti Allah yang tidak memandang bulu (Roma 2:11, Ulangan 10:17), bersikap toleran sudah sepatutnya kita lakukan sebagai anak-anak-Nya.

Mengelola perbedaan dengan sikap toleransi bisa jadi merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari pengalamanku, setidaknya ada tiga hal yang dapat diterapkan untuk hidup di tengah keberagaman.

Menerima Perbedaan

Aku mempunyai sahabat yang berasal dari Jayapura. Berhasil memperoleh beasiswa, ia berkuliah di tempat yang sama denganku. Ia banyak bercerita tentang betapa berbedanya kehidupan di Jayapura dan kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan di sana dengan dunia perkuliahan di Bandung. Bukan hanya budaya, bahasa, dan pergaulan saja yang harus ia terima, sistem pendidikan yang baru pun harus ia jalankan. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Ia belajar untuk menerima keadaan yang baru secara positif dan percaya bahwa Tuhan akan menolongnya sampai akhir.

Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. – 2 Timotius 3:17

Tuhan menciptakan setiap manusia secara unik, dengan segala karakteristik, potensi, dan bakat masing-masing. Toleransi tidak hanya bersinggungan dengan agama dan budaya, tetapi juga perihal menghargai keunikan setiap individu! Kita perlu memaknai maksud Allah yang mulia dalam menghadirkan perbedaan, yaitu agar kita semua dapat saling melengkapi dalam melakukan pekerjaan Tuhan di dunia sesuai dengan panggilan masing-masing.

Menyesuaikan Diri

Sikap toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, melainkan juga soal bagaimana kita mampu menyesuaikan diri. Seperti kata pepatah “di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung”, kita harus bisa beradaptasi dengan budaya di mana kita berada.

Setiap budaya tentunya memiliki perbedaan norma. Aku yang lahir dan besar di Sumatera Utara yang sudah terbiasa berbicara dengan suara yang keras, belajar menyesuaikan diri dengan budaya Sunda yang ketika berbicara dengan cenderung menggunakan suara yang pelan dan halus agar suasana lebih kondusif dan dapat diterima.

Dalam 3 Yohanes 1:5, Tuhan mengingatkan kita untuk senantiasa mencerminkan diri sebagai orang percaya terhadap siapapun dengan latar belakang apapun, “…sekalipun mereka adalah orang-orang asing”. Dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, kita dapat diterima dimanapun Tuhan menempatkan kita.

Menjadi Berkat

Di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun, hendaklah motivasi kita dalam bertindak adalah untuk membagikan kasih Yesus yang sudah kita nikmati setiap hari sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama. Sikap toleransi membuat kita dapat membantu dan mendukung sesama kita ketika mereka sedang dalam kesusahan, tanpa memandang perbedaan yang ada. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk tidak lagi menjadi kendala ketika hidup kita dipimpin oleh Tuhan, yang adalah kasih itu sendiri.

Kita semua dianugerahi kesempatan berharga menjadi Warga Negara Indonesia untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini tanpa terkecuali. Dengan belajar menerapkan sikap toleransi, kiranya semakin banyak orang yang dapat merasakan kasih Kristus melalui sikap hidup kita! Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Seisi keluargaku telah menerima Tuhan Yesus, namun ayahku belum. Aku sempat pesimis jika Tuhan akan menjamah hati ayahku untuk mau menerima-Nya, tetapi Tuhan telah bekerja, dan Tuhan mengasihi ayahku.

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Oleh Judah Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Do You Need Hope For Your Family?

Sudah 11 tahun aku menjadi orang Kristen, dan aku adalah orang pertama di keluargaku yang datang pada Kristus. Oleh anugerah-Nya, ibu dan kakak perempuanku menerima Tuhan setahun setelahnya, diikuti oleh kakak lelakiku yang dimenangkan lewat upaya dan doa-doa dari rekan sekerjanya. Sungguh mukjizat keluargaku bisa menerima penebusan dari Tuhan Yesus.

Namun, masih tersisa ayahku. Aku tumbuh jadi seorang anak yang takut padanya karena ibuku sering menceritakan hal-hal buruk tentang ayahku. Teriakan, umpatan, dan gertakan adalah hal biasa di rumah kami, dan di suatu hari, ayahku pernah memberiku sebilah pisau dan menantangku untuk berkelahi dengannya. Buatku, dia adalah pria pemarah yang jauh dariku dan tak segan melakukan kekerasan. Meskipun akhirnya aku bisa menyingkirkan rasa takutku terhadapnya, takut itu telah melenyapkan semua rasa kasih yang seharusnya ada di antara ayah dan anak.

Kira-kira lima tahun yang lalu, di hari-hari yang biasa saja, aku melihat ayahku telah bertambah tua. Tak hanya tua, dia pun renta. Dia jadi pendiam. Dia tak lagi mengumpat sumpah serapah. Dia tampak tenang. Dan, dia pun terasing dari kehidupan sosialnya.

Meskipun kami sekeluarga tinggal di rumah yang sama, tidak ada seorang pun yang mau berhubungan dengannya. Dia kesepian, dan aku merasa Tuhan memberiku rasa sakit dalam hatiku—rasa sakit yang bermula dari simpati, bertumbuh menjadi kasih, pengampunan, dan kerinduan agar ayahku diselamatkan.

Di dalam budaya kami, banyak hal tidak kami bicarakan. Tapi entah mengapa, relasiku dengan ayahku mulai membaik. Kami hampir tidak pernah bertengkar lagi, tetapi semakin ramah satu sama lain. Seiring relasi kami yang mulai pulih, aku lebih dan lebih ingin lagi membagikan imanku pada ayahku.

Adalah perjalanan yang panjang sampai ayahku mau menerima Tuhan. Seorang teman dari luar negeri pernah mengunjungi kami dan kami mulai berbicara tentang iman. Obrolan itu berubah menjadi debat yang memantik emosi. Tiba-tiba aku sadar, kami terlalu memaksa meyakinkan ayah. Aku harus menyudahi obrolan itu sebelum berubah jadi pertengkaran. Di saat aku merindukan keselamatan buat ayah, aku sadar seharusnya aku tidak mengandalkan usahaku sendiri (Efesus 2:8-9).

2018 adalah tahun terakhir aku menerima angpao. Aku dan ayahku, bersama tunanganku merayakan Tahun Baru Imlek bersama. Meski ayahku sangat totok akan tradisi Tionghoanya, dia bersemangat menceritakan tentang pernikahanku nanti—pernikahan yang akan diberkati di gereja.

Rasanya menyenangkan melihat ayahku, yang bukan seorang percaya, menjelaskan dan mengerti tentang pernikahan gerejawi. Seiring obrolan berlanjut, aku mendengar ayahku berkata “Allah” dan “10 Perintah Allah”. Ternyata, ayahku pernah ke gereja waktu dia masih kecil, meskipun itu cuma saat Natal demi mendapatkan hadiah dan makanan. Dia tidak pernah tertantang untuk mengambil keputusan percaya. Tapi, Tuhan menyimpan kenangan masa kecilnya itu dalam hatinya, hingga setengah abad kemudian, ayahku masih bisa mengingat detail-detailnya.

Sebagai orang percaya yang pertama di keluargaku, aku merasa punya tanggung jawab untuk membawa Kabar Baik itu kepada keluargaku. Tetapi, aku perlu ingat bahwa Tuhan mengasihi ayahku lebih daripada apa yang bisa kulakukan, dan Tuhan punya rencana untuk menjangkau ayahku, bahkan sebelum aku dilahirkan. Tuhan bekerja dalam rancangan keselamatan buah ayahku. Tugasku adalah percaya, berdoa, dan tetap setia (Amsal 3:5-6).

Tapi, proses selanjutnya tidak selancar yang dikira. Setelah aku menikah, aku berdiskusi untuk membawa ayahku ke gereja istriku. Kebaktian di sana menggunakan dua bahasa, dan ada banyak lansia juga. Ayahku tidak terlalu menolak seperti biasanya, dan dia lebih tenang. Inilah kali pertama kami membawa ayahku ke gereja, dan aku berharap kalau ayahku menunjukkan semangatnya, atau mungkin memutuskan jadi orang percaya. Harapan itu tidak terjadi dan aku kecewa, tapi istriku mengingatkanku untuk tidak tawar hati, Tuhan sedang melembutkan hati ayah.

Di awal tahun ini, aku dan istriku mengajak ayahku untuk ikut kebaktian antar-denominasi di kota kami. Ayahku sudah 71 tahun, dan dia perlu segera mendengar Injil dan mengertinya. Kami mengajaknya, dan setelah banyak pertanyaan diajukannya, dia bersedia ikut. Di sana kami mendengar kesaksian, dan khotbah tentang kebenaran; ayahku duduk di sepanjang acara, kadang berkomentar tentang bahasa yang salah. Tapi, dia mendengarkan apa yang dia perlu dengar. Ketika panggilan altar dilangsungkan, aku dan istriku meyakinkannya.

Dia mengakui kalau dia sudah mengerti, segera atau nanti dia akan percaya pada Yesus karena semua keluarganya sudah percaya lebih dulu. Tapi, ayahku masih ragu akan beberapa hal yang kupikir keraguan itu bisa dijawab nanti setelah dia dimuridkan lebih jauh. Akhirnya, ayahku bersedia untuk maju ke depan, dan kami menemaninya menjawab panggilan altar.

Aku begitu bersemangat dan senang, akhirnya ayahku percaya pada Kristus. Tapi, dalam diskusinya dengan pejabat gereja, dia mengakui belum percaya. Aku merasa ini adalah kegagalan, tapi kemudian aku melihatnya sebagai kemenangan ketika dia berdoa dan bersedia untuk menggali lebih dalam tentang iman yang dibawa oleh “misionaris-misionaris dari Barat” ini. Pejabat gereja itu lalu memberinya Alkitab Perjanjian Baru. Keselamatan pada ayahku semakin dekat!

Di minggu-minggu selanjutnya, ayahku datang ke gereja dengan keinginannya sendiri. Dia ditemani oleh ayah mertuaku, dan inilah momen yang spesial. Ayahku mungkin cuma pernah ke gereja sebanyak enam atau tujuh kali di masa mudahnya, dan lima kali dalam satu bulan belakangan.

Aku ingin mendengar dari ayah mertuaku tentang apa yang terjadi. Ayah mertuaku bercerita kalau ayahku menangis dan hatinya tergerak oleh iman yang dibagikan oleh aku, istriku, dan ibuku.

30 Juni 2019, aku, istriku, dan para pemimpin di gereja kami menerima sebuah video yang direkam oleh ayah mertuaku. Ayahku sedang berdoa dan mengakui imannya kepada Tuhan Yesus.

Tuhan bekerja. Tuhan mengasihi. Tuhan menyelesaikan.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Divonis Tumor Payudara, Pertolongan Tuhan Nyata Bagiku

Divonis menderita tumor payudara di usia muda membuatku kalut dan sedih. Aku pun harus dioperasi dan sempat mencari alternatif lain. Namun, ketika akhirnya aku harus tetap dioperasi, aku mengalami penyertaan Tuhan yang nyata bagiku.

Keluargaku, Ladang Pelayananku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Apa yang biasanya kita pikirkan atau lakukan menjelang liburan: langsung menyusun jadwal untuk bepergian ke destinasi wisata hits atau pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga?

Meskipun aku seorang perantau yang mencari rezeki di kota orang, dilema ini kerap aku alami setiap liburan semakin dekat. Aku rindu untuk bertemu dengan mama, kakak, abang, dan keponakanku di kampung halaman. Tetapi, kadangkala aku juga tergoda untuk tidak pulang kampung dengan berbagai alasan. Misalnya, harga tiket yang mahal yang membuat tabunganku menipis, padahal aku masih harus memberi sedikit berkat untuk keluarga. Aku pernah berpikir untuk hanya mengirimkan uang saja kepada keluargaku karena tergoda pada tawaran teman untuk bepergian ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi.

Beberapa waktu yang lalu sebelum aku kembali ke kampung halaman, aku berdiskusi dengan teman sekantorku. Kami berdua memiliki kampung halaman yang sangat jauh, bahkan kampungnya lebih jauh daripada kampungku. Sudah kurang lebih lima tahun dia bekerja di kantor kami, dan ia selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya sekali dalam setahun. Di tengah kegalauanku, dialah yang mengingatkanku untuk pulang. Waktu bersama keluarga sangatlah berarti, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kita harus mengorbankan uang yang tidak sedikit.

Perkataannya membuatku kembali merenung. Bukankah salah satu alasanku untuk merantau adalah untuk menghasilkan uang untuk berbagi berkat dengan keluarga? Kalau begitu, aku merasa cukup dengan mengirimkan uangnya saja. Namun, lagi-lagi aku diingatkan bahwa pertemuan tatap muka jauh lebih berharga dari uang yang kuberikan. Aku harus datang langsung untuk melihat kondisi keluargaku. Selama bekerja, adalah hal yang baik jika aku selalu mendoakan mereka dari kejauhan. Tetapi, jika keuanganku memadai, alangkah lebih baik jika aku datang untuk mengunjungi mereka secara langsung.

Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku begitu bersyukur dapat kembali berkumpul bersama keluargaku. Hal yang kami lakukan bersama sangatlah sederhana: makan bersama, jalan-jalan bersama, tertawa bersama, dan mendokumentasikan kegiatan kami dengan berfoto bersama. Selain itu, karena mamaku bekerja sebagai pedagang, aku mengantar jemputnya ke pasar. Aku juga menjaga keponakanku, membantu merapikan rumah, hingga mengunjungi anggota keluarga lainnya. Kegiatan yang sederhana sekalipun mampu mendatangkan sukacita yang luar biasa untuk kami semua, yang terpancar dari wajah setiap kami.

Kembali kurenungkan, saat-saat seperti ini tidak selamanya dapat kunikmati. Mengingat usia orang tuaku yang terus bertambah, dan masa pertumbuhan keponakanku yang banyak kulewatkan. Aku teringat akan sebuah pujian dari Pelengkap Kidung Jemaat 289:

Keluarga hidup indah
bila Tuhan di dalamnya.
Dengan kasih yang sempurna
Tuhan pimpin langkahnya.
T’rima kasih padaMu, Tuhan,
Kau bimbing kami selamanya.
Segala hormat, puji dan syukur
kami panjatkan kepadaMu.

Keluarga adalah ladang pelayananku—tempat bagiku untuk menyatakan kasih Tuhan. Aku harus menyatakan ungkapan syukurku atas penyertaan Tuhan bagi keluargaku dalam melewati musim demi musim kehidupan dengan mengasihi keluargaku. Untuk dapat berkumpul dan berbagi sukacita bersama keluargaku juga merupakan bentuk kasih dan penyertaan-Nya atas kami.

Aku pribadi sungguh ditegur dengan kondisi ini. Banyak hal di luar sana yang bisa membuatku tidak memilih untuk kembali ke kampung halamanku, walaupun sebentar saja. Namun aku bersyukur Tuhan meneguhkanku kembali di tengah-tengah dilema yang kualami, sehingga aku dimampukan untuk membuat keputusan yang tepat: memanfaatkan sebaik-baiknya waktu yang ada untuk melayani keluargaku yang sudah terlebih dahulu melayaniku sejak kecil.

Kiranya perenunganku dapat memberkati kita semua yang membacanya. Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Yang Terlupakan dari Pelayanan: Kasih Yang Semula

Aku yakin hampir semua sobat muda pernah atau bahkan sedang menjadi bagian di dalam suatu kegiatan pelayanan. Namun, pernahkah kita coba menilik diri kita masing-masing, apakah kita memiliki motivasi yang benar dalam melayani?

Sharing: Hal Apakah yang Ingin Kamu Lakukan untuk Memaknai Momen Natal Kali Ini?

Sobat Muda, hal apakah yang ingin kamu lakukan untuk memaknai momen Natal kali ini?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat menjadi inspirasi bagi sobat muda yang lainnya.

Sharing: Wujud Kepedulian Apa yang Pernah Kamu Berikan Kepada Saudara Seiman?

Hai sobat muda, wujud kepedulian apa yang pernah kamu berikan kepada saudara seiman?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat menginspirasi sobat muda lainnya.

Ketika Seorang Teman Meninggalkan Imannya

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend Leaves The Faith

Seorang teman dekatku mengirimiku pesan yang isinya berkata kalau dia tidak lagi menjadi orang Kristen. Aku segera menanggapinya dengan bertanya, “Kamu serius?”

Temanku itu tumbuh besar di gereja yang sama denganku, dan kami pernah melakukan pelayanan bersama. Meski dia lebih muda dariku, dia dapat berbicara dengan lebih bijak; aku selalu melihatnya sebagai seseorang yang secara rohani lebih dewasa daripadaku.

Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia tidak lagi menjadi orang Kristen itu mengejutkanku. Aku membaca pesan itu lagi dan lagi, berharap kalau aku yang salah mengerti isi pesannya. Tapi, tidak ada hal yang ambigu di pesan itu. Apa yang seharusnya aku katakan sekarang? Apakah karena dia tidak percaya lagi maka dia tidak mau aku membagikan kabar Injil kepadanya?

Sebagai seorang introver, aku cenderung bergaul hanya dalam lingkaran teman-teman yang erat di gereja, dan aku tidak melangkah ke luar untuk melayani orang lain. Aku takut akan penolakan. Aku selalu menganggap bahwa menjangkau orang-orang yang meninggalkan imannya adalah tanggung jawab mereka yang lebih ekstrover dan lebih dewasa kerohaniannya daripada aku.

Tapi, ketika seorang temanku sendiri yang meninggalkan imannya, aku tahu aku tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun. Sebagai temannya, aku perlu bertindak. Namun, ketika aku tahu betul bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk menjangkaunya, aku tidak tahu pasti bagaimana atau di mana aku harus memulainya.

Seiring aku bergumul untuk kembali berelasi dengan temanku, lima hal inilah yang mungkin dapat kita pikirkan:

1. Temanmu tetaplah temanmu

Setelah temanku mendeklarasikan pernyataannya yang mendadak, aku bergumul untuk memandangnya tetap sebagai teman yang kepadanya aku bisa meluangkan waktu berjam-jam untuk berbicara. Ketika mengobrol tentang buku-buku atau kejadian-kejadian konyol dalam kehidupan kami, aku terganggu dengan pemikiranku sendiri yang seolah menganggap bahwa hubungan kami tidak lagi sama. Mungkin dia pun memiliki pertanyaan yang sama: apakah teman-teman Kristennya akan memperlakukannya dengan berbeda karena sekarang dia tidak lagi percaya pada Tuhan? Apakah mereka pula akan meninggalkannya karena keputusan yang dia ambil?

Ketika teman kita meninggalkan iman, itu bisa menjadi pukulan yang telak buat kita. Buatku sendiri, itu mungkin terasa seperti pengkhianatan. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan ingin kita terus menjadi teman yang sama bagi mereka, memperlakukan mereka sama seperti dulu kita memperlakukannya. Tuhan mau kita memandang mereka sebagai anak-anak-Nya dan sesama orang berdosa yang membutuhkan kasih dan perhatian Tuhan—seperti kita semua (Roma 5:8).

Teman-teman kita yang telah meninggalkan iman kita bukanlah “proyek baru” yang harus kita segera paksa untuk kembali ke iman Kristen. Mereka masih teman kita, teman yang memiliki kebutuhan, keinginan, dan hobi yang tidak berubah.

2. Luangkan waktu dan dengarkanlah mereka

Apa yang temanku butuhkan saat itu bukanlah orang yang mengajaknya untuk segera kembali ke iman Kristen. Dia tidak membutuhkan pemaparan Injil yang dikemas secara komprehensif atau menarik atau lainnya. Yang dia butuhkan adalah seorang teman untuk mendengarkannya.

Meluangkan waktu untuk memahami mengapa teman kita meninggalkan imannya dan bagaimana proses itu dapat terjadi adalah hal yang penting. Kita perlu mengingat bahwa banyak dari mereka telah melalui proses yang menyakitkan dan mereka akan lebih menghargai seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan mereka, daripada seseorang yang sangat bersemangat untuk menginjili mereka kembali seolah-olah mereka belum pernah mendengar Injil sebelumnya. Hal ini juga menunjukkan respek kepada teman kita, menyadari bahwa mereka tidak mengambil keputusan ini dengan enteng, dan mungkin mereka juga terbawa oleh pengaruh emosional.

Ketika kita memahami mereka terlebih dulu, kita menunjukkan kasih dan perhatian Tuhan buat mereka. Mendengarkan mereka juga adalah cara untuk meyakinkan mereka bahwa pertemanan adalah tempat yang aman untuk mereka berbagi dan terbuka dengan jujur tentang apa yang sesungguhnya mereka hadapi.

3. Ketahui iman yang kamu nyatakan

Aku malu untuk mengakui bahwa inilah yang menjadi pergumulan terbesarku. Aku tidak berpikir bahwa mengetahui iman kita itu sama artinya dengan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan apologetika sulit yang dilontarkan ke kita. Tapi, setidaknya, kita harus mengetahui jelas mengapa kita menjadi orang Kristen.

Ketika di suatu makan malam temanku bertanya mengapa aku menjadi orang Kristen, pikiranku mendadak bingung. Aku sadar aku tidak memikirkannya dengan hati-hati atau menyiapkan jawaban yang tepat. Pada akhirnya, sambil tergagap-gagap aku berusaha menjawab jawaban yang bahkan aku sendiri tidak yakin.

Alasan mengapa kita yakin dengan iman kita adalah pertanyaan umum yang diajukan oleh orang bukan Kristen, dan Alkitab menasihati kita untuk “selalu siap untuk memberi jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki” (1 Petrus 3:15 BIS). Ketika kita tidak melengkapi diri untuk memberikan jawaban dengan yakin, kita kehilangan kesempatan yang berharga dari Tuhan untuk membagikan kesaksian tentang apa arti iman bagi kita pribadi kepada orang lain, pun kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan mereka.

4. Renungkanlah bagaimana kita mungkin bisa memberi dampak dalam keputusan mereka

Meskipun keputusan untuk meninggalkan iman pada akhirnya bergantung pada individu dan masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Tuhan, mungkin ada faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhinya.

Di dalam kasus temanku, aku—bersama teman-teman lainnya—telah berpikir salah bahwa hanya karena dia aktif pelayanan, relasi dia dengan Tuhan ada dalam keadaan yang baik. Jadi, kami pun abai untuk melayani dia. Kami meluangkan lebih banyak waktu kami bersama mereka yang masih enggan datang ke gereja atau merasa tidak terhubung dengan gereja, tapi kami pula bahwa seseorang di antara kami pun ternyata butuh perhatian yang sama.

Mungkin itulah hal-hal kecil yang menyebabkan mereka merasa jauh dari Tuhan. Kita mungkin tidak mengabaikan, mengucilkan, atau menolak mereka menjadi bagian dari komunitas tempat kita dipanggil; tapi mungkin kita terlalu lambat untuk mendengarkan apa yang jadi pergumulan mereka, atau kita terlalu berfokus untuk mengasihi dan menghabiskan waktu bersama orang lain.

Apa yang kita lakukan (dan yang tidak kita lakukan) yang membuat mereka merasa jauh dan meragukan Tuhan? Apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menarik mereka lebih dekat pada Tuhan? Langkah-langkah praktis apakah yang harus kita lakukan untuk meningkatkan cara kita berperilaku? Dalam kata lain, bagaimana caranya kita menjadi teman yang lebih baik? Bagaimana caranya kita bisa lebih peka terhadap kebutuhan mereka?

Menyadari kebenaran yang sulit ini menolong kita untuk menjadi teman yang baik, dan juga menjadi kesaksian yang lebih baik tentang Kristus bagi orang-orang di sekitar kita.

5. Sadari bahwa hati Tuhan jauh lebih pedih daripada kita

Kalau teman kita itu berharga buat kita, terlebih lagi Tuhan memandang mereka. Kalau kita, para pendosa, dapat mengasihi teman kita, terlebih lagi Tuhan yang sempurna dapat mengasihi mereka.

Kalau kita ingin teman kita bersekutu kembali dengan Tuhan, terlebih lagi Tuhan sendiri, yang telah mengutus anak-Nya untuk melakukannya (Yohanes 3:16). Kita bisa yakin bahwa hati Tuhan adalah untuk semua pendosa yang berbalik kepada-Nya dalam pertobatan (Yehezkiel 18:23). Sebagaimana Tuhan yang adalah penyabar dan tidak akan pernah lalai terhadap anak-anak-Nya (2 Petrus 3:9), kiranya kita belajar untuk tidak pernah menyerah mendoakan teman-teman kita.

Marilah kita belajar untuk percaya dalam Tuhan, tidak meragukan kasih setia dan kebaikan-Nya, serta berpegang pada janji-janji-Nya dalam Alkitab bahwa Tuhan akan menyelesaikan setiap pekerjaan baik yang telah dimulai-Nya di dalam setiap kita (Filipi 1:6).

Aku berharap temanku akan kembali kepada Kristus suatu hari nanti. Dan hingga saat itu tiba, aku akan terus berdoa memohon Tuhan mengubah hati mereka berbalik kepada-Nya, mempercayai dan menyerahkan hidup mereka pada kehendak Tuhan yang berdaulat.

Baca Juga:

Anthonius Gunawan Agung: Teladan Hidup dari Sang Pahlawan di Tengah Bencana

Selamat jalan Anthonius, kisah kepahlawananmu adalah setetes madu yang manis di tengah getirnya bencana.

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Apa yang pertama kali muncul di pikiranmu ketika mendengar kata “gosip”?

Kalau kita melihat sejenak ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gosip diartikan sebagai: cerita negatif tentang seseorang. Tidak diwajibkan bahwa cerita itu benar atau tidak, selama bersifat negatif, maka hal itu sudah bisa disebut sebagai gosip. Gosip juga tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Jadi, ketika kita membahas atau menceritakan kehidupan dengan orang lain dengan tujuan yang negatif, kita sudah bergosip.

Gosip bisa dengan mudah kita temukan. Di Instagram aku mendapati ada sebuah akun gosip yang followers-nya menyentuh angka 5,3 juta! Berbagai berita kabar burung seputar kehidupan public figure diunggah hampir tanpa sensor hingga menimbulkan banyak polemik. Di kolom komentar postingan-postingan di akun itu ada banyak tanggapan yang isinya menjelek-jelekkan orang lain, bahkan ada pula yang isinya ujaran kebencian. Namun demikian, akun ini tetap disukai dan diikuti oleh banyak orang. Aku pun merasa prihatin. Fenomena ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa ada beberapa warganet Indonesia yang memang kesukaannya adalah menjadi pengonsumsi gosip. Jika gosip sedemikian mudahnya kita jumpai, maka pertanyaannya adalah: bolehkah kita sebagai orang Kristen bergosip?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat fenomena gosip secara lebih dalam. John Piper menyebutkan, “Gossip can be true, but most always negative.” Cerita-cerita yang digosipkan bisa jadi adalah fakta, tetapi hampir selalu disampaikan dengan tujuan yang negatif. Dan, tujuan negatif inilah yang menjadi aspek terpenting dalam gosip, yaitu: menceritakan kejelekan orang lain dengan tujuan supaya diri sendiri tampak lebih baik.

Alkitab mungkin tidak secara eksplisit menyebutkan kapan dan bagaimana dosa gosip terjadi. Namun, kita dapat menilik bagian Alkitab ketika Tuhan Yesus sedang berkhotbah di bukit. Tuhan Yesus dengan tegas melarang para pengikutnya untuk menghakimi sesamanya.

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:1-3).

Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak ada dosa atau kesalahan yang lebih buruk atau lebih baik. Dosa adalah dosa. Karena itu, seharusnya seseorang tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mereka merasa berhak untuk menceritakan atau bahkan menyebarkan keburukan orang lain (bergosip). Menceritakan keburukan orang lain adalah bentuk kesombongan dan Allah tidak berkenan akan orang yang meninggikan dirinya sendiri (Matius 23:12). Seorang pengkhotbah di kampusku pernah mencoba menjelaskan apa itu dosa secara sederhana. Dalam bahasa Inggris, dosa disebut “S-I-N”, di mana “I” (aku) berada di center (tengah). Semua tentang aku; akulah yang terbaik, akulah yang paling utama. Dengan demikian, tidak heran jika dosa gosip yang adalah menceritakan kejelekan orang lain dapat tumbuh dengan suburnya.

Selain itu, Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain, sebagaimana tertulis dalam Yakobus 3:9-10:

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.”

Allah mengaruniakan kita kemampuan berbicara untuk menunjukkan kasih kita dalam hal saling membangun. Sebagaimana kesatuan anggota tubuh, demikian juga sesama umat percaya seharusnya bersatu. Masing-masing kita memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, hal itu tidak berarti kalau kita dapat menghina kekurangan orang lain, melainkan seharusnya kita bersama-sama berusaha saling menguatkan dan membangun (1 Korintus 12:21-26).

Jika ada seseorang dalam lingkungan kita yang berbuat hal buruk dan perlu dikritik, hendaknya kita menyampaikan hal itu kepadanya dengan “selalu rendah hati, lembah lembut, dan sabar” (Efesus 4:2). Bukan untuk menjatuhkannya, melainkan untuk membangun dan menolongnya memperbaiki karakternya. Perkataan yang keluar dari mulut kita seharusnya adalah perkataan yang penuh kasih, bukan yang bisa menyulut kebencian.

Dengan demikian, jelaslah bahwa gosip bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh orang Kristen. Selain menjadi bukti kesombongan pribadi, gosip bertentangan dengan panggilan umat percaya untuk saling mengasihi dan membangun. Karena itu, mari periksa percakapan kita dengan orang lain hari ini: sudahkah kita menunjukkan kasih kita?

Baca Juga:

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Aku bekerja sebagai seorang sales yang dituntut untuk mencapai target dalam penjualan. Suatu ketika, rekan kerjaku berbuat curang. Segala usaha kerasku pun seolah sia-sia. Aku kecewa, namun melalui proses inilah Tuhan sedang membentukku.