Posts

Wallpaper: Amsal 3:5

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” (Amsal 3:5)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Oleh Priscilla G, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal karena memberikan sebuah kesaksian?

Aku pernah. Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa sungguh-sungguh supaya bisa mendapatkan beasiswa dan diterima di sebuah universitas lokal. Setiap tahunnya, dari seluruh siswa yang mendaftar, hanya tiga persen saja yang bisa diterima di sana. Di luar dugaanku, aku diterima padahal aku sendiri tidak yakin dengan hasil ujian yang kuikuti. Jadi, aku memberikan kesaksianku di sebuah kelompok sel, berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan yang Dia berikan.

Akan tetapi, setelah melewati dua semester pertama, nilai-nilaiku tidak cukup baik hingga aku diberikan surat peringatan dua kali. Isi dari surat peringatan itu adalah: tingkatkan nilaimu atau kamu akan dikeluarkan dari universitas. Aku berasumsi nilai jelek ini kudapat karena aku belum menyesuaikan diri sepenuhnya dengan lingkungan kampus di semester awal.

Aku mengintrospeksi cara belajarku dan berjuang lebih keras di semester selanjutnya. Sebelum ujian dilaksanakan, aku sudah mempersiapkan diriku jauh-jauh hari dan sebisa mungkin menerapkan manajemen waktu yang terbaik. Aku pikir cara-cara ini akan mengubahkan keadaan.

Tapi, kenyataannya, nilai-nilaiku tak kunjung membaik. Surat peringatan kedua pun datang dan menjadi pukulan telak buatku. Semasa sekolah dulu aku belum pernah menerima satu pun surat peringatan, tapi sekarang aku malah menerimanya dua kali.

Segala cara sudah kulakukan. Aku sudah memacu diriku untuk berjuang keras supaya nilai-nilaiku bisa membaik di semester kedua ini. Tapi, hasil yang kuterima malah berbanding terbalik dengan segala usaha yang telah kulakukan.

Aku gagal untuk memahami mengapa nilai yang kuraih tidak sesuai dengan usaha yang sudah kulakukan. Sejujurnya, aku tidak mengharapkan nilai yang sempurna, nilai yang biasa-biasa pun sudah cukup untukku. Aku menyelidiki hatiku dan yakin bahwa apa yang sudah kulakukan adalah yang terbaik. Kemudian, aku mulai menyalahkan dosen-dosenku. Bahkan, aku pernah meminta mereka untuk mengoreksi ulang ujianku, tetapi nilaiku tetap saja tidak berubah. Akhirnya, aku menyalahkan Tuhan yang kepada-Nya aku berdoa supaya bisa mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesali keputusanku untuk memberikan kesaksian di masa-masa awal kuliahku. Aku berjuang untuk memahami kondisi yang sedang terjadi kepadaku. Aku tidak meremehkan kesempatan yang Tuhan berikan untuk masuk ke universitas ini. Namun, mengapa Dia malah mengizinkan ini terjadi? Jika ada sebuah lagu yang mengatakan “Dimuliakanlah nama Tuhan”, hatiku memilih untuk tidak memuliakan nama-Nya.

Aku mengakui bahwa ketika peristiwa ini terjadi, aku tidak mencari pertolongan dengan cara membaca Alkitab atau pergi ke gereja. Aku tidak yakin dengan tanggapan orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan Tuhan. Jadi, aku beralih ke Google dan mengetikkan “kecewa pada Tuhan”. Kemudian aku menemukan sebuah buku yang ditulis oleh penulis Kristen di Amerika, Philip Yancey.

Buku yang ditulis oleh Yancey itu membahas tentang kitab Ayub dan juga kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama di mana nabi-nabi berseru kepada Allah. Buku ini memberiku pemahaman baru tentang bagaimana cara Allah bekerja.

1. Allah menggunakan penderitaan sebagai sarana untuk kita berserah pada-Nya

Yancey menuliskan bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal terburuk yang bisa terjadi kepada orang terbaik”. Ayub tidak bersalah, seorang yang jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1). Bahkan, Tuhan sendiri berkata bahwa tidak ada orang lain yang begitu saleh seperti Ayub (Ayub 1:8, 2:3).

Namun, hanya dalam sekejap, Ayub kehilangan lembu, keledai, domba, unta, dan semua anak-anaknya (Ayub 1:14-19). Tak berhenti sampai di situ, kemudian Ayub pun menderita sakit borok yang menggerogoti sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga kuku (Ayub 2:7).

Tiga teman Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar mengatakan bahwa penderitaan Ayub terjadi karena dosa-dosa Ayub. Akan tetapi, Allah menegur mereka karena mereka telah mengasumsikan yang salah (Ayub 42:7). Allah tidak menyebutkan bahwa penderitaan yang Ayub alami terjadi karena dosa-dosa yang telah dia lakukan.

Tidak semua penderitaan yang kita alami itu terjadi karena akibat dosa yang kita lakukan.

Terkadang, memang ada orang-orang yang mendapatkan prestasi buruk di sekolah atau tempat kerja karena mereka kurang berusaha, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mungkin kamu pernah memiliki pengalaman serupa denganku: kamu sudah belajar sekuat tenaga, mempelajari kisi-kisi, bahkan melakukan apapun sebisamu, tetapi hasil yang kamu dapat tetap tidak memuaskan. Di dalam dunia sekolah, meluangkan waktu lebih banyak untuk belajar bukan jaminan bahwa nilai-nilai yang kita dapatkan akan memuaskan.

2. Allah ingin kita merespons setiap penderitaan dengan sikap yang benar

Penderitaan Ayub dimulai karena percakapan antara Allah dengan Iblis. Yancey menuliskan bahwa dalam percakapan itu Iblis mengajak Allah untuk bertaruh.

Iblis menganggap bahwa Ayub itu setia hanya karena Allah terus menerus memberkatinya (Ayub 1:10-11). Oleh karena itu, Iblis menantang Allah untuk mengambil segala kepunyaan Ayub supaya dia mengutuki Allah (Ayub 1:11, 2:5). Kemudian Allah mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub, tetapi tidak membolehkan Iblis mengambil nyawanya (Ayub 1:12, 2:6).

Yancey menuliskan bahwa ketika Ayub kehilangan segalanya, sesungguhnya dia sedang tampil dalam sebuah pertarungan di hadapan penonton-penonton yang tidak terlihat di dalam dunia roh.

Alkitab mencatat contoh-contoh lain dari peristiwa yang membuat dunia roh terguncang. Ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi ke kota-kota, Iblis pun takluk. Bahkan, Yesus mengatakan bahwa Dia melihat Iblis terjatuh seperti kilat dari langit (Lukas 10:1-18). Selain itu, ketika ada satu orang yang bertobat, maka seisi surga pun bersukacita (Lukas 15:7).

Rasanya sulit untuk membayangkan bahwa respons seseorang bisa begitu berdampak pada dunia roh, tetapi inilah yang ditunjukkan oleh Ayub. Respons kita terhadap penderitaan itu begitu penting. Ketika pencobaan itu datang, Ayub meresponsnya dengan tetap percaya pada Allah terlepas dari segala kemalangan yang menimpanya. Ayub memilih untuk memelihara imannya.

Dalam kasusku, aku percaya bahwa bagian dari ujian hidupku adalah ketika aku harus berjuang supaya tidak dikeluarkan dari program beasiswa yang amat aku dambakan. Akankah aku tetap setia? Atau, akankah aku hanya akan jadi orang yang setia kalau Allah memberkatiku saja?

Aku tidak tahu apakah responsku terhadap ujian hidup ini akan mempengaruhi dunia roh atau tidak. Tetapi satu yang aku tahu adalah bahwa ketika aku memilih tetap beriman, aku berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku percaya bahwa responsku terhadap ujian hidup ini adalah salah satu cara untuk memurnikan iman dan relasiku kepada Allah.

Sekarang, bertahun-tahun setelah peristiwa di mana usahaku yang begitu keras seolah sia-sia berakhir, aku dapat mengatakan bahwa aku bisa merespons tiap penderitaan yang datang dengan lebih baik. Memang, aku masih menangis ketika pembimbing rohaniku di gereja meninggalkan pelayanan dan imannya. Aku juga menangis ketika kerabatku mengalami keguguran kandungan. Jika imanku diibaratkan seperti sebuah rumah, tentu aku terguncang ketika hari-hari yang berat menghadang, tetapi aku tidak hancur karena aku mendasari pondasiku pada Allah, sehingga hari demi hari aku pun semakin kuat.

3. Allah ingin mengajar kita bahwa Dia Mahakuasa

Allah tidak memberikan alasan mengapa Dia mengizinkan Ayub menderita. Malah, Allah menggunakan ketidaktahuan Ayub akan betapa rumitnya alam semesta ini untuk menyatakan kemahakuasaan-Nya (Ayub 38-41).

Ayub menjawab Allah: “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayub 42:3).

R.C. Sproul dalam bukunya yang berjudul “Surprises by Suffering”, menuliskan demikian: “Pada akhirnya, satu-satunya jawaban yang Allah berikan kepada Ayub adalah pewahyuan tentang diri-Nya sendiri. Seolah-olah Allah berkata kepadanya, ‘Ayub, Aku adalah jawabannya.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana, tetapi dia diminta untuk mempercayai seorang pribadi, yaitu pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi, seperti yang telah dilakukan Ayub, aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan segala pertanyaanku hanya kepada Allah (Ayub 7:11-21, 10:2-18). Sekalipun aku takut apabila nilai-nilaiku tidak mengalami perubahan, aku belajar untuk melayani-Nya, menuntaskan tanggung jawabku dalam pelayanan di gereja. Hanya oleh karena anugerah-Nya saja, nilai-nilaiku membaik di semester ketiga, semester di mana aku menyerahkan kekecewaanku kepada Allah dan memilih berjalan bersama-Nya.

Kita adalah manusia, bukan Allah. Persepsi kita tentang ruang dan waktu tentu amat berbeda dari Allah yang Mahakuasa, yang memandang waktu sebagai sebuah kekekalan yang tiada berakhir.

Yancey menuliskan demikian: “Tak peduli sebagaimanapun kita berusaha untuk merasionalkan Allah, terkadang kita tetap melihatnya sebagai sosok yang tidak adil….Hingga waktu berjalan dan sejarah membuktikan, kita akan mengerti bahwa segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan” (Roma 8:28).

Hanya oleh karena anugerah Allah, aku dapat memberikan kesaksian lagi di semester ketiga. Kesaksian itu bukan hanya bicara tentang berkat-berkat Allah seperti nilaiku yang meningkat, tetapi juga tentang bagaimana Dia menopang dan memurnikan imanku lewat setiap peristiwa yang terjadi.

Baca Juga:

Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Ketika momen yang menyakitkan itu datang, aku bertanya-tanya mengapa Allah mengizinkan ini semua terjadi? Di awal kepergian Papa, aku berjuang untuk percaya bahwa Tuhan sungguh bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagiku sekeluarga. Tapi, tetap saja aku belum dapat memahami seutuhnya mengapa Dia memanggil Papa secara mendadak di saat masih banyak hal yang ingin kami lakukan bersama.

Dalam hati, aku sempat bertanya, “Tuhan, belasan tahun sudah Papa melayani Engkau dengan setia, tanpa mengeluh sedikit pun dalam kondisi apapun. Tuhan, keluarga kami begitu giat mendekatkan diri kepada-Mu, setiap hari berdoa dan bersaat teduh. Bahkan, aku telah mengabdikan masa mudaku untuk melayani Engkau di kampus dan gereja. Tapi, mengapa ini harus terjadi pada kami?” Walaupun aku berjuang untuk tidak menaruh rasa kecewa pada Tuhan, rasa sakit dan kehilangan memaksaku untuk berpikir demikian.

Seiring waktu berjalan, banyak orang datang untuk menghibur dan mendoakanku. Aku pun berusaha untuk melanjutkan hidupku dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Walaupun aku masih menyimpan rasa kecewa, tapi aku tetap berusaha mendekatkan diri pada Tuhan dengan berdoa, saat teduh, dan membaca buku atau artikel yang menguatkanku. Semua itu kulakukan dengan harapan supaya Tuhan memberiku alasan yang jelas mengapa Dia begitu cepat mengambil papa dari kami sekeluarga. Aku juga berharap supaya Tuhan menghiburku dan membantuku melupakan segala kesedihanku. Tapi, hari demi hari berlalu, perasaanku tidak bertambah baik. Aku masih sering menangis dan meratapi kepergian Papa.

Dalam kesedihanku itu, aku teringat akan kisah Ayub, seorang yang hidup berkelimpahan namun kehilangan segalanya dalam sekejap. Ayub kehilangan hartanya, anak-anaknya, istrinya, bahkan kesehatannya. Dalam kondisi Ayub yang mengenaskan, seharusnya Ayub bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Dia menimpakan malapateka ini. Ayub tidak pernah berbuat jahat, bahkan Tuhan sendiri pun menyatakan bahwa tidak ada orang lain di bumi yang saleh, jujur, dan takut akan Allah seperti Ayub (Ayub 1:8). Tetapi, karena kesalehan dan kejujurannya itu, Allah malah membiarkan Ayub dicobai oleh Iblis. Apakah ini berarti berarti Allah kejam?

Jika aku melihat dari perspektif manusia pada umumnya, maka aku akan menjawab “ya” bahwa Allah itu kejam. Allah adalah Allah yang kejam karena membalas kesalehan dan keujuran Ayub dengan kemalangan dan malapetaka. Namun, sekali lagi, itu jika aku hanya melihat dari perspektif manusia saja. Sebagai manusia, seringkali aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kepastian dan ketenangan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan cara merasionalkan Allah dan memasukkan-Nya ke dalam kerangka berpikirku sendiri. Jika aku melayani Allah, maka Allah akan baik padaku. Jika aku setia dan taat, maka Allah akan melimpahiku dengan berkat. Begitu pula sebaliknya. Cara pikir seperti ini membuatku menganggap bahwa apa yang Allah lakukan atau berikan kepadaku itu tergantung dari sikap dan perbuatanku. Dengan demikian, sebenarnya aku sendirilah yang menentukan bagaimana Allah harus bersikap atau bertindak.

Kisah Ayub yang tertulis dalam Alkitab menyatakan bahwa Allah bekerja di luar kendali manusia. Pikiran Allah berada jauh di luar jangkauan pemikiran manusia. Dalam Ayub 38, Allah menjawab pertanyaan Ayub dengan menyatakan kedaulatan-Nya atas semesta.

Kisah Ayub membuatku tertegun. Siapakah aku sehingga aku dapat menerka-nerka jalan pikiran Allah yang begitu ajaib menciptakan alam semesta ini? Dalam perenunganku atas pertanyaan itu, aku jadi teringat akan penggalan lirik sebuah lagu yang berjudul “Behold Our God”. Baitnya yang kedua berkata demikian:

Who has given counsel to the Lord
Who can question any of His words
Who can teach the One who knows all things
Who can fathom all his wondrous deeds

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:

Siapakah yang dapat menasihati Allah
Siapakah yang dapat mempertanyakan perkataan-Nya
Siapakah yang dapat mengajari Dia yang mengetahui segalanya
Siapakah yang dapat menghitung segala perbuatan-Nya yang ajaib

Lirik lagu ini menamparku. Aku begitu terbatas untuk mengerti pikiran Allah yang tidak terbatas. Allah adalah Allah yang berdaulat atas alam semesta untuk selama-lamanya. Cara kerja dan cara berpikir Allah tidak mungkin bisa diselami olehku, seorang manusia yang terbatas.

Ada begitu banyak hal dalam kehidupan ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk mengapa Allah memanggil pulang Papa begitu cepat. Tetapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah itu baik dan penuh kasih. Allah itu baik bukan hanya karena Dia memberikan keberhasilan atau kesuksesan, tetapi karena Dia memang baik. Allah penuh kasih bukan hanya karena Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa di balik kepergian Papa, Allah melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya bagiku sekeluarga.

Ketika aku memahami kebenaran ini, aku bisa mengerti dan mendapatkan kekuatan untuk melewati hari-hariku. Seperti penggalan lagu “Trust His Heart” yang berkata:

God is too wise to be mistaken
God is too good to be unkind
So when you don’t understand
When you don’t see His plan
When you can’t trace His hand
Trust His heart

Aku percaya bahwa Allah begitu bijaksana dan Dia tidak mungkin salah. Allah begitu baik dan tidak mungkin berlaku jahat. Jadi, ketika aku tidak mengerti rencana-Nya, ketika aku tidak mampu melihat tangan-Nya, aku dapat mempercayai hati-Nya.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

Aku terlahir dengan rambut yang keriting, kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai. Sewaktu duduk di SD, teman-teman sering mengejekku karena kondisi rambutku. Akibatnya, aku tumbuh menjadi seorang yang begitu minder.

Lock Screen: Amsal 3:5

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!

Kiranya kita terus diingatkan untuk terus percaya kepada Tuhan dan tidak bersandar kepada pengertian kita sendiri.
“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” (Amsal 3:5)

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

kamu-pernah-minder

Oleh Grace Anindya, Jakarta

Aku terlahir dengan rambut yang keriting. Tapi, jangan bayangkan ikal besar seperti rambut boneka. Rambutku cenderung kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai.

Sewaktu duduk di kelas 2 atau 3 SD, aku menganggap rambut keritingku ini mirip seperti rambut para putri kerajaan yang sering muncul di dalam film kartun. Jadi, dengan percaya diri, aku senang membuat rambutku tergerai. Tapi, teman-temanku tidak menganggapnya demikian. Bagi mereka, dengan rambut seperti itu, aku lebih mirip seperti singa yang sedang kelaparan daripada putri kerajaan. Awalnya aku bersikap biasa saja dengan candaan itu, namun lama kelamaan aku jadi merasa tidak nyaman.

Ketika aku duduk di bangku SMP, ada seorang guru yang suka memberikan julukan kepada murid-muridnya berdasakan kondisi fisik yang dia lihat. Dia menjulukiku dengan panggilan “Si Kribo”, “Si Keriting”, “Si Rambut Mi”, dan masih banyak nama lain. Teman-temanku menganggap julukan itu sebagai hal yang lucu, jadi mereka pun ikut-ikutan. Julukan yang terus menerus disematkan kepadaku itu membuatku makin merasa tidak nyaman dengan rambut keriting yang kumiliki.

Puncak kekesalanku tiba tatkala ada seseorang yang menempelkan kertas penuh double-tape bertuliskan “Aku orang gila” di rambutku. Awalnya aku tidak menyadari apapun. Tapi, aku merasa aneh karena semua orang tertawa apabila menaptaku. Ketika aku menyadari bahwa ada kertas itu di rambutku, aku menangis sejadi-jadinya. Rambutku rontok karena ada begitu banyak double-tape yang menempel. Bukannya permintaan maaf yang kudapat, teman-temanku malah menuntutku supaya tidak marah. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu hanyalah sebuah candaan sehingga aku tidak boleh cengeng.

Semenjak peristiwa itu, aku jadi semakin minder. Aku jadi sensitif dengan candaan, tetapi aku juga takut apabila tidak punya teman. Aku merasa diriku tidak berharga ketika teman-teman menganggapku tidak asyik karena aku sering tersinggung jika diajak bercanda. Tak kupungkiri, aku juga menaruh rasa dendam kepada teman-teman yang pernah membuatku menangis. Bukan perasaan dendam ingin balik menyakiti mereka, tetapi dalam hati aku bertekad supaya suatu hari aku bisa membuktikan pada mereka kalau aku pun bisa sukses dan mereka “berlutut” di hadapanku.

Ketika aku masuk SMA, aku jadi semakin membenci rambutku. Berbagai perawatan rambut sudah kucoba lakukan. Mulai dari memakai sampo dan kondisioner terbaik, hingga mencoba berbagai produk pelurus lambut. Tetapi pada akhirnya rambutku selalu kembali lagi menjadi keriting. Aku putus asa. Alih-alih menjadi bagus, segala perawatan itu malah membuat rambutku menjadi kering dan rontok banyak. Selain itu, rasa minderku membuatku merasa kalau aku tidak memberikan kesan yang baik ketika aku pertama kali bertemu dengan orang lain. Banyak yang menganggapku terlalu pendiam bahkan sombong, padahal sebenarnya aku hanya malu dan tidak cukup percaya diri untuk memulai percakapan.

Singkat cerita, di tengah pergumulanku untuk bangkit dari rasa minder, aku bertemu dengan sebuah komunitas di gereja. Bermula dari sekolah minggu, lalu aku mengikuti kebaktian remaja. Di sana, aku diajak untuk bergabung dengan kelas pembinaan dan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Awalnya aku sempat merasa ragu. Aku masih merasa takut diejek karena rambut keritingku. Tapi, seiring berjalannya waktu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasa diterima. Untuk pertama kalinya aku merasa punya sahabat dan bertemu dengan orang-orang yang tidak memandang bentuk fisikku sebagai sebuah hal yang bisa dijadikan ejekan.

Selain mendapatkan relasi yang baik, dalam kelas pembinaan dan KTB ini juga aku banyak belajar tentang kebenaran firman Tuhan. Aku masih ingat dengan jelas bahwa tema yang dibahas pada pertemuan pertamaku adalah tentang penciptaan dan gambar diri manusia dari kitab Kejadian. Tuhan menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik (Kejadian 1:31), termasuk juga manusia. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita menghina ciptaan Tuhan yang unik, apalagi sesama manusia.

Aku juga diingatkan akan begitu besar kasih Allah bagi dunia ini. Ketika Yesus datang ke dunia, tidak semua orang mau menerima-Nya. Tetapi, Yesus tidak marah apalagi menaruh dendam. Padahal, jika dipikir dengan pola pikir dunia, bisa saja Yesus marah dan membinasakan semua orang yang menolak-Nya. Tetapi, karena kasih-Nya, Yesus tidak melakukan itu. Yesus memberi diri-Nya mati di kayu salib untuk menebus semua manusia, termasuk orang-orang yang juga menghina-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Aku begitu tertegur. Hinaan dan celaan yang aku terima jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Yesus terima. Setelah aku menerima kebenaran ini, aku belajar untuk tidak lagi menaruh dendam kepada teman-temanku. Aku belajar untuk tidak menganggap ejekan-ejekan teman-temanku itu sebagai sesuatu yang menjatuhkanku, tetapi merupakan sebuah sarana untuk aku belajar bijaksana merespons dan mengikuti teladan yang Tuhan Yesus berikan.

Kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti perlahan melatih diriku untuk percaya diri dan menerima keadaan diriku apa adanya. Akhirnya, aku bisa menerima bahwa dilahirkan dengan rambut keriting bukanlah suatu kesalahan, tetapi sebuah anugerah yang Tuhan berikan untukku. Yang perlu aku lakukan adalah merawat rambutku supaya tetap sehat, bukan memodifikasinya supaya disukai orang lain. Rambut keriting ini adalah bagian dari desain Tuhan yang sempurna atas tubuhku, oleh sebab itu aku tak perlu lagi malu jika bertemu dengan orang banyak.

Aku bersyukur karena lewat kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti, Tuhan menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku bersedih hati karena bentuk fisikku berbeda dari standar orang lain. Perlakuan yang kurang menyenangkan di masa lalu juga bukan jadi alasanku untuk bersedih, tetapi jadi pembelajaran buatku bahwa aku tidak boleh melakukan yang sama. Aku belajar untuk tidak menjadikan bentuk fisik orang lain sebagai bahan ejekan yang bisa menyakiti hati mereka.

Akhir kata, aku amat bersyukur bisa mengenal Tuhan di masa mudaku melalui komunitas yang menguatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku bila waktu itu aku tidak mengenal-Nya. Mungkin, aku akan terus menerus menyesali keadaanku. Melalui pengalaman ini, aku sadar bahwa ketika Tuhan menjadikan sesuatu yang seolah tampak tidak menyenangkan, sejatinya Dia sedang melatih imanku. Tuhan ingin aku mampu bersikap bijaksana dan memandang hanya kepada-Nya saja.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

5-tips-menghadapi-bos-yang-menyebalkan

Oleh Amanda Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Ways To Deal With A Difficult Boss

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

Jika kamu ingin tahu seperti apakah mantan bosku itu, cobalah bayangkan seseorang yang cerewet, suka menuntut, merasa tidak aman, dan suka mengawasi setiap hal yang kamu lakukan. Sebagai dampak dari bekerja dengannya, beberapa temanku bahkan sampai sempat mengalami sakit kepala, gangguan tidur, dan jantung mereka berdegup tidak beraturan.

Aku pun pernah menjadi korban. Masih teringat jelas dalam pikiranku bagaimana peristiwa itu terjadi. Waktu itu, bosku marah dan dia mengirimiku banyak e-mail yang berisi komentar-komentar tentang kesalahanku. Dia mengomentari tata bahasa, tanda baca, dan lambatnya responsku dalam membalas e-mail. Komentar-komentarnya membuat tenaga dan konsentrasiku terkuras habis hari itu. Saat aku pulang meninggalkan kantor, aku merasa seolah-olah aku adalah orang yang paling tidak berguna di muka bumi.

Ketika malam tiba, aku kira aku bisa beristirahat dengan tenang. Namun, tiba-tiba bosku mengirimiku sebuah pesan singkat. Dia ingin memastikan apakah aku sudah memeriksa data yang dia minta atau belum. Darahku seolah membeku tatkala aku sadar kalau aku belum memeriksanya. Saking paniknya, sampai-sampai aku tidak dapat mengingat kata sandi ponselku sendiri, padahal aku baru saja menggunakannya beberapa menit yang lalu.

Singkat cerita, aku bisa mengingat kembali kata sandi ponselku, tapi karena aku tidak ingat data mana yang bosku inginkan, maka keesokan harinya aku pun terkena masalah. Kemudian, selama beberapa bulan setelahnya, dia bersikap dingin dan selalu mengkritik pekerjaanku walaupun aku sudah berusaha sebisaku untuk menyenangkannya. Keadaan berubah membaik hanya ketika ada karyawan-karyawan baru yang bergabung dan perhatian bosku jadi teralih kepada mereka.

Ketika aku merenungkan kembali pengalaman burukku selama enam bulan bekerja untuk mantan bosku, ada beberapa pelajaran yang dapat kupetik. Jika saat ini kamu sedang berada dalam keadaan yang serupa denganku dulu, aku harap artikel ini dapat menolong dan memberimu semangat.

1. Cobalah berunding dengan bosmu

Sebisa mungkin, cobalah untuk tidak berpikir negatif terlebih dahulu, apalagi jika kamu masih karyawan baru (karena mungkin saja kamu belum kenal karakter bosmu). Mungkin saja bosmu sedang memiliki masalah, sehingga dia tidak sadar bahwa sikapnya itu mempengaruhi karyawan serta pekerjaannya. Atau bisa juga karena kamu dan bosmu mengalami miskomunikasi hingga terjadi salah paham.

Aku yakin bahwa ini adalah satu dari sekian cara yang dapat kita pratikkan untuk menghormati bos kita (1 Petrus 2:17). Dulu, aku pun sempat mencoba berunding dengan bosku soal beban pekerjaanku yang semakin berat. Namun, beban yang dia berikan padaku tidak semata-mata membuatku langsung membencinya, karena aku pun harus berusaha untuk melihat dari sudut pandang bosku.

Akan tetapi, perundingan tidak selalu menjamin adanya perubahan. Apalagi jika bosmu adalah tipe orang yang tidak dapat menerima kritik dan selalu merasa benar sendiri.

2. Sadarilah bahwa kamu tidak selalu dapat “mengatur” bosmu

Ada banyak artikel yang dapat memberimu informasi tentang cara-cara efektif dalam menghadapi bos yang menyebalkan. Contohnya: Cobalah cari tahu hal-hal apakah yang sekiranya bisa memancing emosi bosmu, sehingga kamu bisa bertindak lebih hati-hati. Bagi sebagian orang, cara ini mungkin akan berguna. Tapi, jika bosmu adalah seorang yang tidak rasional, maka cara ini tidak akan efektif.

Sebenarnya, sebelum aku mulai bekerja di divisi ini, aku sudah mendengar reputasi buruk tentang bosku. Bahkan, seniorku juga pernah menghimbau supaya aku jangan menerima pekerjaan ini. Tapi, dengan polosnya, aku pikir bahwa aku pasti bisa “mengubah” bosku apabila aku bekerja dengan baik dan mampu membuktikan kemampuanku padanya. Selama enam bulan pertama, aku giat bekerja dan keadaan terlihat baik. Bahkan, aku berhasil menjadi salah satu karyawan favorit bosku waktu itu.

Namun, seiring waktu berlalu, sekalipun cara pandang dan sikapku akan pekerjaan tidak berubah, keadaan mulai berubah. Hal-hal kecil yang tadinya tidak menjadi masalah, sekarang seakan menjadi masalah besar di mata bosku. Alhasil, tidak sehari pun dapat kulewati tanpa memohon maaf kepadanya.

Aku kehilangan sukacita dalam pekerjaanku dan rasa takut selalu menghantuiku setiap kali aku hendak berangkat ke kantor setiap pagi. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri setiap ada kesalahan kecil yang terjadi hingga aku kehilangan rasa percaya diriku. Ketika aku menyadari bahwa dengan kekuatanku sendiri aku tak mampu berbuat apa-apa, aku berpaling kepada Tuhan.

3. Ingatlah bahwa yang sesungguhnya memegang kendali adalah Tuhan

Aku teringat akan malam-malam ketika aku menulis doaku di sebuah jurnal. Di atas tempat tidur, aku menangis sembari berdoa supaya Tuhan memampukanku untuk memandang hanya kepada-Nya saja, dan bukan untuk menyenangkan manusia. (Kolose 3:23-24)

Dalam masa-masa sukar itu, inilah yang kutulis dalam jurnalku:

“Tuhan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa takut untuk berangkat kerja. Tadinya kukira aku tidak akan pernah mengalami masalah semacam ini, tapi komentar-komentar yang bosku lontarkan itu mempengaruhi pikiranku. Aku gelisah kalau membayangkan bosku kembali mengirimiku e-mail tentang masalah yang sama lagi. Tuhan, Engkaulah yang telah mengajariku sejak remaja untuk terus percaya kepada-Mu, mengutamakan-Mu, dan bekerja sepenuh hati demi Engkau, dan bukan demi manusia. Bantulah aku melepaskan segala kepahitan dan ketidaksenanganku kepada bosku, karena aku hanya ingin fokus kepada Engkau saja, oh Tuhan.”

Satu minggu sejak aku mengucapkan doaku itu, Tuhan mengubahkan cara pandangku dengan cara yang sangat tidak terduga. Anggota keluargaku mengalami kecelakaan sehingga aku harus izin kerja selama beberapa minggu. Di waktu inilah aku belajar untuk berhenti mengasihani diri sendiri dan meluruskan kembali pandanganku. Aku tidak lagi mendambakan pengakuan dan pujian dari bosku, karena semua hal ini kurasa tidak lagi penting buatku.

Selama ini, aku sudah terlalu fokus pada permasalahanku sendiri, sehingga aku lupa bahwa Tuhanlah yang sesungguhnya memegang kendali atas hidupku. Aku diingatkan kembali bahwa Ialah yang menciptakan dan mencukupkan segala kebutuhanku. Seperti halnya Ia memiliki kuasa untuk memberi nyawa bagi makhluk hidup dan mengambilnya kembali, demikianlah Ia juga memiliki kuasa untuk mempertemukan dan memisahkan aku dari bosku.

4. Temukan rekan-rekan kerja yang sehati dan dapat mendukungmu

Tuhan tidak meninggalkan aku sendiri. Aku mengucap syukur untuk rekan-rekan kerjaku yang Kristen dan rekan-rekan dari gereja yang terus menerus mengingatkanku akan kuasa dan kasih Tuhan. Bahkan, melalui masalah ini, beberapa dari mereka sekarang menjadi sahabatku.

Janganlah memendam segala rasa frustrasi dan kesedihanmu sendirian di dalam hati. Cobalah cari seorang teman yang dewasa dan peduli, supaya dia dapat berdoa bagimu dan memberimu nasihat. Tuhan telah memberikan bagi kita saudara-saudari seiman di dalam Kristus yang mengasihi dan menemani kita dalam melewati masa-masa yang sukar (Amsal 17:17). Jika waktunya tiba, mungkin kamulah yang justru akan menjadi penolong dan penasihat bagi saudara seimanmu ketika mereka menghadapi masalah yang serupa dengan masalahmu dulu.

5. Jangan bergosip

Ketika kamu telah menemukan sekelompok teman yang dapat menopangmu dalam menghadapi persoalan, salah satu godaan terbesar adalah mengubah kesempatan untuk berbagi pokok doa menjadi kesempatan untuk bergosip. Sejujurnya, aku telah jatuh dalam kesalahan ini berkali-kali. Semakin terbelalaknya mata mereka dan antusiasnya ekspresi wajah mereka ketika aku bercerita soal bosku, semakin berkobar semangatku untuk bergosip. Pada akhirnya, ketika aku bertemu dengan teman-temanku yang lain, aku jadi tergoda untuk menceritakan tentang bosku, bahkan terkadang sampai ke detail-detail terkecil.

Seiring aku berkumpul dengan mantan rekan-rekan kerjaku dari waktu ke waktu, kami pun banyak bertukar cerita. Karena kami semua telah merasakan sendiri bagaimana menderitanya bekerja bagi seorang bos yang menyebalkan, kami pun saling bertukar cerita. Semakin banyak cerita yang kudengar, semakin buruk aku memandang bosku. Tadinya kupikir kata “jahat” saja cukup untuk menggambarkan kepribadian bosku itu. Namun setelah kudengar cerita dari mantan rekan-rekan sekerjaku, kata “jahat” seakan tak cukup lagi. Dia sudah seperti “monster” yang tidak dapat ditolong lagi.

Tetapi, setiap kali aku pulang setelah bergosip, Tuhan menegurku di dalam hati karena cerita yang kubagikan itu tidaklah membawa kemuliaan bagi nama-Nya, baik di depan sesama orang percaya, maupun di depan teman-temanku yang bukanlah orang percaya. Pada akhirnya, aku berkali-kali harus mengaku dosa dan meminta ampun kepada Tuhan, karena telah menjelekkan bosku (Mazmur 34:13).

Sampai sekarang pun, aku masih terus belajar untuk mengekang mulutku. Inilah satu pelajaran yang masih terus kugumulkan sampai hari ini.

Sekarang, aku bekerja bagi seorang bos yang sifatnya bertolak belakang dengan bosku yang dulu. Selain mampu berpikir luas, dia juga sabar dan pengertian. Dia memberikan setiap karyawannya kesempatan untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Bila saja aku belum pernah bekerja bagi mantan bosku, mungkin aku takkan pernah sadar betapa beruntungnya aku memiliki bos yang baik seperti bosku sekarang.

Aku berdoa supaya kamu pun suatu saat dapat bersyukur kepada Tuhan ketika kamu mengingat kembali bagaimana Tuhan menolongmu untuk mengatasi pergumulanmu di masa lalu.

Baca Juga:

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Melihat negeriku dipenuhi dengan banyak masalah, seringkali aku jadi suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain dan bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Namun, tatkala aku mulai pesimis akan kondisi bangsaku, di sinilah Tuhan mengingatkanku kembali bahwa negeri ini memiliki masa depan.

Sharing: Kelemahan Apa yang Kamu Miliki yang Membuatmu Semakin Dekat dengan Tuhan?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201709

Kelemahan apa yang kamu miliki yang membuatmu semakin dekat dengan Tuhan?
Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.

Ketika Tuhan Memulihkan Keluargaku yang Hancur

ketika-tuhan-memulihkan-keluargaku-yang-hancur

Aku dibesarkan di keluarga broken-home. Sejak aku masih kecil, aku sudah sering menyaksikan kebencian, kecemburuan, amarah, dan emosi-emosi negatif yang memperburuk keadaan keluargaku. Ayahku sering mengancam ibuku untuk bercerai, tapi karena usiaku dan saudara-saudaraku yang masih kecil, ibuku tidak setuju.

Ketika aku berusia 11 tahun, kakak lelaki dan perempuanku melarikan diri dari rumah karena tidak tahan lagi dengan masalah-masalah yang harus dihadapi. Waktu itu, keluargaku tidak tergabung ke dalam kelompok agama atau kepercayaan apapun, dan aku juga bukan orang percaya. Sekalipun aku memiliki banyak teman-teman yang Kristen, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Yesus.

Ketika aku duduk di bangku SMP, kedua orangtuaku kembali ingin bercerai. Aku begitu marah dan kecewa karena adik lelaki dan perempuanku menjadi korban dari kemarahan orangtuaku. Keadaan keluarga kami pun memburuk, sehingga adik perempuanku harus tinggal di rumah bibiku selama beberapa bulan. Bahkan, adik lelakiku hampir saja diadopsi oleh orang lain, tapi ibuku menolak. Akhirnya, pamanku memutuskan untuk mengasuh adikku untuk sementara supaya menghidarkannya dari hal-hal yang tak diinginkan. Tatkala kedua orangtuaku bertengkar, sesudahnya ibuku akan pergi menginap di rumah saudaranya selama beberapa hari. Di usiaku yang ke-13 tahun, aku pindah ke sebuah asrama yang jauh dari rumah. Tapi, aku selalu merasa pedih tiap kali berpikir tentang keluargaku. Aku merasa terjebak di dalam situasi tanpa harapan.

Suatu hari, aku pergi ke kamar temanku yang Kristen dan meminjam ponselnya untuk mendengarkan musik. Karena dia seorang Kristen dan melayani sebagai pemusik di gereja, jadi hampir seluruh lagu di ponselnya adalah lagu rohani. Ketika aku mendengar lagu Hillsong yang berjudul “Shout to the Lord”, aku merasa tenang dan nyaman. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang saat itu terjadi kepadaku, tapi aku merasa hatiku tersentuh dan air mataku mulai menetes. Sejak saat itu, aku sering meminjam ponsel temanku hanya untuk mendengarkan lagu-lagu rohani. Setiap kali aku mendengarnya, hatiku merasa terhibur dan tenang.

Di usiaku yang ke-14 tahun, untuk pertama kalinya aku pergi ke gereja. Waktu itu, pendeta di sana menyampaikan khotbah tentang harapan untuk umat manusia. Ketika dia berkata bahwa dia mau berdoa untuk orang-orang yang membutuhkan harapan, aku pun berdiri. Aku mencoba meniru temanku. Aku menutup mataku, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan karena aku tidak pernah berdoa dan tidak tahu caranya berdoa. Tatkala pendeta itu berdoa, tangisanku tak dapat kubendung lagi dan sesudahnya aku malah merasa lebih baik. Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi kepadaku, tapi aku tidak tahu itu apa.

Sejak saat itu, aku mulai rutin datang ke gereja untuk belajar lebih banyak tentang Yesus. Aku juga mengikuti sekolah Minggu untuk mendengarkan cerita-cerita tentang Yesus. Semakin aku belajar tentang Yesus, semakin aku yakin bahwa Dialah pengharapan yang aku cari selama bertahun-tahun ini. Aku menyadari bahwa Yesuslah satu-satunya harapan yang bisa mengubahkan hidupku hingga akhirnya aku memberi diriku dibaptis pada usia 15 tahun.

Sebagai orang percaya yang baru, ada tantangan yang harus kuhadapi. Ketika aku memberitahu kedua orangtuaku bahwa aku ingin dibaptis dan meminta ibuku menjadi saksinya, ayahku marah besar. Bahkan, dia tidak segan untuk mengusirku dari rumah jika aku menjadi orang Kristen. Aku coba menjelaskan pada mereka bahwa satu-satunya yang bisa memulihkan keluarga kami hanyalah nama Yesus, tapi ayahku malah menamparku. Aku tidak menyerah. Aku terus datang ke gereja secara rutin dan berdoa supaya keluargaku mau membuka hati mereka untuk menerima kebenaran firman Tuhan.

Suatu hari, aku bertanya pada ayahku tentang mana yang lebih dia pilih; Aku yang dahulu (mengonsumsi alkohol, suka merusak barang-barang, mencemarkan nama baik Ayah, dan selalu membalas perkataan orangtuaku), atau aku yang baru (rajin datang ke persekutuan doa, menanggalkan tabiat burukku, juga berhenti merokok dan minum alkohol). Aku berkata pada Ayah bahwa aku menghormatinya sebagai ayahku seperti Yesus telah mengajarkan kita untuk menghormati orangtua kita. Aku mengucap syukur karena akhirnya ayahku mau menerima imanku kepada Yesus dan mengizinkan ibuku menjadi saksi di hari aku dibaptiskan. Bermula sejak itu, aku terus membagikan harapan tentang Yesus kepada Ibu dan saudaraku. Aku berkata pada mereka bahwa keluarga kami bisa dipulihkan jika kami percaya dan berharap kepada-Nya. Saudara-saudaraku mulai datang ke gereja dan ibuku menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya tatkala dia melihat perubahan-perubahan terjadi di keluarga kami. Kami terus saling menguatkan dan mendoakan satu sama lain. Aku melihat perubahan besar terjadi dalam kehidupan keluargaku.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu dan aku dapat dengan yakin mengatakan bahwa keluargaku telah sepenuhnya dipulihkan oleh anugerah dan belas kasihan dari Tuhan Yesus. Ibuku sering berkata, “masa lalu sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Ayahku mulai datang ke gereja dan ibuku selalu mendoakannya. Ibuku sekarang melayani sebagai majelis di gereja, dan saudara-saudara perempuanku melayani di bidang musik dan kaum muda. Aku sendiri melayani sebagai pemimpin pujian, pemain musik, dan pernah juga menjabat sebagai ketua kelompok penjangkauan kaum muda.

Dulu, aku adalah seorang yang tak memiliki pengharapan, tapi telah kutemukan harapan itu di dalam Yesus yang menguatkanku. Kisah pertobatanku dimulai dari sebuah lagu “Shout to the Lord”; sekarang aku yakin sepenuhnya bahwa Yesus adalah kekuatanku, Tuhanku, Juruselamatku, dan harapanku yang kekal. Aku berharap kisah yang kubagikan ini boleh menjadi bukti akan betapa besarnya kuasa Tuhan. Tuhan mampu memulihkan kita terlepas dari apapun keadaan kita; Dia adalah harapan untuk mereka yang kehilangan pengharapan.

Jika saat ini kamu sedang menghadapi masalah atau merasa bahwa tidak ada harapan, percaya dan bersandarlah pada Yesus! Kamu akan menemukan bahwa Dialah harapan yang kamu cari.

Baca Juga:

Kematian Chester Bennington: Mengabaikan Rasa Sakit Bukanlah Cara untuk Pulih

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.

Haruskah Aku Keluar dari Pekerjaan Ini, Tuhan?

haruskah-aku-keluar-dari-pekerjaan-tuhan

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Tekanan ekonomi memaksaku untuk bekerja sembari berkuliah. Aku mengambil kuliah Jurusan Periklanan, dan waktu itu sedang dalam proses menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda beberapa semester. Namun, aku juga perlu mencari uang sendiri untuk membayar kuliahku. Jadilah aku bekerja menjadi seorang copywriter di sebuah agensi iklan di Yogyakarta.

Awalnya, aku merasa nyaman dengan pekerjaan baruku ini. Sebagai seorang copywriter, tugasku adalah membuat konsep atau cerita sebuah iklan, dan mewujudkannya hingga iklan tersebut ditayangkan. Pekerjaan ini cocok dengan hobiku menulis dan membuat cerita. Selain itu, setiap karyawan bebas memakai pakaian apapun, datang jam berapapun, dan berpikir sekreatif mungkin untuk menciptakan sebuah karya. Lingkungan kerjanya juga mengasyikkan, seperti dalam sebuah rumah bersama dengan rekan-rekan kerja yang penuh canda. Tak ada kegelisahan apapun yang kurasakan saat itu.

Namun, keadaan berubah setelah tiga bulan aku bekerja. Deadline pekerjaan yang harus kuselesaikan membuatku hampir setiap hari harus bekerja hingga lebih dari 15 jam. Tidak jarang aku harus menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku bersama timku, atau aku harus berdinas ke luar kota untuk melakukan shooting iklan atau bertemu dengan klien. Tekanan pekerjaan yang berat ini membuatku merasa kehilangan sebagian hidupku.

Sebagian besar waktuku tersita untuk pekerjaan. Aku tidak punya waktu lagi untuk menyelesaikan skripsiku. Hubunganku dengan teman-teman kuliahku juga menjadi renggang karena aku jadi sering membatalkan janji bertemu dengan mereka karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Pelayananku juga menjadi terganggu karena tidak jarang aku masih harus masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu. Tidak hanya itu, waktuku bersama keluarga, kesehatanku, dan hubunganku dengan Tuhan pun jadi semakin buruk karena kesibukanku bekerja.

Aku merasa lelah dan hatiku tidak tenang. Karena pekerjaanku, aku seringkali tidak bisa memenuhi komitmen pelayananku untuk mengajar di Gunungkidul setiap hari Sabtu. Aku juga tidak mempunyai waktu untuk bersaat teduh.

Aku kemudian menceritakan pergumulanku ini dengan teman pelayananku. Dia mengatakan mungkin sebaiknya aku keluar dari pekerjaan itu, tapi sebelum membuat keputusan, tanyalah dahulu kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk aku perbuat. Sebuah nasihat yang amat bijak.

Di satu sisi, aku ingin keluar dari pekerjaan ini. Tapi di sisi lain, ada banyak kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikirkanku. Bagaimana jika nanti aku tidak dapat kerja setelah keluar dari sini? Aku harus kerja apa? Bagaimana aku dapat membayar uang kuliahku? Aku malas untuk melamar sana-sini dan melakukan tes kerja lagi. Namun, nasihat temanku mendorongku untuk membawa semua pergumulan itu di hadapan Tuhan. Tuhan mengingatkanku dengan sebuah pertanyaan yang muncul di dalam hatiku, “Apa yang kamu cari di dalam hidupmu?”

Aku tidak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya. Apa yang aku cari di dalam hidupku? Saat itu, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan aku merasakan Tuhan menguatkan hatiku untuk keluar dari pekerjaan itu.

Aku meminta Tuhan untuk memberitahuku waktu yang tepat untuk meninggalkan pekerjaanku, dan jika Tuhan memberikanku pekerjaan baru, aku memohon kepada-Nya agar kiranya pekerjaan itu dapat membuatku semakin dekat dengan-Nya dan aku dapat mempermuliakan nama-Nya di tengah lingkungan pekerjaanku. Namun, jika aku belum diizinkan untuk mendapatkan pekerjaan baru, biarlah Tuhan yang menjaga hidupku dan mencukupkannya. Firman-Nya dalam Matius 6:25 berikut ini menguatkanku, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”

Akhirnya, setelah sekitar 3 bulan bergumul, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku di akhir bulan Januari 2017, tepat setelah 2 tahun aku bekerja di sana. Saat aku membuat keputusan itu, aku tidak tahu bagaimana masa depanku, tetapi aku percaya Tuhan akan menyediakan yang terbaik bagiku, dan aku berserah kepada-Nya.

Menjelang aku keluar dari pekerjaanku, aku mulai mencari pekerjaan baru di sebuah portal kerja online. Aku menemukan satu perusahaan engineering yang membutuhkan seorang copywriter. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benakku: Untuk apa seorang copywriter di perusahaan engineering? Apa yang dikerjakan? Apakah aku melamar saja meskipun mereka mencari karyawan dengan 5 tahun pengalaman? Aku menyertakan Tuhan dan berdoa di dalam mengambil keputusan. Akhirnya, aku melamar di perusahaan engineering itu dan mengikuti tes tertulis dan wawancara. Saat itu, aku masih bekerja di perusahaanku yang lama.

Tak lama kemudian, aku mendapatkan kabar melalui e-mail bahwa aku diterima di perusahaan engineering tersebut. Aku bersyukur, namun juga bimbang. Aku takut jika waktu kerja, lingkungan, dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan kembali menjawab doaku. Aku dapat mulai bekerja di perusahaan yang baru itu tepat di tanggal 1 Februari. Tuhan tidak membiarkanku menganggur satu haripun! Dan di tempat kerja yang baru ini, waktu kerjaku tidak mengganggu pelayanan dan saat teduhku.

Meskipun perusahaanku bukanlah perusahaan yang besar, tetapi di dalamnya aku menemukan banyak orang yang hebat dan mencintai Tuhan Yesus. Aku juga dapat berbagi hidup dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan bersama rekan-rekan kerjaku. Tuhan menjawab doaku agar aku dapat mempermuliakan Dia di tengah lingkungan pekerjaanku, dan Dia mengizinkanku membuat sebuah persekutuan di kantor, meskipun saat ini baru beranggotakan 3 orang. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena Dia menjawab doa-doaku.

Melalui pengalamanku ini, aku belajar untuk menyertakan Tuhan di setiap langkah pekerjaanku, dan belajar untuk percaya kepada-Nya di tengah segala pergumulan hidupku.

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:33-34).

Baca Juga:

Ketika Hal-hal Kecil Menjerat Kita dalam Dosa

Seringkali ketika dihadapkan dengan kesulitan, kita berjuang dengan susah payah dan penuh kewaspadaan. Tapi, bagaimana dengan keadaan yang biasa-biasa saja? Apakah kita tetap waspada supaya tidak terjatuh ke dalam dosa?