Posts

4 Mitos Tentang Jadi Orang Pilihan Tuhan

Oleh Philip Roa, Filipina
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Myths About Being Chosen By God

Ketika aku pertama kali jadi pengikut Kristus, hidupku berubah total. Sebelumnya, aku kecanduan pornografi selama 7 tahun, namun oleh anugerah Tuhan sajalah aku bisa bertobat dan beriman pada Tuhan Yesus.

Dalam satu tahun hidup baruku, aku pindah ke gereja baru di mana aku melayani sebagai pemain drum, dimuridkan dalam kelompok sel, dan tak berselang lama jadi ketua komsel. Saat itu semangatku berapi-api. Aku merasa inilah jalan yang Tuhan telah tetapkan, bahwa Dia memilihku dan menolongku bertumbuh secara rohani.

Namun, tahun-tahun setelahnya kondisi kerohanianku mulai menurun. Kontrak kerjaku tidak diperpanjang, aku pun menganggur. Aku sempat salah mengelola perasaanku dengan seorang perempuan dari persekutuan pemuda. Waktu itu aku tidak paham betul apa yang jadi niatku. Dua kejadian ini menjatuhkanku dalam depresi yang akhirnya menarikku keluar dari pelayanan.

Saat itu yang kupikirkan hanyalah: Aku menyerahkan hidupku dan membiarkan Tuhan bekerja. Aku ikut tuntunan-Nya! Tapi, kenapa sekarang hidupku hancur?

Aku berharap aku tahu lebih banyak saat aku masih muda, tapi tidak ada kata terlambat. Inilah empat mitos tentang menjadi orang yang dipilih Tuhan. Mitos ini tentu harus kita buang.

Mitos 1: Saat ikut Tuhan, kamu pasti segera mencapai tujuanmu

Cerita bagaimana aku bisa bertobat adalah kisah yang indah dan emosional. Aku diajar untuk berserah pada Tuhan dan Dia akan membimbing kita pada “jalan terbaik”. Dari pengalamanku bergereja di awal, topik tentang penderitaan dan pencobaan tidak banyak dibahas (tentunya topik khotbah selalu berubah-ubah tiap tahunnya). Tapi, ketika kesaksian dari orang Kristen yang lebih senior hanya berfokus tentang kemenangan dan berkat-berkat dari Tuhan, rasanya seperti mereka sedang menanamkan pemahaman begini: Bertobat dan berikan semuanya buat Tuhan, dan Dia akan membuat semua jalanmu gampang! Gak bakalan stres, atau kekacauan!

Mitos ini perlahan pudar ketika aku membaca kisah Yusuf.

Yusuf berubah nasib, dari anak kesayangan menjadi budak yang dijual oleh kakak-kakaknya. Tapi dari situlah kisahnya dimulai. Yusuf jadi orang kepercayaan Potifar, lalu masuk penjara karena dituduh oleh istri tuannya. Kelak dia jadi kepala penjara dan akhirnya menjadi seorang pemimpin di Mesir sebagai orang kepercayaan Firaun.

Semua proses itu memakan waktu 13 tahun tanpa sedikit pun Yusuf tahu akhir dari penderitaannya. Ketika ayahnya meninggal dan saudara-saudaranya mengira Yusuf akan balas dendam, Yusuf malah berkata bahwa meskipun mereka melakukan yang jahat, Tuhan mengubahkan untuk kebaikan (Kejadian 50:18-21).

Kisah Musa adalah contoh lain. Ketika Musa dipanggil Allah untuk membawa umat-Nya keluar dari Mesir (Keluaran 3:7-10), dia berada ribuan kilometer jauhnya, bersembunyi di tanah asing, karena dia membunuh seorang prajurit Mesir. Dia berubah dari seorang pangeran menjadi gembala.

Meskipun Musa memang bersalah hingga dia pun melarikan diri, Tuhan tetap memeliharanya, dan kelak memangilnya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.

Dipilih Tuhan tidak selalu berarti kamu segera meraih apa yang kamu cita-citakan. Kadang, seperti Yusuf dan Musa, penurunan pangkat atau status diizinkan terjadi agar kita belajar rendah hati dan memahami bahwa hanya oleh kuasa Allah sajalah kita bisa melangkah maju.

Mitos 2: Keterampilanmu akan menentukan tugas panggilanmu

Kita berpikir bahwa dipilih Tuhan berarti menggunakan talenta yang Dia berikan pada kita untuk kemuliaan dan tujuan-Nya. Jadi, sangatlah masuk akal kita ingin memaksimalkan bakat atau talenta yang sudah Dia berikan untuk melayani-Nya.

Tapi, ada waktu-waktu ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan lebih jauh daripada kemampuan kita, semata-mata agar kemuliaan-Nya dipancarkan, bukan kita.

Kisah Gideon adalah contoh yang baik (Hakim-hakim 6:11-40;7). Gideon sedang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur—tugas yang dia lakukan selagi bersembunyi—ketika Tuhan memanggilnya untuk menjadi pemimpin Israel. Sebagai anak bungsu dari suku terkecil, Gideon tidak dilengkapi dengan skill kepemimpinan. Dia bahkan menguji Tuhan tiga kali untuk membuktikan itu perintah sungguhan. Namun, Gideon tetap taat dan Tuhan memberikan kemenangan pada Israel melalui Gideon.

Ketika Tuhan memanggil dengan jelas, percayalah Dia akan memberikan apa yang kamu butuhkan untuk melakukan pekerjaan-Nya.

Mitos 3: Kamu akan menyukai semua yang kamu lakukan

Menjadi orang yang dipilih Tuhan berarti kita akan menikmati semua yang kita lakukan, betul?

Ketika aku masih remaja, aku ingin kuliah di bidang seni, dan barulah di masa-masa kuliah aku tahu kalau yang aku inginkan itu keterampilan menulis. Kurasa itulah panggilanku karena aku merasa tertarik dan mendapat nilai bagus dari dosenku.

Namun, pengalaman di awal itu tidak banyak menolongku di karierku. Tempat kerjaku menyuguhkan realita pahit: gaji kecil, tidak banyak benefit, jam kerja yang berlebihan. Generasiku berkata, “Kejar apa yang jadi passionmu dan kamu tak perlu lagi bekerja satu hari pun di hidupmu.” Motto itu menyatu dengan gagasanku tentang bagaimana panggilan Tuhan bekerja. Kurasa, ya memang di sinilah aku dipanggil untuk mengejar impian dan panggilanku. Tapi, mengapa setiap hari terasa seperti siksaan?

Kisah Yunus, meskipun terjadi pada keadaan yang berbeda, mengajariku perspektif lain. Yunus ditugaskan untuk berkhotbah menyampaikan pertobatan pada Niniwe, yang mungkin bagi kita di masa kini terasa mudah untuk seorang nabi. Tapi, Yunus tahu betapa kejamnya Niniwe, jadi dia ingin mereka menderita dalam penghakiman Tuhan.

Bahkan setelah Yunus dengan enggan menuntaskan tugasnya, dia tetap saja tidak senang, dan kisahnya berakhir dengan sebuah pesan tegas dari Tuhan. Namun… hasil akhirnya adalah seisi kota Niniwe bertobat!

Kita mungkin salah jika kita percaya bahwa dipilih Tuhan berarti selera kita akan sejalan dengan rencana-Nya. Kebenarannya: Tuhan mengajar kita bahwa kehendak-Nya jauh di atas kehendak kita sendiri karena Dialah yang memilih kita, bukan sebaliknya.

Mitos 4: Kamu tidak akan mempunyai lawan

Salah paham keempat: kita tidak akan menghadapi penolakan dari orang lain jika kita adalah orang pilihan Tuhan.

Namun, Yesus sekalipun menghadapi penolakan. Pada masa awal pelayanan-Nya, bahkan para tetangganya menolak mendengarkan Dia, dan hendak melemparkan Yesus dari atas tebing! (Lukas 4:16-30).

Setelah Yesus mengutuk praktik korupsi orang Farisi, mereka terus berusaha melecehkan dan menjerat-Nya. Penolakan-penolakan inilah yang mengiringi langkah Yesus menuju penyaliban.

Secara pribadi aku juga mengalami penolakan ketika aku yakin akan panggilanku menulis. Yang membuat pedih adalah orang tuaku sendiri yang mendorongku untuk mencari karier lain yang lebih menjanjikan (jadi pengusaha seperti yang mereka lakukan). Aku berdiri mempertahankan pilihanku dengan keteguhan dan kasih, sampai akhirnya mereka mengerti bahwa panggilan Tuhan bagi anak-anak-Nya itu unik dan tidak selalu bergantung pada tradisi/kebiasaan.

***

Inilah mitos-mitos yang dulu kupercaya yang pelan-pelan memudar seiring aku menemukan kembali imanku yang sejati melalui firman Tuhan. Setelah aku absen lama dari pelayanan, aku menjadi seorang ketua komsel yang bertanggung jawab dan kesempatan pelayanan pun diberikan lagi buatku. Prosesnya lambat dan sakit untuk belajar dan melepas mitos-mitos yang kita percayai tentang kekristenan.
Tuhan telah mencelikkan mataku bahwa menjadi orang yang dipilih-Nya adalah tentang menyerahkan segalanya kepada Dia, percaya di mana pun dan bagaimana pun Dia memanggil kita, kebaikan dan kasih-Nya selalu ada.

Sebagai orang pilihan-Nya, kita harus membaharui pikiran kita tentang panggilan dengan melihat dari perspektif-Nya. Dalam anugerah dan belas kasih-Nya, Dia memanggil kita untuk memenuhi tujuan-Nya, bukan tujuan kita. Hanya ketika kita mengizinkan Dia menanamkan kebenaran dalam pikiran dan hati kita, kita bisa menjadi hamba-Nya yang setia.

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Sikap Cengeng

Oleh Ananda, Jakarta

Masa kecil adalah masa-masa di mana kita mulai belajar dan mengenal berbagai perasaan, salah satunya adalah perasaan takut ketika mainan kita diambil. Namun, ketika kepunyaan kita diambil, biasanya orang tua kita akan memihak pada kita dan memberikan mainan itu kembali.

Ketika kita beranjak dewasa, kita mulai menyadari bahwa dunia tidak selalu berpihak kepada kita. Banyak ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita dan kita merasa berhak untuk menuntut keadilan jika ketidakdilan itu menimpa kita. Salah satu contoh sederhana yang mungkin sering kita alami adalah kesedihan dan kekecewaaan kita ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita. Atau, ketika banyak masalah yang datang menimpa kita padahal kita merasa sudah melakukan banyak hal untuk melayani Tuhan. Tanpa sadar, kita lupa bahwa kesedihan dan kekecewaan kita tersebut mencerminkan sebuah cara untuk mengatur Tuhan agar Dia memenuhi keinginan-keinginan kita sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

Mungkin penjelasan-penjelasan di atas terdengar membosankan karena terlalu sering kita mendengarnya dari pendeta-pendeta di gereja. Mungkin juga, ketika kita mendengarnya lagi, kita merasa hal itu tidak mungkin kita alami karena kita juga sudah terlalu sering mendengar “mengikut Kristus bukanlah perkara mudah”. Mengapa aku berkata demikian? Karena aku mengalaminya.

Selama ini aku memahami bahwa mengikut Kristus merupakan perkara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Aku pun selalu mendapatkan penguatan-penguatan dari orang-orang di sekitarku mengenai hal tersebut. Namun, ada kalanya aku tetap merasa sedih dan mempertanyakan kesedihanku kepada Tuhan.

Belakangan aku merasa lelah dengan imanku. Sudah empat tahun aku mengikut Kristus secara diam-diam (Sebelumnya sudah pernah kutuliskan di sini). Sejak kelas 3 SMA, aku menyembunyikan imanku kepada Kristus dari keluarga dan sebagian besar teman-temanku. Awalnya aku sangat menggebu-gebu dan penuh sukacita menjalaninya, namun belakangan aku merasa lelah. Semuanya terasa seperti sandiwara. Aku sedih kehilangan relasi dengan sahabat-sahabatku karena imanku. Aku pun lelah karena ada orang-orang yang justru berburuk sangka tentang imanku. Mereka mengira aku tidak sungguh-sungguh mengikut Kristus. Mereka kira aku sekadar ikut-ikuan dan terpengaruh orang lain. Bahkan, ada juga yang mengira aku mengikut Kristus demi menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.

Kelelahanku membuatku bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan mengapa aku tidak dilahirkan di keluarga Kristen? Mengapa aku harus melalui semua ini? Mengapa orang-orang itu tidak memandangku dengan baik meski aku telah mengikut Engkau? Mengapa mereka bukannya menguatkan tapi malah menjatuhkan? Mengapa ibuku semakin fanatik dengan imannya dan membuatku sulit untuk mengabarkan Injil kepadanya? Mengapa ayah kandungku meninggal saat aku SD dan aku mendapatkan ayah baru yang fanatik? Mengapa aku harus berpura-pura? Sungguh, aku lelah Tuhan hidup dalam dua ‘dunia’ seperti ini. Sampai kapan Tuhan? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?” dan sederet pertanyaan lainnya.

Pilihan sikap untuk menghadapi penderitaan

Aku menangis selama beberapa waktu sampai suatu hari aku diingatkan saat ibadah Minggu melalui firman yang ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 2:11-3:12. Dalam bacaan tersebut, Petrus mengingatkan kembali bahwa identitas baru kita dalam Tuhan tidak mengubah relasi sosial kita dalam kehidupan bermasyarakat. Petrus secara khusus mengingatkan para hamba-hamba (budak) pada ayat 18 untuk tetap tunduk kepada tuan mereka, bukan hanya kepada tuan yang baik namun juga kepada tuan yang bengis. Tidak hanya itu, setelah para budak, Petrus juga menguatkan para istri untuk tunduk kepada suami mereka, bukan hanya kepada suami yang taat, namun juga kepada yang tidak taat.

Jika kita lihat dalam ayat-ayat tersebut, Petrus menghubungkan budak dengan istri melalui teladan Kristus. Mengapa demikian? Pada saat itu, para budak dan istri adalah dua kelompok masyarakat yang penderitaannya paling mirip dengan penderitaan yang Kristus alami (Innocent suffering). Petrus mengingatkan para budak dan para istri agar tetap menghormati tuan dan suami mereka dan tetap berbuat baik kepada mereka agar terang Kristus boleh terpancar melalui setiap perbuatan baik mereka.

Tentunya ini bukan hal yang mudah. Bagi para budak, mereka adalah kaum yang tidak dianggap dan sering mengalami penderitaan. Tetapi, justru secara khusus Petrus menuliskan surat yang menguatkan mereka dan mengingatkan mereka bahwa identitas mereka adalah manusia yang Tuhan kasihi; identitas mereka tidak bergantung kepada tuan mereka dan Tuhan telah rela mengalami penderitaan yang serupa karena kasih-Nya kepada manusia. Begitupun para istri yang menerima identitas baru dalam Kristus. Mereka mungkin tidak bisa mengabarkan Injil melalui perkataaan mereka kepada suami atau keluarga mereka. Mereka dikenal sebagai kaum yang sulit dipercaya dan harus selalu patuh kepada suami mereka. Dengan iman mereka yang baru (iman kepada Kristus), masyarakat akan menganggap mereka telah mencoreng nama baik keluarga, merusak relasi mereka dengan suami dan anak-anak mereka. Bahkan, mereka bisa saja diceraikan, dibuang, dan dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, Petrus menekankan agar mereka, para istri, tetap tunduk menghormati suaminya sebagai bentuk penyembahan mereka kepada Kristus.

Tidak hanya para istri, Petrus juga melanjutkan suratnya kepada para suami yang telah beriman kepada Kristus. Dalam suratnya, Petrus mengingatkan agar para suami yang pada zaman itu sangat berhak memaksa dan mengatur kehidupan keluarganya, tetap berlaku bijaksana dan menghormati istri mereka, walaupun mungkin istri dan anak-anak mereka bukan orang percaya. Petrus mengingatkan bahwa Kristus tidak mengajarkan pemaksaan, meskipun Kristus tentu memiliki kuasa untuk memaksa atau melawan musuh-musuh-Nya dalam penderitaan-Nya.

Mendengar setiap firman yang disampaikan itu, pikiranku benar-benar melayang, membayangkan keadaan pada masa itu dan membayangkan setiap peran yang Petrus sebutkan. Aku membayangkan pasti sangat sulit bagi para budak yang sudah melakukan setiap pekerjaan mereka dengan baik namun tetap harus menerima dengan kasih setiap bentakan, cacian, dan siksaan dari majikan yang kejam. Kemudian, aku mengaitkan kondisiku saat ini dengan kondisi para istri yang mungkin mirip sepertiku. Ya, aku seperti mereka. Aku belum bisa mengabarkan kabar baik secara langsung (lisan) kepada keluargaku. Tapi, aku tetap harus berbuat baik serta menghormati mereka dengan kasih Kristus. Aku juga membayangkan seandainya aku menjadi suami pada zaman itu, mungkin aku akan sangat tergoda untuk memaksa istri dan keluargaku untuk mengikuti iman yang sama seperti yang kuikuti. Akan sangat mudah bagiku untuk menjalani hidup tanpa harus merasakan rasa malu dari masyarakat sekitar maupun teman-teman karena imanku yang berbeda dari keluargaku.

Aku kembali merefleksikan semua itu kepada teladan yang Kristus ajarkan. Aku kembali menangis. Ya, kali ini aku menangis karena aku merasa terlalu cengeng jika dibandingkan dengan mereka semua yang Petrus sebutkan, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Kristus. Aku kembali mengingat betapa Kristus sungguh mengasihiku sehingga Dia rela menderita, rela ikut “jatuh” ke dalam lumpur dosa, rela diam ketika dicaci dan dihina, bahkan rela terpisah dengan Bapa untuk menolong kita. Begitupun dengan Bapa yang rela memalingkan pandangan-Nya dari Anak yang sangat dikasihi-Nya, agar pandangan-Nya yang penuh kasih bisa sepenuhnya tercurah kepada kita.

Mungkin penderitaaan yang kita alami saat ini terasa sangat sulit untuk dilalui, namun marilah terus memandang kepada teladan yang Kristus telah berikan kepada kita. Jika Kristus sudah begitu mengasihi kita, maukah kita menerima kasih-Nya dan melalui setiap penderitaan kita dengan tetap berpengharapan dan bersukacita? Jika kita telah merasakan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, maukah kita juga mengabarkan kasih anugerah keselamatan itu kepada mereka yang belum mendengarnya melalui tiap perkataan dan tindakan kita?

Meski terkadang aku masih merasa lelah, namun kini aku selalu berusaha mengingat bahwa setiap kelelahan yang kualami tidak seberapa dengan kelelahan yang Tuhan telah alami. Selain itu, aku juga berusaha untuk melihat orang-orang lain yang mengalami penderitaan lebih berat daripada yang kualami. Semisal, ada beberapa pengungsi dari negara-negara terkoyak perang yang juga pengikut Kristus dan harus menyembunyikan imannya, sama sepertiku. Tak hanya itu, mereka pun harus bergumul dengan hal-hal lain yang lebih berat sepertit empat tinggal, makanan, bahkan kewarganegaraan. Aku tidak sedang menjalani perjalanan ini sendirian, ada Yesus yang menyertaiku juga kita sekalian.

Baca Juga:

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, sudahkah kamu menguji hatimu dalam menjalani fase ini?

Penyertaan Allah dalam Tantangan Kehidupan

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Bulan April lalu aku sedikit menyampaikan keluhan hidupku lewat artikel yang berjudul “Jangan Sekadar Mengeluh!”. Dalam artikel tersebut, nampaknya manusia relatif sukar untuk berhenti mengeluh karena hidup manusia diiringi oleh penderitaan. Wait, jangan berpikir ke arah negatif dulu ya. Kata ‘derita’, yang bisa dibaca pada artikel sebelumnya, dapat dipahami sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal. Maka menurutku, wajar jika sesekali hidup manusia kerap diselingi oleh keluhan.

Keluhan yang kerap disampaikan oleh sebagian kita adalah tentang naiknya jenjang kehidupan. Aku mengingat jelas, ketika masuk ke bangku Sekolah Dasar, aku sering ngomel ke orang tuaku karena jam bermain tidak sebanyak masih di Taman Kanak-kanak. Lepas dari Sekolah Dasar menuju Sekolah Menengah Pertama, aku pun rindu masa Sekolah Dasar, di mana pe-er dan tes-tes tidak menumpuk banyak. Naik lagi ke tingkat Sekolah Menengah tingkat Atas, kesumpekan pun meningkat dengan beragam laporan laboratorium, riset-riset, les mata pelajaran ini dan itu. Memasuki dunia perkuliahan, aku mengira akan lebih lega dengan kebebasan mengatur jadwal, namun tuntutan perkuliahan justru lebih tinggi disertai juga kesibukan organisasi mahasiswa.

Selain naiknya jenjang kehidupan sebagai pilihan diri kita, tekananan kehidupan juga berasal dari lingkungan masyarakat di sekitar kita. Bagi kita yang sudah bekerja, baik sebagai pegawai atau wiraswasta, tentu merasakan persaingan dunia kerja. Bisnis fotografi dan videografi yang digeluti oleh kakakku pun mengalami persaingan dengan semakin merebaknya anak-anak muda yang baru sekian bulan memegang kamera lalu memasang tarif dokumentasi acara dengan harga yang miring. Begitu pun usaha event organizer yang pernah digeluti aku dan teman-temanku, dimana kini muncul banyak event organizer baru yang dipelopori anak-anak yang jauh lebih muda dari kami. Aku pun belum bisa membayangkan secara utuh dampak industri 4.0 dan era desrupsi pada tekanan hidup masyakat negara berkembang seperti di Indonesia.

Harus kita akui bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Namun apa yang harus kita pahami sebagai orang Kristen dalam menjani hidup penuh tekanan?

Sebuah penguatan dinyatakan juga oleh Allah ketika bangsa Yehuda berada di tanah pembuangan Babel. Dalam Yesaya 43:2 dikatakan bahwa:

“Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.”

Terdapat tiga hal yang bisa kita pahami dari ayat ini, terlebih menguatkan kita menjalani hidup penuh tekanan.

1. Allah menyertai kita dalam kesulitan hidup kita.

Penulis kitab Yesaya dengan jelas menyatakan janji Allah, di kala mereka menyeberang melalui air, melalui sungai-sungai, melalui api, Ia beserta. Dalam kondisi bangsa Yehuda kala mereka berada pada masa pembuangan ke Babel, jauh dari tempat asal mereka dan di bawah pemerintahan Raja Babel, Allah tidak mengabaikan mereka. Allah tetap beserta umat-Nya dalam tekanan kehidupan. Begitu pun ketika kita berada dalam tekanan hidup di pendidikan, dunia kerja, relasi dengan sesama maupun berbagai tekanan lainnya, Allah tetap menyertai umat-Nya.

2. Allah tidak menghilangkan tantangan kehidupan, tantangan masih ada.

Ketika Allah beserta umat-Nya, penulis kitab Yesaya tidak menyatakan bahwa bangsa Yehuda bisa kembali dengan mudah ke tanah mereka; masih ada air, sungai-sungai dan api yang menghadang mereka. Sama seperti kondisi hidup kita saat ini, Allah tidak pernah menjanjikan hidup kita bahagia, aman sentosa setiap saat, tetapi tantangan kehidupan tersebut masih ada. Tugas-tugas, ujian beragam mata pelajaran dan perkuliahan tetap ada, tuntutan dan persaingan kerja tetap ada karena Allah yang mengizinkan hal tersebut terjadi dalam hidup kita.

3. Allah meminta kita melalui tantangan tersebut, bukan menghindari.

Ketika kita melalui air, terlebih sungai-sungai, Allah berjanji kita tidak akan hanyut, tetapi kita tentu tetap basah dan merasakan derasnya arus sungai tersebut. Begitu pula ketika kita melalui api, Allah berjanji kita tidak akan hangus terbakar, tetapi kita tetap merasakan panas dari api tersebut. Hal yang sama terjadi dalam tantangan kehidupan kita, Allah berharap kita melalui tugas dan ujian dalam pendidikan kita maupun tuntutan dan persaingan kerja, bukan terus menerus menghindar.

* * *

Memang benar bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Segala yang aku dan teman-teman sekalian temui dalam hidup akan semakin berat. Akan selalu ada sungai maupun api yang harus kita lalui. Ketika melalui sungai dan api, yaitu tantangan kehidupan, kita akan makin disadarkan bahwa Tuhan selalu beserta kita. Maka kini, ketika kita berada dalam tekanan hidup, janganlah berdoa agar tekanan tersebut dijauhkan dari kita. Sampaikan kepada-Nya, “Tuhan, terima kasih atas tantangan dalam hidup kami. Sertai kami dan mampukan kami melalui tantangan tersebut. Amin.”

Ada satu pujian yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah. Lagu yang berjudul “Ku Tau Bapa Peliharaku” ini mungkin tidak asing di telinga kita. Liriknya berkata:

“Ku tau Bapa p’liharaku,
Dia baik, Dia baik.
Ku yakin Dia s’lalu sertaku, Dia baik bagiku.

Lewat badai cobaan, semuanya mendatangkan kebaikan.
Ku tahu Bapa p’liharaku, Dia baik bagiku.”

Kiranya pujian di atas akan semakin menolong kita menghayati penyertaan Tuhan dalam segala tekanan hidup kita.

Baca Juga:

Sulit Membuat Keputusan? Libatkanlah Tuhan dalam Hidupmu

Ketika kita bingung akan langkah yang harus kita ambil, izinkan Tuhan mengambil alih kemudi hidup kita. Ia akan mengantarkan kita pada rencana indah-Nya.

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Setiap kita tentu memiliki impian. Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Saat merenungkan pertanyaan itu, aku teringat akan suatu peristiwa. Pertengahan tahun 2017 lalu, aku diundang untuk membawakan training menulis di kota Solo untuk pelayanan renungan di gerejaku. Di hari keberangkatan, aku telah siap lama sebelum jam keberangkatan pesawat. Aku memesan taksi online dan seperti biasanya aku menginfokan alamat rumahku dan patokannya via chat.

Namun, sepuluh menit, lima belas menit berlalu tanpa respons. Saat aku menelepon pengemudinya, ia menjawabku dengan nada malas. Katanya ia masih makan dan ia memintaku cancel saja jika aku tidak mau menunggu. Aku mengiyakan. Lalu, kupesan kembali taksi online. Tapi, tidak ada satu pun pengemudi yang mau mengambil orderku. Kucoba gunakkan aplikasi lain, hasilnya pun sama. Barulah setengah jam kemudian akhirnya ada pengemudi yang bersedia menjemputku.

Tapi, baru saja aku merasa lega, di jalan raya kami dihadang oleh kemacetan. Padahal sebelumnya di Google Maps tidak terdeteksi ada kemacetan di situ. Dalam kepalaku langsung terbayang skenario terburuk: ketinggalan pesawat.

Sementara mobil terus melaju bagaikan siput, sisa waktuku semakin habis. Saat kami sampai di dekat jalan tol menuju bandara, mobil kami terhadang macet parah. Tiba-tiba pengemudi mengusulkan untuk mengambil jalan tikus, alias jalan lain saja.

Di jalur yang baru, mobil kami bisa melaju lebih lancar. Tapi, bukannya mendekati bandara, aku merasa mobil ini malah semakin menjauhinya. Aku cemas, tapi tidak berani berkomentar karena takut menyinggung pengemudi yang sudah berusaha mencari jalan lain.

Saat tiba di bandara, waktuku hanya tinggal 15 menit lagi. Di loket check-in, petugas yang melayaniku memintaku menunggu. Ia lalu memanggil pria yang berada di sampingnya. Tampaknya pria itu atasannya. Sambil menyebutkan tujuan dan nomor penerbanganku, petugas itu bertanya, “Bagaimana, Pak?”

Pertanyaan itu singkat, tetapi aku mengerti maksudnya. Apakah aku masih diizinkan masuk?

Puji Tuhan. Mereka mengizinkanku masuk ke pesawat. Petugas itu lalu memberiku boarding pass dan tersenyum sambil berkata, “Mbak harus lari ya. Pesawatnya sudah last-call.”

Aku berlari sekuat tenaga. Tapi, tas di pundakku tiba-tiba merosot. Aku berusaha memperbaiki posisinya, tapi aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Sakit? Iya. Malu? Sudah pasti. Namun, secepatnya aku kembali berdiri dan berlari.

Ketika tiba di gerbang tujuanku, aku melihat antrean penumpang sudah terbentuk. Aku segera bergabung dan berjalan masuk ke dalam pesawat. Saat itu aku baru sadar kalau di boarding pass tertera nomor 1A, itu adalah tempat duduk paling depan. Begitu masuk pesawat, aku langsung duduk dan memberi kabar kepada orang tuaku serta pengerja gereja yang nanti akan menjemputku di Solo. Aku masih sempat bertukar kabar, bahkan bercanda dengan beberapa temanku di chat. Hingga kemudian aku tersadar, meski aku sudah duduk lumayan lama, ternyata masih banyak orang yang mengantre untuk masuk ke dalam pesawat. Orang-orang yang duduk di belakang harus menunggu sampai orang-orang di depannya selesai memasukkan barang ke bagasi kabin di atas tempat duduk.

Aku pun menyadari bahwa di balik tempat dudukku yang kurasa spesial ini, ada penyertaan Tuhan yang menyertai perjalananku.

Aku hampir saja tertinggal pesawat hingga aku begitu cemas dan hampir putus asa. Tapi, Tuhan menyediakan tempat duduk yang istimewa buatku. Keistimewaan itu semakin terasa ketika ternyata tidak ada penumpang lain yang duduk di deretan kursi nomor 1.

Saat itu aku merasa Tuhan seperti berbicara ke dalam hatiku. Tuhan tahu semua usaha keras dan keputusasaanku. Dia tahu perjuangan yang sudah kulakukan. Dan, ketika ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam perjalananku, Tuhan bukannya sedang tidak peduli kepadaku. Aku percaya, di balik semua hambatan tersebut, Tuhan sedang merenda kebaikan untukku.

Peristiwa nyaris ketinggalan pesawat tersebut membuatku memahami bahwa kehidupan ini tidak selalu berjalan seturut dengan rencanaku. Namun, itu bukanlah alasan untukku berputus asa. Aku harus terus berjuang hingga akhir. Meski aku harus berlari dan terjatuh, meski orang-orang mungkin mempertanyakan apa yang kulakukan, namun selama aku fokus pada tujuanku, selama aku tidak menyerah dan tetap percaya, Tuhan akan membukakan pintu-pintu yang seolah tertutup. Tuhan akan menyediakan tempat yang istimewa buatku.

Sahabatku, aku tidak tahu bagaimana dengan perjalanan hidup yang kamu sedang lalui. Namun, kiranya sekelumit pengalamanku ini boleh menolongmu untuk percaya dan menyerahkan hidupmu kepada Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengarahkan langkah-langkah hidupmu. Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5).

Baca Juga:

Belajar untuk Tidak Khawatir

Aku sering merasa takut dan bimbang akan masa depanku. Namun, melalui pertemuanku dengan Glen, aku diajar oleh Tuhan untuk tidak khawatir akan apa yang kelak kan terjadi di depanku.

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Oleh Cassandra Yeo
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Truths To Cling To When You’re Hit With Challenges
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Aku sering berharap demikian dan mendoakannya pada Tuhan. Aku berharap Tuhan campur tangan dan memberikanku jalan keluar di tengah momen-momen hidupku yang terasa berat.

Tetapi, ketika jawaban atas doa-doaku tidak kunjung datang, atau rasanya seperti tidak dijawab, aku pun bergumul dengan ketidakpastian. Dalam situasi tersebut, teman-teman yang biasanya mendukungku pun tak tahu apa yang harus mereka katakan untuk menghiburku. Keraguanku dan ketiadaan dukungan dari orang lain membuat aku mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Meski begitu, di saat aku mulai meragukan-Nya, Tuhan tetap memeliharaku dengan cara-Nya yang tidak kuduga. Tuhan menggunakan kesulitan-kesulitan dalam hidupku untuk mengajariku tentang sifat-Nya yang tidak pernah berubah di tengah kondisi kehidupan kita yang senantiasa berubah.

Ketika aku menghadapi tantangan hidup, inilah tiga kebenaran yang kuingat:

1. Ingat bahwa Tuhan tetap memegang kendali

Ketika aku bergumul dengan kehilangan atau amarah, aku teringat akan tokoh-tokoh dalam Alkitab yang juga pernah melewati masa-masa krisis dalam hidupnya. Rut, Yusuf, dan Paulus, mereka adalah orang-orang yang pernah menghadapi kehilangan. Meski begitu, respons mereka sangatlah berbeda. Mereka tidak merespons seperti apa yang orang kebanyakan lakukan.

Ketika suaminya meninggal, Rut menjadi seorang janda yang tidak dikaruniai anak. Rut lalu memilih untuk mengikut ibu mertuanya, hidup di negeri yang asing, dan dia pun mengikut Tuhan (Rut 1:16). Yusuf memilih untuk menunjukkan kemurahan hatinya kepada saudara-saudaranya, meskipun dulu dia pernah diperlakukan dengan jahat. Yusuf tahu bahwa Tuhan sedang merenda kebaikan di balik ketidakadilan yang pernah dia alami (Kejadian 50:19-20). Paulus melanjutkan pelayanannya meskipun dia menghadapi penganiayaan karena dia tahu bahwa apa yang dikerjakannya akan menolong banyak orang datang kepada Kristus. Dalam setiap situasi sulit tersebut, Tuhan bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dari garis keturunan Rut, lahir raja Israel. Dari kegigihan Paulus, Injil tersebar ke banyak tempat. Dan, dari kebaikan Yusuf, saudara-saudaranya dapat bertahan hidup.

Ketika kesulitan melanda, tokoh-tokoh dalam Alkitab tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan tetap memegang kendali, dan Tuhan tetap berlaku baik. Aku perlu mengucap syukur atas pekerjaan tangan-Nya dalam hidupku, meskipun aku tidak selalu bisa melihat hasilnya. Dalam masa-masa sulit, seringkali aku pergi menemui teman-teman dan kelompok yang kupercaya, menceritakan pergumulanku, untuk kemudian tetap bersyukur dan mengingat kebaikan Tuhan.

2. Ingatlah bahwa di tengah keraguan kita, Tuhan dapat dipercaya

Sejak aku belum lulus kuliah, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, bahkan di saat teman-temanku yang lain belum melakukannya. Tapi, pencarian kerja yang kupikir hanya akan berlangsung sebulan, berubah menjadi delapan bulan. Dalam setiap wawancara yang kulakukan, aku berdoa memohon pada Tuhan agar aku diterima. Tapi, kenyataannya aku kembali gagal.

Meskipun masa-masa itu terasa sulit, namun aku dapat melihat Tuhan bekerja. Aku diterima bekerja part-time sehingga aku mampu mendapatkan uang dan melatih diriku supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan sepenuh waktu. Proses pencarian, doa, dan penantian kerja inilah yang mengajariku untuk gigih, rendah hati, dan bersukacita di tengah-tengah kondisi yang seolah tidak akan memberiku hasil. Dan, relasiku dengan Tuhan pun bertumbuh. Lambat laun aku mulai mempercayai Sang Pemberi itu sendiri, alih-alih hanya menantikan pemberian-Nya saja.

Setelah pencarian yang panjang, akhirnya Tuhan menunjukkan pintu yang terbuka. Aku mungkin tidak mendapatkan pekerjaan sama persis seperti apa yang kucari dan kuharapkan, tapi itu masih selaras dengan apa yang kucari. Di akhir Desember, aku pun memulai perjalanan karierku di sana. Pengalaman ini telah melatihku untuk percaya pada Tuhan di tengah keraguanku. Pencarian kerjaku tak lagi menjadi pencarian yang didasari atas kriteria-kriteria pribadiku, melainkan berdasar atas apa yang Tuhan rencanakan bagiku.

3. Ingatlah bahwa nilai diri kita yang sejati hanya ditemukan dalam Kristus

Selama kuliah, aku aktif melayani Tuhan di persekutuan dan gereja. Namun, sepanjang perjalanan itu aku menghadapi tantangan. Nenek dan seorang teman dekatku meninggal dunia pada waktu yang tidak tepat. Aku merasa kehilangan dan menganggap diriku tak berarti lagi tanpa kehadiran mereka. Nilai-nilaiku pun ikut turun meskipun aku sudah berusaha keras belajar. Aku merasa perjuanganku selanjutnya seperti pergumulan yang tiada berujung. Apalagi ketika aku melihat teman-temanku seolah lancar-lancar saja menjalani kuliahnya dan dengan mudahnya mendapatkan prestasi akademis yang kudambakan.

Ketika pilar-pilar yang menentukan nilai diriku—nilai akademis dan pertemanan—diambil dariku, aku perlu menguji apakah aku menentukan nilai diriku atas apa yang kumiliki, atau itu semua ditentukan dari bagaimana cara Tuhan melihatku.

Meskipun aku merasa keadaanku sangat sulit, Tuhan memberikan jalan keluar untukku di akhir semester. Pada hari ketika aku diwisuda, aku melihat kembali perjalanan hidupku di belakang dan aku tahu bahwa pencapaian terbesarku bukanlah keberhasilan akademis, melainkan sebuah pelajaran di mana seharusnya nilai diriku berada. Aku dapat membagikan kisah pergumulanku kepada orang lain yang juga pernah mengalami tantangan serupa, dan inilah yang Tuhan pakai untuk menguatkan mereka.

Semua pengalaman yang kutulis adalah tantangan yang kuhadapi dalam hidupku, yang terasa pahit ketika aku menjalaninya. Tetapi, aku belajar untuk melihat bahwa pengalaman-pengalaman pahit dapat dijadikan kesempatan untuk berjalan lebih dekat lagi dengan Tuhan, dan untuk mengerti tujuan dan kebaikan-Nya di tengah kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Aku menantangmu hari ini untuk melihat tantangan-tantangan hidup yang kalian miliki dan untuk belajar bahwa di balik tantangan tersebut, Tuhan dapat mengubah semuanya menjadi indah pada waktu-Nya (Pengkhotbah 3:11).

Baca Juga:

Jangan Membuat Resolusi

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya. Mengapa?

Sebuah Perjalanan

Hidup adalah sebuah perjalanan yang wajib kita jalani. Ada kalanya, kita mungkin tersesat atau kehilangan arah. Dalam situasi ini, kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali bertanya: “Apa yang harus kita lakukan?”, “Jalan mana yang harus dipilih?”, “Bagaimana kita bisa menemukan arah dalam labirin kehidupan ini?” Untuk menemukan jalan keluar, kita harus tahu siapa yang dapat menunjukkan arahnya kepada kita. Semoga kebenaran Tuhan akan menguatkanmu hari ini.

Karya seni ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di The Journey

Lihat karya lainnya di: Ruang Seni Kamu

Pergumulanku Sebagai Seorang Perempuan Biseksual

Oleh H.Y., Singapura
Ilustrasi oleh Emilia Ting
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Turning Away From My Bisexual Desires

Kali pertama aku menyukai seseorang adalah ketika aku berusia 14 tahun. Seingatku, dia yang kusukai itu usianya lebih tua dariku. Dia tidak terlalu cantik, tapi warna kulitnya kecoklatan, lesung pipinya terlihat lucu apabila dia tersenyum, dan dia juga cakap berolahraga.

Tapi, ada satu masalahnya: aku juga seorang perempuan.

Beberapa tahun kemudian, barulah aku menyadari bahwa aku tertarik kepada laki-laki dan perempuan—sebelumnya aku juga pernah menyukai beberapa laki-laki. Tapi, entah mengapa ketertarikanku kepada perempuan terasa lebih kuat. Keadaan ini membuatku bergumul dengan apa yang kurasakan. Aku merasa bingung dan tak mampu memahami hal ini. Ketika semua teman-teman perempuanku berbicara tentang para lelaki yang mereka sukai, mengapa aku berbeda?

Pada mulanya, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang kurasakan itu hanyalah sekadar bentuk kekagumanku kepada sesama perempuan, bukan perasaan cinta. “Dia lebih keren daripada aku, mungkin aku ingin menjadi seperti dia,” pikirku. Aku menyangkal diri dan menolak mengakui fakta bahwa aku menyukai perempuan.

Namun, seiring waktu berlalu, aku menyadari bahwa aku mencari semakin banyak kesempatan untuk melihat atau berbicara lebih banyak dengan si “dia” yang kusuka. Tanpa alasan yang jelas, aku berjalan melewati ruangan kelasnya, atau bersama teman-temanku, aku berusaha mendekati dia dan kelompoknya saat waktu istirahat berlangsung.

Waktu itu perasaan ini terasa asing buatku. Aku merasa bergumul sendirian karena aku tidak menemukan teman-teman lain yang juga memiliki pergumulan serupa denganku. Gerakan komunitas LGBT waktu itu belum terlalu muncul, dan tidak banyak dari mereka yang mau menampilkan diri di muka publik. Sampai saat ini pun aku masih takut untuk menceritakan bagaimana perasaanku sesungguhnya. Kedua orangtuaku tidak mengetahui bahwa aku mengalami ketertarikan baik kepada lawan jenis maupun sesama jenis.

Akan tetapi, di tengah kebingunganku, ada satu hal yang pasti, yaitu apa yang Alkitab katakan tentang homoseksualitas. Aku tumbuh besar di keluarga Kristen dan rajin mengikuti sekolah Minggu dan persekutuan pemuda. Pendeta di gerejaku berbicara terus terang tentang apa yang disebut Alkitab sebagai sesuatu yang “tidak saleh”. Meskipun aku tidak dapat mengingat dengan pasti khotbah-khotbah dengan topik seperti ini, aku tahu bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu yang Tuhan maksudkan untuk umat manusia.

Imamat 18:22 dengan jelas menegaskan: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Melalui Alkitab, Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjalin relasi seksual yang terjadi dalam sebuah pernikahan (Markus 10:6-9).

Kita juga diminta untuk “menghindari percabulan” dan memuliakan Allah dengan tubuh kita yang adalah bait-Nya (1 Korintus 6:17-20). Dengan demikian, aku tahu bahwa tindakan homoseksual bertentangan dengan kehendak Allah dan aku harus berhenti memelihara perasaan suka kepada sesama jenis.

Pada mulanya, aku merasa bingung dan bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Dia menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang salah. Jika itu salah, mengapa Dia menciptakan aku untuk merasakan ketertarikan kepada sesama dan lawan jenis? Mengapa Dia tidak membuatku “normal” saja?

Di tahun ini usiaku akan menginjak 20 tahun dan aku masih bergumul dengan perasaanku. Aku tidak dapat berkata bahwa aku sudah sepenuhnya bebas dari perasaan ini. Faktanya, aku masih sangat bergumul. Tidak ada satu hari pun di mana aku tidak mengingat bahwa aku tertarik kepada sesama dan lawan jenis.

Orang-orang yang menarik perhatianku ada di sekitarku, baik itu perempuan-perempuan cantik, atau para lelaki ganteng. Penampilan mereka masih mencuri pandanganku dan aku masih tergoda untuk berfantasi tentang bagaimana rasanya bila bersama-sama dengan mereka.

Aku masih terus berjuang. Aku tidak tahu banyak tentang topik ini, tapi setelah membaca banyak artikel Kristen dan merefleksikannya dalam perjalanan hidupku, inilah tiga hal yang membantu mengingatkan dan menguatkanku dalam pergumulanku ini:

1. Mantapkan identitas diriku di dalam Kristus

Aku harus mengakui bahwa penerimaan yang semakin meningkat terhadap individu-individu LGBT di masyarakat dan seruan untuk merangkul LGBT sebagai identitas asli mereka itu sungguh menggoda. Akan tetapi, sebagai seorang Kristen, aku ingat bahwa pertama-tama dan terutama, aku adalah pengikut Kristus, bukan pengikut manusia atau diriku sendiri.

Sekali kita mendapatkan identitas yang sejati, yang lain tak lagi penting. Sejak aku menyadari bahwa identitasku sesungguhnya adalah anak Allah dan bukan seorang biseksual, aku tidak lagi mudah untuk dipengaruhi oleh perasaan-perasaaanku. Yesus datang dan mati untuk menebus dosaku dan memberiku hidup yang baru. Identitasku di dalam Kristuslah yang mampu mengalahkan perasaan-perasaanku. Oleh karena itu, aku tidak pernah merasakan benar-benar perlu untuk menjadikan perasaanku sebagai suatu kebanggaan untuk ditampilkan ke publik.

Dengan menyadari bahwa identitasku ada dalam Kristus, sekarang aku memiliki kuasa untuk melawan dosa. Harus kuakui, meskipun sulit untuk melakukannya, aku memiliki kemampuan untuk memilih bertindak selayaknya seorang anak Allah, dan bukan bertindak berdasarkan hasratku.

2. Usahaku sendiri tak akan mampu melawan tiap godaan

Tentu saja aku harus mengambil langkah-langkah yang aktif dan nyata untuk menjaga diriku dari jatuh ke dalam dosa. Aku mencegah diriku untuk bertemu dengan orang-orang yang mungkin bisa menyebabkan perasaan suka kepada sesama jenisku meningkat. Di Instagram, aku juga mengikuti akun-akun yang bisa berdampak buruk buatku.

Akan tetapi, cara-cara ini saja tidaklah cukup. Bersyukur, kita memiliki Allah. Ketika kita berseru kepada-Nya dalam doa, Dia mendengar kita. Matius 26:41 memberitahu kita untuk berjaga-jaga dan berdoa supaya kita jangan jatuh ke dalam pencobaan.

Yesus mengingatkan kita bahwa meskipun “roh adalah penurut, tetapi daging lemah”. Kita adalah manusia biasa yang bisa dengan mudah terjerat oleh dosa. Oleh karena itu, kita membutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk bisa lepas dari dosa. Kekuatan itu hanya bisa didapat di dalam Kristus saja.

Ketika aku dicobai, aku belajar untuk berdoa dan menyerahkan hasrat-hasrat berdosaku kepada Allah. Aku berseru kepada-Nya dan memohon kekuatan dari-Nya supaya aku dapat taat. Kadang-kadang, aku mengambil waktu untuk berdiam diri dan berdoa memohon pertobatan. Aku meminta kepada-Nya supaya aku diberikan kekuatan untuk melawan setiap pencobaan.

3. Tuhan disenangkan ketika aku taat

Memalingkan diri dari sesuatu yang kita anggap begitu wajar bukanlah hal yang mudah. Aku menolak dosa bukan karena semata-mata aku tahu bahwa Alkitab mengatakan itu salah. Tetapi, karena aku tahu bahwa Bapa disenangkan ketika aku menaati-Nya.

Sebenarnya, Allah lebih berkenan kepada ketaatan kita daripada persembahan dan pelayanan kita (1 Samuel 15:22). Ketika kita taat, kita menyembah Dia dan menunjukkan kasih kita kepada-Nya (1 Yohanes 5:3). Kebenaran inilah yang memotivasi aku untuk taat kepada Allah.

Seperti orang-orang Kristen lainnya yang mungkin sedang berjuang dengan biseksualitas, aku berharap Tuhan akan menyingkirkan perasaan ini seutuhnya supaya hidupku dapat berjalan dengan lebih mudah dan aku tidak perlu berjuang untuk berpaling dari godaan.

Akan tetapi, aku percaya bahwa aku akan benar-benar dipulihkan dan tanpa cacat cela hanya ketika aku bertemu dengan Allah di surga dan segala dosa tak lagi melekat padaku. Saat ini, Allah memberikan kekuatan kepada anak-anak-Nya untuk melawan setiap cobaan dan menang atas dosa (1 Korintus 10:13). Dosa bukanlah tuan kita (Roma 6:14) dan kita dapat memilih untuk tidak lagi diperbudak oleh dosa (Roma 6:6). Kita bisa memilih Yesus daripada dosa.

Suatu hari, aku akan mendengar Allah Bapa berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21). Aku menantikan hari itu, hari ketika segala pengorbananku di dunia akan menjadi bermakna.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.

Waktu itu, di samping kuliah aku juga bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah agensi iklan. Jam kerja yang padat setiap harinya membuatku tak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan skripsiku. Selain itu, masalah lain karena aku putus dari pacarku pun turut memperburuk keadaan. Aku jadi larut dalam kesedihan dan sibuk mencari pelarian bersama teman-temanku. Ketika ada waktu senggang, bukannya menyelesaikan skripsi, aku pergi pelayanan dengan mengajar anak-anak desa di Gunungkidul atau jalan-jalan bersama teman-temanku.

Keadaan itu berlangsung selama beberapa bulan hingga akhirnya aku sadar bahwa skripsiku yang tak kunjung usai ini menyedihkan hati keluargaku. Kedua orangtuaku ingin aku segera lulus. Selain itu, karena skripsiku yang tak kunjung usai, teman-temanku memintaku untuk berhenti mengajar anak-anak di Gunungkidul. Kata mereka, aku harus fokus terhadap tanggung jawabku untuk menuntaskan skripisku terlebih dahulu. Teguran ini membuatku sadar bahwa apa yang kulakukan selama ini bukanlah sesuatu yang terbaik untukku.

Akhirnya, saat kuliahku memasuki semester ke-9, aku mulai menjalani bimbingan skripsi. Setiap kali usai bertemu dosen, aku membawa begitu banyak berkas revisi dan mengerjakannya di kafe dekat kampus. Revisi demi revisi itu membuatku ingin menangis dan aku pun mengeluh pada Tuhan. “Tuhan, kenapa gini sih. Aku capek. Kok skripsi aja harus kayak gini, banyak dramanya.”

Suatu ketika, saat aku sedang mengerjakan skripsi, secara tidak sengaja ponselku memutar lagu “Semua Baik”. Ketikan jari-jariku di keyboard terhenti sejenak. Penggalan lirik lagu ini membuatku merenung.

Dari semula telah Kau tetapkan
Hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu Tuhan
Rencana indah telah Kau siapkan
Bagi masa depanku yang penuh harapan

Lagu ini menegurku. Selama ini aku hanya mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi tiap masalah yang kualami. Aku lupa bahwa Tuhan sesungguhnya menjanjikan masa depan yang penuh harapan buatku, seperti firman-Nya yang berkata bahwa Dia merancangkan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan (Yeremia 29:11). Hanya saja, aku tidak mau mempercayai-Nya dan memilih caraku sendiri.

Sepulang dari kafe, aku berdoa pada Tuhan, memohon supaya Dia boleh menyertai dan memberkati proses pengerjaan skripsiku. Aku sadar bahwa doaku hanya akan jadi pepesan kosong jika aku tidak melakukan langkah nyata. Jadi, sejak saat itu aku mulai menyusun strategi membagi waktu antara pekerjaan, pelayanan, dan skripsiku. Setiap harinya aku tetap harus bekerja hingga jam 10 malam. Kemudian, mulai jam 11 malam hingga subuh, aku akan mengerjakan skripsi. Aktivitas ini memang membuat tenagaku terkuras. Namun, aku berdoa dan percaya bahwa Tuhan yang akan memberiku kekuatan untuk menyelesaikan semua ini. Ketika aku merasa lelah, aku mengingat apa yang pemazmur tuliskan: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:5-6).

Akhirnya, setelah beberapa bulan berlalu, di semester ke-10 Tuhan menganugerahiku hasil yang memuaskan. Skripsiku selesai dan setelah menempuh ujian aku pun dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana. Aku begitu bersyukur karena pertolongan Tuhan datang tepat pada waktunya.

Dari pengalamanku bergumul dengan skripsi, ada pelajaran berharga yang aku ingin bagikan kepada teman-teman. Ketika masalah menghampiri kita, yang harus kita lakukan bukanlah mengandalkan diri sendiri, tetapi andalkanlah Tuhan. Hanya bersama Tuhan sajalah kita mampu melewati setiap rintangan dan tantangan dalam hidup ini. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:5 berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan.”

Apakah hari ini kamu sedang bergumul karena skripsi atau masalahmu yang lain seolah tak kunjung usai? Berdoalah kepada-Nya, janganlah putus semangat, dan tetap lakukan bagianmu dengan sebaik-baiknya.

Baca Juga:

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Aku pernah terjerat dalam dosa seksual berupa masturbasi. Waktu aku masih kecil, tanganku tidak sengaja menyentuh bagian vital tubuhku dan sejak saat itu aku merasa ketagihan. Namun, Tuhan menyadarkanku bahwa perilaku ini adalah dosa. Seiring dengan perjalananku untuk pulih, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu.

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Masturbation Your Master?

Sebuah kata yang diawali dengan huruf “M”. Ada banyak istilah untuk merujuk pada kata ini, sebuah aktivitas untuk merangsang gairah seksual oleh diri sendiri, atau kita kenal dengan nama masturbasi.

Pengalaman pertamaku dengan masturbasi sebenarnya dimulai ketika aku masih berusia 5 atau 6 tahun. Waktu itu, secara tidak sengaja tanganku menyentuh bagian vital tubuhku, dan sejak saat itu aku merasa ketagihan.

Di usiaku yang ke-9 tahun, aku menerima Kristus. Tetapi, tidak ada seorang pun yang mengatakan kepadaku apa pandangan Alkitab mengenai masturbasi. Bagiku sendiri, tidak ada yang salah dengan masturbasi karena aku pikir aktivitas ini bukanlah sesuatu yang membahayakan.

Seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai merasa penasaran tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Kekristenan terhadap masturbasi. Hampir seluruh artikel-artikel yang kubaca menentang masturbasi karena tindakan ini selalu berkaitan dengan hawa nafsu, pornografi, dan juga fantasi seksual. Dari apa yang kubaca, aku menemukan bahwa masturbasi itu dianggap salah karena bisa dengan mudah membawa kita jatuh ke dalam dosa hawa nafsu. Jadi, kupikir, jika masturbasi yang kulakukan tidak membuatku berpikir penuh hawa nafsu, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari bermasturbasi.

Salah satu hal aku syukuri adalah waktu itu aku tidak jatuh terlalu dalam ke dalam dosa pornografi. Jika saja saat itu aku sering mengonsumsi tayangan-tayangan porno, bisa saja aku akan kecanduan lebih lagi dengan masturbasi. Akan tetapi, dampak dari masturbasi yang kulakukan adalah aku jadi sering berfantasi seksual. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba untuk menghancurkan kebiasaan ini. Tapi, karena aku sendiri tidak terlalu yakin bahwa masturbasi adalah sesuatu yang sungguh-sungguh salah, dengan segera aku kembali terjatuh dalam kebiasaan ini.

Di tahun 2014, Tuhan menolongku untuk menghancurkan beberapa keterikatanku dengan dosa seksual. Salah satunya adalah masturbasi. Suatu ketika, di hari Minggu bulan April, hasratku untuk melakukan kebiasaan masturbasi tiba-tiba menurun secara signifikan tanpa aku melakukan apapun. Tuhan mengizinkanku untuk merasakan sebuah masa di mana aku terbebas dari jerat kebiasaan masturbasi selama beberapa bulan.

Namun, tak lama berselang, hasratku kembali seperti sedia kala. Karena selama beberapa bulan sebelumnya aku pernah hidup tanpa hasrat untuk melakukan masturbasi, aku menyadari bahwa lewat peristiwa ini Tuhan ingin menunjukkan padaku bahwa masturbasi bukanlah tindakan yang berkenan pada-Nya. Aku tahu bahwa masturbasi bukanlah sesuatu yang dapat memuliakan Allah, atau membangun diriku menjadi lebih baik, bahkan sekalipun jika masturbasi itu kulakukan tanpa berfantasi seksual atau pornografi.

Sekarang, aku sedang berjuang untuk mematahkan kebiasaan ini. Dalam perjalananku untuk melepaskan diri dari jeratan dosa seksual, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu tentang masturbasi.

1. Masturbasi bisa menyebabkan kita kecanduan

Dari perjalananku selama bertahun-tahun untuk lepas dari jeratan dosa seksual, aku mendapati bahwa semakin sering aku memberi kesempatan untuk diriku jatuh ke dalamnya, semakin dosa itu akan mengikatku. Masturbasi telah menjadi tuan atas hidupku dan membuatku kecanduan. Ketika godaan untuk melakukannya datang, aku tidak mampu lagi untuk berkata “tidak”. Alih-alih melawan, aku malah “taat” dan terjatuh kembali dalam godaan seksual itu.

Hal ini tentu bukanlah gambaran tentang kebebasan dan kepenuhan hidup seperti yang Alkitab tuliskan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Galatia 5:10).

2. Masturbasi bisa membuat kita kehilangan kendali atas diri sendiri

Kebiasaanku untuk melakukan masturbasi membuatku berpikir bahwa aku bisa mendapatkan kenikmatan seksual kapan saja aku mau. Masturbasi membuatku kehilangan kendali atas nafsu seksual yang muncul dalam diriku. Mengapa harus menunggu untuk mendapatkan kenikmatan seksual jika aku bisa dengan segera memuaskannya sendiri?

Alkitab berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Ketika aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri, sesungguhnya aku akan rentan terhadap serangan dan godaan yang menarikku untuk jatuh dalam dosa.

Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Timotius 1:7), dan salah satu buah Roh adalah pengendalian diri (Galatia 5:23). Bagaimana caranya aku bisa dipenuhi oleh Roh Kudus (Efesus 5:18) apabila aku tidak memberi diriku untuk dikuasai oleh-Nya?

3. Masturbasi bisa jadi hanyalah sebuah pelarian dari masalah yang jauh lebih serius

Ketika aku mengenang kembali masa-masa saat aku begitu tertarik dengan masturbasi, aku menyadari bahwa saat itu ada luka-luka batin ataupun masalah yang tidak ingin aku selesaikan. Ada rasa kesepian dan kesedihan mendalam yang pada akhirnya membuatku mengalihkan perhatian dari semuanya itu dengan mencari kepuasan seksual.

Di lain waktu, ketika aku merasa frustrasi, stres, ataupun marah karena sesuatu, aku mencoba memulihkan diriku dengan mencari kepuasan seksual dengan harapan supaya aku bisa melupakan sejenak segala masalahku. Bahkan, ketika aku hanya merasa sekadar bosan pun, aku akan mencari-cari sesuatu yang bisa membuatku gembira.

Apa yang kulakukan itu adalah sebuah lingkaran setan. Ketika suatu masalah tidak diselesaikan dengan cara yang benar, masalah itu akan terus menerus datang dan menekanku. Akibatnya, aku menjadikan masturbasi dan tindakan lainnya yang tidak sehat sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah itu. Akan tetapi, kenikmatan yang didapat dari masturbasi hanyalah sementara. Setelahnya, aku malah harus bergumul dengan perasaan bersalah dan kekosongan diri.

Dalam perjalananku untuk keluar dari jeratan masturbasi, aku terus menerus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menjadikan masturbasi sebagai pelarianku. Sebagai gantinya, aku belajar untuk menceritakan perasaanku kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolongku melihat masalah dalam cara pandang-Nya, dan juga berdiri dalam kebenaran-Nya.

Seiring berjalannya waktu, semakin aku menyerahkan hidupku pada Tuhan atas setiap masalah yang kuhadapi, aku pun semakin dimampukan untuk lepas dari jeratan kenyamanan sesaat masturbasi dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berkenan pada-Nya.

4. Masturbasi membuat kita kehilangan yang terbaik dari Tuhan

Alkitab memang tidak secara spesifik menyebut masturbasi sebagai sebuah dosa, namun aku percaya bahwa kita semua dipanggil untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang bisa merintangi kita dari sebuah pertandingan iman (Ibrani 12:1-2).

Seorang penulis dan pembicara dari Amerika, Dannah Gresh menulis sebuah buku berjudul “What Are You Waiting For? The One Thing No One Ever Tells You About Sex”. Dalam buku itu dia menuliskan bahwa seks diciptakan Tuhan sebagai sarana untuk kita saling mengenal dan saling menghormati pasangan kita dalam sebuah ikatan pernikahan. Oleh karena itu, dia percaya bahwa masturbasi membuat kita kehilangan tujuan ideal Allah untuk hasrat seksual yang Dia berikan pada kita.

Aku setuju dengan pemikiran Dannah Gresh. Dalam tahun-tahun ketika aku terjebak dalam kebiasaan masturbasi, aku sempat berpikir bahwa kenikmatan seksual itu hanyalah tentang mendapatkan, bukan tentang memberi. Pemikiran inilah yang membuatku mencari-cari cara sendiri untuk memuaskan tubuhku. Akan tetapi, pemikiran seperti ini tidak menolongku untuk kelak bisa saling mengenal dan dikenal oleh pasanganku dalam pernikahan.

Aku percaya bahwa maksud Tuhan dalam sebuah pernikahan adalah supaya seorang lelaki dan perempuan saling memberi dan menyerahkan satu sama lain atas dasar kasih (Efesus 5:21-32). Hal ini juga berlaku dalam kehidupan seksual mereka. Suami dan istri harus mengabdikan diri untuk saling memberi kenikmatan seksual sebagai perwujudan kasih antara satu sama lain. Ketika mereka memberi, mereka pun menerima. Akan tetapi, apabila seseorang hanya berfokus untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya saja, sukacita yang didapatkan dari persatuan seksual mereka akan berkurang. Ini bukanlah gambaran kehidupan seksual yang baik karena salah satu atau bahkan keduanya lebih mendominasi.

Oleh karena alasan ini, aku tidak percaya bahwa masturbasi adalah kehendak Tuhan untuk kehidupan seksualku, bahkan jika seandainya aku kelak tidak menikah. Ketika aku kehilangan bagian terbaik yang Tuhan sudah tetapkan, maka aku tidak bisa mengalami-Nya secara sempurna dalam hidupku.

5. Kita bisa lepas dari jeratan masturbasi

Mungkin saat ini kamu terbiasa melakukan masturbasi dan ingin lepas dari jeratannya. Kamu bisa melakukannya sebab ada harapan. Tuhan ingin membawa pemulihan ke dalam hidup kita.

Jika saat ini kamu sering menonton tayangan pornografi atau melakukan fantasi seksual, belajarlah secara perlahan untuk menguranginya hingga akhirnya kamu dapat menghapus dua hal ini dari kehidupanmu. Dengan kamu melakukan hal ini, artinya kamu sedang memulai untuk perlahan-lahan membebaskan dirimu dari jerat kecanduan masturbasi.

Semakin banyak waktu yang aku lakukan bersama Tuhan—entah itu memuji Dia lewat pujian, membaca Alkitab, berdoa, ikut komunitas orang percaya, melayani orang lain, dan sebagainya—aku semakin dimampukan untuk lepas dari jerat masturbasi. Ketika aku melakukan ini semua, sesungguhnya aku sedang belajar untuk mengaplikasikan apa yang Alkitab katakan dalam Galatia 5:16-17. “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.”

Jika kamu, sama sepertiku, pernah menjadikan masturbasi sebagai jawaban atas masalahmu, aku mendorongmu untuk menyelidiki dirimu lebih dalam mengenai masalah apa yang sesungguhnya sedang kamu berusaha untuk hindari. Menghadapi masalah itu mungkin bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan terkadang bisa jadi menyakitkan. Akan tetapi, dari pengalamanku, aku belajar bahwa rasa sakit dan susah payah yang dilakukan ini jauh lebih baik daripada kita harus menanggung beban tambahan yang jauh lebih berat ketika kita tidak menyelesaikan masalah-masalah ini. Tuhan ada dan Dia bersedia untuk menyelesaikan masalah ini bersamamu. Dia akan memberimu penghiburan dan pertolongan yang kamu butuhkan ketika kamu sungguh-sungguh mengambil langkah untuk mencari pemulihan dari-Nya.

Dalam perjalananku keluar dari jeratan masturbasi, mungkin saja aku masih mengalami jatuh bangun, tapi aku punya pengharapan bahwa aku bisa lepas sepenuhnya dari jeratan ini. Maukah kamu bergabung denganku untuk berusaha melepaskan diri dari jeratan dosa dan menikmati kebebasan yang Tuhan berikan?

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Di semester awal kuliahku, aku nyaris dikeluarkan dari universitas karena nilai-nilaiku yang buruk. Segala cara untuk memperbaiki nilai sudah kulakukan, tetapi hasilnya nihil. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi?