Posts

Kelahiran Kristus: Disambut atau Ditakuti?

Hari ke-2 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Matius 2:1-12

2:1 Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem

2:2 dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”

2:3 Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem.

2:4 Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.

2:5 Mereka berkata kepadanya: “Di Betlehem d di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi:

2:6 Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.”

2:7 Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak.

2:8 Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: “Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia.”

2:9 Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada.

2:10 Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka.

2:11 Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.

2:12 Dan karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.

 

Pernahkah kita membayangkan bagaimana situasi pada Natal pertama? Natal pertama, yaitu pada saat kelahiran Yesus sebenarnya jauh dari kesan sebuah “perayaan”. Natal pertama cenderung diwarnai situasi yang kelam karena pada masa itu, bangsa Israel sedang dijajah oleh Kekaisaran Romawi. Mereka terhimpit, tertekan, bahkan menderita karenanya. Mereka tinggal di tanah milik mereka sendiri, tetapi tidak punya kuasa atasnya. Mungkin pada saat itu bangsa Israel menjerit, meratap kepada Tuhan, “Bilamanakah janji Allah akan kedatangan Mesias digenapi?”

Bacaan hari ini menunjukkan bahwa Allah menepati janji-Nya tentang kelahiran seorang Raja dan Mesias yang akan memimpin dan menggembalakan umat-Nya. Yesus Kristus lahir sebagai jawaban atas peliknya kondisi bangsa Israel yang tengah terhimpit dan tertindas karena pemerintahan Romawi. Yesus Kristus adalah Raja sejati yang akan memimpin umat-Nya seperti gembala memimpin kawanan dombanya, dan bukan seperti Herodes yang memimpin mereka dengan tangan besi. Melalui bacaan ini, kita diajak melihat dari kesaksian para imam dan ahli Taurat bahwa dari Bethlehem akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan mereka (ay. 6). Artinya, Allah tidak mengingkari janji-Nya. Di saat yang kelam itulah, janji kehadiran Mesias yang akan memulihkan bangsa Israel diterbitkan bagi mereka. Di masa-masa sulit bagi bangsa Israel, Kristus justru lahir dan hadir memberikan pengharapan bagi mereka.

Kalau aku membandingkan situasi Natal pertama dengan kondisi hari ini, aku menemukan persamaan di dalamnya. Hari ini, hidup kita akrab dengan berbagai kesulitan, bahkan penderitaan, bukan? Fenomena yang mewarnai sepanjang tahun 2020 ini adalah pandemi Covid-19. Pandemi ini telah menjadi keadaan global yang menghujani kita dengan berbagai bentuk kesulitan, bahkan penderitaan sepanjang tahun 2020. Pandemi ini mungkin menggoreskan pengalaman buruk, bahkan luka yang mendalam untuk sebagian besar kita. Akibat pandemi, kita menjadi takut untuk bepergian dan terpaksa beradaptasi dengan work from home. Hari ini mungkin kita mengalami belajar dan bekerja dari rumah, pemotongan gaji, atau sampai dirumahkan oleh perusahaan kita. Mungkin juga pandemi ini membuat orang-orang yang kita kasihi sakit tak berdaya, bahkan sampai merenggut mereka dari kita. Menapaki bulan terakhir di tahun 2020, keadaan nampaknya tidak kunjung membaik.

Bulan Desember yang biasanya kita disibukkan oleh perayaan Natal tidak terasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kita dipaksa membatasi diri kita untuk berjumpa dan merayakan Natal bersama dengan keluarga dan teman-teman kita. Natal di tengah pandemi secara tidak langsung membuat kita jauh dari makna “perayaan” itu sendiri. Pada tahun ini, kita diajak untuk memikirkan ulang bahwa Natal sesungguhnya bukan sekadar perayaan.

Merespons Natal di Tengah Pandemi

Lantas, bagaimana sih seharusnya kita merespons Natal tahun ini? Bacaan kita hari ini menunjukkan dua respons yang kontras, yaitu dari orang-orang Majus dan Herodes atas berita Natal atau kelahiran Kristus. Orang-orang Majus menyambut kelahiran Yesus Kristus. Jika diperhatikan, orang-orang Majus bukan termasuk keturunan bangsa Israel. Artinya, mereka dianggap orang-orang yang tidak mengenal Allah. Menariknya, dalam bacaan ini kita melihat betapa bergairahnya orang-orang Majus ini untuk berjumpa, memberikan persembahan, bahkan menyembah Yesus. Mereka bersukacita ketika bintang dari Allah itu akhirnya menuntun mereka berjumpa dengan bayi Yesus (ay. 10). Meskipun harus menempuh ketidakpastian di tengah perjalanannya, mereka tetap setia mengikuti petunjuk dari bintang Allah itu.

Berbeda dengan para Majus, Herodes malah merasa terancam dengan kelahiran Yesus Kristus. Ketika ia mendengar berita tentang kelahiran raja Yahudi, ia langsung terkejut (ay. 3). Ia takut jikalau takhtanya berpindah tangan kepada Yesus yang disebut-sebut akan menjadi raja Yahudi. Ia memperdayai orang-orang Majus supaya mereka mengatakan kepadanya di mana bayi Yesus itu berada, sehingga ia dapat membunuh bayi Yesus. Herodes memang sudah terkenal sebagai raja boneka Romawi yang licik dan haus akan kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa dia bahkan tega membunuh istri dan anak-anaknya sendiri demi mempertahankan takhtanya. Darinya, kita melihat bahwa ia menyambut kelahiran Kristus
dengan penuh ketakutan dan sebagai suatu ancaman bagi kekuasaannya.

Dari narasi ini, aku pribadi merefleksikan bagaimana seharusnya aku merespons Natal tahun ini. Meskipun hari ini pandemi bisa saja menggoreskan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar kita, tetapi kita tetap dapat menyambut kelahiran Kristus dengan sukacita, karena kelahiran Kristus adalah bukti nyata bahwa Allah menggenapi janji-Nya dan tidak meninggalkan kita, umat-Nya. Paul David Tripp di dalam bukunya “suffering” mengatakan begini, “tidak ada hadiah yang lebih manis, lebih indah daripada hadiah yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu diri-Nya sendiri. Dia adalah hadiah yang mengubah segalanya. Kehadiran-Nya ialah apa yang dibutuhkan oleh setiap orang yang menderita, entah mereka mengetahuinya atau tidak.” Maka, sekalipun keadaan kita jatuh bangun di tengah tahun 2020 ini, tetapi Allah tetap menaruh pengharapan dalam hidup kita, melalui kelahiran Yesus Kristus. Seperti orang-orang Majus, kita bisa belajar untuk menyongsong kelahiran Kristus dengan penuh sukacita di tengah ketidakpastian dan pergumulan hidup kita hari ini.

Pertanyaan refleksi:

1. Di dalam suasana pandemi, bagaimana perasaan kita ketika menyambut kelahiran Yesus Kristus tahun ini?

2. Bagaimana berita kelahiran Kristus memberikan kekuatan dan pengharapan di dalam keadaanmu hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Aldi Darmawan Sie, Jakarta | Saat ini, penulis sedang dipersiapkan menjadi hamba Tuhan penuh waktu di STT Amanat Agung, Jakarta. Pertobatan penulis bermula pada tahun 2011 di dalam ibadah persekutuan mahasiswa di Trisakti, Jakarta. Dari situlah kerinduan penulis muncul untuk mengenal dan melayani Tuhan Yesus. Penulis mulai aktif membagikan perenungannya melalui tulisan di WarungSateKaMu semenjak bulan Agustus tahun 2020.

Takut? Jangan!

Hari ke-1 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Matius 1:18-25

1:18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.

1:19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.

1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.

1:21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.”

1:22 Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:

1:23 “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel ” –yang berarti: Allah menyertai kita.

1:24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya,

1:25 tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.

 

Satu malam sebelum aku menyelesaikan renungan ini, aku harus merasakan situasi yang tidak enak, yaitu berhadapan dengan fobiaku. Entah karena musim penghujan yang mulai sering mengguyur kotaku atau karena berbagai hewan antah-berantah keluar dari habitatnya dan kerap kita lihat, tetapi mengapa malam itu harus ada ular yang melingkar di sudut ruang kamarku! Aku sangat-sangat-sangat fobia dengan ular. Sejak kecil jika melihat ada ular di tanah lapang, sontak aku lari dengan cepat. Di usia 17 tahun pun, ketika ada ular yang tiba-tiba jatuh di dekatku dan guru les bahasa Inggrisku, aku langsung loncat dan meminta dia berada di depanku,agak bodo amat dengan genderku pria dan guru lesku wanita; untuk satu hal ini aku emang pengecut.

Setelah merenung, ternyata aku punya fobia lain selain ular. Aku pernah memiliki fobia berada dalam kerumunan banyak orang yang membuat badan mual dan kepala pusing. Aku punya fobia akan ketinggian, yang membuat aku agak anti terhadap beberapa wahana permainan. Menilik Merriam Webster, fobia dipahami sebagai sebuah hal yang nampak berlebihan, disebabkan oleh ketakutan akan satu atau banyak objek, atau situasi, yang tidak bisa dijelaskan dan tidak logis. Bagi “Panji Sang Petualang” ular adalah sahabatnya, atau bagi atlet parkour, berada di tempat tinggi adalah kebahagiaan, dan ketakutanku mungkin dianggap tidak logis.

Tapi aku cukup yakin, sebagian dari kita juga memiliki fobia, entah sama atau berbeda dengan fobia yang kumiliki. Dengan mengambil pemahaman fobia sebagai ketakutan yang berlebih, kita bisa melihat banyak fobia-fobia baru bermunculan di tahun 2020 yang diwarnai dengan pandemi: fobia akan kondisi kesehatan yang menurun, fobia berkunjung ke rumah sakit atau tempat fasilitas kesehatan lainnya, fobia akan kondisi ekonomi-sosial-politik yang tidak stabil, fobia berada dalam kondisi yang padat orang, dan banyak fobia lainnya.

Kalau kita merunut Natal kembali ke asal mulanya, suasana kelahiran Kristus di dunia juga jauh dari ingar bingar, kemeriahan dan gemerlap ala pusat perbelanjaan di abad 21; kelahiran Yesus penuh dengan suasana kegelapan. Penulis kitab Matius mencatat kondisi ketakutan yang dirasakan oleh Yusuf. Ia berada dalam situasi yang kompleks. Yusuf mengetahui Maria sedang hamil di luar persetubuhan dengannya. Sebagai orang Yahudi, Yusuf berhak membatalkan pernikahannya, bahkan menghukumnya, karena Yusuf tidak punya tanggung jawab atas bayi yang dikandung Maria. Secara logika manusiawi (terlebih logika patriarki yang memprioritaskan laki-laki), tetap menikahi Maria adalah sebuah kerugian. Mungkin kekhawatiran juga ada di benak Yusuf: apakah Maria bukan perempuan baik sehingga berzina, apakah nanti anak dari Maria dapat dididik dengan ajaran Yahudi, apakah keluarganya kelak dapat hidup seturut ajaran Allah?

Dalam kondisi pelik Yusuf, di mana menceraikan Maria adalah sebuah keputusan terbaik, sosok Ilahi hadir dalam rupa malaikat Tuhan. Melalui mimpi, sosok tersebut menyatakan “jangan takut” atau dalam bahasa Yunani “μὴ φοβηθῇς” (baca: me phobethes). Kata “φοβηθῇς” ini pun diserap dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia yang kita kenal dengan “fobia”. Malaikat Tuhan menyampaikan agar Yusuf meninggalkan segala ketakutannya untuk memperistri Maria karena anak yang dikandungnya berasal dari Roh Kudus. Roh Kudus, Roh (dengan huruf besar), Roh Tuhan atau Roh Allah, telah hadir sejak manusia memahami penciptaan (Kej 1:2), memberi kuasa dan tuntunan kepada pemimpin Israel, Musa dan tujuh puluh dua pemimpin yang dipilih untuk membantunya (Bil 11:24-30), Gideon (Hak 6:34), Raja Daud (2 Sam 23:1-4) dan para nabi. Roh Kuduslah yang mampu membuat banyak hal yang nampak bagi manusia tidak mungkin, dapat terjadi.

Setelah menguatkan Yusuf dalam ketakutannya, malaikat juga memberikan perintah kepadanya untuk menamai anak tersebut “Yesus”. Nama “Yesus” berasal dari bahasa Ibrani “Yoshua” (Aram: “Yeshua”) yang berarti “Tuhan Menyelamatkan”. Keselamatan yang diberikan oleh Yesus, bukan keselamatan dari penjajahan Romawi, melainkan menyelamatkan dari dosa. Hal ini mengganti konsep yang dipahami dalam Perjanjian Lama dalam penebusan dosa, di mana bangsa Israel, melalui para Imam, membawa kurban bakaran, demi penghapusan dosa, yang bersifat temporal (Imamat 7:1-10).

Sang malaikat pun menegaskan akan kelahiran bayi kudus tersebut sebagai Imanuel, yang berarti Allah beserta kita. Kehadiran Yesus merupakan wujud nyata Allah yang turut hidup di tengah-tengah manusia, ikut merasakan kesulitan dan tantangan yang ada di dunia, turut serta menderita sebagai manusia, yang turut berjuang merespons ketakutan dalam kehidupan. Dengan kehadiran Yesus di dunia, seharusnya kita pun sadar bahwa Allah turut bekerja bersama kita merespons segala fobia yang kita gumulkan.

Memiliki ketakutan merupakan hal yang wajar dan manusiawi. Namun, bagaimana kita merespons ketakutan tersebut adalah hal yang penting. Ketika melihat ular, tentu awalnya aku sangat panik, tapi akan sangat bodoh jika aku terus menerus terdiam, maka aku perlu mengolah ketakutanku dengan membuangnya jauh-jauh. Kita pun perlu mengolah ketakutan yang hadir di kehidupan kita, kita perlu bergerak dari situasi rumit di hidup kita yang membuat kita cemas. Sadari bahwa Kristus turut berjuang bersama kita mengalahkan segala ketakutan dan menghadirkan kasih sukacita dalam hidup kita.

Pertanyaan refleksi:

1. Ambil waktu teduh, dan tanyakan pada dirimu, apa yang menjadi ketakutanmu saat ini? Akui dan ungkapkan hal tersebut pada Tuhan.

2. Tanyakan pada diri kita, apakah kita sudah cukup memekakan diri akan kehadiran Tuhan dalam ketakutan kita, atau kita justru mengabaikan-Nya?

3. Dalam segala kekuatiranmu, maukah kamu berserah kepada Tuhan, menerima kehadiran-Nya dalam hidup kita, dan ikut berjuang melawan ketakutan kita?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Ari Setiawan, Yogyakarta | Merupakan lulusan Ilmu Komunikasi UK Petra. Sedang dan terus bergumul akan panggilan Tuhan dalam hidup, berjuang juga untuk mengalahkan ketakutan akan kehidupan. Aktif menulis di WarungSaTeKaMu, Ignite GKI dan merupakan head producer dari podcast Ignite GKI. Berharap dapat menjadi penggerak bagi anak muda Kristen untuk menjadi berkat bagi bangsa dan dunia dalam berbagai aspek kemampuan.

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Oleh Kristle Gangadeen, Trinidad and Tobago
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Weapons For Battling Anxiety In Difficult Seasons

“Rasanya seluruh hidupku telah hancur.”

Rasa putus asa tertulis di halaman-halaman buku harianku. Aku bingung, gelisah, dan frustrasi. Semua gelombang emosi itu membanjiriku sekaligus.

Dua tahun terakhir begitu menantang buatku. Aku kembali ke rumahku di kampung halaman, ketidakpastian akan tujuan hidup dan langkah karier selanjutnya, kebingungan apakah aku akan menganggur atau tidak, dan sekarang, relasiku yang berakhir dengan tiba-tiba.

Aku merasa buta, bingung, dan tertinggal, meski aku tetap berjuang untuk bertahan ketika gelombang demi gelombang kekhawatiran semakin menjeratku.

Sejujurnya kurasa Tuhan seperti mempermainkanku. Aku percaya pada-Nya ketika aku meninggalkan bisnis yang kurintis. Aku percaya pada-Nya untuk mengarahkan langkahku kepada tujuan. Dan, aku percaya pada-Nya ketika aku berdoa dengan sungguh untuk menjalin relasi dengan kekasihku.

Namun, semuanya tampak hancur berantakan.

Dalam kehancuranku, aku coba tetap mengungkapkan segala ketakutanku akan masa depan kepada Dia yang mendengarkan doa-doa kita dan melihat air mata kita (2 Raja-raja 20:5). Kubuka Alkitabku untuk mendapati penghiburan dan harapan.

Lalu, garis pembatas antara harapan dan khawatir pun tergambar di benakku. Aku harus memilih untuk memihak ke mana: janji Tuhan atau tipu muslihat dari si jahat.

Peperangan dalam pikiran itu sungguh nyata. Sekarang saatnya untuk angkat senjata dan menghadapinya.

Jika kamu juga berjuang menghadapi kekhawatiran seiring kamu menjalani masa-masa yang sulit, ikutlah bersamaku mempraktikkan empat jurus ini, agar kita dapat menang dalam Kristus.

Jurus #1: Ingatlah kasih setia Tuhan

“Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23).

Alkitab berulang kali menunjukkan kesetiaan Allah. Dia setia ketika menepati janji akan keturunan yang diberikan-Nya pada Abraham dan Sara; Dia setia ketika memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian; Dia setia ketika memberkati Hana dengan seorang anak laki-laki; Dia pun setia ketika memberikan Juruselamat bagi dunia.

Ketika aku mendapati diriku bertanya, “Berapa lama, Tuhan?”, dan kekhawatiran menyergap hatiku, kuingatkan kembali diriku bahwa Tuhan setia pada janji-Nya. Di tahun-tahun yang lampau Tuhan telah menunjukkan kesetiaan, penyertaan, perlindungan, dan penghiburan bagiku.

Bagaimana mengaplikasikannya: Luangkan beberapa waktu untuk menuliskan kesetiaan Tuhan di masa-masa lalumu dan renungkanlah itu. Kamu akan melihat bahwa Tuhan sungguh baik dan dapat dipercaya.

Jurus #2: Bersukacitalah dan pujilah Tuhan

Raja Daud mengalami banyak masa sulit sepanjang hidupnya. Contohnya: ketika Saul berupaya untuk membunuhnya, Daud harus melarikan diri (1 Samuel 20-27). Lalu, anaknya sendiri mengkhianatinya (2 Samuel 15). Tapi, dalam segala kondisi, Daud tetap memilih bersukacitan dan memuji Tuhan.

Di Mazmur 22, Raja Daud memulainya dengan mengungkapkan ratapan dari hati yang pedih kepada Tuhan. Namun di akhir mazmurnya, Daud menaikkan pujian bagi Tuhan. Dia memuji Tuhan dalam penderitaannya karena dia percaya pada-Nya.

Jika Daud bisa membawa semua beban dan perasaannya pada Tuhan, artinya kita pun bisa melakukannya! Mengungkapkan isi hati pada Tuhan jauh lebih mudah daripada chat atau menelpon teman. Kita bisa berbicara dari hati ke hati dengan Tuhan kapan pun.

Tapi, janganlah kita berhenti sampai di sini saja. Iman dan kekuatan kita diperbaharui lewat pujian, seiring fokus kita bergeser dari masalah kita menuju kebesaran Tuhan.

Bagaimana mengaplikasikannya: Gunakan suaramu untuk memuji Tuhan. Temukan atau buatlah daftar lagu puji-pujian di ponselmu. Menyanyilah bagi Tuhan di rumahmu, di mobilmu, di manapun.

Jurus #3: Mengucap syukur

Hidup tak selalu manis seperti sepotong kue bolu, tetapi setiap harinya Tuhan memberikan kita banyak hal untuk kita mengucap syukur.

1 Tesalonika 5:18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Berfokus pada apa yang tidak kita punya, yang tidak kita capai, atau apa yang telah hilang, bisa membawa kita kepada kepahitan, kebencian, dan ketidakpuasan. Mengubah fokus kita kepada berkat-berkat yang kita miliki bisa menolong kita menyingkirkan kegelapan dan menggantinya dengan cahaya kebenaran. Dan kebenarannya adalah: kita diberkati dengan berlimpah.

Sejak aku mulai menulis hal-hal yang bisa kusyukuri di buku harianku, aku tak lagi mendapati ada hari-hari di mana aku tak tahu hal apa yang bisa kusyukuri.

Janganlah kita asal-asalan menjalani hari. Jika kita punya makanan untuk dimakan, baju untuk dikenakan, dan kasur untuk tidur, baiklah kita mengucap syukur.

Bagaimana mengaplikasikannya: Buatlah daftar ucapan syukur, bisa di buku tulis atau catatan di ponsel. Berkomitmenlah untuk menuliskan setidaknya satu hal yang bisa kamu syukuri setiap harinya. Setelah beberapa waktu, coba evaluasi ulang.

Jurus #4: Merenungkan firman Tuhan dan temukanlah harapan

Sungguh suatu penghiburan karena kita bisa percaya bahwa firman-Nya itu benar, terlepas dari apa pun yang kita rasakan dan lihat (Yesaya 55:11).

Mazmur Daud menguatkan kita dalam masa-masa sulit dan masa-masa penantian. Beberapa mazmur favoritku adalah Mazmur 25:3, 27:13, 34:10, 34:18, 37:4, dan 46:1.

Satu ayat yang kupegang teguh dalam masa-masa sulitku diambil dari Keluaran 14:14 versi BIS:

“TUHAN akan berjuang untuk kamu, dan kamu tak perlu berbuat apa-apa.”

Ayat di atas adalah pesan Tuhan kepada bangsa Israel ketika mereka terjebak di tepi Laut Merah, padahal tentara Firaun semakin dekat dengan mereka. Dan, pesan itu jugalah yang masih berlaku bagi kita di masa kini. Ketika kita merasa kewalahan dan tak sabar, ingatlah janji-Nya itu.

Bagaimana mengaplikasikannya: Temukan ayat Alkitab yang berisi janji Tuhan dan renungkanlah itu. Kamu bisa jadikan ayat itu wallpaper di ponselmu, atau tulis lalu tempelkanlah di dindingmu.

Masa-masa sulit dalam hidupku masih berlangsung, tetapi roh yang menghadirkan damai sejahtera telah menolongku untuk menang mengatasi kekhawatiran di hati dan pikiranku (Filipi 4:6-7).

Kita memang tak tahu bagaimana masa depan kita, tapi jika kita mengenal Yesus, kita tahu siapa yang memegang masa depan itu. Kita bisa percaya dan teguh bahwa Dia yang memulai pekerjaan baik di dalam kita adalah setia, dan Dia jugalah yang akan memampukan kita menyelesaikannya (Filipi 1:6).

Baca Juga:

Menang Atas Dosa Favorit

Dosa itu menawarkan atau mengiming-imingi kita dengan suatu kenikmatan. Salah satu contohnya adalah dosa seksual. Makin kita terpikat, makin kita terjerat.

Jangan Hidup dalam Kekhawatiran

Oleh Yulinar Br. Bangun, Tangerang

Di ibadah yang kuikuti beberapa minggu lalu, ada lagu yang mengusik hatiku. Lagu ini ditulis oleh Ira Forest Stanphill, yang berjudul “I Know Who Holds Tomorrow”. Berikut ini sepenggal liriknya:

Many things about tomorrow
I don’t seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand

Bukan tanpa alasan mengapa lagu ini liriknya mengusikku. Lagu ini ini seperti jawaban, sekaligus tamparan buatku. Aku mahasiswa penerima beasiswa di sebuah kampus Kristen, sekarang aku tinggal menunggu wisuda. Aku bersyukur bisa menyelesaikan studiku dengan baik, tapi aku bingung dengan persiapan wisuda dan masuk dunia kerja nanti. Aku kepikiran dengan segala biaya yang perlu dikeluarkan: untuk cari kerja,untuk biaya tinggal di kota perantauan, dan sebagainya. Biaya ini tentu akan jadi beban buat keluargaku.

Aku memikirkan beberapa opsi, tapi aku malah jadi berdebat dengan orang tuaku. Apa yang menurutku baik ternyata tidak searah dengan pemikiran mereka. Aku ingin berhemat. Saat nanti diterima kerja, di bulan pertama kan aku belum mendapatkan gaji. Tapi, mereka malah ingin memberiku uang karena mereka ingin menenangkanku dan bersyukur karena aku tidak membebani mereka dengan biaya studi.

“Nak, pasti ada rezekinya. Tuhan pasti kasih jalan.” Percakapan kami berakhir dengan kalimat ini, kalimat sederhana yang mencerminkan keyakinan orang tuaku akan pemeliharaan Tuhan.

Jika ditelisik, masalahku adalah kekhawatiran akan hal-hal yang belum terjadi. Aku khawatir kalau orang tuaku nanti kesulitan finansial. Tapi, apakah kekhawatiran inilah yang jadi masalah utama? Dari konselingku, aku mendapati kalau khawatir hanyalah masalah yang tampak di permukaan saja. Akar dari khawatir adalah meragukan Tuhan, yang berujung pada mengandalkan diri sendiri.

Khawatir bukanlah pergumulan yang kualami sendiri, atau dialami oleh manusia zaman ini saja. Dari masa ke masa, khawatir senantiasa hadir dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam Injil Matius, Yesus menekankan, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Matius 6:27). Rasul Paulus juga menegaskan, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).

Ketika keluar dari Mesir, bangsa Israel juga mengalami kekhawatiran. Meski Allah telah menyertai mereka dengan membelah Laut Teberau (Keluaran 14:15-31), mereka tetap saja khawatir dan bersungut-sungut. Namun, Allah tetap setia. Allah memelihara bangsa Israel dengan memberi mereka makanan berupa roti mana (Keluaran 16:4), melindungi mereka dengan tiang api dan tiang awan (Keluaran 14:19-2), serta memberi mereka mata air untuk diminum (Keluaran 15:22-27).

Penggalan lagu di awal tulisan ini membawaku kepada refleksi mendalam. Aku lahir dan besar di keluarga Kristen, kuliah di kampus Kristen, ikut ibadah di gereja, berdoa, memuji Tuhan. Tapi, seberapa sungguh aku mengimani itu semua?

Jika aku melihat perjalanan hidupku ke belakang, Tuhan selalu mencukupiku. Dia setia memelihara sampai ke titik ini. Dia izinkan aku menerima beasiswa. Lantas, mengapa aku harus khawatir untuk masa depanku jika Dia telah membuktikan kesetiaan-Nya. Mendapati fakta ini, aku jadi sangat malu.

Sebagai manusia yang tidak bisa mengetahui dengan jelas bagaimana masa depan, kita rentan jatuh dalam godaan kekhawatiran. Kita khawatir akan karier, jodoh, usia, keluarga, keuangan, dan lainnya. Alih-alih membiarkan khawatir itu memenuhi isi pikiran kita, kita dapat menaikkannya kepada Tuhan dalam doa. Izinkanlah Tuhan bekerja dalam kekhawatiran kita, izinkanlah hati kita untuk percaya dan taat pada cara kerja Tuhan.

Ketika kekhawatiran datang, izinkanlah kembali hati kita untuk percaya pada kesetiaan-Nya. Tuhan tak menjanjikan hidup kita bebas rintangan dan penderitaan, tetapi Dia berjanji setia menyertai.

I don’t worry o’er the future
For I know what Jesus said
And today I’ll walk beside Him
For He knows what is ahead

Many things about tomorrow
I don’t seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand

Baca Juga:

Ibadah Online, Salah Satu Kontribusi Gereja Redakan Pandemi COVID19

Apakah ibadah boleh ditiadakan hanya gara-gara sebuah wabah? Perlukah ibadah konvensional (secara tatap muka) tetap dipertahankan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini?

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Melepaskan Ketakutan

Selasa, 27 Februari 2018

Melepaskan Ketakutan

Baca: Markus 6:45-53

6:45 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan berangkat lebih dulu ke seberang, ke Betsaida, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

6:46 Setelah Ia berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa.

6:47 Ketika hari sudah malam perahu itu sudah di tengah danau, sedang Yesus tinggal sendirian di darat.

6:48 Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka.

6:49 Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak,

6:50 sebab mereka semua melihat Dia dan merekapun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

6:51 Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. Mereka sangat tercengang dan bingung,

6:52 sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.

6:53 Setibanya di seberang Yesus dan murid-murid-Nya mendarat di Genesaret dan berlabuh di situ.

Tenanglah! Aku ini, jangan takut! — Markus 6:50

Melepaskan Ketakutan

Tubuh kita akan bereaksi terhadap perasaan ngeri dan takut. Perut kita merasa mual, jantung kita berdegup kencang, dan napas kita tersengal-sengal. Semua itu menandakan kecemasan kita. Tubuh kita secara alami memberikan reaksi yang membuat kita tidak bisa mengabaikan perasaan yang tidak nyaman itu.

Suatu malam, para murid diguncang rasa takut setelah Yesus mengadakan mukjizat dengan memberi makan lebih dari lima ribu orang. Tuhan meminta para murid berangkat terlebih dahulu ke Betsaida supaya Dia dapat berdoa sendirian. Sepanjang malam itu, ketika para murid sedang bersusah payah mendayung melawan angin sakal, tiba-tiba mereka melihat Yesus berjalan di atas air. Para murid menjadi sangat ketakutan karena mengira Yesus adalah hantu (Mrk. 6:49-50).

Namun, Yesus meyakinkan mereka untuk tidak takut dan tetap tenang. Setelah Dia naik ke perahu, angin kencang tiba-tiba berhenti dan mereka dapat melanjutkan perjalanan hingga tiba di pantai. Saya membayangkan bahwa kengerian mereka ditenangkan ketika mereka dilingkupi damai sejahtera yang diberikan Tuhan.

Ketika kita merasa kewalahan dan dihimpit kecemasan, kita dapat dengan yakin mengandalkan kuasa Yesus. Yesus sanggup meredakan gelombang pergumulan kita, atau sebaliknya, Dia memberi kita kekuatan untuk menghadapi pergumulan itu. Apa pun yang dikerjakan-Nya, Dia akan memberi kita damai sejahtera-Nya yang “melampaui segala akal” (Flp. 4:7). Ketika Yesus melepaskan kita dari segala ketakutan, jiwa dan tubuh kita akan kembali merasakan ketenangan. —Amy Boucher Pye

Tuhan Yesus Kristus, tolonglah aku saat rasa takut melanda. Lepaskan aku dari semua ketakutan dan berilah aku damai sejahtera-Mu.

Tuhan melepaskan kita dari segala ketakutan.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 17-19; Markus 6:30-56

Berani untuk Setia

Minggu, 18 Februari 2018

Berani untuk Setia

Baca: 1 Petrus 3:13-18

3:13 Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?

3:14 Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.

3:15 Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,

3:16 dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.

3:17 Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.

3:18 Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,

Janganlah gentar. —1 Petrus 3:14

Berani untuk Setia

Ketakutan terus menggayuti Hadassah, seorang remaja putri Yahudi yang hidup pada abad pertama. Ia adalah tokoh fiktif dalam buku karya Francine Rivers yang berjudul A Voice in the Wind. Setelah Haddasah menjadi seorang budak di rumah seorang Romawi, ia takut mengalami penganiayaan karena imannya kepada Kristus. Ia tahu bahwa orang Kristen dibenci, dan banyak yang dihukum mati atau menjadi mangsa singa di gelanggang. Akankah ia tetap berani untuk teguh mempertahankan kebenaran ketika ia diuji?

Akhirnya, ketakutannya yang terbesar pun menjadi kenyataan. Majikannya dan para pejabat Romawi lainnya yang membenci iman Kristen menantang Hadassah. Ia diberi dua pilihan: menyangkali imannya kepada Kristus atau dijadikan mangsa singa di gelanggang. Namun ketika ia tetap menyatakan Yesus Kristus sebagai Tuhannya, ketakutannya pun hilang dan ia menjadi berani untuk menghadapi kematian sekalipun.

Alkitab mengingatkan bahwa adakalanya kita akan menderita karena melakukan kebenaran—baik karena memberitakan Injil atau karena menjalani hidup saleh yang bertentangan dengan nilai-nilai dunia zaman sekarang. Kita diingatkan untuk tidak menjadi gentar (1Ptr. 3:14), tetapi menguduskan “Kristus di dalam hati [kita] sebagai Tuhan” (ay.15). Pergumulan utama Hadassah terjadi di dalam hatinya. Ketika akhirnya ia menetapkan hati untuk tetap memilih Yesus, ia pun memperoleh keberanian untuk setia.

Ketika kita memutuskan untuk menguduskan dan menghormati Kristus, Dia akan menolong kita mempunyai keberanian dan mengatasi ketakutan pada saat iman kita diuji. —Keila Ochoa

Bapa, berikanlah kepadaku keberanian untuk teguh beriman pada saat-saat yang sulit.

Marilah kita berani ketika bersaksi bagi Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 23-24; Markus 1:1-22

5 Ayat Alkitab yang Menguatkanmu Saat Kamu Merasa “Takut”

Kehidupan memang tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kita menghadapi tantangan dan badai hidup yang dapat menggoyahkan iman kita. Tetapi semua itu dapat menjadi sebuah jalan agar kita makin berakar dan bertumbuh di dalam Tuhan. Saat melewati hari-hari yang sulit itu, membaca firman Tuhan dapat menguatkan kita untuk terus berjuang di dalam Dia. Mari terus berharap pada kekuatan dan penghiburan dari-Nya.

5-5 Ayat Alkitab-takut-01

5-5 Ayat Alkitab-takut-02

5-5 Ayat Alkitab-takut-03

5-5 Ayat Alkitab-takut-04

5-5 Ayat Alkitab-takut-05

5-5 Ayat Alkitab-takut-06

Jadilah yang pertama menemukan artikel terbaru dari WarungSaTeKaMu.org. Add akun LINE kami dengan klik di sini atau cari melalui ID @warungsatekamu

Add Friend